Anda di halaman 1dari 12

KULTUR IKAN HIAS BANGGAI CARDINAL FISH (BCF)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Kultur
Ikan Hias dan Akuaskap”

Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Syafiuddin, M.Si

OLEH :

ANDI RAIHAN MAHARDIKA RAMADHAN (L031201050)

BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021

2
BAB I
PENDAHULUAN

Ikan Banggai Cardinal atau juga dikenal dengan Banggai Cardinal Fish
yang memiliki nama ilmiah Pterapogon kauderni merupakan ikan laut
endemik di Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, dan tidak
ditemukan di tempat lain di dunia. Masyarakat setempat menyebutnya
“capungan” atau “bibisan”. Namun dengan maraknya perdagangan ikan hias
dengan harga yang cukup menggiurkan, maka ikan tersebut juga dapat
ditemukan ditempat lain terutama di pulau Bali (tepatnya disekitar perairan
Gilimanuk). Menurut nelayan setempat awal mula keberadaan ikan ini adalah
merupakan hasil sortiran yang tidak masuk ke dalam standar untuk di
perdagangkan, kemudian dibuang ke laut dan selanjutnya ikan tersebut dengan
sendirinya hidup dan berkembangbiak disekitar perairan Gilimanuk. Banggai
Cardinal Fish biasanya hidup secara berkoloni (bergerombol) di antara
terumbu karang dan kumpulan bulu babi, setiap gerombol terdiri dari 30
sampai 40 ekor. Selain itu, ikan ini sering terlihat berenang di padang lamun.
Panjang badannya sekitar 6 sampai 8 centimeter, bentuk badannya agak pipih
dengan ekor terbelah dua mirip burung wallet, memiliki warna cokelat muda
keperakan dengan variasi bintik putih pada badan dan sirip. Ada belang
melintang berwarna hitam di badannya mulai dari sirip punggung sampai sirip
perut, juga dari jari-jari lemah sirip punggung sampai dengan sirip dubur.
Sejak 1990, Banggai Cardinal Fish menjadi salah satu ikan hias yang
diincar para kolektor dalam dan luar negeri. Karakter yang berbeda dengan
ikan apogonid lain membuat ikan endemik di Banggai Kepulauan, Sulawesi
Tengah, ini banyak dicari. Diperkirakan 5.000 ekor ditangkap tiap pekan dan
sedikitnya 600-700 ribu ekor diekspor oleh nelayan lokal setiap tahun.
Diperkirakan pada tahun 2001-2004, Banggai Cardinal Fish yang
diperdagangkan mencapai 700-900 ribu ekor tiap tahun. Penangkapan
Banggai Cardinal Fish, yang semula terkonsentrasi di Pulau Banggai,
akhirnya meluas sampai keseluruh Banggai Kepulauan, termasuk daerah yang

3
awalnya belum terjamah. Akibat meningkatnya permintaan Banggai Cardinal
Fish diluar negeri dengan harga yang cukup menjanjikan tersebut, maka lama
kelamaan tentu keberadaan Banggai Cardinal Fish susah ditemukan dan
akhirnya akan mengalami kepunahan akibat overharvesting. Untuk
penyelamatan spesies Banggai Cardinal Fish tersebut selain diperlukan upaya
pembentukan Kawasan Konservasi Laut di lokasi habitatnya, juga yang paling
penting adalah mendorong para nelayan dan stakholder lainnya untuk
melakukan upaya rehabilitasi, antara lain melalui pengembangbiakan ikan
tersebut. Dengan demikian pengambilan di alam/tekanan perusakan habitatnya
akan berkurang dan kelangsungan hidup Banggai Cardinal Fish menjadi
lestari.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aspek Biologi dan Reproduksi


Banggai Cardinal Fish mempunyai 27 genus dan 250 spesies, tetapi hanya
satu spesies yang terdapat di Indonesia, yaitu kaudermi. Ikan ini mulai
diketahui sejak tahun 1920, dan mulai dikoleksi oleh penggemar ikan hias
pada tahun 1933. Menurut Ndobe dkk. (2013) Banggai Cardinal Fish
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Super Klas : Gnathostomata
Kelas : Osteichtyes
Sub Klas : Actinopterygi
Super Ordo : Teleostei
Famili : Apogonidae
Genus : Pterapogon
Spesies : Pterapogon kaudermi

