Anda di halaman 1dari 16

NAMA : SYARIF WAHYU HIDAYAT

NIM : 23103070006
FAKULTAS : SYARI’AH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI : HUKUM TATANEGARA
KELAS : A
DOSEN ENGAMPU : Dr. Ahmad Yani Anshori, M. Ag.

SIYASAH DUSTURIYAH

A. Persoalan dan lingkup pembahasan

Permasalahan di dalam figh siyasah dustúriyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak
dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-ke- lembagaan yang ada di dalam masyarakatnya.
Sudah tentu ruang lingkup pembahasannya sangat luas. Oleh karena itu, di dalam figh siyasah
dustü- riyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan dan perundang-undang- an yang
dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan
merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.

Figh siyasah dustüriyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan kompleks. Sekalipun
demikian, secara umum, disiplin ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.Persoalan dan ruang lingkup (pembahasan)


2. Persoalan imamah, hak dan kewajibannya
3. Persoalan rakyat, statusnya, dan hak-haknya
4. Persoalan bai'at
5. Persoalan waliyul ahdi
6. Persoalan perwakilan
7. Persoalan ahlul halli wal aqdi
8. Persoalan wuzaroh dan perbandingannya.

Keseluruhan persoalan tersebut, dan persoalan figh siyasah dustüriyah umumnya tidak dapat
dilepaskan dari dua hal pokok: pertama, dalil-dalil kulliy, baik ayat-ayat Al-Qur'an maupun
Hadis, maqosidu syariah, dan semangat ajaran Islam di dalam mengatur masyarakat, yang tidak
akan ber- ubah bagaimanapun perubahan masyarakat. Karena dalil-dalil kulliy tersebut menjadi
unsur dinamisator di dalam mengubah masyarakat. Kedua, aturan- aturan yang dapat berubah
karena perubahan situasi dan kondisi, termasuk di dalamnya hasil ijtihad para ulama, meskipun
tidak seluruhnya.
B. IMAMAH, HAK, DAN KEWAJIBANNYA

1) Imamah

Kata-kata imam di dalam Al-Qur'an, baik dalam bentuk mufrad/tunggal maupun dalam bentuk jamak
atau yang di-idhofahkan tidak kurang dari 12 kali disebutkan. Pada umumnya, kata-kata imam
menunjukkan kepada bimbingan kepada kebaikan, meskipun kadang-kadang dipakai untuk seorang
pemimpin suatu kaum dalam arti yang tidak baik.

Ayat yang menunjukkan imam sebagai ikutan yang baik disebut di dalam:

QS. Yasin: 12,

)١٢ :‫َأْح َص ْي َن اُه ِفي ِإَم اٍم ُم ِبيٍن (يس‬.

”adalah imam yang membenci rakyatnya dan dibenci serta dilaknat oleh rakyatnya”

Oleh karena itu, imam itu sesuatu atau orang yang diikuti oleh sesuatu kaum. Kata imam lebih
banyak digunakan untuk orang yang membawa kepada kebaikan. Di samping itu, kata-kata imam
sering dikaitkan dengan shalat, oleh karena itu di dalam kepustakaan Islam sering dibedakan antara
imam yang berkedudukan sebagai kepala negara atau yang memimpin umat Islam dan imam dalam
arti yang mengimami shalat. Untuk yang pertama sering digunakan istilah al-Imamah al-Udham atau
al-Imamah al-Kubra sedangkan untuk yang kedua sering disebut al-Imamah Shugra. Biasanya, kata-
kata imam hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memimpin di dalam bidang agama.

2) Hak-hak Imam

Al-Mawardi menyebut dua hak imam, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Akan
tetapi, apabila kita pelajari sejarah, ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat
imbalan dari harta baitul- mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai
dengan kedudukannya sebagai imȧm.

Hak yang ketiga ini pada masa Abu Bakar, diceritakan bahwa 6 bulan setelah diangkat jadi
khalifah, Abu Bakar masih pergi ke pasar untuk ber- dagang dan dari hasil dagangannya itulah
beliau memberi nafkah ke- luarganya. Kemudian para sahabat bermusyawarah, karena tidak
mungkin seorang khalifah dengan tugas yang banyak dan berat masih harus berdagang untuk
memenuhi nafkah keluarganya. Maka akhirnya diberi gaji 6.000 dirham setahun,23 dan menurut
riwayat lain digaji 2.000 sampai 2.500 dirham.

Bagaimanapun perbedaan-perbedaan pendapat di dalam jumlah yang diberikan kepada Abu


Bakar satu hal adalah pasti bahwa kaum muslimin pada waktu itu telah meletakkan satu prinsip
penggajian (memberi gaji) ke- pada khalifah.Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya dengan
kewajiban rakyat. Hak untuk ditaati dan dibantu misalnya adalah kewajiban rakyat untuk
menaati dan membantu.
3) Kewajiban-kewajiban imam

a.Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah ditetapkan, dan apa-apa yang telah disepakati oleh
umat salaf.

b. Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan


perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.

c. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tenteram dan tenang berusaha
mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau
hartanya.

d. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara
hak-hak hamba dari kebinasaan dan ke- rusakan.

e. Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani menyerang dan
menumpahkan darah muslim atau nonmuslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim
(mu'ahid).

f. Memerangi orang yang menentang Islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-baik tapi mereka
tidak mau masuk Islam dan tidak pula jadi kafir dzimi

g. Memungut fay dan sedekah-sedekah sesuai dengan ketentuan syara atas dasar nash atau ijtihad
tanpa ragu-ragu.

h. Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari
baitulmal dengan wajar serta membayar- kannya pada waktunya.

i. Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas
serta menyerahkan pengurusan kekayaan negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat
dilaksanakan oleh orang- orang yang ahli, dan harta negara diurus oleh orang yang jujur.

j . Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.

