Anda di halaman 1dari 46

Terminologi

1. Semprotan Salbutamol Inhalasi salbutamol


Semprotan salbutamol adalah obat bronkodilator yang digunakan untuk mengobati penyakit
pernapasan seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Salbutamol bekerja dengan
melebarkan saluran udara di paru-paru, sehingga memungkinkan udara lebih mudah masuk dan
keluar dari paru-paru. Ini membantu meredakan gejala seperti sesak napas, mengi, dan batuk yang
sering terjadi pada penderita asma atau PPOK.

2. Indeks brinkman
Indeks Brinkman adalah ukuran intensitas merokok yang memperhitungkan jumlah rokok yang
dihisap per hari dan durasi merokok. Indeks ini dihitung dengan mengalikan jumlah rokok yang
dihisap per hari dengan jumlah tahun orang tersebut telah merokok Indeks Brinkman sering
digunakan dalam studi penelitian untuk menilai hubungan antara merokok dan berbagai hasil
kesehatan, seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru-paru, dan infertilitas.

3. Clubbing finger
Clubbing finger adalah tanda klinis yang ditandai dengan pembesaran ujung jari dan kuku, Kondisi ini bisa terjadi
akibat kelainan genetik, atau gangguan di paru-paru, hati, atau jantung , terjadi karena kekurangan o2 dlm
jangka panjang sering pd penderita penyakit jantung dan paru.

Clubbing finger primer = Clubbing finger primer disebabkan oleh kelainan genetik yang langka,

Clubbing finger sekunder = Clubbing finger jenis ini umumnya terjadi akibat gangguan pada paru-paru atau
jantung,
4. Sesak

5. Spirometri
Spirometri adalah pemeriksaan fungsi paru yang menggunakan alat bernama spirometer untuk mengukur
volume paru dan kecepatan aliran udara saat pasien bernafas. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
menentukan adanya gangguan obstruktif, restriktif, atau campuran pada fungsi paru serta dapat memperkirakan
derajat kelainannya1. Spirometri juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan dan menentukan
prognosis penyakit serta menentukan toleransi tindakan1.Pemeriksaan spirometri dapat membantu dokter
dalam mendiagnosis dan mengelola penyakit paru seperti asma, bronkitis kronis, dan emfisema

Rumusan Masalah
1. Apa yang terjadi pada pak Ardi sehingga ia menderita sesak nafas sejak 2 hari yang
lalu dan semakin memberat ?
sesak nafas secara akut karena adanya bronkokonstriksi yang terjadi pada saluran napas.
Bronkokonstriksi adalah penyempitan saluran napas yang disebabkan oleh inflamasi dan
hiperresponsifitas saluran napas. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas,batuk, dan mengi.
Pada kasus yang lebih parah, bronkokonstriksi dapat menyebabkan serangan asma yang
membutuhkan perawatan medis segera. Faktor-faktor yang dapat memicu serangan asma antara lain
paparan alergen, udara dingin, olahraga, infeksi saluran napas, dan stres.

sesak nafas merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan kesulitan saat
bernafas, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
1. faktor fisik : sistem pernafasan dan sirkulasi darah yang tidak mampu
mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh.
2. faktor psikis : mekanisme fight or flight
jadi secara tidak langsung, sesak nafas yang disebabkan oleh faktor fisik disebabkan
karna adanya gangguan pada jantung ataupun paru-paru. Dimana sesak nafas pada
gangguan jantung terjadi karna jantung tidak mampu memompa darah kaya oksigen, dan
tidak disebabkan oleh faktor pencetus.

sesak nafas pada paru-paru, dapat disebabkan oleh adanya hambatan pada saluran nafas,
luas permukaan paru-paru yang berkurang, atau paru-paru yang tidak elastis. nah pada
skenario, sesak nafas yang terjadi pada tuan andri disebabkan karna adanya gangguan
pada paru-paru, dimana ketika adanya infeksi, asap rokok, cuaca dingin, faktor alergen,
maka yang terjadi pada sistem pernafasan adalah :
- bronkokonstriksi
- penumpukan mukus
- penebalan dinding saluran nafas (edem dan hipertrofi otot)

2. Apa kira kira yg menyebabkan dan Bagaimana sesak nafas tersebut bisa menjadi
semakin berat ?

3. Kenapa sesak nafas tuan Ardi busa muncul ketika keadaan cuaca dingin, makan
udang dll n
● Udara dingin
udara dingin dapat mengiritasi saluran udara dan menyebabkan saluran udara menyempit,
sehingga lebih sulit untuk bernapas. Selain itu, udara dingin juga dapat menyebabkan
saluran udara memproduksi lebih banyak lendir, yang selanjutnya dapat mempersempit
saluran udara dan membuat Anda lebih sulit bernapas.
Menghirup udara dingin juga dapat menyebabkan pembuluh darah di paru-paru mengerut,
yang dapat meningkatkan tekanan darah di paru-paru dan menambah beban pada jantung.
Hal ini dapat menyebabkan sesak napas, terutama pada penderita penyakit jantung atau
kondisi kardiovaskular lainnya.

Udara dingin = ketika menghirup udara dingin, saluran pernapasan kita menjadi kering.
Airways surface fluid ASL berevaporasi lebih cepat daripada produksi kembalinya. Udara
dingin menginduksi aktivasi epitel untuk menghasilkan zat proinflamasi.

● Alergi
Ketika seseorang dengan alergi terpapar alergen, sistem kekebalan tubuh mereka bereaksi
berlebihan dan melepaskan bahan kimia seperti histamin, leukotrien, dan sitokin. Bahan
kimia ini menyebabkan peradangan pada saluran udara, yang menyebabkan
pembengkakan dan penyempitan saluran udara. Penyempitan ini mempersulit udara untuk
mengalir masuk dan keluar dari paru-paru, yang mengakibatkan sesak napas.
Selain peradangan saluran napas, alergi juga dapat menyebabkan produksi lendir berlebih
di saluran napas, yang selanjutnya dapat menghalangi saluran napas dan memperburuk
kesulitan bernapas. Hal ini terutama berlaku untuk alergi pernapasan seperti asma dan
rinitis alergi.

konsumsi udang = antigen udang yang dikonsumsi akan membuat antibodi tubuh melepas
histamin dan menimbulkan berbagai gejala alergi seperti gatal, pembengkakkan pada bibir
dan tenggorokan. Pembengkakan pada tenggorokan akan membuat saluran napas
terhambat.

● Memakan obat nyeri


Sesak napas adalah efek samping potensial dari beberapa obat nyeri, terutama opioid.
bekerja pada sistem saraf pusat untuk mengurangi sensitivitas pusat pernapasan di batang
otak, yang dapat menyebabkan penurunan laju dan kedalaman pernapasan. Hal ini dapat
menyebabkan penumpukan karbon dioksida dalam darah dan penurunan kadar oksigen,
yang menyebabkan sesak napas.
Selain depresi pernapasan, opioid juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi, yaitu
penyempitan saluran udara di paru-paru. Hal ini dapat memperburuk kesulitan bernapas dan
menyebabkan sesak napas.

obat anti nyeri = obat anti nyeri seperti nsaid dan aspirin bekerja dengan menghambat
produksi hormon prostaglandin. Prostaglandin adalah hormon yang meregulasi saluran
pernapasan dengan cara melebarkan saluran napas.

● Olahraga
Bronkospasme yang disebabkan oleh olahraga: Ini adalah fenomena di mana saluran udara
di paru-paru mengerut selama atau setelah berolahraga, yang menyebabkan sesak napas,
batuk, mengi, dan sesak dada. Ini adalah temuan yang umum terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa muda, terutama mereka yang menderita asma atau rinitis alergi.
Bronkospasme biasanya muncul dalam 10 hingga 15 menit setelah memulai olahraga,
mencapai puncaknya 8 hingga 15 menit setelah aktivitas selesai, dan sembuh sekitar 60
menit kemudian. Hal ini juga dapat terjadi selama aktivitas yang berkelanjutan.
Bronkospasme yang diinduksi oleh olahraga terjadi pada hingga 90% penderita asma dan
40% pasien dengan rinitis alergi, dan prevalensinya di antara atlet dan populasi umum
adalah antara 6% dan 13%.

Kebugaran fisik yang buruk: Sesak napas saat berolahraga juga dapat disebabkan oleh
kebugaran fisik yang buruk, yang dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru dan
penyerapan oksigen. Ketika tubuh tidak terbiasa dengan aktivitas fisik, tubuh mungkin
membutuhkan lebih banyak oksigen daripada yang dapat disediakan oleh paru-paru,
sehingga menyebabkan sesak napas.

Faktor lingkungan: Faktor lingkungan seperti udara dingin, ketinggian, dan polusi udara juga
dapat menyebabkan sesak napas akibat olahraga. Udara dingin dapat mengiritasi saluran
udara dan menyebabkan saluran udara menyempit, sementara ketinggian tinggi dapat
menyebabkan penurunan kadar oksigen. Polusi udara juga dapat mengiritasi saluran napas
dan menyebabkan peradangan, yang menyebabkan kesulitan bernapas.

aktivitas olahraga = saat berolahraga, orang cenderung bernapas melalui mulut,


seharusnya udara dihirup melalui hidung sehingga nanti akan dilembabkan dan
kehangatkan di hidung lalu menuju ke paru2. Udara yang dihirup melalui mulut cenderung
dingin dan kering, lalu menginduksi aktivasi epitel untuk menghasilkan zat proinflamasi,
diperparah dengan kompensasi dari tubuh yang berusaha mendapatkan oksigen lebih
banyak untuk disuplai ke jaringan selama berolahraga.

4. Apakah hubungan munculny batuk berdahak pada tuan Ardi …… apakah itu tanda
penyakitnya sydag memberat ?
Anda menderita asma, bronkus akan meradang dan lebih sensitif dari biasanya. Ketika Anda
bersentuhan dengan sesuatu yang mengiritasi paru-paru Anda - yang dikenal sebagai
pemicu - saluran udara Anda menjadi sempit, otot-otot di sekitarnya mengencang, dan
terjadi peningkatan produksi lendir lengket (dahak).
Dahak adalah gejala yang umum terjadi pada penderita asma. Saat terserang asma, akan
ada dahak yang berdeguk di tenggorokan, yang menyebabkan anhelasi, atau bahkan
asfiksia yang membuat pasien tidak dapat berbaring telentang.

5. Mengapa tuan Ardi menggunakan semprotan salbutamol ketika sesak nafas… serta
apakah penggunaan salbutamol tersebut dalam jumlah yg normal ? Dan jika
penggunaan salbutamol tsb tidak normal frekuensinya apakah hal tsb berhubungan
dg kondisinya sekarang ?
Salbutamol adalah agonis beta-2 kerja pendek yang umumnya digunakan untuk mengobati
sesak napas, terutama pada pasien asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Ketika dihirup, salbutamol bekerja pada reseptor beta-2 di paru-paru, menyebabkan
otot-otot polos menjadi rileks dan saluran udara melebar, sehingga lebih mudah untuk
bernapas

Meskipun salbutamol dapat meredakan gejala dengan cepat, penggunaan yang berlebihan
atau penyalahgunaan obat dapat menyebabkan efek samping seperti tremor, hiperglikemia,
asidosis laktat, dan aritmia jantung.

