Anda di halaman 1dari 127

Daftar Isi

Review 1 1
Review 2 6
Review 3 13
Review 4 19
Review 5 24
Review 6 29
Review 7 43
Review 8 50
Review 9 55
Review 10 59
Review 11 65
Review 12 70
Review 13 77
Review 14 82
Review 15 87
Review 16 93
Review 17 101
Review 18 107
Review 19 113
Review 20 123
Hena Dian ayu
T851808007

BLENDED LEARNING
Blended Learning adalah pendekatan pembelajaran
yang memadukan antara pembelajaran tatap muka dan
pembelajaran online. Pengelolaan yang baik dan tepat
akan mampu menjadikan blended learning sebagai

REVIEW JURNAL salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai


dengan abad 21. Jurnal-jurnal yang direview adalah
jurnal yang membahas mengenai berbagai
keuntungan dan permasalahan yang muncul dalam
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah penggunaan blended learning dan bagimana solusi
“Kajian dan Analisis Penelitian Pendidikan IPA” yang ditawarkan untuk meminimalisir dampak negatif
Dosen Pengampu : Prof. Sulistyo Saputro, Ph.D yang muncul.
1. Identitas Jurnal
Judul A scoping review of cloud computing tools for collaborative
learning: Opportunities and challenges to the blended-
learning environment
Nama Jurnal Computers & Education
Halaman Volume 2 Nomor 2, Halaman 87-96
Tahun 2018
Author Hosam Al-Samarraie, Noria Saeed
Centre for Instructional technology and Multimedia, Universiti
Sains Malaysia, Penang, Malaysia
Keyword Collaborative learning, distance education and telelearning,
learning communities; lifelong learning
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.compedu.2018.05.016
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melakukan tinjauan literatur untuk:
Mengidentifikasi studi tentang penggunaan komputasi cloud dalam
pembelajaran kolaboratif di kelas blended learning.
Memaparkan penjelasan yang koheren tentang perangkat komputasi
cloud yang digunakan dalam sektor pendidikan dalam skala
luas,untuk meningkatkan aksesibilitas siswa dan sharing sumber
belajar di antara siswa.
Memajukan basis pengetahuan teoritis pemanfaatan teknologi untuk
menyediakan sarana kolaboratif bagi siswa dan instruktur untuk
sharing dan mendiskusikan berbagai hal pembelajaran.
Latar Belakang Kemajuan teknologi memainkan peran penting dalam
pengembangan sektor pendidikan formal dengan menyediakan
berbagai fasilitas penyampaian pembelajaran dan komunikasi
dengan biaya rendah. Pertanyaan tentang bagaimana menggunakan
teknologi modern untuk melibatkan peserta didik yang jauh dalam
sesi pembelajaran kolaboratif harus dapat dijawab. Salah satu cara
pengembangan kapasitas Universitas secara berkelanjutan di
negara-negara berkembang, adalah dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi dan pedagogis di sektor pendidikan formal.
Dengan demikian, komputasi Cloud dan aplikasinya sangat penting
bagi masa depan pendidikan jarak jauh di seluruh dunia.
Landasan teori Cloud computing adalah kemampuan Teknologi Informasi (IT) di
yang digunakan & mana sumber daya dan infrastruktur komputasi disediakan oleh
hasil penelitian layanan Internet (Sang, 2013; Yu, Wang, Ren, & Lou, 2010). Dalam
sebelumnya pendidikan tinggi, layanan cloud computing biasanya digunakan
untuk menyediakan sarana bagi siswa untuk berkolaborasi dan
berinteraksi dalam ruang belajar yang terdistribusi (Alcattan, 2014;
Guoli & Wanjun, 2010). Ini memiliki potensi untuk mendukung
proses belajar mengajar yang maju dalam arti mengembangkan
interaksi sosial kolaboratif seseorang selama kegiatan pemecahan

HENA DIAN AYU 1


masalah, refleksi, berbagi pengetahuan, dan menghasilkan gagasan
(Attaran, Attaran, & Celik, 2017; Kop & Carroll, 2011). Dalam
konteks kolaboratif, komputasi Cloud telah menjadi fokus para
peneliti pendidikan, terutama untuk mengatasi masalah transformasi
pengetahuan dalam kelas online/ hybrid (Uden, Liberona, & Welzer,
2014). Selain itu, meskipun referensi khusus telah dibuat untuk
aplikasi atau layanan online tertentu, belum ada pemahaman yang
jelas tentang bagaimana berbagai alat komputasi Cloud telah
membentuk konsep pembelajaran kolaboratif untuk memperluas
jangkauan sumber daya ke siswa saat ini (Bouyer & Arasteh, 2014).
Menurut Akin, Matthew, dan Comfort (2014), mempromosikan
penggunaan teknologi inovatif sebagai bagian reguler dari
pengalaman belajar di kalangan mahasiswa tetap menjadi tantangan.
Dimensi penting dari masalah ini adalah membuat pendidik masa
depan untuk mengintegrasikan teknologi pendidikan sebagai bagian
rutin dari pendekatan mereka terhadap pengajaran (Abbitt, 2011).
Studi sebelumnya (misalnya, Mtebe, 2013; Mtebe & Kissaka, 2015;
Porumb, Orza, Micu, & Porumb, 2012; Selvi & Perumal, 2012)
membahas pentingnya menggunakan alat komputasi Cloud tertentu
untuk mempromosikan kegiatan pembelajaran kolaborasi,
khususnya yang dapat berkontribusi untuk memberikan pengalaman
belajar individu, dan kelas blendeed learning. Peneliti telah berulang
kali membuktikan efektivitas pembelajaran kolaboratif pada prestasi
dan keterlibatan siswa (Quaye & Harper, 2014)
Metode Literatur review yang disusun berdasarkan model yang diusulkan
oleh Tranfield, Denyer, dan Smart (2003) untuk melakukan
penelitian peninjauan.
Langkah-langkah Seleksi artikel ilmiah dilakukan sebagai berikut:
1. Diseleksi 430 penelitian diambil dari database yang berbeda.
2. 200 artikel dan 10 thesis sesuai kriteria
3. 40 artikel dan 5 thesis adalah penelitian kolaboratif berdasar
cloud
4. Dipilih artikel dengan kualitas tinggi dan sedang
Pengumpulan Data Penilaian kualitas dari 45 penelitian oleh 3 ahli.
Diperoleh 19 artikel dengan kualitas tinggi dan 10 artikel dengan
kualitas rendah.
Analisis Data Skor 1-3 diberikan oleh tiga ahli dengan persyaratan berikut:
1. Seberapa tepat deskripsi penelitian terkait dengan penggunaan
komputasi Cloud?
2. Apakah kegiatannya dijelaskan dengan jelas dalam teks?
3. Seberapa tepat metode dan analisisnya?
4. Seberapa relevankah fokus khusus artikel (termasuk konteks dan
sampel) dengan penelitian kami?
5. Apakah temuan dapat dipercaya dalam menjawab pertanyaan?
6. Seberapa digeneralisasikan hasilnya kepada peserta target?
Bobot masing-masing artikel dinilai oleh tiga ahli (18 skor).
Kriteria kualitas artikel
(1) artikel kualitas rendah, 6 skor atau kurang;
(2) artikel kualitas sedang, skor 7-13; dan
(3) kualitas tinggi, lebih dari 13 skor

HENA DIAN AYU 2


Hasil Komputasi cloud sebagian besar digunakan untuk tujuan dan
kegiatan kolaboratif yang berbeda. Berdasarkan sifat
penggunaannya, maka pembahasan dibagi menjadi tiga bagian
utama, yaitu: Tools yang disinkronkan, Sistem Manajemen
Pembelajaran (LMS), dan jejaring sosial. Tools yang disinkronkan
terdiri dari penggunaan sistem pribadi yang tersedia untuk umum
untuk digunakan seperti aplikasi Google, Microsoft, aplikasi Zoho,
Dropbox, dan Prezi). Alat jejaring sosial terdiri dari penggunaan
Facebook, Twitter, WhatsApp, dan Skype untuk komunikasi
antarpribadi, berbagi, dan mendiskusikan pandangan tentang topik
tertentu. Alat LMS terdiri dari penggunaan sistem Universitas
(seperti Moodle dan Blackboard) untuk mendukung kelompok
peserta didik untuk mendokumentasikan, melacak, dan melaporkan
berbagai kegiatan pendidikan.
Tools yang disinkronkan, Tinjauan literatur menunjukkan bahwa
sebagian besar alat komputasi Cloud secara khusus digunakan untuk
mengedit dokumen online, bertukar pikiran dan wawasan terkait
dengan materi pelajaran secara bersama. Ini biasanya melibatkan
penulisan komentar dan partisipasi dalam sesi peer-review, yang
hasilnya adalah mengarahkan siswa untuk terlibat dalam
menurunkan pengetahuan kolektif. Literatur menunjukkan bahwa
Google Apps dapat digunakan untuk kegiatan kolaborasi siswa
dengan menyediakan media yang kaya bagi mereka dalam
melakukan berbagai kegiatan, penulisan komentar, dan opsi berbagi
lainnya yang penting dalam memfasilitasi proses pembelajaran tatap
muka. Aplikasi ini terdiri dari Google Drive, Documents, Situs,
Gmail, Kalender, Talk, dan Video. Yang digunakan untuk
menyediakan sarana online, seperti pengolah kata online,
spreadsheet, dan aplikasi presentasi untuk memungkinkan siswa
mengambil peran aktif dalam mengoordinasikan interaksi dan
berkomunikasi secara bebas (roBroin & Raftery, 2011).
Sistem Manajemen Pembelajaran (LMS), Review literatur
menunjukkan bahwa sebagian besar LMS yang umum digunakan
memiliki fasilitas untuk menawarkan berbagai bentuk komunikasi
untuk konstruksi pengetahuan kolaboratif. Contohnya adalah
penggunaan Moodle on Azure untuk memungkinkan siswa dari
berbagai tempat mengakses materi online, dan juga untuk melacak
kemajuan kerja kelompok (Wang et al., 2014). Pencarian literatur
mengungkapkan aplikasi Blackboard untuk menciptakan
pengalaman yang kaya dan menarik dengan memungkinkan siswa
untuk membangun dialog yang konstruktif di mana solusi untuk
masalah yang rumit diklarifikasi, pemikiran yang tidak terstruktur
dieksplorasi melalui proses dialektika, sehingga pemahaman
bersama tercapai dengan anggota lain (Griffiths, 2011). Hal ini dapat
dikaitkan dengan fakta bahwa Blackboard berisi alat yang
diperlukan (termasuk papan diskusi, blog, dan wiki) bagi instruktur
untuk mengimplementasikan berbagai pedagogi kolaboratif yang
mampu mengalihkan fokus dari interaksi antara instruktur-siswa ke
interaksi rekan. Fleksibilitas semacam itu sangat penting untuk
meningkatkan kepuasan siswa dengan proses pembelajaran dengan

HENA DIAN AYU 3


upaya minimal dari pihak siswa (Ku et al., 2013). Fitur Blackboard
yang memfasilitasi kolaborasi produktif termasuk obrolan, email
atau forum. Selain itu, Blackboard dapat menyediakan fitur
pelacakan penting bagi pemimpin kelompok dalam lingkungan
kolaborasi yang tersinkron untuk memantau kontribusi individu
untuk kerja kelompok, serta memberikan catatan partisipasi
permanen untuk membantu menilai kemajuan individu dan
kelompok dalam tugas kolaborasi (Hershey dan Wood, 2011).
Ulasan menunjukkan bahwa kolaborasi siswa dalam Blackboard
dapat meningkatkan motivasi mereka dengan menambahkan tingkat
dukungan yang diperlukan bagi siswa untuk mengalami rasa
keterhubungan dan kompetensi.
Media jejaring Sosial, Secara umum, beberapa studi sebelumnya
menganggap bahwa penggunaan media jejaring sosial sebagai
media yang memadai bagi siswa untuk membangun koneksi antara
peserta didik, dan antara mereka dan instruktur secara efektif
(Cheung, Chiu, & Lee, 2011; Greenhow & Lewin, 2016). Pada saat
yang sama, media jejaring sosial dapat memfasilitasi sharing
pengetahuan secara kolaboratif di antara anggota kelompok dengan
mendorong mereka berpartisipasi dalam proses penyelidikan
kolaboratif (Rambe 2012). Hal ini dapat membantu pengembangan
keterampilan komunikasi siswa untuk terlibat dalam proses
penalaran produktif dan pemikiran kreatif. Banyaknya penelitian
yang menggunakan media sosial tertentu untuk membantu sesi
kolaboratif, dapat diketahui bahwa alat yang paling banyak
digunakan untuk tujuan pembelajaran kolaboratif yaitu: Facebook,
Twitter, Skype, dan WhatsApp. Kirchner dan Razmerita (2015)
menyatakan bahwa penggunaaan Facebook, Skype, dan WhatsApp
dengan aplikasi Google lainnya dan alat LMS akan meningkatkan
kepuasan siswa dengan membantu mereka memahami tantangan
dalam kerja tim mereka dan saling memberikan umpan balik untuk
menjaga proses sharing dan diskusi. Selain itu, hubungan antara
fungsionalitas yang berbeda dari alat media sosial dapat secara
signifikan membantu interaksi antara anggota kelompok (Kurtz,
2014). Misalnya, fungsi jejaring sosial untuk sharing sumber belajar
dapat membantu siswa untuk bertukar pandangan dan pengetahuan
secara efektif, yang dengannya mereka cenderung terlibat dalam
perilaku belajar aktif (Al-Rahmi & Othman, 2013). Tinjauan studi
sebelumnya mengungkapkan peran media sosial untuk merangsang
diskusi dan sharing sumber belajar di antara siswa melalui fasilitas
media jejaring sosial dan mensintesis pengetahuan mereka yang
muncul dalam kaitannya dengan orang lain (Lampe et al., 2011).
Kesimpulan Tinjauan literatur mengungkapkan berbagai peluang muncul dari
penggunaan komputasi cloud yang berbeda.. Dari perspektif ini,
Google Apps berpotensi membantu proses pembelajaran kolaboratif
melalui evaluasi anggota kelompok tentang apa yang terjadi selama
diskusi. Hal ini dapat digunakan untuk memupuk koordinasi antar
anggota kelompok melalui presentasi kasus, berbagi ide, saling
memecahkan masalah, dan bermain peran. Pengalaman yang
muncul dari interaksi ini dapat membantu siswa mengidentifikasi

HENA DIAN AYU 4


dan memproses sumber informasi yang relevan, sehingga
menciptakan pengetahuan yang dapat dieksploitasi. Selain itu,
penelitian ini menemukan bahwa jenis layanan yang ditawarkan
oleh sebagian besar alat yang disinkronkan memiliki kemampuan
untuk melaksanakan pembelajaran berkelanjutan dengan
menyediakan elemen utama personalisasi, kustomisasi, dan
aksesibilitas dalam membimbing siswa untuk proses kolaboratif dan
mendapatkan kontrol lebih besar atas tugas tersebut. Semakin
sedikit pembatasan yang ditempatkan pada diskusi kelompok secara
real time dengan menggunakan fitur-fitur ini dapat menjadi alasan
bagi siswa untuk mengalami pembelajaran yang efektif ketika
mereka mengeksplorasi konsep-konsep spesifik dan memantau
kemajuan mereka sendiri, sehingga memberikan kontribusi positif
bagi pembelajaran kolaboratif yang diatur sendiri. Namun,
penggunaan Google Documents dan Presentasi tampaknya terbatas
pada kegiatan kolaboratif di luar kelas tertentu dan kegiatan refleksi,
di mana anggota kelompok diharapkan untuk mengirim komentar
pada karya anggota lain untuk diskusi dan penyempurnaan.
Terbatasnya penggunaan Zoho dan Baihui di negara-negara selain
Cina mungkin menyulitkan peneliti untuk melihat manfaat penuh
dari alat-alat ini dalam konteks kolaboratif lainnya. Ulasan ini
menunjukkan bahwa layanan kolaborasi yang ditawarkan oleh alat
jejaring sosial memiliki kemampuan untuk memecah hambatan
yang terkait dengan beragam pengalaman dan latar belakang siswa
yang timbul ketika menggunakan media LMS saja. LMS yang
didukung oleh situs media sosial akan membantu memberikan
jendela ke dalam proses berpikir siswa dengan merangsang interaksi
sosial di antara mereka, terutama ketika berkolaborasi untuk
memecahkan masalah yang tidak jelas. Ini terjadi, karena ketika
kriteria komunikasi bebas diberlakukan antara siswa untuk tugas
kolaborasi, mereka lebih cenderung membawa pilihan pendidikan
mereka yang berbeda untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan. Namun, siswa kadang-kadang dapat terganggu oleh
preferensi untuk beralih tugas dari pos tertentu atau kontak yang
terkait dengan halaman jejaring sosial mereka. Dapat dikatakan
bahwa penggunaan alat LMS oleh instruktur dari berbagai situs
media sosial dapat mengarah pada penerapan pendekatan yang lebih
terstandarisasi untuk memastikan pembelajaran kelompok sesuai
dengan derajat atau tingkat intensitas kolaborasi dan kurikulum
pengajaran. Selain itu, proses kolaboratif dalam lingkungan yang
disinkronkan mengharuskan siswa dilatih dan berlatih media ini
sebelum penggunaan yang sebenarnya. Panduan media LMS yang
tepat dibutuhkan untuk melibatkan siswa dalam praktik kolaboratif
dan mengarahkan interaksi mereka dalam memecahkan masalah
kompleks.

HENA DIAN AYU 5


1. Identitas Jurnal
Judul Four key challenges to the design of blended learning:
A systematic literature review
Nama Jurnal Educational Research Review
Halaman 1-18
Tahun June 2017
Author Ruth Boelens, Bram De Wever, Michiel Voet
Ghent University, Department of Educational Studies, Henri
Dunantlaan 2, 9000 Ghent, Belgium
Keyword Instructional activities, Blended learning, Educational
technology, Course design
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.edurev.2017.06.001
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana
mendesain lingkungan blended learning dalam menghadapi empat
tantangan utama, yaitu: (1) Bagaimana menggabungkan
fleksibilitas, (2) bagaimana merangsang interaksi, (3) bagaimana
memfasilitasi proses belajar siswa, dan (4) bagaimana membentuk
iklim belajar siswa yang efektif
Latar Belakang Karya terbaru tentang teknologi pendidikan umumnya
menggunakan konsep blended learning untuk merujuk pada
'Blended learning' kegiatan pengajaran tatap muka dan online yang
disengaja, dengan tujuan merangsang dan mendukung pembelajaran
(Boelens, Van Laer, De Wever, & Elen , 2015). Namun, gagasan
menggabungkan tatap muka dengan instruksi online dalam
pendidikan bukanlah hal baru (lihat mis. Garrison & Kanuka, 2004;
Graham, 2006; Osguthorpe & Graham, 2003). Alasan utama pada
penelitian berkelanjutan dalam desain blendeed learning yang
efektif, adalah bahwa kombinasi kegiatan pengajaran tatap muka
dan online telah menawarkan beberapa peluang baru untuk
mengoptimalkan pembelajaran (Spanjers et al., 2015). Seperti
penelitian sebelumnya, di mana teknologi digunakan untuk
merancang kegiatan pengajaran yang sebelumnya sulit diatur,
dimana teknologi digunakan untuk melakukan kegiatan yang ada,
tanpa perubahan fungsional dalam proses belajar mengajar (Ertmer,
1999; Puentedura, 2014; Voet & De Wever, 2016). Meskipun
perbedaan ini tentu berguna untuk desain blended learning, Namun
prinsip-prinsip desain konkret untuk membuat kegiatan
pembelajaran blended learning, sampai saat ini kurang dalam
literatur (Alonso, Lopez, Manrique, & Vi, 2005; Graham, Henrie, &
Gibbons, 2014). Akibatnya, peneliti dan praktisi masih berjuang
dengan penerapan blended learning (Moskal, Dziuban, & Hartman,
2013).

HENA DIAN AYU 6


Landasan teori Empat tantangan utama dalam mendesain pembelajaran blendeed
yang digunakan & learning, yaitu: menggabungkan fleksibilitas, merangsang interaksi,
hasil penelitian memfasilitasi proses belajar siswa, dan menumbuhkan iklim belajar
sebelumnya yang efektif.
Tantangan 1: bagaimana menggabungkan fleksibilitas?
Meskipun penelitian sebelumnya telah membahas beberapa manfaat
dari blended learning, seperti pedagogi yang lebih efektif (Graham,
2006; Joosten, Barth, Harness, & Weber, 2014), atau peningkatan
efektivitas (Graham, 2006), alasan yang sering dikutip untuk
menggabungkan. tatap muka dengan instruksi online meningkatkan
fleksibilitas bagi peserta didik (Bonk, Kim, & Zeng, 2006; Graham,
2006; Graham, Allen, & Ure, 2005). Peningkatan fleksibilitas ini
menyiratkan bahwa peserta didik memiliki beberapa tingkat kendali
atas waktu, tempat, jalur, atau kecepatan belajar (Horn & Staker,
2014). Komponen online dari blended learning dapat menawarkan
fleksibilitas dalam hal waktu, dengan menggunakan komunikasi
asinkron dan bukan sinkron, dan tempat, karena pembelajar dapat
berada di mana saja di dunia, dan tidak lagi harus berada di lokasi
yang sama di ruang kelas (Osguthorpe & Graham, 2003).
Selanjutnya, peserta didik mungkin memiliki kontrol dalam hal
jalur, dengan menentukan urutan di mana konten disediakan dalam
kuliah (Van Laer & Elen, 2016), dan kecepatan, dengan berkembang
dengan kecepatan mereka sendiri ketika mempelajari materi (Horn
& Staker , 2014). Akhirnya, jenis lain dari kontrol atau fleksibilitas
pelajar adalah bahwa pelajar dapat memiliki pilihan untuk memilih
antara pembelajaran tatap muka atau pembelajaran online atau
kegiatan instruksional (Owston et al., 2013). Singkatnya, pertanyaan
tentang bagaimana menggabungkan fleksibilitas, dan jumlah
fleksibilitas mana yang diinginkan, adalah tantangan pertama yang
muncul selama desain lingkungan belajar Blended learning.
Tantangan 2: bagaimana memfasilitasi interaksi?
Peningkatan fleksibilitas dalam hal waktu dan ruang dalam
lingkungan pembelajaran Blended learning pertama-tama mengarah
ke ruang psikologis dan komunikasi yang diperbesar, yang disebut
jarak transaksional (Moore, 1993). Dengan meningkatnya jarak
transaksional ini, interaksi sosial menjadi lebih sulit. Oleh karena
itu, tantangan kedua berkisar pada pertanyaan tentang bagaimana
memfasilitasi interaksi dalam lingkungan pembelajaran Blended
learning. Ketika jarak transaksional tinggi, instruktur tidak dapat
segera melihat ketika peserta didik menghadapi masalah, atau
mereka mungkin tidak memiliki ide yang baik tentang apa yang
sebenarnya dipelajari peserta didik (Chen et al., 2014). Akibatnya,
mungkin ada beberapa kesalahpahaman dalam input dari instruktur
dan dari peserta didik (Moore, 1993). Pendekatan blended learning,
bagaimanapun, dipandang sebagai pendekatan yang efektif untuk
memfasilitasi interaksi (Ausburn, 2004; Rovai, 2003), sebagai
komponen tatap muka menyatukan peserta didik (secara geografis)
dan memungkinkan komunikasi verbal dan non-verbal selama
bagian-bagian tertentu dari perkuliahan (Osguthorpe & Graham,
2003). Namun, seperti yang dilaporkan oleh pembelajar sendiri,

HENA DIAN AYU 7


komunikasi dua arah antara peserta didik dan instruktur juga penting
ketika online pada pembelajaran blendeed learning (Ausburn, 2004;
McDonald, 2014). Dengan kata lain, banyak pelajar menginginkan
fleksibilitas yang ditawarkan oleh metode blended learning, tetapi
tidak ingin kehilangan interaksi sosial dan sentuhan manusia yang
mereka alami dalam lingkungan tatap muka (Graham, 2006).
Tantangan 3: bagaimana memfasilitasi proses belajar siswa?
Karena peningkatan fleksibilitas dan otonomi peserta didik dalam
pembelajaran blendeed learning, pengaturan diri menjadi sebuah
faktor penting untuk kesuksesan (Barnard, Lan, To, Paton, & Lai,
2009; C.J.; Bonk et al., 2006; Van Laer & Elen, 2016). Khususnya,
beberapa keterampilan pengaturan diri diperlukan untuk partisipasi
yang berhasil dalam kursus pembelajaran Blended learning:
organisasi, disiplin, manajemen waktu, keterampilan dalam
menggunakan teknologi untuk mendukung pembelajaran untuk
melakukan kontrol atas proses pembelajaran mereka sendiri
(McDonald, 2014). Dengan demikian, beberapa peneliti telah
menemukan bahwa peningkatan fleksibilitas dan kontrol pelajar
terutama bermanfaat bagi siswa berprestasi atau siswa yang
memiliki keterampilan mengatur diri sendiri, sedangkan siswa
berprestasi rendah mungkin belum memilikinya keterampilan yang
dibutuhkan untuk pembelajaran mandiri (Owston et al., 2013; Tsai
& Shen, 2009). Oleh karena itu tantangan ketiga berfokus
padapertanyaan tentang bagaimana memfasilitasi proses belajar
siswa-siswa ini dalam lingkungan belajar Blended learning.
Tantangan 4. bagaimana menumbuhkan iklim belajar yang efektif?
Akhirnya, karena meningkatnya jarak transaksional dalam
lingkungan online, interaksi online sering dianggap kurang spontan
dibandingkan dengan komunikasi tatap muka (Osguthorpe &
Graham, 2003), yang dapat menyebabkan perasaan pelajar terisolasi
(McDonald, 2014). Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya
motivasi untuk belajar (Osguthorpe & Graham, 2003), yang pada
gilirannya dapat menyebabkan tingkat drop-out yang lebih tinggi
(Angelino, Williams, & Natvig, 2007). Oleh karena itu penting
untuk pembelajaran blendeed learning dalam menumbuhkan iklim
belajar yang memotivasi dan afektif (Mazer, Murphy, & Simonds,
2007), yang membuat siswa merasa aman, diterima dan dihargai,
dan mempromosikan sikap positif terhadap kursus dan instruktur
(Mazer et al., 2007; Tomlinson & Imbeau, 2013). Sehubungan
dengan ini, penelitian telah menunjukkan bahwa iklim belajar
afektif yang positif akan memfasilitasi proses pembelajaran
(Vermunt & Verloop, 1999), dan mengarah pada hasil siswa yang
positif seperti motivasi intrinsik, kreativitas, dan kesejahteraan
(Haerens, Vansteenkiste, Aelterman, & Van den Berghe, 2016).
Beberapa cara khusus di mana instruktur
dapat berkontribusi pada iklim belajar efektif yang positif adalah:
menunjukkan empati, memiliki rasa humor, menyediakan dorongan,
mengarahkan perhatian pada aspek tugas yang relevan, dan
memperhatikan perbedaan individu siswa (Mazer et al., 2007; Plax,
Kearney, McCroskey, & Richmond, 1986; Tomlinson & Imbeau,

HENA DIAN AYU 8


2013). Singkatnya, tantangan keempat berpusat
seputar pertanyaan tentang bagaimana menumbuhkan iklim belajar
yang efektif dalam pembelajaran blended learning.
Metode Artikel review (Studi literature)
Langkah-langkah/ Pertama, Mengidentifikasi studi yang sesuai pada database Web of
Strategi pencarian Science yang dilakukan pada Februari 2015, dengan menggunakan
literatur istilah pencarian berikut: (“blend* learning”or hybrid learning”
or“flipped learning”or “blend* course”or“hybrid course”or
“flipped course”or“flipped classroom*”or“e-learning) and (design
or model or guidelines). Selain itu, hasilnya didefinisikan oleh
domain penelitian (ilmu sosial) dan area penelitian (penelitian
pendidikan, psikologi, atau ilmu sosial topik lainnya), yang
menghasilkan 496 artikel.
Kedua, Mempertimbangkan literatur yang disarankan dalam
makalah oleh Halverson et al. (2012) tentang tren dalam blended
learning (75 artikel), dan dalam McGee and Reis's (2012) sintesis
praktik terbaik dari blended course design (69 artikel). Ini
membantu untuk memastikan bahwa semua studi yang relevan
diidentifikasi untuk menjawab pertanyaan penelitian (Arksey &
O'Malley, 2005). Akhirnya, setelah menghapus 17 artikel rangkap
pada database termasuk 623 judul dan abstrak dibuat di EndNote.
Pengumpulan Data Gambaran umum protokol pencarian literatur didasarkan pada
dan Kriteria rekomendasi PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic
kelayakan reviews and Meta-Analyses) (Moher, Liberati, Tetzlaff, Altman, &
The Grup PRISMA, 2010).
Kriteria inklusi dan eksklusi digunakan untuk memilih studi yang
sesuai dan menyimpan ulasan fokus (Green, Johnson, & Adams,
2006).
Kriteria inklusi:
(a) blended learning harus didefinisikan sebagai kombinasi tatap
muka dan online,
(b) studi harus fokus pada desain atau pengembangan yang
menggabungkan kegiatan belajar dalam konteks pendidikan, dan
mengambil sudut pandang pembelajaran,
(c) desain harus dilakukan di perkuliahan atau unit kuliah, dan
(d) studi harus menyajikan desain penelitian secara rinci dan jelas.
Kriteria eksklusi:
(a) studi yang berfokus pada desain satu alat spesifik atau tentang
aktivitas online,
(b) artikel konferensi pendek tanpa deskripsi desain yang jelas,
(c) studi di mana teks lengkapnya berada tidak tersedia,
(d) ulasan buku (bab), dan artikel yang diterbitkan dalam bahasa
selain bahasa Inggris.
Penulis pertama memilih studi yang relevan dengan menilai judul,
abstrak, dan / atau teks lengkap terhadap kriteria untuk dimasukkan
dan dikecualikan. Jika ragu, penulis kedua secara independen
menilai makalah ini. Setelah itu, kedua penulis membahas
kelayakan publikasi ini sampai konsensus tercapai. Dengan cara ini,
21 publikasi dipilih. Selanjutnya, relevansi 21 publikasi ini secara

HENA DIAN AYU 9


independen dinilai oleh pembuat kode independen.
Analisis Data Analisis data secara sistematis dikembangkan dalam dua fase.
Fase pertama, versi skema pengkodean dibuat berdasarkan
kerangka kerja konseptual dan pertanyaan penelitian yang
disebutkan di atas. Untuk menjawab pertanyaan penelitian 1,
Analisis dilakukan terhadap kegiatan pengajaran tatap muka dan
online yang saling terkait satu sama lain, dan apakah siswa mampu
melaksanakan desain blended learning.
Untuk menguji pertanyaan penelitian 2,
Kami menganalisis apakah dan bagaimana kegiatan untuk
meningkatkan interaksi dan pengembangan komunitas blendeed
learning.
Untuk pertanyaan penelitian 3 dan 4,
skema pengkodean didasarkan pada kerangka kerja teoritis Vermunt
dan Verloop (1999).
Fase kedua, skema pengkodean diterapkan pada artikel yang
dipilih, yang menghasilkan kode dan sub-kode. Kegiatan pengajaran
khusus yang mendasari empat kategori untuk memfasilitasi proses
belajar siswa, adalah diturunkan secara induktif. Setiap kode
didefinisikan dengan cara operasional untuk memastikan bahwa
pembuat kode lain dapat mengidentifikasi konten yang sesuai
dengan definisi peneliti (Miles & Huberman, 1994). Setelah skema
pengkodean selesai, makalah yang dimasukkan dianalisis
berdasarkan deskripsi instruksi kegiatan di lingkungan blendeed
learning.
Pertama, penulis pertama mengkode semua makalah.
Kedua, seorang pembuat kode independen memperoleh pelatihan
singkat oleh penulis pertama tentang tujuan penelitian, pemilihan
publikasi, dan realisasi skema pengkodean.
Pembuat kode dan penulis pertama kemudian mengkodekan satu
publikasi bersama dan secara terbuka mendiskusikan strategi
pengkodean.

Hasil Pertanyaan penelitian pertama bagaimana menguji fleksibilitas


dalam desain blended learning. Hasilnya mengungkapkan tiga
aspek penting yang terkait dengan pengembangan fleksibilitas
HENA DIAN AYU 10
dalam desain blended learning: (a)urutan online dan kegiatan tatap
muka, yaitu kapan kegiatan daring dan tatap muka direncanakan, (b)
proporsi pengajaran disampaikan secara online versus tatap muka,
dan (c) pelajar versus kontrol instruktur atas keputusan apakah akan
memperoleh atau menyelesaikan kegiatan online atau tatap muka.
Temuan yang luar biasa adalah bahwa hanya dalam sejumlah kecil
penelitian, peserta didik memiliki kendali atas desain blended
learning. Ini tidak sejalan dengan prediksi Bonk et al. (2006), yang
berpendapat bahwa, di masa depan, keputusan tentang jenis dan
format blended learning akan dibuat oleh peserta didik sendiri untuk
mengatasi masing-masing kebutuhan. Penjelasan yang mungkin
untuk penemuan ini adalah bahwa instruktur mungkin sering
menemukan bahwa peserta didik belum memiliki pengaturan diri
dan keterampilan pengarahan diri sendiri yang biasanya dikaitkan
dengan tingkat kontrol dan otonomi pelajar yang tinggi (Barnard et
al., 2009; Van Laer & Elen, 2016), seperti menentukan tujuan
pembelajaran, mengumpulkan informasi yang diperlukan, dan
menilai kesesuaian keterampilan yang baru dipelajari (Moore,
1973). Selanjutnya untuk mendapatkan lebih banyak wawasan
antara memberikan fleksibilitas maksimum dan otonomi bagi siswa
(dalam hal waktu, tempat, jalan, ruang, dan kontrol atas realisasi
Blended learning) di satu sisi, dan dengan hati-hati
mempertimbangkan perlunya struktur dan bimbingan siswa
(tertentu) di sisi lain.
Pertanyaan penelitian kedua, sedikit kurang dari setengah dari
artikel yang ditinjau secara eksplisit menyebutkan implementasi
strategi pengajaran untuk menumbuhkan interaksi dan merangsang
komunitas belajar. Temuan ini mengejutkan, karena peserta didik
sendiri berpendapat bahwa desain blended learning mendorong
keakraban dan interaksi dan dapat meningkatkan hasil dalam proses
pembelajaran (Joosten et al., 2014; Voegele, 2014). Sebagian besar
artikel menyatakan bahwa interaksi sosial dapat terorganisir pada
sesi tatap muka siswa untuk bertemu dengan siswa lain dan
instruktur. khususnya artikel dalam pendidikan tinggi dengan
sejumlah besar aktivitas online menggabungkan pengantar
pertemuan tersebut. Ini tampaknya menjadi pendekatan yang
menjanjikan untuk merangsang interaksi, seperti penelitian
sebelumnya dalam domain jarak pendidikan menunjukkan bahwa
pertemuan tatap muka pengantar dapat memfasilitasi pembentukan
kelompok belajar informal, dan membantu siswa untuk menjadi
bagian dari kehidupan sosial sekolah (Rovai, 2003; Workman &
Stenard, 1996).
Pertanyaan penelitian ketiga, Desain blended learning yang
dijelaskan oleh artikel pada umumnya memfasilitasi proses belajar
siswa. Yang paling penting, bahwa tatap muka dan komponen online
dari desain blended learning umumnya digunakan untuk tujuan yang
berbeda. Di satu sisi, pengantar pertemuan tatap muka sering
dilaksanakan untuk memberikan siswa dengan informasi organisasi,
untuk mengklarifikasi harapan, dan untuk menjelaskan teknologi
yang digunakan. Penggunaan pertemuan tatap muka ini juga

HENA DIAN AYU 11


ditekankan dalam penelitian sebelumnya, menemukan bahwa
peserta didik menghargai sesi orientasi awal untuk memperkenalkan
kuliah dan membiasakan mereka dengan teknologi dan media
(Rovai, 2003; Workman & Stenard, 1996). Di sisi lain, pemantauan
proses belajar siswa sering dilakukan
melalui pembelajaran online. Dalam kasus seperti itu, sistem
manajemen pembelajaran tidak hanya digunakan untuk melacak
peserta didik kemajuan dan kehadiran, tetapi juga untuk menerapkan
penilaian teman sebaya dan guru formatif. Sejalan dengan ini,
penelitian sebelumnya juga mendukung penggunaan penilaian
online reguler (Spanjers et al., 2015). Penilaian semacam itu
memberi para pelajar informasi tentang proses belajar mereka,
membantu mereka untuk lebih mengingat konten, dan menyebarkan
pekerjaan mereka, sambil menjadi instruktur diinformasikan tentang
proses pembelajaran siswa mereka dan batu sandungan dalam
kursus (Spanjers et al., 2015). Sebagai perbandingan, komponen
tatap muka umumnya memotivasi dengan sendirinya, dengan
menyatukan peserta didik dan memastikan interaksi spontan
(Osguthorpe & Graham, 2003).
Kesimpulan Artikel ini menyajikan kerangka kerja yang didasarkan pada empat
tantangan utama untuk mendesain blended learning:
menggabungkan fleksibilitas, merangsang interaksi, memfasilitasi
proses belajar siswa, dan menumbuhkan iklim belajar yang efektif.
Kerangka kerja ini dapat membantu peneliti dan praktisi untuk (1)
mendesain lingkungan pembelajaran blended baru, (2)
berkomunikasi tentang dan berbagi desain pembelajaran Blended
learning, dan (3) mengevaluasi praktik pembelajaran Blended
learning yang ada. Selain itu, penyelidikan penelitian sebelumnya
tentang blended learning, berdasarkan kerangka kerja,
mengungkapkan beberapa poin perhatian untuk penelitian masa
depan. Pertama, hasil menunjukkan bahwa, ketika merancang
blended learning, lebih banyak perhatian harus diberikan untuk
meningkatkan kontrol pelajar, merangsang interaksi sosial, dan
menumbuhkan iklim belajar yang efektif. Topik-topik penelitian
yang merupakan inti dari usaha ini termasuk: (a) diskusi antara
menggabungkan kontrol pelajar, dan memfasilitasi serta menyusun
proses belajar siswa, dan (b) diskusi antara meningkatnya jumlah
siswa dalam kuliah pembelajaran blended, dan kebutuhan untuk (1)
pembelajaran yang dipersonalisasi dan instruksi yang berbeda di
satu sisi, dan (2) pembelajaran yang efektif dan aman dengan banyak
peluang untuk interaksi sosial. Akhirnya, penelitian di masa depan
harus memberikan informasi lebih lanjut tentang desain konkret dari
lingkungan belajar blendeed (Grahamet al., 2014), serta alasan
untuk memilih aktivitas online atau tatap muka tertentu.

HENA DIAN AYU 12


1. Identitas Jurnal
Judul Blended learning effectiveness: the relationship between
student characteristics, design features and outcomes

Nama Jurnal International Journal of Educational Technology in Higher


Education
Halaman 1-20
Tahun 2017
Author Mugenyi Justice Kintu1,2, Chang Zhu2 and Edmond Kagambe1
1
Mountains of the Moon University, P.O. Box 837, Fort
Portal, Uganda
2
Vrije Universiteit Brussel, Pleinlaan 2, Brussels 1050, Ixelles,
Belgium
Keyword Blended learning effectiveness, Learner characteristics, Design
features, Learning outcomes and significant predictors
DOI http://dx.doi.org/10.1186/s41239-017-0043-4
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Menguji efektivitas blended learning dengan mempertimbangkan
karakteristik / latar belakang pelajar, elemen desain pembelajaran
blended dan hasil belajar serta bagaimana mengetahui prediktor
signifikan dari efektivitas blended learning.
Latar Belakang Lingkungan belajar dan mengajar merangkul sejumlah inovasi dan
beberapa di antaranya melibatkan penggunaan teknologi melalui
blended learning. Pendekatan pedagogis yang inovatif ini telah
dianut dengan cepat meskipun melalui proses. Pengenalan Blended
learning blended learning (kombinasi dari tatap muka dan online dan
belajar) inisiatif adalah bagian dari inovasi ini tetapi serapannya,
terutama di negara berkembang menghadapi tantangan untuk itu
untuk menjadi inovasi yang efektif dalam proses belajar mengajar.
Efektivitas pembelajaran blended memiliki sejumlah faktor
mendasar yang menimbulkan tantangan. Satu tantangan besar
adalah tentang bagaimana pengguna dapat berhasil menggunakan
teknologi dan memastikan komitmen peserta mengingat
karakteristik pembelajar individual dan perjumpaan dengan
teknologi (Hofmann, 2014). Hofmann menambahkan bahwa
pengguna yang mengalami kesulitan dengan teknologi dapat
berakibat meninggalkan pembelajaran dan akhirnya kegagalan
aplikasi teknologi. Dalam sebuah laporan oleh Oxford Group
(2013), beberapa peserta didik (16%) memiliki sikap negatif
terhadap blended learning sedangkan 26% khawatir bahwa peserta
didik tidak akan menyelesaikan studi dalam blended learning.
Peserta didik adalah mitra penting dalam setiap proses pembelajaran
dan oleh karena itu, latar belakang dan karakteristik mereka

HENA DIAN AYU 13


memengaruhi kemampuan mereka untuk melanjutkan pembelajaran
secara efektif dan dengan desain blended learning.
Landasan teori Kenney dan Newcombe (2011) melakukan perbandingan untuk
yang digunakan & menetapkan efektivitas dalam pandangan nilai dan menemukan
hasil penelitian bahwa blended learning memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi
sebelumnya daripada lingkungan belajar yang tidak menggunakan blended.
Garrison dan Kanuka (2004) meneliti potensi transformatif dari
blended learning dan melaporkan peningkatan tingkat penyelesaian
kuliah, peningkatan retensi dan peningkatan kepuasan siswa.
Perbandingan antara lingkungan pembelajaran blended telah
dilakukan untuk menetapkan perbedaan antara prestasi akademik,
dispersi kelas dan perbedaan kinerja gender dan tidak ada perbedaan
signifikan yang ditemukan antara kelompok (Demirkol & Kazu,
2014).
Efektivitas pembelajaran blended tergantung pada banyak faktor
lain dan di antaranya karakteristik siswa, fitur desain dan hasil
belajar. Penelitian menunjukkan bahwa kegagalan peserta didik
untuk melanjutkan pendidikan online mereka dalam beberapa kasus
disebabkan oleh dukungan keluarga atau peningkatan beban kerja
yang menyebabkan putus sekolah (Park & Choi, 2009) serta sedikit
waktu untuk belajar. Selain itu, ini tergantung pada interaksi pelajar
dengan instruktur karena kegagalan untuk melanjutkan
pembelajaran online dikaitkan dengan ini.
Studi oleh Leidner, Jarvenpaa, Dillon dan Gunawardena
sebagaimana dikutip dalam Selim (2007) telah mencatat tiga faktor
utama yang mempengaruhi elearning dan memadukan efektivitas
belajar sebagai karakteristik instruktur, teknologi, dan karakteristik
siswa. Heinich, Molenda, Russell, dan Smaldino (2001)
menunjukkan perlunya memeriksa karakteristik pelajar untuk
penggunaan teknologi pengajaran yang efektif dan menunjukkan
bahwa karakteristik pengguna berdampak pada niat perilaku untuk
menggunakan teknologi. Penelitian telah berurusan dengan
karakteristik pelajar yang berkontribusi pada hasil kinerja pelajar.
Mereka telah berurusan dengan kecerdasan emosional, ketahanan,
tipe kepribadian dan kesuksesan dalam konteks pembelajaran online
(Berenson, Boyles, & Weaver, 2008). Lin dan Vassar, (2009)
menunjukkan bahwa keberhasilan pelajar tergantung pada
kemampuan untuk mengatasi kesulitan teknis serta keterampilan
teknis dalam operasi komputer dan navigasi internet.
Penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya interaksi pelajar
menyebabkan kegagalan dan akhirnya drop-out dalam kuliah online
(Willging & Johnson, 2009) dan kurangnya keterhubungan pelajar
dicatat sebagai faktor internal yang menyebabkan drop-out pelajar
dalam kursus online (Zielinski, 2000) . Diketahui bahwa peserta
didik mungkin tidak melanjutkan dalam blended learning jika
mereka tidak dapat berteman sehingga terputus dan merasakan
terisolasi selama pengalaman belajar blended (Willging & Johnson,
2009).
Interaksi peserta didik dengan guru dan teman sebaya dapat
membuat blended learning menjadi efektif karena

HENA DIAN AYU 14


ketidakhadirannya membuat siswa menarik diri (Astleitner, 2000).
Loukis, Georgious dan Pazalo (2007) mencatat bahwa pengukuran
pembelajar terhadap kualitas, keandalan, dan kemudahan
penggunaan suatu sistem mengarah pada efisiensi pembelajaran dan
dapat demikian dalam blended learning. Keberhasilan pembelajar
dalam blended learning mungkin secara substansial dipengaruhi
oleh fungsionalitas sistem (Pituch & Lee, 2006) dan dapat
menyebabkan kegagalan inisiatif pembelajaran tersebut (Shrain,
2012). Oleh karena itu penting untuk memeriksa kualitas teknologi
untuk memastikan efektivitas pembelajaran dalam blended learning.
Tselios, Daskalakis, dan Papadopoulou (2011) menyelidiki persepsi
pelajar setelah penggunaan sistem manajemen pembelajaran dan
menemukan bahwa penggunaan sistem yang sebenarnya
menentukan kegunaan di antara pengguna.
Sekali lagi dicatat bahwa sistem dengan waktu respon yang buruk
tidak dapat dianggap berguna untuk e-learning dan blended learning
terutama dalam kasus bandwidth yang terbatas (Anderson, 2004)
Metode Desain Penelitian, Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif
dengan statistik deskriptif digunakan untuk karakteristik siswa dan
fitur fitur data. uji-t pada variabel usia dan gender untuk menentukan
perbedaan kinerja dalam efektivitas pembelajaran blendeed dan
regresi untuk prediktor efektivitas pembelajaran blendeed. Studi ini
didasarkan pada percobaan di mana peserta didik berpartisipasi
selama studi mereka menggunakan sesi tatap muka dan sesi on-line
dari desain pembelajaran blended. Variabel diuji melibatkan studi
tatap muka di awal semester oleh pengajaran dan pembelajaran
online di paruh kedua semester. Bagian terakhir dari semester adalah
untuk pekerjaan tatap muka untuk meninjau ulang yang dilakukan
selama sesi online dan ujian semester akhir.
Objek penelitian, Cluster sampling digunakan untuk memilih total
238 dari seluruh populasi mahasiswa di universitas. Jurusan
Pendidikan (n=70), Studi Bisnis dan Manajemen (n=133), Sains dan
Teknologi Terapan (n=18), Pascasarjana (n =17). Populasi
penelitian terdiri dari 139 siswa laki-laki mewakili 58,4% dan 99
perempuan mewakili 41,6% dengan usia rata-rata 24 tahun.
Langkah-langkah Populasi, siswa tahun kedua dilibatkan penelitian karena mereka
telah diperkenalkan dasar TIK selama tahun pertama studi mereka.
Siswa tahun ketiga digunakan dari departemen teknologi di Sekolah
Sains dan Teknologi Terapan karena sebagian besar tahun dua telah
banyak menguasai aspek praktis yang dapat digunakan untuk
bagian pembelajaran online. Dari Pascasarjana siswa tahun pertama
dan kedua dipilih karena peserta didik menghadiri sesi tatap muka
sebelum mereka diberikan modul kertas untuk belajar sistem daring.
Pengumpulan Data Hasil akhir semester digunakan untuk mengukur kinerja pelajar.
Kuesioner pembelajaran mandiri yang diatur sendiri (Barnard, Lan,
To, Paton, & Lai, 2009). Inventaris motivasi intrinsik (Deci & Ryan,
1982) diterapkan untuk mengukur konstruk pada pengaturan diri
dalam karakteristik siswa dan motivasi dalam konstruk hasil belajar.
Instrumen yang dikembangkan sendiri untuk sikap, kompetensi
komputer, manajemen beban kerja, dukungan sosial dan keluarga,