Banggai Cardinal Fish (BCF) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: bentuk


tubuh agak pipih dengan mata yang besar berwarna hitam dan bentuk mulut
terminal dengan ukuran besar, rahang bawah cenderung menonjol. BCF
memiliki dua buah Sirip punggung yang terpisah, dimana pada sirip dorsal
yang pertama mempunyai 6 sampai 8 jari-jari sirip dan pada sirip dorsal yang
kedua mempunyai 8 sampai 14 jari-jari sirip lunak, serta dua sirip dibagian
anal dengan jumlah jari-jari lunak 8 sampai 18 ukurannya kecil, dan panjang
total ikan dewasa maksimal 10 cm. Ciri khas antara lain sirip ekor bercabang
yang memanjang serta pola warna khas yaitu dasar keperakan agak kuning
kecoklatan dengan garis hitam vertikal dan bintik-bintik putih/perak kebiruan
pada sirip-siripnya.

5
Banggai Cardinal Fish dapat hidup selama 2 sampai 4 tahun, setelah
mencapai ukuran dewasa yaitu ukuran panjang standar 3,5 cm dengan umur
9–12 bulan, siap menghasilkan keturunan. Pterapogon kauderni adalah
golongan ikan yang paternal mouth brooding apogonid white direct
development (mengeramkan sampai menetas dimulut). Telur berdiameter
sekitar 3 mm, dengan Jumlah telur yang dihasilkan sekitar 40 sampai 60 butir,
dan ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan ikan laut lainnya,
sedangkan juvenil yang dapat dihasilkan biasanya berkisar antara 20 sampai
30 ekor. Seusai pembuahan, telur dieramkan dimulut jantan selama 20 hari,
setelah telur menetas, induk masih melindungi anaknya di dalam mulut selama
6 sampai 10 hari hingga perkembangan anatomi dan morfologi larva relatif
sempurna. Selama mengeram, induk jantan tidak makan. Setelah larva
berkembang menjadi juvenil, induk jantan akan melepaskannya dari mulut,
dan juvenil langsung mencari perlindungan dan makan. Perlindungan
umumnya berupa koloni bulu babi. Siklus hidup Banggai Cardinal Fish
meliputi stadia induk, telur, larva, benih, juvenil, dewasa, dan induk. Secara
umum, Banggai Cardinal Fish memiliki fekunditas yang rendah dibandingkan
dengan jenis ikan laut lainnya, dimana setiap kali pemijahan induk betina
hanya menghasilkan
30-40 butir telur saja.

B. Teknik Budidaya
1. Persiapan Wadah
Sebelum proses kegiatan pemijahan dimulai, terlebih dahulu dilakukan
persiapan terhadap wadah yang akan digunakan. Untuk wadah pemeliharaan
induk berupa bak fiber dan untuk benih yang masih kecil dapat menggunakan
akuarium, wadah tersebut dilengkapi dengan instalasi air dan instalasi aerasi.
Wadah yang sudah siap terlebih dahulu dicuci dengan bersih baru kemudian
diisi dengan air laut dengan system air mengalir dan diberikan beberapa ekor
bulu babi sebagai tempat perlindungan baik untuk induk maupun benih yang
akan dilahirkan.

6
2. Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah upaya untuk menyamakan kondisi media
pemeliharaan awal dengan media pemeliharaan yang baru. Kegiatan ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya stress pada ikan dengan perubahan
media pemeliharaan yang mendadak, sehingga dapat mengurangi jumlah
kematian ikan. Proses aklimatisasi pada ikan hias BCF yang baru datang
adalah sebagai berikut :
1. Kantong plastik berisi ikan hias BCF dimasukkan ke dalam bak yang telah
berisi air laut.
2. Kantong plasik didiamkan terapung selama ± 15 menit dan akan terlihat
uap air pada kantong plastik. Kegiatan ini dimaksudkan agar suhu air di
dalam kantong plastik perlahan-lahan sama dengan suhu air dalam bak.
3. Kantong plastik dibuka satu per satu dan ikan BCF dipindahkan ke dalam
bak pemeliharaan induk.
4. Kepadatan induk BCF dalam bak ini berkisar antara 20 - 30 ekor/bak.

3. Penanganan Induk
Dalam penanganan induk perlu ketelitian khusus baik itu kondisi induk
maupun terhadap kualitas air dalam bak pemeliharaan. Induk yang sakit
biasanya kurang nafsu makan, pergerakan tidak normal dan biasa juga ditandai
dengan adanya perubahan warna yang agak kemerah-merahan di bagian badan
antara kepala dan sirip punggung. Untuk menjaga kualitas air maka setelah
pemberian pakan dilakukan, kotoran dan sisa pakan di dasar bak dibersihkan
dengan menggunakan alat penyedot (sipon) serta lemak yang mengapung
dipermukaan diusahakan terbuang melalui pipa pembuangan atau diangkat
langsung dengan serokan agar kualitas air tetap terjaga.

4. Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan kepada induk BCF berupa pakan rucah, pakan cumi
dan pakan pellet yang diberikan secara adlibitum atau sekenyangnya. Selain

7
itu, dapat diberikan pakan alami berupa Artemia dewasa atau pakan hidup
lainnya yang sesuai dengan bukaan mulutnya untuk melengkapi nutrisinya.
Hal ini dikarenakan ikan ini di alam terbiasa makan udang-udangan kecil,
ikan-ikan kecil dan avertebrata air lainnya. Pakan diberikan sebanyak 2 kali
sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Sebelum pakan diberikan, perlu
ditambahkan multivitamin yang mengandung vitamin C, B, dll untuk
meningkatkan daya tahan tubuh ikan. Selain itu diberikan pula pengkayaan
berupa vitamin E yaitu Natur E untuk meningkatkan kualitas telur induk-induk
BCF. Multivitamin diberikan setiap hari sedangkan vitamin E diberikan 2 kali
seminggu.

5. Pemijahan
Induk-induk betina yang matang gonad dan siap memijah ditandai dengan
perutnya yang membuncit dan terpisah dengan kawanan ikan yang lain.
Sebelum memulai pemijahan, biasanya ditandai dengan induk jantan berenang
meliuk-liukkan tubuhnya di sekitar induk betina untuk memancing atau
merangsang induk betina untuk melakukan perkawinan. Setelah proses
pemijahan selesai, induk jantan akan mengerami telur-telur yang telah
terbuahi ke dalam mulutnya. Proses pengeraman telur ini dilakukan selama
15-18 hari. Selama waktu tersebut, induk jantan tidak makan dan tetap
menjaga telur tersebut. Pada saat pencucian bak terutama diwaktu pemindahan
induk perlu kehati-hatian karena induk jantan yang merasa terganggu akan
memuntahkan telur yang dieraminya.

6. Pemeliharaan
Ikan BCF merupakan tipe ikan yang memelihara telurnya dalam mulut
(mouthbreeder) hingga menjadi benih yang memiliki morfologi sama dengan
ikan dewasa. Sehingga dalam kegiatan pembenihan ikan BCF, tidak melalui
proses pemeliharaan larva, mengingat fase pemeliharaan larva dilakukan oleh
induk jantan dalam mulutnya. Setelah 15 – 18 hari masa pengeraman, benih-
benih yang keluar dari mulut induk jantan telah siap beradaptasi dengan
lingkungan baru. Proses ini berlangsung bertahap mengingat proses

8
perkembangan organ tubuh benih tersebut bervariasi dan tidak bersamaan.
Benih yang dihasilkan oleh satu ekor induk berkisar antara 13 – 55 ekor benih.
Benih-benih yang telah keluar biasanya tidak memiliki cadangan makanan
(yolk egg) dalam tubuhnya lagi, sehingga harus mendapatkan asupan makanan
dari luar. Pakan yang diberikan pada stadia awal adalah nauplii artemia.
Pemberian naupli artemia ini berlangsung selama ± 45 hari, kemudian
selanjutnya diberikan artemia yang dewasa pada umur lebih dari 45 hari.
Benih sebaiknya diajarkan makan pellet agar lebih memudahkan dalam
penanganannya. Setelah benih berumur ± 4 bulan, dapat diberikan pakan
rucah yang dipotong halus sesuai dengan bukaan mulutnya. Pakan ini
diberikan sebanyak 2 – 3 kali sehari dengan dosis sekenyangnya (adlibitum).

C. Hambatan/Kendala Kultur Ikan BCF


Banggai Cardinal Fish (BCF) merupakan ikan laut endemik di Kepulauan
Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, dan tidak ditemukan di tempat lain di
dunia. Maraknya perdagangan ikan hias dengan harga yang cukup
menggiurkan, maka ikan tersebut juga dapat ditemukan ditempat lain terutama
di pulau Bali (tepatnya disekitar perairan Gilimanuk). Menurut nelayan
setempat awal mula keberadaan ikan ini adalah merupakan hasil sortiran yang
tidak masuk ke dalam standar untuk di perdagangkan, kemudian dibuang ke
laut dan selanjutnya ikan tersebut dengan sendirinya hidup dan
berkembangbiak disekitar perairan Gilimanuk. Melihat potensi perdagangan
yang sangat tinggi dan hanya mengandalkan penangkapan dari alam
menyebabkan kelestarian ikan hias BCF terancam punah. Hal ini tercermin
dari jumlah yang diperdagangkan Ornamental Fish Trade (OFT) secara
Internasional mulai dari 700.000 hingga 1.4 juta ekor/tahun di tahun 2000
sampai 2001. Tingginya jumlah ikan P. kauderni yang diperdagangkan, serta
hanya mengandalkan penangkapan dari alam menyebabkan kelestarian ikan
ini terancam punah. Adanya permasalahan tersebut, pada tahun 2007 Banggai
Cardinal Fish (BCF) terdaftar sebagai jenis yang terancam punah
(Endangered) dan berada pada daftar merah (Red List) IUCN (International
Union for the Conservation of Nature).

9
10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ikan Banggai Cardinal merupakan ikan endemik Kepulauan Banggai yang


memiliki nilai ekonomis tinggi.
2. Ancaman yang menyebabkan kepunahan Ikan Banggai Cardinal
disebabkan oleh manusia dan alam itu sendiri (secara alamiah). Ancaman
yang disebabkan oleh manusia diantaranya adalah penangkapan secara
berlebihan, penggunaan alat tangkap dan bahan kimia yang bersifat
destruksif, tumpahan minyak dari kapal-kapal penangkap ikan dan
pengembangan pembangunan di wilayah pesisir yang merusak habitat Ikan
Banggai Cardinal. Sedangkan, ancaman secara alamiah adalah adanya
predator, perubahan iklim dan siklus hidup Ikan Banggai Cardinal sendiri,
dimana ketiga penyebab tersebut memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
3. Upaya konservasi sumberdaya ikan terhadap Ikan Banggai Cardinal
melibatkan komponen konservasi ekosistem (perairan), konservasi jenis
ikan dan konservasi genetik ikan. Namun, dalam implementasinya
Indonesia baru melakukan konservasi ekosistem berupa penetapan
Kawasan Konservasi Perairan daerah di Kepulauan Banggai, sedangkan
untuk konservasi jenis dan genetik Ikan Banggai Cardinal masih dalam
tahap penyusunan program perlindungan. Meskipun demikian, tahapan
tersebut merupakan langkah pengelolaan yang bertujuan untuk
melestarikan keberadaan Ikan Banggai Cardinal.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adel, Y., & Rahardjo, M. F. (2016). Pengelolaan sumber daya perikanan Banggai
cardinalfish (Pterapogon kauderni, Koumans 1933) dengan pendekatan
ekosistem (studi kasus Pulau Banggai Kabupaten Banggai Laut). Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia. 21(3): 186-194.

Carlos, N.S.T., Rondonuwu, A.B., dan Victor, N.R. 2014. Distribusi dan
Kelimpahan Pterapogon kauderni Koumans, 1993 (Apogonidae) di Selat
Lembeh Bagian Timur, Kota Bitung. Jurnal Ilmiah Platax. 2(3): 121-126

Hartati, S. T., Wudianto, W., & Sadiyah, L. (2012). Pengelolaan sumber daya ikan
banggai cardinal (Pterapogon kauderni) di perairan kepulauan Banggai.
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 4(1): 1-8.

Kasim, K., Sadiyah, L., & Hartati, S. T. (2016). Parameter oseanografi dan
pengaruhnya terhadap kelimpahan ikan banggai kardinal (Pterapogon
kaudernii) di perairan Kepulauan Banggai. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 18(4): 263-271.

Ndobe, S., Moore, A., Salanggon, A.I.M., Muslihudin, Setyohadi, D., Herawati,
E.Y., dan Soemarno. 2013. Pengelolaan Banggai Cardinalfish (Pterapogon
kauderni) Melalui Konsep Ecosystem-Based Approach. Marine Fisheries.
4(2): 115-126.

Rahman, S. A., & Safir, M. 2018. Performa Pertumbuhan dan Kelangsungan


Hidup Ikan Capungan Banggai (pterapogon kauderni) pada Mikrohabitat
yang Berbeda. OCTOPUS: JURNAL ILMU PERIKANAN. 7(2): 1-6

Yahya, Y., Mustain, A., Artiawan, N., Reksodihardjo-Lilley, G., & Tlusty, M. F.
(2012). Summary of results of population density surveys of the Banggai
cardinalfish in the Banggai Archipelago, Sulawesi, Indonesia, from 2007–
2012. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation. 5(5): 303-308.

12

Anda mungkin juga menyukai