Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Profit Sharing
Sebagai Karakteristik Dasar Bank Syariah

Makalah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Pemenuhan Tugas Terstruktur Pada Mata

Kuliah Hukum Perbankan Syari’ah

Dosen Pengampu: Bung Hijaj Sulthonuddin, M.H

Tim Penyusun:

Ecep Imam Maulid 21110018

Fathi Abdul Bari 21110026

M. Almi Fadhilah 21110023

Siti Nuraeni Salisah 21110028

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

STAI AL-MUSADDADIYAH GARUT

1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah maha pengatur sekalian alam, Ialah sang maha kuasa yang
menciptakan segalanya, dan Ialah tuhan yang maha pemurah yang senantiasa memberikan
nikmat kepada hambanya secara melimpah.. Atas berkat dan rahmatnya alhamdulillah kita
semua bisa menikmati kenikmatan yang tak terhingga berupa iman dan islam. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni nabiyyuna
Muhammad SAW.
Alhamdulillahirabbil’alamin, penyusunan makalah berjudul “Profit Sharing Sebagai
Karakteristik Dasar Bank Syariah” ini telah selesai di susun. Kami berharap penyusunan
makalah ini bisa menjadi jembatan pemahaman dan menjadi rujukan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Kami selaku tim penyaji menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat banyak kecacatan, baik dari segi tekstual maupun kontekstual. Oleh karena itu, kami
selaku tim penyaji mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekeliruan kami tersebut, kiranya
para pembaca sekalian sudi untuk memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
bahan intropeksi kami kedepannya.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca atas perhatiannya.

Garut, 5 Desember 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................................3
A. Kontrak Mudharabah.................................................................................................................3
B. Jenis-jenis Mudharabah.............................................................................................................5
C. Perhitungan Bagi Hasil..............................................................................................................7
D. Perbedaan Profit Sharing dan Bunga.........................................................................................9
BAB III........................................................................................................................................10
PENUTUP...................................................................................................................................10
A. Kesimpulan..............................................................................................................................10
B. Saran........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbankan syariah di Indonesia telah mengalami perkembangan dengan sangat pesat,
masyarakat mulai mengenal dengan apa yang disebut Bank Syariah. Hal ini diawali
dengan berdirinya pada tahun 1992 oleh bank yang diberi nama dengan Bank Mu’amalat
Indonesia (BMI), sebagai pelopor berdirinya perbankan yang berlandaskan sistem
syariah, kini bank syariah yang sebelumnya masih diragukan akan sistem operasionalnya,
telah menunjukkan angka kemajuan yang sangat mempesonakan. Bank syariah mulai
digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, diawali dengan pengujian pada skala
bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung. Dan di
Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Berangkat dari sini,
Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank
syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di
Cisarua, dan dibahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal
22-25 Agustus 1990.
Awal berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan
eksistensi bank Islam nantinya. Di tengah-tengah bank konvensional, yang berbasis
dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi Indonesia, bank
Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak timbul. Jawaban itu
mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana Indonesia mengalami krisis
ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai dengan krisis moneter yang
berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 7% per tahun itu tiba-tiba anjlok secara
spektakuler menjadi minus 15% di tahun 1998, atau terjun sebesar 22%. Inflasi yang
terjadi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan
sebagian besar konglomerat dan dunia usaha telah mewarnai krisis tersebut.
Pada saat itu Indonesia telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua
sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Di mana sector konstruksi yang
merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu minus 40%
karena diakibatkan tingkat bunga yang sangat tinggi, penurunan daya beli, dan beban

1
hutang yang sangat besar. Sektor perdagangan dan jasa mengalami kontraksi minus 21%,
sektor industri manufaktur menurun sebesar 19%. Semua berakibat dari implikasi krisis
moneter yang mengguncang Indonesia. Kondisi terparah ditunjukkan oleh sektor
perbankan, yang merupakan penyumbang dari krisis moneter di Indonesia. Banyak bank-
bank konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal ini berakibat
atas terjadinya kredit macet. Dan non-performing loan perbankan Indonesia telah
mencapai 70%.
Akibat dari hal tersebut, dari bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999,
pemerintah telah menutup sebanyak 55 bank, di samping mengambil alih 11 bank (BTO)
dan 9 bank lainnya dibantu untuk melakukan rekapitalisasi. Sedangkan bank BUMN dan
BPD harus ikut direkapitalisasi. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, hanya
tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah dan dinyatakan
sehat, sisanya pemerintah dengan terpaksa harus melikuidasinya. Salah satu dari 73 bank
tersebut, terdapat Bank Mu’amalat Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis
ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank lain, yaitu dengan
memberlakukan system operasional bank dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang
diterapkan dalam perbankan syari’ah sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana
dengan sistem bunga dapat ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung
jumlah beban bunga dari dana yang disimpan atau dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi
hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari
hasil usaha, atas modal yang telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank
syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Kontrak Mudharabah
2. Jenis-jenis Mudharabah
3. Perhitungan Bagi Hasil
4. Perbedaan Bagi Hasil dan Bunga