HENA DIAN AYU 15


kepuasan, konstruksi pengetahuan, kualitas teknologi, interaksi, alat
dan sumber daya sistem manajemen pembelajaran dan dukungan
tatap muka.
Analisis Data Pertama, Uji Shapiro-Wilk dilakukan untuk menguji normalitas data
agar memenuhi syarat untuk tes parametrik. Hasil uji normalitas
data kami sebelum uji-t menghasilkan tingkat signifikan (Pria =
0,003, wanita = .000) sehingga melanggar asumsi normalitas. Oleh
karena itu digunakan hasil skewness dan curtosis yang antara .01.0
dan +1.0 dan menganggap distribusi cukup normal untuk memenuhi
syarat data untuk uji parametrik (Pallant, 2010). Uji-t sampel
independen dilakukan untuk mengetahui perbedaan kinerja pria dan
wanita dalam menjelaskan karakteristik gender dalam efektivitas
pembelajaran Blended learning. ANOVA satu arah antara subjek
dilakukan untuk menentukan perbedaan kinerja antara kelompok
umur. Akhirnya, analisis regresi berganda dilakukan antara variabel
siswa dan elemen desain dengan hasil belajar untuk menentukan
prediktor signifikan untuk efektivitas pembelajaran Blended
learning.
Hasil Karakteristik siswa, fitur desain pembelajaran Blended
learning dan hasil belajar (RQ1), Ditemukan bahwa peserta didik
laki-laki berkinerja lebih baik daripada rekan-rekan perempuan
mereka, dengan perbedaan yang signifikan dalam kinerja. Hasil
menunjukkan bahwa pengaturan diri pelajar cukup baik pada
penetapan tujuan, penataan lingkungan, strategi tugas, manajemen
waktu, pencarian bantuan dan evaluasi diri di antara peserta didik.
Paling tidak dalam penilaian adalah strategi tugas di 67,7% dan yang
tertinggi adalah penataan lingkungan pelajar di 76,3%. Sikap pelajar
terhadap lingkungan belajar Blended learning adalah 76% dalam
sub-skala otonomi pelajar, kualitas bahan pengajaran, struktur
kuliah, kuliah tatap muka dan interaksi. Nilai rendah adalah sikap
terhadap struktur kuliah (66%) dan nilai baik pada kuliah tatap muka
(82%). Dapat dilihat bahwa peserta didik terampil dalam aplikasi
word 91%, email 63,5%, spreadsheet 68%, browser web 70,2% dan
alat html 45,4%. Tingkat kepercayaan penggunaan komputer adalah
75,3% dan secara khusus merasa sangat percaya diri ketika bekerja
dengan komputer (85,7%). Tingkat dukungan keluarga dan sosial
untuk peserta didik selama pengalaman blended learning masing-
masing adalah 60,5 dan 75%.
Persentase yang lebih tinggi (85,3%) dilaporkan pada peserta didik
yang mendapatkan dukungan dari keluarga mengenai penyediaan
hal-hal penting untuk pembelajaran seperti biaya kuliah. Sebagian
besar pelajar menghabiskan dua jam untuk belajar sementara di
rumah (35,3%) diikuti oleh satu jam (28,2%) sementara hanya 9,7%
menghabiskan lebih dari tiga jam untuk belajar di rumah. Teman
sebaya menunjukkan perhatian besar selama proses blended
learning (81%) dan pengalaman mereka dihargai oleh masyarakat
(66%).
Fitur desain pembelajaran Blended learning, Kegunaan sistem
online, alat dan sumber daya di bawah rata-rata. Namun, peserta
didik menjadi terampil pada sistem manajemen pembelajaran (79%)

HENA DIAN AYU 16


dan mudah untuk menemukan materi kuliah, alat, dan sumber daya
yang dibutuhkan seperti karya kuliah, berita, diskusi, dan bahan
jurnal. Mereka secara efektif menggunakan alat komunikasi (60%)
dan bekerja dengan teman sebaya dengan membuat posting (57%).
Mereka melaporkan bahwa sumber daya online terorganisir dengan
baik, ramah pengguna dan mudah diakses (71%) serta terstruktur
dengan baik dengan cara yang jelas dan mudah dipahami (72%).
Oleh karena itu mereka merekomendasikan penggunaan sumber
daya online untuk perkuliahan di masa depan (78%) karena mereka
puas dengan mereka (64,3%). Secara keseluruhan, sumber daya
online baik (67,2%) dan berguna sebagai sumber belajar (80%).
Kegunaan / kepuasan yang dirasakan peserta didik dengan sistem
online, alat, dan sumber daya sebesar 81% karena alat LMS
membantu mereka untuk berkomunikasi, bekerja dengan teman
sebaya dan merefleksikan pembelajaran mereka (74%). Mereka
melaporkan bahwa menggunakan moodle membantu mereka
mempelajari konsep, informasi, dan mendapatkan keterampilan
baru (85,3%) serta berbagi apa yang mereka ketahui atau pelajari
(76,4%). Mereka menikmati kuliah (78%) dan meningkatkan
keterampilan mereka dengan teknologi (89%).
Prediktor signifikan dari efektivitas pembelajaran Blended
learning, Analisis regresi berganda standar dilakukan dengan
mengambil karakteristik pelajar / latar belakang dan fitur desain
sebagai variabel prediktor dan hasil belajar sebagai variabel kriteria.
Hasil menunjukkan bahwa fitur desain (kualitas teknologi dan alat
online dan sumber daya), dan karakteristik pelajar (sikap terhadap
blended learning, self-regulation) adalah prediktor signifikan
kepuasan pelajar dalam blended learning. Ini berarti bahwa
teknologi yang baik dengan fitur-fitur yang terlibat dan sikap positif
pelajar dengan kapasitas untuk melakukan blended learning dengan
dorongan diri menyebabkan kepuasan mereka. Fitur desain (kualitas
teknologi, interaksi) dan karakteristik pelajar (pengaturan diri dan
dukungan sosial), ditemukan sebagai prediktor signifikan dari
konstruksi pengetahuan pelajar. Ini menyiratkan bahwa kapasitas
peserta didik untuk melanjutkan pekerjaan mereka sendiri yang
didukung oleh teman sebaya dan interaksi tingkat tinggi
menggunakan teknologi berkualitas membuat mereka membangun
ide-ide mereka sendiri dalam blended learning. Fitur desain (kualitas
teknologi, alat dan sumber daya online serta interaksi pelajar) dan
karakteristik pelajar (pengaturan mandiri).
Kesimpulan Kegiatan blended learning yang efektif diperlukan dalam
melakukan pendekatan pedagogis yang inovatif melalui penggunaan
teknologi dalam pengajaran dan pembelajaran. Pemeriksaan
karakteristik / latar belakang pelajar, fitur desain dan hasil
pembelajaran sebagai faktor untuk efektivitas dapat membantu
menginformasikan desain pembelajaran yang efektif yang
melibatkan sesi tatap muka dan online. Sebagian besar karakteristik
siswa dan fitur desain blended learning yang dibahas
dalam penelitian ini adalah faktor penting untuk efektivitas
pembelajaran blended. Tak satu pun dari variabel independen

HENA DIAN AYU 17


diidentifikasi dapat memprediksi signifikan kinerja siswa.
Kesenjangan ini terbuka untuk penyelidikan lebih lanjut untuk
memahami apakah mereka dapat menjadi variabel yang signifikan
dari efektivitas pembelajaran blended learning dalam pengaturan
pembelajaran yang sama atau berbeda. Dari penelitian ini, peserta
didik memanifestasikan potensi tinggi untuk melakukan blended
learning lebih khusus terkait dengan pengaturan diri pelajar yang
diperlihatkan. Blended learning dimaksudkan untuk meningkatkan
tingkat konstruksi pengetahuan peserta didik untuk menciptakan
keterampilan analitis di dalamnya. Kemampuan pelajar untuk
menilai dan mengevaluasi secara kritis sumber.

HENA DIAN AYU 18


1. Identitas Jurnal
Judul Blended learning: A dangerous idea?
Nama Jurnal Internet and Higher Education 18
Halaman 15-23
Tahun 2013
Author Patsy Moskala ,Charles Dziubanaa, Joel Hartmanb
a
University of Central Florida, 4000 Central Florida Blvd.,
Bldg. 2, Lib 107, Orlando, FL 32816-2810, United States
b
University of Central Florida, 4000 Central Florida Blvd.,
Millican Hall, Rm 338, Orlando, FL 32816-2810, United States
Keyword Blended learning, Student success, Student rating of
instruction, Student agency, Institutional support
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.iheduc.2012.12.001
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Memberikan paparan data tentang pentingnya pengembangan
fakultas, institusi dan struktur pendukung lainnya yang diperlukan
untuk keberhasilan pelaksanaan Blended Learning.
Latar Belakang Blended learning adalah ide yang berbahaya (Seife, 2000) karena
menantang status quo, menjaga integritas akademi tradisional
sambil secara bersamaan mendorong adopsi platform seperti
pembelajaran online, teknologi mobile, dan sumber daya yang ada
di cloud. Menurut sebagian besar standar, blended learning adalah
mekanisme yang menjembatani yang lama dan yang baru dengan
mempengaruhi kebijakan dan inisiatif strategis dalam pendidikan
tinggi di hampir setiap tingkat.
Ketika program pendidikan tinggi online mulai tumbuh dengan
cepat, mereka menciptakan ketegangan yang dinamis, melahirkan
ambivalensi di beberapa sektor pendidikan tinggi. Efek samping
positif dari ketegangan itu termasuk lingkungan belajar baru yang
menawarkan potensi untuk memaksimalkan efektivitas pengajaran
dan pembelajaran kontemporer. Gerakan itu mengambil berbagai
label seperti mode Blended, hybrid, dan kombinasi, tetapi blended
learning muncul sebagai label dominan untuk platform pendidikan
yang mewakili beberapa kombinasi pembelajaran tatap muka dan
online. Berapa sebenarnya kombinasi yang paling ideal antara tatap
muka dan online pada blended learning (60–40, 70–30, 50–
50)? Ada kemungkinan kombinasi hampir tak terbatas, masing-
masing tidak lebih atau kurang valid dari yang lain. Pada akhirnya,
musyawarah ini berusaha mengidentifikasi ambang batas yang
didefinisikan sebagai Blended pembelajaran (Chang, Dziuban,
Hynes, & Olson, 1996).
Pada akhirnya, blended learning telah menjadi proses yang
berkembang, responsif, dan dinamis yang dalam banyak hal bersifat
organik, menentang semua upaya definisi universal. Fleksibilitasnya

HENA DIAN AYU 19


memungkinkan lembaga individu dan kelompok kolaboratif untuk
menyesuaikan konsep untuk memaksimalkan potensinya sambil
bersikap responsif terhadap generasi baru siswa. Blended learning
dapat meningkatkan akses dalam lingkup sumber daya yang ada
sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas. Dalam banyak
kasus, ini dapat meningkatkan pengembalian investasi. Selain itu,
dapat meningkatkan peluang bagi anggota fakultas untuk
merancang lingkungan belajar mengajar yang lebih efektif.
Pendekatan ini memiliki potensi untuk mengembangkan populasi
siswa yang jauh lebih reflektif dan memperluas pembelajaran jauh
melampaui batas ruang kelas tradisional.
Landasan teori Senge (1990) mendefinisikan model mental sebagai gambaran yang
yang digunakan & dipegang secara internal tentang bagaimana dunia bekerja dalam
hasil penelitian pengertian umum yang sangat dipengaruhi oleh konteks di mana
sebelumnya seseorang beroperasi. Oleh karena itu, model mental blended
learning jauh lebih konseptual daripada diagram kerja formal
tentang bagaimana hal itu harus dicapai. Jarred Diamond (1997),
dalam mendokumentasikan terobosan monumental untuk
masyarakat, berbicara kepada model mental tanpa benar-benar
mengidentifikasi mereka seperti itu. Dia mendokumentasikan
bahwa ide menyebar dan diadopsi dalam dua cara: adopsi cetak biru
atau transmisi ide. Adopsi cetak biru berarti bahwa satu budaya
merangkum metode yang lain persis seperti yang ditemukan,
misalnya, bahasa tertulis. Adopsi cetak biru untuk blended learning
akan berarti bahwa satu universitas menerapkan metode persis
seperti yang diamati di institusi lain. Ini adalah peristiwa yang
sangat langka di pendidikan tinggi karena konteks kelembagaan
sangat bervariasi. Transmisi ide terjadi ketika suatu budaya
mengamati sebuah fenomena di masyarakat lain dan memutuskan
untuk mengadopsi gagasan itu tetapi mengembangkan metode
sendiri untuk mengimplementasikannya. Misalnya, suatu budaya
mengamati bahasa tertulis yang digunakan oleh tetangganya
menemukan ide yang menarik tetapi mengembangkan simbol dan
metode tertulisnya sendiri. Blended learning berkembang di
berbagai lembaga sesuai dengan karakteristik unik mereka yang
berkontribusi pada keputusan kebijakan yang masuk akal bagi
mereka melalui model transmisi ide. Dengan evolusi ini, formulasi
blended learning berasal dari banyak entitas yang memiliki
tanggung jawab untuk mendidik dan melatih anggota mereka.
Model pembelajaran Blended dapat ditemukan di pendidikan tinggi
(Kaur & Ahmed, 2005), industri (Percakapan Eksekutif, 2010),
pendidikan K-12 (Keller, Ehman, & Bonk, 2004), militer (Bonk,
Olson, Wisher, & Orvis, 2002) dan di banyak sektor lainnya. Ada
formulasi berdasarkan infrastruktur organisasi (Khan, 2001) yang
berkaitan dengan hal-hal seperti waktu pengembangan, kombinasi
program, faktor biaya, berbagai lokasi dan lembaga, dan
pertimbangan lanskap. Pendekatan lingkungan belajar (Norberg,
Dziuban, & Moskal, 2011) menumbuhkan masalah seperti interaksi,
konstruktivisme, komunikasi, komunitas pembelajaran,
peningkatan pembelajaran, dukungan kognisi dan kinerja, serta

HENA DIAN AYU 20


sinkronisitas. Nilai tambah konstruk (Graham, 2006) berurusan
dengan elemen-elemen seperti peningkatan, keberadaan, akses,
penggunaan kembali, transformasi, penggantian dan penekanan
proses. Graham (2006) menggunakan pendekatan ini untuk
menentukan Blended yang memungkinkan yang meningkatkan
akses, meningkatkan Blended yang secara bertahap meningkatkan
pedagogi, dan mentransformasikan Blended yang menciptakan
perubahan paradigma mendasar. Mayadas dan Picciano (2007)
mengambil gagasan ini selangkah lebih maju dengan istilah
“lokalitas” sebagai gabungan dari lokasi, kuliah, dan modalitas
kuliah (Blended, online, tatap muka, dan penangkapan kuliah) yang
memberi siswa kesempatan untuk memanfaatkan sendiri dari
kesempatan pendidikan yang sebanding apakah mereka berada di
kampus, dekat kampus atau jauh dari kampus dengan memadukan
unsur-unsur tersebut. Semua pendekatan ini didefinisikan dalam
beberapa hal tetapi berbeda dalam penekanannya. Sebagian besar
dari mereka menyatakan bahwa blended learning menawarkan
potensi untuk meningkatkan cara peneliti menangani konten,
interaksi sosial, refleksi, pemikiran tingkat tinggi dan pemecahan
masalah, pembelajaran kolaboratif, dan penilaian yang lebih otentik.
Hasil Operasionalisasi blended learning, Dengan begitu banyak model
pembelajaran blended yang ada, mana yang paling efektif, atau
paling tepat untuk dipilih lembaga tertentu? Jawabannya mungkin
tampak mengejutkan, atau setidaknya berlCloudan dengan intuisi:
tidak ada model terbaik secara absolut. Sebaliknya, satu set variabel
institusional telah diterima (Stacey & Gerbic, 2008) sebagai faktor
penentu keberhasilan untuk blended learning dan inisiatif online
penuh. Variabel-variabel ini diambil dari institusi yang telah
mencapai kesuksesan di lingkungan online selama lebih dari satu
dekade latihan. Inovasi berperan dalam budaya masing-masing
lembaga dan oleh karena itu harus disesuaikan dengan dinamika
lembaga. Tidak ada pendekatan yang dijamin akan berhasil, juga
tidak ada kesuksesan yang datang dengan cepat, melainkan dicapai
melalui upaya berkelanjutan selama rentang beberapa tahun.
Tujuan dan sasaran kelembagaan, Sukses adalah pencapaian
tujuan. Agar sebuah institusi berhasil dalam blended learning, ia
harus memiliki rasa tujuan dan hasil apa yang ingin dicapai. Ini bisa
berupa tujuan institusional, tujuan pencapaian, atau tujuan siswa dan
lebih disukai kombinasi dari ketiganya. Sasaran yang berpusat pada
lembaga mungkin mencakup penggunaan sumber daya ruang kelas
yang lebih efisien, atau memperluas jangkauan kampus. Tujuan
berorientasi fakultas dapat mencakup pengajaran yang ditingkatkan
melalui pengembangan fakultas dan adopsi praktik pengajaran yang
berpusat pada siswa dan inovatif. Contoh tujuan siswa adalah
peningkatan kenyamanan dan fleksibilitas, akses yang diperluas,
keberhasilan akademik siswa yang lebih besar, atau peningkatan
literasi informasi.
Strategi pembelajaran Blended awal mungkin terdiri dari jawaban
atas serangkaian pertanyaan seperti ini:
1. Mengapa institusi harus terlibat dalam blended learning? Apa
HENA DIAN AYU 21
tujuan kami, dan hasil apa yang kami harapkan untuk capai, baik
awalnya maupun jangka panjang?
2. Manfaat siswa apa yang peneliti cari — peningkatan
keberhasilan, peningkatan kegigihan, perpendek waktu menjadi
gelar, dll.?
3. Kursus atau program apa yang akan kami tawarkan dalam format
Blended, dan mengapa?
4. Bagaimana peneliti akan melibatkan dan mendukung fakultas
peneliti untuk membuat mereka sukses?
5. Bagaimana peneliti akan menggelar blended learning di seluruh
institusi? Di mana peneliti mulai?
6. Tingkat investasi apa yang kami siapkan dan pengembalian apa
yang kami harapkan?
Kepuasan dan prestasi tampaknya lebih tinggi dalam kursus
Blended dibandingkan dengan kursus tatap muka tradisional dan
sepenuhnya online.” Sejumlah besar bukti mendukung pendapat
ini (Artinya , Toyama, Murphy, Bakia, & Jones, 2009) dan sesuai
dengan hampir dua dekade penelitian sampel besar pada kepuasan
siswa, keberhasilan dan penarikan dalam kursus Blended di
University of Central Florida. Temuan penting pertama
mendokumentasikan rasa agensi yang tumbuh dalam populasi
siswa, menemukan mereka menggunakan apa yang disebut Steven
Johnson (2010) sebagai "liquid network" untuk berbagi kepercayaan
mereka tentang kualitas pengalaman belajar Blended mereka.
Menurut Johnson, liquid network cukup gesit untuk fleksibel tetapi
cukup terstruktur sehingga cukup stabil. Penelitian terbaru oleh
Dziuban dan Moskal (2012) menunjukkan bahwa kepuasan siswa
jauh lebih kompleks daripada yang mungkin diasumsikan dan
bahwa ambivalensi siswa adalah komponen utama dalam dimensi
dimana siswa mengevaluasi blended learning, peringkat
keseluruhan masih berfungsi sebagai indikator penting dari kualitas
kursus, seperti yang dirasakan oleh siswa.
Kesimpulan Blended learning selalu bersinggungan dengan hampir setiap sektor
di lingkungan universitas, itu menuntut pengembangan dan
pelaksanaan kebijakan yang cermat. Administrator harus
mempertimbangkan modalitas untuk dampaknya pada kebutuhan
infrastruktur, pengembangan program, dan perencanaan strategis.
Anggota fakultas memiliki kesempatan untuk memanfaatkan
potensinya untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk
memfasilitasi pembelajaran lebih efektif. Siswa harus menguji
kembali asumsi mereka tentang bagaimana mereka akan menavigasi
sistem pendidikan dan apa yang akan diminta dari mereka di
lingkungan ini yang mewakili pengaruh teknologi dan pembelajaran
tatap muka. Blended learning memberikan jaring yang sangat luas,
memaksa peneliti untuk menguji kembali asumsi bertingkat tentang
mengajar dan belajar yang telah peneliti pegang untuk waktu yang
sangat lama. Dalam artikel ini, penulis telah menguraikan sejumlah
pertimbangan untuk blended learning yang berdampak terhadap
kebijakan dalam pendidikan tinggi. Pertama dan terutama,
modalitas pembelajaran ini harus dioperasionalkan dengan cara
HENA DIAN AYU 22
yang selaras dengan konteks lembaga dan sejalan dengan tujuan dan
sasarannya sementara pada saat yang sama mempertahankan
konsistensi dengan kapasitas organisasi.
Blended learning membutuhkan dukungan penuh di semua
tingkatan: infrastruktur organisasi, kursus dan pengembangan
fakultas, serta mekanisme dukungan belajar siswa yang konsisten.
Semua elemen ini harus dimainkan dalam budaya kelembagaan
yang responsif dan andal. Jelas, elemen-elemen ini membutuhkan
investasi sumber daya yang memadai. Namun, dengan investasi itu
muncul kebutuhan akan proses evaluasi yang efektif yang
menyediakan informasi yang memfasilitasi pengambilan keputusan
yang efektif baik pada tingkat kebijakan maupun pengajaran.

HENA DIAN AYU 23


1. Identitas Jurnal
Judul Critical thinking in E-learning environments
Nama Jurnal Computers in Human Behavior 28
Halaman 11608–1617
Tahun 2012
Author Raafat George Saadéa , Danielle Morina,a, Jennifer D.E.
Thomasb,b
a
Concordia University, John Molson School of Business,
Montreal, Quebec, Canada
b
Pace University, Ivan Seidenberg School of CSIS, New York,
NY, USA
Keyword E-learning, Critical thinking, Assessment, Information
technology
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2012.03.025
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memahami: (1)sejauh mana siswa
memahami definisi berpikir kritis, (2)pengaruh komponen kursus
pada CT, dan (3) kontribusi dari berbagai modul pembelajaran pada
CT.
Latar Belakang Keterampilan berpikir kritis (CT) mensyaratkan kemampuan
proses-proses mental penegasan, analisis dan evaluasi (Ibrahim &
Samsa, 2009) diterapkan pada informasi untuk mencapai
pemahaman akhir yang logis dan / atau penilaian. Pemikiran kritis
di kelas adalah tema sentral dalam bidang pendidikan; Namun,
dengan peningkatan dramatis penggunaan TI untuk pengajaran dan
pembelajaran, mekanisme di mana pemikiran kritis dipupuk dan
digunakan telah berubah. Ada beberapa penelitian yang dilaporkan
pada IT untuk pembelajaran dan CT di pendidikan tinggi (Akyuz &
Samsa, 2009; Krumbacak, 2007; Yang, 2008). Sebagian besar jenis
studi CT terkait dengan pendidikan sekolah dasar dan menengah
tidak termasuk konteks penggunaan TI dan CT (Marin & Halpern,
2011).
Mempertimbangkan masyarakat informasi peneliti saat ini,
pemikiran kritis dianggap sebagai keterampilan yang paling penting
untuk membedakan informasi yang salah, tidak lengkap, usang, dll.
Internet telah menjadi media terbuka untuk menampung semua jenis
informasi. Sementara pemahaman peneliti tentang pemikiran kritis
telah meningkat secara signifikan dalam dua dekade terakhir,
sejumlah pandangan tentang strukturnya yang kompleks dan banyak
bidang ketidakpastian dan ketidaksepakatan masih tetap ada. Yang
(2008) memberikan perspektif yang baik tentang masalah-masalah
antara ilmuwan kognitif, peneliti pendidikan dan filusuf.
Landasan teori Critical thinking (berpikir kritis), Menurut Foundation of Critical
yang digunakan & thinking: '' Critical thinking adalah cara berpikir tentang subjek,

HENA DIAN AYU 24


hasil penelitian konten, atau masalah apapun dimana pemikir meningkatkan kualitas
sebelumnya pemikirannya dengan terampil mengambil alih struktur yang
melekat dalam pemikiran dan memaksakan standar intelektual pada
mereka. Hal ini dapat peneliti temukan pada,
http://www.criticalthinking.org/articles/27thconf-keynote.cfm.
Setiap hari peneliti masing-masing membuat keputusan,
menghasilkan pemikiran, menarik kesimpulan dan mengevaluasi
pendapat. Secara umum, orang cenderung memahami apa yang
ingin mereka lihat, dan mengabaikan semua fakta dan bukti yang
tidak terkait dengan cara mereka memandang sesuatu. Seorang
pemikir kritis yang terampil adalah orang yang dapat mengakui
perbedaan antara penalaran logis dan pendapat pribadi. Berpikir
kritis adalah faktor penting dalam kehidupan peneliti dan berpikir
kritis dianggap sebagai objek yang sulit untuk dicapai. Peneliti
semua setuju bahwa CT dipengaruhi oleh sudut pandang peneliti dan
bagaimana peneliti melihat hal-hal di sepenelitir peneliti. Misalnya,
sangat mungkin bahwa sudut pandang dan penilaian tentang
masalah yang sama akan berbeda antara dua orang. Tujuan utama
menggunakan CT dalam mengevaluasi pemikiran dan gagasan
adalah bukan untuk mengabaikan pengalaman hidup pribadi
seseorang atau membiarkannya mengambil hasilnya seperti yang
dilihatnya tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan lainnya;
sebaliknya, tujuannya adalah untuk menghasilkan tindakan yang
seimbang, yang menggabungkan fakta dan keterampilan yang
diperoleh melalui berbagai pengalaman, menuju perbaikan
berkelanjutan (Akyüz & Samsa, 2009; Ayad, 2010). Berpikir kritis
adalah jenis kemampuan kognitif yang memiliki kepentingan
khusus dalam pengambilan keputusan dan proses penilaian
(Chartrand, Ishikawa, & Flander, 2009).
Berpikir kritis berasal dari kemampuan berpikir tingkat tinggi
(HOT), yang telah dikaitkan dengan pembelajaran yang mendalam.
Pembelajaran yang dalam dapat didefinisikan sebagai ''niat untuk
mengekstraksi makna yang menghasilkan proses belajar aktif yang
melibatkan ide-ide yang berkaitan dan mencari pola dan prinsip di
satu sisi (strategi holistik - Pask, 1976; Pask, 1988), dan
menggunakan bukti dan memeriksa logika argumen di pihak lain
(serialis).'' Pendekatan ini juga melibatkan pemantauan
perkembangan pemahaman sendiri (Entwistle, McCune, & Walker,
2000). Definisi ini, sama dengan yang dianjurkan oleh Chickering
dan Gamson (1987), Dangel dan Wang (2008), Bloom dan
Krathwohl (1956), dan Anderson, Krathwohl, & Bloom, 2001,
mengarah pada definisi yang diadopsi dalam penelitian lain yang
dianggap lebih tinggi Keterampilan berpikir-urutan seperti: berpikir
kritis, pemecahan masalah, penelitian, dan generasi ide kreatif, dan
keterampilan membangun tim (keterampilan komunikasi,
koordinasi kerja, dan kerja sama tim (Thomas, 2001)). Noll dan
Wilkins (2002) mengidentifikasi keterampilan ini sebagai sangat
relevan untuk profesional sistem informasi (SI). Ada beberapa
definisi pemikiran kritis (dan instrumen untuk pengukurannya), dan
tampaknya ada beberapa alasan umum di sepenelitir ide analisis,

HENA DIAN AYU 25


evaluasi, inferensi, dan interpretasi CT. Follman, Lavely, dan Berger
(1997) memberikan daftar komprehensif dan diskusi terkait. Rubrik
Berpikir Kritis Pendidikan Umum yang digunakan oleh fakultas
untuk menilai pemikiran kritis siswa di Northeastern Illinois
University, NEIU, 2006, meliputi: mengidentifikasi dan
menjelaskan masalah, membedakan jenis klaim, mengenali
pengambil keputusan dan kontes, mempertimbangkan metodologi,
menyusun tanggapan pribadi dan mengakui yang lain perspektif,
merekonstruksi argumen, menafsirkan konten, mengevaluasi
asumsi, mengevaluasi bukti dan, mengevaluasi kesimpulan.
Center for Critical Thinking, 2004, (Mandernach, 2006)
mendefinisikan, '' Berpikir kritis adalah proses disiplin intelektual
yang secara aktif dan terampil mengonseptualisasikan, menerapkan,
menganalisis, mensintesis, dan / atau mengevaluasi informasi yang
dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh, pengamatan, pengalaman,
refleksi, penalaran, atau komunikasi, sebagai panduan untuk
keyakinan dan tindakan.''
Berpikir kritis dan pembelajaran virtual, Kemajuan teknologi
telah memungkinkan pembelajaran ini terjadi secara virtual, yaitu di
luar ruang belajar tradisional yang terbuat dari bata dan mortir,
dalam lingkungan elektronik dan jauh. Jarak ini dan format
elektronik menimbulkan tantangan terutama dalam aspek-aspek
pembelajaran yang membutuhkan pembelajaran tingkat yang lebih
tinggi (Saade & Bahli, 2005; Saade & Galloway, 2005). Sementara
komputer dikenal untuk memfasilitasi pembelajaran tingkat rendah,
seperti menghafal fakta, diukur melalui pertanyaan pilihan ganda
yang dikelola secara elektronik dan dinilai, ya/tidak, dan jawaban
benar/salah, pemberian dan pengukuran keterampilan kognitif
tingkat tinggi adalah lebih menjengkelkan. Ini membutuhkan
pengiriman dan jawaban yang lebih terbuka, dan mungkin lebih
bermasalah di lingkungan yang sepenuhnya online, terlepas dari
kemajuan teknologi seperti wiki, blog, dan papan diskusi
(MacKnight, 2000; Mandernach, 2006; Saade, 2007, 2010).
Burgess (2009), menemukan bahwa mengintegrasikan WebCT
meningkatkan keterlibatan membaca dan keterampilan berpikir
kritis dan, Thomas dan Morin (2010) menemukan bahwa berpikir
kritis didukung oleh instruksi studi kasus online. Hubungan yang
signifikan antara IPK dan peningkatan persepsi siswa dalam
keterampilan kognitif tingkat tinggi (HOCS) dimana, siswa dengan
IPK rendah melaporkan tingkat HOCS yang lebih rendah daripada
siswa dengan IPK tinggi, yang berkurang dengan meningkatnya
IPK. Ini mirip dengan apa yang disebut Thomas (2001) sebagai
keterampilan berpikir tingkat tinggi HOTS.
Metode Metodologi survei diterapkan pada penelitian ini, dengan 490
peserta mengambil kursus universitas tahun pertama di Montreal,
Kanada.
Langkah-langkah Kursus ini ditawarkan sepenuhnya online tanpa interaksi tatap muka
dengan profesor atau asisten pengajar.

HENA DIAN AYU 26


Pada akhir semester, siswa diminta untuk merespons survei sejujur
mungkin. Survei yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan
pada instrumen yang dikembangkan oleh penulis ketiga.
Siswa diinstruksikan bahwa tidak ada jawaban benar atau salah dan
bahwa kami terutama tertarik pada keyakinan dan persepsi mereka
tentang komponen kursus dan pengalaman mereka dengan berbagai
alat untuk belajar.
Analisis Data Pemikiran kritis diukur secara subyektif menggunakan skala ART
Hasil strategi analitik empat langkah dirancang sebagai berikut:
(1)Demografi, (2)Memahami definisi keterampilan berpikir kritis
Siswa, (3)Kontribusi yang diperhitungkan dari kegiatan dan sumber
belajar, (4) Analisis korelasi
Demografi, Ada total 985 siswa yang terdaftar dalam kursus dan
490 dari mereka menyelesaikan survei online dengan tingkat
respons 51,2%. Dari mereka yang menyelesaikan survei, 44%
adalah siswa perempuan. Sebagian besar responden (73,3%) berada
di kelompok umur 20-23, 17,4% pada kelompok usia 24-30 dan 4%
dan 5,3% masing-masing berada di bawah 20 dan di atas 30
kategori. Usia rata-rata adalah 22,7 tahun, sementara median adalah
22. Juga, 53,3% menyatakan bahasa Inggris sebagai salah satu
bahasa pertama mereka. Pertanyaan ini diajukan karena penelitian
berlangsung di Montreal, Kanada yang terletak di provinsi Perancis
di negara bilingual. Kami menemukan bahwa bahasa pertama tidak
memiliki dampak yang signifikan terhadap pemahaman definisi
pemikiran kritis.
Memahami definisi keterampilan berpikir kritis Siswa,
Distribusi skor mewakili pemahaman siswa tentang definisi berpikir
kritis yang digunakan dalam survei. Tercatat bahwa sepertiga dari
siswa menganggap bahwa mereka memiliki pemahaman yang
sempurna tentang definisi. Distribusi frekuensi skor di atas dapat
dibagi menjadi tiga kategori: 'pemahaman sempurna' (skor = 10),
'pemahaman rata-rata' (skor 6-9) dan 'pemahaman terbatas' definisi
(skor di bawah 5). Dengan mempertimbangkan batas cut-off 6 (skor
definisi pemahaman), maka kami mengamati bahwa sepenelitir 86%
siswa mengklaim memiliki setidaknya cukup memahami definisi.
Yang tersisa adalah kurang dari 14% siswa yang mewakili
kelompok dengan pemahaman terbatas tentang definisi. Nilai rata-
rata untuk 'pemahaman definisi pemikiran kritis' dihitung pada 7,84
dan yang mewakili tingkat yang baik.
Kontribusi yang diperhitungkan dari kegiatan dan sumber
belajar, Sepenelitir 74% dari para siswa membeli buku teks fisik
dan sepenelitir setengahnya merasa bahwa kontribusinya terhadap
keterampilan berpikir kritis adalah sedang. Selain itu, siswa merasa
kegiatan belajar berkontribusi lebih banyak untuk berpikir kritis,
dibandingkan dengan sumberbelajar. Dalam hal dampak positif
terkuat, Tugas belajar dianggap sebagai yang paling berkontribusi,
diikuti oleh proyek mini Excel. Namun, meskipun kegiatan dalam
penelitian ini mengacu pada kegiatan belajar, ada elemen dalam
sumber belajar interaktif di web: keseluruhan sistem online dan

HENA DIAN AYU 27


materi di web. Tercatat bahwa kontribusi komponen-komponen
interaktif (ditemukan dalam kelompok sumber belajar) dekat
dengan kegiatan pembelajaran. Perbedaan skor antara komponen
interaktif dan non-interaktif dari sumber belajar memicu pertanyaan
penting: apa yang kemudian menjadi faktor untuk keterampilan
berpikir kritis dalam lingkungan pembelajaran online.
Korelasi hasil analisis, Semua korelasi mendekati nol dan tidak ada
satupun yang signifikan pada level 5%, mendukung asumsi bahwa
pemahaman definisi tidak terkait (setidaknya secara linear) dengan
penggunaannya untuk evaluasi kontribusi kegiatan atau sumber
belajar.
Kesimpulan Hubungan antara persepsi siswa tentang kegiatan belajar dan
berpikir kritis lebih kuat dari sumberbelajar. Lebih spesifik,
komponen interaktif terlepas dari sifatnya (kegiatan / sumber daya
pembelajaran) dianggap berkontribusi untuk CT lebih dari lainnya
seperti konten statis, penilaian dan berbasis proyek. Penilaian dalam
lingkungan online, yang interaktif, dianggap berkontribusi pada
pemikiran kritis pada tingkat yang lebih rendah daripada kegiatan
pembelajaran lainnya, meskipun kuis bersifat sumatif dan EISEL
bersifat formatif. Keduanya sama-sama mendapat nilai yang sama,
dengan demikian menunjukkan kekuatan tujuan kegiatan di
dalamnya yang melebihi sifatnya (bersifat interaktif).
Pemikiran kritis dalam lingkungan pembelajaran online, adalah
hasil interaksi antara potongan konten (sebagai lCloud dari buku),
interaktivitas dan desain (pedagogi dan sistem). Studi ini
mengungkapkan penelitian kritis dan wawasan praktis untuk studi /
proyek masa depan, peneliti menyajikan tiga rekomendasi dalam
setiap kasus.
Dari perspektif penelitian, penting untuk (1) mengatasi faktor-faktor
desain dan kerangka kerja yang memungkinkan pemanfaatan
pembelajaran yang maksimal dari lingkungan belajar interaktif, (2)
mensintesis pada pemikiran kritis yang lebih mendasar (psikologis)
dan memetakannya ke lingkungan belajar interaktif , dan (3)
mempelajari pengaruh keterampilan berpikir tingkat tinggi lainnya
pada lingkungan belajar virtual.
Dari perspektif praktis, desainer dan instruktur online memiliki satu
tujuan utama, yaitu untuk meningkatkan pengalaman belajar siswa
- ini termasuk pembelajaran dan perilaku. Untuk itu, mereka perlu
(1) mengintegrasikan lebih banyak komponen interaktif ke dalam
kegiatan kursus, (2) menggunakan prinsip-prinsip media sosial
untuk menjaga siswa terhubung satu sama lain, dan (3) mengikat 1
dan 2 ke kegiatan berpikir kritis.

HENA DIAN AYU 28


1. Identitas Jurnal
Judul A framework for institutional adoption and
implementation of blended learning in higher education
Nama Jurnal Internet and Higher Education
Halaman 4-14
Tahun 2013
Author Charles R. Graham, Wendy Woodfield, J. Buckley Harrison
Brigham Young University, United States
Keyword Blended learning; Hybrid courses; Institutional adoption;
Higher education policy
DOI https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi masalah
seputar adopsi dan implementasi kebijakan BL di lembaga
pendidikan tinggi. Selain itu, penelitian ini berusaha menawarkan
kerangka kerja awal untuk menganalisis sejauh mana institusi telah
menggunakan dan menerapkan kebijakan tersebut.
1. Mengidentifikasi dan memberikan perincian tentang masalah
yang harus diakui oleh administrator untuk memandu lembaga
mereka menuju keberhasilan penggunaan dan implementasi BL.
2. Mengidentifikasi beberapa penilai yang berkaitan dengan
strategi, struktur, dan dukungan kelembagaan yang akan
memungkinkan administrator untuk mengukur kemajuan
mereka menuju pelembagaan BL.
Latar Belakang Penggunaan blended learning (BL), kombinasi dari pengajaran tatap
muka tradisional dan teknologi yang dimediasi, semakin meningkat
dalam pendidikan tinggi di seluruh dunia. Bahkan, para sarjana telah
memperkirakan bahwa BL akan menjadi "model tradisional baru
dalam pengiriman pengajaran di pendidikan tinggi. Namun, data
yang terbatas tersedia untuk secara akurat menunjukkan sejauh
mana BL sebenarnya telah diadopsi dalam pendidikan tinggi,
sebagian karena ketidaksepakatan tentang bagaimana institusi harus
mendefinisikan dan mengukur BL. banyaknya lembaga (mungkin
sebagian besar) menerapkan pembelajaran dengan BL karena BL
telah bereksperimen dengan atau digunakan oleh fakultas meskipun
lembaga itu sendiri belum secara resmi menggunakannya. BL telah
dimulai di banyak tempat sebagai upaya awal, digunakan oleh
fakultas individu yang tertarik menggunakan strategi online dan
tradisional untuk meningkatkan hasil belajar siswa daripada
dipromosikan sebagai inisiatif strategi kelembagaan.
Ketika institusi belum secara jelas mendefinisikan dan
menggunakan BL secara strategis, mereka tidak mungkin benar-
benar mengetahui sejauh mana BL telah digunakan oleh institusi
HENA DIAN AYU 29
secara luas. Seperti terlihat dalam gambar 1, banyak lembaga
membedakan antara kursus online dan tradisional, tetapi tidak
dengan jelas mengkategorikan apa yang ada di antara keduanya.
Misalnya, Universitas Brigham Young (BYU) belum memiliki
kebijakan atau inisiatif formal untuk mempromosikan atau
mendukung adopsi BL. Namun, sebuah studi penelitian yang
dilakukan di kampus menemukan bahwa 38% responden mengaku
telah mengajarkan kursus yang memadukan instruksi online dan
tatap muka (Graham & Robison, 2007). Sekitar seperempat fakultas
yang mengaku mengajar kursus BL menggantikan 25% atau lebih
dari sesi kelas mereka dengan pembelajaran online, sementara yang
lain sangat sedikit mengganti pembelajaran online waktu kelas
(Graham & Robison, 2007).
Konvergensi antara pengajaran online dan residensial adalah "tren
tunggal yang tidak diakui dalam pendidikan tinggi saat ini. Salah
satu alasan kurangnya pengakuan oleh bagian administrasi
universitas adalah bahwa penggunaan hanya dilakukan dalam
fakultas, bukan pada tingkat kelembagaan. Lembaga pendidikan
tinggi semakin lama semakin melihat kebutuhan untuk secara
strategis mendukung penggunaan dan implementasi BL. Kebijakan
yang memungkinkan dan bahkan mendorong BL dapat memperkuat
komitmen universitas untuk meningkatkan pembelajaran siswa serta
meningkatkan kegunaannya seperti akses, fleksibilitas, dan
efektivitas biaya.
1. BL akan menjadi "model tradisional baru" (Ross & Gage,
2006) atau "normal baru" dalam pengiriman kursus pendidikan
tinggi (Norberg, Dziuban, & Moskal, 2011)
2. BL telah diadopsi dalam pendidikan tinggi, sebagian karena
ketidaksepakatan tentang bagaimana institusi harus
mendefinisikan dan mengukur BL (Graham, 2013; Oliver &
Trigwell, 2005; Sharpe, Benfield, Roberts, & Francis, 2006)
3. Studi data institusional melaporkan bahwa di 2004, 45,9% dari
institusi sarjana memiliki penawaran BL (Allen, Seaman, &
Garrett, 2007)
Metode Metodologi yang digunakan adalah studi kasus (Yin, 2003). Studi
kasus sesuai ketika seorang peneliti berusaha untuk mempelajari
hipotesis mengenai kelas orang, organisasi, program, atau kebijakan
dengan memeriksa kasus tertentu dari kelas itu (Merriam, 1998).
Langkah-langkah Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara
memeriksa institusi yang yang sudah menggunakan/
implementasikan, dari institusi yang masih baru menerapkan
hingga institusi dengan implementasi BL yang sangat matang.
Untuk mencapai tujuan ini, dengan menggunakan purposive
sampling dengan memilih kasus-kasus yang diketahui telah
mencapai berbagai tingkat implementasi BL.
Awalnya, dengan cara mempertimbangkan untuk menggunakan
tiga lembaga Universitas Brigham Young, kampus utama BYU di
Provo Utah (BYU), BYU-Idaho (BYU-I), dan BYU-Hawaii (BYU-
H), sebagai tiga kasus utama karena mereka misi kelembagaan yang
serupa dan pendekatan yang berbeda untuk pembelajaran online

HENA DIAN AYU 30


Blended. Namun, institusi BYU semuanya masih awal penggunaan,
dan studi ini akan mendapat manfaat dari termasuk institusi yang
menampilkan tahap penggunaan yang lebih tinggi. Sehingga
lembaga beberapa lembaga yang terpilih menampilkan program BL
yang matang dan terkenal (UCF dan UWM), serta lembaga rekan
BYU (UVU) di Utah yang telah mengembangkan program BL
mereka selama beberapa tahun.
Pengumpulan Data Pengumpuan data dilakukan dengan metode wCloudcara. Pada
musim semi 2012 melakukan wCloudcara telepon semi-terstruktur
dengan administrator di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Sesi
35-75 menit memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi
persepsi, perasaan, dan sikap peserta dan mengeksplorasi berbagai
topik yang lebih luas daripada wCloudcara yang lebih terstruktur
(Fontana & Frey, 2000). Semua wCloudcara direkam untuk
dianalisis.
Dalam penilitian ini mewCloudcarai seorang karyCloud di masing-
masing institusi yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tangan
pertama substansial mengenai sikap institusi dan implementasi
relatif kebijakan BL. Orang yang diwCloudcarai termasuk wakil
provost, direktur pembelajaran jarak jauh, dan administrator yang
mengawasi inisiatif kelembagaan BL mereka masing-masing.
Orang yang diwCloudcarai memberikan dokumen mengenai
kebijakan tertulis dan prosedur lembaga mereka tentang BL,
termasuk formulir persetujuan, pedoman yang diterbitkan, dan situs
web agar lebih memahami implementasi BL mereka.
Analisis Data Para peneliti menggunakan metodologi perbandingan konstan untuk
melakukan analisis statistik, biasanya dilakukan dengan
membandingkan set data dari kasus-kasus tertentu: wCloudcara,
catatan lapangan, atau dokumen. Setelah meninjau transkrip
wCloudcara, mereka menganalisis dan membandingkan data untuk
mengidentifikasi tema, pola, dan kategori tentatif mengenai tahap
implementasi BL (Lincoln & Guba, 1985).
Selama analisis data, penulis memastikan kelayakan dari
penyelidikan kualitatif dengan mengamati standar kredibilitas dan
transparansi (Lincoln & Guba, 1985). Agar dapat dipercaya, sebuah
penelitian harus masuk akal bagi pembaca kritis dan disetujui oleh
mereka yang menyediakan data. Para penulis mempertahankan
kredibilitas dengan triangulasi, cek anggota, dan debat teman.
Triangulasi dicapai dengan merujuk pada berbagai sumber
informasi, termasuk literatur yang bersangkutan, wCloudcara semi-
terstruktur, dan dokumen-dokumen kelembagaan. Setelah kompilasi
informasi, penulis terlibat dalam pemeriksaan anggota dengan
meminta orang yang diwCloudcarai untuk meninjau dan
memverifikasi keakuratan pekerjaan penulis. Selanjutnya, penulis
berdiskusi dengan rekan-rekan yang tidak tertarik dengan
pertemuan untuk meninjau metode pengumpulan data, analisis, dan
kesimpulan.
Para penulis juga berusaha mempromosikan transferabilitas,
kemampuan pembaca untuk menerapkan temuan dari satu konteks
ke konteks atau pengaturan lain. Para penulis berusaha untuk