C. RAKYAT, STATUSNYA,HAK-HAKNYA, DAN KEWAJIBANYYA

Rakyat terdiri dari muslim dan nonmuslim, yang nonmuslim ini ada yang disebut kafir dzimi dan ada
pula yang disebut musta'min. Kafir dzimi adalah warga nonmuslim yang menetap selamanya, serta
dihormati tidak boleh diganggu jiwanya, kehormatannya, dan hartanya, sedang musta'min adalah
orang asing yang menetap untuk sementara, dan juga harus dihormati jiwanya, kehormatannya, dan
hartanya. Kafir dzimi memiliki hak-hak kemanusiaan, hak-hak sipil, dan hak-hak politik. Sedangkan
musta'min tidak memiliki hak-hak politik, karena mereka itu orang asing, Persamaannya, kedua-
duanya adalah nonmuslim.

Abu A'la al-Maududi menyebutkan bahwa hak-hak rakyat itu adalah:

1. Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya, dan kehormatannya.

2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi. 3. Kebebasan menyatakan pendapat dan berkeyakinan.

harmonis. Hal ini tidaklah berarti bahwa hak masing-masing dikorbankan. Akan tetapi, justru dengan
melaksa- nakan kewajiban sebaik-baiknya berarti memenuhi hak pihak lain. Imám yang
melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan sadar berarti memenuhi hak rakyat, dan rakyat yang
melaksanakan kewajibannya berarti pula meme- nuhi hak si imam. Tugas-tugas dan hak-hak rakyat
ini rinciannya dapat digariskan oleh ahl al-hall wa al-'aqd sebagai lembaga kekuasaan tertinggi.
Demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban imam. Sudah tentu rincian tersebut dalam batas-
batas untuk kemaslahatan bersama.

D. PERSOALAN BAI'AT

Bai'at (Mubaya'ah), pengakuan mematuhi dan menaati imam yang di- lakukan oleh ahl al-hall wa
al-'aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawarat- an. Diaud-din Rais mengutip pendapat Ibnu
Khaldun tentang bai'at ini, dan menjelaskan:

adalah mereka apabila mem-bai'at-kan seseorang amir dan mengikatkan perjanjian, mereka
meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk menguatkan perjanjian. Hal itu serupa
dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena itu dinamakanlah dia bai'at.

E. PERSOALAN WALIY AL-AHDI: SUMBER KEKUASAAN DAN KRITERIA IMAM

Imamah itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: pertama dengan pemilihan ahl al-hall
wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya. Cara yang
kedua itulah yang dimaksud dengan walivul ahdi. Cara ini diperkenankan atas dasar:

1. Abu Bakar ra menunjuk Umar ra yang kemudian kaum muslimin me- netapkan keimaman
(imamah) Umar dengan penunjukan Abu Bakar tadi.

2. Umar ra menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu syura (imam orang sahabat)
yang kemudian disetujui/dibenarkan oleh sahabat yang lain. Jadi, di dalam kasus ini bukan menunjuk
seseorang tetapi menyerahkan pengangkatan khalifah kepada sekelompok orang (ahlu syara' yang
berwenang).

Ketundukan kepada Al-Qur'an dan Hadis itu merupakan pengakuan bahwa kekuasaan itu pada
hakikatnya adalah milik Allah SWT. dan keter ikatan kepada keputusan ahl al-hall wa al-'aqd di dalam
hal yang tidak di- tentukan oleh Al-Qur'an dan Hadis menunjukkan bahwa di dalam masalah-
masalah ijtihadiyah kekuasaan itu ada pada ahl al-hall wa al-'aqd sebagai wakil-wakil rakyat.

Hal ini tidak berarti adanya dua kekuasaan, sebab ahl al-hall wa al- aqd di dalam
keputusankeputusannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dan semangat Al-Qur'an
dan Hadis, jadi kekuasaan ahl al- hall wa al-'aqd ada di bawah dan di dalam kekuasaan Allah SWT.

Abu Ja'la al-Hanbali menyebut empat syarat, yaitu:

1. Haruslah orang Quraisy (keturunan Nadlar bin Kinanah bin Huzaemah bin Mudzrikah bin Ilyas bin
Mudlar bin Nasar bin Zaad bin Adnn

2. Memiliki syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu, dan adil.

3. Mampu memegang kendali di dalam masalah-masalah peperangan, siyasah, dan pelaksanaan


hukuman.

4. Orang yang paling baik/utama di dalam ilmu dan agama.

Sedangkan Ibnu Khaldun hanya memberikan 4 syarat, yaitu:

1. Memiliki Ilmu Pengetahuan.


2. Adil.

3. Mampu melaksanakan tugas, termasuk kearifan.

4. Sehat jasmani dalam arti pancaindranya dan anggota badan lainnya.

Oleh karena itu, mendidik pribadi-pribadi untuk jadi pemimpin adalah penting, agar banyak terdapat
calon-calon pemimpin yang memenuhi per- syaratan yang paling banyak, sehingga mendekati
kepada pemimpin yang ideal. Apabila yang ideal tidak ada, maka dipilih yang mendekati kepada
ideal. Apabila itu pun tidak ada, maka dipilih yang paling maslahat di antara yang ada.

F. PERSOALAN PERWAKILAN DAN AHL AL-HALL WA AL-AQDI

İbnu al-Atsir di dalam kitabnya Al-Kamil fi Tarikh menceritakan salah satu peristiwa sejarah yang
sangat penting, yaitu pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah. Diceritakan oleh Ibnu Atsir bahwa
pada hari wafatnya Rasulullah SAW., orang-orang ansor berusaha mengangkat Saad bin Ubaidah
menjadi pemimpin umat walaupun Saad pada waktu itu dalam keadaan sakit, Saad bin Ubaidah
kemudian berpidato yang isinya mengemukakan keutamaan-keutamaan orang ansor dan
kemuliaannya serta jasanya di dalam membela Rasulullah. Berita tentang berkumpulnya orang-
orang ansor ini sampai kepada Umar Ibnu al-Khattab. Kemudian Umar mendatangi rumah Rasulullah
SAW karena Abu Bakar sedang ada di situ, Umar berkata kepada Abu Bakar, "Telah terjadi satu
peristiwa yang tidak dapat tidak tuan harus hadir." Kemudian diceritakan oleh Umar peristiwa
tersebut yaitu ber- kumpulnya orang-orang ansor di Saqiefah Bani Saidah yang akan mengangkat
Saad bin Ubaidah menjadi pemimpin umat. Selanjutnya Abu Bakar dan Umar segera menuju ke
Saqiefah Bani Saidah dan ikut pula beserta mereka Abu Ubaidah, Abu Bakar kemudian berbicara
kepada orang-orang ansor yang pada akhir pembicaraannya Abu Bakar berkata: "Orang Quraisy
adalah orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka wali dan keluarga
Rasulullah dan yang paling berhak memegang kendali umat setelah Rasulullah wafat. Dan tuan-tuan
dari golongan ansor, Allah telah menjadikan tuan-tuan sebagai penolong agamaNya dan penolong
Rasul- Nya dan kepada tuan-tuanlah Rasulullah berhijrah, oleh karena itu dari kami yang jadi kepala
negara dan dari tuan menteri-menterinya. "55

