2. Indeks brinkman
Indeks Brinkman adalah ukuran intensitas merokok yang memperhitungkan jumlah rokok yang
dihisap per hari dan durasi merokok. Indeks ini dihitung dengan mengalikan jumlah rokok yang
dihisap per hari dengan jumlah tahun orang tersebut telah merokok Indeks Brinkman sering
digunakan dalam studi penelitian untuk menilai hubungan antara merokok dan berbagai hasil
kesehatan, seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru-paru, dan infertilitas.
3. Clubbing finger
Clubbing finger adalah tanda klinis yang ditandai dengan pembesaran ujung jari dan kuku, Kondisi ini bisa terjadi
akibat kelainan genetik, atau gangguan di paru-paru, hati, atau jantung , terjadi karena kekurangan o2 dlm
jangka panjang sering pd penderita penyakit jantung dan paru.
Clubbing finger primer = Clubbing finger primer disebabkan oleh kelainan genetik yang langka,
Clubbing finger sekunder = Clubbing finger jenis ini umumnya terjadi akibat gangguan pada paru-paru atau
jantung,
4. Sesak
5. Spirometri
Spirometri adalah pemeriksaan fungsi paru yang menggunakan alat bernama spirometer untuk mengukur
volume paru dan kecepatan aliran udara saat pasien bernafas. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
menentukan adanya gangguan obstruktif, restriktif, atau campuran pada fungsi paru serta dapat memperkirakan
derajat kelainannya1. Spirometri juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan dan menentukan
prognosis penyakit serta menentukan toleransi tindakan1.Pemeriksaan spirometri dapat membantu dokter
dalam mendiagnosis dan mengelola penyakit paru seperti asma, bronkitis kronis, dan emfisema
Rumusan Masalah
1. Apa yang terjadi pada pak Ardi sehingga ia menderita sesak nafas sejak 2 hari yang
lalu dan semakin memberat ?
sesak nafas secara akut karena adanya bronkokonstriksi yang terjadi pada saluran napas.
Bronkokonstriksi adalah penyempitan saluran napas yang disebabkan oleh inflamasi dan
hiperresponsifitas saluran napas. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas,batuk, dan mengi.
Pada kasus yang lebih parah, bronkokonstriksi dapat menyebabkan serangan asma yang
membutuhkan perawatan medis segera. Faktor-faktor yang dapat memicu serangan asma antara lain
paparan alergen, udara dingin, olahraga, infeksi saluran napas, dan stres.
sesak nafas merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan kesulitan saat
bernafas, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
1. faktor fisik : sistem pernafasan dan sirkulasi darah yang tidak mampu
mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh.
2. faktor psikis : mekanisme fight or flight
jadi secara tidak langsung, sesak nafas yang disebabkan oleh faktor fisik disebabkan
karna adanya gangguan pada jantung ataupun paru-paru. Dimana sesak nafas pada
gangguan jantung terjadi karna jantung tidak mampu memompa darah kaya oksigen, dan
tidak disebabkan oleh faktor pencetus.
sesak nafas pada paru-paru, dapat disebabkan oleh adanya hambatan pada saluran nafas,
luas permukaan paru-paru yang berkurang, atau paru-paru yang tidak elastis. nah pada
skenario, sesak nafas yang terjadi pada tuan andri disebabkan karna adanya gangguan
pada paru-paru, dimana ketika adanya infeksi, asap rokok, cuaca dingin, faktor alergen,
maka yang terjadi pada sistem pernafasan adalah :
- bronkokonstriksi
- penumpukan mukus
- penebalan dinding saluran nafas (edem dan hipertrofi otot)
2. Apa kira kira yg menyebabkan dan Bagaimana sesak nafas tersebut bisa menjadi
semakin berat ?
3. Kenapa sesak nafas tuan Ardi busa muncul ketika keadaan cuaca dingin, makan
udang dll n
● Udara dingin
udara dingin dapat mengiritasi saluran udara dan menyebabkan saluran udara menyempit,
sehingga lebih sulit untuk bernapas. Selain itu, udara dingin juga dapat menyebabkan
saluran udara memproduksi lebih banyak lendir, yang selanjutnya dapat mempersempit
saluran udara dan membuat Anda lebih sulit bernapas.
Menghirup udara dingin juga dapat menyebabkan pembuluh darah di paru-paru mengerut,
yang dapat meningkatkan tekanan darah di paru-paru dan menambah beban pada jantung.
Hal ini dapat menyebabkan sesak napas, terutama pada penderita penyakit jantung atau
kondisi kardiovaskular lainnya.
Udara dingin = ketika menghirup udara dingin, saluran pernapasan kita menjadi kering.
Airways surface fluid ASL berevaporasi lebih cepat daripada produksi kembalinya. Udara
dingin menginduksi aktivasi epitel untuk menghasilkan zat proinflamasi.
● Alergi
Ketika seseorang dengan alergi terpapar alergen, sistem kekebalan tubuh mereka bereaksi
berlebihan dan melepaskan bahan kimia seperti histamin, leukotrien, dan sitokin. Bahan
kimia ini menyebabkan peradangan pada saluran udara, yang menyebabkan
pembengkakan dan penyempitan saluran udara. Penyempitan ini mempersulit udara untuk
mengalir masuk dan keluar dari paru-paru, yang mengakibatkan sesak napas.
Selain peradangan saluran napas, alergi juga dapat menyebabkan produksi lendir berlebih
di saluran napas, yang selanjutnya dapat menghalangi saluran napas dan memperburuk
kesulitan bernapas. Hal ini terutama berlaku untuk alergi pernapasan seperti asma dan
rinitis alergi.
konsumsi udang = antigen udang yang dikonsumsi akan membuat antibodi tubuh melepas
histamin dan menimbulkan berbagai gejala alergi seperti gatal, pembengkakkan pada bibir
dan tenggorokan. Pembengkakan pada tenggorokan akan membuat saluran napas
terhambat.
obat anti nyeri = obat anti nyeri seperti nsaid dan aspirin bekerja dengan menghambat
produksi hormon prostaglandin. Prostaglandin adalah hormon yang meregulasi saluran
pernapasan dengan cara melebarkan saluran napas.
● Olahraga
Bronkospasme yang disebabkan oleh olahraga: Ini adalah fenomena di mana saluran udara
di paru-paru mengerut selama atau setelah berolahraga, yang menyebabkan sesak napas,
batuk, mengi, dan sesak dada. Ini adalah temuan yang umum terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa muda, terutama mereka yang menderita asma atau rinitis alergi.
Bronkospasme biasanya muncul dalam 10 hingga 15 menit setelah memulai olahraga,
mencapai puncaknya 8 hingga 15 menit setelah aktivitas selesai, dan sembuh sekitar 60
menit kemudian. Hal ini juga dapat terjadi selama aktivitas yang berkelanjutan.
Bronkospasme yang diinduksi oleh olahraga terjadi pada hingga 90% penderita asma dan
40% pasien dengan rinitis alergi, dan prevalensinya di antara atlet dan populasi umum
adalah antara 6% dan 13%.
Kebugaran fisik yang buruk: Sesak napas saat berolahraga juga dapat disebabkan oleh
kebugaran fisik yang buruk, yang dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru dan
penyerapan oksigen. Ketika tubuh tidak terbiasa dengan aktivitas fisik, tubuh mungkin
membutuhkan lebih banyak oksigen daripada yang dapat disediakan oleh paru-paru,
sehingga menyebabkan sesak napas.
Faktor lingkungan: Faktor lingkungan seperti udara dingin, ketinggian, dan polusi udara juga
dapat menyebabkan sesak napas akibat olahraga. Udara dingin dapat mengiritasi saluran
udara dan menyebabkan saluran udara menyempit, sementara ketinggian tinggi dapat
menyebabkan penurunan kadar oksigen. Polusi udara juga dapat mengiritasi saluran napas
dan menyebabkan peradangan, yang menyebabkan kesulitan bernapas.