HENA DIAN AYU 31


mempromosikan transferabilitas dengan memberikan yang akurat
data kelembagaan (konteks), serta deskripsi yang kaya tentang tema
dan data kelembagaan terkait.
Hasil Temuan dari penelitian ini disusun dalam tiga kategori besar:
strategi, struktur, dan dukungan.
• Strategi terdiri dari isu-isu yang berkaitan dengan desain BL
secara keseluruhan, seperti definisi BL, bentuk-bentuk advokasi,
tingkat implementasi, tujuan BL, dan kebijakan di sekitarnya.
• Struktur termasuk masalah yang berkaitan dengan teknologi,
pedagogis,
dan kerangka kerja administrasi yang memfasilitasi lingkungan BL,
termasuk tata kelola, model, struktur penjadwalan, dan evaluasi.
• Dukungan terlibat dengan masalah yang berkaitan dengan cara di
mana
sebuah institusi memfasilitasi implementasi dan pemeliharaan
desain BL-nya, menggabungkan dukungan teknis, dukungan
pedagogis, dan insentif fakultas.
Tema dalam tiga kategori juga dibedakan menjadi tiga tahap adopsi
untuk menunjukkan bagaimana lembaga bergerak dari minat pada
BL menuju pelembagaan yang matang dari itu:
• Tahap 1, kesadaran / eksplorasi, ditandai dengan tidak adanya
strategi kelembagaan terkait BL, tetapi kesadaran kelembagaan dan
dukungan terbatas untuk fakultas individual yang mengeksplorasi
cara-cara di mana mereka dapat menggunakan teknik BL di kelas
mereka.
• Tahap 2, adopsi / implementasi awal, dicirikan oleh
adopsi strategi dan eksperimen BL dengan kebijakan dan praktik
baru untuk mendukung implementasinya.
• Tahap 3, implementasi / pertumbuhan yang matang, ditandai
dengan strategi, struktur, dan dukungan BL yang mapan yang
merupakan bagian integral dari operasi universitas.
Bagian-bagian berikut dalam makalah ini akan menggunakan data
dan kutipan yang disediakan oleh orang yang diwCloudcarai dari
kasus-kasus institusional untuk menggambarkan bagaimana pola
strategi kelembagaan, struktur, dan dukungan berkembang sebagai
lembaga yang matang dalam penerapan BL. Sementara masing-
masing kasus yang kami teliti mengembangkan tiga kategori
implementasi strategi, struktur, dan dukungan pada tingkat yang
pada dasarnya sama, ini mungkin tidak berlaku untuk semua
lembaga. Misalnya, satu lembaga dapat menampilkan strategi pada
tahap adopsi dan implementasi awal, dan tahap kesadaran dan
eksplorasi selama dukungan.
Data untuk institusi pada Tahapan 2 dan 3 lebih kuat daripada data
untuk institusi pada Tahap 1 karena lebih banyak kegiatan yang
terjadi di sekolah-sekolah yang menampilkan tahap implementasi
BL yang lebih berkembang. Gambar. 2 menunjukkan pandangan
kami tentang bagaimana enam kasus menyelaraskan sepanjang
spektrum adopsi BL, dengan dua lembaga di setiap tahap.
1. Kasus Tahap 1: kesadaran dan eksplorasi

HENA DIAN AYU 32


BYU dan BYU-H adalah lembaga pada tahap kesadaran dan
eksplorasi. Tidak ada yang secara resmi mengadopsi BL di kampus,
meskipun keduanya telah melembagakan pembelajaran online.
BYU memiliki banyak fakultas yang menerapkan BL dengan cara
mereka sendiri dalam konteks mereka sendiri (Graham & Robison,
2007). BYU-H tidak memiliki hubungan resmi antara inisiatif
online dan BL, meskipun staf pengajar yang terlibat dalam
pembelajaran online mempromosikan metode online kepada rekan-
rekan mereka untuk digunakan dalam kelas tradisional.
a. Strategi
Tidak ada definisi seragam BL telah diadopsi di salah satu Tahap 1
institusi. Sebuah studi BL yang dilakukan di BYU menunjukkan
bahwa masing-masing anggota fakultas memiliki berbagai macam
ide tentang apa yang dimaksud dengan BL (Graham & Robison,
2007). Mereka menerapkan BL berdasarkan ketentuan mereka
sendiri menggunakan serangkaian model eklektik yang secara
khusus ditargetkan untuk konteks kursus mereka sendiri. Adopsi
telah meningkat di perguruan tinggi seperti Marriott School of
Management dan David O. McKay School of Education, di mana
pendukung fakultas telah berbagi model yang sukses dengan teman
sebaya.
Beberapa administrator tingkat tinggi di kedua lembaga tertarik
untuk mengeksplorasi BL sebagai cara untuk memenuhi tujuan
kelembagaan. Seorang administrator tingkat tinggi di BYU-H telah
menyatakan pendapatnya bahwa “ hibrida benar-benar model
terbaik untuk pendidikan.” BYU telah mengidentifikasi tujuan
kelembagaan tertentu yang dapat didukung dengan mengadopsi BL.
Administrasi pusat baru-baru ini menugaskan satuan tugas untuk
memeriksa potensi penggunaan BL dan opsi lain untuk memenuhi
tujuan spesifik tersebut, tetapi keputusan belum dibuat. Sementara
administrator tingkat tinggi di kedua lembaga mampu memberikan
kepemimpinan kelembagaan untuk adopsi dan implementasi BL,
advokasi mereka saat ini bersifat informal.
b. Struktur
Lembaga Tahap 1 tidak memiliki banyak struktur yang dibuat di
lembaga yang secara resmi mengadopsi BL: misalnya struktur atau
model tata kelola formal untuk menyetujui atau memandu
pelaksanaan BL. Karena BL belum didefinisikan secara formal di
BYU dan BYU-H, tidak ada sebutan katalog yang
mengomunikasikan kepada siswa bahwa suatu kursus akan
diajarkan dalam modalitas Blended. Siswa menerima informasi
penjadwalan dari fakultas pada awal semester atau dari rekan-rekan
yang sebelumnya telah mengambil kursus. Dengan demikian siswa
tidak dapat menggunakan fleksibilitas yang meningkat dalam
merencanakan jadwal mereka, dan universitas tidak mampu
memanfaatkan ruang kelasnya secara efisien, dengan kamar di
seluruh kampus dijadwalkan tetapi kosong ketika kursus BL
bertemu online. Akhirnya, kedua lembaga Tahap 1 telah
menetapkan sistem manajemen pembelajaran (LMS) dan akses
online ke layanan universitas yang penting. Infrastruktur teknologi
HENA DIAN AYU 33
yang solid yang mendukung operasi universitas memungkinkan
fakultas untuk menawarkan kursus Blended meskipun lembaga
belum secara formal mengadopsi inisiatif BL.
c. Mendukung
Fakultas di BYU dan BYU-H yang tertarik untuk memadukan
kursus mereka memiliki akses ke berbagai dukungan teknis dan
pedagogis yang tersedia melalui pusat pengajaran dan pembelajaran
yang bertugas membantu fakultas yang ingin menggunakan
teknologi di ruang kelas mereka. Namun, dukungan tersebut tidak
secara khusus diarahkan untuk membantu fakultas menciptakan
kursus Blended, menavigasi keputusan pedagogis tentang apa yang
terbaik dilakukan tatap muka dan apa yang terbaik dilakukan secara
online. Jadi fakultas yang memanfaatkan dukungan harus memiliki
motivasi dan visi individu yang tinggi untuk menyalurkan dukungan
yang tersedia menuju tujuan desain mereka sendiri. Demikian pula,
dukungan administratif dan dorongan untuk mengejar BL terbatas,
dan anggota fakultas mengadopsi BL karena alasan mereka sendiri.
Lembaga-lembaga ini tidak menawarkan insentif untuk
penBlended, dan dalam beberapa kasus disinsentif mungkin
dirasakan. Sebagai contoh, seorang anggota fakultas menyatakan
keprihatinannya bahwa peringkat mahasiswa akan turun selama satu
semester ketika dia menemukan cara untuk berbaur secara efektif.
Gangguan lain termasuk waktu ekstra dan upaya yang diperlukan
untuk membuat instruksi online, serta kekhawatiran bahwa
membuat kursus lebih efisien mungkin memberikan alasan bagi
lembaga untuk meningkatkan beban kursus fakultas atau
menghilangkan FTE. Sementara tidak ada insentif institusional yang
mendorong fakultas untuk mengeksplorasi opsi Blended, satu unit
akademik di BYU mengemudikan program yang menyediakan
pengembangan profesionalisme sederhana bagi fakultas untuk
mengembangkan kursus Blended dan secara formal mengevaluasi
efektivitasnya dalam mencapai hasil pembelajaran selama tiga tahun
berturut-turut. semester semester. Struktur untuk belajar tentang BL
pada institusi Tahap 1 sebagian besar adalah informal dan “fakultas
berkembang.” Staf BYU-H terlibat dalam makan siang tas-coklat
yang dihadiri dengan baik di mana para kolega menunjukkan inovasi
pengajaran mereka. Demikian pula, di BYU sebagian besar belajar
tentang BL melalui jaringan fakultas informal.
2. Tahap 2 kasus: adopsi / implementasi awal
BYU-I dan UVU adalah lembaga yang berada pada tahap adopsi
dan implementasi awal. Keduanya telah secara resmi mengadopsi
BL dalam beberapa tahun terakhir. BYU-I telah mulai
mentransisikan kursus malam ke dalam format Blended. Selain itu,
BYU-I membantu profesor yang mengajukan permohonan bantuan
dalam proses ini. Di UVU, sebuah "inisiatif pengajaran hibrid"
universitas tersedia untuk membantu para profesor dalam masa
transisi.
a. Strategi
UVU memulai inisiatif pengajaran hibridanya pada tahun 2010.
Gerakan ke arah ini sebenarnya dimulai pada tahun 2003 dengan
HENA DIAN AYU 34
upaya dari divisi Pendidikan Jarak Jauh untuk memotivasi fakultas
yang lebih tahan untuk bergerak menuju pengajaran kursus online.
Administrator merasa bahwa kursus Blended mungkin menjadi batu
loncatan yang lebih menarik menuju kursus pengajaran sepenuhnya
online. Upaya itu tidak berhasil karena sistem insentif untuk
pengembangan kursus online tidak dapat digunakan untuk
membayar fakultas untuk mengembangkan kursus Blended. Selain
itu, administrator khawatir bahwa program Blended tidak akan
menjangkau pemirsa baru dan karenanya tidak akan memperluas
basis mahasiswa universitas. Tetapi setelah bertahun-tahun
pertumbuhan populasi di kampus yang cepat, UVU kehabisan ruang
kelas yang tersedia. Dengan demikian presiden universitas
mendukung inisiatif untuk kursus hibrida sebagai cara untuk
mempertahankan pertumbuhan tanpa memperluas fasilitas fisik.
Unit akademik mulai merekrut fakultas secara agresif untuk
mengembangkan kursus ini, yang secara spesifik didefinisikan
sebagai pengurangan 50% dalam sesi kelas tatap muka.
BYU-I mengalami kebutuhan strategis yang serupa ketika
pendaftarannya meningkat sekitar seribu siswa per tahun.
Administrator melihat BL sebagai sarana berkelanjutan untuk
mengatasi pertumbuhan itu dengan tetap menjaga kualitas program
mereka, sehingga definisi resmi mengharuskan fakultas untuk
"mengurangi waktu di ruang kelas fisik." Presiden dan administrator
tingkat tinggi mendukung dan mendorong fakultas dalam mengejar
BL. BYU-I telah mulai dengan fokus pada konversi kursus malam
ke format Blended. Sementara UVU dan BYU-I memiliki alasan
strategis terkait dengan ekspansi dan akses kelembagaan, mereka
sangat berhati-hati untuk menekankan bahwa mereka ingin
menggabungkan BL dengan cara yang juga meningkatkan
pembelajaran bagi siswa.
Selain tujuan identifikasi, lembaga-lembaga pada tahap adopsi dan
implementasi awal telah pindah ke kebijakan atau standar yang
diartikulasikan secara formal untuk BL. BYU-I membuat dokumen
spesifik yang disebarluaskan ke seluruh kampus. UVU
mengartikulasikan seperangkat standar internal yang digunakan
dalam mengidentifikasi mata pelajaran yang “memenuhi syarat”
untuk ditanda-ulangi, tetapi memberikan departemen akademik
kontrol penuh proses. Jelas bahwa institusi masih memandang
kebijakan sebagai pekerjaan yang sedang berjalan; dokumen
memberikan panduan tetapi cukup fleksibel untuk dengan mudah
diubah ketika pengalaman kelembagaan berkembang.
b. Struktur
Dengan adopsi BL, baik UVU dan BYU-I membentuk struktur
pemerintahan untuk mengawasi inisiatif ini. Untuk kedua lembaga,
struktur tata kelola selaras dengan struktur tata kelola akademik. Di
UVU, departemen akademik sepenuhnya mengontrol apakah suatu
mata kuliah akan ditawarkan sebagai hybrid. Demikian pula, BYU-
I memiliki proses persetujuan yang melibatkan kepemimpinan
departemen. Kedua lembaga belum membuat penunjukan katalog
resmi untuk program Blended, sehingga sulit untuk menjelaskan

HENA DIAN AYU 35


fleksibilitas kepada siswa membangun jadwal kelas mereka dan
secara resmi mengevaluasi berapa banyak kursus BL yang diajarkan
setiap semester tertentu. Kedua lembaga bekerja untuk mendapatkan
penunjukan katalog dan sementara itu memiliki cara berkomunikasi
dengan siswa bahwa kursus Blended tidak bertemu di kelas setiap
hari yang dijadwalkan. Pekerjaan di UVU dijelaskan dengan cara
ini:
Setelah kami memiliki penunjukan hybrid, kami memberi tahu
ketua departemen dan para guru, ketika Anda menjadwalkan kursus
ini, menandainya sebagai peningkatan teknologi, dan kemudian di
bagian catatan menunjukkan bahwa ini adalah hybrid dan hanya
bertemu satu hari dalam seminggu dan sisa kegiatan dimediasi
secara online.
Tak satu pun dari lembaga-lembaga tersebut yang muncul pada
tahap ini untuk memiliki mekanisme yang ada untuk secara formal
mengevaluasi seberapa baik kursus BL mencapai hasil yang
diinginkan lembaga dari membebaskan tuntutan pada sumber daya
fisik. Sebagian besar upaya mereka tampaknya difokuskan pada
logistik yang diperlukan untuk pengembangan dan implementasi
kursus Blended. Baik BYU-I dan UVU memiliki evaluasi siswa
yang sudah ada yang akan memungkinkan mereka untuk
membandingkan kursus tatap muka dengan rekan Blended mereka.
Namun, ideal membangun penilaian umum di seluruh program
setara (terlepas dari modalitas) untuk mengevaluasi dan
membandingkan hasil belajar siswa belum tercapai di kedua
institusi.
c. Mendukung
Pada tahap ini, administrator di UVU dan BYU-I meningkatkan
fokus mereka pada penyediaan dukungan teknis dan pedagogis yang
diperlukan untuk BL. Sebagai contoh, BYU-I saat ini menggunakan
manajemen sistem pembelajaran yang memfasilitasi BL. Sekolah
menciptakan pelatihan yang diperlukan untuk membantu karyCloud
baru dan staf pengajar saat ini dalam menggabungkan pengajaran
tatap muka dan online. Cara-cara yang dipertimbangkan untuk
memberikan dukungan teknis lebih lanjut bagi instruktur yang
mengimplementasikan BL termasuk asisten mengajar pelatihan
untuk mendukung profesor mereka dalam menciptakan dan
memelihara aspek teknis dari implementasi BL.
Seri lokakarya UVU termasuk teori pembelajaran dan strategi
pembelajaran. Universitas menawarkan serangkaian lokakarya
untuk fakultas penuh atau paruh waktu untuk membantu mereka
dalam menggunakan teknologi yang diperlukan, di antara bentuk
dukungan lainnya. Kebutuhan pedagogis dipenuhi melalui
lokakarya dan konsultasi yang disediakan ketika fakultas
berpartisipasi dalam proses desain kursus Blended dengan bantuan
desainer instruksional. Konsultasi tersebut diresmikan dan
dikembangkan lebih dari tiga semester Dimulai sebagai lokakarya
mingguan selama dua belas minggu dan kemudian berubah menjadi
kegiatan intensif musim panas selama dua minggu, di mana hak
antara semester yang akan mereka datangi tiga hari lokakarya dan

HENA DIAN AYU 36


kemudian konsultasi individu selama satu setengah minggu
berikutnya. Insentif formal fakultas terdiri dari tunjangan
pengembangan atau pengurangan beban bagi anggota fakultas untuk
mengembangkan kursus. Baik BYU-I dan UVU sedang
mengembangkan proses untuk membantu fakultas mendesain ulang
program mereka dalam format Blended. Tidak ada institusi yang
memiliki model BL spesifik yang mereka butuhkan untuk diadopsi
oleh fakultas, dan keduanya melibatkan desainer instruksional untuk
membantu fakultas memikirkan proses desain, “ memberikan
mereka saran tentang kegiatan belajar mereka ” dan
“memperkenalkan ide-ide dari berbagai teori yang berbeda. belajar
atau bahkan model desain kursus hybrid. ”
3. Tahap 3 kasus: implementasi / pertumbuhan matang
UCF dan UWM adalah institusi pada tahap implementasi dan
pertumbuhan yang matang. Keduanya secara resmi mengadopsi BL
lebih dari 10 tahun yang lalu. Sementara banyak dari strategi,
struktur, dan dukungan tampak serupa dengan implementasi Tahap
2, institusi Tahap 3 menunjukkan tanda-tanda kematangan yang
dikembangkan dari periode implementasi yang panjang. UCF,
misalnya, mengadopsi BL pada tahun 1997, dan opsi BL bersama
dengan kursus tradisional dan seluruhnya kursus online telah
menjadi bagian dari operasi dan budaya institusional. UWM, yang
secara resmi mengadopsi BL sekitar 11 tahun yang lalu, memiliki
strategi, struktur, dan rencana dukungan yang mapan.
a. Strategi
Lembaga-lembaga dalam tahap implementasi dan
pertumbuhan yang matang menampilkan definisi BL yang sudah
mapan, advokasi, proses implementasi, kebijakan, dan tujuan. BL
di kampus UWM dimulai satu dekade lalu sebagai “pendekatan
akar rumput di mana para instruktur baru saja mulai mengajar kelas
Blended tanpa ada permintaan administratif, permintaan, inisiatif
atau apa pun.” Para pemimpin untuk bergerak ke arah blended
learning adalah yang utama "Para guru memahami manfaat online
dan [mengakui] bahwa itu sama efektifnya, jika tidak lebih efektif
daripada tatap muka" dan termasuk fleksibilitas "untuk mendorong
waktu, untuk melakukan kegiatan kursus pada kerangka waktu
mereka sendiri." Pada tahun 2001, UWM menerima hibah yang
membantu meluncurkan program pengembangan fakultas untuk
BL. Lembaga ini tidak mengadopsi definisi formal BL sampai 2007
ketika mereka menerima hibah Sloan-fluence, yang membantu
mempertajam visi mereka dan meningkatkan koherensi upaya
kelembagaan di sekitar visi itu. Aspek penting dari peningkatan ini
adalah mendefinisikan tiga tahap BL, yang terdiri dari pengurangan
waktu duduk yang digantikan oleh aktivitas online masing-masing
(1) 20–49%, (2) 50–79%, dan (3) 80–99 %. Sementara adopsi
BL dimulai sebagai inisiatif fakultas, administrasi pusat menjadi
lebih terlibat secara strategis, dan BL sekarang sangat
dipromosikan melalui kantor provost dengan secara resmi
mendorong program untuk bergerak menuju model Blended. UCF

HENA DIAN AYU 37


meluncurkan upaya BL-nya tahun 1997 setelah menyadari bahwa
75% siswa yang mendaftar dalam kursus online sepenuhnya
kebetulan tinggal di kampus. BL, yang disebut UCF sebagai "mode
Blended," didefinisikan sebagai "Blended dari tatap muka dan
instruksi online di mana komponen online mengurangi kehadiran di
kelas." Di UCF, proses belajar mengajar dipandang sebagai sebuah
rangkaian dari sepenuhnya tatap muka sepenuhnya online, dengan
Blended menjadi segalanya di antaranya. Di UCF penggunaan opsi
online dan Blended telah menjadi cara utama bagi institusi untuk
memperluas jangkauannya ke lebih banyak siswa. Terlepas dari
keinginan institusional untuk meningkatkan akses ke program-
programnya dan meningkatkan efisiensi penjadwalan sumber daya
di kampusnya, efektivitas pedagogis tetap menjadi motivasi utama
BL untuk administrasi dan fakultas.
b. Struktur
Baik UCF dan UWM memiliki struktur yang kuat yang
memfasilitasi pertumbuhan dan pelembagaan BL di kampus yang
stabil. Kedua institusi telah mengembangkan struktur tata kelola
yang terintegrasi dengan struktur tata kelola akademik tradisional
mereka. UWM memiliki dewan yang diawasi oleh kantor provost
yang melibatkan para dekan dan ketua departemen yang berkumpul
untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan pemrograman
online dan BL dari institusi tersebut. Universitas ini juga memiliki
"grup pengguna Blended" untuk diskusi fakultas yang lebih
informal tentang masalah seputar BL. Demikian pula, UCF telah
mengoordinasikan pertemuan dengan setiap dekan setiap semester
untuk membicarakan arah program, keberhasilan, dan program
bagus yang bergerak online, juga untuk berbagi data dengan mereka
tentang pemanfaatan unit mereka dan untuk berbagi beberapa hasil
kualitatif tentang kinerja siswa. Selain itu, dekan lulusan, dekan
sarjana, wakil rektor kampus regional, dan ketua departemen sering
menghadiri pertemuan ini. Kedua lembaga memiliki model umum
berdasarkan definisi struktural mereka BL (bukan pada pedagogi)
bahwa fakultas didorong untuk mempertimbangkan. Fakultas
membuat penilaian profesional mereka sendiri tentang model
pedagogis BL yang mereka adopsi. Di UWM, untuk memenuhi
definisi Blended, fakultas harus mengurangi waktu duduk
setidaknya 20%. Model dominan yang digunakan oleh fakultas
adalah (a) satu minggu aktif, satu minggu libur atau (b) setidaknya
satu hari seminggu diganti dengan pembelajaran online. [Secara
Pedagogis] kami tidak memiliki model Blended standar yang telah
kami terapkan di kampus. Hal ini tergantung pada instruktur
individu berdasarkan beberapa hal: tujuan pembelajaran, tingkat
kursus, serta pengalaman instruktur, atau kenyamanan dengan
mengajar online. UC F serupa dalam hal mereka memungkinkan
fleksibilitas; namun mereka memiliki model prototipe yang
disarankan ke fakultas: Prototipe untuk model kami adalah satu sesi
tatap muka per minggu. Jadi, jika ini adalah kelas M / W / F 1 jam
per hari, kita memiliki satu hari di kelas dan sisanya dari konten
online. Jika kursus dua kali seminggu, itu akan menjadi salah satu

HENA DIAN AYU 38


dari dua kali dengan sisanya online. Itu adalah model prototipe. Apa
yang terjadi dalam praktik sedikit berbeda. Jadi, kami mengizinkan
fakultas menjadi sedikit longgar dengan model. Sekitar 40–45%
dari kelas Blended kami mematuhi model ketat satu hari dalam
seminggu, yang memungkinkan kami melakukan penjadwalan
sehingga tiga bagian kelas dapat menempati satu slot kelas yang
normal. UCF telah secara sistematis menciptakan sebutan yang
tersedia dalam sistem pendaftaran untuk modalitas yang didukung
serta lokasi kampus satelit tempat kursus akan diajarkan. Jadi
kesempatan untuk mengambil kursus di kelas tatap muka atau web
sepenuhnya online atau web Blended atau video sepenuhnya online
atau video Blended tersedia untuk setiap siswa setiap semester
berdasarkan pada bagaimana kursus yang ditawarkan ditawarkan
istilah itu. Para siswa dapat pilih salah satu dari mode-mode itu
kapan saja tersedia. Semuanya tersedia dalam katalog dan sistem
registrasi. Jadi ketika mereka online untuk mendaftar, mereka dapat
memilih lokasi dan mode atau mode tanpa lokasi, dan membuat
daftar kursus dan memilih satu dan mendaftar untuk itu. Materi
online UWM mengidentifikasi program gelar yang ditunjuk online
atau dicampur. Namun, program Blended yang mengurangi tatap
muka waktu duduk tidak secara resmi diidentifikasi dalam sistem
penjadwalan dan pendaftaran universitas sampai 2008. Jadi ada
beberapa rasa sakit yang tumbuh di sana di mana katakanlah Anda
mengajar kelas M / W dan Anda memutuskan hari Senin akan
online dan Anda hanya akan mengajar Rabu secara langsung.
Masalahnya adalah sistem penjadwalan ... sistem penjadwalan
adalah salah satu infrastruktur teknologi yang bisa membatasi. jadi
apa yang orang coba lakukan yang mengajar blended adalah bekerja
dengan penjadwalan lebih dekat agar mereka tahu bahwa “untuk
semester ini, Saya tidak akan menggunakan kamar pada hari Senin,
jadi Anda bisa memberikannya kepada orang lain. "Akhirnya,
mengumpulkan dan menganalisis data evaluatif yang kaya pada
kursus Blended adalah ciri khas lembaga Tahap 3. UCF memiliki
hampir dua dekade data tentang dampak siswa, dampak fakultas,
dan dampak kelembagaan dari kursus Blended dan online.
Mengumpulkan data komparatif ini dimungkinkan karena sistem
universitas melampirkan meta-data tentang modalitas ke kursus.
Berbicara tentang proses evaluasi mereka, seorang anggota fakultas
di UCF menyatakan bahwa mereka “telah menggali sangat dalam
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan dan
penarikan dengan hampir setiap ukuran yang dapat Anda temukan,
[termasuk] kepuasan dan beban kerja serta hal-hal semacam itu.”
data dibagikan dengan dekan dan administrator lain untuk
melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan strategis
mengenai penawaran kursus Blended dan online. UWM tidak
memiliki proses dan sistem formal untuk mengukur kemajuan
implementasi BL di seluruh kampus, tetapi mereka bekerja menuju
satu: Kami belum benar-benar memiliki implementasi survei skala
besar untuk siswa online yang dicampur dan melihat kepuasan

HENA DIAN AYU 39


mereka dan hal-hal semacam itu. Kami telah, berdasarkan kasus,
memiliki fakultas dan departemen yang berbeda melakukan kontrol
dan studi variabel dari ayat-ayat tatap muka dicampur atau online
dan [kami] melihat beberapa perbedaan yang signifikan secara
statistik dalam nilai dan hal-hal semacam itu. Jadi siswa melakukan
lebih baik di kelas Blended dan online.
c. Mendukung
Lembaga-lembaga implementasi dan pertumbuhan yang dewasa
menangani kebutuhan BL dengan dukungan teknologi yang mapan.
UCF, misalnya, memiliki Divisi Teknologi Informasi dan Sumber
Daya yang menawarkan dukungan melalui perpustakaan
universitas, layanan komputer dan telekomunikasi, Kantor Sumber
Daya Instruksional, dan Pusat Pembelajaran Terdistribusi.
Demikian pula, UWM telah meningkatkan kapasitas perpustakaan
dan pusat bimbingan belajarnya untuk mendukung instruktur dan
siswa dari jarak jauh dan waktu yang fleksibel. Institusi pelaksana
dan pertumbuhan yang matang juga memiliki pengembangan
profesional yang mapan. Baik UCF dan UWM memiliki program
pengembangan fakultas yang dirancang untuk mendidik fakultas
tentang cara memadukan kursus mereka secara efektif. Selain itu,
fakultas menerima insentif moneter atau pengurangan beban untuk
berpartisipasi dalam program (di UCF pengurangan beban satu
program atau gaji langsung dengan nilai yang setara, sekitar
$ 2500). Seorang anggota fakultas UCF yang ingin membuat kursus
Blended harus terlebih dahulu menghadiri lokakarya
pengembangan fakultas selama 8 minggu (sekitar 80 jam kerja):
Setiap anggota fakultas yang mengajar baik kursus online atau
Blended pergi ke program pengembangan fakultas yang diperlukan
yang berlangsung sekitar delapan minggu, dan mereka dipasangkan
dengan desainer instruksional yang ditugaskan yang merupakan
semacam petugas mereka untuk melakukan transisi dari ruang kelas
ke online dan kemudian bekerja dengan mereka secara
berkesinambungan untuk pembaruan dan revisi dan kursus
pengajaran dan sebagainya. Jadi melalui proses pengembangan
fakultas itulah kami menyesuaikannya dengan harapan. UCF telah
mendekati pelatihan fakultas mereka untuk online dan BL dengan
sangat sistematis, dengan hampir 90% fakultas berpartisipasi dalam
pelatihan. Karena sumber daya yang terlibat, fakultas harus
menerima persetujuan dari atasan dan dekan mereka untuk
berpartisipasi. Di UWM, program pengembangan fakultas
menggunakan model pembelajaran aktif yang berpusat pada siswa
untuk memandu fakultas dalam proses mendesain ulang mata
kuliah. Program UWM diajarkan dalam format Blended, dengan
beberapa lokakarya tatap muka diselingi dan terintegrasi dengan
kegiatan pembelajaran online. Insentif fakultas untuk berpartisipasi
dalam pengembangan kursus di UWM awalnya didanai melalui
hibah. Saat ini program pengembangan fakultas didanai dari dana
universitas inti sebagian didukung oleh biaya pendidikan jarak jauh
siswa. Sebagian besar fakultas diberikan tunjangan, biasanya rata-
rata antara $ 4000 dan $ 5000 untuk mendesain ulang mata kuliah

HENA DIAN AYU 40


mereka. Kita tahu bahwa waktu dan uang bisa sangat penting bagi
fakultas untuk merancang ulang mata kuliah. Jadi ada investasi
awal dari hibah dari sistem UW dan juga dari universitas dan telah
menjadi semacam norma di kampus ini. Jadi departemen tahu
bahwa akan ada desain ulang investasi awal untuk dicampur dan
online.
Kesimpulan Keenam kasus yang dibahas dalam artikel ini menunjukkan lembaga
di berbagai tahap adopsi dan implementasi BL. Lembaga di Tahap
1, kesadaran / eksplorasi, terlibat dalam kegiatan yang diidentifikasi
oleh Rogers (2003) sebagai penetapan agenda dan pencocokan.
Mereka menyadari tantangan organisasi di mana BL bisa menjadi
solusi inovatif, tetapi mereka belum membuat keputusan untuk
mengadopsi. Dalam masing-masing dari empat kasus di luar Tahap
1, lembaga telah menyelaraskan BL untuk memecahkan satu atau
lebih tantangan kelembagaan yang signifikan seperti periode
pertumbuhan yang cepat, keinginan untuk memberikan akses
kepada lebih banyak siswa, kurangnya infrastruktur fisik, keinginan
untuk meningkatkan fleksibilitas untuk fakultas dan siswa, dll.
Tujuan peningkatan hasil belajar sering disebut oleh lembaga
sebagai hal yang kritis, sering mendorong adopsi BL sebagai solusi
untuk tantangan lain juga. Banyak pemimpin institusional
menganggap BL sebagai cara untuk mengatasi tantangan
pertumbuhan, biaya, atau fleksibilitas sambil bergaung dengan
fakultas sebagai memiliki potensi untuk meningkatkan
pembelajaran siswa.
Lembaga pada Tahap 2, adopsi / implementasi awal, terlibat dalam
Rogers (2003) mendefinisikan ulang / merestrukturisasi dan
mengklarifikasi kegiatan. Institusi Tahap 2 telah mengadopsi BL
dan berusaha memodifikasi inovasi dan struktur organisasi untuk
membantu inovasi berhasil. Secara khusus, lembaga berjuang untuk
mengembangkan struktur tata kelola yang tepat untuk inisiatif
Blended serta menyesuaikan sistem universitas (seperti pendaftaran
dan katalog) untuk mengintegrasikan jenis-jenis baru penawaran
kursus. Institusi Tahap 2 juga menempatkan banyak sumber daya
untuk membangun proses pengembangan kursus yang tepat bersama
dengan pelatihan pedagogis dan insentif fakultas untuk membuat
inisiatif ini berhasil. Kami menemukan lebih sedikit penekanan
daripada yang kami harapkan pada standardisasi hasil pembelajaran
dan penilaian untuk kursus serupa yang diajarkan dalam modalitas
yang berbeda. Hasil dan penilaian umum adalah penting dalam
menentukan pendekatan dan kondisi pengajaran mana yang benar-
benar mengarah pada peningkatan pembelajaran siswa.
Institusi sebagai Tahap 3, implementasi / pertumbuhan yang
matang, telah menjadikan BL sebagai aspek rutin dari operasi
universitas mereka dan bekerja pada peningkatan berkelanjutan
melalui peningkatan perhatian pada evaluasi dan pengambilan
keputusan berdasarkan data. UCF tidak hanya menggunakan
datanya untuk keputusan internal yang penting, tetapi menerbitkan
temuannya untuk menguntungkan lembaga lain yang mencoba
melembagakan praktik BL (Dziuban, Hartman, Cavanagh, &

HENA DIAN AYU 41


Moskal, 2011; Dziuban, Hartman, Juge, Moskal, & Sorg, 2006;
Dziuban , Hartman, Moskal, Sorg, & Truman, 2004; Dziuban &
Moskal, 2011). Tahap ini mirip dengan apa yang Rogers (2003)
gambarkan sebagai rutinisasi dalam model prosesnya untuk inovasi
organisasi.
Untuk setiap kasus kelembagaan dalam penelitian ini, BL dimulai di
tingkat fakultas. Tetapi bahkan ketika sejumlah fakultas yang baik
mampu mengadopsi dan menerapkan solusi Blended sendiri,
hambatan yang berkaitan dengan kebijakan kelembagaan, struktur,
dan kurangnya dukungan dapat mencegah.
adopsi besar-besaran fakultas BL dan manfaat institusional yang
menyertainya. Seiring berkembangnya BL dari tingkat fakultas dan
dilengkapi dengan perhatian institusional terhadap kebijakan dan
struktur pendukung, BL dapat bermanfaat bagi lembaga, fakultas,
dan mahasiswa. Studi ini mengidentifikasi aspek adopsi dan
implementasi BL yang harus diperhatikan oleh institusi yang
tertarik. Sebagai contoh, lembaga harus jelas tentang tujuan mereka
untuk implementasi dan definisi mereka tentang kursus Blended.
Secara umum, pelaksana yang berhasil dalam penelitian kami mulai
dengan advokat administrasi yang mampu meyakinkan orang lain
tentang nilai mengejar BL. Advokasi kemudian diperluas ketika
para pemimpin unit akademik terlibat dalam pengambilan
keputusan, terutama terkait dengan bagaimana BL akan berdampak
pada unit mereka sendiri. Selain itu, upaya dilakukan untuk
memperbarui sistem data universitas yang digunakan untuk
pendaftaran dan penjadwalan sehingga kursus BL dapat diberi label
dan diiklankan dengan tepat kepada siswa.

HENA DIAN AYU 42


1. Identitas Jurnal

Judul Operation ARA: A computerized learning game that


teaches critical thinking and scientific reasoning
Nama Jurnal Thinking Skills and Creativity 7
Halaman 93-100
Tahun 2012
Author Diane F. Halperna, Keith Millisb, Arthur C. Graesserc, Heather
Butlerd, Carol Forsythc, Zhiqiang Caic
a
Claremont McKenna College, Claremont, CA, USA
b
Northern Illinois University, DeKalb, IL, USA
c
University of Memphis, Memphis, TN, USA
d
Claremont Graduate University, Claremont, CA, USA
Keyword Computerized learning, Critical thinking, Scientific
reasoning, Science of learning, Learning games, Serious games
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.tsc.2012.03.006
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review

Review Uraian
Tujuan Untuk mengajarkan keterampilan penalaran ilmiah dan berpikir
kritis siswa dengan menggunakan game pembelajaran
terkomputerisasi
Latar Belakang Dalam menyikapi tantangan untuk menciptakan alat terbaik untuk
belajar dengan menerapkan apa yang kami ketahui tentang ilmu
belajar dan mengadaptasi prinsip-prinsip itu untuk generasi “digital
natives,” sebuah istilah yang menggambarkan orang dewasa muda
saat ini yang tidak pernah mengenal dunia tanpa komputer dan
internet. Mereka lebih cenderung mendapatkan informasi dari
beragam media non-cetak yang tersedia bagi mereka daripada dari
buku teks. Menurut laporan yang dikumpulkan oleh Frontline
(Public Broadcast System, 2010), penduduk asli digital berusia 13-
17 tahun rata-rata 1742 pesan teks per bulan, 91% menggunakan
profil mereka di situs web media sosial untuk tetap berhubungan
dengan teman, dan mereka menghabiskan rata-rata 4,5 ha hari
menonton media layar (internet, televisi, dll.), Tidak termasuk game.
Tidak mengherankan, lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk
belajar dari buku-buku, dan lebih banyak siswa hari ini menemukan
kesulitan untuk belajar dari teks cetak. Kami dapat menyesalkan
hilangnya keterampilan buku teks dan merancang intervensi
pendidikan yang membantu siswa mencapai pembelajaran yang
lebih baik dari buku, dan kami juga dapat memberikan pengalaman
belajar berkualitas tinggi berdasarkan pada bagaimana siswa benar-
benar belajar, termasuk permainan belajar komputer. Ada manfaat
untuk belajar dari game yang terkomputerisasi, yang mencakup
peningkatan perhatian visual dan waktu respons yang lebih cepat
(Dye, Green, & Bavelier, 2009).

HENA DIAN AYU 43


Kami mengembangkan game pembelajaran terkomputerisasi,
Operation ARA yang menggabungkan temuan terbaik dari ilmu
pembelajaran. Mayer (2008) mengingatkan para pendidik bahwa
betapapun canggihnya teknologi untuk konten pendidikan, jika
prinsip-prinsip dasar pembelajaran tidak dimasukkan ke dalam
desain materi, maka pembelajaran yang berkualitas tidak mungkin
terjadi.
Landasan teori 1. Siswa yang menggunakan Tutor Otomatis telah menunjukkan
yang digunakan & hasil belajar yang cukup besar sebanding dengan bimbingan
hasil penelitian belajar satu lCloud satu (Graesser et al., 2004; VanLehn et al.,
sebelumnya 2007).
2. Tutor adaptif yang sukses memilih masalah yang secara khusus
membahas tingkat pengetahuan siswa sebelumnya dan
mempertimbangkan nilai ujian sebelumnya (Graesser, Conley,
& Olney, 2012).
Metode 1. E-Learning
Keterlibatan aktif, Operasi ARA mengharuskan peserta didik
menunjukkan pembelajaran mereka secara konsisten di seluruh
program. Ada tiga modul dalam Operasi ARA: Pelatihan Dasar di
mana siswa menggunakan e-book interaktif untuk mempelajari
prinsip-prinsip dasar pemikiran ilmiah, seperti kebutuhan untuk
kelompok kontrol dan perbedaan antara desain penelitian
korelasional dan kausal; Pembuktian di lapangan dengan cara siswa
memainkan permainan seperti bahaya melCloud avatar yang
mengambil peran sebagai siswa yang bersaing; dan Tugas Aktif di
mana siswa mengajukan pertanyaan untuk menentukan apakah studi
yang dilaporkan dapat diandalkan atau cacat. Di awal program,
siswa merespons pertanyaan, tetapi pada akhir program mereka
mengajukan pertanyaan. Tidak seperti buku standar, siswa tidak bisa
semata-mata mengalihkan pandangan ke teks atau menghapus
stabilo di halaman. Mereka tidak dapat bergerak melalui program
tanpa menunjukkan pembelajaran mereka di setiap langkah.
Generasi Respon, melalui Operasi ARA, pemahaman mereka
tentang konsep dan prinsip sains berulang kali diuji. Dalam
Pelatihan Dasar, siswa menjawab sejumlah pertanyaan pilihan
ganda pada akhir setiap bab dan kemudian berpartisipasi dalam
diskusi percobaan dengan avatar di mana pemahaman materi dari
bab ini diklarifikasi dan diperkuat. Siswa mengevaluasi 11 kasus di
Proving Ground, dan untuk setiap kasus mereka harus menerapkan
pemahaman mereka tentang konsep ilmiah untuk menentukan
apakah penelitian ini dapat diandalkan atau cacat. Dalam Tugas
Aktif siswa menghasilkan pertanyaan mereka sendiri tentang
deskripsi penelitian yang disingkat untuk menentukan apakah
penelitian ini cacat. Dalam modul ini, siswa secara aktif mengingat
konsep-konsep ilmiah untuk menghasilkan pertanyaan, dengan
sedikit perancah pada titik ini dalam permainan.
Efek Jarak, Siswa bekerja melalui Operasi ARA dari waktu ke
waktu dan berulang kali berlatih dan menerapkan konsep dalam
konteks yang berbeda. Sesuai dengan kriteria ini, siswa ditempatkan
secara adaptif dalam salah satu dari tiga kondisi bimbingan

HENA DIAN AYU 44


berdasarkan tingkat pengetahuan mereka saat ini, yang diukur
dengan skor mereka pada tes pilihan ganda sebelumnya. Jika siswa
manusia menunjukkan pemahaman konsep tingkat rendah, mereka
menerima uji coba pembelajaran perwakilan di mana mereka
mengamati guru virtual yang membimbing siswa virtual, dengan
partisipasi aktif terbatas. Kondisi pembelajaran yang aneh telah
menunjukkan hasil belajar yang signifikan khususnya untuk siswa
yang berpengetahuan rendah (Driscoll et al., 2003). Untuk
mempertahankan keterlibatan selama pembelajaran perwakilan,
siswa diminta untuk menjawab pertanyaan tentang situasi
bimbingan belajar. Sebagai contoh, guru virtual mungkin bertanya
kepada siswa manusia apakah siswa virtual memahami konsep atau
apakah jawaban siswa virtual itu benar. Jika peserta didik
menunjukkan pemahaman konsep yang moderat, mereka menerima
uji coba bimbingan standar, dan mereka diajari oleh guru virtual.
Sebagai contoh, guru virtual mungkin meminta siswa manusia untuk
memberikan definisi konsep dan perancah siswa menggunakan
petunjuk, petunjuk, umpan balik, dan koreksi miskonsepsi. Jika
peserta didik menunjukkan pemahaman yang baik tentang konsep,
mereka berinteraksi dengan trialog agen yang dapat diajar, dan
siswa manusia mengajari siswa virtual. Sebagai contoh, siswa
virtual mungkin memberi tahu siswa manusia bahwa mereka tidak
benar-benar memahami konsep dan menawarkan penjelasan yang
salah. Siswa manusia kemudian harus menjelaskan kepada siswa
virtual apa konsep itu dan mengapa mereka salah.
Umpan balik sebagai pengetahuan tentang hasil, Pada awal
proses pembelajaran, umpan balik lebih sering dibutuhkan daripada
kemudian dalam proses pembelajaran. Dengan cara ini, peserta
didik dapat menjadi juri atas kinerja mereka sendiri dan kurang
bergantung pada pengetahuan eksternal hasil daripada mereka akan
dengan umpan balik yang lebih konstan. Kami menggunakan
prinsip ini dalam desain Operasi ARA. Seiring kemajuan peserta
didik melalui program ini, mereka menerima umpan balik yang
semakin jarang dan kurang terperinci.
Meningkatkan transfer Variabilitas, Variabilitas selama
pembelajaran telah terbukti penting untuk meningkatkan daya ingat
jangka panjang dan meningkatkan transfer pengetahuan. Tema
variabilitas selama pembelajaran menggarisbawahi hubungan
kausal dan kadang-kadang kontradiktif antara apa yang terjadi
selama pembelajaran dan retensi jangka panjang. Dengan
menggunakan contoh-contoh dari domain sains yang berbeda
psikologi, biologi, dan kimia, siswa perlu berkonsentrasi pada
prinsip-prinsip ilmiah yang mendasarinya, yang sebenarnya
membuat pembelajaran lebih sulit.
2. Menggunakan format permainan untuk meningkatkan motivasi
dan keterlibatan
Alur cerita yang menarik.,Operation ARA memanfaatkan yang
terbaik dari apa yang kita ketahui tentang bagaimana orang belajar,
itu juga meminjam dari literatur yang berkembang di game-game
serius. Dalam Operasi, pembelajaran ARA tertanam dalam alur

HENA DIAN AYU 45


cerita yang menarik. Permainan dimulai ketika pemain bergabung
dengan Biro Sains Federal yang resmi di mana mereka belajar
tentang rencana jahat makhluk luar angkasa. Rupanya, makhluk luar
angkasa menerbitkan penelitian yang dirancang dengan buruk di
berbagai outlet media dengan tujuan membingungkan manusia
tentang apa yang merupakan ilmu yang baik. Namun, para alien itu
menyamar sebagai manusia. Oleh karena itu, pemain diberi tugas
mempelajari metode ilmiah sehingga ia dapat membantu FBS
mengidentifikasi makhluk luar angkasa. Sepanjang jalan, seorang
protagonis avatar mengetahui bahwa saudaranya ditahan oleh
Fuaths dari planet Thoth dan tampaknya telah rusak di bawah
tekanan. Yang memperumit masalah, protagonis kami menemukan
bahwa ia jatuh cinta pada Fuath, sehingga memadukan naskah aksi
dan romansa tradisional. Tapi, semua tidak seperti apa kelihatannya.
Kita kemudian mengetahui bahwa makhluk luar angkasa mencuri
sumber daya alam kita. Plotnya memiliki tikungan yang
mengejutkan dan akhirnya terserah pelajar untuk menyelamatkan
dunia dengan mengidentifikasi alien di antara kita. Ada agen ganda,
humor, romansa, intrik politik, dan banyak lagi yang terjadi dalam
tema "hijau". Deskripsi tambahan tentang Operation ARA
Poin dan Insentif lainnya, Seiring kemajuan siswa melalui
program ini, mereka menerima insentif untuk merespons dengan
benar, yang mencakup poin perolehan dalam kompetisi melCloud
avatar siswa yang agak menjengkelkan dan agak menjengkelkan.
Kemudian dalam permainan, pelajar harus memutuskan apakah
penelitian tertentu dapat diandalkan atau cacat, dan jika mereka
benar, peneliti manusia dibebaskan dan peneliti asing dikirim ke
penjara. Kesalahan bisa menjadi malapetaka karena mereka akan
membiarkan orang asing yang berbahaya menjadi bebas dan
manusia yang tidak bersalah akan masuk penjara. Pada akhirnya,
keputusan yang baik akan menyelamatkan dunia, yang kami yakini
sebagai hasil yang memotivasi.
Langkah-langkah

Pengumpulan Data 1. Studi 1:


Peserta, pengetahuan diperoleh dari pelatihan dasar, Siswa dari tiga
perguruan tinggi dan universitas yang berbeda secara kualitatif (17
mahasiswa perguruan tinggi, 66 mahasiswa negeri, 53 mahasiswa

HENA DIAN AYU 46


seni liberal swasta) berpartisipasi dalam penelitian ini. Mayoritas
sampel adalah perempuan (67,6% perempuan, 32,4% laki-laki) dan
siswa dengan tingkat yang lebih rendah (47,1% mahasiswa baru,
27,2% mahasiswa tahun kedua, 9,6% junior, 11,8% senior, 4,4%
lainnya). Sampel beragam secara etnis, 34,6% Kaukasia, 27,9%
Asia, 17,6% Latin, 8,1% Bi-ras, 5,1% Afrika-Amerika, dan 6,7%
dari sampel melaporkan etnis lain atau menolak untuk menyatakan
etnisitasnya. Sekitar 87% dari sampel telah atau sedang mengikuti
kursus Pengantar Psikologi.
Materi, Semua siswa mengambil pretest dan posttest yang menilai
pengetahuan mereka tentang metode penelitian dan penalaran
ilmiah. Dua versi tes dibuat dan administrasi tes itu seimbang. Tes
terdiri dari dua studi kasus, 21 pertanyaan jawaban singkat, dan 21
pertanyaan pilihan ganda. Keuntungan belajar proporsional dihitung
untuk masing-masing pretest dan posttest. Rumus untuk menghitung
keuntungan belajar proporsional adalah (posttest - pretest / 1 -
pretest). Modul pertama diajarkan dengan e-teks interaktif di mana
siswa menerima berbagai jenis otomatis les berdasarkan kinerja
mereka. Kami membandingkan skor pretest dan posttest pada 17
konsep berbeda yang diajarkan dalam Operasi ARA dan
membandingkan skor dengan kelompok kontrol yang terdaftar di
perguruan tinggi, tetapi tidak terlibat dalam pelatihan Operasi ARA.
2. Studi 2 :
Peserta, Dua ratus lima belas siswa dari universitas Midwestern
besar ditugaskan secara acak ke salah satu dari empat jenis
bimbingan belajar. Karena kami tertarik pada efek pengetahuan
sebelumnya pada pembelajaran dari Operasi ARA, kami
menggunakan split tersier berdasarkan pra-tes untuk membentuk
kelompok pengetahuan sebelumnya "tinggi" dan "rendah".
Kelompok bimbingan belajar adalah: (a) kelompok kontrol tanpa
bimbingan belajar (n = 32), (b) kelompok bimbingan belajar di mana
pelajar kebanyakan menyaksikan siswa avatar diajari oleh guru
avatar (n = 28), (c) ) sebuah kelompok bimbingan belajar adaptif di
mana pembelajar manusia dibimbing oleh seorang guru avatar (n =
27), dan (d) sebuah kelompok bimbingan belajar di mana
pembelajar manusia mengajari siswa avatar (n = 29). Sampelnya
adalah 57% perempuan.
Analisis Data 1. Studi 1
Setelah mengambil pretest, siswa dapat bermain Operation ARA (n
= 58) atau berpartisipasi dalam kondisi kontrol yang tidak
memainkan game (n = 78), dan kemudian semua siswa mengambil
posttest pada waktu yang kurang lebih sama selama semester
pengujian . Setiap konsep dinilai dalam pretest dan posttest dengan
respon yang dibangun dan pertanyaan pilihan ganda. Ada dua
bentuk tes, dengan setengah dari semua siswa mengambil Formulir
A sebagai pretest dan Formulir B sebagai posttest dan sebaliknya
untuk separuh siswa lainnya. Setiap item pada tes diberi skor dari 0
hingga 2, dengan 0 menunjukkan respons yang salah, 1 dan 1.5
menunjukkan respons yang benar sebagian, dan 2 menunjukkan

HENA DIAN AYU 47


respons yang benar pada kedua pertanyaan yang sesuai dengan
masing-masing konsep.
2. Study 2
Siswa menanggapi pertanyaan pilihan ganda pada lima bab Operasi
ARA di waktu mereka sendiri di sebuah laboratorium di universitas.
Ketika mereka menanggapi setiap rangkaian pertanyaan tentang
konsep-konsep utama, salah satu dari empat jenis bimbingan
dimulai. Peserta memiliki jenis perlakuan yang sama untuk semua
konsep.
Hasil 1. Studi 1
Siswa yang memainkan Operasi ARA memiliki hasil belajar
proporsional yang lebih tinggi (M = .193, SE = .031) dibandingkan
siswa yang tidak memainkan permainan (M = −.101, SE = .032), F
(1, 130) = 43.279 , p = 0,001, d = 1,40. Tidak ada perbedaan dalam
pembelajaran proporsional keuntungan antara perguruan tinggi,
juga tidak ada interaksi antara jenis perguruan tinggi dan apakah
mereka bermain game atau tidak; semua nilai p tidak signifikan
secara statistik.

2. Studi 2
Untuk menguji perolehan pembelajaran jangka panjang, dengan
membandingkan jenis bimbingan belajar yang diterima siswa
(menggunakan kelompok kontrol tanpa bimbingan) dan menguji
mereka segera pada tes jawaban singkat setelah sesi bimbingan
belajar dan juga setelah penundaan satu minggu. Persen benar
dihitung untuk setiap peserta. Pola sarana ditunjukkan pada Gambar.
2. Mereka diserahkan ke ANOVA Blended dengan kondisi
percobaan dan pengetahuan sebelumnya sebagai faktor antara
peserta dan topik dan penundaan sebagai faktor dalam-peserta.
Secara umum kami menemukan bahwa jenis dan keberadaan
bimbingan belajar berdampak kecil ketika diuji segera. Ini masuk
akal karena materi akan tetap "segar" dalam ingatan peserta. Kami
telah memperkirakan jumlah peluruhan yang diamati selama
minggu ini secara signifikan lebih kecil untuk kondisi les karena
keterlibatan aktif. Namun, penundaan dengan interaksi kondisi
belajar hanya sedikit signifikan, F (3, 108) = 1,99, p = 0,06 (satu-
ekor). Ketika kami membandingkan kondisi bimbingan belajar
dengan jumlah keterlibatan aktif paling sedikit (perwakilan) dengan
yang paling (mengajar), keterlambatan oleh interaksi kondisi itu
signifikan menurut tes dua sisi, F (1, 53) = 5,41, p <. 05 Temuan ini
HENA DIAN AYU 48
menunjukkan pembelajaran tahan lama terhebat untuk kondisi
bimbingan belajar yang membutuhkan keterlibatan aktif, seperti
yang diharapkan dari prinsip pembelajaran pembelajaran yang
dilibatkan. Meskipun ada efek utama yang besar dari pengetahuan
sebelumnya, F (1, 108) = 49,20, p <0,01, dan topik F (4, 432) =
63,03, p <0,01, mereka tidak berinteraksi dengan yang lain faktor-
faktor. Agaknya, peserta dengan tingkat pengetahuan sebelumnya
yang berbeda diuntungkan oleh uji coba yang tertanam dalam game.

Kesimpulan Sudah saatnya bahan pembelajaran mengejar dengan jenis informasi


yang sudah digunakan oleh siswa di kelas kami, penduduk asli
digital. Operation ARA adalah permainan belajar komputer yang
serius yang mengajarkan prinsip-prinsip penalaran ilmiah. Ini
adalah yang pertama untuk secara eksplisit menargetkan
keterampilan berpikir penting menggunakan format game. Kami
percaya bahwa pemikiran yang lebih baik dapat menjadi hasil
pendidikan, dan bahwa format permainan mungkin merupakan
mode terbaik untuk meningkatkan retensi jangka panjang dan
penerapan keterampilan kritis ini, meskipun kami menyadari bahwa
banyak pertanyaan yang belum terjawab masih tetap mengenai
efektivitasnya sebagai alat. untuk belajar penalaran ilmiah /
pemikiran kritis.

HENA DIAN AYU 49


1. Identitas Jurnal
Judul Teachers’ experiences of teaching in a blended learning
environment
Nama Jurnal Nurse Education in Practice 1
Halaman 524-528
Tahun 2013
Author Pirkko Jokinen, Irma Mikkonen
Savonia University of Applied Sciences, School of Health
Care, P.O. Box 1028, FI-70111 Kuopio, Finland
Keyword Blended learning, Learning technology, Nurse education
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.nepr.2013.03.014
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review

Review Uraian
Tujuan Menjelaskan dan menggambarkan pengalaman guru dalam
perencanaan dan pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran pada
program keperawatan sarjana dewasa berbasis blended-learning.
Menjelaskan tentang penggunaan pendekatan pembelajaranBlended
learning dalam pendidikan perawat dari perspektif guru. Kombinasi
pembelajaran tatap muka, online, dan berbasis praktik menciptakan
tantangan yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan dan
menerapkan blended teaching and learning.
Latar Belakang Savonia University of Applied Sciences di Finlandia meluncurkan
program pendidikan keperawatan berbasis kompetensi dan praktik
pada musim gugur 2010. Kurikulum ini didasarkan pada pendekatan
pembelajaran Blended dan tujuannya adalah untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran etis mahasiswa
keperawatan. Dalam program ini, Blended learning dibangun
dengan menggabungkan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran
dalam praktik dengan pembelajaran yang dimediasi teknologi. Ide
dasar dari kurikulum adalah mengundang siswa untuk berdialog
antara teori dan praktik, dan memberikan akses pengetahuan dan
keterampilan para ahli dan profesional dalam penyelesaian masalah
dunia nyata.
Sebagai kerangka kerja untuk kurikulum, pendekatan pembelajaran
Blended memungkinkan siswa untuk mendapatkan berbagai
pengalaman belajar. Blended learning melibatkan kuliah tatap muka
dan online, simulasi, bengkel, pembelajaran mandiri dan diskusi
online dan pembelajaran. Peralatan teknologi interaktif baru, seperti
sistem konferensi video desktop, dikombinasikan dengan
pembelajaran blended learning dapat menghadirkan interaksi siswa
dalam pembelajaran (Kliger dan Pfeiffer, 2011). Beberapa
keuntungan dari blended learning adalah fleksibilitas (Graham,
2006; Ocak, 2010), pembatasan kebebasan waktu (Ocak, 2010),
kekayaan pedagogik dan efektivitas biaya (Graham, 2006). Salah

HENA DIAN AYU 50


satu dari banyak tantangan dalam semua pendidikan adalah
bagaimana meningkatkan kemandirian siswa sebagai pelajar;
bagaimana memaksimalkan pengarahan diri sendiri, pilihan konten
dan menjadi pusat dari proses pembelajaran mereka sendiri
(Reynard, 2007; Rigby et al., 2012). Ada bukti bahwa blended
learning dapat meningkatkan kemandirian siswa (Reynard, 2007)
dan mendorong pembelajaran seumur hidup (Ireland et al., 2009;
Rigby et al., 2012). Ini adalah kedua faktor yang telah dilihat sebagai
keterampilan penting dari seorang perawat yang kompeten (Benner
et al., 2010).
Landasan teori Tinjauan literatur tentang blended learning mengungkapkan bahwa
yang digunakan & ada banyak masalah yang harus dipertimbangkan guru ketika
hasil penelitian membuat blended learning. Secara khusus, para guru harus
sebelumnya memikirkan implikasi pedagogis melalui hati-hati, dan membuat
desain baru untuk pengajaran dan pengiriman kursus (Mccown,
2010; Mohanna et al., 2008; Reynard, 2007). Mereka harus memilih
metode yang sesuai dengan tujuan kursus (Mccown, 2010). Ocak
(2010) telah mengkategorikan faktor-faktor hambatan potensial
untuk penggunaan pengajaran Blended menjadi tiga kelompok:
proses pembelajaran; keprihatinan masyarakat; dan masalah teknis.
Proses instruksional termasuk kompleksitas lingkungan belajar
Blended, kurangnya waktu untuk persiapan dan perencanaan
pengajaran, tantangan dalam mendorong siswa untuk menggunakan
bagian online dari kursus dan manajemen waktu adalah alasan yang
paling umum disebutkan untuk tidak menggunakan blended
teaching . Kekhawatiran masyarakat, yaitu, kurangnya dukungan
institusional dan tuntutan perubahan peran guru, dapat mencegah
guru dari memasukkan pengajaran Blended ke dalam operasi.
Hambatan potensial yang menghambat penerapan blended learning
juga dapat dikaitkan dengan ketidaknyamanan guru dan siswa
dengan teknologi, dukungan teknis yang tidak memadai, dan
perangkat keras yang tidak memadai. Namun, sumber daya teknis
yang terorganisasi dengan baik mempromosikan keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran (Kliger dan Pfeiffer, 2011; Rigby et al.,
2012), dan meningkatkan keterlibatan guru dalam pemrograman
Blended pengajaran dan pembelajaran (Reynard, 2007).
Metode Metode penelitian adalah kualitatif, dan data dikumpulkan dengan
wCloudcara terhadap tiga kelompok fokus, masing-masing dengan
empat hingga enam peserta. Data dianalisis menggunakan analisis
konten kualitatif.
Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan wCloudcara kelompok fokus. Kelompok
fokus adalah bentuk wCloudcara kelompok yang dimoderasi yang
merangsang komunikasi dan interaksi antara peserta penelitian
untuk menghasilkan data. Total ada 3 group dengan anggota
masing-masing 4-6 orang.
Analisis Data Data dianalisis menggunakan analisis konten kualitatif. Pertama,
data transkrip disusun sesuai dengan tema wCloudcara. Kedua,
dalam setiap tema analisis dilanjutkan secara induktif melalui proses
kategorisasi ke dalam tema yang menggambarkan pengalaman guru
dalam pembelajaran blended learning.

HENA DIAN AYU 51


Hasil Sembilan pembahasan untuk menggambarkan pandangan guru
tentang perencanaan dan pelaksanaan pengajaran dalam program
keperawatan dewasa berbasis blended learning. Ini adalah:
perencanaan kolaboratif; integrasi; kelompok mahasiswa;
pengajaran tatap muka; pembelajaran online. Kegiatan
Pembelajaran; metode belajar mengajar; belajar di dalam dan
tentang pekerjaan; dan mengkonfirmasikan kompetensi.
Perencanaan kolaboratif, dianggap perlu dalam pengalaman guru
tentang perencanaan dan pengajaran dalam program berbasis
pembelajaran Blended. Sikap guru terhadap perencanaan bersama
terutama positif: mereka mengalami perencanaan kolaboratif itu
mendukung integrasi konten pembelajaran. Selain itu, para guru
berpikir bahwa perencanaan bersama mendukung pengembangan
keahlian guru serta pengembangan pengajaran dan pembelajaran.
Apalagi para guru mempersepsikan perencanaan bersama itu dapat
meningkatkan transfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi lain.
Namun, para guru mengalami kesulitan dalam perencanaan
kolaboratif dan memakan waktu; Selain itu, mereka merasa bahwa
tidak mudah untuk beralih dari perencanaan tunggal dan bekerja ke
perencanaan kolaboratif dan bekerja sendiri bekerja begitu
mengakar.
Integrasi dalam perencanaan dan pengajaran terkait erat dengan
tema perencanaan kolaboratif sebelumnya. Integrasi muncul dari
pengalaman guru di beberapa tingkatan: mengintegrasikan kursus,
mata pelajaran, tugas belajar, dan mengintegrasikan kegiatan
pembelajaran dalam praktik. Ketika merencanakan blended
learning, para guru mengintegrasikan tiga kursus yang berbeda,
misalnya, ke dalam satu tema yang lebih luas, serta tugas belajar
yang lebih kecil ke dalam satu tugas yang lebih luas. Mereka juga
berencana untuk mempelajari penugasan dari sudut pandang praktik
kerja agar penugasan tersebut dapat langsung diterapkan pada
pekerjaan. Para guru merasa penting untuk memastikan bahwa
tujuan pembelajaran akan tercapai dengan tugas pembelajaran
terintegrasi; menurut guru, ketika tugas belajar diintegrasikan ke
dalam tugas yang lebih luas daripada beberapa tugas belajar yang
lebih kecil, siswa akan mencapai gambaran yang lebih holistik dari
masalah terkait perawatan, memungkinkan keahlian untuk
dikembangkan. Para guru menyajikan pengalaman yang sukses dan
tidak berhasil; mereka merasa bahwa pengantar dan penugasan
tugas belajar sangat penting.
Kelompok siswa memainkan peran penting dalam pengalaman
guru tentang blended learning. Para guru mengalami bahwa
sekelompok siswa dewasa dan dewasa dengan pendidikan
perawatan kesehatan dan pengalaman kerja sebelumnya memiliki
potensi besar untuk belajar. Para siswa dibagi menjadi kelompok
belajar partisipatif permanen (7e8 siswa per kelompok). Para guru
mengalami bahwa ini mendukung pembelajaran karena siswa di
antara setiap kelompok mewakili berbagai jenis tempat kerja
(kesehatan mental, akut, perawatan jangka panjang dan lanjut usia),
yang memungkinkan munculnya sudut pandang yang berbeda. Di

HENA DIAN AYU 52


sisi lain, bagaimanapun, guru merasa bahwa alokasi kelompok
permanen dapat mencegah pembelajaran karena peran tertentu yang
dipelajari dalam kelompok. Para guru mengalami bahwa kelompok
siswa sangat menantang dari sudut pandang perencanaan pengajaran
dan pembelajaran serta melaksanakan pengajaran: tantangan itu
disebabkan oleh ukuran kelompok (45 siswa) dan heterogenitasnya
sehubungan dengan usia siswa, pengalaman kerja dan pendidikan
sebelumnya. Karena semua siswa sudah matang dengan pengalaman
kerja (beberapa di antaranya bahkan lebih dari sepuluh tahun),
dalam pengalaman para guru, para siswa tampaknya sangat
berorientasi pada pekerjaan, dan pemikiran abstrak merupakan
tantangan bagi mereka.
Pengajaran tatap muka, pelaksanaannya lebih daripada di
program tradisional, guru mengalami ini sebagaisebuah tantangan.
Karena sesi tatap muka yang kurang, akan ada rasa terburu-buru;
mereka menekankan pentingnya menemukan isu-isu inti dari subjek
yang akan dibahas selama sesi tatap muka serta pentingnya
memberikan instruksi yang jelas untuk kegiatan pembelajaran
kepada siswa. Memutuskan masalah yang akan dipertimbangkan
selama sesi tatap muka dan menyusun konten yang sesuai untuk
dipelajari secara online merupakan tantangan bagi para guru.
Pembelajaran online, keberhasilannya tidak disangkal. Di
universitas, rekomendasi resmi adalah menggunakan pembelajaran
online dalam pengajaran dan semua guru memiliki pengajaran
online dasar dan pendidikan pembelajaran. Namun, tingkat
penggunaan pembelajaran yang dimediasi teknologi sebelumnya
bervariasi di antara para guru: beberapa memiliki banyak
pengalaman sedangkan ada guru yang hanya menyampaikan materi
melalui internet. Dalam program ini, para guru menyadari bahwa
menggunakan materi dalam kursus online berbeda dari
menggunakan materi dalam sesi tatap muka. Beberapa guru
menggunakan lingkungan online hanya sebagai tempat
penyimpanan materi pembelajaran; guru juga menyatakan
kekecewaan mereka tentang ketidaktahuan siswa tentang materi
online atau kehadiran online. Selain itu, guru membahas peran guru
dalam pembelajaran online kapan dan bagaimana guru harus
berpartisipasi dalam diskusi online.
Kesimpulan Satu temuan penting yang tidak dilaporkan dalam penelitian
sebelumnya adalah bahwa selain pembelajaran tatap muka dan
online, pendekatan pembelajaran Blended juga dapat mencakup
pembelajaran di dalam pekerjaan. Dalam studi ini, para guru
mengalami bahwa ketika kursus termasuk belajar di tempat kerja,
itu memungkinkan menyoroti masalah yang relevan dalam
pengajaran dan pembelajaran selama sesi tatap muka juga.
Akibatnya, integrasi teori dan praktik akan ditingkatkan serta
memiliki konten yang sesuai sebagai fokus dari sudut pandang
praktik, sehingga mengarah pada motivasi siswa dan hasil belajar
yang lebih baik. Selain itu, ada juga manfaat untuk tempat kerja;
kolaborasi antara siswa, staf di tempat kerja dan pendidik
memungkinkan pengembangan tempat kerja. Integrasi

HENA DIAN AYU 53


pembelajaran tatap muka, pembelajaran online, dan pembelajaran di
dalam pekerjaan memberikan peluang untuk meningkatkan
pembelajaran dalam program blended-learning. Ini karena program
semacam itu mendukung motivasi siswa melalui kehadiran
"kehidupan nyata" dan relevansinya dengan tempat kerja siswa
sendiri.

HENA DIAN AYU 54


1. Identitas Jurnal
Judul Effect of a blended learning environment on student critical
thinking and knowledge transformation
Nama Jurnal Interactive Learning Environments
Halaman 1-18
Tahun 2014
Author Min Jou, Yen-Ting Lin and Din-Wu Wu
Department of Industrial Education, National Taiwan Normal
University, Taipei, Taiwan R.O.C.
Keyword knowledge management; critical thinking; web application
DOI http://dx.doi.org/10.1080/10494820.2014.961485
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Menjelaskan pengaruh dari blended learning terhadap berpikir kritis
dan terhadap transfer pengetahuan siswa.
Latar Belakang Meningkatnya popularitas komputer dan konektivitas Internet
membuatnya nyaman untuk memperoleh dan berbagi informasi
secara online. Namun, banyak siswa hanya membaca sekilas
informasi ketika meneliti data dan menjadi kurang mampu dalam
analisis data atau integrasi. Kebiasaan membaca ini juga akan
memengaruhi kemampuan berpikir kritis (CT) yang lebih tinggi.
Dengan demikian, manajemen pengetahuan dan CT menjadi bidang
penting dalam penelitian selama beberapa tahun terakhir karena
keterampilan ini sangat penting untuk pengembangan pengetahuan
(Yeh, 2009).
Perkembangan dalam komputasi Cloud termasuk penciptaan
layanan web dan aplikasi seperti Flickr, Dropbox, Evernote, dan
aplikasi Google. Layanan web ini gratis dan hadir dengan antarmuka
yang ramah pengguna dan fungsi yang kuat, menjadikannya sangat
populer dan sangat diperlukan bagi beberapa pengguna. Oleh karena
itu, banyak penyelidikan telah menunjukkan bahwa layanan web ini
dapat diadopsi sebagai alat pendidikan yang berguna yang
digunakan oleh siswa dan instruktur untuk melakukan kegiatan
pendidikan yang bermakna (Alexander, 2006; Hughes, 2009;
Schneckenberg, Ehlers, & Adelsberger, 2011; Thompson, 2007 ;
Wang, Woo, Quek, Yang, & Liu, 2012).
Landasan teori Critical Thinking, Salah satu definisi CT yang paling terkenal
yang digunakan & dibuat oleh Ennis (1991) yang mendefinisikan CT sebagai
hasil penelitian "pemikiran reflektif yang masuk akal yang difokuskan pada
sebelumnya memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan".
Definisi lain diberikan oleh Moore dan Parker (2009) yang
menyatakan bahwa CT adalah "aplikasi alasan yang hati-hati dalam
penentuan apakah klaim itu benar".
Eggen dan Kauchak (1996, 2001) mengusulkan empat elemen yang
harus dimasukkan ke dalam rencana pembelajaran CT untuk
pengaturan pendidikan. Keempat elemen ini adalah pengantar dan
HENA DIAN AYU 55
peninjauan, presentasi, praktik terbimbing, dan praktik mandiri.
Konsep umum adalah bahwa guru harus meningkatkan perhatian
siswa dan motivasi belajar sambil memberikan informasi yang jelas
dan penting serta instruksi CT sehingga siswa dapat memahami nilai
CT. CT dan peluang praktik juga harus dimasukkan dan didorong
selama interaksi siswa-guru, dan siswa-siswa. Elemen terakhir dari
praktik independen mengharuskan siswa untuk menggunakan
memori dan kemampuan transformasi pengetahuan secara
individual sehingga mereka akan terbiasa dengan prosedur yang
diperlukan.
Yan dan Chou (2008) telah mengemukakan empat poin utama untuk
mengembangkan keterampilan CT yang secara khusus diarahkan
kepada siswa Asia Timur, yaitu pemodelan, interaksi, peluang, dan
umpan balik. Penekanan utama adalah untuk membuat siswa
memahami apa itu CT dan penggunaannya. Poin kunci dari model
pengembangan CT ini adalah bahwa instruktur harus merespons dan
memberikan umpan balik terhadap tindakan siswa selama waktu
pelajaran formal dan informal.
Transformasi pengetahuan, Transformasi pengetahuan adalah ide
yang dikemukakan oleh para sarjana Jepang, Nonaka dan Takeuchi
pada tahun 1995 dengan teori the generation of organizational
knowledge (Nonaka & Takeuchi, 1995). Kategorisasi dan
transformasi pengetahuan mengalami empat perspektif sosialisasi,
eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi (SECI). Model itu
menekankan bahwa transformasi bentuk pengetahuan dalam spiral
pengetahuan SECI akan membentuk pengetahuan baru.
Transformasi pengetahuan dan CT, Dari sudut pandang
konstruksi sosial pengetahuan, interaksi teman sebaya di antara
siswa dapat menyebabkan ketidakseimbangan pengetahuan,
ketidakkonsistenan pengetahuan, kebalikan dari persepsi dan ide,
dan ketidakcukupan dalam penalaran dan strategi logis. Namun,
interaksi rekan memungkinkan setiap peserta untuk memberikan
peluang dan sumber daya bagi orang lain untuk mendiskusikan dan
membangun pengetahuan secara kolaboratif. Interaksi sosial akan
memfasilitasi penerapan pemikiran tingkat tinggi seperti
keterampilan CT (Slavin, 1992). Oleh karena itu, beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa konstruksi sosial adalah proses
kunci dalam CT dan harus dilakukan melalui berbagi dan penciptaan
pengetahuan dalam konteks kolaboratif (Moore & Parker, 2009;
Norris & Ennis, 1989).
Pendekatan lingkungan pembelajaran transformasi
pengetahuan Blended, Lingkungan belajar Blended dengan
layanan Google yang dirancang menggunakan model SECI untuk
memfasilitasi proses transformasi pengetahuan dan meningkatkan
CT siswa. Layanan Google (Plus, Drive, Blogger, dan Sites) yang
diadopsi sebagai alat pendidikan di lingkungan belajar, akan
mendukung empat proses SECI di mana pengetahuan diam-diam
dan eksplisit akan terus berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya
dalam spiral pengetahuan untuk memfasilitasi CT bagi siswa.

HENA DIAN AYU 56


Metode dan Metode yang digunakan adalah metode eksperimen. Siswa
Pengumpulan Data mengisi kuesioner umpan balik untuk mengevaluasi efektivitas
lingkungan belajar yang diusulkan dalam hal pengajaran dan kinerja
pembelajaran. Kuesioner menilai motivasi belajar siswa,
manajemen pengetahuan, keterampilan, disposisi CT, dan kepuasan.
Analisis Data Analisis sampel kovarians (ANCOVA) independen satu arah
digunakan, dengan skor post-test dan pretest motivasi belajar
diperlakukan sebagai variabel dependen dan kovariat. Homogenitas
koefisien regresi diuji sebelum melakukan ANCOVA.
Hasil Hasil menunjukkan bahwa peserta siswa mencapai peningkatan
yang signifikan dalam CT setelah kuliah. Perbaikan didasarkan pada
beberapa faktor, seperti penerapan pendekatan pedagogis yang
tepat, penggunaan teknologi interaktif serta bahan pengajaran yang
jelas dan terorganisir, dan memberikan banyak peluang untuk
kolaborasi peserta, dan memberikan dukungan dan umpan balik
instruktur (Blass & Davis , 2003; Garrison & Anderson, 2003).
Untuk memberikan diskusi yang komprehensif, makalah ini akan
mengevaluasi hasil berdasarkan tiga konteks, yaitu sosial,
pengetahuan, dan teknologi.
Konteks sosial, Instruktur memainkan peran penting dalam
memfasilitasi proses pembelajaran dan menerapkan pendekatan
yang berpusat pada peserta didik dalam lingkungan pendidikan
(Bower & Hedberg, 2010). Selama pembelajaran, instruktur dapat
merangsang dan mempromosikan interaksi dan kolaborasi siswa
dalam lingkungan belajar Blended. Instruktur mendorong siswa
untuk mengungkapkan pemikiran pribadi, dan mengamati dari
samping dan memberikan umpan balik atau masukan hanya jika
diminta alih-alih memberikan kuliah satu sisi yang tradisional. Skala
profesor dalam penyelidikan SSQ mengungkapkan bagaimana
siswa merasakan peran instruktur. Siswa umumnya positif didorong
untuk berdiskusi dan mengungkapkan pendapat pribadi, dan
berpartisipasi dalam kolaborasi teman sebaya, dan menerima
bimbingan untuk berbagai kegiatan pembelajaran. Hasil SSQ dalam
skala alat menunjukkan bahwa siswa sebagian besar senang dengan
kemampuan untuk menggunakan layanan Google dalam interaksi
rekan. Oleh karena itu, selain instruktur, teknologi juga memainkan
peran penting untuk aspek sosial dalam lingkungan pembelajaran
Blended.
Bosman dan Zagenczyk (2011) menunjukkan bahwa alat media
sosial dapat memungkinkan siswa untuk terhubung satu sama lain
dan memfasilitasi kolaborasi. Bold (2006) menggunakan teknik
wiki untuk mendukung kolaborasi siswa. Selain itu, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa lingkungan online efektif dalam
mempromosikan kolaborasi bekerja, berbagi pengalaman, dan
dukungan untuk proyek tim (Biasutti, 2011; Bliuc, Ellis, Goodyear,
& Piggott, 2011; De Smet, Keer, De Wever, & Valcke, 2010; Hew
& Cheung, 2008).
Konteks pengetahuan, Konstruksi pengetahuan tidak terbatas pada
individu. Sebaliknya, ini adalah proses sosial yang dilakukan antara
individu, kelompok, dan / atau organisasi. Tugas berbagi

HENA DIAN AYU 57


pengetahuan atau informasi individu selama atau setelah belajar
mengharuskan siswa untuk menerjemahkan (encoding) dan
mengingat kembali informasi (Nonaka & Takeuchi, 1995). Dalam
proses berbagi pengetahuan, siswa harus mengidentifikasi informasi
penting yang layak dibagikan, dan cara berbagi dengan teman-teman
mereka secara efektif. Untuk menyelesaikan tugas-tugas
penyandian dan pengambilan, siswa harus terlibat dalam beberapa
bentuk kegiatan pemrosesan informasi seperti latihan, organisasi,
atau penjabaran untuk memperjelas hubungan antara potongan-
potongan informasi dan membandingkan informasi yang baru
diperoleh dengan pengetahuan pribadi yang ada (Gagne , 1985;
Gagne, Briggs, & Taruhan, 1992; Reigeluth, 1983; Wittrock, 1979).
Konteks teknologi, Terlepas dari perkembangan dan
mempopulerkan teknologi modern, penggunaan alat-alat tersebut
dalam konteks pendidikan sering mempengaruhi keefektifan belajar
mengajar (Zheng & Yano, 2007). Dari perspektif instruktur,
teknologi dapat menyediakan fungsi yang berbeda untuk membantu
merancang rencana dan bahan pengajaran. Namun, variasi dalam
preferensi pribadi dan keterampilan instruktur dapat menghasilkan
berbagai pertunjukan mengajar dan lingkungan. Demikian pula,
preferensi dan keterampilan teknologi yang berbeda di antara siswa
dapat menghasilkan sikap belajar yang berbeda, atmosfer, dan
kinerja. Oleh karena itu, pendidik harus membantu menghilangkan
atau menurunkan hambatan teknologi yang dialami oleh siswa dan
instruktur selama proses belajar mengajar. Teknologi yang tepat
harus dipilih untuk kegiatan pendidikan untuk mencapai pengajaran
dan pembelajaran yang efektif. Dengan demikian, instruktur harus
terlebih dahulu memberi tahu siswa tentang tujuan penerapan
layanan Google selama kursus. Hasil skala alat dalam penyelidikan
SSQ juga mengungkapkan bahwa siswa merasa positif tentang
menggunakan layanan Google untuk membantu mereka melakukan
penciptaan, berbagi, dan transformasi pengetahuan.
Kesimpulan Siswa menghargai penggunaan lingkungan blended learning yang
diusulkan untuk mendukung pembelajaran mereka. Kontribusi dari
lingkungan yang diusulkan untuk transformasi pengetahuan dan CT
adalah Internet, sehingga siswa semakin terbiasa membaca cepat
dan bukannya membaca kritis. Preferensi untuk asupan informasi ini
akan memengaruhi tingkat keterampilan berpikir yang lebih tinggi
dan mengakibatkan kurangnya kemampuan CT. Banyak siswa yang
tidak dapat menggunakan apa yang telah mereka pelajari untuk
menyelesaikan masalah kehidupan nyata secara fleksibel.
Lingkungan belajar Blended juga dapat diadopsi untuk program
pelatihan profesional di bidang perusahaan atau industri.

HENA DIAN AYU 58


1. Identitas Jurnal
Judul A taxonomy to define courses that mix face-to-face and
online learning
Nama Jurnal Educational Research Review 19
Halaman 104-118
Tahun 2016
Author Lauren E. Margulieux a,b,, W. Michael McCrackenb, Richard
Catrambonea
a
School of Psychology, Georgia Institute of Technology,
Atlanta, GA 30332-0170, USA
b
Center for 21st Century Universities, Georgia Institute of
Technology, Atlanta, GA 30332-0765, USA
Keyword Hybrid, Blended, Flipped, Inverted, Online learning
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.edurev.2016.07.001
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Menjelaskan dan menguji kegunaan taksonomi Mixed
Instructional eXperience (MIX) untuk mendefinisikan pembelajaran
blended, hybrid, flipped, and inverted courses.
Latar Belakang Keefektifan kuliah yang menggabungkan pengajaran tatap muka
dan online, seperti kuliah blended, hibrid, flipping, dan inverted,
banyak di bahas dalam literatur. Beberapa penelitian menemukan
sebagian pembelajaran tersebut dapat meningkatkan hasil belajar
dan beberapa tidak. Hasil yang tidak selaras ini disebabkan oleh
definisi yang tidak konsisten dari pembelajaran yang dilaksanakan
tersebut. Untuk mengatasi masalahtersebut, kami mengusulkan
taksonomi Blended Instruksional eXperience (MIX) untuk
mendefinisikan hibrida, dicampur, dibalik, dan terbalik berdasarkan
dua dimensi. Untuk menguji kegunaan taksonomi untuk mengatur
literatur, kami mereklasifikasi penelitian menggunakan taksonomi.
Analisis literatur setelah reklasifikasi mengungkapkan tema-tema
yang menjelaskan bagaimana mencampur instruksi tatap muka dan
online yang dapat mempengaruhi pembelajaran. Temuan-temuan ini
memvalidasi taksonomi sebagai alat yang berguna untuk
mengklasifikasikan literatur dan pengetahuan lebih lanjut dalam
bidang ini.
Landasan teori Instruktur dalam kuliah pendidikan tinggi semakin menggunakan
yang digunakan & teknologi informasi untuk pedagogis, aksesibilitas, dan manfaat
hasil penelitian fleksibilitas (Bonk & Graham, 2005). Sejak awal 2000-an,
sebelumnya sekelompok pendidik yang berkembang telah tertarik untuk
menggunakan teknologi informasi, khususnya komputer, untuk
mencampur metode pengajaran tatap muka dan online pada kuliah
yang ada dan biasa disebut sebagai hibrida, blended, flipped, atau
inverted. Jenis kuliah ini disebut kuliah Mix Learning.
Banyak penelitian telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir

HENA DIAN AYU 59


untuk menilai efektivitas pengajaran Blended, tetapi hasil penelitian
itu secara keseluruhan tidak dapat disimpulkan. Meskipun banyak
studi tentang kuliah pengajaran Blended telah menemukan bahwa
mereka meningkatkan hasil belajar daripada kuliah tradisional, sama
seperti banyak yang tidak menemukan perbedaan. Misalnya, untuk
makalah yang menyertakan hasil pembelajaran kuantitatif (misal
yang termasuk dalam analisis makalah ini) dan dilaporkan sebagai
hibrida, 41% (7 dari 17) melaporkan peningkatan pembelajaran hasil
dan 59% (10 dari 17) melaporkan hasil yang setara. Selain itu, untuk
mereka yang dilaporkan dicampur, 45% (5 dari 11) melaporkan
peningkatan hasil belajar dan 55% (6 dari 11) melaporkan hasil yang
setara. Hasil keseluruhan untuk hasil model Blended dan tidak
Blended mendukung atau menyangkal manfaat belajar dari kuliah
pengajaran Blended.
Kami berpendapat bahwa perbedaan antara pembelajaran yang
meningkatkan hasil dan yang tidak karena adanya perbedaan istilah
yang digunakan untuk menggambarkan pembelajaran ini. Misalnya,
istilah hybrid dan blended telah digunakan untuk menggambarkan
sebagian besar berbagai pembelajaran dengan pengajaran Blended.
"Blended" telah digunakan untuk menggambarkan pembelajaran di
mana siswa belajar konten sebelum kelas dan praktik menerapkan
konten di kelas (Melton, Graf, & Chopak-Foss, 2009) serta
pembelajaran di mana setengah dari kuliah adalah di kelas dan
setengah lainnya disampaikan secara online (Gerlich & Sollosy,
2009). Pedagogi pembelajaran seperti ini berbeda, tetapi mereka
diklasifikasikan sebagai jenis pembelajaran yang sama.
Metode Literatur review dengan meta-analisis konten
Pengumpulan Data Untuk menemukan makalah yang relevan, ERIC, Jurnal Pendidikan
/Pencarian Proquest, dan Pencarian Akademik Basis data lengkap dan Google
literatus Cendekia ditanya untuk permutasi dari istilah "hybrid," "blended,"
"flipped," dan "terbalik" dengan istilah "class," "Ruang kelas,"
"kuliah," dan "belajar" dalam judul atau abstrak. Judul atau abstrak
juga harus memasukkan "perbandingan," "percobaan," "evaluasi,"
atau "kinerja." Abstrak artikel yang memenuhi kriteria ini ditinjau.
Jika abstrak tidak menyebutkan siswa "hasil," "pengetahuan,"
"prestasi," atau "nilai," .
Langkah-langkah 49 penelitian terpilih ditinjau untuk identifikasi komponen
pedagogis dan aspek lain dari kuliah yang dilaporkan secara
konsisten.
Kemudian masing-masing bagian ini diberi kode. Desain kuliah
pengajaran Blended diberi kode untuk klasifikasi yang dilaporkan,
bagaimana instruksi disampaikan kepada siswa, dan jenis instruksi
apa yang disampaikan. Tidak ada laporan yang memasukkan
persentase waktu instruksi disampaikan melalui masing-masing
media atau persentase waktu setiap jenis instruksi disampaikan
sebagai taksonomi tertentu, dimaksudkan untuk menandakan bahwa
suatu signifikan bagian dari kuliah dikhususkan untuk metode
pengajaran tertentu.
Kuliah diberi kode memiliki setidaknya 25% dari metode

HENA DIAN AYU 60


pembelajaran jika metode itu dibahas sebagai bagian yang
signifikan dari kuliah.
Desain dari kuliah (kontrol) asli juga diberi kode, bagaimana
instruksi disampaikan kepada siswa dan jenis instruksi apa yang
disampaikan.
Perbedaan antara desain kuliah diberi kode untuk perubahan dalam
media pengiriman, jenis instruksi, dan waktu yang dihabiskan di
kelas.
Penilaian yang digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran
dicatat, dan tingkat pengetahuan yang diukur diberi kode baik
sebagai pemahaman (mengingat atau mengenali konten), aplikasi
(aplikasi konten), keduanya, atau tidak diketahui. Domain kuliah
dicatat, dan level kuliah diberi kode.
Dari 17 kuliah yang awalnya dilaporkan sebagai hibrid dalam
literatur, 5 direklasifikasi sebagai jenis hibrid, 10 sebagai jenis
Blended, dan 2 sebagai jenis kuliah lainnya. Dari 11 kuliah yang
awalnya dilaporkan dicampur, 5 direklasifikasi sebagai jenis
hibrida, 5 sebagai jenis Blended, dan 1 sebagai jenis lain dari kuliah.
Dari 21 kuliah yang awalnya dilaporkan sebagai flipped atau
inverted, 13 yang direklasifikasi sebagai Blended flipped, 4 sebagai
Blended flipped dengan komponen tambahan yang ditransmisikan
oleh instruktur, dan 4 sebagai jenis kuliah lainnya. Reklasifikasi ini
berdasarkan taksonomi MIX menyoroti perbedaan mendasar antara
program yang dilaporkan sebagai hybrid, blended, flipped, atau
inverted dalam literatur.
Analisis Data Untuk menentukan apakah taksonomi MIX mengklasifikasikan
literatur dalam cara yang produktif, taksonomi digunakan untuk
mengkategorikan dan menganalisis kembali penelitian pada
pengajaran Blended. Analisis menggunakan meta-analisis konten,
mengumpulkan informasi secara sistematis dari sejumlah studi,
tetapi mereka menggunakan pendekatan kualitatif (Jeong, Hmelo-
Silver, & Yu, 2014).
Variabel data kuantitatif (misal Nilai ujian, proyek, atau konsep
persediaan) dengan jumlah besar dari sumber makalah yang dipilih,
pendekatan kualitatif lebih tepat daripada pendekatan kuantitatif.
Penelitian tentang program yang dilaporkan sebagai "hibrid,"
"blended," "flipped," dan "inverted," dimasukkan dalam analisis ini.
Analisis ini berfokus pada pendidikan tinggi, sehingga hanya studi
untuk sistem kredit, kuliah pendidikan tinggi yang dimasukkan
dalam analisis.
Dalam analisis, hanya penelitian yang melaporkan hasil kuantitatif
dimasukkan. Banyak penelitian dan banyak ulasan pada kuliah
pengajaran Blended berfokus pada persepsi siswa dan instruktur
serta hasil pembelajaran (Ginns & Ellis, 2007), tetapi hasil
kuantitatif sangat penting untuk menentukan keberhasilan
pengajaran Blended. Kami membandingkan hasil pembelajaran dari
kuliah pengajaran Blended dengan kuliah yang sama yang diajarkan
secara tradisional. Oleh karena itu, hanya studi eksperimental atau
quasi-eksperimental yang dimasukkan dalam analisis. Selain itu,
studi harus menyertakan kelompok kontrol yang merupakan versi

HENA DIAN AYU 61


asli dari kuliah. Studi juga harus mengukur hasil belajar kuantitatif
dan menggunakan statistik inferensial untuk menganalisis hasil
tersebut. Ukuran hasil pembelajaran harus setara dalam kelompok
eksperimen dan kontrol. Pengukuran biasanya nilai, seperti ujian
atau nilai kuliah. Untuk dimasukkan dalam analisis ini, nilai-nilai ini
harus berupa nilai numerik atau setidaknya dibedakan antara nilai
huruf: A, B, C, D, atau nilai yang gagal.
Hasil Mengidentifikasi dimensi dari definisi relevan
Untuk mengidentifikasi dimensi yang relevan dalam mendefinisikan
dan mengkategorikan mata pelajaran Blended, dari definisi mata
kuliah sebelumnya dalam pendidikan tinggi yang ditinjau. Sampel
definisi asli (yaitu, definisi yang tidak diulang dari sumber
sebelumnya) dipilih dari berbagai tanggal publikasi (dari tahun
2000, ketika kuliah pengajaran Blended mulai menjadi populer di
pendidikan tinggi, untuk menyajikan), jenis publikasi (peer artikel -
reviewed, buku, majalah), dan konten bidang (sains dan humaniora).
Definisi yang dikutip lebih dari lima kali (Allen & Seaman, 2010;
Lage, Platt, & Treglia, 2000; Strayer, 2012) juga dimasukkan karena
mereka populer. Sampel ini diambil dari 10 hasil teratas di Google
Cendekia untuk masing-masing pencarian berikut: "kelas hibrid,"
"kelas Blended," "kelas tertutup," dan "kelas terbalik." Setelah
definisi populer dipilih, yang lain definisi dipilih untuk mewakili
publikasi yang paling beragam mungkin.
Selain itu, definisi dari berbagai negara dimasukkan. Sampel
dikodekan secara kualitatif dan dianalisis menggunakan teknik yang
dijelaskan dalam Taylor-Powell dan Renner (2003) untuk
mengidentifikasi dimensi yang telah digunakan para peneliti untuk
menggambarkan jenis kuliah ini. Empat dimensi diidentifikasi:
a. Lokasi instruksional menggambarkan apakah pelajar
menerima instruksi di rumah atau di lokasi lain, seperti ruang
kelas atau kedai kopi,
b. Media pengiriman menggambarkan apakah seseorang atau
teknologi memberikan instruksi kepada pelajar,
c. Jenis instruksi menjelaskan apakah pelajar menerima konten
(mis., Kuliah) atau menerapkan konten (mis., Kegiatan
pembelajaran), dan
d. Sinkronisitas menjelaskan apakah peserta didik mengikuti
kecepatan kelompok (mis., Sinkron atau waktu nyata) atau
kecepatan individual (mis., tidak sinkron).
Struktur taksonomi MIX, Untuk taksonomi Blended Instruksional
eXperience (MIX), dua dimensi yang digunakan untuk
mendefinisikan kuliah adalah media pengiriman (bagaimana
instruksi diberikan) dan tipe instruksi (instruksi apa yang diberikan).
Media pengiriman didefinisikan sebagai media melalui mana
instruksi dikirim ke pelajar. Dua jenis media pengiriman yang
menarik untuk kuliah pengajaran Blended adalah melalui instruktur
dan melalui teknologi, sehingga mereka adalah jangkar dari dimensi
ini. Pengiriman melalui instruktur didefinisikan sebagai menerima
instruksi dari instruktur dalam lingkungan tatap muka. Sebagai
contoh, seorang instruktur yang mengajar di kelas menggunakan

HENA DIAN AYU 62


Powerpoint akan diklasifikasikan sebagai pengiriman melalui
instruktur karena instruktur memberikan instruksi, dan slide
Powerpoint adalah alat bantu visual. Pengiriman melalui teknologi
didefinisikan sebagai menerima instruksi melalui penggunaan
teknologi informasi elektronik, seperti komputer atau ponsel.
Misalnya, jika kuliah direkam dan mahasiswa menonton rekaman di
komputer mereka, maka itu akan diklasifikasikan sebagai
pengiriman melalui teknologi. Meskipun isi ceramahnya sama,
pengalaman menonton ceramahnya mungkin berbeda. Dimensi lain,
tipe instruksi, ditentukan oleh peran yang diambil pelajar selama
pengajaran. Dua jenis instruksi yang menarik adalah yang diberikan
ketika siswa menerima konten dan menerapkan konten, sehingga
mereka adalah jangkar dari dimensi ini. Menerima konten
didefinisikan ketika siswa menerima informasi sementara konten
yang dipilih instruktur, seperti ceramah atau video pendidikan,
didikte oleh instruktur atau program instruksional. Menerapkan
konten didefinisikan sebagai siswa menerapkan informasi, seperti
melalui menyelesaikan masalah atau mendiskusikan konsep,
sementara instruktur atau program memberikan panduan dan umpan
balik. Panduan ini mungkin termasuk menyediakan konten baru,
seperti penjelasan lima menit dalam menanggapi pertanyaan siswa.
Konten dalam situasi ini diklasifikasikan sebagai panduan selama
menerapkan konten daripada menerima konten yang dipilih
instruktur karena siswa mencari informasi itu daripada instruktur
yang memilih informasi itu. Diferensiasi ini dibuat karena
pembelajaran berbasis inkuiri, di mana instruktur hanya
menyediakan konten yang diminta siswa, dianggap membangun
pengetahuan (Jonassen, 1999). Media pengiriman dan dimensi tipe
instruksi adalah independen dan dapat digunakan secara ortogonal
untuk menentukan tipe kuliah pengajaran Blended.
Taksonomi MIX berfokus pada pengalaman belajar di mana siswa
menerima panduan instruksional untuk memperoleh pengetahuan
baru, seperti panduan tentang kredibilitas konten, organisasi
optimal, pengetahuan, strategi untuk menerapkan konten, dan
kemajuan siswa. Untuk alasan ini, taksonomi tidak menentukan
kegiatan belajar yang sepenuhnya diarahkan oleh siswa. Misalnya,
itu tidak termasuk diskusi rekan yang tidak dipantau atau bacaan
yang ditugaskan yang tidak dirancang untuk penggunaan
pendidikan (misal Novel). Perbedaan ini tidak berarti bahwa
pengalaman belajar ini tidak penting tetapi siswa tidak diberikan
instruksi selama pengalaman ini.
Taksonomi adalah alat untuk mengklasifikasikan desain kuliah
berdasarkan persentase dukungan instruksional yang diterima siswa
saat menerima konten atau menerapkan konten dan pada persentase
dukungan yang disampaikan melalui instruktur atau teknologi.
Misalnya, dalam kuliah di mana siswa membaca novel sebelum
datang ke kelas dan instruktur menyediakan umpan balik hanya
ketika siswa membahas buku-buku itu di kelas, 100% dari dukungan
instruksional yang diterima siswa langsung dari instruktur ketika
mereka menerapkan konten dalam diskusi. Oleh karena itu, jenis

HENA DIAN AYU 63


kuliah ini akan jatuh di sudut kanan atas taksonomi. Jika kuliah ini
juga termasuk ringkasan lisan dari tema buku yang diberikan di
kelas oleh instruktur, maka bagian dari dukungan instruksional akan
didedikasikan untuk menerima konten, dan kuliah akan lebih
mengarah ke pusat dimensi tipe instruksi di sepanjang tepi atas
taksonomi. Jika saja kuliah dilanjutkan diskusi dalam forum online
yang dipantau oleh instruktur, maka bagian dari dukungan
instruksional akan disampaikan melalui teknologi.
Kesimpulan Taksonomi MIX memberikan istilah yang konsisten bagi para
peneliti dan pendidik untuk membahas berbagai jenis kuliah.
Taksonomi tidak hanya membedakan program hibrid, Blended, dan
flipped, tetapi juga mencakup berbagai metode pengajaran lain
untuk menempatkan pembelajaranini. Meskipun uraian terperinci
tentang pembelajaran tertentu dalam studi akan selalu diperlukan,
mengklasifikasikan pembelajaran dengan istilah yang digunakan
dalam taksonomi dapat membantu orang mengumpulkan informasi
umum tentang metode pengajaran. Setelah mengklasifikasikan studi
dengan kategori dalam taksonomi, analisis ulang hasil dalam
literatur ini memungkinkan dua tema utama untuk diidentifikasi:
Pembelajaran yang menggunakan instruksi Blended untuk
mengurangi waktu yang dihabiskan di kelas dengan memberikan
bagian dari instruksi online dengan mempertahankan hasil
pembelajaran yang setara sambil mengurangi waktu yang
dihabiskan di kelas.
Pembelajaran dengan instruksi Blended digunakan untuk
memberikan umpan balik sehingga siswa dapat meningkatkan hasil
belajar, dan waktu yang dibutuhkan siswa pada kuliah tetap.
Taksonomi MIX dimaksudkan sebagai titik awal untuk klasifikasi
dalam literatur ini. Dengan meletakkan dimensi tambahan di atas
dua yang disajikan dalam makalah ini, kita dapat menentukan efek
dimensi lain pada pembelajaran. Demikian pula, analisis yang
dibahas dalam makalah ini dimaksudkan sebagai langkah menengah
menuju membangun pengetahuan lebih lanjut tentang kuliah
pengajaran Blended. Analisis ini menemukan temuan penting, tetapi
penelitian konfirmasi diperlukan untuk memastikan bahwa temuan
tersebut valid. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi
taksonomi dapat membantu kita untuk lebih efisien menentukan
implementasi terbaik dari kuliah pengajaran Blended.

