Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam. Bandung: Mizan. 2003. Xxxvi + 188h. ISBN: 9794333301.
Oleh: Chusnul Khatimah Amri (80400222008)
Mulyadhi kartanegara lahir di Tangerang pada tanggal 11 Juni 1959. Ia besar
Tangerang dan latar belakang Pendidikan beliau, Pendidikan dasar di SD Legok Tangerang selanjutnya melanjutnya pendidikannya di PGAN di Tangerang. Ia kemudian melanjutkan studinya di Sekolah Persiapan (SP) IAIN Ciputat pada tahun 1978 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1984. Ia meraih gelar master pada tahun 1989 di University of Chicago dari Department of Near Eastern Languages and Civilization (NELC) Banyak profesi yang ditekuni oleh Mulyadhi kartanegara. Ia adalah seorang guru besar filsafat Islam dan dosen diberbagai universitas dan perguruan tinggi ternama di Indonesia. Kini ia juga aktif menjabat sebagai staf ahli di Yayasan Madania dan juga aktif sebagai direktur di Center of Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) Jakarta. Salah satu karya Mulyadhi kartanegara ialah buku Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam pada tahun 2003. Jika dilihat dari karya-karyanya Sebagian besar mengulas tentang keilmuan Islam beserta permasalahannya. Yang melatar belakangi Mulyadhi kartanegara dalam penulisan karya karyanya tersebut ialah kegelisahan intelektual beliau yakni terkait masalah kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Dan juga kegelisahannya menyaksikan dinamika perkembangan Islam Indonesia beberapa tahun terakhir. Menurut pengamatannya saat ini Islam seolah identic dengan hal-hal yang kurang positif, kurang intoleran, lekat dengan kekerasan dan tidak humanis yang sama sekali tidak menggambarkan Islam sebagaimana adanya. Pada bab 1, Mulyadhi kartanegara menjelaskan perbedaan antara pengetahuan, sains dan ilmu. Sering kali kita keliru terhadap definisi pengetahuan, ilmu dan sains dan bahkan menyamakan antara ilmu dan pengetahuan serta sains dan ilmu tetapi di buku ini Mulyadhi kartanegara menjelaskan secara detail perbedaan ketiga kata tersebut. Jika dilihat sesuai tingkatan cakupannya, pengetahuanlah yang tingkatan paling bawah kemudian sains dan yang teratas adalah ilmu. Hal ini dikarenakan pengetahuan didefinisikan sebagai opini atau semata pengetahuan umum yang belum teruji kebenaranya. Sedangkan sains adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya dan bersifat empiris artinya yang dapat diindera dan diamati baik itu menggunakan alat bantu seperti mikroskop maupun secara mata telanjang. Sains hanya mencakup segala sesuatu yang dapat di observasi secara inderawi seperti alam dan dunia fisik saja tanpa memperhatikan bidang metafisika dan matermatika. Selanjutnya, ilmu tidak hanya mencakup bidang fisik saja melainkan juga bidang matematika dan metafisika. Adapun objek-objek ilmu metafisika di antaranya ialah tuhan, malaikat, jin, ruh, hari kiamat dan lain sebagainya. Meski tergolong dalam bidang metafisik, hal ini secara entitas sama riilnya dengan objek-objek fisik yang bersifat empiris. Pada bab 2, pandangan dunia yang dibangun oleh saintifik, filosofis dan agama saling melengkapi satu sama lain. Pandangan dunia ilmiah menggeser pola pikir manusia menjadi materialistik dan memandang seluruh yang terjadi di alam semesta ini hanyalah sebuah kebetulan yang dengan sendirinya ada tanpa ada yang menciptakannya. Dengan melihat pembatasan cakupan dalam sains maka filsafat lebih flesibel dalam menggambarkan dunia ini. Menurut pandangan filsafat alam semesta ini merupakan karya sang pencipta yang merupakan sebab utama adanya seluruh komponen yang ada di alam semesta ini (h.12). Adapun pandangan dunia bagi agama menganggap bahwa melalui alam semesta kita dapat mengenal tuhan karena alam semesta dan seisinya inilah merupakan tanda dan bukti kebesaran sang ilahi. Semakin kita mempelajari dunia ini maka akan semakin kagum pula kita pada tuhan. Pada bab 3, menyadari bahwa kompleknya struktur tubuh manusia dan sungguh luar biasanya ciptaan tuhan yang tidak hanya menitipkan kita organ tubuh saja melainkan juga memberikan kita indra, akal dan hati yang mana semuanya sangat berperan penting untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan indra kita dapat melihat, mendengar, merasakan, merekam, bahkan dapat menilai objek apakah itu bermanfaat atau berbahaya bagi kita. Selain lima dimensi indra yang sudah sangat umum