4. Apakah hubungan munculny batuk berdahak pada tuan Ardi …… apakah itu tanda
penyakitnya sydag memberat ?
Anda menderita asma, bronkus akan meradang dan lebih sensitif dari biasanya. Ketika Anda
bersentuhan dengan sesuatu yang mengiritasi paru-paru Anda - yang dikenal sebagai
pemicu - saluran udara Anda menjadi sempit, otot-otot di sekitarnya mengencang, dan
terjadi peningkatan produksi lendir lengket (dahak).
Dahak adalah gejala yang umum terjadi pada penderita asma. Saat terserang asma, akan
ada dahak yang berdeguk di tenggorokan, yang menyebabkan anhelasi, atau bahkan
asfiksia yang membuat pasien tidak dapat berbaring telentang.
5. Mengapa tuan Ardi menggunakan semprotan salbutamol ketika sesak nafas… serta
apakah penggunaan salbutamol tersebut dalam jumlah yg normal ? Dan jika
penggunaan salbutamol tsb tidak normal frekuensinya apakah hal tsb berhubungan
dg kondisinya sekarang ?
Salbutamol adalah agonis beta-2 kerja pendek yang umumnya digunakan untuk mengobati
sesak napas, terutama pada pasien asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Ketika dihirup, salbutamol bekerja pada reseptor beta-2 di paru-paru, menyebabkan
otot-otot polos menjadi rileks dan saluran udara melebar, sehingga lebih mudah untuk
bernapas
Meskipun salbutamol dapat meredakan gejala dengan cepat, penggunaan yang berlebihan
atau penyalahgunaan obat dapat menyebabkan efek samping seperti tremor, hiperglikemia,
asidosis laktat, dan aritmia jantung.
Berikut adalah beberapa potensi komplikasi dari penggunaan salbutamol terlalu sering:
Toleransi: Seiring waktu, tubuh dapat menjadi kurang responsif terhadap efek salbutamol,
yang menyebabkan penurunan efektivitas obat. Hal ini dapat menyebabkan perlunya dosis
obat yang lebih tinggi untuk mencapai tingkat pereda gejala yang sama
Efek samping: Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan salbutamol secara
berlebihan dapat menyebabkan efek samping seperti tremor, hiperglikemia, asidosis laktat,
dan aritmia jantung
Namun perpaduan antara faktor genetik dan faktor lingkungan yang bisa mencetuskan
gejala ataupun penyakit busa muncul seperti halnya asma dan ppok
( defisiensi antitripsin alfa-1) yang merupakan penyakit yang memiliki faktor genetik yang
bisa membuat seseorang lebih rentan mengalami …
● Produksi lendir: Merokok dapat meningkatkan produksi lendir di saluran udara, yang
selanjutnya dapat mempersempit saluran udara dan membuat Anda lebih sulit
bernapas
● Stres oksidatif: Merokok menyebabkan stres oksidatif di paru-paru, yang dapat
merusak sel dan jaringan. Hal ini dapat menyebabkan perkembangan kanker
paru-paru dan gangguan pernapasan lainnya
10. mengapa sesak napas tuan andri tidak hilang setelah diberikan terapi oksigen, obat
anti inflamasi dan inhalasi salbutamol? Sesak napas Tuan Andri mungkin tidak
hilang setelah diberikan terapi oksigen, obat antiinflamasi, dan inhalasi salbutamol
karena alasan-alasan berikut:
1. Penyebab Dasar yang Belum Dikendalikan: Sesak napas dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, termasuk penyakit pernapasan kronis seperti asma atau penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). Terapi oksigen, obat antiinflamasi, dan inhalasi
salbutamol dapat membantu meredakan gejala, tetapi jika penyebab dasar seperti
peradangan yang kuat pada saluran napas belum terkendali, gejala sesak napas
mungkin tetap ada.
3. Keparahan Gejala: Tingkat keparahan sesak napas dapat bervariasi dari ringan
hingga berat. Jika Tuan Andri mengalami serangan sesak napas yang parah,
mungkin diperlukan perawatan tambahan atau intensif untuk mengendalikan
gejalanya.
ASTMA
1. Pengertian , klasifikasi
Klasifikasi
2. Faktor resiko , epidemiologi , etiologi
Faktor resiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan.
Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas Jenis kelamin
Ras/ etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma Alergen di
dalam ruangan
Mite domestik
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi, molds, yeasts) Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds, yeasts) Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Perokok aktif
Perokok pasif Polusi udara
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan Infeksi pernapasan
Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma menetap Alergen di
dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
Epidemiologi
Data epidemiologi asma menunjukkan bahwa angka kejadian cenderung lebih tinggi
pada anak usia kurang dari 18 tahun. Di Indonesia, prevalensi asma untuk semua
kelompok usia mencapai 2,4%.
Etiologi
Asma terdiri dari berbagai macam penyakit dan memiliki berbagai fenotipe yang
heterogen. Faktor-faktor yang diketahui terkait dengan asma adalah kecenderungan
genetik, khususnya riwayat atopi pribadi atau keluarga (kecenderungan alergi,
biasanya terlihat sebagai eksim, demam, dan asma).
Asma juga dikaitkan dengan paparan asap rokok dan gas inflamasi atau materi
partikulat lainnya.
4. Manifestasi klinis
• Kondisi stabil/steady state + keluhan batuk malam hari dan sesak nafas saat
olahraga.
• Saat serangan (eksaserbasi akut) - sesak beat ditandai dengan wheezing.
• Sesak nafas, batuk, rasa berat di dada dan berdahak.
• Diawali oleh faktor resiko yang bersifat individu
• Respon terhadap pemberian bronkodilator.
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Oksimetri nadi dapat berguna dalam menilai tingkat keparahan serangan asma atau
memantau kerusakannya. Perlu diperhatikan bahwa keterlambatan oksimetri nadi, dan
cadangan fisiologis pada banyak pasien berarti bahwa penurunan pO2 pada oksimetri nadi
merupakan temuan yang terlambat, yang mengindikasikan pasien dalam keadaan tidak
sehat atau akan mengalami serangan jantung.
Pengukuran aliran puncak juga dapat digunakan untuk menilai asma dan harus selalu
diperiksa berdasarkan nomogram serta fungsi dasar normal pasien. Tingkat keparahan
serangan asma akut yang berbeda-beda mempunyai pengukuran aliran puncak yang terkait,
yang dicatat sebagai persentase tertentu dari aliran puncak yang diharapkan.
Laboratorium
Urea dan elektrolit (fungsi ginjal) harus diminum jika pasien mendapat dosis tinggi atau
mengulangi salbutamol, karena salah satu efek samping salbutamol adalah menyebabkan
perpindahan kalium ke ruang intraseluler untuk sementara, yang dapat menyebabkan
hipokalemia iatrogenik sementara. Eosinofilia umum terjadi tetapi tidak spesifik untuk asma.
Studi terbaru menunjukkan bahwa kadar eosinofil dahak dapat memandu terapi. Selain itu,
beberapa pasien mungkin mengalami peningkatan IgE serum.
Gas darah arteri dapat menunjukkan hipoksemia dan asidosis respiratorik. Penelitian
menunjukkan bahwa periostin mungkin menjadi penanda asma, namun peran klinisnya
masih belum pasti.
EKG akan menunjukkan sinus takikardia, yang mungkin disebabkan oleh asma, albuterol,
atau teofilin.
Pencitraan
Rontgen dada merupakan pemeriksaan yang penting, terutama jika pasien memiliki riwayat
risiko terhadap kemungkinan benda asing atau kemungkinan infeksi. CT scan dada
dilakukan pada pasien dengan gejala berulang yang tidak merespons terapi.