Berikut adalah beberapa potensi komplikasi dari penggunaan salbutamol terlalu sering:

Toleransi: Seiring waktu, tubuh dapat menjadi kurang responsif terhadap efek salbutamol,
yang menyebabkan penurunan efektivitas obat. Hal ini dapat menyebabkan perlunya dosis
obat yang lebih tinggi untuk mencapai tingkat pereda gejala yang sama

Bronkokonstriksi yang melambung: Penggunaan agonis beta-2 kerja pendek yang


berlebihan seperti salbutamol dapat menyebabkan bronkokonstriksi rebound, di mana
saluran udara menjadi lebih sempit dari sebelumnya. Hal ini dapat menyebabkan
memburuknya gejala, termasuk sesak napas

Efek samping: Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan salbutamol secara
berlebihan dapat menyebabkan efek samping seperti tremor, hiperglikemia, asidosis laktat,
dan aritmia jantung

6. Mengapa adik dan ibu ny mengalami gejala yang sama


Adanya kemungkinan peran dari faktor genetic dalam kondisi ini, faktor genetic bisa
membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit pernafasan.

Namun perpaduan antara faktor genetik dan faktor lingkungan yang bisa mencetuskan
gejala ataupun penyakit busa muncul seperti halnya asma dan ppok
( defisiensi antitripsin alfa-1) yang merupakan penyakit yang memiliki faktor genetik yang
bisa membuat seseorang lebih rentan mengalami …

7. Apakah merokok dapat mempengaruhi penyakit tuan Rendi saat ini


Merokok merupakan faktor risiko utama untuk gangguan pernapasan, termasuk penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) dan kanker paru. Patofisiologi merokok dengan gangguan
pernapasan sangat kompleks dan melibatkan beberapa mekanisme
Berikut adalah beberapa cara merokok mempengaruhi sistem pernapasan
● Peradangan: Merokok menyebabkan peradangan pada saluran udara, yang dapat
menyebabkan penyempitan saluran udara dan berkurangnya aliran udara.
Peradangan kronis juga dapat merusak jaringan paru-paru dan menyebabkan
perkembangan PPOK.

● Produksi lendir: Merokok dapat meningkatkan produksi lendir di saluran udara, yang
selanjutnya dapat mempersempit saluran udara dan membuat Anda lebih sulit
bernapas
● Stres oksidatif: Merokok menyebabkan stres oksidatif di paru-paru, yang dapat
merusak sel dan jaringan. Hal ini dapat menyebabkan perkembangan kanker
paru-paru dan gangguan pernapasan lainnya

● Gangguan fungsi paru-paru: Merokok dapat mengganggu fungsi paru-paru dengan


mengurangi jumlah udara yang dapat dihirup dan dihembuskan. Hal ini dapat
menyebabkan sesak napas dan gejala pernapasan lainnya

● Peningkatan risiko infeksi: Merokok melemahkan sistem kekebalan tubuh dan


mempersulit tubuh untuk melawan infeksi. Hal ini dapat meningkatkan risiko infeksi
saluran pernapasan, seperti pneumonia dan bronkitis

8. Apakah yang dimaksud dengan indeks brinkman yang ringan


Indeks brinkman adalah indeks yang digunakan untuk penilaian derajat beratnya
perokok. dengan rumusnya adalah Rata-rata jumlah batang rokok per hari x lama
tahun merokok. dengan interpretasi sebagai berikut :
- Ringan = 0-200
- Sedang = 201-600
- Berat >= 600
9. Interpretasi hasil pembisik
● tekanan darah 140/70 mmHg =
● denyut nadi 110 x/menit
● frekuensi napas 30 x/menit, = tinggi
● suhu tubuh 37,5.
● Pemeriksaan toraks didapatkan inspeksi normal
● palpasi fremitus kanan sama dengan kiri
● perkusi sonor = normal
● auskultasi paru terdengar ekspirasi memanjang disertai wheezing di kedua lapangan
paru
Wheezing merupakan suara pernapasan berfrekuensi tinggi yang nyaring, dimana terdengar di akhir
ekspirasi / saat menghembuskan napas. Wheezing terjadi oleh karena adanya penyempitan saluran
pernapasan bagian ujung / dalam.

● ronkhi di kedua basal paru


Sedangkan ronkhi merupakan suara napas tambahan yang bernada rendah yang terjadi akibat
adanya penyumbatan jalan napas biasanya akibat adanya lendir. Ronkhi dapat terjadu pada inspirasi
(saat mengambil napas) maupun ekspirasi. Ronkhi sendiri terdiri dari 2 jenis yaitu ronkhi basah dan
ronkhi kering.

● Pada ekstremitas tidak didapatkan clubbing finger.


Tidak adanya kekurangan o2

10. mengapa sesak napas tuan andri tidak hilang setelah diberikan terapi oksigen, obat
anti inflamasi dan inhalasi salbutamol? Sesak napas Tuan Andri mungkin tidak
hilang setelah diberikan terapi oksigen, obat antiinflamasi, dan inhalasi salbutamol
karena alasan-alasan berikut:
1. Penyebab Dasar yang Belum Dikendalikan: Sesak napas dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, termasuk penyakit pernapasan kronis seperti asma atau penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). Terapi oksigen, obat antiinflamasi, dan inhalasi
salbutamol dapat membantu meredakan gejala, tetapi jika penyebab dasar seperti
peradangan yang kuat pada saluran napas belum terkendali, gejala sesak napas
mungkin tetap ada.

2. Reaksi yang Berbeda: Respons terhadap obat-obatan seperti salbutamol dapat


bervariasi dari individu ke individu. Meskipun obat ini umumnya efektif dalam
meredakan gejala asma dan penyakit pernapasan lainnya, tidak semua orang
merasakan perbaikan yang signifikan setelah mengonsumsinya.

3. Keparahan Gejala: Tingkat keparahan sesak napas dapat bervariasi dari ringan
hingga berat. Jika Tuan Andri mengalami serangan sesak napas yang parah,
mungkin diperlukan perawatan tambahan atau intensif untuk mengendalikan
gejalanya.

4. Kombinasi Faktor: Beberapa individu dengan penyakit pernapasan mungkin


mengalami kombinasi faktor pemicu gejala. Dalam kasus Tuan Andri, perokok berat
dan faktor-faktor pemicu lain seperti paparan udara dingin dan makanan tertentu
dapat memperburuk gejala sesak napas.

11. mengapa tuan andri harus diperiksa dengan alat spirometri?


Pemeriksaan dengan alat spirometri sangat penting dalam kasus Tuan Andri karena
alat ini digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru-parunya dengan lebih rinci.
Beberapa alasan mengapa Tuan Andri perlu menjalani spirometri adalah sebagai
berikut:

1. Diagnosis dan Klasifikasi: Spirometri adalah alat diagnostik utama dalam


menentukan apakah seseorang menderita penyakit pernapasan kronis seperti asma
atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Hasil spirometri dapat membantu dokter
dalam mendiagnosis penyakit Tuan Andri dan menentukan klasifikasinya.

2. Evaluasi Tingkat Obstruksi: Spirometri memungkinkan dokter untuk mengukur


sejauh mana saluran napas pasien mengalami penyempitan atau obstruksi. Ini
sangat penting untuk menentukan tingkat keparahan penyakit pernapasan dan
membantu merencanakan tindakan pengelolaan yang tepat.

3. Perubahan Fungsi Paru: Dengan melakukan spirometri secara berkala, dokter


dapat melacak perubahan dalam fungsi paru Tuan Andri dari waktu ke waktu. Ini
berguna untuk memantau respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi
perkembangan penyakit atau perburukan gejala.

4. Perencanaan Pengobatan: Hasil spirometri dapat membantu dokter merancang


rencana pengobatan yang sesuai untuk Tuan Andri. Dengan data spirometri, dokter
dapat memutuskan penggunaan obat-obatan tertentu dan menilai efektivitasnya.
5. Pendekatan yang Personalisasi: Spirometri dapat membantu dokter mengambil
pendekatan yang lebih personalisasi dalam pengelolaan penyakit pernapasan. Ini
memungkinkan perawatan yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus Tuan Andri.
LAPORAN CATATAN MANDIRI BELAJAR

ASTMA
1. Pengertian , klasifikasi

Asma adalah penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan inflamasi kronis di


saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak, rasa berat di dada
dan batuk yang intensitasnya berberda-beda berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara
ekspirasi

Klasifikasi
2. Faktor resiko , epidemiologi , etiologi

Faktor resiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan.

Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas Jenis kelamin
Ras/ etnik

Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma Alergen di
dalam ruangan
Mite domestik
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi, molds, yeasts) Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds, yeasts) Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Perokok aktif
Perokok pasif Polusi udara
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan Infeksi pernapasan
Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti

Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma menetap Alergen di
dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
Epidemiologi

Data epidemiologi asma menunjukkan bahwa angka kejadian cenderung lebih tinggi
pada anak usia kurang dari 18 tahun. Di Indonesia, prevalensi asma untuk semua
kelompok usia mencapai 2,4%.

Etiologi
Asma terdiri dari berbagai macam penyakit dan memiliki berbagai fenotipe yang
heterogen. Faktor-faktor yang diketahui terkait dengan asma adalah kecenderungan
genetik, khususnya riwayat atopi pribadi atau keluarga (kecenderungan alergi,
biasanya terlihat sebagai eksim, demam, dan asma).

Asma juga dikaitkan dengan paparan asap rokok dan gas inflamasi atau materi
partikulat lainnya.

Etiologi secara keseluruhan sangat kompleks dan masih belum sepenuhnya


dipahami, terutama dalam hal kemampuan untuk mengatakan bahwa anak-anak
dengan asma pediatrik akan melanjutkan untuk memiliki asma saat dewasa (hingga
40% anak-anak memiliki mengi, hanya 1% orang dewasa yang memiliki asma),
tetapi disepakati bahwa ini adalah patologi multifaktorial, yang dipengaruhi oleh
genetika dan paparan lingkungan.

Pemicu asma meliputi:

Infeksi saluran pernapasan akibat virus


Olahraga
Penyakit refluks gastroesofagus
Sinusitis kronis
Alergen lingkungan
Penggunaan aspirin, beta-blocker
Asap tembakau
Serangga, tanaman, asap bahan kimia
Obesitas
Faktor emosional atau stres
3. Pathogenesis dan pathofisiologi

4. Manifestasi klinis
• Kondisi stabil/steady state + keluhan batuk malam hari dan sesak nafas saat
olahraga.
• Saat serangan (eksaserbasi akut) - sesak beat ditandai dengan wheezing.
• Sesak nafas, batuk, rasa berat di dada dan berdahak.
• Diawali oleh faktor resiko yang bersifat individu
• Respon terhadap pemberian bronkodilator.

5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang

Di samping tempat tidur

Oksimetri nadi dapat berguna dalam menilai tingkat keparahan serangan asma atau
memantau kerusakannya. Perlu diperhatikan bahwa keterlambatan oksimetri nadi, dan
cadangan fisiologis pada banyak pasien berarti bahwa penurunan pO2 pada oksimetri nadi
merupakan temuan yang terlambat, yang mengindikasikan pasien dalam keadaan tidak
sehat atau akan mengalami serangan jantung.

Pengukuran aliran puncak juga dapat digunakan untuk menilai asma dan harus selalu
diperiksa berdasarkan nomogram serta fungsi dasar normal pasien. Tingkat keparahan
serangan asma akut yang berbeda-beda mempunyai pengukuran aliran puncak yang terkait,
yang dicatat sebagai persentase tertentu dari aliran puncak yang diharapkan.

Laboratorium

Urea dan elektrolit (fungsi ginjal) harus diminum jika pasien mendapat dosis tinggi atau
mengulangi salbutamol, karena salah satu efek samping salbutamol adalah menyebabkan
perpindahan kalium ke ruang intraseluler untuk sementara, yang dapat menyebabkan
hipokalemia iatrogenik sementara. Eosinofilia umum terjadi tetapi tidak spesifik untuk asma.
Studi terbaru menunjukkan bahwa kadar eosinofil dahak dapat memandu terapi. Selain itu,
beberapa pasien mungkin mengalami peningkatan IgE serum.