C. Tujuan
1. Mengerti bagaimana Kontrak Mudharabah
2. Mengerti apa saja Jenis-jenis Mudharabah
3. Mengerti bagaimana Perhitungan Bagi Hasil
4. Dapat membedakan Bagi Hasil dan Bunga

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kontrak Mudharabah
Sebelum lebih jauh membahas prinsip bagi hasil(profit and loss sharing) sebagai
karakteristik bank syariah, perlu kiranya kita mengetahui terlebih dahulu konsep akad
mudharabah yang menjadi landasannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Afandi; pada
dasarnya, transaksi bisnis yang menjadi inti dalam fiqh muamalah adalah transaksi bagi
hasil. Akad mudharabah adalah salah satu akad dengan sistem bagi hasil. Akad tersebut
diperbolehkan dalam Islam, karena saling membantu antara orang yang memiliki modal
dan orang yang ahli mengelola uang.1 Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu
bentuk akad syirkah (perkongsian). Adapun secara istilah mudharabah adalah penamaan
yang digunakan oleh orang Iraq, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah
qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradhsesungguhnya adalah dua istilah untuk
maksud yang sama.2 Lebih spesifiknya, mengenai pengertian mudharabah secara istilah,
di antara Ulama’ fiqh terjadi perbedaan pendapat, salah satunya adalah:
‫ان يدفع المالك الى العامل ماال ليتجر فيه ويكون الريح مشتركا بينهما بحسب ما شرطا‬
Artinya: “Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk
berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi di antara keduanya berdasarkan
persyaratan yang disepakati”.3
Jika mudharabah dilihat dari landasan hukumnya, maka menurut Rahmat Syafei, para
Ulama’ fiqh sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Begitupun dengan rukun mudharabah sendiri. Ulama’
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul. Sedangkan
jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang
melakukan akad (al-aqidaini), modal (ma’qud alaih), dan sighat (ijab dan qabul), bahkan
ulama’ syafi’iyah memerinci menjadi lima rukun, yakni; modal, pekerjaan, laba, sighat,

1
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009), hlm. 101.
2
Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 223.
3
Muhammad Asy-Syarbini dalam Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, hlm. 224.

3
dan dua orang yang berakad.4 Sedangkan syarat yang harus ddipenuhi dalam mudharabah
adalah sebagai berikut:
a. Pemilik modal dan pengelola keduanya harus mampu bertindak sebagai
pemilik modal (owner) dan manajer.
b. Ucapan serah terima (sighat ijab wa qabul) kedua belah pihak untuk
menunjukkan kemauan mereka dan terdapat kejelasan tujuan kemauan
mereka dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan sebuah
kontrak/transaksi.
c. Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pemilik modal (shahibul
mal) kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan investas dalam akad
mudharabah. Modal disyaratkan harus diketahui jumlahnya, jenisnya
(mata uang) dan modal harus disetor tunai kepada mudharib.
d. Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal,
keuntungan adalah tujuan akhir dari mudharabah.
e. Pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi pengelola
(mudharib) dalam kontrak mudharabahyang disediakan oleh pemilik
modal. Pekerjaan dalam kaitan ini berhubungan dengan manajemen
kontrak mudharabah dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
kedua belah pihak dalam transaksi.5
Jika terjadi kerugian atas aset maka mudharib tidak diharuskan menenggung kerugian,
karena ia dipsisikan sebagai pengganti sahibul maal dalam menjalankan bisnis, sepanjang
tidak disebabkan oleh kelalaian. Jika terjadi kerugian maka akan dibebankan kepada
shahibul maal, atau dikurangkan dari keuntungan jika terdapat keuntungan bisnis.6
Adapun jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk kepada tanggung jawab
mudharib untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua keadaan. Hal
ini tidak dibolehkan karena adanya fakta bahwa pegangan mudharib akan dana itu
sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin dana itu
kecuali melanggar batas atau menyalahi ketentuan.7
Jika pemilik modal (shahibul maal) mnsyaratkan kepada mudharib untuk menjamin
penggantian modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu merupakan syarat batil dan
akad tetap sah adanya, ini menurut pendapat Hanafiyah dan Hanabilah. Lain menurut
4
Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 226.
5
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah; Klasik dan Kontemporer (Bogor; Ghalia Indonesia, 2017), hlm. 143.
6
Ibid, hlm. 143.
7
Ibid, hlm. 143.