Tes Khusus
Spirometri adalah metode diagnostik pilihan dan akan menunjukkan pola obstruksi yang
sebagian atau seluruhnya teratasi dengan salbutamol. Spirometri harus dilakukan sebelum
pengobatan untuk menentukan tingkat keparahan gangguan. Penurunan rasio FEV1
terhadap FVC merupakan indikasi obstruksi jalan napas, yang dapat disembuhkan dengan
pengobatan. Uji reversibilitas dilakukan dengan memberikan obat short-acting beta 2 agonist
kepada pasien, dan setelah itu dilakukan pengujian spirometri kembali. Jika terjadi
peningkatan FEV1 sebesar 12% atau 200ml dari nilai sebelumnya, maka hal tersebut
menunjukkan reversibilitas dan diagnostik asma bronkial. Pengukuran aliran ekspirasi
puncak merupakan hal yang umum saat ini dan memungkinkan seseorang untuk
mendokumentasikan respons terhadap terapi. Keterbatasan tes ini adalah tes ini bergantung
pada usaha.
6. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
● mengi pada auskultasi.
● Penurunan stem fremitus
● Perkusi hipersonor
● Auskultasi weezing
Diagnosis banding
Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Stenosis trakea
Bronkiolitis
7. Penatalaksanaan
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Medikamentosa
Tatalaksana Asma:
• Reliever/Pelega: bekerja pada saluran nafas yang menyebabkan spasme otot
polos saluran napas, bekerja sebagai bronkodilator dan dipakai sat serangan.
• Controller/Pengontrol: mengontrol inflamasi atau memperpanjang waktu
bronkodilatasi. Meredakan edema mukosa, sekresi lender dan menurunkan
iritabilitas bronkus. Dipakai secara regular.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah,
yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
5. Turbuhaler
6. Nebuliser
Pengontrol
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A).
Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai
berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang
direkomendasikan.
Pemantauan
8. Komplikasi dan prognosis
Asma bukanlah penyakit yang tidak berbahaya dan menyebabkan 1 kematian per
100.000 orang di beberapa negara. Kematian berhubungan dengan fungsi paru-paru
dan diperburuk oleh merokok. Faktor yang mempengaruhi kematian antara lain usia
lebih dari 40 tahun, kebiasaan merokok lebih dari 20 bungkus per tahun, eosinofilia
darah, FEV1 40-70% dari prediksi, dan reversibilitas yang lebih besar. Asma
menyebabkan hilangnya waktu bekerja dan sekolah; hal ini juga menyebabkan
masuknya banyak orang ke rumah sakit sehingga meningkatkan biaya perawatan
kesehatan. Asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat melumpuhkan dan
menyebabkan kualitas hidup yang buruk.
Komplikasi
Tanda dan gejala yang mengganggu tidur, bekerja dan aktivitas lainnya
Hari-hari sakit dari tempat kerja atau sekolah selama serangan asma
Penyempitan permanen pada saluran yang membawa udara ke dan dari paru-paru
(saluran bronkial), yang mempengaruhi seberapa baik Anda dapat bernapas
Kunjungan ruang gawat darurat dan rawat inap untuk serangan asma yang parah
Efek samping dari penggunaan jangka panjang beberapa obat yang digunakan
untuk menstabilkan asma parah
BRONHKIOTAKSIS
Defenisi
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progesif yang ditandai dengan dilatasi bronkus
dan bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus. Keadaan ini
disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan inflamasi yang diikuti
dengan pelepasan mediator.
Epidemiologi
Patogenesis
Patogenesis untuk penyakit paru kronis ini belum dimengerti seluruhnya. Banyak
faktor yang berperan dalam patogenesisnya. Beberapa teori mekanik yang diajukan
membaginya menjadi empat kelompok.
1. The pressure of secretion theory.
Menurut teori ini, sekret yang kental mula-mula menyebabkan obstruksi, kemudian
diikuti dengan pelebaran saluran respiratorik.
2. Atelectasis theory.
Teori ini mengemukakan bahwa dilatasi bronkus terjadi akibat peningkatan tekanan
negatif intrapleural.
3. Traction theory.
Fibrosis dan jaringan parut penyakit parenkim menyebabkan traksi dinding bronkus.
4. Infection theory.
Infeksi dan respons inflamasinya merupakan penyebab utama dan yang
menyebabkan kerusakan struktur penunjang dinding bronkus.
Dari keempat teori tersebut, hanya infection theory yang didukung dengan penelitian
model hewan percobaan.
Secara umum, bronkiektasis merupakan kelainan yang bersifat permanen dan
ireversibel.
Patofisiologinya diduga sebagai berikut.
1. Traksi dari saluran respiratorik yang kolaps, penonjolan saluran respiratorik
akibat sekresi sisa, perubahan dinding bronkial akibat infeksi atau inflamasi,
atau kombinasi ketiga mekanisme tersebut.
2. Infeksi akut atau berulang, obstruksi kronis akibat kelainan kongenital, tumor,
fibrosis kistik, asma kronis, atau imunodefisiensi merupakan faktor pendukung
terjadinya bronkiektasis.
3. Jejas berulang saluran respiratorik akibat aspirasi kronis, dengan atau tanpa
GER sebagai salah satu faktor penyebab.
Etiologi
Penelitian terdahulu melaporkan bahwa 70% pasien bronkiektasis memiliki penyakit
yang mendasari/penyebab terjadinya bronkiektasis, sedangkan sisanya masih
idiopatik. Dengan meningkatnya teknik diagnostik, maka proporsi pasien yang
idiopatik mengalami perubahan, terutama dengan dikenalnya kelainan imunologis
seperti defisiensi antibodi fungsional, dan meningkatnya fasilitas untuk menilai
adanya primary ciliary dyskinesia (PCD). Etiologi lainnya adalah konsekuensi dari
kerusakan akibat community acquired pneumonia (CAP). Telah dilakukan kajian
pada anak penduduk asli di Alaska yang lahir tahun 1970, dan didapatkan hasil
bahwa pneumonia rekuren merupakan penyakit utama yang menyebabkan
kerusakan bronkus. Akan tetapi saat ini, dengan pemberian imunisasi, kerusakan
pascainfeksi sepertinya menjadi berkurang. Penelitian mengenai adanya pengaruh
penyakit pneumonia terhadap terjadinya bronkiektasis merupakan hal yang rumit,
karena pada kenyataannya seringkali terdapat keterlambatan atau jeda waktu antara
penyakit infeksi akut dengan saat diketahuinya penyakit paru supuratif kronis.
Semua penyebab bronkiektasis mempunyai patofisiologi yang sama, yaitu adanya
inflamasi dan infeksi kronis atau rekuren yang menyebabkan kerusakan progresif
kartilago, sehingga terjadi pelebaran bronkus yang permanen. Selanjutnya, keadaan
ini menyebabkan drainase pulmonal menjadi tidak efektif. Adanya infeksi sekunder
pada segmen bronkial yang terkena memudahkan terjadinya overgrowth bakteri
opurtunistik dan supurasi. Seluruh keadaan ini bermanifestasi sebagai batuk
produktif dengan sputum berwarna kehijauan.
Manifestasi klinis
Bronkiektasis pada anak kebanyakan ditemukan pada usia prasekolah dan usia
awal sekolah. Dari anamnesis diketahui adanya batuk yang produktif serta
pengeluaran banyak sputum yang biasanya berubah dari jernih menjadi kekuningan
bahkan kuning kehijauan yang berlangsung lebih dari 6 minggu. Batuk ditemukan
pada 97% kasus bronkiektasis anak, sedangkan sputum ditemukan pada 46%
kasus. Sputum yang dihasilkan dapat bersifat mukoid, mukopurulen, kental, atau
blood-streak sputum. Batuk produktif merupakan tanda khas dari bronkiektasis.
Batuk biasanya terjadi pada pagi hari dan semakin memberat pada siang hari. Pada
anak, adanya peningkatan produksi sputum sulit dinilai karena kebanyakan anak
terutama balita belum mampu mengeluarkan sputum dan biasanya menelan sputum
tersebut. Meskipun kadang- kadang dapat terjadi hemoptisis (14%), tetapi keadaan
ini jarang terjadi pada anak.