HENA DIAN AYU 64


1. Identitas Jurnal
Judul Challenges for collaborative blended learning in
undergraduate students
Nama Jurnal Educational Research and Evaluation: An International Journal
on Theory and Practice
Halaman 564–591
Tahun 2014
Author Elisa Monteiroa & Keith Morrisonb
a
Faculty of Psychology and Education, University of St.
Joseph, Macau, PR China
b
Director of Institutional Development, Macau University of
Science and Technology, Macau, PR China
Keyword collaborative learning; blended learning; experiment;
collaboration; undergraduates
DOI http://dx.doi.org/10.1080/13803611.2014.997126
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Untuk mengukur efektivitas dan mengembangkan kegiatan
kolaboratif, dan blended learning yang mampumendorong
pembelajaran, motivasi, komunikasi, dan pemberdayaan mahasiswa
sarjana di satu lembaga pendidikan tinggi.
Latar Belakang Peluang untuk blended learning kolaboratif (CBL) yang disajikan
oleh platform komunikatif di pendidikan tinggi tidak secara
otomatis menjamin bahwa CBL akan digunakan atau digunakan
secara efektif. Jika hanya manfaat sinkronisitas, asinkronisitas,
aksesibilitas, dan akses fleksibel yang luas, runtuhnya jarak spasial,
peluang untuk komunikasi instan dan tertunda, umpan balik dan
pembagian, portabilitas peralatan untuk komunikasi elektronik, dan
informalitas yang terkait dengan jejaring sosial dan komunikasi
elektronik sendiri dapat menjamin terciptanya CBL yang efektif,
maka CBL akan relatif mudah dilaksanakan. Namun, bukti yang
disajikan dalam makalah ini menunjukkan sebaliknya, karena
bahkan pelajar yang relatif canggih ini kesulitan dalam bekerja
dengan CBL dengan mudah.
Landasan teori Pembelajaran kolaboratif dan kolaboratif blended learning
yang digunakan & (CBL), Konstruktivisme sosial Vygotsky (1978) salah satu dasar
hasil penelitian CBL yang menekankan siswa bekerja bersama dalam lingkungan
sebelumnya pembelajaran online untuk menciptakan pengetahuan baru secara
kolaboratif dan otentik (Sharpe, Benfield, Roberts, & Francis,
2006). Konstruktivisme sosial Vygotskyian menekankan pada
pembelajaran; metakognisi; pemikiran tingkat tinggi; dasar sosial
pembelajaran dan generasi pengetahuan; penekanan pada proses
pembelajaran, tidak hanya pada produk; pembelajaran dunia nyata;
pembelajaran yang berpusat pada siswa; dan pentingnya motivasi
intrinsik (Cohen, Manion, Morrison, & Wyse, 2010, hal 183).
HENA DIAN AYU 65
Di sini, mengajar bukan hanya masalah penyampaian informasi,
tetapi melibatkan siswa dalam pembelajaran aktif, kerja kelompok,
bekerja sama dengan teman sebaya, menyediakan alat untuk tingkat
penalaran dan pembelajaran yang lebih tinggi, membangun
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan mereka saat ini (Innes,
2004; Palinscar, 1998; Weimer, 2002). Diskusi kelompok, kegiatan
langsung, dan tugas-tugas interaktif sangat disukai (Mayer, 2004).
Belajar adalah proses sosial, bukan hanya pekerjaan individu atau
pasif, dan itu terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial
dengan guru dan teman sebaya (Pritchard, 2009; Pritchard &
Woollard, 2010). Pengetahuan dibangun dengan aktivitas kognitif
kolaboratif dan "penemuan terbantu" terencana (Berk & Winsler,
1995, hal. 108) melalui perancah dan interaksi dengan orang lain.
Untuk Vygotsky, kolaborasi melalui diskusi dan pemikiran bentuk
pemecahan masalah dan pembelajaran (Vygotsky, 1978).
Pembelajaran kolaboratif adalah "istilah umum untuk berbagai
pendekatan pendidikan yang melibatkan upaya intelektual bersama
oleh siswa, atau siswa dan guru bersama ... saling mencari
pemahaman, solusi, atau makna, atau menciptakan produk" (Smith
& Mac-Gregor, 1992, hlm. 11).
Pembelajaran kolaboratif mengharuskan keterlibatan siswa dan
menciptakan sinergi antara motivasi, pemberdayaan siswa, dan
pembelajaran aktif. Hal tersebut mendorong siswa untuk belajar
secara aktif karena mereka secara kolaboratif membangun dan
merekonstruksi pengetahuan (Barkley, 2010). Belajar melalui
kolaborasi mempromosikan prestasi akademik yang tinggi,
hubungan interpersonal yang positif, keterampilan sosial, dan
peningkatan sikap ketika siswa bekerja satu sama lain (Johnson &
Johnson, 1999; Johnson, Johnson, & Holubec, 1994; Johnson,
Johnson, & Smith, 2007). Pembelajaran kolaboratif menganggap
pembelajaran sebagai proses sosial, aktif, konstruktif yang inheren,
bergantung pada konteks yang kaya untuk melibatkan keragaman
perspektif di dalam dan di seluruh peserta didik dan untuk mengatasi
dimensi afektif dan subyektif (Laurillard, 2012; Smith &
MacGregor, 1992). Siswa bekerja dengan langkah mereka sendiri
dalam lingkungan pemecahan masalah (Tseng, Wang, Ku, & Sun,
2009). Pembelajaran kolaboratif memberi siswa lebih banyak
pemberdayaan daripada pembelajaran mereka daripada dalam
instruksi tradisional (McWhaw, Schnackenberg, Sclater, & Abrami,
2003). Slavin (1995), Johnson dan Johnson (1999), Cabrera et al.
(2002), Dewiyanti et al. (2007), Hassanien (2007), dan Pombo et al.
(2010) menunjukkan bahwa pembelajaran kelompok efektif dalam
mempromosikan sikap yang lebih baik terhadap pembelajaran,
kepuasan dan keterlibatan siswa yang lebih besar, pemikiran tingkat
tinggi, retensi jangka panjang dan peningkatan kegigihan daripada
rekan yang lebih tradisional mengajar. Di sini, keterampilan berpikir
tingkat tinggi dikembangkan melalui diskusi, klarifikasi, dan
evaluasi gagasan, penjelasan, dan umpan balik.
Interaksi antara kegiatan belajar individu dan kolaboratif
memberikan dorongan untuk perspektif yang berbeda dan

HENA DIAN AYU 66


membangun pengetahuan bersama (Puntambekar, 2006). Blended
learning menggabungkan tatap muka dan pembelajaran online
(Bonk & Graham, 2006; Garrison & Vaughan, 2008; Marsh, 2012;
McLoughlin & Lee, 2010) di dalam dan di luar ruang kelas dalam
berbagai “ penyampaian ” dan metode pembelajaran. Ini
menghubungkan efektivitas dan fleksibilitas dari lingkungan
pembelajaran online dengan kehadiran sosial pembelajaran
kolaboratif (Bersin, 2004; Rahman, 2009).
Metode Quasi-experiment dengan desain triangulasi
Langkah-langkah Penelitian dilakukan terhadap tiga kelas mahasiswa Studi Bisnis
sarjana (dua kelompok kontrol dan satu kelompok eksperimental),
dengan semua kelas mengikuti modul yang sama pada semester
yang sama. Variabel-variabel lain dijaga agar tetap konstan,
misalnya, guru yang sama (peneliti utama), modul, silabus, waktu
dan durasi modul, waktu kelas, dan bobot penilaian.
Pengumpulan Data Data diperoleh melalui:
(1) Nilai pra-tes dan pasca-tes dalam bahasa Inggris untuk kelompok
kontrol dan eksperimen
(2) Kuesioner untuk kelompok kontrol dan eksperimen (pra dan
pasca intervensi). Kuesioner mengumpulkan data demografis dari
siswa dan terdiri dari pertanyaan tertutup dengan skala Likert di
beberapa bidang: pembelajaran kelompok dan kolaborasi.
(3) Pengamatan kelas semi-terstruktur dari kelompok percontohan
setiap minggu (tiga pengamat terlatih di setiap ruang kelas: satu
pengamat peserta [guru-peneliti utama] dan dua pengamat non-
peserta). Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengidentifikasi
bagaimana pembelajaran kolaboratif dengan blended learning dapat
memperkenalkan proses kelompok selama kolaborasi tatap muka
dan partisipasi online,kemandirian siswa, pemberdayaan, motivasi,
dan komunikasi. Pengamatan dilakukan setiap sesi, untuk
mengumpulkan data tentang partisipasi dan interaksi di kelompok,
dinamika kelompok, dan proses kelompok di kelas.
(4) WCloudcara kelompok semi-terstruktur, dengan sampel
purposive 12 siswa dari kelompok percontohan, diambil dari seluruh
rentang kinerja bahasa Inggris di setiap kelompok (sekali lagi,
berdasarkan skor kinerja bahasa Inggris dalam tes penempatan
bahasa Inggris di seluruh universitas yang dirancang oleh
Departemen Bahasa Inggris di universitas) dan dilakukan sebelum
dan pada akhirperlakuan.
(5) Buku harian penelitian tentang peristiwa penting dan refleksi
yang disimpan oleh peneliti utama (guru) tentang: urutan deskriptif
dan interpretasi, spekulasi, ide, dan penjelasan proses kelompok. Ini
adalah catatan lapangan tentang apa yang dianggap sebagai kejadian
penting saat penelitian.
(6) Log Pembelajaran siswa kelompok yang sedang berlangsung
(disimpan sebagai bagian dari penilaian modul mereka). Ini semi-
terstruktur. Panduan diberikan dengan petunjuk tertulis dalam
bentuk pertanyaan yang secara spesifik terkait dengan pertanyaan
penelitian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dirancang untuk

HENA DIAN AYU 67


meningkatkan kesadaran, dan memperoleh informasi tentang
persepsi siswa terhadap kuliah mereka, kerja kelompok, dan
pembelajaran campuran, dan diinformasikan oleh literatur, diskusi
dengan para ahli, pembelajaran kolaboratif, dan pertanyaan
penelitian.
Analisis Data Uji beda dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan yang
signifikan secara statistik (ρ ≤ 0,05) antara kelompok pada pre-
test dan pada post-post, dan dalam kelompok yang sama dari waktu
ke waktu (pre-test dan post-test), sehubungan dengan tanggapan
terhadap item kuesioner.
Uji beda digunakan, jika sesuai, uji Mann-Whitney U untuk dua
sampel independen dengan data ordinal, uji Wilcoxon untuk sampel
terkait dengan data ordinal, uji t untuk sampel independen untuk
kontinu, data skala, uji t untuk terkait dan sampel berpasangan untuk
data skala kontinu (kelompok yang sama dalam dua kondisi), dan
uji selisih chisquare untuk data kategori.
Hasil Ada peningkatan kerja kelompok kolaboratif dan blended learning,
online dan di luar kelas. Besarnya tantangan yang dirasakan dalam
kerja kelompok meningkat sehubungan dengan anggota kelompok
yang melakukan bagian yang adil dan berkontribusi kepada
kelompok, dan kebutuhan akan kejelasan yang lebih besar dalam
tugas, hasil yang diharapkan, dan tanggung jawab individu anggota
kelompok. Kekuatan kebutuhan yang dirasakan meningkat
sehubungan dengan panduan tentang bagaimana bekerja secara
kooperatif dan bagaimana mengelola perselisihan.
Beberapa manfaat yang dirasakan dari pembelajaran kolaboratif
meningkat. Jumlah pembelajaran kolaboratif yang terjadi
meningkat, dan kelompok menjadi lebih sadar akan perlunya proses
kelompok untuk dipekerjakan dan dipraktikkan. Dalam kerja
kolaboratif, ada kebutuhan yang jelas untuk memberikan panduan
tentang bekerja secara kooperatif, instruksi untuk tugas,
keterampilan kelompok, umpan balik tentang fungsi kelompok,
campur tangan ketika masalah muncul, dan memastikan bahwa
individu telah memberikan tugas.
Manfaat yang dirasakan dari CBL beragam; anggota menjadi sadar
akan tantangan yang dihadirkannya dan strategi yang diperlukan
untuk mengatasinya, khususnya kebutuhan akan instruksi, harapan,
dan pemantauan yang jelas.
Blended learning meningkatkan kolaborasi dan berbagai bentuk
interaksi, dan meningkatkan pembelajaran. Ini meningkatkan
komunikasi, kepercayaan, dan berbagi antara teman sekelas, yaitu,
meningkatkan perkembangan kognitif, afektif, dan interpersonal.
Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil CBL positif. Ada
beberapa diskusi berkualitas tinggi di forum diskusi, menunjukkan
bahwa para siswa memahami poin utama, bersama dengan proyek-
proyek berkualitas tinggi yang menunjukkan upaya dan
pembelajaran kelompok. Otonomi, motivasi, partisipasi,
keterlibatan, dan keterlibatan siswa meningkat. Siswa melaporkan
bahwa kualitas pembelajaran mereka telah meningkat; mereka
berpikir lebih dalam, belajar dari orang lain, dan belajar tentang diri
HENA DIAN AYU 68
mereka sendiri. CBL telah membuka pikiran mereka, membantu
mereka melihat situasi melalui berbagai perspektif, menggunakan
waktu secara lebih efektif dan efisien, meningkatkan keterampilan
kerja tim, meningkatkan refleksi diri, dan meningkatkan
keterampilan penalaran mereka. Di sisi lain, data menunjukkan
bahwa, bagi para siswa ini, mengharapkan CBL menjadi sukses
instan adalah terlalu optimis. Bahkan selama satu semester penuh,
peningkatan dalam penggunaan CBL siswa kecil dan lebih banyak
dalam hal peningkatan proses daripada hasil kinerja akademik yang
terukur. Ini mungkin tidak mengejutkan: Jika siswa berasal dari
budaya sekolah yang berlCloudan dengan kerja kolaboratif dan /
atau CBL, maka tidak mengherankan bahwa mereka tidak mahir
dalam hal ini. Jika mereka berasal dari budaya yang tidak
mendorong berbagi dan kontribusi kelompok, maka hambatan
terhadap CBL bisa sangat besar. Masalah dan tantangan lebih sedikit
tentang elemen "campuran" dan TIK daripada elemen kolaborasi.
Komentar dari siswa dan observasi kelas lebih banyak tentang
kolaborasi daripada TIK atau elemen pembelajaran campuran.
Terlepas dari kesulitan dengan CBL yang dilaporkan dalam makalah
ini, kelompok uji coba memberikan banyak ekspresi pada manfaat
kolaborasi dan CBL, dan mereka melihat keuntungan pedagogis
untuk pembelajaran, pemikiran, pengembangan pribadi dan sosial,
dan kinerja akademik. Guru dan siswa mencatat bahwa bekerja
keras dan intensif dalam CBL menuntut semua pihak tetapi CBL
menawarkan hubungan yang kuat dan positif antara aspek
emosional, sosial, dan kognitif dari pembelajaran secara kolaboratif
dan CBL.
Penelitian ini melaporkan perlakuan jangka pendek yang relatif
singkat dengan mahasiswa yang masih pemula di CBL, meskipun
secara digital sangat terhubung; apakah perlakuan jangka panjang,
dengan sampel yang berbeda, akan menghasilkan hasil yang sama
atau berbeda adalah pertanyaan terbuka. Dalam batas-batas
penelitian ini, jika CBL ingin ditingkatkan dan ditunjukkan manfaat
dalam pembelajaran siswa, peran sentral diberikan kepada guru
dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk bekerja secara
kolaboratif dengan dan tanpa blended learning. Penekanannya
adalah pada kolaborasi bukan pada blending dan ICT. Persiapan
seperti itu, studi ini telah menyarankan, terjadi di kelas, dan
merupakan pra-kursor untuk CBL yang efektif di luar kelas.

HENA DIAN AYU 69


1. Identitas Jurnal
Judul Effects of an online problem based learning course on
content
knowledge acquisition and critical thinking skills
Nama Jurnal Computers & Education 53
Halaman 132-141
Tahun 2009
Author Serkan Sendag˘a, H. Ferhan Odabasib
a
Anadolu University, Graduate School of Educational Sciences,
26470 Eskisehir, Turkey
b
Anadolu University, Faculty of Education, Department of
Computer Education and Instructional Technologies, 26470
Eskisehir, Turkey
Keyword Teaching/learning strategies; Distributed learning
environments
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.compedu.2009.01.008
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan
berikut:
1. Apakah skor tes pengetahuan konten dari kelompok PBL online
meningkat lebih signifikan daripada skor yang dipimpin instruktur
online
kelompok?
2. Apakah skor CTS dari kelompok PBL online meningkat lebih
signifikan daripada skor kelompok yang dipimpin instruktur online?
Latar Belakang Kondisi kerja saat ini memerlukan perubahan mendasar dalam profil
kekuatan kerja, yang pada dasarnya berasal dari perubahan dan
transformasi yang cepat dalam sifat informasi. Agar masyarakat
dapat bertahan di dunia yang kompetitif ini, mereka perlu
membekali individu dengan keterampilan untuk melakukan
penelitian, menggunakan dan mengubah informasi, berpikir kritis
dan reflektif, dan membuat keputusan tingkat tinggi. Selain itu,
perubahan teknologi bersama dengan perubahan di tempat kerja
telah membuat kemampuan berpikir kritis lebih penting daripada
sebelumnya. Dalam hal ini, instruksi yang dirancang untuk
membantu pemikiran kritis siswa berfokus pada keterampilan yang
berlaku di berbagai domain pengetahuan dan disposisi untuk
menggunakan keterampilan ini (Halpern, 1999). Laporan Komisi
Nasional tentang Keunggulan dalam Pendidikan, A Nation at Risk
(1983) membunyikan peringatan mengenai upaya yang tidak
memadai dan tidak efektif untuk menumbuhkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi di sekolah termasuk pemikiran kritis dan
pemecahan masalah. Komisi Sekretaris untuk Mencapai
Keterampilan yang Diperlukan (1991) menganggap kompetensi
HENA DIAN AYU 70
berpikir tingkat tinggi sebagai pelengkap untuk tempat kerja yang
produktif termasuk pemikiran kritis, pengambilan keputusan,
pemecahan masalah dan penalaran. Singkatnya, kemampuan untuk
memahami dan menggunakan informasi lebih ditekankan daripada
hanya memilikinya (Richardson, 2003). Dalam hal ini, sangat
penting bagi calon guru untuk memiliki keterampilan berpikir
tingkat tinggi dan pemecahan masalah ini bersama dengan
kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja secara efektif dalam
sebuah tim. Dengan demikian, integrasi pendekatan konstruktivis
seperti pembelajaran berbasis masalah (PBL) ke dalam upaya
pengajaran membawa sangat penting (Yas ar, 1998), karena
konstruktivisme mewakili bagaimana orang menangani masalah
kehidupan nyata di masyarakat dengan bekerja dengan teman
sebaya untuk membuat pemikiran yang efektif dan efektif.
keputusan, mengambil inisiatif dan menyelesaikan masalah
(Jonassen, 1997).
Metode Dalam studi saat ini, desain kelompok kontrol pretest-posttest
diimplementasikan untuk menyelidiki efek dari variabel independen
(mis. PBL online vs yang dipimpin instruktur) pada variabel
dependen (mis. Pengetahuan konten dan skor CTS). Kelompok
secara acak ditugaskan ke tingkat variabel independen untuk
mewujudkan percobaan yang sebenarnya (Karasar, 2000).
Subjek, Subyek termasuk 40 siswa yang menghadiri kursus
Komputer II pada musim semi 2008 di Departemen Pengajaran
Matematika Sekolah Dasar di Fakultas Pendidikan Universitas
Anadolu. Mereka secara acak ditugaskan untuk percobaan (16
perempuan dan 4 laki-laki) dan kelompok kontrol (15 perempuan
dan 5 laki-laki). Sebelum penugasan, pasangan yang cocok dibuat
berdasarkan pengetahuan konten subjek sebelumnya, skor CTS
sebelumnya, nilai akhir dari kursus Komputer I, jam penggunaan
Internet per minggu, dan jenis kelamin. Kemudian, anggota dari
masing-masing pasangan secara acak ditugaskan ke kelompok
eksperimen (PBL online) dan kontrol (dipimpin instruktur online).
Kursus di masing-masing kelompok dipimpin oleh instruktur yang
sama yang berpengalaman dalam pengajaran online dan PBL.
Instruktur memiliki delapan tahun pengalaman dalam pengajaran
online, dan tiga tahun pengalaman di PBL.
Instrumen, Versi Turki dari tes keterampilan berpikir kritis Watson
– Glaser, yang diadaptasi ke dalam konteks Turki oleh Çıkrıkçı
(1992) digunakan
bersama dengan tes akuisisi pengetahuan konten pilihan ganda 40-
item yang dikembangkan oleh para peneliti. Kedua instrumen
diimplementasikan sebelum dan sesudah perawatan. Tes
pengetahuan konten bertujuan untuk mengukur hasil pembelajaran
setiap unit konten melalui setidaknya satu pertanyaan. Item pada
tingkat pengetahuan, pemahaman dan aplikasi dikembangkan dan
divalidasi oleh panel ahli yang terdiri dari lima instruktur di
Departemen Pendidikan Komputer dan Teknologi Instruksional
(CEIT). Setelah revisi yang disarankan dibuat, para peneliti
menggunakan metode test-retest untuk mengukur reliabilitas.

HENA DIAN AYU 71


Karena literatur menyatakan bahwa uji coba harus dilakukan dengan
setidaknya 30 peserta (Tavs ancıl, 2002), 37 siswa junior terdaftar
di Departemen CEIT dan 30 siswa tahun kedua terdaftar di
Departemen Bahasa Inggris. Pengajaran diberikan tes dua kali
dengan interval dua minggu. Koefisien reliabilitas ditemukan cukup
untuk administrasi lebih lanjut (r = 0,77) seperti yang disarankan
oleh Özçelik (1981). Tes CTS terdiri dari 100 item yang meliputi
lima konstruk, 20 di antaranya membahas konstruk inferensi, 16
item mengatasi pengakuan asumsi, 25 item membahas pengurangan,
24 item mengatasi interpretasi, dan 15 item membahas evaluasi
argumen. Adaptasi tes untuk konteks Turki dengan referensi untuk
langkah-langkah reliabilitas dan validitas yang diperlukan
diwujudkan oleh Çıkrıkçı pada tahun 1992 melalui pemberian alat
kepada siswa sekolah menengah. Alat ini juga diberikan kepada
mahasiswa baru sarjana pada tahun 1996. Hubungan antara
konstruksi adalah antara 0,21 dan 0,50 dalam administrasi sekolah
tinggi, dan antara 0,20 dan 0,47 dalam administrasi mahasiswa baru.
Hubungan konstruk dengan skor total adalah antara 0,56 dan 0,79
dalam administrasi sekolah menengah. Koefisien reliabilitas
administrasi mahasiswa baru adalah 0,63 (Çıkrıkçı, 1993; Demirtas
lı-Çıkrıkçı et al., 1996). Kaya (1997) memberikan tes kepada siswa
senior dan menemukan hubungan antara konstruk antara 0,24 dan
0,73. Selain itu, keandalan seluruh instrumen ditemukan sebagai
0,73. Berdasarkan indeks-indeks ini, tes ini sesuai untuk penelitian
ini.
Langkah-langkah Pemilihan Perkuliahan, Perawatan ini dilaksanakan selama dua
Analisis Data unit yang tercakup dalam kursus Computer II, yaitu 'Komputer
dalam Pendidikan' dan 'Instruksi Berbantuan Komputer' karena mata
pelajaran ini sebagian besar dibahas secara teoritis daripada secara
praktis yang mengarah pada hasil pembelajaran pada tingkat
pengetahuan. Siswa seharusnya memilih perangkat lunak komersial
untuk tujuan evaluasi di unit ini. Akan tetapi, konten ini dianggap
penting bagi calon guru karena ini membantu peserta pelatihan
untuk memilih perangkat lunak yang paling tepat dan
mengintegrasikan teknologi saat ini ke praktik kelas mereka. Dalam
hal ini, dianggap perlu bagi guru guru untuk memiliki pengalaman
belajar otentik dengan pola interaksi sosial yang nyata agar mereka
dapat menerapkan keterampilan evaluasi tingkat tinggi,
mengembangkan solusi kreatif untuk masalah dan mewujudkan
pemikiran mendalam mengenai evaluasi dan penggunaan informasi
dan teknologi komunikasi. Kursus ini ditawarkan dalam 50% teori
dan 50% cara praktis. Khususnya bagian teoritis dilaksanakan
melalui ceramah tradisional tanpa interaksi sosial yang cukup di
antara siswa, yang mencegah siswa dari menginternalisasi konten
dan mengubah pengetahuan konten mereka ke situasi baru dan unik.
Bagian praktis dari kursus memiliki masalah serupa. Siswa
seharusnya mengamati instruktur dan melakukan apa yang diminta
sesudahnya. Praktik-praktik ini meningkatkan pengetahuan
teknologi mereka daripada keterampilan integrasi teknologi mereka,
yang jauh dari apa yang diharapkan dari para guru abad ke-21.

HENA DIAN AYU 72


Tujuan kursus melibatkan keterampilan seperti menyelesaikan
masalah integrasi teknologi baru, melakukan penelitian, mengubah
informasi, dan menyampaikan pesan mereka dengan benar. Jika
keterampilan seperti itu tidak dicapai dengan benar, siswa akan
membutuhkan fasilitator atau panduan di masa depan juga untuk
menafsirkan teknologi baru untuk mereka, yang bisa jadi mustahil
selama pengajaran dalam jabatan. Dalam hal ini, para peneliti
memutuskan untuk menerapkan PBL online dalam kursus
Komputer II dengan cara bahwa siswa akan dapat menggunakan
keterampilan berpikir tingkat tinggi mereka, mengambil tanggung
jawab untuk pembelajaran mereka sendiri, memiliki pengalaman
belajar yang otentik, melakukan penelitian dan berpikir secara
reflektif.
Platform online, Untuk mengimplementasikan aktivitas online,
MOODLE digunakan. MOODLE adalah sistem manajemen kursus
yang dapat diakses secara bebas di Internet, yang dapat bekerja
secara efektif dengan Windows dan Linux, menggunakan basis data
MySQL dan menggunakan teknik pemrograman PHP. Program ini
diinstal pada ruang 5 GB-disk oleh peneliti menggunakan nama
domain www.egitimonline.org. Kursus Komputer II disediakan di
situs web ini untuk pengguna yang dapat memanfaatkan beberapa
alat online seperti obrolan, forum diskusi, basis data, pengunduhan
dan pengunggahan file, dan layanan email. Komputer II-A tersedia
untuk kelompok eksperimen yang terpapar dengan aktivitas PBL
online sedangkan Komputer II-B dibuat untuk kelompok kontrol
yang terpapar pada kegiatan yang dipimpin instruktur online.
Skenario masalah untuk kelompok eksperimen, desain kursus dan
silabus untuk kedua kelompok dirancang dan dikembangkan oleh
para peneliti, dan secara teratur direvisi dan divalidasi melalui panel
ahli.
Prosedur perlakuan, Kelompok eksperimen masuk Komputer II-
A, dan kelompok kontrol masuk Komputer II-B. Semua mata
pelajaran diberikan pelatihan tentang pengiriman kursus online
selama minggu pertama dan tentang strategi pencarian yang efektif
selama minggu kedua implementasi. Siswa diberi tahu bahwa
kursus ini akan berbasis internet yang akan memungkinkan mereka
berpartisipasi di mana pun mereka mau. Semua kegiatan kursus
mulai dari pengenalan kursus hingga evaluasi formatif dan sumatif
diwujudkan secara online. Instruksi tatap muka tidak pernah
dilakukan pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Kegiatan kelas dilaksanakan mulai minggu ketiga. Siswa diberitahu
tentang tujuan kursus, silabus, kegiatan, kriteria evaluasi, dukungan
pelajar dan tautan terkait di halaman utama. Kelompok eksperimen
terkena kegiatan PBL yang melibatkan skenario masalah yang tidak
terstruktur yang dikembangkan melalui langkah-langkah berikut
(Jonassen, 1997):
1. Pengantar situasi masalah: Masalah yang terstruktur
diperkenalkan.
2. Harapan dari anggota kelompok: Anggota kelompok
diperkenalkan satu sama lain diikuti oleh pengenalan harapan

HENA DIAN AYU 73


dari setiap anggota kelompok yang mengarah ke solusi masalah
yang dapat diterima.
3. Pendapat tentang masalah: Setiap anggota kelompok
menyampaikan ide-ide mereka tentang masalah dan merefleksikan
pendapat rekan-rekan mereka melalui fasilitas obrolan atau forum
diskusi.
4. Pengetahuan sebelumnya tentang masalah: Anggota kelompok
membagikan pengetahuan mereka sebelumnya tentang masalah
tersebut.
5. Informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah:
Anggota kelompok menentukan dan mendiskusikan jenis dan
tingkat informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
6. Menentukan rencana: Setiap anggota kelompok menentukan
rencana studi individu yang menangani situasi masalah dan
tercermin pada mereka
rencana rekan kerja.
7. Proses solusi: Menggunakan sumber daya mereka sendiri dan
teman sebaya dan berdiskusi dengan anggota kelompok dan
instruktur, masing-masing anggota dibuat rencana tindakan mereka
sendiri yang mengarah ke solusi potensial untuk masalah tersebut.
8. Evaluasi: Setiap anggota kelompok merefleksikan rencana aksi
mereka dan rekan-rekan mereka. Selain itu, mereka menilai
kontribusi masing-masing anggota kelompok terhadap solusi.
Kelompok kontrol, di sisi lain, diberikan konten ringkasan setiap
minggu. Mereka terpapar pada kegiatan berikut (Horton, 2000):
1. Pengenalan informasi baru: Konten baru disampaikan oleh
instruktur kursus.
Sumber daya informasi: Sumber daya elektronik, catatan kelas, dan
presentasi disediakan.
2 .Partisipasi: Siswa berdiskusi tentang masalah yang dipimpin
instruktur terkait dengan materi pelajaran. Selain itu, pertanyaan dan
komentar siswa tentang subjek dibahas.
3. Berbagi informasi: Siswa berbagi sumber daya mereka di
lingkungan online.
4. Evaluasi: Tanggapan siswa terhadap pertanyaan terbuka
instruktur dievaluasi. Mereka juga diminta menyiapkan laporan atau
menyelesaikan tugas pada materi pelajaran.
5. Umpan balik: Siswa menerima umpan balik konstan dan langsung
mengenai laporan dan tugas mereka.
Data analysis, Descriptive statistics were used to illustrate the
demographics and the general picture of the subjects for each
measurement. Two-way mixed design analyses of variance
(ANOVA) were conducted to see the effects of online PBL and
instructor-led practices on content knowledge and CTS scores. At
the inception of interpreting significance of the results, the
probability value was set as α=0.05
Hasil Akuisisi konten pengetahuan, Untuk melihat apakah skor tes
pengetahuan konten dari grup PBL online meningkat lebih
signifikan daripada skor
kelompok yang dipimpin instruktur online, pengetahuan konten

HENA DIAN AYU 74


sebelumnya dan skor posttest konten dari kedua kelompok dihitung
terlebih dahulu. rerata pretest kelompok eksperimen (18,20)
meningkat menjadi 29,95 pada posttest sedangkan rerata pretest
kelompok kontrol (18.30) meningkat menjadi 27,40. Artinya, kedua
kelompok memiliki skor lebih tinggi di posttest. Namun, untuk
melihat kemajuan kelompok mana yang lebih baik, desain campuran
dua arah ANOVA digunakan dan tingkat kemajuan percobaan dan
kelompok kontrol tidak mengikuti pola yang berbeda melalui
pengukuran (F=3.423; p>: 05). Artinya, PBL online tidak memiliki
efek yang berbeda dari aktivitas yang dipimpin instruktur online
dalam hal akuisisi pengetahuan konten. Meskipun kedua kelompok
memiliki skor yang lebih tinggi secara signifikan pada posttest (F=
2173.612; p <: 001), tidak mungkin untuk mempertahankan bahwa
salah satu kelompok mengungguli yang lain. Namun, nilai
probabilitas dekat dengan signifikansi (F= 3.835; p =058) atas nama
kelompok PBL, yang harus ditinjau kembali dalam percobaan lebih
lanjut.
Kemampuan berpikir kritis, Untuk melihat apakah skor CTS dari
kelompok PBL online meningkat lebih signifikan daripada skor
yang dipimpin instruktur online kelompok, menunjukkan, rata-rata
pretest kelompok eksperimen (66,50) meningkat menjadi 75,05
pada posttest sedangkan pretest kelompok kontrol
berarti (66,45) meningkat menjadi 70,30. Artinya, kedua kelompok
memiliki skor lebih tinggi di posttest. Namun, untuk melihat
kemajuan kelompok mana yang lebih baik, desain campuran dua
arah ANOVA digunakan dan tingkat kemajuan percobaan dan
kelompok kontrol mengikuti mengikuti pola yang berbeda melalui
pengukuran (F = 4,848; p <: 05). Dalam hal ini, dapat disarankan
bahwa mengekspos siswa untuk PBL online dan kegiatan yang
dipimpin instruktur online memiliki efek yang berbeda pada skor
CTS. Lebih khusus, kelompok PBL memiliki keuntungan lebih
tinggi dalam hal CTS daripada kelompok yang dipimpin instruktur
meskipun mereka sama pada awal. Situasi ini didukung oleh
beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa PBL meningkatkan
keterampilan tingkat tinggi termasuk pemikiran kritis.
Kesimpulan Studi saat ini yang dilakukan di lingkungan PBL online
mengungkapkan bahwa kelompok PBL dan kelompok yang
dipimpin instruktur tidak berbeda dalam hal keterampilan tingkat
pengetahuan, pemahaman dan penerapan. Temuan yang agak
sejalan dengan penelitian Candela (1999) mempertahankan bahwa
mahasiswa sarjana yang terpapar lingkungan PBL tidak
mengungguli siswa dalam pengaturan tradisional. Demikian pula,
Korucu (2007) membandingkan skor perolehan pengetahuan konten
siswa sekolah dasar yang ditugaskan untuk PBL dan kelompok
belajar kolaboratif, dan mengklaim bahwa kelompok tidak berbeda.
Namun, temuan itu tidak mendukung beberapa studi dalam literatur
mempertahankan keunggulan PBL dibandingkan beberapa metode
lain (Alper, 2003; Deveci, 2002; Elshafei, 1999). Perbedaan seperti
itu dapat berasal dari sifat ukuran kinerja yang digunakan. Lebih
khusus, beberapa studi diberikan tes prestasi hanya menangani

HENA DIAN AYU 75


keterampilan kognitif sementara yang lain berfokus pada
keterampilan psikomotorik atau sensorik juga. Dalam hal ini, dapat
disarankan bahwa PBL mungkin tidak memiliki efek marginal pada
peningkatan keterampilan kognitif tingkat pengetahuan,
pemahaman, dan aplikasi dibandingkan dengan metode lain. Yaman
dan Yalçın (2005) mendukung klaim ini dengan menemukan bahwa
PBL meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi para pelajar
sarjana dengan penekanan khusus pada keterampilan berpikir
kreatif. Dengan demikian, mungkin masuk akal untuk mengelola
alat pengukuran untuk mengatasi keterampilan tingkat tinggi seperti
analisis, sintesis, dan evaluasi selain pengetahuan, pemahaman, dan
aplikasi. Selain itu, alat interaksi online yang diberikan kepada
kelompok kontrol dalam penelitian ini dapat sama efektifnya dengan
aktivitas PBL dalam meningkatkan keterampilan kognitif tingkat
rendah bersama dengan menjaga motivasi lebih tinggi. Klaim ini
didukung oleh Wang (2005) yang menunjukkan bahwa lingkungan
diskusi yang sinkron memiliki efek positif dan signifikan pada
peningkatan keterampilan kognitif siswa.
Perbedaan dalam temuan penelitian PBL juga dapat berasal dari
metode khusus yang digunakan untuk kelompok kontrol. Lebih
khusus, perbandingan PBL dengan metode yang berpusat pada
siswa dapat mengarah pada temuan yang berbeda dari perbandingan
PBL dengan metode yang berpusat pada instruktur murni. Dalam
studi saat ini, kelompok yang dipimpin instruktur online
memanfaatkan obrolan, forum, sumber daya elektronik, berbagi file
dan alat Internet lainnya yang disediakan. Artinya, mereka memiliki
kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan dengan
teknologi. Dalam hal ini, metode ini tidak murni berpusat pada
instruktur. Korucu (2007) juga membandingkan dua metode yang
berpusat pada siswa (yaitu PBL vs pembelajaran kolaboratif) yang
mengarah pada hasil yang tidak signifikan. Karena studi saat ini dan
studi Korucu (2007) tidak menemukan perbedaan antara PBL dan
kelompok kontrol, dapat disarankan bahwa jika kelompok kontrol
terpapar pada kelompok yang lebih berpusat pada instruktur,
perbedaannya dapat lebih besar. Saran ini agak didukung oleh
perbedaan signifikan antara eksperimen dan kelompok kontrol, yang
bisa lebih besar jika metode yang murni berpusat pada instruktur
dilaksanakan.
Tingkat usia subjek dapat menjadi indikator signifikan lain dari
perbedaan dalam penelitian PBL. Elshafei (1999) dan Alper (2003)
melakukan studi mereka dengan siswa sekolah menengah
sedangkan Deveci (2002) bekerja dengan siswa sekolah dasar.
Setiap studi mengungkapkan bahwa PBL lebih efektif daripada
kelompok kontrol dalam meningkatkan prestasi. Namun, studi
Candela (1999) dilakukan dengan mahasiswa sarjana yang mirip
dengan penelitian ini yang tidak menemukan perbedaan antara PBL
dan kontrol. Temuan tersebut menyiratkan bahwa PBL bisa lebih
efektif dengan pelajar yang lebih muda.

HENA DIAN AYU 76


1. Identitas Jurnal
Judul Blended Learning Improves Science Education
Nama Jurnal Cell
Halaman 933-936
Tahun 2012
Author Brent R. Stockwell,1,2,3,Melissa S. Stockwell,4,5,6Michael
Cennamo,7and Elise Jiang1
1
Howard Hughes Medical Institute, Department of Biological
Sciences, Columbia University, Northwest Corner Building,
MC 4846, 550 West 120th Street, New York, NY 10027, USA
2
Department of Chemistry, Columbia University, New York,
NY 10027, USA
3
Department of Systems Biology, Columbia University, New
York, NY 10032, USA
4
Department of Pediatrics, Columbia University, New York,
NY 10032, USA
5
Department of Population and Family Health, Mailman
School of Public Health, Columbia University, New York, NY
10032, USA
6
NewYork-Presbyterian Hospital, New York, NY 10032, USA
7
Columbia Center for New Media Teaching and Learning,
Columbia University, New York, NY 10027, USA
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.cell.2015.08.009
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah persiapan
berbasis video dan pemecahan masalah di masyarakat mampu
meningkatkan keterlibatan siswa, seperti ditunjukkan oleh
kehadiran di kelas, dan pada akhirnya kinerja ujian, untuk siswa
sains sarjana.
Latar Belakang Di tingkat sarjana, sains paling umum diajarkan menggunakan
kuliah dan format buku teks. Dalam pendekatan pedagogis ini, siswa
diberi buku teks untuk dibaca di rumah sebelum kelas dan
mendengarkan ceramah instruktur tentang materi yang ditugaskan
selama kelas. Meskipun pendekatan pembelajaran ini efektif untuk
beberapa siswa, itu adalah suboptimal bagi banyak mahasiswa
sarjana dan dapat berkontribusi pada siswa yang meninggalkan ilmu
pengetahuan (Handelsman, 2007). Pengakuan keterbatasan
pendekatan pengajaran tradisional untuk sains menggunakan buku
teks dan format kuliah telah menyebabkan saran untuk memeriksa
metodologi alternatif (Handelsman, 2007). Dalam beberapa tahun
terakhir, opsi pembelajaran online, termasuk kursus online terbuka
besar (MOOC), telah menjadi semakin tersedia sebagai sarana untuk
menghasilkan pembelajaran pada siswa yang tidak dapat
HENA DIAN AYU 77
menghadiri kelas secara langsung dan telah diusulkan sebagai
paradigma pembelajaran alternatif (Reich, 2015). Namun,
rendahnya tingkat penyelesaian kursus online, seperti MOOCs, dan
pentingnya interaksi antara instruktur-siswa dan siswa-siswa di
kelas telah menyarankan bahwa pembelajaran online saja tidak
mungkin menjadi strategi yang paling efektif untuk pengajaran dan
pembelajaran (Glazer, 2012 ; Reich, 2015).
Meskipun demikian, paradigma pembelajaran online menawarkan
alat-alat berharga yang dapat melengkapi atau mengganti aspek-
aspek dari pendekatan berbasis pengajaran dan pembelajaran
tradisional untuk pengajaran dan pembelajaran (Glazer, 2012).
Pertama, penugasan video online pra-kelas mungkin menawarkan
keunggulan dibandingkan penugasan buku teks, terutama untuk
kursus sains pengantar dengan bahan yang kompleks dan padat yang
tidak dikenal oleh siswa pemula (Kagohara, 2010). Membaca buku
teks terutama melibatkan visual, pemahaman bahasa, dan jalur saraf
kognitif dan mengharuskan pembaca untuk dapat memilih bahan
yang paling relevan untuk aplikasi ke kursus (Wandell, 2011).
Instruksi video, di sisi lain, menambahkan keterlibatan pendengaran
ke visual, pemahaman bahasa dan proses kognitif, dan
memungkinkan penekanan yang lebih bervariasi dari pentingnya
konten. Tugas video biasanya lebih menarik untuk kursus sains
pengantar besar dan dapat merangsang keterlibatan yang lebih besar
dengan materi kursus.
Selain itu, mendengarkan ceramah di kelas sebagian besar
melibatkan merekam dan mengingat informasi, yang merupakan
tingkat taksonomi pembelajaran Bloom yang lebih rendah (Bloom,
1956). Sebaliknya, memecahkan masalah secara real time selama
kelas memaksa siswa untuk mensintesis dan menerapkan
pengetahuan saat mereka memprosesnya (Amador et al., 2006).
Perbandingan historis telah menunjukkan bahwa kursus terstruktur
dengan penyelesaian masalah di kelas meningkatkan kinerja dan
mengurangi kesenjangan prestasi (Haak et al., 2011). Selain itu,
survei data sebelum / sesudah tes dalam mata pelajaran fisika
mengungkapkan bahwa pengajaran interaktif meningkatkan
pembelajaran siswa (Hake, 1998). Akhirnya, penilaian formatif
berisiko rendah meningkatkan kinerja ujian jika dibandingkan di
seluruh siswa di bagian kelas yang berbeda dengan guru yang
berbeda (Roediger et al., 2011). Dengan demikian, pembelajaran
berbasis masalah yang aktif dapat meningkatkan kinerja siswa pada
ujian (Che et al., 1998; Knight dan Wood, 2005). Secara keseluruhan,
kami menyimpulkan bahwa memberikan siswa dengan masalah untuk dipecahkan
selama hasil kelas dalam peningkatan kinerja ujian secara signifikan,
dibandingkan dengan hanya memiliki instruktur menggambarkan masalah yang
sama dan solusi mereka selama kuliah.