4
Syafi’iiyyah dan Malikiyyah, akad mudharabah menjadi rusah (fasid), karena syarat
tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter dasar akad mudharabah. 8
Sebagaimana dijelaskan pula oleh Hariri, dalam transaksi mudharabah, ketika investor
(shahibul maal) menyerahkan modalnya, tidak disyaratkan baginya untuk meminta
jaminan dari debitur (mudharib) untuk mengembalikan investasinya. Sekalipun terdapat
ketentuan pasal 131 KUH Perdata bahwa segala kekayaan debitur, baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada di kemudian hari,
menjadi jaminan dari utang debitur.9

B. Jenis-jenis Mudharabah
Jenis-jenis mudharabah sendiri terdapat dua macam, yaitu mudharabahmutlaq dan
mudharabahmuqayyad. Secara istilah mudharabahmutlaq adalah penyerahan modal
seorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan, seperti berkata: “saya serahkan
uang ini kepadamu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita,
masing-masing setengah, sepertiga, dan lainlain. Sedangkan mudharabahmuqayyad
adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan,
seperti persyaratan bahwa pengusaha harus berdaganng di daerah Bandung atau harus
berdagang sepetu, atau membeli barang dari orang tertentu, dan lain-lain. 10 Adapun
berakhirnya akad mudharabah adalah apabila;
1. Masing-masing pihak menyatakan akad tersebut batal, atau pekerja
dilarang bertindak hukum, atau pemilik modal menarik modalnya.
2. Salah seorang yang berakad gila.
3. Modal habis ditangan pemilik, sebelum dikelola oleh pekerja.
4. Salah seorang yang berakad meninggal dunia.11
Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, akad mudharabah yang dibatasi dengan
waktu tertentu, jika waktu yang diberikan kepada mudharib telah habis, maka dia tidak
boleh melakukan transaksi lagi.12 Yakni akadnya dianggap selesai.
Nilai keadailan dalam akad mudharabah adalah terletak pada keuntungan dan
pembagian resiko dari masing-masing yang sedang melakukan Kerjasama sesuai dengan
porsi keterlibatannya. Kedua belah pihak akan menikmati keuntungan secara

8
Ibid, hlm. 143.
9
Wawan Mahwan Hariri, Hukum Perikatan; Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam (Bandung; CV. Pustaka
Setia, 2011), hlm. 320.
10
Ibid, hlm. 227.
11
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 110.
12
Ibid, hlm. 110.

5
proporsional, jika kerjasama tersebut mendapatkan keuntungan. Sebaliknya jika masing-
masing pihak menerima kerugian secara proporsional, jika usaha yang digalang bersama
tidak mendapatkan hasil. Dari aspek pemodal resikonya adalah kehilangan uang yang
diinvestasikannya. Sedangkan dari aspek mudharib13, ia menerima resiko berupa
kehilangan tenagaa dan fikiran dalam melakukan pengelolaan modal.14
Sebagai contoh di Indonesia, Fatwa Dewan Syariah Nasional
No:07/DSNMUI/IV/2000 memutuskan beberapa ketentuan yang di antaranya;
pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain
untuk usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai sahibul maal (pemilik
dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah)
bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. Jangka waktu usaha, tata cara
pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha), dan seterusnya.15
Beberapa ketentuan yang disebutkan di atas adalah sebagian dari ketentuanketentuan
yang menjadi landasan akad mudharabah diaplikasikan di lembaga keuangan syariah
khususnya di Indonesia. Tentu akan sedikit berbeda dengan ketentuan fatwa di negara-
negara lain, yang tidak kami bahas dalam tulisan ini. Namun secara subtansi akad adalah
sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Menurut Afandi, akad mudharabahsebenarnya akad yang paling ideal dalam transaksi
muamalah, di samping akad musyarakah. Sebuah transaksi bisnis yang menggunakan
akad mudharabah, akan menjamin pihak-pihak yang terlibat dalam akad untuk
memperoleh porsi yang adil dari transaksi bisnis yang dilakukan. 16 Meskipun demikian,
dalam perkembangannya, para pengguna dana bank Islam tidak saja membatasi dirinya
pada satu akad, yaitu mudharabah saja. Sesuai dengan jenis dan nature usahanya, mereka
ada yang memperoleh dana dengan sistem perkongsian, sistem jual beli, sewa-meenyewa,
dan lain-lain.17

13
Dwi Suwiknyo, Kamus Lengkap Ekonomi Islam (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 173.
14
Ibid, hlm.102
15
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 dalam Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 167.
16
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 114.
17
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, hlm. 138.

6
C. Perhitungan Bagi Hasil
Prinsip perhitungan bagi hasil pendapatan sangat penting untuk ditentukan di awal
dan diketahui oleh kedua belah pihak yang akan melakukan kesepakatan kerja sama
bisnis karena apabila hal ini tidak dilakukan, maka berarti telah terjadi ghoror, sehingga
transaksi menjadi tidak sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip perhitungan bagi hasil
menentukan jumlah. pendapatan yang digunakan sebagai dasar perhitungan untuk bagi
hasil, apakah menggunakan penerimaan bersih, laba kotor, atau laba bersih. Dewan
Syariah Nasional dalam fatwanya dengan Nomor 15 tahun 2000 menyatakan bahwa bank
syariah boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung
(profit sharing) sebagai dasar bagi hasil.
Dalam praktik di lapangan, terdapat perbedaan interpretasi dalam memahami istilah
revenue sharing. Revenue sharing dalam praktik diipersepsikan sama dengan gross profit
sharing yang menganalogikan revenue adalah nilai penjualan suatu barang (harga pokok
plus margin pendapatan). Adapun revenue yang dimaksud dalam dasar bagi hasil bank
syariah dan yang dipraktikan selama ini adalah pendapatan dikurangi harga pokok barang
yang dijual. Dalam akuntansi, konsep ini biasa dinamakan dengan gross profit. Dengan
demikian, istilah revenue sharing yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah
pada dasarnya identik dan sama dengan makna gross profit sharing. Menurut Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah tahun 2007, Ikatan Akuntan
menyatakan secara eksplisit bahwa dalam hal prinsip pembagian hasil usaha, terminologi
pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah pendapatan bruto (gross profit) (KDPPLKS
paragraf 42). Pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) Nomor 105 paragraf 11
menyatakan bahwa pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan
prinsip bagi hasil atau bagi laba dan jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar
pembagian hasil usaha adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha
(omzet). Sedangkan jika berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto
(net profit), yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana
mudharabah. Dalam praktik perbankan, gross profit sharing yang dibagi hasil kepada
pihak ketiga meliputi:
1. Margin bank yang meliputi margin murabahah, salam, dan istishna.
Dalam hal ini margin bank adalah selisih antara harga jual barang
dengan harga beli barang. Sekiranya ada pemberian potongan kepada
nasabah, maka potongan tersebut akan mengurangi margin bank.

7
2. Pendapatan ijarah bersih. Dalam hal ini pendapatan ijarah bersih adalah
selisih antara pendapatan ijarah dengan akumulasi penyusutan ijarah.
Gain atas penjualan aset ijarah juga termasuk dalam pendapatan ijarah.
3. Bagi hasil pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah
penggunaan gross profit sharing sebagai dasar perhitungan bagi hasil
lebih adil bagi perbankan syariah maupun nasabah, karena penggunaan
laba kotor sebagai dasar perhitungan bagi hasil telah mempertimbangkan
faktor kinerja (penjualan) dan juga biaya (harga pokok penjualan)
sebagai komponen perhitungan laba atau pendapatan kotor. Secara ideal
prinsip profit sharing lebih mencerminkan laba yang sesungguhnya
karena dihasilkan dari perhitungan seluruh pendapatan dikurangi seluruh
biaya, namun secara teknis dilapangan prinsip profit sharing membuka
peluang yang besar adanya ketidak seimbangan informasi (assimetric
information) antara shahibul maal dan mudharib, yang dapat
menimbulkan kerugian bagi shahibul maal.
Penggunaan praktik gross profit sharing sebagai dasar bagi hasil bagi nasabah
penabung atau deposan dengan skema mudharabah dapat terlihat pada pengakuan
pendapatan bank syariah. Pendapat mudaharabah yang dibagi hasil misalnya adalah nilai
margin mudharabah (selisih harga jual dengan harga pokok barang yang dijual) yang
uangnya telah diterima oleh bank syariah. Ini menunjukkan bahwa dasar bagi hasil
kepada nasabah penabung pada dasarnya adalah gross profit sharing dan bukan revenue
sharing. Demikian pula dalam pengakuan pendapata ijarah, besaran pendapatan ijarah
yang disajikan dalam pendapatan utama pada laporan rugi laba adalah pendapatan ijarah
setelah dikurangi biaya operasional aset yang disewakan sebelum dikurangi biaya
operasioanl rutin lainnya.
Dengan prinsip revenue sharing pendapatan yang digunakan untuk diperhitungkan
dalam perhitungan bagi hasil adalah pendapatan bruto yang terdiri atas pendapatan bagi
hasil yang diterima dari bagi hasil investasi pembiayaan, pendapatan margin murabahah
(penjualan setelah dikurangi harga pokok), pendapatan ijarah bersih setelah dikurangi
biaya-biaya operasional sewa aset yang bersangkutan dan pendapatan bersih lainnya,
sedangkan dengan prinsip profit sharing pendapatan yang menjadi dasar perhitungan bagi
hasil dengan prinsip revenue sharing harus dikurangi lagi dengan biaya operasional rutin
bank, sehingga diperoleh laba bersih. Laba bersih inilah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan bagi hasil.

8
D. Perbedaan Profit Sharing dan Bunga
Dalam dunia perbankan saat ini terdapat dua jenis Bank yaitu Bank Konvensional dan
Bank Syariah. Kedua jenis Bank ini tentu memiliki sistem yang berbeda, salah satunya
perbedaan dalam hal sistem pembagian keuntungan dengan nasabahnya. Pada Bank
Konvensional sistem ini dikenal dengan Bunga sedangkan pada Bank Syariah dikenal
dengan Bagi Hasil. Dalam artikel sebelumnya Bank Muamalat telah membahas mengenai
perbedaan antara KPR Syariah dan KPR Konvensional, sehingga kali ini Bank Muamalat
akan memberikan gambaran mengenai perbedaan Bunga dan Bagi Hasil yang dapat
dilihat melalui tabel berikut ini :
Bunga Bagi Hasil

1. Penentuan tingkat suku bunga dibuat 1. Penentuan besarnya rasio bagi hasil
pada waktu akad dengan pedoman harus dibuat pada waktu akad dengan
selalu untung berpedoman pada kemungkinan untung
rugi
2. Besarnya prosentase berdasarkan 2. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang pada jumlah keuntungan yang diperoleh
dipinjamkan
3. Pembayaran bunga tetap seperti yang 3. Bagi hasil tergantung pada keuntungan
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak
proyek yang dijalankan oleh pihak mendapatkan keuntungan maka kerugian
nasabah untung atau rugi akan ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak

4. Jumlah pembayaran bunga tidak 4. Jumlah pembagian laba meningkat


meningkat sekalipun jumlah keuntungan sesuai dengan peningkatan jumlah
berlipat pendapatan

Demikian gambaran singkat mengenai perbedaan Bunga dan Bagi Hasil oleh Bank
Muamalat, semoga gambaran tersebut bermanfaat untuk menambah khasanah
pengetahuan mengenai Bank Syariah dan membantu kebutuhan Masyarakat Indonesia
dalam melaksanakan kegiatan perbankan syariah sehari-hari.18

18
https://www.bankmuamalat.co.id/index.php/artikel/perbedaan-bunga-dan-bagi-hasil-11. Diakses tgl 04
Januari 2023

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

10
DAFTAR PUSTAKA

Dwi Suwiknyo, Kamus Lengkap Ekonomi Islam, Yogyakarta: Total Media, 2009.

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 dalam Zainuddin Ali, Hukum
Ekonomi Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah; Klasik dan Kontemporer, Bogor; Ghalia Indonesia,
2017.

Https://www.bankmuamalat.co.id/index.php/artikel/perbedaan-bunga-dan-bagi-hasil-11 .
Diakses tgl 04 Januari 2023

Muhammad Asy-Syarbini dalam Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik.

M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan


Syariah,Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.

Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Wawan Mahwan Hariri, Hukum Perikatan; Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam,
Bandung; CV. Pustaka.

11

Anda mungkin juga menyukai