Gas darah arteri dapat menunjukkan hipoksemia dan asidosis respiratorik. Penelitian
menunjukkan bahwa periostin mungkin menjadi penanda asma, namun peran klinisnya
masih belum pasti.

EKG akan menunjukkan sinus takikardia, yang mungkin disebabkan oleh asma, albuterol,
atau teofilin.

Pencitraan

Rontgen dada merupakan pemeriksaan yang penting, terutama jika pasien memiliki riwayat
risiko terhadap kemungkinan benda asing atau kemungkinan infeksi. CT scan dada
dilakukan pada pasien dengan gejala berulang yang tidak merespons terapi.

Tes Khusus

Spirometri adalah metode diagnostik pilihan dan akan menunjukkan pola obstruksi yang
sebagian atau seluruhnya teratasi dengan salbutamol. Spirometri harus dilakukan sebelum
pengobatan untuk menentukan tingkat keparahan gangguan. Penurunan rasio FEV1
terhadap FVC merupakan indikasi obstruksi jalan napas, yang dapat disembuhkan dengan
pengobatan. Uji reversibilitas dilakukan dengan memberikan obat short-acting beta 2 agonist
kepada pasien, dan setelah itu dilakukan pengujian spirometri kembali. Jika terjadi
peningkatan FEV1 sebesar 12% atau 200ml dari nilai sebelumnya, maka hal tersebut
menunjukkan reversibilitas dan diagnostik asma bronkial. Pengukuran aliran ekspirasi
puncak merupakan hal yang umum saat ini dan memungkinkan seseorang untuk
mendokumentasikan respons terhadap terapi. Keterbatasan tes ini adalah tes ini bergantung
pada usaha.

Pada beberapa pasien, tes metakolin/histamin mungkin diperlukan untuk menentukan


apakah terdapat hiperreaktivitas saluran napas. Tes ini hanya boleh dilakukan oleh individu
yang terlatih.

Spirometri olahraga dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan bronkokonstriksi


akibat olahraga.

6. Diagnosis
Anamnesis

Riwayat penyakit / gejala :


Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan fisik
● mengi pada auskultasi.
● Penurunan stem fremitus
● Perkusi hipersonor
● Auskultasi weezing

Diagnosis banding

Diagnosis banding asma antara lain sbb : Dewasa


Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Bronkitis kronik
Gagal Jantung Kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru

Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Stenosis trakea
Bronkiolitis

7. Penatalaksanaan
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Medikamentosa

Tatalaksana Asma:
• Reliever/Pelega: bekerja pada saluran nafas yang menyebabkan spasme otot
polos saluran napas, bekerja sebagai bronkodilator dan dipakai sat serangan.
• Controller/Pengontrol: mengontrol inflamasi atau memperpanjang waktu
bronkodilatasi. Meredakan edema mukosa, sekresi lender dan menurunkan
iritabilitas bronkus. Dipakai secara regular.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah,
yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.

Termasuk pelega adalah :


Agonis beta2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat
pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin

Rute pemberian medikasi


Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :

● lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas


● efek sistemik minimal atau dihindarkan
● beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja
bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi
1. Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
2. IDT dengan alat Bantu (spacer)
Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan
menarik napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang
agar penderita trampil. Penggunaan alat Bantu (spacer) mengatasi kesulitan
tersebut dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT. Selain spacer juga
mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan
mengurangi kemungkinan kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid (bukti A);
serta mengurangi bioavailibiliti sistemik dan risiko efek samping sistemik.(bukti B).
Berbagai studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis beta-2
kerja singkat dengan IDT dan spacer `memberikan efek bronkodilatasi yang sama
dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dan spacer terbukti
memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada melalui DPI (bukti B).
3. Breath-actuated MDI
4. Dry powder inhaler (DPI)
Kelebihan dry powder inhalation/DPI adalah tidak menggunakan campuran yaitu
propelan freon, dan relatif lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi
hanya dibutuhkan kecepatan aliran udara inspirasi minimal, oleh sebab itu DPI sulit
digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri
atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak
mengandung klorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit
pada udara dengan kelembaban tinggi. Klorofluorokarbon (CFC) pada IDT, sekarang
telah diganti hidrofluoroalkan (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA
adalah ekivalen; tetapi pada kortikosteroid, HFA menghantarkan lebih banyak
partikel yang lebih kecil ke paru sehingga lebih tinggi efikasi obat dan juga efek
samping sistemiknya. Dengan DPI obat lebih banyak terdeposit dalam saluran
napas dibanding IDT, tetapi studi menunjukkan inhalasi kortikosteroid dengan IDT
dan spacer memberikan efek yang sama melalui DPI (bukti B). Karena perbedaan
kemurnian obat dan teknik penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu
penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya.

5. Turbuhaler
6. Nebuliser

Pengontrol

Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A).
Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai
berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang
direkomendasikan.

Pemantauan
8. Komplikasi dan prognosis

Prognosis dan Komplikasi

Asma bukanlah penyakit yang tidak berbahaya dan menyebabkan 1 kematian per
100.000 orang di beberapa negara. Kematian berhubungan dengan fungsi paru-paru
dan diperburuk oleh merokok. Faktor yang mempengaruhi kematian antara lain usia
lebih dari 40 tahun, kebiasaan merokok lebih dari 20 bungkus per tahun, eosinofilia
darah, FEV1 40-70% dari prediksi, dan reversibilitas yang lebih besar. Asma
menyebabkan hilangnya waktu bekerja dan sekolah; hal ini juga menyebabkan
masuknya banyak orang ke rumah sakit sehingga meningkatkan biaya perawatan
kesehatan. Asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat melumpuhkan dan
menyebabkan kualitas hidup yang buruk.

Komplikasi

Tanda dan gejala yang mengganggu tidur, bekerja dan aktivitas lainnya
Hari-hari sakit dari tempat kerja atau sekolah selama serangan asma
Penyempitan permanen pada saluran yang membawa udara ke dan dari paru-paru
(saluran bronkial), yang mempengaruhi seberapa baik Anda dapat bernapas
Kunjungan ruang gawat darurat dan rawat inap untuk serangan asma yang parah
Efek samping dari penggunaan jangka panjang beberapa obat yang digunakan
untuk menstabilkan asma parah

BRONHKIOTAKSIS

Defenisi
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progesif yang ditandai dengan dilatasi bronkus
dan bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus. Keadaan ini
disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan inflamasi yang diikuti
dengan pelepasan mediator.

Epidemiologi

Meskipun prevalens bronkiektasis di dunia umumnya tidak diketahui, tetapi diduga


prevalens penyakit ini cukup tinggi di populasi terisolasi yang kurang mendapatkan
pelayanan kesehatan, dan dengan prevalens IRA (pneumonia) pada bayi dan anak
yang tinggi. Kemungkinan terdapat sejumlah besar pasien yang tidak menunjukkan
gejala, atau hanya menunjukkan gejala ringan, tetapi berisiko untuk menyandang
bronkiektasis akibat mengalami pneumonia rekuren, pertusis, campak, atau asma
yang tidak terkontrol. Mereka akan luput dari penanganan bila tidak menjalani
pemeriksaan lanjutan.
Frekuensi penyakit ini dilaporkan lebih tinggi di negara berkembang yang banyak
melaporkan kejadian penyakit campak, TB, dan infeksi HIV. Di negara maju,
kejadian penyakit ini berkaitan dengan fibrosis kistik, cilliary dyskinesia, atau
defisiensi imun. Meskipun di negara maju insidensnya dilaporkan mengalami
penurunan, tetapi akhir-akhir ini diperkirakan meningkat sejalan dengan penggunaan
metode pemeriksaan yang semakin sensitif. Hasil penelitian di Australia
menunjukkan bahwa angka kejadian bronkiektasis yang dikonfirmasi dengan HRCT
pada anak berusia di bawah 15 tahun adalah 147 per 10.000 anak suku Aborigin.
Suatu survei nasional yang dilakukan oleh dokter anak di New Zealand menyatakan
bahwa insidens bronkiektasis nonkistik fibrosis pada populasi ini adalah 3,7 per
100.000 dengan prevalens 1 per 3000 orang. Data dari Inggris memperlihatkan
prevalens 1 setiap 5.800 anak.

Patogenesis
Patogenesis untuk penyakit paru kronis ini belum dimengerti seluruhnya. Banyak
faktor yang berperan dalam patogenesisnya. Beberapa teori mekanik yang diajukan
membaginya menjadi empat kelompok.
1. The pressure of secretion theory.
Menurut teori ini, sekret yang kental mula-mula menyebabkan obstruksi, kemudian
diikuti dengan pelebaran saluran respiratorik.
2. Atelectasis theory.
Teori ini mengemukakan bahwa dilatasi bronkus terjadi akibat peningkatan tekanan
negatif intrapleural.
3. Traction theory.
Fibrosis dan jaringan parut penyakit parenkim menyebabkan traksi dinding bronkus.
4. Infection theory.
Infeksi dan respons inflamasinya merupakan penyebab utama dan yang
menyebabkan kerusakan struktur penunjang dinding bronkus.

Dari keempat teori tersebut, hanya infection theory yang didukung dengan penelitian
model hewan percobaan.
Secara umum, bronkiektasis merupakan kelainan yang bersifat permanen dan
ireversibel.
Patofisiologinya diduga sebagai berikut.
1. Traksi dari saluran respiratorik yang kolaps, penonjolan saluran respiratorik
akibat sekresi sisa, perubahan dinding bronkial akibat infeksi atau inflamasi,
atau kombinasi ketiga mekanisme tersebut.
2. Infeksi akut atau berulang, obstruksi kronis akibat kelainan kongenital, tumor,
fibrosis kistik, asma kronis, atau imunodefisiensi merupakan faktor pendukung
terjadinya bronkiektasis.
3. Jejas berulang saluran respiratorik akibat aspirasi kronis, dengan atau tanpa
GER sebagai salah satu faktor penyebab.

Pada bronkiektasis terjadi beberapa perubahan pada anatomi saluran respiratorik.


Awalnya, kelainan yang terlihat secara makroskopis berupa dilatasi fusiformis atau
silindris bronkus subsegmental. Daerah yang terdiri dari dilatasi dan konstriksi yang
bergantian disebut sebagai varicose bronchiectasis. Pada stadium selanjutnya
terjadi dilatasi sakular.
● Secara patologis dan radiologis, bronkiektasis diklasifikasikan menjadi:
Bronkiektasis silindris atau tubular, dengan karakteristik hanya terdapat pelebaran
saluran respiratorik.
● Bronkiektasis varikosa, dengan karakteristik adanya daerah konstriksi fokal di
sepanjang saluran respiratorik yang mengalami pelebaran sebagai akibat
kerusakan dinding bronkus (gambaran seperti varises vena).
● Bronkiektasis sakular atau kistik, dengan karakteristik dilatasi saluran
respiratorik yang progresif dan berakhir dengan terbentuknya kista besar,
sakulus berisi cairan atau mukus, atau berkelompok seperti buah anggur
(grape-like clusters). Adanya gambaran seperti ini menunjukkan bronkiektasis
berat.