HENA DIAN AYU 78


Metode dan
Analisis Data

(A) Penelitian ini mengikuti skema yang ditunjukkan, di mana siswa


diundang untuk berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian dan
diminta untuk menunjukkan persetujuan mereka. Mereka secara
acak menjadi salah satu dari empat kelompok, menerima tugas buku
teks atau video sebelum kelas dan baik kuliah atau kuliah dengan
pemecahan masalah selama kelas. Dampak pada kehadiran dan nilai
ujian kemudian diukur. (B) Jumlah yang setara dari siswa laki-laki
dan perempuan dan siswa dengan nilai ujian sebelumnya tinggi dan
rendah ditugaskan untuk masing-masing kelompok. (C) Siswa yang
menerima tugas video lebih cenderung menghadiri kelas daripada
siswa yang menerima tugas buku teks. Jumlah siswa yang
menghadiri atau tidak menghadiri kelas setelah menerima tugas
video atau buku teks ditunjukkan. (D) Siswa yang menyelesaikan
masalah di kelas berkinerja lebih baik daripada siswa yang hanya
mendengarkan ceramah. Skor median setiap kelompok siswa pada
akhir ujian kelas ditunjukkan (dari 100 poin yang mungkin).
Perbandingan skor ditunjukkan untuk siswa dalam kuliah dan
kelompok pemecahan masalah. Tugas video lebih memuaskan bagi
siswa daripada tugas buku teks; siswa diminta untuk menilai
seberapa puas mereka dengan tugas pra-kelas mereka pada skala 1
(kepuasan rendah) hingga 5 (kepuasan tinggi)
Hasil Pendekatan buku-dan-tradisi tradisional untuk mengajar sains
sarjana, walaupun efektif untuk sekelompok individu, bukanlah cara
yang paling efektif untuk merangsang pembelajaran dalam
kelompok siswa yang paling luas. Peneliti dan yang lainnya telah
mencoba untuk menguji efektivitas pedagogi alternatif yang
menggantikan buku teks dengan tugas video dan ceramah
tradisional dengan aktif, pemecahan masalah yang berpusat pada
siswa. Salah satu hasil uji coba ini adalah bahwa siswa yang
menerima tugas video lebih cenderung menghadiri kelas dan
menilai tugas mereka sebagai memberikan tingkat kepuasan yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan siswa yang menerima tugas buku
teks. Dengan demikian, dalam penelitian ini, tugas video lebih
efektif untuk merangsang minat siswa dan keterlibatan dengan
materi pelajaran. Oleh karena itu, menyediakan video tambahan
untuk kursus sains, baik di tempat, atau di samping, tugas buku teks,
dapat meningkatkan keterlibatan dan motivasi siswa.
Temuan kedua adalah bahwa siswa yang mendengarkan ceramah

HENA DIAN AYU 79


tradisional yang berfokus pada instruktur berprestasi rendah yang
secara aktif memecahkan masalah selama periode kelas. Ini terlepas
dari kenyataan bahwa siswa dalam dua kelompok ini menilai kelas
mereka sama-sama memuaskan. Jadi, sementara siswa menikmati
secara pasif mendengarkan ceramah sebanyak yang diminta untuk
memecahkan masalah selama kelas, mereka belajar materi dengan
lebih baik ketika mereka secara aktif mengerjakan masalah,
daripada hanya diberi masalah dan jawaban sebagai bagian dari
ceramah. Oleh karena itu, instruktur mungkin ingin sering
memberikan kesempatan selama kelas bagi siswa untuk menerapkan
konten yang disajikan untuk masalah tertentu. Ini memberikan
penilaian formatif yang berkelanjutan bagi siswa untuk menguji
pembelajaran mereka dan memfokuskan kembali perhatian siswa
selama periode perkuliahan yang diperpanjang. Selain itu, meminta
seorang siswa untuk menerapkan pengetahuan pada konteks baru
dapat membantu mereka mempelajari materi dengan cara yang lebih
efektif yang memungkinkan mereka untuk meramalkan
pengetahuan untuk situasi baru di masa depan; pedagogi berbasis
kasus terkait telah digunakan dengan sukses di sekolah bisnis,
medis, dan hukum
peneliti hanya dapat memeriksa efek gaya mengajar di satu kelas.
Selain itu, peneliti tidak memeriksa efek jangka panjang dari
intervensi ini pada pembelajaran; akan sangat berharga untuk
meminta siswa mengikuti ujian lain beberapa bulan atau bahkan
bertahun-tahun setelah berpartisipasi dalam penelitian untuk
memeriksa seberapa baik mereka menyimpan informasi. Peneliti
mengusulkan bahwa penilaian longitudinal dari hasil belajar dapat
diorganisir di tingkat institusional dengan secara teratur
menyelenggarakan ujian tindak lanjut untuk siswa di jurusan
tertentu yang telah menyelesaikan kursus yang diminta pada awal
program mereka. Mungkin dengan menggabungkan program-
program tersebut dengan sistem kompensasi untuk partisipasi,
dampak jangka panjang dari struktur kursus dan metode pedagogis
dapat dinilai
Kesimpulan Hasil dari uji coba ini menunjukkan bahwa pendekatan pengajaran
Blended learning, yang menggunakan tugas video di muka setiap
kelas untuk merangsang minat pada topik dan memberikan
pengetahuan dasar, ditambah dengan kuliah yang memiliki
pemecahan masalah di kelas, adalah strategi yang lebih efektif untuk
pendidikan sains. dibandingkan dengan pendekatan tradisional.
Perlu dicatat bahwa tugas video tidak meningkatkan kinerja ujian
siswa sendiri tetapi meningkatkan kehadiran dan kepuasan. Dengan
memberikan informasi dasar pra-kelas, tugas video juga dapat
menciptakan waktu di kelas untuk pembelajaran aktif, seperti
pemecahan masalah siswa. Dengan demikian, tugas video pra-kelas
dapat melayani peran penting dalam paradigma pembelajaran
Blended learning untuk pendidikan. Hasil ini juga menggambarkan
kelayakan menggunakan metodologi uji klinis dalam evaluasi
intervensi pendidikan. Pendekatan blended learning dapat
membantu siswa mempelajari informasi dalam cara yang bisa

HENA DIAN AYU 80


mereka terjemahkan situasi baru yang akan mereka hadapi karir
akademik dan profesional mereka, yang merupakan ciri khas
pembelajaran yang efektif. Lembaga dan instruktur mungkin ingin
mempertimbangkan bagaimana mendukung paradigma
pembelajaran Blended learning dalam kurikulum sains mereka

HENA DIAN AYU 81


1. Identitas Jurnal
Judul Online learning: Adoption, continuance, and learning
outcome—A review of literature
Nama Jurnal International Journal of Information Management
Halaman 1-14
Tahun 2018
Author Ritanjali Panigrahi, Praveen Ranjan Srivastava, Dheeraj
Sharma
Indian Institute of Management Rohtak, Management City, NH
10, Southern Bypass, Sunaria, Haryana 124001, India
Keyword Online learning; Virtual community; Technology adoption;
Technology continuation;Learning outcome
DOI https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2018.05.005
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Melakukan tinjauan terhadap faktor yang mempengaruhi
keberhasilan adopsi penggunaan teknologi dalam pembelajaran
online, kelanjutan penggunaan teknologi, hasil pembelajaran,
integrasi pembelajaran online dengan komunitas virtual untuk
mendorong keterlibatan siswa dalam mendapatkan hasil belajar
yang lebih baik.
Latar Belakang Pembelajaran dan pelatihan online semakin dikenal di seluruh dunia,
mengurangi masalah temporal dan spasial yang terkait dengan
bentuk pendidikan tradisional. Faktor utama di balik penggunaan
pembelajaran online tidak hanya untuk meningkatkan akses ke
pendidikan dan pelatihan, dan kualitas pembelajaran, tetapi juga
untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efektivitas biaya
pendidikan (Bates, 1997). Pembelajaran online terutama disediakan
dalam dua cara di lingkungan sinkron dan asinkron (Jolli, Ritter, &
Stevens, 2012). Atribut jeda waktu pembelajaran asinkronik tidak
seperti pembelajaran sinkron di platform online mengambil
keuntungan dari mengakses materi kapan saja dan di mana saja,
kemampuan untuk mencapai materi yang lebih besar pada saat yang
sama, dan keseragaman konten. Pembelajaran online bersama
dengan pembelajaran tatap muka berhasil digunakan dalam industri
serta akademisi dengan hasil positif (Chang, 2016).
Meskipun ada beberapa keuntungan dari pembelajaran online
seperti meningkatkan akses ke pendidikan dan pelatihan,
meningkatkan kualitas pembelajaran, mengurangi biaya dan
meningkatkan efektivitas biaya pendidikan, mempertahankan siswa
dalam platform tersebut merupakan tantangan utama dengan tingkat
putus sekolah yang tinggi (Perna et al., 2014). Beberapa strategi
seperti brie fi ng, buddying, dan memberikan umpan balik pada
platform diusulkan untuk mempertahankan dan melibatkan siswa
(Nazir, Davis, & Harris, 2015). Juga dicatat bahwa lebih banyak

HENA DIAN AYU 82


disiplin diri diperlukan oleh siswa dalam pendidikan online, tidak
seperti pendidikan kelas tradisional (Allen & Seaman, 2007).
Menjaga agar pengguna terdaftar dan terlibat adalah pekerjaan yang
menantang karena sentuhan pribadi oleh instruktur tidak ada atau
terbatas. Keterlibatan pembelajaran yang merupakan anteseden
penting untuk hasil pembelajaran lebih rendah untuk pembelajaran
yang dimediasi teknologi daripada pembelajaran tatap muka (Hu &
Hui, 2012).
Karena biaya yang lebih tinggi dihabiskan untuk infrastruktur,
pelatihan staf, dll., Organisasi berusaha untuk mengambil manfaat
maksimal dari pembelajaran online yang membutuhkan pemahaman
tentang faktor-faktor yang mendorong adopsi, niat kelanjutan, dan
hasil belajar dari pengguna pada platform pembelajaran online .
Oleh karena itu, fokus utama penelitian tetap pada bagaimana
mempertahankan pengguna pembelajaran online, dan meningkatkan
efisiensi pembelajaran online.
Landasan teori Persepsi interaksi (PoI) mengakomodasi penggunaan sistem
yang digunakan & berkelanjutan daripada adopsi awal pengguna TI (Knight & Burn,
hasil penelitian 2011). PoI adalah persepsi pengguna tentang interaksi berkelanjutan
sebelumnya mereka dengan teknologi yang diadopsi, dan menentukan niat
penggunaan sistem manajemen e-learning berorientasi layanan
siswa (Ros et al., 2015). Tiga dimensi penyerapan kognitif (tingkat
keterlibatan), disosiasi temporal, kepuasan yang lebih tinggi
mempengaruhi persepsi pengguna untuk menentukan adopsi
teknologi (Saade & Bahli, 2005). Usia kognitif dan persepsi
pengguna memainkan peran penting dalam keputusan penerimaan
TI untuk individu. yang berjiwa muda (usia kognitif lebih rendah
dari usia sebenarnya).
Sejauh mana seseorang terhubung dengan orang lain yang
berpengaruh) dan sentralitas kedekatan (seberapa dekat atau jauh
pengguna jaringan dengan pengguna lain dalam jaringan) secara
positif memengaruhi penggunaan teknologi (Venkatesh & Sykes,
2013). Pengamatan informasi sebelumnya mengarah untuk meniru
orang lain sedangkan ketidakpastian adopsi menyebabkan
pengurangan informasi sendiri (Sun, 2013). Keterlibatan siswa
terutama berfokus pada waktu dan upaya yang diberikan oleh siswa
pada kegiatan pendidikan untuk mencapai hasil belajar yang
diinginkan dan dianggap sebagai proksi untuk hasil belajar (Pye,
Holt, Salzman, Bellucci, & Lombardi, 2015). Oleh karena itu,
efektivitas dan kepuasan belajar siswa harus ditingkatkan dengan
merancang sistem dan menanamkan strategi yang memfasilitasi,
mendorong, dan menghargai keterlibatan mereka (Hu & Hui, 2012).
Metode Review literatur
Langkah-langkah 1. Pemilihan Artikel,
2. Klasifikasi Artikel
3. Kategorisasi Artikel
Pengumpulan Data Pemilihan artikel, Pengumpulan artikel awal.
Kumpulan sumber atau artikel awal diperoleh dari IS terbaru
(Sistem Informasi) jurnal, jurnal pendidikan, buku, dan artikel.

HENA DIAN AYU 83


Artikel penelitian terbaru dicari dalam database dengan
menggunakan opsi pencarian lanjutan dengan kata kunci
'Pembelajaran online', 'e-learning,' 'Komunitas virtual,' 'Adopsi
teknologi,' 'Penggunaan teknologi,' 'Virtual dunia, '' Hasil belajar,
'dll.
Pengumpulan artikel akhir. Kumpulan terakhir artikel berisi
semua artikel penelitian di awal dikurangi artikel yang dikecualikan
berdasarkan kriteria inklusi/ pengecualian yang diterapkan.
Klasifikasi dan kategorisasi,
Identifikasi atribut.
Atribut yang diidentifikasi untuk memetakan kumpulan artikel
terakhir adalah faktor yang mempengaruhi adopsi, penggunaan
berkelanjutan, dan hasil belajar dalam pembelajaran online.
Pemetaan atribut.
Kumpulan terakhir artikel penelitian dipetakan ke atribut yang
diidentifikasi dalam langkah sebelumnya, adopsi teknologi,
kelanjutan penggunaan teknologi, dan hasil pembelajaran.
Hasil Memahami faktor-faktor adopsi pembelajaran online, penggunaan
berkelanjutan, dan hasil pembelajaran sangat penting untuk platform
e-learning yang menyediakan materi karena keberhasilan platform
tergantung pada keberhasilan adopsi, penggunaan berkelanjutan,
dan akhirnya mencapai hasil yang diinginkan.
Dari literatur, ditemukan bahwa budaya nasional mempengaruhi
adopsi dan memoderasi hubungan antara variabel adopsi dan
penggunaan. Oleh karena itu, hasil adopsi dan penggunaan
teknologi mungkin berbeda di negara yang berbeda dengan dimensi
budaya yang berbeda. Pada tingkat yang lebih luas, karakteristik
yang dirasakan dari inovasi (pembelajaran online) seperti
keunggulan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, kemampuan uji
coba, dan kemampuan pengamatan memainkan peran penting dalam
adopsi.
Pada tingkat individu, faktor utama adopsi adalah harapan individu
seperti manfaat yang dirasakan, persepsi kemudahan penggunaan,
kenikmatan yang dirasakan, harapan kinerja, harapan usaha, dll.,
Dan pengaruh eksternal seperti norma subyektif, norma sosial,
sekitar kondisi, budaya nasional, karakteristik jaringan sosial, dll. Di
sisi lain, faktor utama kelanjutan dari penggunaan teknologi adalah
pengalaman individu dalam teknologi seperti kepuasan, konfirmasi,
kemandirian, arus, kepercayaan, perasaan kepemilikan,
pendalaman, dll. Kegunaan yang dirasakan dan kemudahan
penggunaan dirasakan penting untuk adopsi teknologi dan
penggunaan berkelanjutan. Ini menyiratkan bahwa kegunaan
teknologi dan seberapa mudah teknologi untuk digunakan
menentukan adopsi dan kelanjutan teknologi. Penyedia platform
harus mempertimbangkan penghambat teknologi yang berdampak
negatif pada penerimaan teknologi. Faktor-faktor dari hasil
pembelajaran seperti kemandirian, kompetensi virtual, keterlibatan,
intervensi desain, dll. harus dipertimbangkan sebelum merancang
dan menyampaikan konten dalam platform pembelajaran online
untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Zhao et al. (2012)

HENA DIAN AYU 84


telah menunjukkan bahwa VC menciptakan rasa memiliki dan
membuat anggota tetap terlibat yang menghasilkan peningkatan
hasil pembelajaran, dan pengguna dengan kelompok usia yang sama
cenderung tidak tertarik (Freitas et al., 2015). Penelitian telah
menunjukkan bahwa kriteria seperti pembelajaran problem-centric
dengan eksposisi yang jelas, interaksi teman sebaya, pembelajaran
aktif, aksesibilitas dan gairah instruktur, dan menggunakan sumber
daya kuliah dapat meningkatkan hasil belajar (Hew, 2015).
Interaksi sosial melalui jejaring sosial menghasilkan aset tak
berwujud yang dikenal sebagai modal sosial (Coleman, 1988) dalam
hal kepercayaan, tindakan kolektif, dan komunikasi. Modal sosial
berhubungan positif dengan kepuasan belajar online dalam interaksi
kelompok, interaksi kelas, interaksi pembelajar-instruktur, serta
meningkatkan kinerja pembelajaran elektronik siswa dalam
kelompok (Lu, Yang, & Yu, 2013).
Perkembangan teknologi seluler yang berkelanjutan telah
memperluas kesempatan untuk belajar dari perangkat seluler di
mana saja, kapan saja. MLearning jauh lebih bermanfaat untuk
mengakses pendidikan di daerah terpencil dan negara berkembang.
Keberhasilan M-learning dalam organisasi tergantung pada faktor
organisasi, orang, dan pedagogis terlepas dari faktor teknologi
(Krotov, 2015). Berbagai teknologi seluler seperti laptop,
smartphone, dan tablet dianut oleh siswa untuk mendukung
pembelajaran informal (Murphy, Farley, Lane, HafeezBaig, &
Carter, 2014). Belajar melalui perangkat seluler menghadirkan
peluang sekaligus tantangan; itu memberikan fleksibilitas dalam
pembelajaran, di sisi lain, ada batasan bagi mereka yang tidak
memiliki konektivitas dan akses ke perangkat ini. Dalam
pembelajaran yang berpusat pada siswa terutama pembelajaran
kolaboratif dan berbasis proyek, penggunaan perangkat seluler
dapat dipromosikan oleh aplikasi seluler (Leinonen, Keune,
Veermans, & Toikkanen, 2014). Penggunaan aplikasi seluler
bersama dengan bimbingan dari guru mengintegrasikan refleksi
dalam pembelajaran di kelas (Leinonen et al., 2014).
Komputasi Cloud memberi organisasi cara untuk meningkatkan
kemampuan TI mereka tanpa investasi besar dalam infrastruktur
atau perangkat lunak. Keuntungan dari cloud computing adalah
biaya rendah, skalabilitas, penyimpanan data terpusat, tidak ada
pemeliharaan dari sisi pengguna (tidak diperlukan perangkat lunak),
pemantauan mudah, ketersediaan, dan pemulihan, dan tantangannya
meliputi membutuhkan akses internet yang cepat dan andal, serta
privasi dan keamanan masalah (El Mhouti, Erradi, & Nasseh, 2018).
Faktor utama untuk penerapan komputasi Cloud dalam e-learning
adalah kemudahan penggunaan, kegunaan, dan keamanan (Kayali,
Sae, & Mukhtar, 2016). Cloud pribadi di dalam lembaga pendidikan
dapat memperoleh manfaat tambahan karena tidak membahayakan
keamanan dan privasi data yang terkait dengan komputasi Cloud
(Mousannif, Khalil, & Kotsis, 2013). Komputasi Cloud
menyediakan dukungan untuk platform pembelajaran online untuk
menyimpan dan memproses sejumlah besar data yang dihasilkan.

HENA DIAN AYU 85


Masalah mengelola peningkatan pertumbuhan pengguna online,
konten, dan sumber daya dapat diatasi dengan menggunakan
layanan komputasi Cloud (Fernandez, Peralta, Herrera, & Benitez,
2012).
Kesimpulan Memahami adopsi e-learning, kelanjutan, dan hasil pembelajaran
online sangat penting dalam memastikan keberhasilan penerapan
teknologi dalam pembelajaran dan mencapai manfaat maksimal.
Studi ini menunjukkan faktor-faktor seperti PU, PEoU, PE, budaya,
sikap, norma subyektif, penghambat sistem dan informasi, dan lain-
lain berkontribusi pada adopsi teknologi.
Faktor-faktor seperti kepuasan, konfirmasi, keterlibatan pengguna,
kualitas sistem, kualitas informasi, umpan balik, kemandirian,
identitas sosial, manfaat yang dirasakan, dll menentukan kelanjutan
penggunaan teknologi.
Hasil belajar tergantung pada kemandirian, pembelajaran
kolaboratif, kohesi tim, kecocokan teknologi, keterlibatan belajar,
pengaturan diri, minat, dll. Kontribusi artikel ini untuk memahami
faktor-faktor yang dipelajari untuk adopsi, kelanjutan, hasil
pembelajaran dalam lingkungan online, dan penyediaan arahan
penelitian di masa depan untuk pendidik dan manajer supaya dapat
berhasil dalam implementasi teknologi dengan platform online
untuk mencapai manfaat maksimum.

HENA DIAN AYU 86


1. Identitas Jurnal
Judul Students' motivation and subjective task value of
participating in online and blended learning environments
Nama Jurnal The Internet and Higher Education 36
Halaman 33-40
Tahun 2018
Author Silke Vanslambroucka, Chang Zhua, Koen Lombaertsa, Brent
Philipsena, Jo Tondeurb
a
Department of Educational Sciences, Faculty of Psychology
and Educational Sciences, Vrije Universiteit Brussel, Brussels,
Belgium
b
Interfaculty Department of Teacher Education, Vrije
Universiteit Brussel, Pleinlaan 2, 1050 Brussels, Belgium
Keyword Blended learning; Higher education; Motivation; Online
learning; Self-determination theory; Subjective task value
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.iheduc.2017.09.002
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi motif utama siswa
untuk mendaftar dalam pendidikan secara umum, dan nilai yang
mereka atributkan untuk pembelajaran dalam pendidikan online
atau campuran. Hasil penelitian ini dapat membantu guru dalam
penyesuaian pedagogi dan lingkungan OBL mereka. , untuk
memenuhi kebutuhan para siswa.
Latar Belakang Online dan blended learning (OBL) semakin banyak digunakan
(Graham, Woodfield & Harrison, 2013) karena menciptakan
peluang belajar yang lebih fleksibel bagi siswa. Instruksi
sepenuhnya online atau kombinasi dari instruksi online dan tatap
muka (yaitu blended learning) (Boelens, Van Laer, De Wever &
Elen, 2015), memungkinkan siswa untuk terlibat dalam belajar pada
waktu, kecepatan dan tempat mereka sendiri. Namun, tingkat putus
sekolah siswa yang tinggi di lingkungan ini menimbulkan
kekhawatiran (Deschacht & Goeman, 2015; Rekenhof aan het
Vlaamse Parlement, 2013). Penelitian ini menimbulkan faktor siswa
yang mempengaruhi ketekunan siswa. Satu baris penelitian
menunjukkan bahwa penting untuk memahami motivasi siswa
karena itu menjelaskan keterlibatan dan keberhasilan mereka di
sekolah (Guay, Ratelle & Chanal, 2008; Lopéz-Pérez, Pérez-López
& rigriguez-Ariza, 2011). Karena lingkungan OBL memberikan
pembelajaran mandiri dengan lebih sedikit dukungan manusia tatap
muka, masalah motivasi dapat menyebabkan siswa berisiko lebih
mudah putus sekolah (Cho & Jonassen, 2009; Fryer & Bovee, 2016).
Guru dan lembaga harus menargetkan siswa yang putus sekolah
dengan mempromosikan motivasi siswa. Ini dapat dilakukan dengan
merancang pedagogi dan lingkungan OBL dengan cara yang sesuai
HENA DIAN AYU 87
dengan kebutuhan dan minat siswa (Hegarty, 2011). Oleh karena itu,
guru memerlukan pemahaman yang jelas tentang, misalnya,
motivasi siswa mengapa berpartisipasi dalam pendidikan online
atau campuran (Fryer, Bovee & Nakao, 2014). Menurut teori nilai-
harapan dari Wigfield dan Eccles (2000), nilai-nilai subyektif yang
diberikan siswa pada tugas adalah faktor yang membentuk motivasi.
Sebagai contoh, mengaitkan nilai rendah dengan belajar di
lingkungan OBL dapat menunjukkan bahwa siswa tidak yakin akan
efektivitas OBL dan akan kurang termotivasi untuk belajar dan
bertahan (Fryer, Bovee & Nakao, 2014). Dalam studi pendahuluan,
penulis (Vanslambrouck, Zhu, Tondeur, & Lombaerts, 2016)
meneliti persepsi siswa tentang lingkungan OBL dan menyimpulkan
bahwa siswa menyebutkan kebebasan sebagai aspek positif dan
(kurangnya) interaksi selama momen jarak sebagai aspek negatif.
dari OBL. Penelitian saat ini bertujuan untuk mengeksplorasi
persepsi ini secara lebih mendalam dengan memeriksa nilai yang
diwakilinya. Sifat terbuka OBL memungkinkan orang dengan
beragam pekerjaan, kehidupan, dan pengalaman pendidikan
sebelumnya, untuk terlibat dalam pendidikan. Ini menghasilkan
kelompok heterogen siswa online atau blended learning dengan
beragam tujuan, motivasi dan harapan (Hegarty, 2011). Ini membuat
memahami motivasi dan nilai-nilai siswa tugas yang menantang dan
dapat menyebabkan guru kurang memiliki pandangan yang jelas dan
pengetahuan tentang keragaman siswa. Diperlukan penelitian yang
berfokus pada keragaman siswa dalam lingkungan OBL yang unik,
sehingga mengatasi kesenjangan dalam literatur yang diteliti saat
ini.
Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode
mix-method (Johnson & Onwuegbuzie, 2004). Pertama, data
kuantitatif dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian
pertama dengan mengembangkan profil motivasi. Hasil dari fase ini
menginformasikan perkembangan fase kedua dengan berfungsi
sebagai alat seleksi. Ini berarti pendekatan pengembangan metode
campuran diterapkan (Greene, Caracelli & Graham, 1989).
Sejumlah peserta dari setiap profil motivasi dihubungi lagi untuk
berpartisipasi dalam sebuah wawancara mengenai nilai-nilai yang
mereka kaitkan dengan partisipasi mereka dalam pendidikan online
atau pinjaman. Fase kedua, kualitatif ini memberikan jawaban untuk
pertanyaan penelitian kedua dan ketiga. Pendekatan campuran-
metode saling melengkapi dengan fase kualitatif dan kuantitatif
digunakan untuk mengukur tumpang tindih tetapi juga berbagai
aspek fenomena (Greene, Caracelli & Graham, 1989), menghasilkan
jawaban untuk pertanyaan penelitian keempat. Dengan melakukan
itu, kita dapat mengeksplorasi apakah nilai-nilai tersebut mewakili
profil motivasi yang berbeda dan memberikan elaborasi, ilustrasi
dan klarifikasi profil dengan kutipan dari wawancara (Greene,
Caracelli, & Graham, 1989).
Langkah-langkah Prosedur dan instrumen, Pertama, survei didistribusikan untuk
dan Analisis Data mengumpulkan informasi tentang (1) karakteristik sosial-
demografis siswa (usia dan jenis kelamin), dan (2) motivasi untuk

HENA DIAN AYU 88


belajar. Motivasi untuk belajar diukur menggunakan Academic
Motivation Scale (AMS) dari Vallerand et al. (1992). Skala ini
mencakup 20 item yang menyelidiki motivasi siswa untuk
berpartisipasi dalam pendidikan. Item-item dinilai pada skala Likert
5-poin yang ditambatkan antara 1 (= sama sekali tidak setuju) dan 5
(= sepenuhnya setuju). Kedua, wawancara semi-terstruktur
dilakukan oleh peneliti, didahului dengan menandatangani informed
consent. Wawancara berlangsung sekitar 60 menit dan termasuk
pertanyaan tentang topik-topik seperti latar belakang pribadi siswa,
alasan dan nilai-nilai mereka dikaitkan dengan partisipasi dalam
pendidikan dan persepsi dan nilai-nilai yang mereka atributkan
untuk belajar dalam konteks spesifik online dan pendidikan
campuran
Peserta, Pesertanya adalah siswa di perguruan tinggi yang
mendaftar sebuah program pendidikan guru. Program pendidikan
guru disediakan oleh universitas, perguruan tinggi universitas dan
pusat pendidikan orang dewasa (AEC). Studi ini berfokus pada
MEA, karena modul dalam program pendidikan guru di MEA sering
ditawarkan dalam mode OBL, untuk kenyamanan audiens target
mereka. Pada fase pertama, setelah memeriksa outlier univariat dan
multivariat, sampel terdiri dari 166 peserta dari tiga AEC yang
berbeda. Umurnya berkisar antara 20 hingga 56 tahun. Ada 73%
perempuan dan 27% peserta laki-laki. Untuk fase kedua, siswa yang
telah berpartisipasi dalam fase pertama dan ditunjukkan dalam
survei bahwa mereka ingin berpartisipasi dalam penelitian lebih
lanjut dihubungi secara acak sampai kami memiliki siswa dari setiap
profil. Hal ini menyebabkan beragam kelompok sembilan siswa
(lima laki-laki, empat perempuan) yang berpartisipasi dalam
nterview, yang usianya berkisar antara 23 hingga 53 tahun. Para
peserta beragam sehubungan dengan (1) situasi keluarga mereka
(beberapa masih tinggal bersama orang tua mereka, sementara yang
lain sudah memiliki keluarga sendiri dengan anak-anak), (2) tingkat
pendidikan mereka (satu peserta tidak memiliki gelar sebelumnya,
sementara yang lain memiliki tingkat menengah) , sarjana atau
magister), dan (3) status pekerjaan mereka (baik orang yang
menganggur maupun pekerja tetap berpartisipasi). Empat peserta
sudah bekerja sebagai guru.
Analisis data Pada fase kuantitatif, data pertama-tama diperiksa
untuk mengetahui normalitas dan outlier untuk menghindari distorsi
dalam pembentukan cluster. Kedua, analisis cluster dilakukan
dengan menggunakan SPSS 23 untuk mengidentifikasi profil
motivasi. Prosedur dua langkah digunakan dengan pertama, analisis
cluster hirarkis dengan metode Ward dan kuadrat jarak Euclidean,
untuk mengeksplorasi jumlah cluster yang muncul secara alami, dan
kedua, prosedur kmean untuk menetapkan siswa ke profil mereka.
Hasil Profil motivasi, Berdasarkan data kuantitatif, profil motivasi siswa
dianalisis untuk menjawab pertanyaan penelitian satu. Hasil analisis
cluster, berdasarkan subskala motivasi akademik (Vallerand et al.,
1992), mengungkapkan tiga profil motivasi. Penamaan label
didasarkan pada terminologi Boiché dan Stephan (2014). Profil

HENA DIAN AYU 89


dengan siswa terbanyak (52%) disebut sebagai profil tambahan. Ini
menunjukkan skor tinggi pada motivasi intrinsik dan regulasi yang
diidentifikasi, skor netral di atas untuk regulasi dan peraturan
eksternal dan skor rendah untuk amotivasi. Ini berarti bahwa siswa
dalam profil ini memiliki beragam motif otonom dan terkontrol
untuk mendaftar. Profil berikutnya ditandai dengan motivasi
intrinsik yang tinggi, skor netral di atas pada regulasi yang
diidentifikasi dan level rendah dari regulasi introjeksi dan eksternal
dan amotivasi. Profil ini disebut profil 'ditentukan sendiri' dan
menyangkut 27% responden. Akhirnya, profil terakhir mencakup
21% responden dan dilambangkan sebagai 'profil moderat'. Skor
responden di atas netral pada regulasi yang diidentifikasi dan
eksternal, di bawah netral pada motivasi intrinsik dan rendah pada
regulasi dan amotivasi yang diproyeksikan. Hasil ini sesuai dengan
studi Boeren (2011), menunjukkan bahwa siswa tidak berpartisipasi
untuk satu motif tertentu tetapi lebih karena keragaman motivasi
yang berbeda.
Nilai-nilai subjektif partisipasi dalam pendidikan dan dalam
OBL, Berdasarkan data wawancara, nilai subjektif siswa untuk
belajar di lingkungan OBL dianalisis. Seperti disebutkan dalam
analisis data, kategori deduktif adalah kategori yang ditentukan
sebelumnya yang berasal dari teori nilai harapan (Wigfield &
Eccles, 2000). Kategori induktif berasal dari analisis kualitatif.
Selanjutnya, sebagai jawaban untuk pertanyaan penelitian dua,
hasilnya disajikan untuk setiap jenis nilai dengan menggunakan
kutipan dari siswa yang disebut dengan nama pseudo.
Hubungan antara profil motivasi dan nilai-nilai subjektif untuk
berpartisipasi, Untuk menghubungkan profil motivasi dengan
nilai-nilai siswa, diperlukan klarifikasi tentang siswa mana yang
cocok dengan profil tersebut. Sembilan siswa mewakili tiga profil.
Frauke dan Lucas adalah anggota dari profil yang ditentukan sendiri;
Laurent, Inge dan Conny mewakili profil aditif dan Thijs, Jeroen,
Jelle dan Angela adalah anggota dari profil moderat. Baik siswa
yang ditentukan sendiri (Frauke dan Lucas) dan siswa tambahan
(Laurent, Inge dan Conny) yang memiliki motivasi intrinsik tinggi
untuk berpartisipasi, menyebutkan nilai intrinsik untuk pendidikan
mereka. Laurent adalah satu-satunya yang secara khusus
mengaitkan nilai intrinsik dengan lingkungan OBL. Para siswa
moderat (Thijs, Jeroen, Jelle dan Angela) secara harfiah mengatakan
bahwa mereka tidak mengikuti pendidikan mereka karena itu
menyenangkan atau menarik. Jeroen bahkan mengatakan itu
membosankan. Mereka mengikutinya untuk memiliki alternatif
pekerjaan atau mempertahankan pekerjaan mereka saat ini.
Implikasi Penelitian ini menghasilkan beberapa implikasi
praktis. Secara keseluruhan, temuan dapat digunakan oleh guru dan
lembaga untuk memimpin percakapan dengan siswa mereka.
Dengan cara ini, mereka mengetahui situasi dan persepsi siswa
mereka dan dapat mengantisipasi kebutuhan mereka ketika
mempertimbangkan implikasi lain. Pertama, guru dan lembaga
harus memberikan informasi yang realistis pada awal program;

HENA DIAN AYU 90


mereka harus memastikan para siswa tahu bahwa mereka akan
memiliki momen jarak dan memberikan dukungan untuk
menjadwalkan waktu untuk momen-momen ini sesuai dengan
situasi pribadi mereka. Kedua, keseimbangan yang baik antara
momen tatap muka dan jarak harus dikejar dan guru harus
memastikan siswa dapat menemukan bimbingan mudah selama
momen jarak. Lebih disukai, para guru harus online ketika jarak
waktu dijadwalkan, tetapi juga dapat didekati di waktu lain karena
siswa mendapatkan fleksibilitas untuk bekerja kapan saja sesuai
dengan mereka. Oleh karena itu, lembaga harus mengembangkan
visi dan pedoman tentang cara mendukung siswa tanpa membatasi
fleksibilitas mereka. Oleh karena itu, lembaga harus menggunakan
profil untuk menindaklanjuti siswa dan mendapatkan wawasan
tentang cara meningkatkan pendidikan mereka untuk memberi
manfaat dan mendukung beragam pelajar. Misalnya, siswa dengan
profil sedang kurang termotivasi dan mendapatkan nilai paling
rendah untuk pendidikan mereka. Menindaklanjuti siswa ini dapat
memerlukan saran untuk meningkatkan minat dan kesenangan siswa
dalam berpartisipasi dalam pendidikan online dan campuran.
Misalnya, dengan memasukkan anekdot yang lebih pribadi dan
otentik dalam kelas online, siswa akan merasa lebih dekat dan lebih
terhubung dengan guru. Ketiga, karena biayanya tidak berbeda
tergantung pada profil, guru akan mendapat manfaat dari setiap
profil ketika memperhitungkan biaya ini dengan membuat
keputusan lingkungan dan pedagogis. Misalnya, kerja kelompok
dianggap sebagai aspek yang sulit dalam pendidikan campuran.
Guru harus membantu mengatur kerja kelompok atau
mengintegrasikannya dalam momen tatap muka sehingga siswa
tidak mengalami stres atau ketegangan yang tidak perlu untuk
mengatur kerja kelompok mereka. Ini dapat dilakukan dengan,
misalnya, menggunakan profil peserta didik untuk membuat
komposisi kelompok.
Kesimpulan Dalam literatur saat ini, ada kurangnya informasi tentang keragaman
motivasi antara siswa di lingkungan OBL dan banyaknya motivator
dalam satu siswa. Oleh karena itu, guru tidak selalu dapat
menyesuaikan lingkungan OBL dengan kebutuhan pribadi siswa.
Studi ini membahas kesenjangan ini dengan mengeksplorasi
beragam alasan untuk berpartisipasi dan nilai-nilai dan biaya yang
dikaitkan dengan belajar di OBL. Dengan menjawab pertanyaan
tentang motivasi belajar - mengapa siswa terlibat dalam pendidikan?
- Penelitian saat ini berkontribusi pada pengetahuan ilmiah tentang
motivasi. Sebagian besar peserta dalam penelitian ini tidak sengaja
memilih OBL. Dengan demikian, motivasi mereka untuk mendaftar
tidak didasarkan pada alasan khusus terkait dengan OBL. Namun,
mereka menghargai fleksibilitasnya karena secara praktis tidak
mungkin untuk bertahan sebaliknya. Selain itu, siswa menyebutkan
aspek-aspek yang mungkin dapat menciptakan hambatan untuk
kegigihan seperti beban kerja yang tidak terduga yang mengarah
pada masalah pekerjaan malam dan keluarga. Nilai dan biaya yang
disebutkan dalam hal ini terutama merujuk pada pendidikan secara

HENA DIAN AYU 91


umum dan kurang berkaitan dengan lingkungan online atau
campuran tertentu. Karena siswa membuat keputusan untuk
bertahan berdasarkan keseimbangan nilai-biaya, relevansi praktis
dari penelitian ini adalah bahwa guru mendapatkan wawasan
tentang nilai-nilai dan biaya yang penting untuk profil motivasi
siswa yang berbeda dalam pendidikan online dan campuran dalam
penelitian ini. . Dengan cara ini, guru dapat - untuk setiap profil
motivasi - melihat nilai atau biaya mana yang penting untuk
menciptakan keseimbangan yang lebih menguntungkan.
Singkatnya, guru dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk
memimpin percakapan intake dan membahas karakteristik penting
siswa. Informasi ini akan membantu mereka dalam merencanakan
dukungan individual dalam pandangan pendidikan online atau
campuran seperti menyusun kelompok untuk kerja kelompok.

HENA DIAN AYU 92


1. Identitas Jurnal
Judul The effect of blended learning on student performance at
course-level in higher education: A meta-analysis
Nama Jurnal Studies in Educational Evaluation 53
Halaman 17-28
Tahun 2017
Author Hien M. Voa,b, Chang Zhua, Nguyet A. Diepa
a
Department of Educational Sciences, Vrije Universiteit
Brussel, Belgium
b
Graduate School, Can Tho University, Vietnam
Keyword Blended learning; Student performance; Higher education;
Discipline; Meta-analysis
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.stueduc.2017.01.002
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Penelitian ini membahas pertanyaan penelitian berikut:
1. Apa pengaruh BL terhadap kinerja siswa di tingkat kursus dalam
konteks pendidikan tinggi?
2. Bagaimana pengaruh BL terhadap kinerja siswa bervariasi
sebagai suatu fungsi disiplin, yaitu STEM vs non-STEM?
3. Bagaimana pengaruh BL terhadap kinerja siswa bervariasi
sebagai a fungsi metode evaluasi akhir kursus, mis. penilaian
onemoment vs multi-komponen?
Latar Belakang Sekitar pergantian abad kedua puluh satu, istilah blended learning
(BL) muncul sebagai tren baru dalam model pengajaran dan gaya
belajar. Awalnya, BL didefinisikan sebagai "campuran elearning
dan pembelajaran di kelas" (Masie, 2006) oleh bidang pelatihan,
sebagai alternatif yang menjanjikan untuk e-learning karena
keterbatasan dalam hal mendorong "interaksi, konteks, dan
perbaikan" ( Masie, 2006) dari yang terakhir. Selanjutnya, Graham
(2006) menguraikan BL sebagai kombinasi dari instruksi tatap muka
dan instruksi yang dimediasi komputer. Dianggap sebagai mode
pelatihan "normal baru" (Norberg, Dziuban, & Moskal, 2011),
pengaruh BL pada kinerja siswa telah diteliti dalam konteks yang
berbeda, mis. pendidikan tinggi, pendidikan orang dewasa, dan
pelatihan di tempat kerja. Hasil telah menunjukkan dampak positif
BL (Larson & Sung, 2009; López-Pérez, Pérez-López, &
RodríguezAriza, 2011), tetapi pertanyaan tetap tidak terjawab
mengenai dampak BL pada kinerja siswa sebagai fungsi disiplin
ilmu, di pendidikan tinggi khususnya, dan metode evaluasi akhir
kursus. Jawaban untuk pertanyaan ini menghasilkan penelitian dan
signifikansi praktis. Pertama, ada ketidakseimbangan yang diamati
dalam studi tentang efek BL lintas disiplin ilmu, yang menghasilkan
variasi efek BL. Oleh karena itu, instruktur dan institusi mungkin
ragu-ragu dalam memperkenalkan BL mengingat efek yang tidak
diketahui untuk jurusan mereka masing-masing. Bernard,
Borokhovski, Schmid, Tamim, dan Abrami (2014b) menemukan

HENA DIAN AYU 93


efek moderasi tidak signifikan dari materi pelajaran (STEM vs
nonSTEM) dan tingkat kursus (sarjana vs pascasarjana) pada
pembelajaran siswa dalam pengaturan pasca-sekolah menengah.
Namun, hasilnya menunjukkan bahwa kursus dalam mata pelajaran
STEM menampilkan ukuran efek rata-rata yang lebih tinggi
daripada yang non-STEM. Menariknya, subjek ditemukan
memberikan efek moderasi dalam Schmid et al. (2014) ketika
tingkat penggunaan teknologi digunakan untuk membagi kontrol
kondisi, yaitu tidak ada teknologi dan penggunaan teknologi. Selain
itu, Schmid et al. (2014) menemukan bahwa subjek non-STEM
mengungkapkan ukuran efek yang lebih tinggi daripada subjek
STEM ketika memungkinkan untuk beberapa teknologi yang
digunakan dalam kondisi kontrol. Temuan dari ini dua penelitian
menyiratkan bahwa pemeriksaan lebih lanjut dari efek materi
pelajaran diperlukan mengingat temuan campuran telah ditemukan.
Juga, Schmid et al. (2014) merekomendasikan bahwa pendekatan
pedagogis harus dianalisis untuk memberikan lebih banyak
wawasan sebelum kita dapat memberikan penjelasan untuk
perbedaan dalam dampak BL dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam
hal ini, diakui bahwa metode evaluasi akhir-kursus akan berdampak
pada pendekatan pembelajaran siswa dan selanjutnya kinerja
mereka (Struyven, Dochy, Janssens, Schelfhou, & Gielen, 2006).
Meta analisis sebelumnya, kecuali yang baru-baru ini dilakukan oleh
Spanjers et al. (2015), belum membahas bagaimana berbedanya
jenis end-of-course metode penilaian dapat memoderasi pengaruh
BL pada hasil belajar siswa. Oleh karena itu, penelitian ini meneliti
efek BL dibandingkan dengan metode pengajaran tradisional dalam
pendidikan tinggi, dengan mempertimbangkan efek moderasi dari
disiplin ilmu dan metode penilaian akhir kursus.
Metode Penulis melakukan meta-analisis berdasarkan rekomendasi Field
dan Gillett (2010) dan Bernard et al. (2014b). Pada intinya, penulis
mengusulkan evaluasi yang teliti terhadap pencarian literatur dan
evaluasi studi termasuk mengenai bias publikasi sebelum
menjalankan analisis statistik yang sesuai.
Pengumpulan Data Kriteria inklusi dan eksklusi, Berdasarkan definisi istilah dan
dan Analisis Data pertanyaan penelitian, dalam penelitian ini, penulis menerapkan
kriteria inklusi berikut untuk memutuskan apakah akan
memasukkan studi dalam analisis:
- Diterbitkan sejak tahun 2001 dan seterusnya dengan bahasa Inggris
sebagai bahasa komunikasi,
- Mengevaluasi kinerja siswa dengan langkah-langkah obyektif
seperti
ujian / tes akhir (penilaian tradisional) atau kombinasi proyek, ujian
tengah semester, dan tes akhir (penilaian terintegrasi),
- Secara eksplisit menyelidiki pengaruh BL pada kinerja siswa di
konteks pendidikan tinggi,
- Memberikan informasi statistik yang cukup untuk perhitungan
ukuran efek.
Sumber data dan pencarian literatur, Dalam pencarian untuk
studi yang relevan, penulis telah menggunakan kata kunci berikut:

HENA DIAN AYU 94


gabungan istilah relatif "blended" sebagai hybrid; membalik;
dibantu komputer; dll; "Belajar" seperti pelatihan; kelas; petunjuk;
dll; dan "pendidikan tinggi" seperti perguruan tinggi; sarjana; lulus;
siswa postsecondary; dll. Penulis telah berkonsultasi dengan
pangkalan data bibliografi berikut ini dalam melakukan kueri:
Science Direct; ERIC; Google Cendekia; Web Sains; ProQuest dan
PubMed. Selain sumber daya ini; penulis juga mendasarkan
pencarian penulis pada empat meta-analisis utama yang dilakukan
oleh Means et al. (2013); Liu; Shen; Xu; dan Gao (2013); Schmid et
al. (2014); dan Bernard et al. (2014b). Pada periode 2001-2015, ada
14.891 artikel dikembalikan oleh database berbeda yang relevan
pada pandangan pertama. 3874 artikel dikecualikan untuk duplikasi.
Setelah penyaringan abstrak, ada 122 artikel. Artikel-artikel tersebut
dikecualikan berdasarkan pada empat kriteria berikut: (1) artikel-
artikel tersebut tidak dilakukan di pendidikan tinggi atau pendidikan
pasca-sekolah menengah, (2) artikel-artikel tersebut tidak mengukur
kinerja siswa berdasarkan ukuran-ukuran obyektif, yaitu penilaian
dilakukan oleh instruktur dalam bentuk nilai kursus dan / atau nilai
ujian daripada oleh persepsi siswa seperti sikap dan kepuasan, (3)
mereka tidak menerapkan BL untuk seluruh kursus, misalnya hanya
berisi satu atau dua sesi percobaan, dan (4) mereka hanya
menggunakan desain pretest-posttest satu kelompok. Dari 122
artikel yang tersisa, hanya 40 yang menyediakan data statistik yang
cukup untuk perhitungan efek.
Menghitung ukuran efek, Dalam artikel ini, penulis menggunakan
ukuran efek untuk mengukur besarnya efek yang diamati (Field dan
Gillett, 2010) dari BL pada prestasi siswa dibandingkan dengan
instruksi kelas tradisional. Ada tiga jenis ukuran efek yang populer,
seperti rasio odds (atau peluang log), koefisien korelasi Pearson r
dan perbedaan rata-rata standar. Cohen d. Dalam meta-analisis ini,
tipe ES terakhir, yaitu Cohen, diadopsi karena hasil yang dilaporkan
ini diukur pada skala berkelanjutan dalam studi yang disertakan (Del
Re, 2015). Dalam studi ini, Jika ada tiga kondisi mengajar, mis.
blended-learning pembelajaran online, dan pengajaran tradisional,
penulis berkonsultasi dengan metode yang diusulkan oleh Lipsey
dan Wilson (2001) untuk mengekstraksi ES.
Deskripsi studi, Dua peneliti bekerja bersama untuk menghitung
ukuran efek berdasarkan prosedur sebagaimana dijelaskan. Secara
total, 51 ukuran efek (k = 51) telah dihitung dari 40 penelitian.
Berdasarkan konseptualisasi evaluasi akhir-kursus seperti yang
disebutkan. Dua peneliti bekerja secara independen untuk
mengkodekan fitur moderasi. Korelasi r untuk reliabilitas antar
penilai adalah 0,801 untuk kategorisasi disiplin dan 0,760 untuk
evaluasi akhir kursus. Selain itu, penulis juga mencatat karakteristik
berikut: (1) periode tahun di mana studi dilakukan; (2) desain
penelitian, yaitu desain eksperimen semu dan posttest penugasan
acak, dan desain eksperimen penugasan acak pra-posttest; (3)
lamanya intervensi; (4) instruktur yang sama atau berbeda mengajar
dalam dua kondisi; dan (5) jenis publikasi.
Bias publikasi, Untuk menilai apakah ada bias publikasi dalam

HENA DIAN AYU 95


sampel penelitian saat ini, analisis Kegagalan-Aman Orwin
dilakukan. Hal ini memungkinkan untuk pengakuan jumlah studi
yang hilang yang akan mengurangi efek rata-rata hingga sepele.
Untuk data saat ini (k = 51), 2569 studi tambahan dengan null-ESs
diperlukan untuk menerima hipotesis nol efek nol dari kondisi BL.
Intersepsi regresi Egger adalah 1,27, t (49) = 1,16, p (dua sisi) =
0,25, menunjukkan bahwa bias publikasi tidak terbukti. Perkiraan
titik untuk studi gabungan model efek tetap adalah 0,327 (Bawah 95
= 0,281, Atas 95 = 0,374). Hasil langsing dan isi (Duval dan
Tweedie, 2000) menunjukkan bahwa nilai-nilai ini tidak berubah.
Estimasi titik untuk studi gabungan model efek acak adalah 0,385
(Bawah 95 = 0,239, Atas 95 = 0,531). Hasil trim dan fill (Duval &
Tweedie, 2000) menunjukkan bahwa nilai-nilai ini mirip satu sama
lain. Gambar. 2 menunjukkan ukuran efek yang dihitung dari semua
studi termasuk di bawah model efek acak mengungkapkan simetri
dekat, kecuali untuk satu pencilan potensial, yang akan dibahas
dalam analisis sensitivitas berikutnya.
Analisis sensitivitas, Ukuran efek ekstrem, yang dikenal sebagai
outlier, dapat memiringkan ukuran efek rata-rata tertimbang hingga
tingkat tertentu (Borenstein, Hedges, Higgins, & Rothstein, 2009).
Oleh karena itu perlu untuk memeriksa apakah satu pencilan spesifik
dapat benar-benar berpengaruh, yaitu memiliki nilai leverage yang
tinggi. Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan
prosedur satu-studi yang dihapus dalam Analisis Meta
Komprehensif (Borenstein, Hedges, Higgins, & Rothstein, 2014).
Proses ini termasuk menghapus satu studi dan kemudian
menghitung ulang ukuran efek rata-rata tertimbang dan kesalahan
standar masing-masing. Hasilnya menunjukkan bahwa, untuk setiap
studi yang dihapus, rata-rata tertinggi dalam model acak adalah g +
= 0,407, k = 51, SE = 0,074, dan rata-rata terendah adalah g + =
0,324, k = 51, SE = 0,057. Kedua ukuran efek rata-rata tertimbang
baru ini berada dalam interval kepercayaan seluruh dataset (g + =
0,385, k = 51, SE = 0,075, Bawah 95 = 0,239 dan Atas 95 = 0,531).
Ini berarti bahwa tidak ada pencilan yang diidentifikasi memiliki
efek berpengaruh pada ukuran efek rata-rata tertimbang yang
dihitung.
Hasil Dalam penelitian ini, meta-analisis tentang pengaruh BL pada
kinerja siswa diukur dengan hasil yang objektif, yaitu nilai kursus
akhir, telah dilakukan. Penulis juga menguji apakah dua moderator,
yaitu disiplin dan metode evaluasi akhir kursus, berkontribusi
terhadap perbedaan yang dijelaskan dalam pengaruh BL
dibandingkan dengan kondisi kontrol. Meskipun membatasi kinerja
siswa hanya untuk penilaian obyektif, ukuran efek rata-rata
terstandarisasi dalam penelitian ini (g + = 0,385, dengan CI 95%
antara 0,239 dan 0,531, p <0,001) berada dalam kisaran yang sama
dengan studi dari Bernard et al. (2014b), Means et al. (2013), dan
Schmid et al. (2014). Karena itu, hasilnya menegaskan hal itu di satu
sisi, di seluruh konteks dan desain yang bisa sedikit berbeda, BL
adalah alternatif yang baik untuk instruksi di kelas (tradisional tatap
muka) dan menunjukkan ukuran efek yang lebih besar pada kinerja

HENA DIAN AYU 96


siswa. Selain itu, sementara diharapkan bahwa penggabungan studi
yang dilakukan baru-baru ini lebih lambat dari tahun 2010 akan
menghasilkan efek rata-rata yang lebih besar dari BL pada kinerja
siswa, hasilnya tidak mendukung proposisi ini. Demikian pula, efek
moderasi yang tidak signifikan dari kesetaraan instruktur dalam
kondisi yang berbeda juga ditemukan. Dalam hal ini, Bernard et al.
(2014b) mendalilkan bahwa meta-analisis mungkin tidak mampu
menangani "mengacaukan antara variabel moderator substantif"
(hal.116). Berbicara secara metodologis, ini membutuhkan
pendekatan yang berbeda untuk membedakan efek BL dengan
mempertimbangkan kovariat lainnya, mis. pedagogi online
sebagaimana ditangani oleh Means et al. (2013) daripada modalitas
per se, dalam satu model tunggal diaktifkan oleh pemodelan
persamaan struktural meta-analitik (MA-SEM, Jak, 2015). Namun,
pendekatan ini mungkin tidak dapat diterapkan jauh sebelum akses
ke kumpulan studi tentang pelaporan BL desain yang sebanding
ketat tersedia. Di sisi lain, hasilnya menimbulkan kekhawatiran
bahwa ketika membandingkan efek BL dan metode pengajaran
tradisional, tampaknya kita telah mengabaikan pertanyaan "untuk
siapa", yaitu jenis siswa yang BL diharapkan lebih menguntungkan.
Sebagian besar meta-analisis membahas desain instruksional atau
variabel proses seperti pengobatan interaksi online (Bernard et al.,
2014a) dan penggunaan teknologi (Schmid et al., 2014). Namun
demikian, ada faktor-faktor yang berkaitan dengan karakteristik
siswa, seperti prestasi akademik sebelumnya dan pengaturan diri,
yang telah ditemukan sebagai prediktor signifikan pembelajaran
siswa di lingkungan tradisional dan BL (Lim & Morris, 2009; Shea
& Bidjerano, 2010 ). Baru-baru ini, Asarta dan Schmidt (2017)
menemukan bahwa bagi siswa yang termasuk dalam zona nilai rata-
rata kelas tinggi (sebagai ukuran pencapaian akademik
sebelumnya), berkinerja lebih baik di BL daripada di dalam kondisi
tradisional. Sebaliknya, kinerja siswa yang terdaftar di zona rata-rata
titik kelas rendah lebih tinggi dalam kondisi tradisional sementara
tidak ada efek signifikan yang ditemukan untuk zona tengah rata-
rata titik kelas. Dengan demikian, masuk akal untuk mendalilkan
bahwa dengan hanya mengevaluasi efek BL tanpa
memperhitungkan kedua input dan variabel proses, ukuran efek rata-
rata tidak mungkin melebihi interval kepercayaan yang ditetapkan
seperti yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya (Bernard et al.,
2014b; Means et al., 2013).
Mempertimbangkan disiplin ilmu sebagai moderator, penelitian ini
menunjukkan bahwa BL dapat lebih memfasilitasi pembelajaran
siswa dalam disiplin STEM daripada disiplin non-STEM, yaitu rata-
rata perbedaan ditemukan cukup signifikan.
Keyakinan epistemologis khusus untuk setiap disiplin ilmu mungkin
berbeda (Schommer-Aikins et al., 2003). Disiplin non-STEM lebih
terbuka untuk perspektif yang berbeda dan memerlukan lebih
banyak dialog konstruktif online (Arbaugh, Bangert, & Cleveland-
Innes, 2010). Sebaliknya, disiplin STEM didasarkan pada teori yang
sudah mapan dan dengan demikian mengajar lebih langsung

HENA DIAN AYU 97


(Annand, 2011). Menurut Neumann et al. (2002), subyek STEM
fokus pada penerapan dan pengujian ide dengan argumentasi linier
(disiplin murni) dan pengembangan keterampilan pemecahan
masalah dan praktis (disiplin ilmu terapan). Perbedaan dalam tujuan
kognitif utama pada subjek STEM dibandingkan dengan non-
STEM, yang lebih menekankan pada pertumbuhan intelektual
termasuk analisis, sintesis, dan interpretasi pengalaman manusia
(Neumann et al., 2002), menyebabkan perbedaan dalam pendekatan
pengajaran . Seperti yang ditunjukkan oleh hasil penulis, efek BL
dalam kursus STEM secara signifikan lebih tinggi, yang
menyiratkan bahwa BL dapat lebih selaras dengan pengajaran dan
pembelajaran STEM yang didasarkan pada jalur linier dan progresif
dalam penguasaan dan penerapan pengetahuan dan keterampilan
(Arbaugh et al. ., 2010). Dalam hal ini, desain pengajaran STEM
disiplin dapat mengambil manfaat lebih dari struktur yang
ditawarkan oleh sistem manajemen pembelajaran, yang
memungkinkan instruktur untuk mengatur konten kursus secara
berurutan. Dengan demikian, proses pembelajaran siswa disiplin
STEM, yang "diharapkan menjadi pemikir linear" (Arbaugh et al.,
2010) akan sangat didukung dan ditingkatkan dalam kondisi BL.
Selain itu, kemajuan terbaru dalam teknologi telah memberikan
siswa STEM, mis Disiplin Kesehatan dan Akuntansi, dengan lebih
banyak peluang untuk peningkatan keterampilan dan remediasi oleh
berbagai aplikasi dan platform seperti lab virtual dan simulasi atau
pasien virtual (Cook et al., 2010; Marriott, 2004). Dalam hal ini,
komponen online kursus BL dalam disiplin STEM memiliki lebih
banyak keuntungan dalam hal banyak pendekatan di mana teknologi
dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses belajar siswa.
Adapun non-STEM disiplin, keyakinan epistemologis menjadi lebih
terbuka untuk perspektif yang berbeda dan membutuhkan lebih
banyak dialog konstruktif online (Schommer-Aikins et al., 2003)
bisa sama-sama ditingkatkan dalam kondisi BL di mana penggunaan
teknologi adalah faktor pengungkit, sama seperti pada STEM
disiplin ilmu (Laird et al., 2008). Dalam hal ini, Arbaugh et al.
(2010) menemukan bahwa kualitas wacana pembelajar, mis. yang
melibatkan brainstorming, musyawarah, dan validasi perspektif dan
solusi yang diusulkan, lebih terbukti dalam disiplin non-STEM
karena "sifat membangun pengetahuan yang konstruktif dan
berulang" (hal. 42). Persyaratan kualitas pembelajaran yang tinggi
dalam disiplin ilmu nonSTEM cocok untuk biaya teknologi dan
desain instruksional. Yang terakhir membutuhkan keterlibatan dan
fasilitasi yang lebih besar dari instruktur serta lebih banyak
penyesuaian dalam praktik pedagogis untuk transisi dari
pembelajaran tatap muka ke BL (Laurillard, 2012). Perubahan besar
dalam pedagogi dalam disiplin non-STEM ini membutuhkan
kehadiran pengajaran yang lebih di lingkungan online dibandingkan
dengan disiplin STEM, agar wacana yang lebih kritis terjadi
(Arbaugh et al., 2010). Dalam hal ini, meta-analisis Borokhovski et
al. (2016) menunjukkan bahwa belajar siswa dalam kondisi
perlakuan interaksi yang dirancang secara sengaja yang jauh

HENA DIAN AYU 98


melebihi siswa dalam perlakuan interaksi kontekstual, yaitu kursus
yang memberikan pilihan untuk interaksi siswa-siswa tetapi tersisa
terbimbing oleh upaya instruksional. Dengan demikian, rata-rata
ukuran efek rata-rata yang lebih rendah dalam studi disiplin non-
STEM termasuk dibandingkan dengan kursus STEM-disiplin
campuran mungkin merupakan hasil dari tidak adanya pengajaran
dan kehadiran kognitif. Karena studi tentang efek BL sebagian besar
membahas elemen sebelumnya, yaitu desain instruksional atau
kehadiran mengajar, daripada yang terakhir, yaitu kehadiran
kognitif atau keterlibatan siswa dalam konstruksi pengetahuan
online, pembenaran ini harus diteliti lebih lanjut untuk memperkaya
pengetahuan kita tentang fenomena tersebut. Ketika menggunakan
metode evaluasi akhir kursus sebagai moderator, penulis
menemukan bahwa desain di mana penilaian berbagai komponen
dilaksanakan selama kursus selain ujian akhir, dikaitkan dengan
hasil siswa yang lebih baik. Namun, analisis moderasi menunjukkan
hasil yang tidak signifikan ketika jenis penilaian, yaitu penilaian
satu saat dan banyak komponen, diteliti dengan cermat. Blair,
Wyburn-Powell, Goodwin, dan Shields (2014) mengamati bahwa
penilaian sumatif sering digunakan dalam pendidikan tinggi.
Penerapan penilaian sumatif tidak selalu mengarah pada kinerja
siswa yang lebih rendah dibandingkan dengan tipe formatif seperti
yang dibahas pada bagian sebelumnya. Yang lebih penting adalah
umpan balik yang diberikan ketika suatu bentuk penilaian diberikan
sedang diterapkan (Brown, 2007) dan bagaimana umpan balik
tersebut efektif untuk pengaturan pembelajaran mandiri siswa
(Pereira, Flores, Simão, & Barros, 2016). Meskipun perbedaan yang
signifikan dalam pengaruh BL pada kinerja siswa dalam dua jenis
evaluasi akhir kursus diharapkan, hasil statistik yang tidak
signifikan dapat bergantung pada bagaimana proses umpan balik
untuk pembelajaran dilakukan dalam kedua jenis penilaian: baik
oleh instruktur atau oleh inisiatif siswa untuk memperoleh umpan
balik dari kinerja mereka. Dengan kata lain, menangkap kinerja
siswa secara kuantitatif mungkin telah membatasi wawasan kita
tentang bagaimana BL, dengan menggabungkan berbagai teknologi
interaktif yang disertai dengan berbagai metode penilaian selama
kursus, dapat meningkatkan pembelajaran siswa. Oleh karena itu,
apakah sifat penilaian dapat menyebabkan perbedaan dalam kinerja
siswa perlu penelitian lebih lanjut mengingat hasil awal dari meta-
analisis ini.
Kesimpulan Studi meta-analisis ini mengkonfirmasi efek BL pada kinerja siswa
di lingkungan pendidikan tinggi. Meskipun dianggap sebagai efek
kecil sesuai dengan kriteria standar (Cohen d), efek rata-rata
tertimbang adalah signifikan, yang mendukung perspektif bahwa
BL dapat menghasilkan hasil belajar yang lebih baik bagi siswa
pendidikan tinggi (Bernard et al., 2014b; Means et al ., 2013).
Dengan menggunakan disiplin ilmu dan metode evaluasi akhir
kursus sebagai moderator kategoris, penulis menemukan bahwa
pengaruh BL terhadap kinerja siswa dalam disiplin STEM secara
signifikan lebih tinggi daripada disiplin non-STEM. Namun

HENA DIAN AYU 99


demikian, penilaian akhir kursus, baik penilaian satu saat atau
banyak komponen, tidak menghasilkan perbedaan dalam efek rata-
rata rata-rata. Meskipun secara umum disepakati bahwa
inkonsistensi dalam instrumen yang mengukur kinerja siswa dan
konteks yang dipelajari dapat menyebabkan perbedaan dalam efek
yang dihasilkan, ini belum diperiksa dalam literatur terbaru.
Penelitian ini menambah nilai dalam bidang ini dengan meta-
analisis mempertimbangkan efek moderasi dari disiplin dan metode
penilaian. Oleh karena itu, hasilnya mendorong implementasi BL
dalam disiplin STEM, dengan ukuran efek rata-rata tertimbang dari
g + = 0,496 ketika dikontraskan dengan kondisi pembelajaran
faceto-face. Sementara peran penting fasilitasi wacana online dapat
berlaku untuk disiplin STEM dan non-STEM, yang terakhir lebih
menuntut dalam hal ini karena
paradigma konstruksi pengetahuan khas mereka seperti yang
diusulkan oleh Neumann et al. (2002). Dengan demikian, temuan ini
mendorong instruktur dalam disiplin non-STEM untuk lebih
memperhatikan fasilitasi wacana online yang konstruktif dan kritis
jika BL ingin memberikan kualitas pembelajaran yang tinggi
dibandingkan dengan cara penyampaian lainnya.

HENA DIAN AYU 100


1. Identitas Jurnal
Judul Effects of learner–instructor relationship-building
strategies in online video instruction
Nama Jurnal Distance Education
Halaman 100-114
Tahun 2015
Author Yanghee Kim & Jeffrey Thayne
Department of Instructional Technology and Learning
Sciences, Utah State University, Logan, UT, USA
Keyword video-based lessons; learner–instructor relationship; learner
affect; blended learning; e-learning
DOI http://dx.doi.org/10.1080/01587919.2015.1019965
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji bagaimana kita
dapat menggabungkan strategi relationship-building (RB) afektif ke
dalam instruksi berbasis video online. Lebih khusus lagi, penelitian
ini bertanya apakah strategi RB yang terbukti efektif dalam
pengajaran tatap muka (mis., Micari & Pazos, 2012) dapat
digunakan secara efektif dalam instruksi berbasis video online.
Pertanyaan penelitian spesifik termasuk:
(1) Apakah strategi akan mempengaruhi sikap positif siswa terhadap
pembelajaran
materi pelajaran (tingkat perguruan tinggi, statistik pengantar)?
(2) Apakah strategi akan mempengaruhi self-efficacy akademik
siswa?
(3) Apakah strategi mempromosikan hubungan pelajar-instruktur
yang positif?
(4) Apakah strategi akan meningkatkan hasil belajar siswa?
(5) Apakah strategi akan mempromosikan penyelesaian modul
siswa?
Latar Belakang Kekuatan hubungan antara instruktur dan muridnya memengaruhi
pengalaman afektif setiap pelajar (mis., Sikap dan kepercayaan diri)
dan prestasi. Ketika hubungan pelajar-instruktur kuat, siswa lebih
baik terlibat dalam tugas dan meningkatkan pembelajaran mereka
(Micari & Pazos, 2012; Sakiz, 2012; Xiao, 2012). Namun, ketika
pembelajaran online menjadi semakin populer, menjadi jelas bahwa
membangun hubungan pembelajar-instruktur yang positif dalam
lingkungan ini dapat menjadi tantangan karena terbatasnya
kesempatan untuk dukungan sosial dan afektif. Tingkat tinggi juga
menjadi perhatian dalam pendidikan online meskipun keuntungan
dari peningkatan fleksibilitas dan kemudahan akses. Video
pengajaran online, di mana instruktur menyajikan materi, dapat
menambah rasa kehadiran sosial sampai batas tertentu, dan karena
kemungkinan meningkatkan hubungan pelajar-instruktur, dapat
membantu meringankan beberapa tantangan pembelajaran online.
Oleh karena itu, tampaknya tepat waktu dan perlu untuk

HENA DIAN AYU 101


mengevaluasi efektivitas video online dalam meningkatkan
hubungan pelajar-instruktur dan mencari cara yang mungkin untuk
meningkatkan hubungan hubungan antara instruktur dan pelajar
selama instruksi video online. Dalam penelitian ini, penulis
mengadaptasi beberapa teknik untuk memfasilitasi hubungan
pelajar-instruktur dalam instruksi kelas untuk serangkaian video
instruksi online. Penulis memeriksa efek dari penggunaan strategi
membangun hubungan (RB) pada motivasi dan pembelajaran
mahasiswa mengambil modul pembelajaran online selama satu
minggu.
Metode Peserta adalah mahasiswa yang mendaftar dalam perkuliahan
Pengantar Statistik yang diperlukan, tatap muka yang ditawarkan
untuk kredit pendidikan umum. Mayoritas peserta adalah kakak
kelas, 45% siswa adalah junior, 25% senior, 17% mahasiswa tahun
kedua, dan 10% mahasiswa baru. Sangat sedikit peserta (9%)
melaporkan berasal dari jurusan di bidang ilmu alam, sedangkan
mayoritas (48%) adalah jurusan ilmu sosial diikuti oleh jurusan
humaniora (35%). Lebih dari dua pertiga dari peserta adalah
perempuan. Berdasarkan data ini, tampaknya banyak dari siswa
tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mengambil perkuliahan
statistik yang diperlukan ini, dan beberapa mungkin telah menunda
mengambil perkuliahan. Empat modul pelajaran dari instruksi video
online menggantikan satu minggu kuliah di pertengahan semester.
Sebanyak 60 siswa memulai pelajaran online pertama dan secara
acak ditugaskan untuk kondisi eksperimen (37) dan kontrol (23)
oleh pemrograman sistem. Namun, hanya 33 peserta menyelesaikan
pretest dan posttest pada pelajar mempengaruhi (sikap dan self-
efficacy); 22 peserta menyelesaikan keempat tes pada hubungan
pelajar-instruktur; dan 51 peserta menyelesaikan pretest dan posttest
untuk belajar. Hanya para siswa yang mengambil pre dan posttest
dalam setiap ukuran dimasukkan dalam analisis ukuran itu.
Pengumpulan dan Intervensi: Modul pembelajaran berbasis video online Instruksi
Analisis Data video selama seminggu terdiri dari empat pelajaran yang dirancang
untuk memperkenalkan konsep distribusi normal. Pelajaran 1
memperkenalkan kurva normal. Pelajaran 2 memperkenalkan
pendekatan dasar untuk menemukan area di bawah kurva normal.
Pelajaran 3 memperkenalkan strategi untuk melakukan perhitungan
di bawah kurva normal. Pelajaran 4 memperkenalkan unit standar
dan membahas cara menghitungnya dan skenario menggunakannya.
Dalam pelajaran, instruktur pengisi suara, Chris, menjelaskan
konsep dan prosedur, dan slide kuliah animasi (dengan gambar dan
teks) disajikan bersama dengan penjelasan Chris. Instruktur (Chris)
adalah orang yang berbeda dari instruktur kelas yang biasa
digunakan siswa, untuk mengontrol variabel perancu dari
pengalaman siswa sebelumnya dengan instruktur kelas. Para siswa
dapat berhenti dan memundurkan kuliah. Siswa diminta
menyelesaikan satu pelajaran setiap hari.
Variabel bebas, adalah pengobatan dengan dua tingkat: RB vs
kontrol. Dalam kondisi RB, penulis memasukkan strategi yang
terbukti mempromosikan hubungan pelajar-instruktur yang positif

HENA DIAN AYU 102


dalam pengaturan tatap muka: membangun instruktur sebagai model
peran, merancang instruktur virtual agar dapat didekati, dan
termasuk berbagai cara untuk instruktur untuk menunjukkan rasa
hormat kepada peserta didik (Micari & Pazos, 2012; Young, 2006).
Penulis juga menggabungkan kualitas pribadi dan keterampilan
dukungan yang direkomendasikan oleh Murphy dan rekan (2011),
sehingga mensimulasikan kehadiran sosial dalam pembelajaran
online (Tu & McIsaac, 2002). Chris menunjukkan kualitas-kualitas
ini dengan berbagai cara dalam kondisi RB. Pertama, Chris
menggunakan nada suara yang ramah dan hangat dan termasuk
bahasa sehari-hari. Kedua, Chris memberikan anekdot tentang
pengalamannya sendiri dengan pembelajaran statistik, terutama
dengan kurva normal, termasuk cerita tentang bagaimana dia
berjuang dengan konsep-konsep tertentu dan bagaimana dia masih
terus menggunakan informasi tersebut. Ketiga, setelah mengajukan
pertanyaan, Chris memberikan dorongan kepada pelajar dan
memberi selamat kepada mereka jika mereka benar atau dengan
sopan meminta mereka untuk mencoba lagi sedikit berbeda sambil
meyakinkan mereka bahwa mereka mampu. Dalam kondisi kontrol,
Chris tidak menggunakan strategi RB ini tetapi menyajikan
informasi kurikuler dalam netral, secara langsung. Kedua kondisi itu
identik dalam presentasi kurikuler dan hanya berbeda dalam
penggunaan strategi RB. Juga, tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam waktu pengajaran antara kedua kondisi. Saat masuk ke
pelajaran pertama, para peserta secara acak ditugaskan ke salah satu
dari kedua kondisi ini dan tetap dalam kondisi yang sama di sisa
pelajaran video.
Variabel dependen, adalah sikap pelajar, self-efficacy pelajar,
hubungan pelajar-instruktur, hasil belajar, dan penyelesaian modul.
Prosedur , Peserta didik menyelesaikan pretest untuk menilai
pengetahuan mereka sebelumnya tentang kurva normal selama kelas
seminggu sebelum modul online. Selama minggu intervensi, pelajar
masuk ke situs web yang menjadi tuan rumah modul pelajaran
video. Pada awalnya dari pelajaran pertama, mereka mengetik
informasi demografis mereka dan mengisi kuesioner sikap dan
efikasi diri. Peserta didik kemudian menyelesaikan pelajaran, satu
pelajaran per hari (tanpa pelajaran pada hari Rabu). Segera setelah
setiap pelajaran online, mereka menyelesaikan kuesioner tentang
hubungan pelajar-instruktur. Pada akhir pelajaran terakhir, peserta
didik menyelesaikan sikap dan kuesioner self-efficacy sebagai
posttests. Minggu berikutnya, peserta didik menyelesaikan tes
belajar yang sama dengan posttest selama kelas
Desain dan analisis, untuk menguji sikap dan efikasi diri peserta
didik, ANOVA mengukur dua arah berulang, di mana dua variabel
independen adalah pengobatan dan waktu, dilakukan masing-
masing untuk 33 peserta didik yang menyelesaikan pra dan posttest.
Untuk menguji hubungan pelajar-instruktur, ANOVA mengukur
dua arah berulang-langkah, di mana dua variabel independen adalah
pengobatan dan waktu, dilakukan untuk 22 peserta didik yang
menyelesaikan semua empat tes yang dilaksanakan pada akhir setiap

HENA DIAN AYU 103


pelajaran online. Untuk menguji pembelajaran, ANOVA dilakukan
dua arah berulang-ulang dilakukan untuk 51 peserta didik yang
menyelesaikan pra dan posttest. Untuk penyelesaian modul online,
tes Mann-Whitney U diselesaikan untuk membandingkan jumlah
pelajaran yang diselesaikan oleh masing-masing kelompok. Tingkat
signifikansi ditetapkan pada α <.05 untuk semua analisis.
Hasil Sikap pembelajar, Dari 60 peserta yang memulai pelajaran
pertama, hanya 34 siswa yang menyelesaikan sebelum dan sesudah
ujian dimasukkan dalam analisis: kondisi RB dengan 22 siswa dan
kondisi kontrol dengan 11 siswa. Analisis skor sikap pelajar
mengungkapkan bahwa skor melanggar asumsi homogenitas varian,
sehingga transformasi akar kuadrat diterapkan pada data. Setelah
ini, ditentukan bahwa data memenuhi semua asumsi lain yang
diperlukan untuk tes ANOVA berulang. ANOVA mengungkapkan
interaksi yang signifikan secara statistik antara pengobatan
(intervensi RB) dan waktu pada sikap siswa, F (1,32) = 5,496, p =
0,025, η 2 = 0,147. Ada juga pengaruh waktu yang signifikan secara
statistik terhadap sikap peserta didik, F (1,32) = 11,599, p = 0,002,
η 2 = 0,266. Gambar 1 menyajikan representasi grafis dari hasil ini.
Secara keseluruhan, sikap siswa menurun secara signifikan setelah
instruksi online, tetapi sikap orang-orang dalam kondisi RB
menurun secara signifikan kurang dari sikap mereka yang berada
dalam kondisi kontrol.
Self-efficacy pelajar, Tiga puluh tiga siswa yang menyelesaikan pra
dan posttest dimasukkan dalam analisis. Data memenuhi semua
asumsi lain yang diperlukan untuk tes ANOVA yang diulang. Tidak
ada interaksi yang signifikan secara statistik antara pengobatan dan
waktu pada kemanjuran diri siswa F (1,31) = 1,971, p = 0,170, η2 =
0,060. Namun, ada efek yang signifikan secara statistik waktu pada
self-efficacy peserta didik, F (1,31) = 5,861, p = 0,022, η 2 = .159.
Secara keseluruhan, kemanjuran diri siswa menurun secara
signifikan setelah instruksi online, tetapi tidak yakin bahwa kondisi
RB memiliki efek (positif atau negatif) pada penurunan ini.
Hubungan pelajar-instruktur, Analisis skor hubungan pelajar-
instruktur menunjukkan bahwa data tersebut melanggar asumsi
normalitas (dalam satu kelompok dan kondisi eksperimental),
homogenitas varian (dalam satu kelompok dan kondisi
eksperimental), dan homogenitas co-varians. Tidak ada transformasi
data yang dapat membantu data bertemu asumsi-asumsi ini dalam
kelompok eksperimen. Penulis melakukan ANOVA langkah-
langkah berulang dua arah dengan 22 siswa yang menyelesaikan
semua 4 tes pada hubungan pelajar-instruktur (13 siswa dalam RB
dan 9 siswa dalam kontrol). Hasil tidak mengungkapkan efek
signifikan dari strategi yang digunakan pada hubungan pelajar-
instruktur, F (2,00, 39,92) = 0,643, p = 0,541, η 2 = 0,031.
Pengukuran berulang satu arah ANOVA dilakukan untuk menguji
perubahan dalam hubungan pelajar-instruktur dari waktu ke waktu.
Data memang memenuhi asumsi ANOVA satu arah. Ada pengaruh
waktu yang signifikan secara statistik, F (1,99, 41,88) = 3,32, p =
0,046, η 2 = 0,136. Peserta didik di kedua kondisi mengevaluasi

HENA DIAN AYU 104


instruktur online kurang positif ketika pelajaran berlangsung, yang
menunjukkan hubungan pelajar-instruktur yang semakin lemah
secara online dari waktu ke waktu.
Kelebihan, Semua peserta yang menyelesaikan pretest dan posttest
pembelajaran, dan yang juga berpartisipasi dalam setidaknya satu
pelajaran online, dimasukkan dalam analisis ini (31 siswa dalam RB
dan 20 siswa dalam kontrol). Data yang dihasilkan memenuhi
asumsi untuk uji ANOVA dua arah yang diulang, kecuali asumsi
normalitas. Tesnya adalah cukup kuat untuk pelanggaran asumsi
normalitas. Penulis melakukan ANOVA berulang. Hasil tidak
mengungkapkan efek signifikan secara statistik dari eksperimen dan
waktu, F (1,00, 49) = 3,95, p = 0,052, η2 = 0,075, tetapi hasilnya
sangat dekat dengan signifikansi secara statistik. Kedua kelompok
meningkatkan pembelajaran mereka secara signifikan dari modul
online, tetapi tampaknya kelompok RB belajar lebih banyak secara
rata-rata
Penyelesaian modul, Semua 60 peserta yang menyelesaikan
pelajaran pertama dalam modul dimasukkan dalam analisis ini.
Kelengkapan modul diukur dalam hal berapa banyak pelajaran yang
diselesaikan setiap siswa. Enam puluh peserta menyelesaikan
pelajaran pertama, 54 dari mereka menyelesaikan pelajaran kedua,
28 dari mereka menyelesaikan pelajaran ketiga, dan 33 dari mereka
menyelesaikan pelajaran terakhir. Dua puluh dua siswa
menyelesaikan keempat pelajaran. Siswa dalam kelompok RB
menyelesaikan, rata-rata, 2,92 pelajaran, dan siswa dalam kelompok
kontrol menyelesaikan, rata-rata, 2,91 pelajaran. Tes Mann-Whitney
U diselesaikan (karena data melanggar asumsi normalitas dari uji-t
sampel independen) membandingkan jumlah total rata-rata
pelajaran yang diselesaikan oleh siswa di setiap kondisi studi. Uji
Mann-Whitney U kurang mungkin untuk menolak hipotesis nol
ketika data tidak sesuai dengan kurva normal. Jumlah rata-rata
pelajaran yang diselesaikan secara statistik tidak berbeda secara
signifikan antara kedua kelompok, U = 420,5, z = −,08, p = 0,936.
Inspeksi visual terhadap data serta perbandingan cara kedua
kelompok menunjukkan bahwa kecil kemungkinan intervensi BPR
memiliki dampak yang dapat terdeteksi pada penyelesaian modul.
Kesimpulan Strategi RB memiliki dampak positif pada sikap pelajar. Sikap
mereka terhadap topik secara keseluruhan menurun setelah modul
online di kedua kelompok. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh
keterbatasan generik pembelajaran online, yaitu kurangnya
sejumlah isyarat sosial dan interaktif secara langsung. Sebagai
pengingat, studi ini dilaksanakan dalam konteks pembelajaran
campuran, di mana siswa secara teratur menghadiri kelas tatap muka
dan mengambil perkuliahan online untuk mempelajari distribusi
normal hanya selama seminggu. Meskipun partisipasi dalam
penelitian ini tidak diperlukan dari siswa, instruktur memang
mengharuskan mereka untuk berpartisipasi dalam modul online
yang menggantikan kuliah kelas minggu ini. Ada kemungkinan
bahwa siswa membenci penambahan komponen online ke
perkuliahan, yang mungkin juga menjelaskan mengapa sikap

HENA DIAN AYU 105


peserta didik menurun pada kedua kelompok. Khususnya, bagi
mereka yang memiliki kepercayaan diri yang lemah dalam
mempelajari topik tersebut, mengambil modul online saja dapat
meningkatkan beberapa beban emosional negatif, seperti
kecemasan. Meskipun demikian, strategi RB tampaknya memimpin
peserta didik untuk menurun dalam sikap positif kurang dari pada
kelompok kontrol. Rupanya, strategi RB memperbaiki beberapa
dampak negatif potensial dari transisi dari pengajaran kelas tatap
muka ke pengajaran online. Temuan ini mendukung literatur dalam
pendidikan online yang menyoroti pentingnya faktor sosial dan
afektif dalam pengajaran online (mis., Muilenburg & Berge, 2005).
Selain membantu siswa menyesuaikan diri lebih baik dengan
pembelajaran online, tampaknya sangat masuk akal bahwa dampak
positif dari strategi RB pada sikap pembelajar menjelaskan
keuntungan belajar kelompok RB yang lebih tinggi. Para siswa di
kedua kondisi secara signifikan meningkatkan hasil belajar mereka
setelah pelajaran online; namun, mereka yang dalam kondisi RB
berkinerja lebih baik daripada kelompok kontrol dengan mendekati
signifikansi statistik (p = 0,052). Strategi RB yang digunakan
instruktur daring saat menyajikan informasi kurikuler cenderung
mengurangi reaksi negatif siswa, dan dengan demikian
mengarahkan mereka untuk memperhatikan penjelasannya. Sama
seperti hubungan pelajar-instruktur menghasilkan keuntungan
belajar yang lebih besar dalam instruksi tatap muka (Christensen &
Menzel, 1998; Sakiz, 2012), mereka juga melakukannya dalam
instruksi online. Namun, karena hasil yang hampir tidak signifikan,
penulis mendalilkan bahwa perbedaan marginal antara kedua
kondisi dapat dikaitkan dengan penurunan ukuran sampel dan durasi
pendek penelitian.

HENA DIAN AYU 106


1. Identitas Jurnal
Judul Exploration of an e-learning model to foster critical
thinking on basic science concepts during work placements
Nama Jurnal Computers & Education 53
Halaman 1-13
Tahun 2009
Author Bas A. de Leng a, Diana H.J.M. Dolmansa, Rijn Jöbsisb, Arno
M.M. Muijtjensa, Cees P.M. van der Vleutena
a
Department of Educational Development and Research,
Maastricht University, P.O. Box 616, 6200MD Maastricht, The
Netherlands
b
Department of Pediatrics, University Hospital Maastricht,
Maastricht, The Netherlands
Keyword Computer- mediated- communication; Cooperative/
collaborative learning; Distributed learning environments;
Learning communities; Pedagogical issues
DOI http://dx.doi.org/10.1016/j.compedu.2008.12.012
Reviewer Hena Dian Ayu

2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi
berbagai aspek interaksi dan kognisi dalam kelompok kecil peserta
didik yang menggunakan model e-learning dalam pengaturan
penempatan kerja. Lebih khusus lagi, peneliti ingin mengevaluasi:
- kuantitas dan kualitas interaksi antara peserta yang menggunakan
model e-learning selama penempatan kerja;
- kualitas diskusi dengan memeriksa apakah diskusi dalam model e-
learning membuktikan pemikiran kritis.
Peneliti telah membingkai analisis kuantitatif interaksi dan kognisi
dalam konteks holistik dua studi kasus kualitatif untuk menghindari
kelemahan yang dijelaskan Mason untuk studi kuantitatif atau
kualitatif terisolasi konferensi komputer (Mason, 1992).
Tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
pengalaman siswa dan moderator dengan model e-learning ini.
Peneliti melakukannya dengan mencari jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan berikut:
- Bagaimana siswa memahami interaksi antara pelajar-pelajar,
pelajar-instruktur dan pelajar-antarmuka dan bagaimana mereka
menilai interaksi ini? Apakah interaksi dianggap bertujuan dalam
arti bahwa mereka menumbuhkan pemikiran kritis dan pemahaman
konsep sains dasar? Apakah siswa menemukan model e-learning
responsif terhadap kebutuhan mereka?
- Apakah guru menganggap model e-learning memungkinkan
mereka memoderasi kelompok teman sebaya online secara efektif
dan efisien? Apakah mereka berpikir model e-learning merangsang
pemikiran kritis dan meningkatkan pemahaman siswa tentang
HENA DIAN AYU 107
konsep sains dasar?
Latar Belakang Pembelajaran berbasis kerja atau magang adalah model pendidikan
yang diwajibkan didalam pendidikan tinggi. Magang dianggap
sebagai bagian dari proses pembelajaran tidak dianggap terpisah
dari proses pembelajaran, (Barab & Duffy, 2000). Dalam mendesain
lingkungan belajar seseorang dapat mengadopsi perspektif 'sekolah',
dengan fokus pada tujuan kurikulum pembelajaran dan
menempatkan konten tertentu dalam konteks kegiatan otentik.
Penekanan desain semacam itu akan berkaitan dengan kegiatan
pembelajaran dan bagaimana mereka terkait dengan praktek
pembelajaran yang lebih luas (Mayes & de Freitas, 2004).
Mengambil perspektif 'antropologis', orang mungkin membuat
desain yang berfokus pada kemungkinan untuk membangun
komunitas dan pengalaman peserta didik sebagai anggota
komunitas. Penekanan utama pada hubungan antara individu dan
anggota kelompok kerja terkait peran mereka dalam masyarakat.
‘Bidang praktek’ adalah lingkungan yang dirancang dari perspektif
‘sekolah’. Mereka melibatkan peserta didik dalam tugas otentik
yang membutuhkan penggunaan konsep dan keterampilan khusus.
Praktek dimana peserta didik terlibat adalah sebuah tugas 'sekolah',
yang diterapkan pada dunia nyata, dan lingkungan belajar
dipisahkan dari praktek 'nyata' dalam pengelolaan waktu dan
aktivitas (Barab & Duffy, 2000). ‘Komunitas praktek’ disisi lain
adalah lingkungan yang dirancang dari perspektif ‘antropologis’.
Dalam suatu pemahaman, waktu dan tujuan yang sama dalam
suatu lingkungan(Wenger, 1998). Di sini, individu berkontribusi
pada pembangunan identitas mereka sendiri dalam kaitannya
dengan komunitas praktek dan, secara timbal balik, untuk
pembangunan dan pengembangan komunitas praktek di mana
mereka menjadi bagiannya (Brown & Duguid, 1991).
Studi ini mengeksplorasi model e-learning yang dirancang untuk
menjadi bidang praktek untuk penempatan kerja. Ini adalah konteks
yang dirancang, dimana siswa mendiskusikan dan menerapkan
konsep-konsep terapan dari ilmu-ilmu dasar, seperti fisiologi, kimia,
biologi, dalam menyelesaikan masalah yang mereka temui dalam
perjalanan pengalaman pribadi mereka dalam pembelajaran berbasis
kerja. Model e-learning tidak dimaksudkan sebagai komunitas
praktik dimana para peserta, sebagai anggota sah dari suatu
kelompok pekerjaan, berkontribusi pada pemeliharaan dan
perluasan basis pengetahuan kelompok. Meskipun jarak, tempat dan
waktu dapat dijembatani oleh teknologi disertai dengan umpan balik
tidak langsung tetapi secara dua arah, seperti komunikasi yang
dimediasi komputer asinkron, pendidikan jarak jauh dan
pembelajaran kolaboratif yang didukung komputer atau computer
supported collaborative learning (CSCL) memiliki masalah khusus.
- Dalam pendidikan jarak jauh, dimana peserta didik dan guru
dipisahkan secara geografis, harus ada ruang psikologis dan
komunikasi untuk menjembatani kesalahpahaman potensial yang
terjadi antara input dari instruktur dan peserta didik (Moore, 1993).
Kesenjangan dalam pemahaman dan komunikasi antara pelajar dan

HENA DIAN AYU 108


guru, yang disebut jarak transaksional ', Hal ini dapat dijembatani
ketika interaksi difasilitasi oleh desain instruksional yang dipikirkan
dengan matang (Moore & Kearsley, 2005). Ini membutuhkan jenis
interaksi yang bertujuan, konstruktif dan dihargai oleh semua pihak
terkait. Jenis interaksi ini disebut dialog dan dalam hubungan
pendidikan tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman
siswa.
- Dalam CSCL, wacana topik yang berkelanjutan dapat dihambat
oleh keengganan peserta untuk ikut serta dalam diskusi online serta
kesulitan merumuskan kontribusi yang bermakna (Luppicini, 2007).
Fasilitasi prosedural dapat digunakan untuk mengatasi faktor-faktor
penghambat ini ditemukan berguna dalam mendorong diskusi dan
dalam meningkatkan kualitas diskusi (Saab, van Joolingen, & van
Hout-Wolters, 2007; Scardamalia & Bereiter, 1991). Dalam
lingkungan CSCL, fasilitasi prosedural dapat berbentuk umpan
balik online yang diberikan oleh seorang guru
atau supervisor (interaksi) tetapi juga fitur yang tertanam dalam
program CSCL itu sendiri (struktur). Contoh fitur 'struktur' adalah:
jenis atau klasifikasi yang dapat digunakan siswa untuk
mengklasifikasikan kontribusi mereka, contoh sampel yang berguna
ketika menyusun catatan jenis tertentu, atau 'jangkar' yang
memfasilitasi keputusan untuk berpartisipasi dalam diskusi (Guzdial
& Turns, 2000). 'Jangkar' adalah teks, gambar, dll., yang menarik
perhatian peserta dalam forum diskusi karena mereka terpisah dari
diskusi dan menyajikan topik yang dianggap menarik bagi peserta
Metode Subyek penelitian adalah mahasiswa tahun ke 5 dan ke 6 pada
Maastricht Medical School, Belanda. siswa tersebar pada dua lokasi
yang berbeda. Untuk penelitian ini, peneliti membentuk dua
'kelompok virtual' yang dipilih secara acak dari sekelompok siswa
yang dijadwalkan di rumah sakit yang berbeda selama periode yang
sama. Kedua kelompok terdiri dari empat siswa, satu dari masing-
masing empat rumah sakit. Partisipasi bersifat sukarela dan semua
siswa setuju untuk mengambil bagian dalam percobaan peneliti.
Peneliti saling berhubungan dengan siswa melalui Internet dan
program CSCL. Dalam 'kelompok virtual' ini, siswa menggunakan
komunikasi yang dimediasi komputer asinkron untuk membahas
konsep patofisiologis dalam pengaturan tempat kerja anak. Desain
penelitian ini adalah desain kuasi-eksperimental di mana data
kuantitatif dan kualitatif dikumpulkan untuk mengeksplorasi efek
dari penerapan model e-learning pada konstruksi luas berikut:
interaksi (Wagner, 1994; Yacci, 2000), pemikiran kritis (Duffy ,
1998; Pithers & Soden, 2000), dan jarak transaksional (Moore,
1993) dalam kelompok kecil dari rekan-rekan yang didistribusikan.
Sebuah pre-test dengan California Critical Thinking Disposition
Inventory (Facione, Facione, & Sanchez, 1994) menunjukkan
bahwa kelompok-kelompok tersebut sebanding dalam hal sikap
terhadap pemikiran kritis
Peneliti menciptakan lingkungan CSCL menggunakan Future
Learning Environment (FLE3), 'open source' dan program
perangkat lunak gratis yang dirilis di bawah Lisensi Publik Umum

HENA DIAN AYU 109


GNU (Muukkonen, Hakkarainen, & Lakkala, 1999). Program ini
memiliki fitur manajemen diskusi canggih yang mendukung siswa
dan moderator dalam melacak diskusi. Selain itu, FLE3 memiliki
fitur fasilitasi yang dapat disesuaikan dan memungkinkan pengguna
untuk menyempurnakan 'fasilitasi prosedural'.
Langkah-langkah Data untuk penelitian ini diekstraksi dari dua sumber: posting yang
Pengumpulan Data dicatat di lingkungan CSCL dan mencatat wawancara individu
dengan semua siswa dan moderator.
Mencatata Postingan partisipan
Untuk mendapatkan kesan perilaku peserta di lingkungan CSCL
peneliti menganalisis posting yang dicatat secara kuantitatif dan
kualitatif pada tingkat utas dan pesan. Peneliti menilai jumlah
interaksi antara peserta (siswa dan moderator) dengan melihat
‘utas’, urutan respons terhadap kiriman awal. Peneliti
mengumpulkan beberapa jenis data kuantitatif: jumlah posting (atau
pesan) di utas diskusi, berapa kali siswa melihat pesan yang
diposting oleh siswa lain atau moderator dan jumlah siswa yang
memposting dua atau lebih pesan dalam utas yang sama. Utas
panjang (melebihi lima pesan), tampilan dan posting berulang oleh
siswa di utas yang sama menunjukkan bahwa siswa benar-benar
terlibat dalam kegiatan sosial (Kay, 2006). Peneliti menilai kualitas
diskusi dengan analisis konten interaksi verbal menggunakan skema
pengkodean yang dikembangkan oleh Garrison (Garrison et al.,
2001) berdasarkan model Praktis Penyelidikan Cognitive Presence.
Unit analisis adalah pesan lengkap suatu posting. Berdasarkan
‘deskriptor’ (sikap umum) dan ‘indikator’ (contoh) dari proses
sosio-kognitif, pesan ditugaskan ke salah satu dari empat kategori:
peristiwa pemicu, eksplorasi, integrasi dan resolusi (Garrison et al.,
2001). Ini berarti keduanya fasilitasi prosedural diskusi dan
instrumen untuk analisis konten teks online didasarkan pada model
Garrison. Peneliti menggunakan skema pengkodean Garrison
karena rincian kategorinya cocok untuk pendidik umum.
Merekan wawancara
Dalam minggu setelah periode tiga minggu diskusi online, peneliti
melakukan wawancara via telepon secara individu dengan semua
siswa untuk mengeksplorasi persepsi mereka tentang diskusi. Pada
minggu yang sama peneliti melakukan wawancara terstruktur secara
individu dengan dua moderator untuk mengeksplorasi persepsi
mereka. Semua wawancara direkam dan ditranskripsi. Wawancara
semi-terstruktur membahas berbagai aspek yang saling terkait dari
model e-learning dalam konteks pembelajaran di tempat kerja.
Karena peneliti ingin orang lain dapat memeriksa keterwakilan dan
validitas data sambil juga bertujuan untuk penyajian data yang
terstruktur, peneliti mengorganisasikan data sesuai dengan kerangka
kerja sistem kegiatan yang dikembangkan oleh Engeström (1987).
Kerangka kerja ini terbukti efektif dalam menggambarkan
pengalaman siswa dan guru yang menggunakan teknologi dalam
pendidikan tinggi (Issroff & Scanlon, 2002) dan kegiatan berbasis
kerja (Collis & Margaryan, 2004).

HENA DIAN AYU 110


Hasil dan Sistem aktivitas adalah kerangka kerja yang menempatkan tindakan
Pembahasan manusia dalam konteks yang bermakna. Tiga elemen utama dari
kerangka kerja adalah: subjek (aktor dalam aktivitas), objek (produk
ditindaklanjuti oleh subjek) dan komunitas (konteks sosial budaya
di mana aktivitas berlangsung) (Engeström, 1987). Dalam studi ini,
model e-learning dipandang sebagai sistem aktivitas di mana siswa
dan moderator adalah subjek, masalah patofisiologis yang mereka
temui objek dan kelompok virtual selama penempatan kerja
komunitas. Subjek, objek dan komunitas saling terkait oleh tiga
elemen lain: alat, aturan dan pembagian kerja (Engeström, 1987).
Alat-alatnya (dalam studi ini program CSCL) memediasi hubungan
antara subjek (siswa dan moderator) dan objek kegiatan (masalah
patofisiologis), aturan (dalam penelitian ini model Praktis
Penyelidikan dan pesan label) memediasi hubungan antara subyek
dan komunitas (grup virtual selama penempatan kerja) dan
pembagian kerja memediasi hubungan antara komunitas dan objek
(tidak secara eksplisit digunakan dalam penelitian ini). Akhirnya,
suatu kegiatan dimotivasi oleh kebutuhan untuk mengubah objek
menjadi hasil. Dalam penelitian ini, tujuan utama dari sistem
aktivitas adalah akuisisi dan penerapan pengetahuan sains dasar.
Terlepas dari kenyataan bahwa model e-learning ditambahkan ke
beban kerja siswa yang cukup besar dalam penempatan kerja yang
menuntut dan partisipasi bersifat sukarela - kondisi yang tampaknya
tidak mungkin mendukung keterlibatan yang kuat (Oliver & Shaw,
2003) - input siswa dalam diskusi online dalam kategori
memuaskan: delapan siswa memposting 159 pesan selama tiga
minggu. Ini adalah 6,6 pesan per peserta per minggu. Ketika peneliti
menghitung angka yang sama untuk studi yang dirujuk dalam bagian
metode yang melaporkan informasi yang cukup rinci (Garrison et
al., 2001; Kanuka et al., 2007; Schrire, 2006) peneliti menemukan
antara 0,6 dan 4,8 pesan per peserta per minggu. Lebih penting
daripada jumlah absolut dari kontribusi siswa adalah indikasi
kuantitatif untuk keterlibatan dalam kegiatan sosial: panjang, tingkat
tontonan tinggi dan posting berulang oleh siswa yang sama di utas
yang sama (Kay, 2006). Jumlah posting di sebagian besar melebihi
lima pesan; 98% dari postingan siswa dilihat oleh semua siswa lain
dalam grup dan siswa memposting dua atau lebih pesan di banyak
utas. Selain itu para siswa menghasilkan 80% dari semua posting
dan rekan membaca pesan ini sesering yang mereka lakukan posting
moderator. Secara keseluruhan, data kuantitatif menunjukkan
aktivitas sosial yang substansial di papan diskusi (Kay, 2006).
Data dari wawancara siswa mendukung kesan aktivitas sosial yang
substansial ini. Sebagian besar siswa sangat menghargai masukan
dari rekan-rekan mereka dan menganggap jumlah pesan yang cukup,
meskipun waktu posting sering bermasalah. Beberapa siswa merasa
jengkel ketika mereka sendiri mengecek pembaruan yang sia-sia
ketika waktu responsnya lama; yang lain merasa frustrasi karena
mereka melewatkan 'garis depan' diskusi. Dua efek ini menekankan
bahwa keterlambatan karakteristik komunikasi media asinkron
dapat menjadi kekuatan dan kelemahan (Hammond, 2000). Sebuah

HENA DIAN AYU 111


fitur dalam program CSCL, yang secara otomatis memperingatkan
poster pesan untuk tanggapan yang masuk mungkin dengan mudah
mengurangi beberapa kejengkelan yang disebabkan oleh penundaan
dalam respon
Kesimpulan Peneliti menyimpulkan bahwa model 'Pertanyaan Praktis' Garrison
nampaknya merupakan instrumen yang layak untuk fasilitasi
prosedural diskusi online tentang konsep-konsep sains dasar di
antara kelompok-kelompok kecil siswa yang terlibat dalam
penempatan kerja yang sibuk di berbagai lokasi pelatihan. Model e-
learning yang mengintegrasikan model 'Pertanyaan Praktis' ini
dalam fasilitasi bersama oleh moderator manusia dan program untuk
komunikasi asinkron tampaknya berhasil dalam membangun dialog
antara pakar dan sekelompok siswa. Struktur model e-learning
berguna dalam memfasilitasi diskursus on-topic yang berkelanjutan
yang melibatkan pemikiran kritis dalam kelompok teman sebaya.
Meski variabel moderat pemikiran kritis, hasilnya menyarankan
cara untuk meningkatkan integrasi dan kegiatan penyelesaian. Ini
dapat dicapai dengan mengubah jumlah waktu yang dialokasikan
untuk fase-fase berbeda dari Pertanyaan Praktis dalam program
CSCL. Penting menambahkan komponen sinkron ke model e-
learning dan memungkinkan modifikasi lain layak untuk
dipertimbangkan.

1. Identitas Jurnal
HENA DIAN AYU 112
Judul Teaching critical thinking skills through commonly used
resources in course-embedded online modules
Nama Jurnal College & Undergraduate Libraries
Halaman 295-314
Tahun 2016
Author Samantha McClellan
Ekstrom Library, University of Louisville, Louisville,
Kentucky, USA
Keyword Campuswide initiatives; course management systems; critical
thinking; embedded librarianship; information literacy; online
modules; Paul-Elder Critical Thinking Framework
DOI http://dx.doi.org/10.1080/10691316.2014.987416
Reviewer Hena Dian Ayu
2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Studi ini bertujuan untuk mengintegrasikan pemikiran kritis ke
dalam kurikulum perkuliahan dengan menggunakan kerangka
pemikiran kritis Paul-Elder. Elemen Pemikiran Paul-Elder
membentuk dasar dari modul; Oleh karena itu, artikel ini akan
menggali lebih jauh ke dalam elemen-elemen ini sambil membahas
pengembangan konten modul.Dalam studi ini juga dilakukan
evaluasi informasi dengan mengintegrasikan modul yang secara
eksplisit menjelaskan pemikiran kritis dan konsep literasi informasi
Latar Belakang Badan akreditasi regional membutuhkan dokumentasi sebagai
bukti yang menunjukkan bahwa siswa telah mencapai hasil
pembelajaran sesuai kurikulum. Perguruan tinggi dan universitas
diharapkan untuk menciptakan lingkungan dimana siswa akan
mencapai tujuan pembelajaran. Fakultas pendidikan juga perlu
memberikan dokumentasi pengajaran yang diperlukan untuk
menilai tujuan-tujuan pembelajaran (Knecht dan Reid 2009 ).
Terkait dengan upaya penilaian ini adalah melalui literasi informasi
dan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan seorang
mahasiswa untuk dapat berhasil dalam berbagai tugas, terutama
makalah penelitian. Pustakawan berada dalam posisi tunggal untuk
berkontribusi dalam proses ini dengan berkolaborasi dengan
fakultas untuk mengembangkan keterampilan tersebut. Namun,
seperti halnya dengan pengajaran literasi informasi tradisional,
pustakawan menghadapi hambatan yaitu hanya dapat menjangkau
sejumlah kecil siswa. Hal ini sebagian disebabkan oleh fakultas
yang tidak memiliki waktu atau dorongan untuk mengintegrasikan
pelajaran ke dalam silabus yang sudah dipenuhi konten, serta
dihadapkan permasalahan tidak memiliki cukup pustakawan untuk
mengajarkan keterampilan ini ke universitas dengan puluhan ribu
siswa , seperti halnya dengan University of Louisville (UofL).
Berpikir Kritis merupakan Konsep dan Perangkat yang disusun
berdasarkan tiga tema yaitu: Elemen Pikiran, Standar Intelektual

HENA DIAN AYU 113


Universal, dan Sifat-Sifat Intelektual Esensial. Fokus studi kasus
ini adalah pada Elemen Pikiran, yaitu: Tujuan, pertanyaan,
informasi, kesimpulan, konsep, asumsi, implikasi / konsekuensi,
dan sudut pandang (Foundation for Critical Thinking n.d.b).
Program Ideof to Action UofL mencakup rencana evaluasi yang
memandu Delphi Centre for Teaching & Learning (selanjutnya
disebut Delphi Center) dan fakultas pendidikan dalam penilaian
kemajuan mereka dalam mengintegrasikan pemikiran kritis ke
dalam kurikulum perkuliahan. Sebagian dari rencana evaluasi
termasuk menilai elemen-elemen pikiran dengan menerapkan
konsep-konsep tersebut dalam penugasan perkuliahan.
Isi seri modul evaluasi berpikir kritis & informasi bertujuan untuk
menyediakan kerangka kerja bagi siswa untuk mengevaluasi
informasi dengan menjelaskan tata letak dan proses artikel jurnal
Wikipedia, Google, dan ilmiah. Dengan membuat dan
mengintegrasikan modul berseri ini secara langsung ke dalam
cangkang perkuliahan sistem manajemen perkuliahan (CMS) dari
kelas psikologi, instruksi mengenai cara mengevaluasi informasi
dari berbagai sumber tersedia pada saat dibutuhkan, dan hambatan
dari instruksi langsung. dihilangkan (Maehre 2009).
Metode Studi ini menggunakan metode literature review untuk
mengembangkan instrumen Evaluasi Informasi & Modul Berpikir
Kritis didasarkan pada tiga konsep: (1) mengintegrasikan literasi
informasi ke dalam QEP; (2) menanamkan modul ke dalam
perkuliahan melalui CMS; dan (3) instruksi berpikir kritis eksplisit.
Literatur pada ketiga konsep ini sebagian besar saling penting. Oleh
karena itu, tinjauan literatur akan berkonsentrasi pada tiga bidang
ini.
Langkah-langkah Menyelaraskan tujuan: Keterlibatan perpustakaan dalam inisiatif
pemikiran kritis di seluruh kampus
Dokumen Foundation for Critical Thinking menggambarkan tujuh
lembaga yang memanfaatkan kerangka kerja, biasanya untuk QEP
atau inisiatif kampus lainnya yang didasarkan pada promosi dan
pengintegrasian keterampilan berpikir kritis ke dalam kurikulum
(Foundation for Critical Thinking n.d.a). Mengambil gagasan
Nosich (2009) tentang “konsep fundamental dan kuat” (konsep f &
p), Detmering dan Johnson (2011) dari Perpustakaan Universitas
UofL membahas modul literasi informasi yang direvisi untuk
perkuliahan bisnis pengantar sarjana. Konsep-konsep f & p yang
membentuk dasar modul membantu siswa berpikir melalui proses
penelitian, dengan fokus pada gagasan penelitian yang lebih besar
sebagai proses penyelidikan daripada keterampilan pencarian basis
data. Upaya lain untuk memasukkan pemikiran kritis ke dalam
komunitas kampus termasuk program pengalaman tahun pertama di
Washington State University (WSU). Perpustakaan WSU telah
memiliki komitmen lama untuk inisiatif pengajaran di kampus
mereka yang menggabungkan pemikiran kritis, yang mengarah pada
penciptaan proyek Pendidikan Informasi Literasi (ILE), di mana
pustakawan berkolaborasi dengan fakultas untuk mengajar siswa
literasi informasi melalui modul online (Johnson, Lindsay , dan

HENA DIAN AYU 114


Walter
2008).
Mengatasi hambatan tradisional: Memasukkan modul online ke
dalam perkuliahan melalui CMS Ada perbedaan yang mencolok
dalam literatur tentang modul online literasi informasi yang
diterapkan dalam perkuliahan.
Mayoritas literatur di bidang ini berfokus pada modul yang telah
diintegrasikan ke dalam kurikulum tetapi masih diakses melalui
halaman web yang terpisah dari materi perkuliahan lain (mis.,
Melalui situs web perpustakaan). Contohnya termasuk Tutorial
Literasi Informasi Harimau Universitas Auburn (TILT), Universitas
Texas di Tutorial Literasi Informasi Texas (TILT), dan Tutorial
Kekuatan Informasi (TIP) dari Universitas Wyoming (Noe dan
Bishop 2005; Fowler dan Dupuis 2000; Phillips) dan Kearley 2003).
Meskipun beberapa adalah modul yang berdiri sendiri, yang lain
dimasukkan ke dalam tugas perkuliahan, seperti halnya dengan
TILT Auburn (Noe dan Bishop 2005). Dengan kemajuan internet
dan kemampuan siswa untuk mendapatkan informasi dengan
mengklik tombol, siswa berharap untuk mendapatkan informasi
dengan cepat (Kyung-Sun dan Sin 2011). Menempatkan sumber
daya pendidikan di satu tempat tidak hanya bermanfaat bagi siswa
tetapi juga bagi pustakawan yang ingin menjangkau siswa.
Katakan apa yang Anda maksudkan: Menggunakan konsep
pemikiran kritis dalam instruksi literasi informasi.
Modul yang diterapkan dalam perkuliahan yang dibahas dalam
tinjauan literatur ini fokus pada topik yang biasa dibahas dalam sesi
instruksi perpustakaan: pertanyaan penelitian, bagaimana
menggunakan katalog, dan sebagainya. Mengingat sifat abstrak dari
pemikiran kritis, sering kali mengambil peran pesan yang
mendasarinya dalam banyak tutorial literasi informasi. Sementara
banyak sudut pandang tentang abstraksi pemikiran kritis dan
hubungannya dengan literasi informasi telah ditulis (untuk contoh
yang dicatat, lihat Bodi 1988; Engeldinger 1992; Gibson 1995;
Nowicki 1999), ada sedikit tentang instruksi eksplisit konsep
pemikiran kritis dalam instruksi literasi informasi.
Hasil dan Seri modul pemikiran kritis dan evaluasi informasi: Dari Pembuatan
Pembahasan SoftChalk untuk integrasi Blackboard
Fase I: Penjangkauan fakultas
Implementasi yang dihasilkan dan penggunaan Seri Modul Evaluasi
Berpikir Kritis & Informasi didasarkan pada pertemuan dengan dua
profesor Pengantar Psikologi (PSYC 201) yang memungkinkan
Pustakawan Ilmu Sosial yang baru untuk membuat modul online
yang berfokus pada evaluasi informasi dalam sumber daya yang
biasa digunakan oleh mahasiswa sarjana: Wikipedia, Google, dan
artikel jurnal ilmiah. Para profesor PSYC 201 meminta agar modul
ini menjahit bahasa Kerangka Pemikiran Kritis Paul Elder untuk
bertepatan dengan upaya QEP UofL. Ini sangat penting bagi salah
satu profesor psikologi, spesialis pemikiran kritis Delphi Center
yang tugasnya adalah mendorong dan menilai penggunaan kelas
Paul-Elder Framework di ruang kelas. Profesor ini menyampaikan

HENA DIAN AYU 115


maksud modul kepada rekan-rekannya, dan modul-modul tersebut
dengan cepat diadopsi oleh anggota fakultas lainnya yang
mengajarkan perkuliahan Pengantar Kesehatan Masyarakat (PHPH
101) serta dua perkuliahan Bahasa Inggris Komposisi (ENG 102)
selama fase pengembangan konten.
Fase II: Memilih platform
Perangkat lunak e-learning SoftChalk digunakan untuk membuat
tata letak modul karena didukung oleh UofL Delphi Center, dan
dapat disederhanakan dengan UofL CMS, Blackboard, di mana
modul dapat diunggah secara mulus ke bagian manapun dari
perkuliahan Blackboard kulit. Fitur unggahan SoftChalk
memungkinkan modul untuk dimasukkan ke Blackboard
sedemikian rupa sehingga setiap poin yang diperoleh dari aktivitas
modul bertingkat dapat langsung menuju ke Pusat Kelas UofL dan
muncul di bagian “Kelas” dari shell perkuliahan Blackboard. Kurva
belajar yang rendah dari SoftChalk juga penting, mengingat bahwa
modul harus dibuat dalam periode tiga bulan sebelum awal
semester. Melalui antarmuka WYSIWYG ("apa yang Anda lihat
adalah apa yang Anda dapatkan") dari SoftChalk, multimedia
mudah diintegrasikan, memungkinkan gambar, aktivitas, kuis, teks,
video, dan audio dijalin bersama untuk membuat modul yang
menarik dan interaktif, yang memungkinkan pustakawan untuk
lebih fokus pada pengembangan konten daripada pada perangkat
lunak itu sendiri (SoftChalk 2014).
Fase III: Pengembangan konten
Elemen Pemikiran Paul-Elder
Rencana Peningkatan Kualitas UofL The Miniatur PaulElder
Panduan untuk Berpikir Kritis: Konsep dan Alat. Panduan referensi
ini menguraikan Elemen Pikiran yang digunakan dalam modul
untuk menyampaikan pemikiran kritis dan konsep literasi informasi
dalam sumber daya populer. Elemen Pemikiran berfungsi sebagai
panduan untuk analisis kritis terhadap informasi dan adalah sebagai
berikut:
Tujuan: Apa poin utama saya dalam menyampaikan informasi ini?
Pertanyaan: Apa pertanyaan utama yang saya coba pikirkan?
Informasi: Apa fakta, data, atau bukti yang saya perlukan untuk
mencari tahu?
Kesimpulan / kesimpulan: Apa koneksi yang saya buat? Solusi apa
apakah saya akan datang?
Konsep: Apa konsep sentral yang ingin saya bahas?
Asumsi: Apa yang saya anggap remeh yang menjadi dasar
pemikiran saya?
Implikasi / konsekuensi: Apa konsekuensi yang mengikuti garis
saya berpikir?
Sudut Pandang: Apa perspektif relevan lainnya yang perlu saya
pertimbangkan? (Paul dan Penatua 2008).
Memetakan Elemen Pemikiran Paul-Elder ke konsep literasi
informasi melalui sumber daya populer
Wikipedia. Tidak mengherankan, siswa sudah tahu banyak tentang
bagaimana tidak menggunakan Wikipedia. Namun para responden

HENA DIAN AYU 116


yang mempelajari studi tentang penggunaan sumber perpustakaan
oleh mahasiswa versus Wikipedia menyebutkan persyaratan
instruktur sebagai alasan utama mereka untuk menghindari sumber
seperti Wikipedia (Clark 2011; Colón-Aguirre dan Fleming-Mei
2012). Ini menyiratkan bahwa siswa tidak dapat membuat keputusan
yang baik tentang pilihan informasi mereka untuk dimasukkan
dalam tugas (Jennings 2008). Namun, Wikipedia dapat menjadi
kesempatan belajar untuk membuat siswa berpikir kritis tentang
informasi yang dapat mereka gunakan. Modul Wikipedia berfokus
pada aspek-aspek tertentu dari sumber daya yang secara bersamaan
dipuji dan disensor, khususnya (1) informasinya, (2) di mana penulis
Wikipedia mendapatkan informasi mereka, dan (3) bagaimana
informasi disajikan dalam artikel Wikipedia.
Google. Seperti halnya Wikipedia, penggunaan siswa oleh Google
sangat produktif. Survei e-book Global Student Ebrary (2008)
melaporkan bahwa 81 persen siswa menggunakan Google untuk
penggunaan akademis. Sekali lagi, perhatian utama adalah
bagaimana siswa menggunakan informasi yang mereka temukan
dari sumber daya web gratis. Modul Google berfokus pada (1)
pengajaran Google sebagai basis data, (2) sifat dugaan Google
Penelusuran, dan (3) variasi jenis informasi yang ditemukan dalam
Google. Ini memberikan kerangka kerja konseptual untuk
mengevaluasi informasi web gratis melalui menjelaskan Elemen-
elemen Informasi, Asumsi, dan Sudut Pandang.
Artikel jurnal ilmiah. Meskipun bukan alat pencarian seperti yang
lain, membuat modul yang meneliti artikel jurnal ilmiah dipandang
sebagai cara untuk menghasilkan percakapan tentang sifat dari apa
yang terdiri dari artikel jurnal akademis. Sementara studi
menunjukkan bahwa siswa pertama kali mengakses mesin pencari
web gratis lebih sering daripada sumber daya lainnya, siswa sering
diminta oleh fakultas pengajar untuk membaca artikel jurnal ilmiah
untuk kelas mereka mengingat konteks akademik mereka (Griffiths
dan Brophy 2005). Modul artikel jurnal ilmiah berfungsi untuk
mendorong refleksi tentang mengapa artikel jurnal ilmiah
merupakan bagian integral dari penelitian dan komunikasi ilmiah
sambil belajar bagaimana mengevaluasi informasi yang terkandung
dalam menggunakan Elemen Informasi dan Asumsi dengan konsep
literasi informasi terkait kredibilitas, bias, jargon, dan audiens
(Fister 1993; Emmons dan Martin 2002).
Modul sebagai seri Modul Evaluasi Berpikir Kritis & Informasi
menyediakan kerangka kerja bagi siswa untuk mengevaluasi
informasi dengan menjelaskan tata letak dan proses artikel jurnal
Wikipedia, Google, dan ilmiah. Wikipedia memiliki kebijakan dan
proses panduannya yang telah menginformasikan pembuatan dan
konten artikelnya; belajar sedikit tentang hal itu dapat berdampak
pada bagaimana siswa berpikir tentang informasi dalam sumber
daya itu. Google adalah basis data, dan seperti yang lainnya, ia tidak
dapat netral; dengan mempelajari tentang Google sebagai sumber
daya yang menyediakan informasi sesuai dengan relevansi seperti
yang didefinisikan oleh algoritma PageRank, siswa diberikan tujuan

HENA DIAN AYU 117


untuk mempertanyakan informasi yang diberikan kepada mereka
dan dengan demikian kebutuhan untuk evaluasi. Artikel jurnal
ilmiah, meskipun sering diminta oleh profesor sebagai sumber yang
digunakan dalam makalah penelitian siswa, tidak bebas dari Asumsi
dan Sudut Pandang. Namun, mereka sering diminta dan
diprioritaskan karena kredibilitas Informasi mereka
Fase IV: Mengintegrasikan modul ke dalam cangkang
perkuliahan Blackboard
Setelah pengembangan konten, modul diunggah ke akun organisasi
di Blackboard sebelum awal PSYC 201, PHPH101, dan ENG 102.
Hal ini memungkinkan untuk pengujian di lingkungan Blackboard
untuk modul itu sendiri serta melihat interaksi browser. Dua
ketidaknyamanan segera terlihat: Lingkungan aman Blackboard dan
izin yang diperlukan untuk mengunggah materi ke shell perkuliahan.
Masalah-masalah ini tidak sepenuhnya tak terduga, seperti yang
telah dicatat oleh Mutula et al. (2006). Instruksi disertakan dalam
setiap modul untuk menunjukkan kepada siswa cara memuat modul
sepenuhnya di beberapa browser. Kedua masalah izin didekati
dengan bantuan dari Pusat Delphi UofL. Bermitra dengan UofL
Delphi Center sangat penting untuk keberhasilan integrasi modul,
karena mereka mengelola lingkungan Papan Tulis universitas dan
dengan demikian dapat mengubah izin yang diperlukan oleh mereka
yang terlibat dalam mengunggah konten perkuliahan.
Membuat modul untuk perkuliahan dan menanamkannya ke dalam
shell perkuliahan melalui CMS memiliki kekuatan dan keterbatasan.
Sementara lingkungan yang aman memaksa pencipta modul untuk
menulis instruksi terperinci untuk memungkinkan siswa memuat
modul-modul secara penuh, itu membuatnya memiliki manfaat
tambahan karena mudah diakses dan dinilai. Penelitian
menunjukkan bahwa siswa menginginkan hal-hal segera tersedia —
semakin sedikit klik mouse, semakin banyak siswa merasa
cenderung untuk menggunakan sumber daya (Kyung-Sun dan Sin
2011). Dengan hanya memiliki modul yang tertanam ke dalam shell
perkuliahan, modul diberikan kepentingan dan relevansi dalam
perkuliahan, yang terbukti bagi siswa (Shell, Crawford, dan Harris
2013; Getty et al. 2000). Dengan menilai kegiatan modul yang
diselesaikan siswa dalam lingkungan Papan Tulis memungkinkan
pustakawan dan profesor perkuliahan untuk dengan mudah menilai
ratusan prestasi siswa pada modul. Sementara manfaat dari penilaian
langsung ini digaungkan dalam banyak literatur tentang modul yang
tertanam dalam perkuliahan CMS (misalnya, Shell, Crawford, dan
Harris 2013; Bell dan Shank 2007; Gomes et al. 2013), kesegaran
umpan balik untuk siswa juga penting (Knecht dan Reid 2009).
Penilaian ini juga bermanfaat bagi rencana evaluasi Ide to Action
UofL, bagian penting dari proses reakreditasi SACS.
Umpan balik siswa disajikan berdasarkan pada asumsi bahwa,
mengingat bahwa mayoritas siswa dalam Pengantar Psikologi,
Pengantar Kesehatan Masyarakat, dan Komposisi Bahasa Inggris
adalah siswa tahun pertama, Pengantar Psikologi siswa akan
merespons dengan umpan balik kualitatif yang serupa dengan sifat

HENA DIAN AYU 118


mereka. Kesehatan Umum dan Komposisi Bahasa Inggris kolega
tahun pertama. Dengan mengatur umpan balik yang terkait dengan
konsep-konsep yang dibahas dalam modul serta yang berkaitan
dengan pendapat siswa tentang navigasi, tata letak, dan aspek-aspek
lain dari perkembangan masa depan, modul itu sendiri, sekarang ada
komentar solid dan kualitatif dari siswa yang menjadi sandaran
untuk pembaruan modul. Untungnya, sebagian besar siswa sejauh
ini menemukan konten modul sangat membantu, menurut umpan
balik Spring 2014. Upaya akan terus mengembangkan penilaian
online yang bermakna yang memungkinkan siswa untuk tidak hanya
merefleksikan apa yang mereka ambil dari modul tetapi juga untuk
memberikan informasi kepada Pustakawan Ilmu Sosial untuk
memastikan bahwa siswa memahami Elemen Pemikiran dan konsep
literasi informasi dalam cara yang relevan dan menarik
Kesimpulan Seri Modul Berpikir Kritis & Evaluasi Informasi telah mampu
menghasilkan keterlibatan siswa, peningkatan jangkauan melalui
kolaborasi fakultas-pustakawan, dan data penggunaan awal dan
refleksi siswa yang memberikan informasi untuk pengembangan
modul di masa depan. Seorang siswa bahkan mengatakan bahwa
“rasanya tidak seperti mengerjakan pekerjaan rumah.” Awalnya
dibuat untuk kelas Pengantar Psikologi, modul telah diadopsi oleh
perkuliahan Pengantar Kesehatan Masyarakat dan dua bagian
komposisi bahasa Inggris. Selama satu semester, hampir 600 siswa
dari tiga perkuliahan ini telah menggunakan semua modul, dan
Blackboard Statistics. Pelacakan menunjukkan bahwa ini telah
dilihat sebanyak 8.550 kali. Presentasi Musim Panas dan Musim
Gugur 2014 di Delphi Center dengan salah satu dari profesor PSYC
201 sedang mempromosikan penggunaan modul dalam perkuliahan
lain di seluruh Sekolah Tinggi Seni dan Ilmu Pengetahuan.

1. Identitas Jurnal

HENA DIAN AYU 119


Judul The Flipped Classroom: A review of its advantages and
challenges
Nama Jurnal Computers & Education
Halaman 1 - 35
Tahun 2018
Author Gökçe Akçayir
Murat Akçayir
Keyword Teaching/learning strategies; improving classroom teaching
DOI 10.1016/j.compedu.2018.07.021
Reviewer Hena Dian Ayu
2. Hasil Review
Review Uraian
Tujuan Menjelaskan keuntungan dan tantangan dari pembelajaran flipped
classroom.
Menjelaskan kegiatan apa (dalam kelas dan di luar kelas) yang
digunakan pada pembelajaran flipped classroom.
Latar Belakang Flipped or inverted classroom adalah model pembelajaran yang baru
dan populer, di mana kegiatan yang secara tradisional dilakukan di
kelas (mis., Presentasi konten) menjadi kegiatan rumah, dan
kegiatan yang biasanya merupakan pekerjaan rumah. menjadi
kegiatan kelas (Bergmann & Sams, 2012; Sohrabi & Iraj, 2016).
Di flipped classroom, guru membantu siswa dengan hanya
menyampaikan informasi, sementara siswa menjadi bertanggung
jawab atas proses belajar mereka sendiri dan harus mengatur
kecepatan belajar mereka sendiri (Lai & Hwang, 2016). Karena
waktu kelas tidak digunakan untuk mengirimkan pengetahuan
kepada siswa melalui kuliah, guru dapat terlibat dengan siswa
dengan sarana kegiatan belajar lainnya seperti diskusi, pemecahan
masalah yang diajukan oleh siswa, kegiatan langsung, dan
bimbingan. Saat ini, konsep kelas terbalik telah diterapkan di
berbagai disiplin ilmu (matematika, ilmu sosial, humaniora, dll.),
Dan di sekolah-sekolah dan universitas di seluruh dunia (Hao,
2016).
Sementara beberapa studi menunjukkan bahwa flipped classroom
menawarkan banyak hasil pendidikan positif, penelitian lain
menarik perhatian pada keterbatasan yang terkait dengan ruang
kelas terbalik. Misalnya, dalam model terbalik, prestasi dan
kepuasan belajar siswa dapat ditingkatkan (Missildine, Fountain,
Summers, & Gosselin, 2013); siswa mungkin lebih puas dengan
metode membalik; dan itu bisa lebih ekonomis daripada instruksi
tradisional (O'Flaherty & Phillips, 2015). Namun, tantangan dapat
mencakup lebih banyak waktu yang diperlukan untuk mendesain
ulang kuliah sebagai flipped classroom (Schlairet, Green, & Benton,
2014), perilaku yang diatur sendiri oleh beberapa siswa (Sun, Wu,
& Lee, 2017), dan kegagalan yang dihasilkan dari beberapa siswa
untuk menjadwalkan waktu mereka dengan benar dalam memahami
konten pembelajaran di luar kelas (Lai & Hwang, 2016). Literatur
HENA DIAN AYU 120
menunjukkan bahwa model pengajaran flipped classroom
memerlukan peluang dan tantangan. Namun, hingga saat ini hanya
beberapa penelitian yang meninjau hasil pendidikan dan tantangan
dari flipped classroom (mis., Betihavas, Bridgman, Kornhaber, &
Cross, 2016; Zainuddin & Halili, 2016).
Landasan teori Tidak seperti pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru, di
yang digunakan & mana siswa diperlakukan sebagai kapal kosong yang secara pasif
hasil penelitian menyerap informasi (Betihavas et al., 2016), flipped classroom
sebelumnya dipusatkan di sekitar siswa - bukan guru (Bergmann & Sams, 2012).
Oleh karena itu, banyak peneliti setuju bahwa teori pembelajaran
yang berpusat pada student (mis., Pembelajaran aktif, pembelajaran
kolaboratif) dapat lebih dimanfaatkan sepenuhnya di flipped
classroom (Betihavas et al., 2016; Lai & Hwang, 2016; Sohrabi &
Iraj, 2016).
Menurut Bishop dan Verleger (2013), pembelajaran yang berpusat
pada siswa mewujudkan serangkaian teori yang mencakup
pembelajaran aktif, pembelajaran dengan bantuan rekan, dan
pembelajaran kolaboratif.
Pembelajaran aktif dapat secara sederhana didefinisikan sebagai
"metode pengajaran apa pun yang melibatkan siswa dalam proses
pembelajaran" (Prince, 2004, p.223). Pembelajaran aktif
mengharuskan siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang
bermakna (Sohrabi & Iraj, 2016) dan bahwa mereka bertanggung
jawab atas pembelajaran mereka sendiri (Blaschke, 2012). Di
flipped classroom, siswa mengalami pembelajaran aktif (Lai &
Hwang, 2016) dan memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan
berpikir tingkat tinggi (Roehl, Reddy, & Shannon, 2013). Seperti
yang dikatakan Davies, Dean, dan Ball (2013), di flipped classroom
siswa diubah dari pendengar pasif menjadi pembelajar aktif.
Pembelajaran dengan bantuan rekan adalah “ perolehan
pengetahuan dan keterampilan melalui bantuan aktif dan dukungan
di antara status yang setara atau teman yang cocok” (Topping &
Ehly, 1998, hal.1). Menurut Nederveld dan Berge (2015), beberapa
peluang untuk pembelajaran dengan bantuan rekan ada di flipped
classroom, di kedua kegiatan kelas (misalnya, bekerja sama
memecahkan masalah, bekerja sama untuk menyelesaikan proyek)
dan kegiatan di luar kelas dengan menggunakan teknologi
(misalnya, , papan diskusi, situs jejaring sosial).
Pembelajaran kolaboratif secara luas "adalah situasi di mana peserta
didik berinteraksi secara kolaboratif" (Dillenbourg, 1999, p.8).
Pembelajaran kolaboratif mengarah pada pembelajaran yang lebih
dalam dan pemahaman bersama (Kreijns, Kirschner, & Jochems,
2003), dan ini memberikan peluang bagi siswa untuk
mengembangkan keterampilan sosial (Johnson & Johnson, 1999).
Ruang kelas terbalik menggabungkan pembelajaran kolaboratif.
Siswa bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri; mereka
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok kecil; mereka belajar dalam
mode aktif; dan guru mempertahankan peran fasilitator. Karena
waktu kelas tidak digunakan untuk menyampaikan pengetahuan
melalui ceramah di flipped classroom, guru dapat melakukan
HENA DIAN AYU 121
kegiatan kelompok kecil kolaboratif untuk berinteraksi dengan
siswa (Bergmann & Sams, 2012). Tucker (2012) juga mencatat
bahwa dalam flipped classroom siswa dapat menggunakan waktu
kelas mereka untuk bekerja bersama dan terlibat dalam
pembelajaran kolaboratif.
Metode Review artikel
Langkah-langkah/ Artikel ilmiah flipped classroom dicari dan dipilih dari artikel yang
Pengumpulan Data diterbitkan dalam jurnal yang diindeks dalam database SSCI. Basis
data SSCI dipilih sebagai alat untuk mengakses tag bidang dari
artikel yang diindeks SSCI, seperti berdasarkan topik dan area
penelitian.
Situs Web of Science (WOS) adalah titik akses karena menyediakan
mesin pencari untuk semua jurnal yang diindeks SSCI. Dalam
WOS, kami menggunakan fungsi pencarian lanjutan dan
memasukkan istilah pencarian "flip" dan "invert." Karena beberapa
penulis menggunakan istilah " flipped classroom " secara bergantian
dengan istilah " inverted classroom," pencarian dilakukan
menggunakan beberapa istilah dengan Operator Boolean "OR."
Untuk menemukan studi terkait pendidikan, kami memilih semua
kategori pendidikan ("pendidikan & penelitian pendidikan,"
"pendidikan khusus," "disiplin ilmu pendidikan," dan "pendidikan
psikologi").
Dalam pencarian pertama, 206 artikel ditemukan. Artikel-artikel ini
diunduh sebagai teks lengkap ke komputer. Setiap artikel kemudian
diperiksa oleh dua peneliti untuk memeriksa apakah itu cocok untuk
keperluan penelitian. Selama pemeriksaan ini, kriteria inklusi dan
eksklusi diadopsi.
Artikel dimasukkan ketika mereka membahas flipped classroom
sebagai komponen utama. Lebih khusus lagi, para peneliti berusaha
untuk memilih artikel di mana flipped classroom adalah fokus
penelitian, dan tidak hanya disebutkan. Editorial dan ulasan artikel
dikeluarkan. Mengikuti penerapan kriteria kami, 71 artikel
ditemukan sesuai dengan tujuan penelitian.
Analisis Data Data dari semua 71 artikel dianalisis oleh dua peneliti. Untuk
membantu para peneliti dalam analisis ini, kami menggunakan
program perangkat lunak ATLAS.ti 7, yang membuatnya lebih
mudah untuk mengatur data dan menangani kumpulan data besar
(Paulus, Woods, Atkins, & Macklin, 2017). Pertama, untuk
menghitung keandalan pengkodean, 18 (25,35%) artikel dipilih
secara acak dan dikodekan oleh kedua peneliti. Kemudian hasil
pengkodean dibandingkan untuk menentukan reliabilitas antar
penilai, yang diukur dengan kappa Cohen. Ini dilakukan dengan
Coding Analysis Toolkit (CAT) dari University of Pittsburgh,
sebuah program perangkat lunak berbasis web yang mengukur
reliabilitas antar penilai dari set data berkode ATLAS.ti (Lu &
Shulman, 2008). Kappa Cohen ditemukan menjadi 0,75 untuk
keuntungan (RQ1), 0,78 untuk tantangan (RQ2), 0,92 untuk di
dalam kelas, dan 0,83 untuk kegiatan di luar kelas (RQ3). Menurut
Landis dan Koch (1977), setiap nilai antara 0,61 dan 0,80 dianggap

HENA DIAN AYU 122


substansial, dan antara 0,81 dan 1,00 dianggap sebagai hal
sempurna. Seperti Heitink et al. (2016) menyarankan, perbedaan
awal dibahas oleh dua peneliti untuk lebih menyelaraskan metode
mereka. Setelah memastikan keandalan pengkodean, kedua peneliti
secara independen mengkodekan sisa artikel.
Data yang dikumpulkan dari artikel dianalisis menggunakan metode
analisis isi kualitatif, yang memungkinkan kategorisasi sistematis
dan obyektif dari data kualitatif (Berelson, 1952). Tidak ada skema
pengkodean (formulir atau templat pra-dikembangkan) yang
digunakan karena formulir pra-dikembangkan dapat terlalu
mengarahkan peneliti saat pengkodean, yang mungkin mengalihkan
perhatian dari tujuan yang dimaksudkan (Şimşek & Yıldırım, 2011).
Oleh karena itu, proses pengkodean terbuka tiga tahap analitis
(didirikan oleh Emerson, Fretz, & Shaw, 2011) digunakan untuk
menganalisis data. Untuk mengkode keuntungan dan tantangan dari
kelas terbalik (membahas RQ1 dan RQ2), semua temuan / hasil,
diskusi, dan bagian kesimpulan dari 71 artikel dibaca, seperti yang
dilakukan oleh Penulis (2017). Saat membaca bagian ini, kami
memperhatikan kata-kata penentu untuk mengidentifikasi
keuntungan dan tantangan yang dilaporkan dalam penelitian.
Dengan kata lain, pemilihan keunggulan dan tantangan kami
didasarkan pada hasil empiris aktual yang dilaporkan dalam setiap
studi. Demikian juga, untuk mengkode aktivitas dalam dan luar
kelas (menangani RQ3), bagian metode dari artikel dibaca. Pada
akhir tahap ini, semua data diberi kode dan dikumpulkan
menggunakan perangkat lunak ATLAS.ti 7. Kode-kode tersebut
kemudian dikelompokkan ke dalam kategori yang lebih
komprehensif berdasarkan kesamaannya. Untuk menyebutkan
kategori, kata-kata yang paling deskriptif ditentukan. Pada tahap
akhir, kode disusun ulang sesuai dengan kategori yang muncul.
Hasil Keuntungan dalam hal hasil belajar siswa (seperti kepuasan,
keterlibatan, dan motivasi) dikumpulkan di bawah kategori ini.
Lebih dari setengah penelitian (52%) melaporkan bahwa
menggunakan model terbalik meningkatkan kinerja belajar siswa,
ketika diukur dengan IPK, skor tes standar, dan nilai kursus.
Menurut hasil ini, salah satu keunggulan paling signifikan dari
model ini adalah membantu meningkatkan kinerja pembelajaran,
yang merupakan salah satu elemen kunci dari pendidikan
berkualitas. Menurut Leo dan Puzio (2016), strategi pembelajaran
aktif memberikan penjelasan potensial tentang bagaimana
pembelajaran membalik dapat meningkatkan kinerja belajar di
kalangan siswa. Namun, Jensen, Kummer, dan Godoy (2015)
melakukan penelitian desain kuasi-eksperimental untuk
membandingkan dua kelompok (terdiri dari siswa kelas terbalik dan
siswa kelas non-membalik aktif) untuk menguji efek dari model ini
terhadap kinerja belajar siswa. Mereka menyimpulkan bahwa
kinerja pembelajaran sama antara kedua kelompok, tetapi membalik
kelas memang menggabungkan strategi pembelajaran aktif. Oleh
karena itu, beberapa peneliti (misalnya, Kay & MacDonald, 2016)
berpendapat bahwa daripada mencurahkan banyak waktu dan

HENA DIAN AYU 123


sumber daya untuk mengembangkan video online dan materi luar
kelas lainnya untuk model terbalik, mungkin lebih baik untuk fokus
pada pemilihan cermat di kelas. metode pengajaran dan merancang
strategi pembelajaran aktif yang lebih baik untuk digunakan dalam
pengajaran tradisional.
Kontribusi pedagogis paling menonjol dari flipped classroom adalah
fleksibilitasnya (23%). Karena banyak flipped classroom
menggunakan materi online untuk menyampaikan instruksi sebelum
kelas (He, Holton, Farkas, & Warschauer, 2016), siswa secara
teoritis dapat belajar kapan saja dan di mana saja (McDonald &
Smith, 2013). Fleksibilitas model ini memungkinkan siswa untuk
belajar dengan kecepatan mereka sendiri, yang menarik terutama
bagi siswa sibuk yang kelebihan jadwal dan mungkin kehilangan
kuliah (Bergmann & Sams, 2012).
Meskipun flipped classroom memberikan banyak keuntungan dalam
lingkungan pendidikan, model ini juga memberikan beberapa
tantangan. Kami menemukan sejumlah tantangan yang dilaporkan
dan membaginya menjadi lima kategori induktif (pedagogis,
perspektif siswa dan guru, teknis & teknologi, dan lainnya).
Mayoritas tantangan flipped classroom terkait dengan kegiatan di
luar kelas, seperti persiapan siswa yang tidak memadai sebelum
kelas dan kebutuhan siswa untuk bimbingan di rumah. Masalah
yang paling sering dilaporkan adalah persiapan terbatas siswa
sebelum waktu kelas (13%).
Karena flipped classroom dapat mewujudkan banyak bentuk, ada
banyak kegiatan untuk digunakan baik di dalam kelas maupun di
luar kelas. Penting untuk menggunakan kegiatan pembelajaran yang
sesuai agar flipped classroom menjadi benar-benar efektif (Leo &
Puzio, 2016; Porcaro, Jackson, McLaughlin, & O'Malley, 2016).
Oleh karena itu, untuk memberikan wawasan bagi para guru yang
waspada terhadap penggunaan model flipped classroom di ruang
kelas mereka dan untuk menawarkan panduan bagi para peneliti di
masa depan, kami telah berusaha untuk memberikan analisis tentang
kegiatan flipped classroom yang ditampilkan dalam studi yang
ditinjau.
Mengenai kegiatan di dalam kelas, para peneliti lebih memilih
kegiatan belajar aktif, seperti diskusi (38%), kegiatan kelompok
kecil (31%), umpan balik (28%), pemecahan masalah (28%), dan
kerja kelompok kolaboratif (11%) ). Pembelajaran aktif telah lama
dianggap sebagai strategi pengajaran yang lebih efektif daripada
pendekatan ceramah tradisional (Jonassen, 1995). Menurut Jensen
et al. (2015), kegiatan pembelajaran aktif di kelas adalah kontribusi
utama dari model terbalik dan mungkin menjadi elemen yang paling
berpengaruh untuk hasil pembelajaran positif.
Kesimpulan Secara umum, model flipped classroom dalam pendidikan
menghasilkan hasil akademik yang positif. Mayoritas studi yang
ditinjau melaporkan bahwa model flipped classroom menghasilkan
peningkatan kinerja belajar siswa. Selain itu, para peneliti telah
melaporkan banyak keuntungan dari model ini (mis., Peningkatan
motivasi belajar, sikap positif siswa), yang menggembirakan. Tetapi

HENA DIAN AYU 124


sampai saat ini, tidak ada bukti yang cukup untuk menjamin
generalisasi. Diperlukan penelitian tambahan untuk menguji
keunggulan model ini, dan apakah penggunaannya yang lebih luas
dapat mengarah pada kepercayaan diri siswa yang lebih besar,
keterlibatan, dan sikap yang lebih positif. Meskipun diklaim oleh
beberapa peneliti (mis., Jensen et al., 2015), tidak jelas apakah
manfaat dari model flipped classroom adalah karena pembelajaran
aktif. Pertanyaan lain adalah, "Jika seorang peneliti menggunakan
strategi pembelajaran aktif dalam kursus tradisional tanpa membalik
kelas, apakah ia akan mendapatkan hasil akademik positif yang
sama?" Jika jawabannya adalah "ya," maka
mungkin tidak perlu mencurahkan banyak waktu untuk merancang
dan mengimplementasikan flipped classroom (mengembangkan
ceramah video, kuis, dll.) atau untuk membuat siswa mengalami
perubahan besar dalam format pengajaran mereka. Namun, itu
adalah fakta bahwa membalik belajar tidak hanya dilakukan untuk
hasil akademik yang positif tetapi juga untuk membantu siswa
secara individu dan untuk menciptakan lebih banyak kesempatan
untuk berlatih selama waktu kelas, dan sebagainya. Oleh karena itu,
para peneliti di masa depan harus mencari bukti untuk menentukan
perbedaan antara model flipped classroom dan model pembelajaran
aktif un-flipped dalam hal keuntungan, tantangan, dan efektivitas
waktu (yang merupakan salah satu tantangan yang paling banyak
dilaporkan dari model terbalik).

HENA DIAN AYU 125

Anda mungkin juga menyukai