Setelah autopsi, kembalikan semua organ ke dalam rongga tubuh dengan lidah kembali
ke rongga mulut dan jaringan otak kembali ke rongga tengkorak. Kemudian jahit kembali tulang
dada dan iga yang dilepaskan, dilanjutkan penjahitan kulit dengan rapi menggunakan benang
yang kuat mulai dari bawah dagu hingga daerah simfisis. Letakkan atap tengkorak pada
tempatnya semula dan fiksasi dengan menjahit otot temporalis, dilanjutkan penjahitan kulit
kepala dengan rapi. Terakhir, bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum diserahkan kembali ke
pihak keluarga.
Tes Alphanaphthylamine
Tes ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu khususnya pada
pakaian korban penembakan.
1. Kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha- naphthylamine, dan
keringkan dalam oven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,
2. pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir- butir mesiu,
dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi
alphanaphthylamine,
3. di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh lagi kertas
saring yang dibasahi oleh aquadest,
4. keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang akan
diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas saring yang
basah,
5. tes yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada kertas saring
yang mengandung alphanaphthylamine; bintik- bintik merah jambu tadi sesuai
dengan penyebaran butir-butir mesiu pada pakaian.
Setelah autopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam rongga
tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan otak
dikembalikan ke dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan iga yang
dilepaskan pada saat membuka rongga dada.
Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu
sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan
difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan
rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada
pihak keluarga.
PEMERIKSAAN PENUNJANG 3
Pemeriksaan penunjang diperlukan jika dari pemeriksaan yang telah disebutkan di atas
belum dapat menjawab seluruh persoalan yang muncul dalam proses peradilan pidana.
Pemeriksaan penunjang tersebut misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana, toksikologik,
mikroskopik, serologik, DNA, dan sebagainya.
Untuk pemeriksaan toksikologik diperlukan bahan untuk mengawetkan sampel, yaitu etil
alkohol. Jika tidak ada dapat digunakan wiski atau es kering (dry ice). Sedangkan untuk
pemeriksaan lengkap diperlukan minimal 4 buah botol dari gelas berwarna gelap dengan mulut
lebar. Botol pertama diisi contoh bahan pengawet sebagai pembanding, botol kedua diisi jaringan
traktus digestivus, botol ketiga traktus urinarius, dan botol ke empat diisi jaringan lain. Adapun
sampel yang dapat digunakan, yaitu:
- Lambung dan isinya.
- Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan- ikatan pada pada usus setiap
jarak sekitar 60 cm.
- Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer (v. jugularis;
a.femoralis, dan sebagainya), masing- masing 50 ml dan dibagi dua, yang satu diberi bahan
pengawet dan yang lain tidak diberi bahan pengawet.
- Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
- Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila urine
tidak tersedia.
- Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida, dimungkinkan
karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi racun
walaupun telah mengalami pembusukan.
- Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui urine,
khususnya pada tes penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
- Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
- Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di bawah
kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik. Pada
pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel padat atau
organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel cair. Sedangkan
natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.
Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan bahan pengawet berupa cairan formalin 10%
dan sampel jaringan yang dicurigai ada kelainan dipotong-potong dalam ukuran yang tidak
terlalu besar (1cm x 1 cm x 2,5 cm) karena daya tembus formalin terbatas. Organ yang diambil
adalah: paru-paru, hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal,
prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain yang menunjukkan adanya
kelainan.
Prosedur laboratorium lainnya, yaitu :
- Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan limpa untuk pembiakan
kuman. Permukaan jantung dibakar dengan menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah,
kemudian darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung
reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan pinset dan
gunting yang steril diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan
kedua tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi.
- Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati.
Mungkin perlu dilakukan untuk melihat parasit malaria. Sediaan hapus lainnya adalah dari
tukak sifilis atau cairan mukosa.
- Cairan uretra.
Dalam hal pemeriksaan penunjang tersebut tidak dapat dilakukan di tempat dilakukannya
autopsi, maka dokter wajib memberitahukan serta menyerahkan sampel dengan berita acara
kepada penyidik. Selanjutnya penyidiklah yang harus mengajukan permohonan pemeriksaan
penunjang kepada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan.
Sources
1. Liwang, Ferry, dkk. 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi ke-5 (Edisi ke
5). Depok: Media Aesculapius Fak. Kedokteran UI.
2. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik FKUI; 2010.
3. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. 4th ed. Badan Penerbit Universitas Diponogoro;
2008.