Perubahan mikroskopis pada bronkiektasis pertama kali dilaporkan sekitar tahun


1940 hingga 1950-an. Secara mikroskopis terjadi perubahan yang berlangsung
terus-menerus. Pada bronkiektasis bentuk silindris, yang terjadi adalah destruksi
fokal jaringan elastis, edema, dan infiltrasi sel inflamasi di sekitar parenkim. Sejalan
dengan proses tersebut, maka infiltrasi sel inflamasi terus berlangsung, disertai
kerusakan lapisan otot, dan akhirnya terjadi destruksi kartilago di sekeliling saluran
respiratorik.
Pelebaran bronkus dihubungkan dengan hilangnya silia, terjadinya metaplasia
skuamosa dan kuboid pada epitel kolumner di daerah yang terkena, hipertrofi
kelenjar bronkial, dan hiperplasia limfoid. Proses ini diikuti juga dengan adanya
perubahan vaskular berupa pelebaran arteri bronkial, serta anastomosis antara arteri
bronkial dan arteri pulmoner yang terletak di bronki subsegmental distal.
Perubahan-perubahan ini dihubungkan dengan infeksi bakteri kronis. Konsep vicious
cycle yang dikemukakan oleh Peter Cole dan kawan-kawan telah disepakati untuk
diterima. Teori tersebut menyatakan bahwa infeksi bakteri endobronkial yang kronis
menyebabkan inflamasi dan kerusakan saluran respiratorik, sehingga bronkus
melebar. Pelebaran

saluran respiratorik menyebabkan stasis mukosilier, yang nantinya akan


mencetuskan infeksi bakteri lebih lanjut lagi, lebih meningkatkan inflamasi saluran
respiratorik, dan selanjutnya lebih banyak lagi dilatasi bronkial yang terjadi.
Pada penderita bronkiektasis yang stabil, saluran respiratorik-bawah menunjukkan
kolonisasi oleh potential pathogenic microorganism (PPMs), yang pada penelitian
pada orang dewasa mikroorganismenya adalah Haemophilus influenzae (55%) dan
spesies Pseudomonas (26%). Bukti ilmiah menunjukkan bahwa kolonisasi saluran
respiratorik-distal oleh PPMs sangat membahayakan pasien bronkiektasis, karena
mikroorganisme ini merupakan risiko untuk infeksi paru, dan akan mengeluarkan
mediator inflamasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan paru progresif dan
obstruksi saluran respiratorik.

Etiologi
Penelitian terdahulu melaporkan bahwa 70% pasien bronkiektasis memiliki penyakit
yang mendasari/penyebab terjadinya bronkiektasis, sedangkan sisanya masih
idiopatik. Dengan meningkatnya teknik diagnostik, maka proporsi pasien yang
idiopatik mengalami perubahan, terutama dengan dikenalnya kelainan imunologis
seperti defisiensi antibodi fungsional, dan meningkatnya fasilitas untuk menilai
adanya primary ciliary dyskinesia (PCD). Etiologi lainnya adalah konsekuensi dari
kerusakan akibat community acquired pneumonia (CAP). Telah dilakukan kajian
pada anak penduduk asli di Alaska yang lahir tahun 1970, dan didapatkan hasil
bahwa pneumonia rekuren merupakan penyakit utama yang menyebabkan
kerusakan bronkus. Akan tetapi saat ini, dengan pemberian imunisasi, kerusakan
pascainfeksi sepertinya menjadi berkurang. Penelitian mengenai adanya pengaruh
penyakit pneumonia terhadap terjadinya bronkiektasis merupakan hal yang rumit,
karena pada kenyataannya seringkali terdapat keterlambatan atau jeda waktu antara
penyakit infeksi akut dengan saat diketahuinya penyakit paru supuratif kronis.
Semua penyebab bronkiektasis mempunyai patofisiologi yang sama, yaitu adanya
inflamasi dan infeksi kronis atau rekuren yang menyebabkan kerusakan progresif
kartilago, sehingga terjadi pelebaran bronkus yang permanen. Selanjutnya, keadaan
ini menyebabkan drainase pulmonal menjadi tidak efektif. Adanya infeksi sekunder
pada segmen bronkial yang terkena memudahkan terjadinya overgrowth bakteri
opurtunistik dan supurasi. Seluruh keadaan ini bermanifestasi sebagai batuk
produktif dengan sputum berwarna kehijauan.

Beberapa laporan kasus menjelaskan adanya bronkiektasis (konfirmasi dengan


gambaran patologis) dengan manifestasi batuk kronis, tetapi tidak disertai dengan
produksi sputum. Penyakit ini diidentifikasikan sebagai bronchiectasis sicca atau dry
bronchiectasis. Pada keadaan ini, hemoptisis merupakan manifestasi yang biasa
ditemukan. Bronkiektasis akibat TB biasanya tidak memproduksi banyak sputum bila
lobus paru-atas yang terkena, karena drainase sekret yang lebih baik, sehingga
infeksi rekuren tidak terjadi. Mengacu pada hal ini, maka anak dengan TB paru yang
telah mendapat pengobatan adekuat dan tetap mengalami batuk kering persisten,
bronchiectasis sicca harus menjadi salah satu diagnosis bandingnya.
Secara umum, berikut ini adalah beberapa penyebab bronkiektasis:

● Infeksi campak, TB, dan pertusis, terutama di negara yang sedang


berkembang.
Strategi program imunisasi pada anak telah berhasil menurunkan insidens
bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis. Di sisi lain, ternyata infeksi saluran
respiratorik lainnya yang terjadi pada anak juga dapat menyebabkan kerusakan
saluran respiratorik yang permanen.
● Aspirasi benda asing.
Keberadaan benda asing yang lama di dalam jalan napas akan menyebabkan
obstruksi kronis dan inflamasi. Kedua hal tersebut adalah faktor terpenting pada
proses terjadinya bronkiektasis.
● Kelainan kongenital.
1. Fibrosis kistik (terutama di negara maju).
Adanya infiltrasi yang tampak di lobus paru-atas pada foto rontgen toraks, dan
ditemukannya pertumbuhan S. aureus atau P. aeruginosa pada kultur sputum,
merupakan tanda bahwa fibrosis kistik merupakan penyakit yang mendasarinya.
Adanya peningkatan konsentrasi natrium dan klorida pada sweat chloride test
mendukung kistik fibrosis.
2. Primary cilliary dyskinesia (PCD).
Primary cilliary dyskinesia adalah keadaan kurang atau tidak berfungsinya silia,
sehingga sekret bertumpuk dan terjadi infeksi rekuren, yang selanjutnya
menyebabkan bronkiektasis. Kelainan ini bersifat diturunkan sebagai autosomal
resesif. Lebih kurang 50% pasien dengan PCD menunjukkan sindrom Kartagener
(bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus).
3. Marfan syndrome.
Wood dkk. (1984) menyatakan bahwa rentannya pasien sindrom Marfan terhadap
kejadian bronkiektasis adalah akibat kelemahan jaringan ikat.
4. Bruton agammaglobulinemia.
5. Mounier-Kuhn syndrome (congenital tracheobronchomegaly), yaitu
kelainan jaringan ikat.
6. Williams-Campbell syndrome, yaitu tidak adanya otot dan kartilago
bronkus. Sekuestrasi paru.
● Defisiensi imun.
Individu yang menunjukkan sindrom defisiensi imun yang melibatkan defisiensi IgG,
IgM, dan IgA mempunyai risiko mendapatkan infeksi sinopulmoner supuratif
berulang dan bronkiektasis.
● Kelainan jaringan ikat, meliputi rheumatoid arthritis (RA) dan systemic lupus
erythematosus(SLE).
Bronkiektasis berhubungan dengan RA dijelaskan sebagai berikut: bronkiektasis
mendahului terjadinya artritis atau terjadi selama perjalanan penyakit RA. Di klinik
khusus RA, kejadian bronkiektasis terjadi pada 1−3% pasien RA, tetapi dengan
penggunaan HRCT, prevalensnya meningkat hingga 30%.
● Infeksi HIV.
Pasien pengidap HIV sering mengalami infeksi saluran respiratorik berulang dan
menunjukkan jumlah sel CD4 yang rendah.
Komplikasi allergic bronchopulmonary fungal diseases (misalnya allergic
bronchopulmonary aspergillosis/ABPA).
Allergic bronchopulmonary aspergillosis adalah suatu keadaan yang melibatkan
pasien asma dengan menyebabkan kerusakan saluran respiratorik akibat berbagai
faktor. Bronkiektasis pada pasien dengan ABPA disebabkan oleh reaksi imun
terhadap aspergilus, mikotoksin, elastase, IL-4, dan IL-5, yang pada tahap akhir
akibat invasi langsung dari fungus ke saluran respiratorik.
Defisiensi alpha 1-antitrypsin (alpha1-protease) inhibitor.

Manifestasi klinis
Bronkiektasis pada anak kebanyakan ditemukan pada usia prasekolah dan usia
awal sekolah. Dari anamnesis diketahui adanya batuk yang produktif serta
pengeluaran banyak sputum yang biasanya berubah dari jernih menjadi kekuningan
bahkan kuning kehijauan yang berlangsung lebih dari 6 minggu. Batuk ditemukan
pada 97% kasus bronkiektasis anak, sedangkan sputum ditemukan pada 46%
kasus. Sputum yang dihasilkan dapat bersifat mukoid, mukopurulen, kental, atau
blood-streak sputum. Batuk produktif merupakan tanda khas dari bronkiektasis.
Batuk biasanya terjadi pada pagi hari dan semakin memberat pada siang hari. Pada
anak, adanya peningkatan produksi sputum sulit dinilai karena kebanyakan anak
terutama balita belum mampu mengeluarkan sputum dan biasanya menelan sputum
tersebut. Meskipun kadang- kadang dapat terjadi hemoptisis (14%), tetapi keadaan
ini jarang terjadi pada anak.
Demam merupakan keluhan yang tidak selalu ditemukan. Keluhan lain yaitu sesak
napas dan mengi, yang masing-masing terjadi pada 7% dan 21% kasus. Pada
beberapa pasien sering disebut sebagai batuk varian asma (cough variant asthma)
yang tidak respon terhadap obat anti- asma. Anoreksia dan kenaikan berat badan
yang tidak adekuat terjadi seiring perjalanan proses penyakit.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya batuk produktif, disertai dengan crackles
(pada 82% pasien) atau ronki kasar (pada 44% pasien), terutama di daerah
lobus-bawah kiri dan lobus- tengah kanan; kadang-kadang juga dapat terdengar
mengi (pada 21% pasien). Perkusi pekak merupakan pemeriksaan fisis toraks yang
juga dapat ditemukan.
Salah satu hal yang dapat menerangkan mengi adalah adanya riwayat asma yang
dapat terjadi pada 30% anak dengan bronkiektasis.
Jari tabuh (clubbing of the fingers) dilaporkan terdapat pada 37−51% pasien dan
menghilang setelah dilakukan reseksi daerah paru yang terkena. Adanya jari tabuh
pada pasien tanpa penyakit jantung kongenital biasanya menandakan bronkiektasis
yang ireversibel.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka yang penting adalah dapat
mengidentifikasi atau menduga adanya bronkiektasis, yaitu misalnya pada anak
yang mengalami pneumonia rekuren, atau dengan infiltrat atau atelektasis yang
menetap selama 12 minggu.

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan laboratorium harus dapat menyingkirkan etiologi yang mungkin dapat
menyebabkan bronkiektasis, yaitu:
● Sweat chloride, yang merupakan pemeriksaan untuk fibrosis kistik.
● IgE, hitung eosinofil, dan presipitan serum untuk Aspergilus, kultur sputum
untuk jamur, dan uji kulit terhadap Aspergilus. Pemeriksaan ini berguna untuk
menyingkirkan adanya ABPA.
● Pemeriksaan darah rutin lengkap.
● IgG, IgM, dan IgA serum.
● IgG subklas.
● Uji HIV.
● Kultur sputum atau apus orofaring dalam, dilakukan pada anak yang masih
kecil.
● Antinuclear antibody dan rheumatoid factor.

