Anda di halaman 1dari 6

PERAWATAN JENAZAH SETELAH AUTOPSI 1

Setelah autopsi, kembalikan semua organ ke dalam rongga tubuh dengan lidah kembali
ke rongga mulut dan jaringan otak kembali ke rongga tengkorak. Kemudian jahit kembali tulang
dada dan iga yang dilepaskan, dilanjutkan penjahitan kulit dengan rapi menggunakan benang
yang kuat mulai dari bawah dagu hingga daerah simfisis. Letakkan atap tengkorak pada
tempatnya semula dan fiksasi dengan menjahit otot temporalis, dilanjutkan penjahitan kulit
kepala dengan rapi. Terakhir, bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum diserahkan kembali ke
pihak keluarga.

PEMERIKSAAN KHUSUS 2,3


Tes Emboli Udara
1. buat sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai ke symphisis
pubis,
2. potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga dan tulang
dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,
3. potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,
4. setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung jantung
dengan insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung sayatan tersebut
dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air yang keluar),
5. masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat tadi,
sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka hal ini
merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,
6. tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan, yang
berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar

pisau itu 90 derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes


emboli hasilnya positif,
7. bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis, ke arah bilik
jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,
8. bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan dengan prinsip
yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada jantung,
9. semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli pulmoner, untuk tes
emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak perbedaannya adalah : pada tes emboli
sistemik tidak dilakukan penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang pada a.
Coronaria sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan diadakan
pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang keluar,
10. dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk emboli
sistemik hanya beberapa ml.

Tes Apung Paru


1. Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan,
pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
2. Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.
3. Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.
4. Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan
masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua lobus.
5. Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan mana yang
terapung.
6. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran
5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.

7. Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan potongan


tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan menggunakan berat badan,
kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.
8. Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung udara, bayi
tersebut pernah dilahirkan hidup.
9. Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi
tetap pernah dilahirkan hidup.
Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengetahui apakah bayi yang diperiksa itu
pernah hidup. Untuk melaksanakan tes ini, persyaratannya sama dengan tes emboli
udara, yakni mayatnya harus segar.

Tes Pada Pneumothorax


Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek, sedemikian
rupa sehingga terjadi mekanisme ”ventil” di mana udara yang masuk ke paru-paru
akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar kembali, sehingga
terjadi kumulasi udara, dengan akibat paru-paru akan kolaps dan korban akan mati.
Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar tes ini, bila tes ini tidak
dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan tes ini adalah sebagai
berikut:
1. buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu sekitar iga ke 4
dan 5 (udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),
2. buat ”kantung” dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari daerah iga 4
dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )
3. pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan pisau,
adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax; dan bila diperiksa
paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,
4. cara lain; setelah dibuat kantung, kantung ditusuk dengan spuit besar dengan jarum
besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila ada pneumothorax, tampak
gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.

Tes Alphanaphthylamine
Tes ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu khususnya pada
pakaian korban penembakan.
1. Kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha- naphthylamine, dan
keringkan dalam oven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,
2. pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir- butir mesiu,
dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi
alphanaphthylamine,
3. di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh lagi kertas
saring yang dibasahi oleh aquadest,
4. keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan
diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring yang
basah,
5. tes yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada kertas saring
yang mengandung alphanaphthylamine; bintik- bintik merah jambu tadi sesuai
dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian.
Setelah autopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga
tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak
dikembalikan ke dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang
dilepaskan pada saat membuka rongga dada.
Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu
sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan
difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan
rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada
pihak keluarga.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 3
Pemeriksaan penunjang diperlukan jika dari pemeriksaan yang telah disebutkan di atas
belum dapat menjawab seluruh persoalan yang muncul dalam proses peradilan pidana.
Pemeriksaan penunjang tersebut misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana, toksikologik,
mikroskopik, serologik, DNA, dan sebagainya.
Untuk pemeriksaan toksikologik diperlukan bahan untuk mengawetkan sampel, yaitu etil
alkohol. Jika tidak ada dapat digunakan wiski atau es kering (dry ice). Sedangkan untuk
pemeriksaan lengkap diperlukan minimal 4 buah botol dari gelas berwarna gelap dengan mulut
lebar. Botol pertama diisi contoh bahan pengawet sebagai pembanding, botol kedua diisi jaringan
traktus digestivus, botol ketiga traktus urinarius, dan botol ke empat diisi jaringan lain. Adapun
sampel yang dapat digunakan, yaitu:
- Lambung dan isinya.

- Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan- ikatan pada pada usus setiap
jarak sekitar 60 cm.
- Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer (v. jugularis;
a.femoralis, dan sebagainya), masing- masing 50 ml dan dibagi dua, yang satu diberi bahan
pengawet dan yang lain tidak diberi bahan pengawet.
- Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
- Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila urine
tidak tersedia.
- Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida, dimungkinkan
karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi racun
walaupun telah mengalami pembusukan.
- Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui urine,
khususnya pada tes penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
- Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
- Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di bawah
kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik. Pada
pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel padat atau
organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel cair. Sedangkan
natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.
Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan bahan pengawet berupa cairan formalin 10%
dan sampel jaringan yang dicurigai ada kelainan dipotong-potong dalam ukuran yang tidak
terlalu besar (1cm x 1 cm x 2,5 cm) karena daya tembus formalin terbatas. Organ yang diambil
adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal,
prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain yang menunjukkan adanya
kelainan.
Prosedur laboratorium lainnya, yaitu :

- Pemeriksaan bakteriologi.

Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa untuk pembiakan
kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah,
kemudian darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung
reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan pinset dan
gunting yang steril diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan
kedua tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi.
- Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati.
Mungkin perlu dilakukan untuk melihat parasit malaria. Sediaan hapus lainnya adalah dari
tukak sifilis atau cairan mukosa.

- Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa biokimia.


- Pemeriksaan urine dan feses.

- Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual.

- Cairan uretra.

Dalam hal pemeriksaan penunjang tersebut tidak dapat dilakukan di tempat dilakukannya
autopsi, maka dokter wajib memberitahukan serta menyerahkan sampel dengan berita acara
kepada penyidik. Selanjutnya penyidiklah yang harus mengajukan permohonan pemeriksaan
penunjang kepada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan.

Sources
1. Liwang, Ferry, dkk. 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi ke-5 (Edisi ke
5). Depok: Media Aesculapius Fak. Kedokteran UI.
2. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik FKUI; 2010.
3. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. 4th ed. Badan Penerbit Universitas Diponogoro;
2008.

Anda mungkin juga menyukai