Kemudian berdirilah Hubab bin al-Mundir bin Jamuh yang memper- tahankan pendirian orangorang
ansor, dan mengatakan bahwa orang Quraisy itu orang yang memiliki kemuliaan, jumlahnya banyak
dan memiliki kekuatan, dan manusia melihat apa-apa yang diperbuat orang ansor, oleh karena itu.
dari kami ada kepala negara dan dari tuan juga ada kepala negara

Mendengar pidato Hubab ini Umar pun berkata, "Demi Allah, orang Arab tidak rela diperintah oleh
tuan-tuan sedangkan Nabi kita semua bukan dari golongan tuan-tuan, orang Arab tidak akan
menolak pemimpin dari kelompok/keluarga Rasulullah, kami adalah keluarga Rasul."

Hubab menjawab lagi yang intinya orang-orang Ansorlah yang paling berbak. Sehingga situasi
menjadi agak lebih panas. Kemudian Abu Ubaidah berkata, "Tuan-tuan dari golongan ansor ini
adalah yang pertama kali me nolong, oleh karena itu, jangan menjadi orang-orang yang pertama kali
mengubah." Kemudian berdiri Basyir bin Saad, yang meredakan suasana, dan pada akhirnya
mengatakan bahwa, "Sesungguhnyalah Muhammad itu dari golongan Quraisy, dan kaumnya lebih
berhak. Demi Allah, saya tidak akan menentang orang-orang Quraisy dalam masalah ini. Karena itu,
takwa- lah kepada Allah dan jangan menentang mereka."

Kemudian Abu Bakar berkata, "Di sini ada Umar dan Abu Ubaidah, apabila tuan-tuan setuju,
nyatakanlah bai'at kepada salah seorang dari mereka." Umar berkata, "Demi Allah, tuanlah yang
harus menjadi kepala negara, tuanlah muhajirin yang paling utama, dan menggantikan Rasulullah
menjadi imam di dalam shalat, sedangkan shalat adalah ibadah yang paling utama, saya mem-bai at
tuan."

Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan mem-bai'at Abu bakar didahului oleh Basyir bin Sa'ad yang
mem-bai'at Abu Bakar. Setelah suku Aus melihat apa yang dilakukan Basyir, maka merekapun mem-
bai'at Abu Bakar.

Dari peristiwa pengangkatan Abu Bakar jadi khalifah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan di
antaranya:

1. Khalifah dipilih dengan cara musyawarah di antara para tokoh dan wakil umat.

2. Yang mengangkat itu para wakil umat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, sistem perwakilan sudah
dikenal dan dilaksanakan pada masa itu.

3. Di dalam musyawarah, terjadi dialog dan bahkan diskusi untuk mencari alternatif yang terbaik di
dalam menentukan siapakah calon khalifah yang paling memenuhi persyaratan.

4. Sedapat mungkin diusahakan kesepakatan, dengan tidak menggunakan voting.

Al-Mawardi, menyebut orang-orang yang memilih khalifah ini dengan ahlul ikhtiar yang harus
memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama, keadilan yang memenuhi segala persyaratannya, kedua,
memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang berhak menjadi imam dan
persyaratanpersyaratannya, ketiga, memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia
mampu memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu serta paling tahu tentang kebijakan-
kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.

Abu A'la al-Maududi, di samping menyebutnya dengan ahl al-hall wa al-axt, ahl syura, juga
menyebutnya dengan "dewan penasihat" (consultative assembly.

Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall wa al-'aqd ini tampak hal-hal sebagai berikut:

1. Ahl al-hall wa al-'aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mem- punyai wewenang untuk
memilih dan mem-bai'at imám.

2. Ahl al-hall wa al-'aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang
maslahat.

3. Ahl al-hall wa al-'aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat kepada
seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur'an dan Hadis.

4. Ahl al-hall wa al-'aqd tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.

5. Ahl al-hall wa al-'aqd mengawasi jalannya pemerintahan, wewenang nomor 1 dan 2 mirip dengan
wewenang MPR, wewenang nomor 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan wewenang nomor 4 adalah
wewenang DPA di Indonesia sebelum amendemen UUD 1945.

Abdul Kadir Audah menyebut lima macam kelembagaan, yaitu:

1. Al-sultah al-Tanfidhiyah (eksekutif)

2. Al-sultah al-Tasyri'iyah (legislatif)

3. Al-sultah al-Qadla'iyah (yudikatif)

4. Al-sultah al-Maaliyah ("bank sentral")


5. Al-sultah al-Mu'raqabah (lembaga pengawasan),

Lembaga yang pertama dipimpin oleh imam, lembaga kedua dipegang oleh ulil amri, lembaga ketiga
dipegang oleh para hakim, lembaga keempat dipegang oleh imam, dan lembaga kelima yaitu
pengawasan dipegang oleh ahlu syura, ulama, dan fuqaha.

Akan tetapi, lebih pas kiranya apabila kelembagaan itu kita bagi menjadi:

1. Lembaga ahl al-hall wa al-'aqd dengan kewenangan yang pada prinsipnya tersebut di atas.

2. Lembaga imamah yang dipimpin oleh seorang imam dengan dibantu oleh menteri tafwidh (para
menteri) dan/atau menteri tafwied (wakil presiden, perdana menteri).