Pemeriksaan bronkografi
Secara tradisional, pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosis, karena
pemeriksaan radiologis yaitu foto rontgen toraks relatif tidak sensitif.
Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen toraks postero-anterior (PA) dan lateral tetap menjadi pemeriksaan
tahap awal yang penting, meskipun gambaran radiologis yang normal tidak dapat
menyingkirkan adanya kemungkinan bronkiektasis. Sembilan puluh persen pasien
bronkiektasis menunjukkan kelainan pada foto rontgen toraksnya. Meskipun foto
rontgen toraks menunjukkan gambaran yang tidak spesifik, tetapi dapat ditemukan
beberapa gambaran seperti hilangnya bronchovascular markings, rongga kistik
dengan air-fluid levels atau honeycomb appearance, bayangan opak yang
menyebar, atelektasis linear, atau saluran respiratorik yang tampak melebar dan
menebal yang tampak sebagai ring-like shadows atau tram lines. Selain itu, dapat
pula terlihat overinflasi daerah paru yang tidak terkena.

High resolution CT
Saat ini diagnosis bronkiektasis ditegakkan dengan menggunakan HRCT (level of
evidence 1b). Pemeriksaan ini dapat mengklarifikasi foto rontgen toraks dan
memetakan kelainan saluran respiratorik yang tidak bias yang terlihat dengan foto
rontgen toraks. Gambaran HRCT yang dihasilkan dapat berupa:
● silindrikal (tramlines), signet ring appearance
● varikosa (varicose)
● kistik
● bentuk campuran.

Diagnosis banding
Diagnosis banding bronkiektasis meliputi hemosiderosis, hipersensitivitas
pneumonitis, obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), right middle-lobe
syndrome, sarkoidosis, trakeomalasia.

Tatalaksana
Data penelitian uji klinis yang mengetengahkan penatalaksanaan bronkiektasis
masih kurang dan menyebabkan keterbatasan informasi mengenai
petunjuk/guidelines mengenai penatalaksanaannya. Akan tetapi, ada dua prinsip
penatalaksanaan bronkiektasis yang dapat digunakan, yaitu mengatasi obstruksi
saluran respiratorik dan mengatasi infeksi.

1. Mengatasi obstruksi saluran respiratorik.


● Chest physiotherapy
Peranan chest physiotherapy dalam pengelolaan bronkiektasis anak masih belum
jelas. Meskipun teknik fisioterapi telah terbukti bermanfaat dalam produksi sputum
pada penderita dewasa, tetapi hal ini tidak dapat diekstrapolasikan pada anak.
● Postural drainage
2. Mengatasi infeksi.
Antibiotik diperlukan selama terjadi eksaserbasi akut. Jenis antibiotik bergantung
pada identifikasi dan sensitivitas organisme yang ditemukan pada pemeriksaan
sputum atau bronchoalveolar lavage.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisme yang paling sering diisolasi pada
anak adalah H. influenzae bentuk noncapsulated dan bentuk ini tidak dapat dicegah
dengan vaksinasi. Lama pemberian antibiotik parenteral adalah berkisar antara 2−6
minggu.

Pemberian antiinflamasi
Pemberian kortikosteroid inhalasi juga dimungkinkan untuk mengatur respons dan
mencegah kerusakan akibat inflamasi paru. Kortikosteroid inhalasi yang dapat
diberikan meliputi flutikason, budesonid, atau beklometason. Meskipun demikian,
belum ada bukti yang cukup mendukung untuk merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid oral dan inhalasi tersebut.

Bronkodilator
Indikasi pemberian bronkodilator yaitu bila terdapat bukti adanya hiperreaktivitas
bronkial, karena obat ini membantu meningkatkan frekuensi gerakan silia dan klirens
mukus. Akan tetapi, beberapa pasien dapat memberikan respons paradoxic
bronchoconstriction terhadap pemberian ß2-agonis, karena itu perlu dilakukan
penilaian respons terlebih dahulu sebelum memulai terapi bronkodilator. Pemberian
obat asma harus bersifat individual, selain itu belum ada cukup data yang
mendukung dan berbasis bukti ilmiah untuk merekomendasikan pemberian ß2-
agonis, mukolitik, maupun metilsantin. Hingga saat ini bukti yang ada hanya
berdasarkan laporan kasus.

Operasi
Reseksi segmental atau reseksi lobus paru dapat bermanfaat pada keadaan
bronkiektasis berat dan yang terlokalisir, atau yang tidak teratasi dengan pemberian
antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik spektrum luas dapat
memberikan perbaikan yang cukup bermakna, sehingga tindakan bedah dapat
ditunda. Algoritma evaluasi dan tatalaksana bronkiektasis dapat dilihat pada gambar
5.12.1.

Prognosis
Meskipun penyebab bronkiektasis tidak dapat ditentukan pada lebih kurang 50%
kasus, tetapi bila identifikasi defisiensi imun humoral, infeksi mikobakteri atau
Pseudomonas, serta fibrosis kistik atau ABPA dapat ditentukan, maka hal ini dapat
meramalkan prognosis dan penatalaksanaannya.
Bila penyebab kerusakan diketahui dini dan diberikan tindakan secara dini pula,
maka prognosis bronkiektasis pada anak cukup baik. Pertumbuhan jaringan paru
baru pada anak terjadi secara cepat saat anak berusia di bawah 6 tahun dan mulai
menurun sejak setelah masa anak. Jejas yang terjadi pada usia muda mudah
dikompensasi dengan pertumbuhan paru normal yang sehat bila penyebab
bronkiektasis tidak berkelanjutan. Bila anak memiliki masalah yang menjadi
predisposisi terjadinya bronkiektasis, tindakan yang dilakukan adalah memperlambat
progresivitas penyakit.
PPOK

1. Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan gangguan pernapasan dengan
ciri khas:
• Gejala gangguan pernapasan yang persisten
• Keterbatasan aliran udara yang umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan
Emfisema paru, penyakit paru progresif, adalah salah satu bentuk penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Inisiatif Global untuk penyakit paru obstruktif kronik (GOLD) mendefinisikan
PPOK sebagai “penyakit umum, dapat dicegah, dan diobati yang ditandai dengan gejala
pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan saluran
napas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan terhadap
penyakit paru obstruktif kronik. partikel atau gas berbahaya."

COPD merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan penyebab
kematian nomor empat di seluruh dunia. Perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menunjukkan bahwa penyakit ini akan menjadi penyebab kematian ketiga paling umum di
seluruh dunia pada tahun 2020. COPD mencakup pasien dengan bronkitis kronis dan
emfisema. Meskipun diidentifikasi sebagai entitas yang terpisah, sebagian besar pasien
PPOK memiliki ciri-ciri keduanya. PPOK sering kali muncul bersamaan dengan penyakit
penyerta, sehingga memengaruhi perjalanan penyakit.

Emfisema pada dasarnya merupakan diagnosis patologis yang mempengaruhi ruang udara
distal bronkiolus terminal. Hal ini ditandai dengan pembesaran permanen ruang udara
paru-paru yang tidak normal disertai rusaknya dinding paru-paru tanpa adanya fibrosis dan
rusaknya parenkim paru-paru disertai hilangnya elastisitas.

Etiologi

Emfisema disebabkan oleh paparan gas berbahaya yang kronis dan signifikan, dimana
merokok tetap menjadi penyebab paling umum, dan 80% hingga 90% pasien PPOK adalah
perokok, dengan 10% hingga 15% perokok mengalami PPOK. Namun, pada perokok,
gejalanya juga bergantung pada intensitas merokok, tahun paparan, dan fungsi paru-paru
awal. Gejala biasanya dimulai setelah setidaknya 20 bungkus tembakau per tahun.

Bahan bakar biomassa dan polutan lingkungan lainnya seperti sulfur dioksida dan bahan
partikulat diakui sebagai penyebab penting di negara-negara berkembang yang sangat
mempengaruhi perempuan dan anak-anak. Penyakit resesif autosomal herediter yang
langka, defisiensi antitripsin alfa satu, juga dapat menyebabkan emfisema dan kelainan hati.
Namun, hal ini hanya berkontribusi pada 1% hingga 2% kasus PPOK. Ini merupakan faktor
risiko yang terbukti dan dapat muncul pada emfisema pan-asinar bibasilar di awal
kehidupan.

Faktor etiologi lainnya adalah perokok pasif, infeksi paru-paru, dan alergi. Selain itu, berat
badan lahir rendah saat baru lahir membuat seseorang lebih rentan terkena PPOK di
kemudian hari.

Epidemiologi

Emfisema, sebagai bagian dari COPD, adalah penyakit yang menyerang banyak orang di
seluruh dunia. Pada tahun 2016, Global Burden of Disease Study melaporkan prevalensi
251 juta kasus PPOK secara global. Sekitar 90% kematian akibat PPOK terjadi di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) merupakan penyebab kematian ketiga di seluruh dunia, menyebabkan 3,23 juta
kematian pada tahun 2019.

Prevalensi emfisema di Amerika Serikat adalah sekitar 14 juta, yang mencakup 14% pria
kulit putih perokok dan 3% pria kulit putih bukan perokok. Prevalensinya sedikit lebih rendah
pada perokok perempuan kulit putih dan warga Amerika keturunan Afrika. Kelompok pasien
ini cenderung mengembangkan emfisema setelah waktu paparan yang lebih singkat
dibandingkan populasi pasien lainnya.

Angka kejadian penyakit ini secara perlahan meningkat terutama karena meningkatnya
kebiasaan merokok dan pencemaran lingkungan. Faktor lain yang berkontribusi adalah
penurunan angka kematian akibat penyebab lain, seperti penyakit kardiovaskular dan
infeksi. Faktor genetik juga berperan penting dalam menentukan kemungkinan terjadinya
keterbatasan aliran udara pada pasien.

Tingkat keparahan emfisema secara signifikan lebih tinggi pada pneumokoniosis pekerja
batubara, dan hal ini tidak tergantung pada status merokok.

Faktor Risiko

- Umur
- Merokok
- Polusi udara/lingkungan kerja
- infeksi
- Defisiensi alfa-1 tripsin

Patogenesis dan Patofisiologi

Manifestasi klinis emfisema merupakan akibat kerusakan saluran napas distal bronkiolus
terminal, yang meliputi bronkiolus respiratorik, kantung alveolar, saluran alveolar, dan alveoli
yang secara kolektif dikenal sebagai asinus. Terdapat dilatasi permanen yang tidak normal
pada ruang udara dan kerusakan dindingnya akibat kerja proteinase. Hal ini mengakibatkan
penurunan luas permukaan alveolar dan kapiler, sehingga menurunkan pertukaran gas.
Bagian asinus yang terkena menentukan subtipenya.

Secara patologis dapat dibagi menjadi berikut ini:

Sentrilobular (asinar proksimal) adalah jenis yang paling umum dan umumnya dikaitkan
dengan kebiasaan merokok. Hal ini juga dapat dilihat pada pneumokoniosis pekerja
batubara.

Panacinar paling sering terlihat dengan defisiensi antitripsin alfa satu.


Paraseptal (asinar distal) dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan dua gejala di atas.
Bila terjadi sendirian, hubungan yang biasa terjadi adalah pneumotoraks spontan pada
orang dewasa muda.
Setelah paparan asap berbahaya dalam jangka panjang, sel-sel inflamasi seperti makrofag,
neutrofil, dan limfosit T direkrut, yang berperan penting dalam perkembangan emfisema.
Pertama, makrofag diaktifkan, yang melepaskan faktor kemotaksis neutrofil seperti
leukotrien B4 dan interleukin-8. Setelah neutrofil direkrut, makrofag akan melepaskan
banyak proteinase dan menyebabkan hipersekresi mukus.

Elastin merupakan komponen penting dari matriks ekstraseluler yang diperlukan untuk
menjaga integritas parenkim paru dan saluran udara kecil. Ketidakseimbangan
elastase/anti-elastase meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan paru-paru yang
menyebabkan perluasan wilayah udara. Katepsin dan protease turunan neutrofil (yaitu
elastase dan proteinase) bekerja melawan elastin dan menghancurkan jaringan ikat
parenkim paru. Sel T sitotoksik melepaskan TNF-a dan perforin, yang menghancurkan sel
epitel dinding alveolar.

Merokok tidak hanya menyebabkan hipersekresi lendir dan pelepasan enzim proteolitik
neutrofilik, tetapi juga menghambat enzim anti-proteolitik dan makrofag alveolar.
Polimorfisme genetik berperan dalam produksi antiprotease yang tidak memadai pada
perokok. Semua ini berkontribusi terhadap perkembangan emfisema.

Parenkim paru menghasilkan alpha one antitrypsin (AAT), yang menghambat trypsinize dan
neutrofil elastase di paru. Defisiensi AAT dapat menyebabkan emfisema panacinar.

Manifestasi klinis

Kebanyakan pasien datang dengan gejala yang sangat tidak spesifik berupa sesak napas
kronis dan batuk dengan atau tanpa produksi dahak. Seiring berkembangnya proses
penyakit, sesak napas dan batuk semakin memburuk. Awalnya, terdapat dispnea saat
beraktivitas dengan aktivitas fisik yang signifikan, terutama kerja lengan setinggi atau di atas
bahu, yang kemudian berkembang menjadi dispnea dengan aktivitas sederhana sehari-hari
dan bahkan saat istirahat. Beberapa pasien mungkin mengalami mengi karena hambatan
aliran udara.

Seiring berkembangnya PPOK, pasien dapat kehilangan berat badan secara signifikan
karena peradangan sistemik dan peningkatan energi yang dihabiskan untuk kerja
pernapasan. Selain itu, sering terjadi eksaserbasi intermiten seiring dengan meningkatnya
penyumbatan saluran napas. Episode eksaserbasi PPOK dapat ditandai dengan
peningkatan sesak napas, peningkatan keparahan batuk, dan peningkatan dahak, yang
biasanya disebabkan oleh infeksi atau faktor lingkungan.

Riwayat merokok merupakan hal yang penting, dengan penekanan pada usia orang tersebut
mulai merokok dan jumlah tahun merokok. Jika orang tersebut telah berhenti merokok,
penting untuk mengetahui berapa tahun telah berlalu sejak terakhir kali dia merokok.
Riwayat paparan lingkungan dan pekerjaan serta riwayat keluarga dengan kondisi
pernapasan kronis dan PPOK sangat penting.

Pada tahap awal penyakit, pemeriksaan fisik mungkin normal. Pasien dengan emfisema
biasanya disebut sebagai “pink puffers,” yang berarti cachectic dan non-cyanotic. Ekspirasi
melalui bibir yang mengerucut meningkatkan tekanan saluran napas dan mencegah kolaps
saluran napas selama pernapasan, dan penggunaan otot bantu pernapasan
mengindikasikan penyakit lanjut. Jari tabuh bukan tipikal PPOK. Banyak penyakit penyerta
lainnya yang mungkin terjadi. Perokok saat ini mungkin memiliki bau asap dan noda nikotin
pada tangan dan kuku.

Perkusi mungkin normal pada awal penyakit. Pemeriksaan selanjutnya dapat berkisar dari
ekspirasi berkepanjangan atau mengi saat ekspirasi paksa hingga peningkatan resonansi,
yang menunjukkan hiperinflasi seiring dengan meningkatnya obstruksi jalan napas. Pada
auskultasi terdengar bunyi napas jauh, mengi, ronki pada dasar paru, dan/atau bunyi
jantung jauh.

Pemeriksaan Penunjang

Emfisema adalah diagnosis patologis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium dan
radiografi rutin tidak diindikasikan.

Tes fungsi paru (PFT), khususnya spirometri, adalah diagnosis utama. Tes pasca
bronkodilator dapat dilakukan pada pasien dengan nilai abnormal. PPOK hanya bersifat
reversibel sebagian atau ireversibel dengan bronkodilator, dan FEV1/FVC pasca
bronkodilator kurang dari 0,07, yang bersifat diagnostik.

Penentuan stadium GOLD berdasarkan tingkat keparahan keterbatasan aliran udara adalah
sebagai berikut:

- Ringan dengan FEV1 lebih besar atau sama dengan perkiraan 80%.
- Sedang dengan FEV1 kurang dari perkiraan 80%.
- Parah dengan FEV1 kurang dari 50% perkiraan
- Sangat parah dengan FEV1 kurang dari perkiraan 30%.

Pengukuran volume paru-paru yang menunjukkan adanya perangkap udara pada emfisema
menunjukkan peningkatan volume residu dan kapasitas total paru-paru. Kapasitas difusi
karbon monoksida berkurang karena kerusakan emfisematous pada membran paru kapiler
alveolar.

Rontgen dada hanya membantu dalam diagnosis jika emfisema parah, namun biasanya
merupakan langkah pertama ketika mencurigai adanya PPOK untuk menyingkirkan
penyebab lainnya. Penghancuran alveoli dan terperangkapnya udara menyebabkan
hiperinflasi paru-paru dengan mendatarnya diafragma, dan jantung tampak memanjang dan
berbentuk tabung.

Gas darah arteri biasanya tidak diperlukan pada PPOK ringan sampai sedang. Hal ini
dilakukan ketika saturasi oksigen berada di bawah 92% atau ketika penilaian hiperkapnia
diperlukan pada obstruksi aliran udara yang parah.

Diagnosis
Penatalaksanaan

Belum ada pengobatan pasti yang dapat mengubah proses penyakit. Namun, modifikasi
faktor risiko dan pengelolaan gejala telah terbukti efektif dalam memperlambat
perkembangan penyakit dan mengoptimalkan kualitas hidup.

Berdasarkan gejala dan jumlah eksaserbasinya, kita dapat membagi penyakit ini menjadi 4
stadium COPD GOLD dan memodifikasi pengobatannya.

Terapi Medis
Terapi medis mencakup penggunaan bronkodilator saja atau dikombinasikan dengan obat
antiinflamasi seperti kortikosteroid dan inhibitor fosfodiesterase-4.

Bronkodilator

Mekanisme kerja utama dapat dibagi menjadi dua kategori: agonis beta2 dan obat
antikolinergik. Mereka adalah obat lini pertama untuk COPD dan diberikan melalui inhalasi.
Mereka diketahui meningkatkan FEV1 dengan mengubah tonus otot polos saluran udara
dan dengan demikian meningkatkan toleransi latihan. Bronkodilator biasanya diberikan
secara teratur untuk mencegah dan mengurangi gejala, eksaserbasi, dan rawat inap.

Agonis beta 2 kerja pendek (SABA) dan antagonis muskarinik kerja pendek (SAMA)
biasanya diresepkan sesuai kebutuhan untuk penatalaksanaan dispnea intermiten. Agonis
beta 2 kerja panjang (LABA) dan antagonis muskarinik kerja panjang (LAMA) digunakan,
terutama pada kasus dispnea yang meningkat atau dispnea yang lebih dari sekadar
sesekali. Jika gejalanya menetap saat menggunakan satu bronkodilator, bronkodilator lain
harus ditambahkan.

Agonis beta 2 menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas. SABA, seperti albuterol,
dapat digunakan dengan atau tanpa antikolinergik. SABA adalah andalan dalam
eksaserbasi PPOK. LABA meliputi formoterol, salmeterol, indacaterol, olodaterol, vilanterol,
dan lain-lain. Efek sampingnya adalah aritmia, tremor, dan hipokalemia. Perhatian harus
diberikan pada gagal jantung karena takikardia dapat memicu gagal jantung.

Antikolinergik menghambat bronkokonstriksi yang diinduksi asetil-kolin. SAMA mencakup


ipratropium dan oksitropium. LAMA, seperti tiotropium, dapat diberikan sekali sehari.

Kortikosteroid inhalasi (ICS) adalah terapi tambahan untuk bronkodilator dalam terapi
lanjutan. ICS termasuk beclomethasone, budesonide, fluticasone, dll. Efek samping yang
umum adalah infeksi lokal, batuk, dan pneumonia. Kortikosteroid sistemik oral digunakan
untuk semua pasien dengan PPOK eksaserbasi dan dihindari pada pasien stabil karena
efek samping yang lebih besar.

Inhibitor Phosphodiesterase-4 oral seperti roflumilast bekerja dengan mengurangi


peradangan dan dapat ditambahkan jika terdapat hambatan aliran udara yang parah dan
tidak ada perbaikan dengan obat-obatan di atas.

Terapi inhalasi rangkap tiga (LABA+ LAMA+ ICS) baru-baru ini disetujui oleh FDA dan hanya
diminum sekali sehari.

Terapi augmentasi antitripsin alfa1 intravena untuk pasien AATD. Mahalnya biaya dan
kurangnya ketersediaan menjadi keterbatasan utama terapi ini.

Terapi Suportif

Terapi suportif meliputi terapi oksigen dan dukungan ventilasi, rehabilitasi paru, dan
perawatan paliatif.
Oksigen tambahan rutin tidak meningkatkan kualitas hidup atau hasil klinis pada pasien
stabil. Pemberian oksigen tambahan jangka panjang secara terus menerus, yaitu lebih dari
15 jam, direkomendasikan pada pasien PPOK dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg (atau
saturasi oksigen kurang dari 88%) atau PaO2 kurang dari 59 mm Hg pada kasus kor
pulmonal. Terapi oksigen telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan
hipoksemia istirahat yang parah. Bagi mereka yang mengalami desaturasi saat berolahraga,
oksigen intermiten akan membantu. Tujuannya adalah untuk menjaga saturasi oksigen lebih
besar dari 90%.

Penyebab utama hipoksemia pada PPOK disebabkan oleh ketidakcocokan ventilasi-perfusi


(V/Q mismatch), terutama di daerah dengan V/Q rendah. Vasokonstriksi hipoksia pada arteri
pulmonalis bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pertukaran gas secara keseluruhan.
Oksigen tambahan berhasil mencapai alveoli di paru-paru ini, yang mencegah
vasokonstriksi dan dengan demikian meningkatkan perfusi dan meningkatkan pertukaran
gas, sehingga mengakibatkan perbaikan hipoksemia.

Ventilasi tekanan positif noninvasif (NPPV) diketahui menurunkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan gagal napas akut. Ini harus dicoba sebagai cara ventilasi pertama pada
pasien PPOK eksaserbasi dengan gagal napas yang tidak memiliki kontraindikasi absolut
karena meningkatkan pertukaran gas, mengurangi durasi rawat inap, mengurangi kerja
pernapasan, meningkatkan pencocokan VQ, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Jika
NPPV tidak bekerja pada pasien PPOK di rumah sakit, pasien harus diintubasi dan dipasang
ventilator.

Rehabilitasi paru untuk pasien dengan gejala parah dan eksaserbasi multipel mengurangi
dispnea dan rawat inap dan direkomendasikan untuk GOLD stadium B, C, dan D.

Meskipun tersedia sejak orang tersebut didiagnosis menderita COPD, perawatan paliatif
biasanya direkomendasikan untuk GOLD stadium D. Perawatan ini merupakan perawatan
tambahan pada rencana perawatan pasien yang berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk
memberikan kualitas hidup terbaik. Hal ini tidak hanya berperan dalam penilaian dan
penatalaksanaan gejala, namun juga membantu pasien memahami penyakitnya dan
memfasilitasi diskusi tentang tujuan perawatan pasien, perawatan lanjutan, dan rencana
perawatan di akhir hayatnya. Perencanaan perawatan awal melibatkan komunikasi antara
pasien, keluarga mereka, dan dokter serta membantu pasien merumuskan preferensi
pengobatan mereka. Meyakinkan pasien dengan rencana yang jelas untuk menangani
dispnea pada penyakit lanjut dan pengelolaan depresi dan kecemasan merupakan
komponen penting dari perawatan paliatif. Hal ini dapat ditangani dengan opioid dosis
rendah, modifikasi gaya hidup, dan teknik relaksasi. Kebanyakan pasien meremehkan
penyakit ini, jadi penting untuk mencari waktu transisi dan mendiskusikan perawatan
lanjutan pada tahap awal penyakit. Penting juga untuk mengetahui di mana pasien ingin
menghabiskan hari-hari terakhirnya (misalnya, rumah atau rumah sakit) dan membantu
memberikan mereka kenyamanan sebanyak mungkin.

Terapi Intervensi

Operasi pengurangan volume paru-paru mengurangi hiperinflasi dan meningkatkan


elastisitas kembali.
Transplantasi paru bila FEV1 dan atau DLCO kurang dari 20%.
Intervensi Tambahan

Identifikasi dan pengurangan paparan faktor risiko. Konseling tentang berhenti merokok
adalah satu-satunya intervensi terpenting yang memperlambat perkembangan penyakit ini.
Mengurangi paparan terhadap api terbuka untuk memasak dan meningkatkan ventilasi yang
efisien juga bermanfaat.
Opioid oral setiap hari untuk gejala PPOK parah yang sulit disembuhkan dengan terapi
medis. Suplementasi nutrisi pada pasien malnutrisi dengan PPOK
Vaksin pneumokokus 23 valent setiap lima tahun untuk pasien PPOK berusia lebih dari 65
tahun atau dengan penyakit jantung paru lainnya dan vaksin Influenza untuk semua pasien
PPOK setiap tahun
Tingkat penerimaan kembali dapat dikurangi dengan konseling tentang penggunaan inhaler
dosis terukur (MDI) secara optimal

Penatalaksanaan Pasien PPOK Eksaserbasi

Beta-blocker dan antikolinergik digunakan secara bersamaan. Awalnya dengan nebulizer


dan kemudian beralih ke MDI. Kortikosteroid sistemik (intravena atau oral) terbukti
mempercepat pemulihan dan mengurangi masa rawat inap di rumah sakit. Antibiotik
bermanfaat, terutama jika terdapat batuk yang menghasilkan dahak bernanah. Makrolida
generasi kedua, fluoroquinolones spektrum luas, sefalosporin, dan amoksisilin-klavulanat.
NIPPV dapat bermanfaat pada pasien yang dapat melindungi saluran napasnya dan tidak
memiliki kelainan asam basa berat pada ABG. Sangat sering, pasien dengan PPOK stadium
akhir dengan eksaserbasi diintubasi dan dipasang ventilator. Pasien yang menggunakan
ventilasi harus diwaspadai perkembangan auto-PEEP dan komplikasi terkait.

Pencegahan

- Penghentian merokok
- Vaksinasi terhadap Pneumococcus dan Haemophilus Influenzae.

Perbedaan diagnosa

Penyakit ini muncul dengan gejala yang tidak spesifik, sehingga memiliki diagnosis banding
yang luas. Ini termasuk:

- Asma obstruktif kronik


- Bronkitis kronis dengan spirometri normal
- Fibrosis kistik
- Mikosis bronkopulmoner
- Obstruksi jalan napas sentral
- Bronkiektasis
- Gagal jantung
- TBC
- Bronkiolitis konstriktif
- Anemia
Komplikasi

- Hipertensi paru
- Kor pulmonal
- Gagal napas kronis
- Pneumotoraks spontan

Prognosa

Berbagai indikator prognostik telah dievaluasi sehubungan dengan mortalitas dan morbiditas
yang berhubungan dengan emfisema. Penyakit lain yang hidup berdampingan juga
membuat prognosis pasien PPOK lebih buruk. Misalnya, pasien dengan gejala asma dan
PPOK memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dengan angka kematian yang lebih tinggi.
Demikian pula, pasien dengan emfisema yang mengalami peningkatan kadar antitripsin
alfa-1 serum juga memiliki angka kematian yang lebih tinggi. Penyakit penyerta lain yang
sering ditemui termasuk sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan
bronkiektasis.
Obstructive Sleep Apneu

Definisi dan Klasifikasi

Apnea tidur obstruktif (OSA) ditandai dengan episode kolaps total (apnea) atau kolaps
sebagian (hipopnea) pada saluran napas bagian atas yang disertai dengan penurunan
saturasi oksigen atau gairah dari tidur. Gangguan ini mengakibatkan tidur yang
terfragmentasi dan tidak memulihkan. Gejala lain termasuk mendengkur yang keras dan
mengganggu, apnea saat tidur, dan rasa kantuk yang berlebihan di siang hari. OSA memiliki
implikasi signifikan terhadap kesehatan jantung, penyakit mental, kualitas hidup, dan
keselamatan berkendara.

Etiologi dan Faktor Risiko


Penyempitan dan penutupan faring saat tidur merupakan fenomena yang kompleks, dan
kemungkinan besar terdapat banyak faktor yang berperan dalam patogenesisnya.
Penurunan dorongan ventilasi dan neuromuskular yang berhubungan dengan tidur serta
faktor risiko anatomi kemungkinan besar berperan penting dalam obstruksi saluran napas
bagian atas saat tidur. Faktor anatomi yang menyebabkan penyempitan faring meliputi
lingkar leher yang besar, jaringan lunak, tulang, atau pembuluh darah. Banyak dari struktur
ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan sekitar saluran napas bagian atas yang
mengakibatkan kolapsnya faring dan/atau tidak cukupnya ruang untuk menampung aliran
udara di sebagian saluran napas atas selama tidur. Selain itu, tonus otot saluran napas
bagian atas berperan karena jika tonus tersebut menurun, maka akan terjadi kolaps saluran
napas total atau parsial yang berulang. Penyebab OSA yang paling umum pada orang
dewasa adalah obesitas, jenis kelamin laki-laki, dan usia lanjut. Tingkat keparahan OSA
menurun seiring bertambahnya usia ketika disesuaikan dengan BMI.

Faktor Anatomi :

- Mikrognatia, retrognatia
- Pemanjangan wajah
- Hipoplasia mandibula
- Hipertrofi adenoid dan tonsil
- Perpindahan hyoid ke inferior

Faktor Risiko Nonanatomik :

- Distribusi lemak sentral


- Kegemukan
- Usia lanjut
- Jenis kelamin laki-laki
- Posisi tidur terlentang
- Kehamilan

Faktor Tambahan :

- Penggunaan alkohol
- Merokok
- Penggunaan obat penenang dan hipnotik

Gangguan Medis Terkait :

- Gangguan endokrin (misalnya diabetes melitus, sindrom metabolik, akromegali, dan


hipotiroidisme)
- Gangguan neurologis (misalnya stroke, cedera tulang belakang, dan miastenia
gravis)
- Sindrom Prader Willi
- Sindrom Down
- Gagal jantung kongestif
- Fibrilasi atrium
- Sindrom hipoventilasi obesitas (OHS)

Hubungan antara OSA dan berbagai gangguan medis terutama didasarkan pada studi
observasional dan belum tentu uji klinis acak.

Epidemiologi

Apnea tidur obstruktif adalah kondisi umum dengan konsekuensi buruk yang signifikan. OSA
(menggunakan definisi 5 atau lebih kejadian/jam) mempengaruhi hampir 1 miliar orang di
seluruh dunia, dengan 425 juta orang dewasa berusia 30-69 tahun menderita OSA sedang
hingga berat (15 kejadian atau lebih/jam). Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa 25-30%
pria dan 9-17% wanita memenuhi kriteria apnea tidur obstruktif. Prevalensi lebih tinggi pada
populasi Hispanik, Kulit Hitam, dan Asia. Prevalensinya juga meningkat seiring
bertambahnya usia, dan ketika seseorang mencapai usia 50 tahun atau lebih, jumlah
perempuan dan laki-laki yang mengidap kelainan ini sama banyaknya. Meningkatnya
prevalensi OSA berhubungan dengan meningkatnya angka obesitas yang berkisar antara
14% dan 55%. Telah dilaporkan bahwa terdapat komponen genetik karena beberapa faktor
risiko, termasuk obesitas dan struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas, diturunkan
secara genetik.

Patofisiologi

Obstruksi saluran napas bagian atas saat tidur sering kali disebabkan oleh penurunan
tekanan negatif selama inspirasi; namun, penyempitan ekspirasi progresif di area
retropalatal memainkan peranan penting. Besarnya penyempitan saluran napas bagian atas
saat tidur sering dikaitkan dengan indeks massa tubuh, yang menunjukkan bahwa faktor
anatomi dan neuromuskular berkontribusi terhadap obstruksi jalan napas. Untuk memahami
mekanisme OSA, akan berguna jika menggunakan konsep hubungan tekanan-aliran melalui
tabung yang dapat dilipat. Informasi tambahan mengenai faktor risiko tersedia di bagian
etiologi.

Manifestasi Klinis

Pasien dengan dugaan OSA biasanya datang dengan rasa kantuk yang berlebihan di siang
hari, mendengkur keras, terengah-engah, tersedak, atau henti napas saat tidur yang
disaksikan oleh pasangan tidurnya. Kantuk di siang hari yang berlebihan adalah salah satu
gejala yang paling umum. Namun sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala.
Banyak pasien hanya melaporkan kelelahan di siang hari dengan atau tanpa gejala terkait
lainnya. Oleh karena itu, perbedaan antara kantuk dan kelelahan harus dinilai secara
objektif. Skala Kantuk Epworth (ESS) dapat digunakan untuk mengevaluasi secara
kuantitatif tingkat keparahan kantuk. Skor ESS berkisar antara 0 hingga 24, dan lebih dari 9
poin menunjukkan adanya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan memerlukan
penilaian tambahan. Skala tingkat keparahan kelelahan juga dapat menilai tingkat
keparahan gejala kelelahan. Menggunakan ESS dan FSS biasanya membantu karena
gejala kantuk dan kelelahan dapat muncul secara bersamaan. Gejala lainnya bervariasi dari
sakit kepala di pagi hari dan insomnia yang dilaporkan sendiri hingga nokturia. Gejala
insomnia awal tidur dan insomnia pemeliharaan tidur paling banyak dilaporkan oleh wanita.

Kuesioner STOP - BANG adalah salah satu alat skrining OSA yang paling banyak diterima.

- Mendengkur: Apakah Anda mendengkur dengan keras (lebih keras daripada


berbicara atau cukup keras hingga terdengar melalui pintu tertutup)?
- Lelah: Apakah Anda sering merasa lelah, letih, atau mengantuk di siang hari?
- Observasi: Adakah yang mengamati Anda berhenti bernapas saat tidur?
- Tekanan darah: Apakah Anda sedang atau sedang dirawat karena tekanan darah
tinggi?
- IMT: IMT ≥ 35 kg/m2
- Usia: usia > 50 tahun
- Lingkar leher : Lingkar leher >40 cm
- Jenis Kelamin : Jenis kelamin laki-laki

Gunakan STOP-BANG untuk memutuskan apakah ada kemungkinan besar penyakit


sedang-berat. Risiko tinggi jika 'YA' hingga ≥ 3 item Risiko rendah jika 'YA' hingga < 3 item
Item.

Obesitas adalah temuan paling umum pada individu dengan OSA. Temuan fisik lainnya
adalah lingkar leher besar (17 inci atau 43 cm pada pria dan 16 inci atau 40,5 cm), orofaring
padat (Mallampati 3 hingga 4), retrognathia, mikrognathia, hipertrofi tonsil, langit-langit mulut
rendah, overjet, dan lidah besar. . Namun, setelah disesuaikan dengan berat badan dan
ukuran leher, hanya penyempitan lateral yang merupakan prediktor independen OSA.

Pemeriksaan Penunjang

Setiap pasien dewasa dengan gejala siang hari atau gejala terkait tidur yang tidak dapat
dijelaskan seperti kantuk berlebihan, kelelahan, atau tidur yang tidak menyegarkan harus
dievaluasi untuk apnea tidur. Namun, skrining universal untuk OSA tidak dianjurkan pada
pasien tanpa gejala kecuali bagi mereka yang berisiko terhadap bahaya pekerjaan seperti
mengemudi atau pilot. Selain itu, karena tingginya prevalensi OSA dan beban penyakit,
pasien dengan penyakit penyerta tertentu seperti fibrilasi atrium refrakter, hipertensi resisten,
dan riwayat stroke dapat diskrining untuk apnea tidur apa pun gejalanya.

Polisomnografi Level 1 (PSG) di laboratorium pada malam hari adalah tes standar emas
untuk diagnosis apnea tidur obstruktif. Selama tes, pasien dipantau dengan sadapan EEG,
oksimetri nadi, sensor suhu dan tekanan untuk mendeteksi aliran udara hidung dan mulut,
sabuk plethysmografi impedansi pernapasan di sekitar dada dan perut untuk mendeteksi
gerakan, sadapan EKG, dan sensor EMG untuk mendeteksi kontraksi otot. dagu, dada, dan
kaki (seperti yang digambarkan dalam poligraf).

Penilaian kejadian pernapasan pada orang dewasa bergantung pada 4 saluran:

- Sensor termal oronasal


- Transduser tekanan udara hidung
- Plethysmography induktansi (manometri esofagus atau kateter tekanan dapat
digunakan sebagai gantinya)
- Oksimetri nadi

Pemantau mendengkur adalah saluran yang diperlukan tetapi tidak digunakan untuk menilai
kejadian pernapasan apa pun

Diagnosis

Tatalaksana Komprehensif

Perawatan OSA adalah pendekatan multi-cabang dan harus disesuaikan secara individual
untuk setiap pasien. Meskipun pengobatan OSA sedang hingga berat telah terbukti
meningkatkan hasil klinis , terdapat bukti yang terbatas atau tidak konsisten mengenai
dampak terapi OSA ringan terhadap neurokognisi, suasana hati, kecelakaan kendaraan,
kejadian kardiovaskular, stroke, dan aritmia.

Perubahan Gaya Hidup dan Mengobati Kondisi Medis yang Mendasari


Pentingnya penurunan berat badan harus ditekankan pada pasien OSA dengan kelebihan
berat badan dan obesitas. Meskipun penurunan berat badan dianjurkan dan seringkali
dapat mengurangi keparahan apnea tidur obstruktif, hal ini biasanya tidak bersifat kuratif.
Pasien harus diberikan edukasi mengenai dampak durasi tidur dan kesehatannya serta
memprioritaskan tidur minimal 7 hingga 8 jam per malam. Pasien harus diberi nasihat
untuk menghindari alkohol, benzodiazepin, opiat, dan beberapa antidepresan, yang dapat
memperburuk kondisi mereka. Bagi semua pasien, penting untuk mengatasi sumbatan
hidung yang terjadi bersamaan dengan steroid hidung untuk rinitis alergi atau pembedahan
untuk kolaps katup hidung. Bagi penderita penyakit paru-paru atau jantung (seperti asma
atau gagal jantung), sangat penting untuk mengoptimalkan pengobatan gangguan tersebut.

Terapi Posisi

OSA yang lebih menonjol pada posisi terlentang dapat ditangani dengan alat pengatur posisi
agar pasien tetap miring dapat menjadi pilihan.

Terapi Tekanan Saluran Nafas Positif (PAP).

Tekanan saluran napas positif berkelanjutan (PAP) adalah pengobatan paling efektif untuk
orang dewasa. Bilevel PAP (BPAP) juga lebih baik ditoleransi oleh pasien yang
memerlukan pengaturan tekanan lebih tinggi (lebih besar dari 15 cm H2O). Namun,
meskipun PAP mempunyai efektivitas yang tinggi dalam menghilangkan kejadian
pernafasan, efektivitasnya berkurang karena berkurangnya penggunaan pengobatan selama
tidur dan kepatuhan yang tidak memadai. Kepatuhan terhadap PAP di antara pasien OSA
masih menjadi tantangan besar karena hampir separuh pasien tidak cukup mematuhi
pengobatan setelah bulan pertama. American Thoracic Society menerbitkan pernyataan
baru-baru ini tentang sistem pelacakan kepatuhan PAP dan strategi pemantauan optimal
serta ukuran hasil pada orang dewasa. Penting untuk membakukan laporan kepatuhan PAP
tidak hanya jumlah jam yang digunakan lebih dari 4 jam per malam (>70% malam) tetapi
juga jumlah kebocoran masker dan indeks sisa apnea dan hipopnea. Namun, apa tujuan
optimal kepatuhan pengobatan OSA? Penelitian terbaru mengamati kegunaan intervensi
kepatuhan telemedis, pemantauan CPAP jarak jauh, dan fitur yang lebih interaktif dengan
masing-masing pasien dan keluarga mereka telah terbukti meningkatkan tingkat kepatuhan
CPAP.

Beberapa penelitian telah melaporkan temuan yang bertentangan ketika menilai efek terapi
PAP terhadap outcome kardiovaskular pada pasien OSA. Dalam uji coba kontrol acak
baru-baru ini, penggunaan CPAP selama minimal satu tahun pada pasien dengan Sindrom
Koroner Akut (ACS) dan OSA (ISAACC) tanpa rasa kantuk yang berlebihan di siang hari
tidak menurunkan kejadian kejadian kardiovaskular (didefinisikan sebagai penyakit terkait
jantung). kematian atau satu atau lebih akibat berikut: infark miokard akut, stroke non-fatal,
rawat inap di rumah sakit karena gagal jantung, dan rawat inap baru karena angina tidak
stabil atau serangan iskemik transien). Kepatuhan terhadap terapi PAP rendah (2,78
jam/malam), dan tindak lanjutnya tidak cukup lama, yang merupakan keterbatasan signifikan
dari penelitian ini. Dalam studi kohort observasional lainnya dengan tindak lanjut jangka
panjang, penggunaan PAP dikaitkan dengan semua penyebab kematian yang lebih rendah
di antara pasien dengan OSA parah sekitar tahun ke 6-7 masa tindak lanjut. Dalam
penelitian yang lebih baru, pasien dengan penyakit arteri koroner dan OSA tanpa rasa
kantuk berlebihan yang menunjukkan perubahan detak jantung yang lebih tinggi mendapat
manfaat lebih dari terapi CPAP.

Prognosis dan Komplikasi

Prognosis

Prognosis jangka pendek OSA dengan pengobatan baik, tetapi prognosis jangka panjang
tidak berbahaya. Masalah terbesar adalah kurangnya kepatuhan terhadap CPAP, karena
hampir 50% pasien berhenti menggunakan CPAP dalam bulan pertama meskipun telah
mendapat pendidikan. Banyak pasien memiliki penyakit penyerta dan/atau berisiko
mengalami kejadian buruk pada jantung dan stroke. Oleh karena itu, mereka yang tidak
menggunakan CPAP mempunyai peningkatan risiko efek samping jantung dan otak selain
biaya perawatan kesehatan tahunan yang lebih tinggi. Lebih lanjut, OSA juga dikaitkan
dengan hipertensi pulmonal, hiperkapnia, hipoksemia, dan sedasi di siang hari. Selain itu,
individu tersebut memiliki risiko tinggi mengalami kecelakaan kendaraan bermotor. Harapan
hidup pasien OSA secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan populasi umum. OSA
diketahui mempengaruhi fungsi jantung, terutama pada individu yang mengalami obesitas.
Pengobatan CPAP baru-baru ini ditemukan meningkatkan mekanika ventrikel kiri (LV) dan
ventrikel kanan (RV) pada pasien dengan OSA.

- Komplikasi
- Hipertensi
- Infark miokard
- Kecelakaan serebrovaskular
- Depresi
- Kecelakaan yang berhubungan dengan sulit tidur

SOPT

1. PENGERTIAN
SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi saluran
napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi paru yang
minimal yang mash sering ditemukan pada pasien pasca Tuberkulosis.
Kerusakan paru yang terjadi pada penyakit saluran pernapasan obstruktif adalah
komplikasi yang terjadi pada sebagian besar penderita Tuberkulosis pasca
pengobatan. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal par
dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) Hilangnya fungi paru paling tinggi terjadi pada 6 bulan sat
diagnosis tuberkulosis dan 12 bulan setelah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis

Etiologi
Penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang
yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan
peradangan nonspesifik yang luas.
Peradangan yang berlangsung lama in menyebabkan gangguan faal paru berupa
adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun,
perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi tidak
maksimal

Tanda dan Gejala


Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa:
1) batuk berdahak
2) sesak napas,
3) penurunan ekspansi sangkar toraks.
Gejala lainnya adalah demam tidak tinggi tau meriang, dan penurunan berat badan

Pathogenesis
Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada Tuberkulosis paru yang mengarah ke
timbulnya sindrom pasca Tuberkulosis sangat kompleks pada penelitian terdahulu
dikatakan akibat destruksi jaringan paru ole proses Tuberkulosis. Kemungkinan lain
adalah akibat infeksi Tuberkulosis, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan
sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya
neutrofil ke dalam parenkim par makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama
in menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk
jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan
paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara
spirometri

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda :
1. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain).
2. Tanda-tanda pennarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3. Sekret di saluran nafas dan ronki.
4. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan
bronkus.

Diagnosis
Diagnosis SOPT di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis :
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisik
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin

Diagnosis Banding
1.РРОК
2. Gagal jantung kronis
3.Pneumotoraks
4.Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal :
bronkiektasis, destroyed lung

Penatalaksanaan
Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk dan
timbul sesak bertahun tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi karena
adanya kerusakan paru yang permanen, gangguan menetap restriktif dan
sebagian obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita SOPT ini
irreversibel pada pemberian obat bronkodilator dan bahkan dengan
kortikosteroid Namun SOPT termasuk dalam
penyakit obstruksi paru yang gejalanya mirip PPOK. Terapi SOPT
diberikan sesuai kausa. Pilihan terapi untuk SOPT, adalah:
1. Bronkodilator:
a. golongan atikolinergik : ipatropium bromida (0,5 mg)
b. golongan agonis ß-2 : salbutamol (2,5 mg)
c. Kombinasi : ipatropium bromida (0,5 mmg) dengan
salbutamol (2,5 mg) nebulasi
d. golongan xantin : aminofilin (200 mg)
2. Antinflamasi : Prednison atau metil prednisolon
3. Anti-oksidan : N-acetyl cystein
4. Anti biotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) golongan 3-
lactam dan makrolid
5. Terapi oksigen
6. Rehabilitasi medik

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada SOPT adalah :
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan
Pco2 > 60 mmH, dan pH normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tapa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun.
Infeksi berulang
Pada pasien SOPT produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal :Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat
disertai gagal jantung kanan

Prognosis
dan ketaan dalam terapi nya.Prognosis SOPT bergantung

Anda mungkin juga menyukai