kita ketahui, dalam bab ini dijelaskan juga pancaindra batin yang terdiri atas indra bersama, khayal, daya estimasi, imajinasi dan memori. Sumber pengetahuan lain selain indra ialah akal dan hati. Pada bab 4, Mulyadhi kartanegara menampilkan perbedaan pandangan status ontologis objek-objek ilmu antara epistemologi barat modern sekunder dengan epistemologi islam. Dijelaskan bahwa epistemologi barat hanya meyakini status keberadaan objek fisik saja sedangkan keyakinana atas status keberadaan atau ontologis yang diakui oleh epistemology islam ialah objek fisik, metafisik dan matematika. Salah satu filsuf muslim yakni alfarabi mengakui status ontologis metafisik yakni tuhan dan malaikat yang dimana tuhan merupakan sebab pertama atas keberadaaan wujud lain diantaranya malaikat, benda angkasa dan benda bumi. Pada bab 5, setelah membahas status ontologis di bab sebelumnya maka pada bab ini Mulyadhi kartanegara memaparkan klasifikasi ilmu dari ketiga objek yaitu objek fisik, metafisika dan matematika. Suatu ilmu dapat diakui secara sah apabila status ontologisnya jelas dan telah diafirmasi. Adapun cabang ilmu dari metafisika diantara teologi yang objeknya tuhan dan angelologi objeknya malaikat atau akal. Cabang ilmu matematika ini menimbulkan banyak perbedaan pandangan mengenai status objeknya. Walaupun matematika ini bersifat immaterial tetapi objek ini seperti angka megadakan kontak langsung dengan materi dan gerak agar memberinya makna contohnya 1 mobil, 2 rumah. Sedangkan ilmu alam atau fisika yang objeknya tentu saja yang dapat diindera seperti mineral, tumbuhan dan hewan. Cabang ilmu alam yang objeknya tumbuhan disebut botani dan hewan disebut zoologi. Pada bab 6, metode ilmiah terbagi atas tiga metode yakni metode observasi. Metode burhani dan metode intuitif. Tetapi ketiga metode ini tidak menutup diri dalam berkolaborasi untuk meneliti suatu objek sebagaimana adanya, contoh metode observasi dapat digabungkan dengan matematika. Langkah yang harus ditempuh ketika ingin mengetahui suatu objek ilmu sebagaimana adanya disebut metode ilmiah. Metode observasi dapat digunakan untuk meneliti objek fisik dapat dengan bantuan alat karena mengingat keterbatasan indra kita dalam melihat sesuatu sebagaimana adanya. Dengan ketiga metode inilah membantu banyak ilmuwan dan filosof dalam meneliti objek baik fisik, matematika dan metafisika. Pada bab 7, keabsahan suatu ilmu mustahil jika hanya dilihat dari objektivitasnya saja tetapi mau bagaimanapun pastinya akan melibatkan subjektivitas. Mengingat kemampuan alat indra kita sangat terbatas untuk melihat suatu objek sebagaimana adanya maka apa yang kita peroleh secara indrawi belum bisa dikatakan pengetahuan yang objektif untuk mengukur objektivitas suatu objek fisik sehingga diperlukan alat ukur bantu untuk melihat kenyataan suatu objek. Sama halnya dengan ilmu empiris, para filosof dan ilmuwan muslim mengembangkan metode rasional yaitu logika. Ilmu metafisika diterima kebenarannya apabila telah melalui verifikasi logis dan terhindar dari kekeliruan logis. Pada bab 8, penullis membahas tentang upaya yang dilakukan ilmuwan dan filsuf dalam menghampiri kebenaran ada dua metode yaitu metode indrawi yang berhubungan dengan objek empiris dan metode demonstrasi atau logika yang berhubungan dengan objek nonempiris. Para filsuf muslim mengemukakan bahwa tidak hanya dengan faktor indra dan akal saja untuk memperoleh kebenaran dan kepastian suatu pengetahuan sejati melainkan juga dengan factor transenden atau yang disebut dengan akal aktif. Pada bab 9, pengalaman mistik dipandang subjektivitas karena berdasarkan pengalaman manusia. Pada bab ini Mulyadhi kartanegara berpendapat bahwa pengalaman mistik memiliki unsur objektif dan subjektif. Sekalipun pengalaman mistik ini subjektivitas tetapi tetap memiliki ontologis dan riil. Contoh pengalaman mistik yang ditampilkan pada bab ini ialah mimpi yang mana mimpi ini melibatkan dua alam, alam fisik dan nonfisik yang memungkinkan pertukaran objek-objek fisik dan nonfisik tersebut. Pada bab 10, mi’raj merupakan bukti riil sebuah pengalaman spiritual bahwa di dunia ini tidak hanya fisik saja melainkan ada metafisik juga. Para sufi dan filsuf telah menjadikan perjalanan nabi yaitu mi’raj sebagai legitimasi bagi ajaran kosmologis. Dideskripsikan karangan narasi karya Ibnu Sina pengembaraan transkosmik tentang burung yang mencari jati dirinya