3. Lembaga aqdiyah/peradilan, yang di dalam kepustakaan Islam dikepalai oleh qadli al-qudlat
(Ketua Mahkamah Agung).

4. Lembaga keuangan atau lebih dikenal dengan bait al-mal, dengan perangkat pengawasannya.

G. PERSOALAN WUZARAH (KEMENTERIAN)

Pada umumnya, ulama mengambil dasar-dasar adanya kementerian (wizarah) dengan dua alasan.
la, maka apabila wazir itu diperbolehkan di dalam masalaBerdasarkan mafhum au h-masalah k lebih
diperbolehkan adanya wazir di dalam imama -enabian, maka lebih h. Karena alasan yang tugasnya di
dalam -sifatnya praktis, yaitu imam tidak mungkin sanggup melaksanakan tugas mengatur umat
tanpa adanya naib (wazin. Dengan adanya wazir yang membantu imam di dalam ari kekeliruan serta
kesalahanmengurus umat, akan lebih baik pelaksanaannya dan terhindar d.

Mawardi menjelaskan arti wuzarah dari segi bahasa, yaitu: Pertama, wuzarah diambil dari kata -Al
wiznu, yang artinya bebanan, karena wazir memikul beban kepala negara-al . Kedua, diambil dari
kembali/lari, karena kepala negara selalu kembali kepada wazar, yang artinya tempat-kata al
pemikiran/pendapat dan pertolongan wazimnya. azru, yang artinya -Ketiga, diambil dari kata al
punggung, karena kepala negara dikuatkan didukung oleh wazimnya, sebagaimana badan
punggungdikuatkan oleh tulang .

H. ISLAM DAN NEGARA

1. Negara dan Pemerintahan

Di antara para orientalis ada beberapa sarjana yang meyakini bahwa ajaran Islam bukan sematamata
agama, tetapi juga mengatur masalah-ma- salah negara. Di kalangan jumhur ulama berpendapat
bahwa Islam meng- haruskan adanya negara dan pemerintahan, di samping itu meskipun jumlah-
nya kecil ada pula yang hanya membolehkan saja. Dalam pada itu ada pula putra-putra Islam pada
zaman mutakhirin ini yang berpendapat bahwa tidak perlu ada campur tangan agama dalam
kehidupan negara. Orientalis yang mengakui kenyataan sebagaimana tersebut di atas antara lain C.
A. Nollino yang berkata, "Muhammad telah meletakkan dasar agama dan negara pada waktu yang
sama." Mac Donald mengatakan, "Di sana di Madinah, telah terbentuk negara Islam yang pertama,
diletakkan pula prinsip- prinsip yang asasi di dalam aturan-aturan Islam." Dan H. R. Gibb, menya-
takan "Pada waktu itu menjadi jelas bahwa Islam bukanlah semata akidah agama yang individual
sifatnya, tetapi juga mewajibkan mendirikan masya- rakat yang mempunyai uslub-uslub tertentu di
dalam pemerintahan dan mempunyai undang-undang dan aturan-aturan yang khusus. Dari isi bai'at
tersebut Abd. Karim Zaedan berkesimpulan bahwa bai'at ini adalah suatu perjanjian yang jelas
(sharih antara kaum muslimin dan Nabi SAW. di dalam pan negara Islam serta memberikan
kekuasaan kepada Rasulullah pembentukan pertama/persia sedangkan mereka adalah salah -SAW.
dan mengikat kepada orang yang mengadakan bai'at tadi, untuk mendengar dan menaati Rasulullah
SAW di dalam -satu pihak dalam perjanjian tadi masalah negara baru tersebut dan -ngnya di dalam
mengatur masalahmelaksanakan wewena tahankannya, inklusif mempertahankan negara baru dan -
kemestian membantunya serta memper

kata Nabi -an dari kataundang Islam sebagaimana dapat dipahamk-aturannya ialah undang-aturan
"ruf nahi munkaramar ma'"

Sedangkan Moh. Jusuf Musa menjelaskan bahwa Nabi telah memikirkan masalah negara ini ketika
beliau masih di Mekkah, beliau menunjuk pula bai' at Aqobah II sebagai bukti meskipun segi yang
ditinjaunya lain dengan apa yang ditinjau oleh Abd. Karim Zaedan Abd Kadir Audah juga menyata-
kan bahwa persiapan di dalam mendirikan suatu negara telah terjadi di Mekkah. Beliau tidak
menunjuk kepada bai'at II, tapi beliau menarik lebih jauh lagi yang menurut hemat kami persiapan
dimaksudkan oleh beliau sesungguhnya persiapan mental.

1. Di dalam ajaran Islam kita dapatkan prinsip-prinsip musyawarah, pertanggungjawaban


pemerintah, kewajiban taat kepada pemerintah di dalam hal-hal yang makruf, hukum-hukum di
dalam keadaan perang dan damai, perjanjian antarnegara. Dalam Sunnah Nabi sering kita dapatkan
kata-kata amir, imam, sulthan yang menunjukkan kepada kekuasaan dan pemerintahan.

2. Negara penting sekali di dalam rangka melaksanakan hukum-hukum Islam. Bahkan sebagian
hukum Islam tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya negara seperti hukum pidana.

3. Di kalangan fuqaha kita kenal istilah darul Islam dan darul harb. Darul Islam itu sesungguhnya
adalah daulah Islamiah.

4. Sejarah berbicara kepada kita bahwa Nabi juga seorang kepala negara ketika beliau berada di
Madinah yang telah kami kemukakan di atas.

Ijma'ul sahabat di dalam hal ini merupakan sejarah di mana setelah Rasulullah SAW. wafat, segeralah
para sahabat mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah, mereka sepakat adanya seorang
kepala negara yang menggantikan Rasulullah SAW meskipun mereka berselisih tentang siapa
orangnya. Jadi, yang diperselisihkan masalah personalianya bukan masalah jabatannya, meskipun
pada akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar Sidik menjadi khalifah pertama di dalam sejarah
Islam.

Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau-balan merupakan tinjauan sosiologis di
mana manusia memerlukan hidup ber masyarakat dan agar supaya kehidupan manusia itu tertib dan
teratur, maka perlu adanya pemimpin, oleh karena itu para ulama berkata:

1. Manusia bila dibiarkan tanpa pengendali hasilnya kemudaratan dan kemusnahan bagi manusia. 2.
Menolak kemudaratan yang disangka timbul itu adalah suatu hal yang diwajibkan menurut agama.

3. Kemudaratan-kemudaratan itu tidak akan dapat dihindarkan, melain- kan dengan adanya seorang
kepala negara. Prof. Hasbi Ash Shiddieqy memberikan penjelasan panjang lebar tentang alasan
melaksanakan tugas-tugas keagamaan ini di dalam bukunya Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam.

2. Alasan-alasan Golongan yang Tidak Mewajibkan Adanya Imam

Yang berpendapat bahwa imam itu tidak wajib yang konsekuensinya membawa kepada kesimpulan
bahwa pemerintahan itu tidak wajib adalah Abu Bakar al-Sham, Hisyam ibnu Aus alFauthy dari
golongan Mu'tazilah sebagian dari golongan Khawarij, golongan Najdah pengikut Athiyah ibn Amir.
Memang di dalam masalah-masalah sosial sulit kita dapatkan sesuatu yang mutlak memberi manfaat
dan mutlak memberi maudarat, kebanyakan sesuatu hal itu ada manfaatnya dan ada mudaratnya,
sampai-sampai masalah khamr dan maisir, yang diharamkan di dalam hukum Islam, akan tetapi
secara objektif Al-Qur'an mengakui bahwa di dalam khamr maupun maisir ada manfaatnya hanya
saja dosanya lebih besar, oleh karena itu diharamkan (QS. al-Baqarah: 219).

“Katakanlah dalam keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya."

Demikian pula kiranya di dalam menyelenggarakan pemerintahan, di samping manfaat yang besar
terdapat pula beberapa kemudaratan. Hanya saja kemanfaatannya itu lebih besar daripada
kemudaratan. Di dalam hal yang semacam ini kita harus mengambil keputusan sesuai dengan
kaidah:

"Mengambil kemudaratan yang lebih ringan di antara kedua kemudaratan".

Kalau kemudaratan dari adanya pemerintahan ini lebih besar dari manfaatnya barangkali tidak
timbul ratusan negara di muka bumi ini. Ke nyataan ini saja cukup menunjukkan kepada kita

betapa pentingnya terse lenggaranya pemerintahan. Hanya yang diperselisihkan adalah


pemerintahan dan kepala negara yang bagaimana yang dikehendaki.

3. Alasan-alasan dari Sarjana yang Mengatakan bahwa Sesungguhnya Agama Islam Terpisah dari
Negara

Dengan kata lain, agama Islam tidak memberikan ketentuan-ketentuan mengenai masalahmasalah
politik, tidak menyuruh dan tidak memerintah masalah tersebut kembali kepada soal

Menurut Al-Ustadz Ali Abd al-Raziq syiar-syiar agama dan kemas- lahatan rakyat tidak tergantung
kepada pemerintah dalam bentuk dan macam apa pun dari pemerintahan itu karena Islam tidak
memedulikan sesuatu yang tertentu dalam masalah ini.

Pendapat Ali Abdurraziq ini dijawab oleh Muhammad al-Hadlar Husein yang dapat diringkas sebagai
berikut:

1. Ayat dan Hadis Nabi yang mewajibkan taat ke- pada imam. Dasar ini menunjukkan kepada wajib
untuk mengetahui, menetapkan, dan menghasilkannya. (wajib mengangkat imam) Alasan ini
sesungguhnya belum sampai kepada sasarannya sebab yang paling pokok diperselisihkan adalah
pengertian ulil amri-nya bukan taatnya.

2. Tidak mengangkat imam menimbulkan banyak kemudaratan menurut kaidah:

"Setiap kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya suatu sarana, maka
sarana itu pun wajib hukumnya." 3. Kata-kata ulil amri jelas menunjukkan kepada pemimpin umara'
dengan dasar:

a. Sabab Nuzul: Ayat tersebut turun sehubungan dengan diutusnya Abdullah bin Mudzafah oleh
Nabi..

b. Telah berkata Ibnu Ujaimah, saya telah bertanya kepada Zaed bin Aslam tentang an-Nisa' ayat 59.
Menjawab Zaed, "Baca sebelum ayat tersebut kau akan tahu." maka saya baca anNisa' ayat 58.
Berkata Zaed, "Ayat ini mengenai masalah wilayah (kekuasaan)."
c. Dalam ayat tersebut ada kalimah faruduhu. Khitob di sini ditujukan kepada mukminin secara
umum, dan di antara mereka adalah ahlul halli wal aqdi. Di dalam hal ini barangkali

perlu membedakan antara hukum-hukum amaliah dan akidah, di mana untuk hukum- hukum
amaliah cukup dengan dalil-dalil yang memberikan faedah dhani yang rajih, adapun akidah harus
dengan bukti-bukti yang qath'i. Lima di dalam masalah ini adalah dalil yang qath'i karena banyaknya
bukti-bukti (syawahid-syawahid) dari sunnah. Dan syawahidsyawahid ini kalau dilihat satu per
satunya memberi faedah dhani yang rajih, tetapi kalah dilihat secara keseluruhan/ kelompok
memberi faedah ilmu yang rajih.

Banyak sekali hadis mengenai khalifah, imam, bai'at, dan amir antara lain:

a. Imam harus bertanggung jawab

b. Sanksi bagi orang yang memisahkan diri dari imam yang telah disepakati

c. Khalifah harus ada setiap masa

d. Sifat khalifah yang baik dan yang buruk

e. Kedudukan imam

Al-Ustadz Abdul Wahab Khallaf menyimpulkan bahwa:

Para ulama berbeda pendapat di dalam mengartikan ulil amri ini sebagiannya yaitu yang dipelopori
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ulil amri berarti ulama, sedangkan yang lainnya mengartikan dengan
umara', yang jelas ulil amri meliputi ulama dan umara'.

Apologik adalah ekspresi, tetapi Nurcholis Madjid menafsirkan apolo- getik sebagai untuk membela
Islam dalam menghadapi misi peradaban mo- dern Barat. Memang betul apologetik tok, tidak
disertai amal dan usaha serta belajar lebih jauh, akan merupakan menipu diri sendiri. Akan tetapi,
apologetik merupakan suatu kemajuan yang sangat besar dalam berpikir tentang Islam. Apologetik
didasarkan kepada pengetahuan sendiri baik mengenai etika, ekonomi, ketatanegaraan, hubungan
antara negara, dan lain-lain. Seorang yang mengetahui agama Islam kemudian membaca
encyclopaedia of social sciences, tentulah akan merasa seakan-akan sebagian besar isi encyclopaedia
itu adalah aplikasi ajaran-ajaran Islam, sudah tentu kalau seorang missionaris atau zanding tidak
akan suka melihat seorang modern atau katakan pseundo modern menurut penilaian Drs. Nurcholis
Madjid. Sebab mereka itu tetap menyerang kepada Islam, seperti yang saya contohkan dari tulisan
pendeta Verkuyl: "Maka hendaknya Drs. Nurcholis Madjid jangan sekadar

membaca buku karangan seorang Barat, kemudian melontarkan segala cemoohan kepada umat
Islam Indonesia yang melahirkan dan memelihara serta mendidiknya.

Perlu dijelaskan bahwa fiqh bukan kodifikasi hukum abad ke-2 dan 3 hijrah. Fiqh adalah pemikiran-
pemikiran hukum yang mula-mula didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Kodifikasi hukum Islam
terjadi di Turki pada tahun 1876 dengan nama majalah Kode Hukum Islam, ini berisi hukum perdata
dan terdiri dari 1851 pasal (Kode Napoleon 1802).

Mengenai konsepsi negara Islam adalah suatu distorsi hubungan pro- porsional antara negara
dengan agama. Rasyidi berkata, "Kalau Drs. Nurcholis mengatakan bahwa konsep negara Islam
adalah distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara, maka sudah terang bahwa ia
belum mempelajari Al-Qur'an"
Mengenai legalisme yang merupakan kelanjutan fiqihisme, dan fiqh itu sudah kehilangan
relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang, sesungguhnya bukan fiqh-fiqh saja yang tidak
relevan dengan pola kehidupan zaman sekarang tetapi juga hukum positif, dan ini disadari benar
oleh para ahli hukum dan negarawan kita, karena itu dibentuklah lembaga pembinaan hukum
nasional.

I. STRUKTUR UMUM DARI NEGARA

1. Dasar Negara

Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dicantumkan kata- kata:

maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijak- sanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan Serta dengan Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ini kita melihat dasar negara kita Republik
Indonesia adalah Pancasila yang susunannya sebagai- mana tersebut di atas

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya- waratan/perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita melihat dunia ini, bahwa banyak negara-negara yang merdeka, dan banyak di antara
negaranegara yang merdeka itu berdiri di atas satu weltanschuung, Hitler mendirikan Jermania di
atas "National Socialische Weltanschauung", filsafat nasional sosialisme, telah menjadi dasar negara
Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler. Lenin mendirikan negara Soviet di atas suatu
Weltanschauung yaitu Marxistische, Historis, Materislistische Weltanschuung. Nippon mendirikan
negara Dai Nippon di atas suatu weltanschuung, yaitu yang dinamakan Tenno Koodoo Seishin, di
atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibnu Saud mendirikan
negara di atas weltanschuung bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Apakah welstanschtung
kita, jikalau hendak mendirikan Indonesia yang merdeka? Dasarnya, isinya Indonesia merdeka yang
kekal abadi menurut pendapat saya haruslah Pancasila,

Dasar dari negara di dalam ajaran Islam sudah tentu Islam, seperti di nyatakan oleh Soekarno seperti
tersebut di atas Oleh karena itu, tepat pula keputusan Kongres Alim Ulama dan Mubaligh Islam yang
berlangsung di Medan pada tanggal 11 s / d 15 April 1953, di mana dinyatakan pada poin 2: "Dasar
negara, negara berdasar Islam", Walaupun demikian, harus mendapat perhatian kita tentang
penjabaran dari ajaran Islam itu sendiri, penjabaran dari filsafat kenegaraannya. Di antara para
ulama yang telah menjabarkan falsafah kenegaraan Islam ini antara lain Al-Imam al-Akbar Mahmud
Syaltout, beliau merumuskan asasud daulah fil Islam sebagai berikut:

1. Al-Ukhuwah al-Diniyah
Dasar dari ukhuwah ini seperti dinyatakan Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW, dan jelas persaudaraan
imam ini melampaui hubungan-hubung an lainnya, yang dituntut dari seorang muslim kesusahan
apabila saudaranya sesama muslim susah dan memberikan pertolongannya. Hal ini diperkuat lagi
oleh Al-Qur'an: 108 dan hadis-hadis lainnya,

2. Al-Takaful al-Ijtima'i

Al-Takaful al-ijtima i ini merupakan konsekuensi logis dari ukhuwah addiniyah tadi, AtTakaful ijtima'i
ini mempunyai dua jurusan, jurusan pertama adalah bersifat material, di sini letaknya zakat, infak;
jurusan yang kedua bersifat immaterial dan di sini letaknya amar ma'ruf nahi munkar, nasihat-
nasihat, pendidikan, hal ini erat hubungannya dengan nash AlQur'an (surat ali Imran ayat 104 dan
surat at-Taubah ayat 71).

3.As-Syura

Musyawarah ini adalah dasar pemerintahan yang baik, bahkan di dalam Al-Qur'an sendiri ada salah
satu surat yang disebut dengan surat As- Syura, ayat 38. Juga di dalam ayat lain yaitu surat ali Imran,
ayat 159. Musyawarah ini juga telah dilakukan baik pada masa Rasulullah maupun pada masa
sahabat dan dasar dari musyawarah ini adalah jaminan kebebasan yang sempurna di dalam
menyatakan pendapat selama tidak menyinggung dari pokok-pokok akidah dan ibadah. Oleh karena
itu, jelas bahwa nepotisme adalah tidak sesuai dengan Islam.

3. Al-'Adl

Baik di dalam ayat-ayat Makiyah maupun Madaniyah kita mendapatkan kata-kata keadilan dan
sebaliknya baik di dalam ayat-ayat Makiyah maupun Madaniyah kita mendapatkan pula kata-kata
lawan dari ke adilan ini yaitu kezaliman. Jelas adil di sini bersifat umum di samping kita pun
menerima keadilan yang bersifat khusus, misalnya di lapangan perkawinan (surat an-Nisa ayat 2 dan
3), di lapangan janji (utang piutang al-Baqarah ayat 282, an-Nisa ayat 135), di lapangan yudikatil
surat an-Nisa ayat 58).

2. Wilayah Negara

Wilayah negara ini meliputi bumi, udara, lautan, dan kapal-kapal yang berbendera suatu negara yang
berada di luar negeri. Ajaran Islam bersifat universal. Secara praktis bersifat regional. Tidak semua
orang percaya ke pada syariat Islam. Pelaksanaannya tergantung kepada kaum muslimin Semakin
luas daerah kekuasaan kaum muslimin, semakin luas wilayah berlakunya syariat Islam.

Fakta menunjukkan bahwa wilayah yang dihuni oleh umat Islam dari Maroko sampai Merauke
memiliki bentuk negara dan pemerintahan yang berbeda. Terlepas dari kejadian-kejadian insidental,
setiap negara memiliki suatu ikatan persahabatan. Abdul Qadir Audah menanggapinya

sebagai suatu hal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, selama berusaha mencapai tujuan
Islam: kesatuan arah dan kesatuan politik. Dalam sejarah Islam, menurutnya, pernah terbentuk tiga
kerajaan Islam pada saat yang sama: Kerajaan Abbasiyah di Timur (Baghdad), Kerajaan Ulawiyah di
Barat (Mesir), dan Kerajaan Umawiyah di Andalusia. Oleh karena itu, baginya, dar al-Islam dicirikan
oleh keamanan dan keselamatan muslim. Adanya be- berapa negara dalam dar al-Islam bukan
persoalan. Pada dasarnya, wilayah dar al-Islam mencakup bumi, udara, dan lautan. Pada masa
sekarang, di dunia Islam, terdapat perbedaan antara negara-negara Islam (Islamic state), yaitu
negara-negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi, dan negeri- negeri muslim (Islamic
countries), yaitu negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

A. Bumi
Pengertian bumi mencakup gunung-gunung, padang pasir, sungai- sungai, danau-danau, pulau, dan
apa yang ada di atasnya. Batas ini tidak tetap. Kadang-kadang, dar al-Islam menyempit, tetapi
adakalanya meluas. Hal ini tergantung situasi politik. Barang tambang di bawah bumi pada
prinsipnya milik negara selama digunakan untuk kemaslahatan umat. Penggantian yang wajar
dibayarkan pada pemilik tanah tempat barang tambang diketemukan. Ini sesuai dengan kaidah:
"Kemaslahatan umum didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus." Di dalam Bab XIV Pasal 33
ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

B. Laut

Menurut syariat Islam, laut tidaklah dimiliki oleh seorang pun. Dalam arti ini, tidak ada larangan
untuk mempersempit lautan (seluas 3 mil, seperti Kanada dan Australia) atau memperluas
meluaskan (sekarang, 12 mil) men- jadi wilayah negara, selama hal itu dilakukan berdasarkan
perjanjian inter- nasional.

C. Udara

Udara di atas bumi menjadi wilayah negara pula dengan tanpa batas. Pasal 1 Convention of Air
Navigation, Paris (1919) menyatakan: the con- tracting state recognize that every states

has complete and exclusive sove- reignty in the air space above its territory and territorial waters.13
Konvensi menunjukkan kesamaan hukum Islam dan hukum internasional.

3. Bentuk Negara

1. Negara Kesatuan

2. Negara serikat

3. Negara persatuan (serikat negara-negara).

Di samping itu, ada yang hanya membagi negara ke dalam dua bentuk negara yaitu negara kesatuan
dan negara federal. Ciri khas dari negara kesatuan ialah:

1. Adanya supremasi dari Parlemen/Lembaga Perwakilan Rakyat Pusat, dalam kasus Indonesia
adalah MPR.

2. Tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan.

Contoh dari negara-negara kesatuan antara lain Republik Indonesia, Jepang, Britania Raya, Perancis,
dan Belgia." Bukti bahwa Republik Indonesia adalah negara kesatuan dapat dilihat dalam Pasal 18
UUD 1945, dan dalam Pasal 18A dan 18B Amendemen UUD 1945.

Sedangkan ciri khas dari negara federal ialah:

1. Adanya supremasi dari konstitusi di mana federasi itu terwujud.

2. Adanya pembagian kekuasaan negara-negara federal dan negara-negara bagian.

3. Adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan satu perselisihan antara
pemerintah federal dan pemerintahan negara bagian. 15

Jadi, kekuasaan yang ada di dalam negara kesatuan tidak dapat dibagi- bagi. Sedangkan di dalam
negara federal ada pembagian kekuasaan antara negara-negara bagian dan negara federal. Contoh
dari negara federal antara lain: Amerika Serikat, Kanada, Australia. Adapun di dalam serikat negara-
negara kedaulatan nasional dari negara yang bergabung tidak berubah.

Demikianlah dunia Islam ketika itu merupakan satu negara Islam dalam kenyataan. Meskipun di
beberapa bagian dari negara ini berdiri berbagai pemerintahan, tetapi pemerintahan-pemerintahan
yang terletak di lingkungan negara Islam ini boleh menggunakan tenaga-tenaga manusia (man
power) yang ada di semua negara-negara Islam. Tiap-tiap orang muslim memberikan kesetiaannya
kepada tiap pemerintah Islam itu. Ia merasa bertanggung jawab dalam mempertahankan negara
Islam dan membelanya dari agresi musuh.

4. Bentuk Pemerintahan

Banyak orang yang mengira bahwa bentuk pemerintahan di dalam Islam adalah republik bukan
kerajaan. Sesungguhnya memang ada kesamaan antara republik dengan bentuk pemerintahan di
dalam sejarah Islam, yaitu dalam hal dipilihnya kepala negara. Akan tetapi, Islam tidak menentukan
jangka waktu tertentu yang disebut masa jabatan untuk seorang kepala negara. Ini tidak berarti
bahwa seorang kepala negara tidak dapat diganti, akan tetapi dasar penggantian seorang kepala
negara bukan habisnya masa jabatan.

Seorang kepala negara tetap di dalam jabatannya selama maslahat, se- lama dipandang baik dan
mampu menjalankan tugas-tugasnya. Rakyat berhak untuk mengangkat kepala negara. Oleh karena
itu, rakyat juga berhak untuk memberhentikannya apabila ada alasan-alasannya untuk itu.

Oleh karena itu pula, terlalu tergesa-gesa untuk mengangkat seorang kepala negara seumur hidup,
sebab oleh karena itu, kita telah memberikan nilai-nilai baik kepada tugas-tugasnya yang belum
dilakukan. Pada masa sekarang, banyak negara yang memberikan batas waktu tertentu untuk masa-
masa jabatan kepala negara. Hal semacam ini sesuai dengan tuntutan dan kemaslahatan rakyatnya.

Al l-Mawardi di dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah mengenai hal ini berpendapat bahwa
apabila seorang imam telah melakukan kewajiban- kewajibannya dengan baik, maka dia harus
ditaati dan dibantu kecuali apabila: (1) Ada cacat pada keadilannya, dan (2) Cacat pada badannya.
Yang dimaksud dengan cacat di dalam keadilannya adalah fasiq. Secara skematis, pendapat
AlMawardi dapat digambarkan pada halaman berikut:

IMAM

I. Cacat pada keadilan (fasiq)

1. Mengikuti syahwat dan ini berhubungan dengan perbuatan anggota badan, yaitu melakukan yang
dilarang dan memperbuat yang mungkar menurut syahwat dan hawa nafsu seperti zina, qadzaf

2. Yang berhubungan dengan iktikad yang ditakwilkan.

II. Cacat pada badannya

1. Pancaindra buta, tuli, bisu.

2. Anggota badan yang menghalangi untuk bekerja seperti hilang kedua tangan atau kedua kakinya.

3. Tasaruf Hajjr, dilarang melakukan tindakan hukum berdasarkan keputusan pengadilan (dalam
pengampunan).

Seorang imam harus diberhentikan apabila terjadi padanya No. 1: 1,No. II: 1, 2, dan 3. Adapun yang
selainnya diperselisihkan.
Ibnu Hazm menganggap bahwa buta bukanlah suatu halangan untuk menjadi seorang imám,
seorang imam cukup apabila dia baligh, berakal, dan dapat melaksanakan keadilan. Di samping itu,
adapula ulama yang me- ngatakan bahwa seorang imam dapat diberhentikan bila melakukan suatu
maksiat. Apabila seorang imam melakukan kemungkaran yang nyata yang diketahui oleh umat
bahwa apa yang dilakukannya itu melanggar kaidah- kaidah Islam, maka dia harus diberhentikan.

Menurut jumhur fuqaha seorang unam dapat diberhentikan apabila dia itu fasiq dan sebabsebab lain
seperti: tidak memerhatikan keadaan kaum muslimin dan masalah-masalah agama, sebab jelas
jabatan imam adalah untuk kemaslahatan kaum muslimin dan mendirikan serta mening kan agama.

Jadi, kesimpulannya adalah seorang imam dapat jatuh karena:

1. Apabila dia sampai kepada tingkat kufron buwahan, yaitu berlepas diri dengan jelas dan sengaja
dari nash-nash Al-Qur'an.

2. Tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh umat di dalam mengurus
negara.

Hanya di dalam memberhentikan seorang imam ini ulama terbagi tiga kelompok, yaitu apabila ada
alasan-alasan untuk memberhentikan imam seorang

1. Harus diberhentikan meskipun timbul fitnah.

2. Harus dipilih mana yang paling sedikit mudaratnya antara member- hentikan dan tidak
memberhentikannya.

3. Kalau akan timbul fitnah, jangan diberhentikan.

Kami cenderung kepada pedapat yang kedua sesuai dengan kaidah:

Mengambil yang mudaratnya lebih sedikit.

Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak dapat men- jatuhkan seorang kepala negara
kecuali dengan adanya kekuatan yang men- jamin kemenangan. Kematian Sayiddina Husein di
Karbala cukup memberi- kan bukti atas hal ini, dan tidak perlu kejadian semacam ini terulang lagi. Di
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 7, disebut- kan: Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali,
sesudah amendemen UUD 1945, masa jabatan lima tahun hanya untuk 2 periode.

Di dalam Konstituante Perancis yang diundangkan pada tanggal 5 Oktober 1958 dinyatakan dalam
article 6: The President of the Republic Shall be Elected for Seven Year

Terakhir, dalam Konstituante Amerika Serikat article II section 1: The executive power shall be vested
in a President of The United State of America he shall hold his office during the term of four years.
Dalam konstitusi ini tidak disebutkan boleh tidaknya seorang presiden yang telah habis masa
jabatannya untuk dipilih kembali.

Dalam sejarah, George Washington dipilih sampai dua kali dan Franklin Rossevelt sampai empat kali
berturut-turut. Kemudian, ditentukan seseorang hanya dapat jadi presiden untuk dua kali masa
jabatan. Pembatasan masa jabatan ini, sebagaimana telah dikemukakan sebelum- nya,

dianut pula di beberapa negara Islam (Islamic states), seperti Pakistan, Iran, Irak, Mauritinia, Libia,
Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Anda mungkin juga menyukai