Demam merupakan keluhan yang tidak selalu ditemukan. Keluhan lain yaitu sesak
napas dan mengi, yang masing-masing terjadi pada 7% dan 21% kasus. Pada
beberapa pasien sering disebut sebagai batuk varian asma (cough variant asthma)
yang tidak respon terhadap obat anti- asma. Anoreksia dan kenaikan berat badan
yang tidak adekuat terjadi seiring perjalanan proses penyakit.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya batuk produktif, disertai dengan crackles
(pada 82% pasien) atau ronki kasar (pada 44% pasien), terutama di daerah
lobus-bawah kiri dan lobus- tengah kanan; kadang-kadang juga dapat terdengar
mengi (pada 21% pasien). Perkusi pekak merupakan pemeriksaan fisis toraks yang
juga dapat ditemukan.
Salah satu hal yang dapat menerangkan mengi adalah adanya riwayat asma yang
dapat terjadi pada 30% anak dengan bronkiektasis.
Jari tabuh (clubbing of the fingers) dilaporkan terdapat pada 37−51% pasien dan
menghilang setelah dilakukan reseksi daerah paru yang terkena. Adanya jari tabuh
pada pasien tanpa penyakit jantung kongenital biasanya menandakan bronkiektasis
yang ireversibel.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka yang penting adalah dapat
mengidentifikasi atau menduga adanya bronkiektasis, yaitu misalnya pada anak
yang mengalami pneumonia rekuren, atau dengan infiltrat atau atelektasis yang
menetap selama 12 minggu.
Pemeriksaan bronkografi
Secara tradisional, pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosis, karena
pemeriksaan radiologis yaitu foto rontgen toraks relatif tidak sensitif.
Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen toraks postero-anterior (PA) dan lateral tetap menjadi pemeriksaan
tahap awal yang penting, meskipun gambaran radiologis yang normal tidak dapat
menyingkirkan adanya kemungkinan bronkiektasis. Sembilan puluh persen pasien
bronkiektasis menunjukkan kelainan pada foto rontgen toraksnya. Meskipun foto
rontgen toraks menunjukkan gambaran yang tidak spesifik, tetapi dapat ditemukan
beberapa gambaran seperti hilangnya bronchovascular markings, rongga kistik
dengan air-fluid levels atau honeycomb appearance, bayangan opak yang
menyebar, atelektasis linear, atau saluran respiratorik yang tampak melebar dan
menebal yang tampak sebagai ring-like shadows atau tram lines. Selain itu, dapat
pula terlihat overinflasi daerah paru yang tidak terkena.
High resolution CT
Saat ini diagnosis bronkiektasis ditegakkan dengan menggunakan HRCT (level of
evidence 1b). Pemeriksaan ini dapat mengklarifikasi foto rontgen toraks dan
memetakan kelainan saluran respiratorik yang tidak bias yang terlihat dengan foto
rontgen toraks. Gambaran HRCT yang dihasilkan dapat berupa:
● silindrikal (tramlines), signet ring appearance
● varikosa (varicose)
● kistik
● bentuk campuran.
Diagnosis banding
Diagnosis banding bronkiektasis meliputi hemosiderosis, hipersensitivitas
pneumonitis, obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), right middle-lobe
syndrome, sarkoidosis, trakeomalasia.
Tatalaksana
Data penelitian uji klinis yang mengetengahkan penatalaksanaan bronkiektasis
masih kurang dan menyebabkan keterbatasan informasi mengenai
petunjuk/guidelines mengenai penatalaksanaannya. Akan tetapi, ada dua prinsip
penatalaksanaan bronkiektasis yang dapat digunakan, yaitu mengatasi obstruksi
saluran respiratorik dan mengatasi infeksi.
Pemberian antiinflamasi
Pemberian kortikosteroid inhalasi juga dimungkinkan untuk mengatur respons dan
mencegah kerusakan akibat inflamasi paru. Kortikosteroid inhalasi yang dapat
diberikan meliputi flutikason, budesonid, atau beklometason. Meskipun demikian,
belum ada bukti yang cukup mendukung untuk merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid oral dan inhalasi tersebut.
Bronkodilator
Indikasi pemberian bronkodilator yaitu bila terdapat bukti adanya hiperreaktivitas
bronkial, karena obat ini membantu meningkatkan frekuensi gerakan silia dan klirens
mukus. Akan tetapi, beberapa pasien dapat memberikan respons paradoxic
bronchoconstriction terhadap pemberian ß2-agonis, karena itu perlu dilakukan
penilaian respons terlebih dahulu sebelum memulai terapi bronkodilator. Pemberian
obat asma harus bersifat individual, selain itu belum ada cukup data yang
mendukung dan berbasis bukti ilmiah untuk merekomendasikan pemberian ß2-
agonis, mukolitik, maupun metilsantin. Hingga saat ini bukti yang ada hanya
berdasarkan laporan kasus.
Operasi
Reseksi segmental atau reseksi lobus paru dapat bermanfaat pada keadaan
bronkiektasis berat dan yang terlokalisir, atau yang tidak teratasi dengan pemberian
antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik spektrum luas dapat
memberikan perbaikan yang cukup bermakna, sehingga tindakan bedah dapat
ditunda. Algoritma evaluasi dan tatalaksana bronkiektasis dapat dilihat pada gambar
5.12.1.
Prognosis
Meskipun penyebab bronkiektasis tidak dapat ditentukan pada lebih kurang 50%
kasus, tetapi bila identifikasi defisiensi imun humoral, infeksi mikobakteri atau
Pseudomonas, serta fibrosis kistik atau ABPA dapat ditentukan, maka hal ini dapat
meramalkan prognosis dan penatalaksanaannya.
Bila penyebab kerusakan diketahui dini dan diberikan tindakan secara dini pula,
maka prognosis bronkiektasis pada anak cukup baik. Pertumbuhan jaringan paru
baru pada anak terjadi secara cepat saat anak berusia di bawah 6 tahun dan mulai
menurun sejak setelah masa anak. Jejas yang terjadi pada usia muda mudah
dikompensasi dengan pertumbuhan paru normal yang sehat bila penyebab
bronkiektasis tidak berkelanjutan. Bila anak memiliki masalah yang menjadi
predisposisi terjadinya bronkiektasis, tindakan yang dilakukan adalah memperlambat
progresivitas penyakit.
PPOK
1. Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan gangguan pernapasan dengan
ciri khas:
• Gejala gangguan pernapasan yang persisten
• Keterbatasan aliran udara yang umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan
Emfisema paru, penyakit paru progresif, adalah salah satu bentuk penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Inisiatif Global untuk penyakit paru obstruktif kronik (GOLD) mendefinisikan
PPOK sebagai “penyakit umum, dapat dicegah, dan diobati yang ditandai dengan gejala
pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan saluran
napas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan terhadap
penyakit paru obstruktif kronik. partikel atau gas berbahaya."
COPD merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan penyebab
kematian nomor empat di seluruh dunia. Perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menunjukkan bahwa penyakit ini akan menjadi penyebab kematian ketiga paling umum di
seluruh dunia pada tahun 2020. COPD mencakup pasien dengan bronkitis kronis dan
emfisema. Meskipun diidentifikasi sebagai entitas yang terpisah, sebagian besar pasien
PPOK memiliki ciri-ciri keduanya. PPOK sering kali muncul bersamaan dengan penyakit
penyerta, sehingga memengaruhi perjalanan penyakit.
Emfisema pada dasarnya merupakan diagnosis patologis yang mempengaruhi ruang udara
distal bronkiolus terminal. Hal ini ditandai dengan pembesaran permanen ruang udara
paru-paru yang tidak normal disertai rusaknya dinding paru-paru tanpa adanya fibrosis dan
rusaknya parenkim paru-paru disertai hilangnya elastisitas.
Etiologi
Emfisema disebabkan oleh paparan gas berbahaya yang kronis dan signifikan, dimana
merokok tetap menjadi penyebab paling umum, dan 80% hingga 90% pasien PPOK adalah
perokok, dengan 10% hingga 15% perokok mengalami PPOK. Namun, pada perokok,
gejalanya juga bergantung pada intensitas merokok, tahun paparan, dan fungsi paru-paru
awal. Gejala biasanya dimulai setelah setidaknya 20 bungkus tembakau per tahun.
Bahan bakar biomassa dan polutan lingkungan lainnya seperti sulfur dioksida dan bahan
partikulat diakui sebagai penyebab penting di negara-negara berkembang yang sangat
mempengaruhi perempuan dan anak-anak. Penyakit resesif autosomal herediter yang
langka, defisiensi antitripsin alfa satu, juga dapat menyebabkan emfisema dan kelainan hati.
Namun, hal ini hanya berkontribusi pada 1% hingga 2% kasus PPOK. Ini merupakan faktor
risiko yang terbukti dan dapat muncul pada emfisema pan-asinar bibasilar di awal
kehidupan.
Faktor etiologi lainnya adalah perokok pasif, infeksi paru-paru, dan alergi. Selain itu, berat
badan lahir rendah saat baru lahir membuat seseorang lebih rentan terkena PPOK di
kemudian hari.
Epidemiologi
Emfisema, sebagai bagian dari COPD, adalah penyakit yang menyerang banyak orang di
seluruh dunia. Pada tahun 2016, Global Burden of Disease Study melaporkan prevalensi
251 juta kasus PPOK secara global. Sekitar 90% kematian akibat PPOK terjadi di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) merupakan penyebab kematian ketiga di seluruh dunia, menyebabkan 3,23 juta
kematian pada tahun 2019.
Prevalensi emfisema di Amerika Serikat adalah sekitar 14 juta, yang mencakup 14% pria
kulit putih perokok dan 3% pria kulit putih bukan perokok. Prevalensinya sedikit lebih rendah
pada perokok perempuan kulit putih dan warga Amerika keturunan Afrika. Kelompok pasien
ini cenderung mengembangkan emfisema setelah waktu paparan yang lebih singkat
dibandingkan populasi pasien lainnya.
Angka kejadian penyakit ini secara perlahan meningkat terutama karena meningkatnya
kebiasaan merokok dan pencemaran lingkungan. Faktor lain yang berkontribusi adalah
penurunan angka kematian akibat penyebab lain, seperti penyakit kardiovaskular dan
infeksi. Faktor genetik juga berperan penting dalam menentukan kemungkinan terjadinya
keterbatasan aliran udara pada pasien.
Tingkat keparahan emfisema secara signifikan lebih tinggi pada pneumokoniosis pekerja
batubara, dan hal ini tidak tergantung pada status merokok.
Faktor Risiko
- Umur
- Merokok
- Polusi udara/lingkungan kerja
- infeksi
- Defisiensi alfa-1 tripsin
Manifestasi klinis emfisema merupakan akibat kerusakan saluran napas distal bronkiolus
terminal, yang meliputi bronkiolus respiratorik, kantung alveolar, saluran alveolar, dan alveoli
yang secara kolektif dikenal sebagai asinus. Terdapat dilatasi permanen yang tidak normal
pada ruang udara dan kerusakan dindingnya akibat kerja proteinase. Hal ini mengakibatkan
penurunan luas permukaan alveolar dan kapiler, sehingga menurunkan pertukaran gas.
Bagian asinus yang terkena menentukan subtipenya.
Sentrilobular (asinar proksimal) adalah jenis yang paling umum dan umumnya dikaitkan
dengan kebiasaan merokok. Hal ini juga dapat dilihat pada pneumokoniosis pekerja
batubara.
Elastin merupakan komponen penting dari matriks ekstraseluler yang diperlukan untuk
menjaga integritas parenkim paru dan saluran udara kecil. Ketidakseimbangan
elastase/anti-elastase meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan paru-paru yang
menyebabkan perluasan wilayah udara. Katepsin dan protease turunan neutrofil (yaitu
elastase dan proteinase) bekerja melawan elastin dan menghancurkan jaringan ikat
parenkim paru. Sel T sitotoksik melepaskan TNF-a dan perforin, yang menghancurkan sel
epitel dinding alveolar.
Merokok tidak hanya menyebabkan hipersekresi lendir dan pelepasan enzim proteolitik
neutrofilik, tetapi juga menghambat enzim anti-proteolitik dan makrofag alveolar.
Polimorfisme genetik berperan dalam produksi antiprotease yang tidak memadai pada
perokok. Semua ini berkontribusi terhadap perkembangan emfisema.
Parenkim paru menghasilkan alpha one antitrypsin (AAT), yang menghambat trypsinize dan
neutrofil elastase di paru. Defisiensi AAT dapat menyebabkan emfisema panacinar.
Manifestasi klinis
Kebanyakan pasien datang dengan gejala yang sangat tidak spesifik berupa sesak napas
kronis dan batuk dengan atau tanpa produksi dahak. Seiring berkembangnya proses
penyakit, sesak napas dan batuk semakin memburuk. Awalnya, terdapat dispnea saat
beraktivitas dengan aktivitas fisik yang signifikan, terutama kerja lengan setinggi atau di atas
bahu, yang kemudian berkembang menjadi dispnea dengan aktivitas sederhana sehari-hari
dan bahkan saat istirahat. Beberapa pasien mungkin mengalami mengi karena hambatan
aliran udara.
Seiring berkembangnya PPOK, pasien dapat kehilangan berat badan secara signifikan
karena peradangan sistemik dan peningkatan energi yang dihabiskan untuk kerja
pernapasan. Selain itu, sering terjadi eksaserbasi intermiten seiring dengan meningkatnya
penyumbatan saluran napas. Episode eksaserbasi PPOK dapat ditandai dengan
peningkatan sesak napas, peningkatan keparahan batuk, dan peningkatan dahak, yang
biasanya disebabkan oleh infeksi atau faktor lingkungan.
Riwayat merokok merupakan hal yang penting, dengan penekanan pada usia orang tersebut
mulai merokok dan jumlah tahun merokok. Jika orang tersebut telah berhenti merokok,
penting untuk mengetahui berapa tahun telah berlalu sejak terakhir kali dia merokok.
Riwayat paparan lingkungan dan pekerjaan serta riwayat keluarga dengan kondisi
pernapasan kronis dan PPOK sangat penting.
Pada tahap awal penyakit, pemeriksaan fisik mungkin normal. Pasien dengan emfisema
biasanya disebut sebagai “pink puffers,” yang berarti cachectic dan non-cyanotic. Ekspirasi
melalui bibir yang mengerucut meningkatkan tekanan saluran napas dan mencegah kolaps
saluran napas selama pernapasan, dan penggunaan otot bantu pernapasan
mengindikasikan penyakit lanjut. Jari tabuh bukan tipikal PPOK. Banyak penyakit penyerta
lainnya yang mungkin terjadi. Perokok saat ini mungkin memiliki bau asap dan noda nikotin
pada tangan dan kuku.
Perkusi mungkin normal pada awal penyakit. Pemeriksaan selanjutnya dapat berkisar dari
ekspirasi berkepanjangan atau mengi saat ekspirasi paksa hingga peningkatan resonansi,
yang menunjukkan hiperinflasi seiring dengan meningkatnya obstruksi jalan napas. Pada
auskultasi terdengar bunyi napas jauh, mengi, ronki pada dasar paru, dan/atau bunyi
jantung jauh.
Pemeriksaan Penunjang
Emfisema adalah diagnosis patologis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium dan
radiografi rutin tidak diindikasikan.
Tes fungsi paru (PFT), khususnya spirometri, adalah diagnosis utama. Tes pasca
bronkodilator dapat dilakukan pada pasien dengan nilai abnormal. PPOK hanya bersifat
reversibel sebagian atau ireversibel dengan bronkodilator, dan FEV1/FVC pasca
bronkodilator kurang dari 0,07, yang bersifat diagnostik.
Penentuan stadium GOLD berdasarkan tingkat keparahan keterbatasan aliran udara adalah
sebagai berikut:
- Ringan dengan FEV1 lebih besar atau sama dengan perkiraan 80%.
- Sedang dengan FEV1 kurang dari perkiraan 80%.
- Parah dengan FEV1 kurang dari 50% perkiraan
- Sangat parah dengan FEV1 kurang dari perkiraan 30%.
Pengukuran volume paru-paru yang menunjukkan adanya perangkap udara pada emfisema
menunjukkan peningkatan volume residu dan kapasitas total paru-paru. Kapasitas difusi
karbon monoksida berkurang karena kerusakan emfisematous pada membran paru kapiler
alveolar.
Rontgen dada hanya membantu dalam diagnosis jika emfisema parah, namun biasanya
merupakan langkah pertama ketika mencurigai adanya PPOK untuk menyingkirkan
penyebab lainnya. Penghancuran alveoli dan terperangkapnya udara menyebabkan
hiperinflasi paru-paru dengan mendatarnya diafragma, dan jantung tampak memanjang dan
berbentuk tabung.
Gas darah arteri biasanya tidak diperlukan pada PPOK ringan sampai sedang. Hal ini
dilakukan ketika saturasi oksigen berada di bawah 92% atau ketika penilaian hiperkapnia
diperlukan pada obstruksi aliran udara yang parah.
Diagnosis
Penatalaksanaan
Belum ada pengobatan pasti yang dapat mengubah proses penyakit. Namun, modifikasi
faktor risiko dan pengelolaan gejala telah terbukti efektif dalam memperlambat
perkembangan penyakit dan mengoptimalkan kualitas hidup.
Berdasarkan gejala dan jumlah eksaserbasinya, kita dapat membagi penyakit ini menjadi 4
stadium COPD GOLD dan memodifikasi pengobatannya.
Terapi Medis
Terapi medis mencakup penggunaan bronkodilator saja atau dikombinasikan dengan obat
antiinflamasi seperti kortikosteroid dan inhibitor fosfodiesterase-4.
Bronkodilator
Mekanisme kerja utama dapat dibagi menjadi dua kategori: agonis beta2 dan obat
antikolinergik. Mereka adalah obat lini pertama untuk COPD dan diberikan melalui inhalasi.
Mereka diketahui meningkatkan FEV1 dengan mengubah tonus otot polos saluran udara
dan dengan demikian meningkatkan toleransi latihan. Bronkodilator biasanya diberikan
secara teratur untuk mencegah dan mengurangi gejala, eksaserbasi, dan rawat inap.
Agonis beta 2 kerja pendek (SABA) dan antagonis muskarinik kerja pendek (SAMA)
biasanya diresepkan sesuai kebutuhan untuk penatalaksanaan dispnea intermiten. Agonis
beta 2 kerja panjang (LABA) dan antagonis muskarinik kerja panjang (LAMA) digunakan,
terutama pada kasus dispnea yang meningkat atau dispnea yang lebih dari sekadar
sesekali. Jika gejalanya menetap saat menggunakan satu bronkodilator, bronkodilator lain
harus ditambahkan.
Agonis beta 2 menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas. SABA, seperti albuterol,
dapat digunakan dengan atau tanpa antikolinergik. SABA adalah andalan dalam
eksaserbasi PPOK. LABA meliputi formoterol, salmeterol, indacaterol, olodaterol, vilanterol,
dan lain-lain. Efek sampingnya adalah aritmia, tremor, dan hipokalemia. Perhatian harus
diberikan pada gagal jantung karena takikardia dapat memicu gagal jantung.
Kortikosteroid inhalasi (ICS) adalah terapi tambahan untuk bronkodilator dalam terapi
lanjutan. ICS termasuk beclomethasone, budesonide, fluticasone, dll. Efek samping yang
umum adalah infeksi lokal, batuk, dan pneumonia. Kortikosteroid sistemik oral digunakan
untuk semua pasien dengan PPOK eksaserbasi dan dihindari pada pasien stabil karena
efek samping yang lebih besar.
Terapi inhalasi rangkap tiga (LABA+ LAMA+ ICS) baru-baru ini disetujui oleh FDA dan hanya
diminum sekali sehari.
Terapi augmentasi antitripsin alfa1 intravena untuk pasien AATD. Mahalnya biaya dan
kurangnya ketersediaan menjadi keterbatasan utama terapi ini.
Terapi Suportif
Terapi suportif meliputi terapi oksigen dan dukungan ventilasi, rehabilitasi paru, dan
perawatan paliatif.
Oksigen tambahan rutin tidak meningkatkan kualitas hidup atau hasil klinis pada pasien
stabil. Pemberian oksigen tambahan jangka panjang secara terus menerus, yaitu lebih dari
15 jam, direkomendasikan pada pasien PPOK dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg (atau
saturasi oksigen kurang dari 88%) atau PaO2 kurang dari 59 mm Hg pada kasus kor
pulmonal. Terapi oksigen telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan
hipoksemia istirahat yang parah. Bagi mereka yang mengalami desaturasi saat berolahraga,
oksigen intermiten akan membantu. Tujuannya adalah untuk menjaga saturasi oksigen lebih
besar dari 90%.
Ventilasi tekanan positif noninvasif (NPPV) diketahui menurunkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan gagal napas akut. Ini harus dicoba sebagai cara ventilasi pertama pada
pasien PPOK eksaserbasi dengan gagal napas yang tidak memiliki kontraindikasi absolut
karena meningkatkan pertukaran gas, mengurangi durasi rawat inap, mengurangi kerja
pernapasan, meningkatkan pencocokan VQ, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Jika
NPPV tidak bekerja pada pasien PPOK di rumah sakit, pasien harus diintubasi dan dipasang
ventilator.
Rehabilitasi paru untuk pasien dengan gejala parah dan eksaserbasi multipel mengurangi
dispnea dan rawat inap dan direkomendasikan untuk GOLD stadium B, C, dan D.
Meskipun tersedia sejak orang tersebut didiagnosis menderita COPD, perawatan paliatif
biasanya direkomendasikan untuk GOLD stadium D. Perawatan ini merupakan perawatan
tambahan pada rencana perawatan pasien yang berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk
memberikan kualitas hidup terbaik. Hal ini tidak hanya berperan dalam penilaian dan
penatalaksanaan gejala, namun juga membantu pasien memahami penyakitnya dan
memfasilitasi diskusi tentang tujuan perawatan pasien, perawatan lanjutan, dan rencana
perawatan di akhir hayatnya. Perencanaan perawatan awal melibatkan komunikasi antara
pasien, keluarga mereka, dan dokter serta membantu pasien merumuskan preferensi
pengobatan mereka. Meyakinkan pasien dengan rencana yang jelas untuk menangani
dispnea pada penyakit lanjut dan pengelolaan depresi dan kecemasan merupakan
komponen penting dari perawatan paliatif. Hal ini dapat ditangani dengan opioid dosis
rendah, modifikasi gaya hidup, dan teknik relaksasi. Kebanyakan pasien meremehkan
penyakit ini, jadi penting untuk mencari waktu transisi dan mendiskusikan perawatan
lanjutan pada tahap awal penyakit. Penting juga untuk mengetahui di mana pasien ingin
menghabiskan hari-hari terakhirnya (misalnya, rumah atau rumah sakit) dan membantu
memberikan mereka kenyamanan sebanyak mungkin.
Terapi Intervensi
Identifikasi dan pengurangan paparan faktor risiko. Konseling tentang berhenti merokok
adalah satu-satunya intervensi terpenting yang memperlambat perkembangan penyakit ini.
Mengurangi paparan terhadap api terbuka untuk memasak dan meningkatkan ventilasi yang
efisien juga bermanfaat.
Opioid oral setiap hari untuk gejala PPOK parah yang sulit disembuhkan dengan terapi
medis. Suplementasi nutrisi pada pasien malnutrisi dengan PPOK
Vaksin pneumokokus 23 valent setiap lima tahun untuk pasien PPOK berusia lebih dari 65
tahun atau dengan penyakit jantung paru lainnya dan vaksin Influenza untuk semua pasien
PPOK setiap tahun
Tingkat penerimaan kembali dapat dikurangi dengan konseling tentang penggunaan inhaler
dosis terukur (MDI) secara optimal
Pencegahan
- Penghentian merokok
- Vaksinasi terhadap Pneumococcus dan Haemophilus Influenzae.
Perbedaan diagnosa
Penyakit ini muncul dengan gejala yang tidak spesifik, sehingga memiliki diagnosis banding
yang luas. Ini termasuk:
- Hipertensi paru
- Kor pulmonal
- Gagal napas kronis
- Pneumotoraks spontan
Prognosa
Berbagai indikator prognostik telah dievaluasi sehubungan dengan mortalitas dan morbiditas
yang berhubungan dengan emfisema. Penyakit lain yang hidup berdampingan juga
membuat prognosis pasien PPOK lebih buruk. Misalnya, pasien dengan gejala asma dan
PPOK memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dengan angka kematian yang lebih tinggi.
Demikian pula, pasien dengan emfisema yang mengalami peningkatan kadar antitripsin
alfa-1 serum juga memiliki angka kematian yang lebih tinggi. Penyakit penyerta lain yang
sering ditemui termasuk sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan
bronkiektasis.
Obstructive Sleep Apneu
Apnea tidur obstruktif (OSA) ditandai dengan episode kolaps total (apnea) atau kolaps
sebagian (hipopnea) pada saluran napas bagian atas yang disertai dengan penurunan
saturasi oksigen atau gairah dari tidur. Gangguan ini mengakibatkan tidur yang
terfragmentasi dan tidak memulihkan. Gejala lain termasuk mendengkur yang keras dan
mengganggu, apnea saat tidur, dan rasa kantuk yang berlebihan di siang hari. OSA memiliki
implikasi signifikan terhadap kesehatan jantung, penyakit mental, kualitas hidup, dan
keselamatan berkendara.
Faktor Anatomi :
- Mikrognatia, retrognatia
- Pemanjangan wajah
- Hipoplasia mandibula
- Hipertrofi adenoid dan tonsil
- Perpindahan hyoid ke inferior
Faktor Tambahan :
- Penggunaan alkohol
- Merokok
- Penggunaan obat penenang dan hipnotik
Hubungan antara OSA dan berbagai gangguan medis terutama didasarkan pada studi
observasional dan belum tentu uji klinis acak.
Epidemiologi
Apnea tidur obstruktif adalah kondisi umum dengan konsekuensi buruk yang signifikan. OSA
(menggunakan definisi 5 atau lebih kejadian/jam) mempengaruhi hampir 1 miliar orang di
seluruh dunia, dengan 425 juta orang dewasa berusia 30-69 tahun menderita OSA sedang
hingga berat (15 kejadian atau lebih/jam). Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa 25-30%
pria dan 9-17% wanita memenuhi kriteria apnea tidur obstruktif. Prevalensi lebih tinggi pada
populasi Hispanik, Kulit Hitam, dan Asia. Prevalensinya juga meningkat seiring
bertambahnya usia, dan ketika seseorang mencapai usia 50 tahun atau lebih, jumlah
perempuan dan laki-laki yang mengidap kelainan ini sama banyaknya. Meningkatnya
prevalensi OSA berhubungan dengan meningkatnya angka obesitas yang berkisar antara
14% dan 55%. Telah dilaporkan bahwa terdapat komponen genetik karena beberapa faktor
risiko, termasuk obesitas dan struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas, diturunkan
secara genetik.
Patofisiologi
Obstruksi saluran napas bagian atas saat tidur sering kali disebabkan oleh penurunan
tekanan negatif selama inspirasi; namun, penyempitan ekspirasi progresif di area
retropalatal memainkan peranan penting. Besarnya penyempitan saluran napas bagian atas
saat tidur sering dikaitkan dengan indeks massa tubuh, yang menunjukkan bahwa faktor
anatomi dan neuromuskular berkontribusi terhadap obstruksi jalan napas. Untuk memahami
mekanisme OSA, akan berguna jika menggunakan konsep hubungan tekanan-aliran melalui
tabung yang dapat dilipat. Informasi tambahan mengenai faktor risiko tersedia di bagian
etiologi.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan dugaan OSA biasanya datang dengan rasa kantuk yang berlebihan di siang
hari, mendengkur keras, terengah-engah, tersedak, atau henti napas saat tidur yang
disaksikan oleh pasangan tidurnya. Kantuk di siang hari yang berlebihan adalah salah satu
gejala yang paling umum. Namun sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala.
Banyak pasien hanya melaporkan kelelahan di siang hari dengan atau tanpa gejala terkait
lainnya. Oleh karena itu, perbedaan antara kantuk dan kelelahan harus dinilai secara
objektif. Skala Kantuk Epworth (ESS) dapat digunakan untuk mengevaluasi secara
kuantitatif tingkat keparahan kantuk. Skor ESS berkisar antara 0 hingga 24, dan lebih dari 9
poin menunjukkan adanya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan memerlukan
penilaian tambahan. Skala tingkat keparahan kelelahan juga dapat menilai tingkat
keparahan gejala kelelahan. Menggunakan ESS dan FSS biasanya membantu karena
gejala kantuk dan kelelahan dapat muncul secara bersamaan. Gejala lainnya bervariasi dari
sakit kepala di pagi hari dan insomnia yang dilaporkan sendiri hingga nokturia. Gejala
insomnia awal tidur dan insomnia pemeliharaan tidur paling banyak dilaporkan oleh wanita.
Kuesioner STOP - BANG adalah salah satu alat skrining OSA yang paling banyak diterima.
Obesitas adalah temuan paling umum pada individu dengan OSA. Temuan fisik lainnya
adalah lingkar leher besar (17 inci atau 43 cm pada pria dan 16 inci atau 40,5 cm), orofaring
padat (Mallampati 3 hingga 4), retrognathia, mikrognathia, hipertrofi tonsil, langit-langit mulut
rendah, overjet, dan lidah besar. . Namun, setelah disesuaikan dengan berat badan dan
ukuran leher, hanya penyempitan lateral yang merupakan prediktor independen OSA.
Pemeriksaan Penunjang
Setiap pasien dewasa dengan gejala siang hari atau gejala terkait tidur yang tidak dapat
dijelaskan seperti kantuk berlebihan, kelelahan, atau tidur yang tidak menyegarkan harus
dievaluasi untuk apnea tidur. Namun, skrining universal untuk OSA tidak dianjurkan pada
pasien tanpa gejala kecuali bagi mereka yang berisiko terhadap bahaya pekerjaan seperti
mengemudi atau pilot. Selain itu, karena tingginya prevalensi OSA dan beban penyakit,
pasien dengan penyakit penyerta tertentu seperti fibrilasi atrium refrakter, hipertensi resisten,
dan riwayat stroke dapat diskrining untuk apnea tidur apa pun gejalanya.
Polisomnografi Level 1 (PSG) di laboratorium pada malam hari adalah tes standar emas
untuk diagnosis apnea tidur obstruktif. Selama tes, pasien dipantau dengan sadapan EEG,
oksimetri nadi, sensor suhu dan tekanan untuk mendeteksi aliran udara hidung dan mulut,
sabuk plethysmografi impedansi pernapasan di sekitar dada dan perut untuk mendeteksi
gerakan, sadapan EKG, dan sensor EMG untuk mendeteksi kontraksi otot. dagu, dada, dan
kaki (seperti yang digambarkan dalam poligraf).
Pemantau mendengkur adalah saluran yang diperlukan tetapi tidak digunakan untuk menilai
kejadian pernapasan apa pun
Diagnosis
Tatalaksana Komprehensif
Perawatan OSA adalah pendekatan multi-cabang dan harus disesuaikan secara individual
untuk setiap pasien. Meskipun pengobatan OSA sedang hingga berat telah terbukti
meningkatkan hasil klinis , terdapat bukti yang terbatas atau tidak konsisten mengenai
dampak terapi OSA ringan terhadap neurokognisi, suasana hati, kecelakaan kendaraan,
kejadian kardiovaskular, stroke, dan aritmia.
Terapi Posisi
OSA yang lebih menonjol pada posisi terlentang dapat ditangani dengan alat pengatur posisi
agar pasien tetap miring dapat menjadi pilihan.
Tekanan saluran napas positif berkelanjutan (PAP) adalah pengobatan paling efektif untuk
orang dewasa. Bilevel PAP (BPAP) juga lebih baik ditoleransi oleh pasien yang
memerlukan pengaturan tekanan lebih tinggi (lebih besar dari 15 cm H2O). Namun,
meskipun PAP mempunyai efektivitas yang tinggi dalam menghilangkan kejadian
pernafasan, efektivitasnya berkurang karena berkurangnya penggunaan pengobatan selama
tidur dan kepatuhan yang tidak memadai. Kepatuhan terhadap PAP di antara pasien OSA
masih menjadi tantangan besar karena hampir separuh pasien tidak cukup mematuhi
pengobatan setelah bulan pertama. American Thoracic Society menerbitkan pernyataan
baru-baru ini tentang sistem pelacakan kepatuhan PAP dan strategi pemantauan optimal
serta ukuran hasil pada orang dewasa. Penting untuk membakukan laporan kepatuhan PAP
tidak hanya jumlah jam yang digunakan lebih dari 4 jam per malam (>70% malam) tetapi
juga jumlah kebocoran masker dan indeks sisa apnea dan hipopnea. Namun, apa tujuan
optimal kepatuhan pengobatan OSA? Penelitian terbaru mengamati kegunaan intervensi
kepatuhan telemedis, pemantauan CPAP jarak jauh, dan fitur yang lebih interaktif dengan
masing-masing pasien dan keluarga mereka telah terbukti meningkatkan tingkat kepatuhan
CPAP.
Beberapa penelitian telah melaporkan temuan yang bertentangan ketika menilai efek terapi
PAP terhadap outcome kardiovaskular pada pasien OSA. Dalam uji coba kontrol acak
baru-baru ini, penggunaan CPAP selama minimal satu tahun pada pasien dengan Sindrom
Koroner Akut (ACS) dan OSA (ISAACC) tanpa rasa kantuk yang berlebihan di siang hari
tidak menurunkan kejadian kejadian kardiovaskular (didefinisikan sebagai penyakit terkait
jantung). kematian atau satu atau lebih akibat berikut: infark miokard akut, stroke non-fatal,
rawat inap di rumah sakit karena gagal jantung, dan rawat inap baru karena angina tidak
stabil atau serangan iskemik transien). Kepatuhan terhadap terapi PAP rendah (2,78
jam/malam), dan tindak lanjutnya tidak cukup lama, yang merupakan keterbatasan signifikan
dari penelitian ini. Dalam studi kohort observasional lainnya dengan tindak lanjut jangka
panjang, penggunaan PAP dikaitkan dengan semua penyebab kematian yang lebih rendah
di antara pasien dengan OSA parah sekitar tahun ke 6-7 masa tindak lanjut. Dalam
penelitian yang lebih baru, pasien dengan penyakit arteri koroner dan OSA tanpa rasa
kantuk berlebihan yang menunjukkan perubahan detak jantung yang lebih tinggi mendapat
manfaat lebih dari terapi CPAP.
Prognosis
Prognosis jangka pendek OSA dengan pengobatan baik, tetapi prognosis jangka panjang
tidak berbahaya. Masalah terbesar adalah kurangnya kepatuhan terhadap CPAP, karena
hampir 50% pasien berhenti menggunakan CPAP dalam bulan pertama meskipun telah
mendapat pendidikan. Banyak pasien memiliki penyakit penyerta dan/atau berisiko
mengalami kejadian buruk pada jantung dan stroke. Oleh karena itu, mereka yang tidak
menggunakan CPAP mempunyai peningkatan risiko efek samping jantung dan otak selain
biaya perawatan kesehatan tahunan yang lebih tinggi. Lebih lanjut, OSA juga dikaitkan
dengan hipertensi pulmonal, hiperkapnia, hipoksemia, dan sedasi di siang hari. Selain itu,
individu tersebut memiliki risiko tinggi mengalami kecelakaan kendaraan bermotor. Harapan
hidup pasien OSA secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan populasi umum. OSA
diketahui mempengaruhi fungsi jantung, terutama pada individu yang mengalami obesitas.
Pengobatan CPAP baru-baru ini ditemukan meningkatkan mekanika ventrikel kiri (LV) dan
ventrikel kanan (RV) pada pasien dengan OSA.
- Komplikasi
- Hipertensi
- Infark miokard
- Kecelakaan serebrovaskular
- Depresi
- Kecelakaan yang berhubungan dengan sulit tidur
SOPT
1. PENGERTIAN
SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi saluran
napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi paru yang
minimal yang mash sering ditemukan pada pasien pasca Tuberkulosis.
Kerusakan paru yang terjadi pada penyakit saluran pernapasan obstruktif adalah
komplikasi yang terjadi pada sebagian besar penderita Tuberkulosis pasca
pengobatan. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal par
dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) Hilangnya fungi paru paling tinggi terjadi pada 6 bulan sat
diagnosis tuberkulosis dan 12 bulan setelah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis
Etiologi
Penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang
yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan
peradangan nonspesifik yang luas.
Peradangan yang berlangsung lama in menyebabkan gangguan faal paru berupa
adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun,
perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi tidak
maksimal
Pathogenesis
Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada Tuberkulosis paru yang mengarah ke
timbulnya sindrom pasca Tuberkulosis sangat kompleks pada penelitian terdahulu
dikatakan akibat destruksi jaringan paru ole proses Tuberkulosis. Kemungkinan lain
adalah akibat infeksi Tuberkulosis, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan
sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya
neutrofil ke dalam parenkim par makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama
in menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk
jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan
paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara
spirometri
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda :
1. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain).
2. Tanda-tanda pennarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3. Sekret di saluran nafas dan ronki.
4. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan
bronkus.
Diagnosis
Diagnosis SOPT di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis :
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisik
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
Diagnosis Banding
1.РРОК
2. Gagal jantung kronis
3.Pneumotoraks
4.Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal :
bronkiektasis, destroyed lung
Penatalaksanaan
Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk dan
timbul sesak bertahun tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi karena
adanya kerusakan paru yang permanen, gangguan menetap restriktif dan
sebagian obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita SOPT ini
irreversibel pada pemberian obat bronkodilator dan bahkan dengan
kortikosteroid Namun SOPT termasuk dalam
penyakit obstruksi paru yang gejalanya mirip PPOK. Terapi SOPT
diberikan sesuai kausa. Pilihan terapi untuk SOPT, adalah:
1. Bronkodilator:
a. golongan atikolinergik : ipatropium bromida (0,5 mg)
b. golongan agonis ß-2 : salbutamol (2,5 mg)
c. Kombinasi : ipatropium bromida (0,5 mmg) dengan
salbutamol (2,5 mg) nebulasi
d. golongan xantin : aminofilin (200 mg)
2. Antinflamasi : Prednison atau metil prednisolon
3. Anti-oksidan : N-acetyl cystein
4. Anti biotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) golongan 3-
lactam dan makrolid
5. Terapi oksigen
6. Rehabilitasi medik
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada SOPT adalah :
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan
Pco2 > 60 mmH, dan pH normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tapa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun.
Infeksi berulang
Pada pasien SOPT produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal :Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat
disertai gagal jantung kanan
Prognosis
dan ketaan dalam terapi nya.Prognosis SOPT bergantung