dan jiwa sejatinya serta membebaskannya dari pemikiran pemikiran konvensional yang telah dianut sekian lama. Pada bab 11, yang membahas tentang filsafat kenabian sangat erat kaitannya dengan bab sebelumnya yaitu tentang pengalaman mistik. Para filsuf muslim bersepakat bahwa wahyu merupakan salah satu sumber ilmu. Para filosof muslim seperti al-Farabi dan Ibnu sina memperoleh rujukan teori kenabian dari pemikiran terdahulu khususnya pada teori psikologi dan teori metafisika. Pada bab ini terdapat dua pandangan filsuf ternama yaitu alfarabi dan Ibnu sina mengenai kenabian filsafat. Hal yang membedakan nabi dengan manusia biasa pada umumnya ialah dari kecakapan khusus yang dimilikinya yaitu intuisi suci dan daya imajinasi komposif. Walaupun demikian, nabi tetaplah dipandang sebagai manusia sejati yang dikaruniai oleh tuhan keistimewaan. Pada bab 12, dikatakan naturalisasi ilmu karena ilmu yang diperoleh kemudian beradaptasi sesuai nilai-nilai budaya, agama, politik dan ekonomi. Menurut Prof Sadra ada tiga tahap naturalisasi atau biasa disebut dengan islamisasi ilmu Yunani, tahap pertama ialah menyaksikan perolehan ilmu dan falsafah kuno, terkhusus Yunani, dengan menerjemahkan karya yang bertuliskan bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, kemudian tahap kedua sikap kewaspadaan dan jaga jarak ini telah memberi jalan pada rasa ingin tahu yang tinggi dan eksperimen intelektual, kemudian tahap terakhir yaitu kita menemukan asimilasi penelitian filosofis dalam batas-batas rambu-rambu agama atau preskripsi. Pada bab 13, hal-hal yang bersifat spiritual diabaikan sehingga hanya memandang hal-hal yang duniawi saja pada objek-objek ilmu, ini disebut sebagai sekularisasi ilmu. Di barat Renaissans ialah peristiwa besar dimana ini merupakan simbol eropa keluar dari kegelapan. Kemunculan ilmu pengetahuan mulai bersanding dan melawan agama karena agama tidak mampu menjawab persoalan yang meyakinkan secara logis sehingga dampaknya para ilmuwan membantah pendapat rohaniawan.hal ini dapat dikatakan para intelektual eropa anti terhadap agama. Beberapa bidang ilmu pengetahuan terdampak akibat sekularisasi ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, dan astronomi. Salah satu ilmuwan pada bidang biologi yakni laplace, pemikirannya mengenai kemunculan, pembentukan dan perkembangan makhluk hidup yang tidak lagi menyangkutkannya pada penciptaan tuhan atau hal-hal yang spiritual, Laplace percayakan berdasarkan hasil penelitiannya munculnya spesies tersebut berdasarkan seleksi alam. Pada bab 14, pergeseran paragdigma terus terjadi sehingga muncullah istilah islamisasi sains. Salah satu upaya munculnya islamisasi sains ini disebabkan adanya sekularisasi ilmu yang telah dibahas di bab sebelumnya. Islamisasi sains ialah proses naturalisasi ilmu oleh orang-orang islam di wilayahnya masing-masing. Dalam islam membolehkan pengkajian terhadap bidang-bidang ilmu yang luas baik itu fisik, metafisik bahkan matematika. Islam tidak mengenal tabu untuk meneliti objek fisik karena hanya zat tuhanlah yang tidak dapat diteliti. Hasil penelitian ilmiah sains modern dapat diterima dengan baik untuk lebih mengenal Tuhan. Kita ambil contoh yang sama pada bab sebelumnya yaitu pemikiran laplace mengenai munculnya spesies bukan atas kehendak tuhan, pemikiran ini sebenarnya dapat saja diterima asal tidak diasumsikan bahwa kekuatan yang menggerakkan evolusi tersebut ialah seleksi alam. Karena kalau tidak, orang-orang akan sangat mudah menyingkirkan peran tuhan sebagai sang pencipta segala ada ada di muka bumi ini. Demikianlah review singkat buku yang berjudul Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam karya Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara ini. Sebagai tambahan, berikut reviewer paparkan hal-hal yang menjadi daya Tarik dalam buku ini: 1. Walaupun buku ini terkesan sulit dipahami dari penggunaan kata-katanya yang tergolong tinggi, tetapi penulis banyak menampilan ilustrasi dan contoh-contoh yang menarik sehingga memudahkan pembaca dalam memahami maksud tulisan tersebut. 2. Saling berhubungan dari bab satu dengan bab lainnya 3. Penulis memaparkan kesimpulan di setiap akhir bab sehingga pembaca dapat merefleksikan Kembali apa yang telah dibacanya 4. Dalam penulisannya, Mulyadhi Kartanegara mendukung pandangannya dengan berbagai pendapat para ahli.
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita