Anda di halaman 1dari 9

Tugas 1

Hak Asasi Manusia (HAM)


PKNI 4317

SUSI RAMAYANI

856486395

S1 PGSD
UPBJJ Pekanbaru
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Terbuka
Tugas 1

1. Salah satu Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Kovenan internasional adalah
hak asasi politik (political rights).

● Sebutkan 4 contoh dari hak politik tersebut. Jelaskan!


● Apa yang terjadi jika hak asasi politik tidak terpenuhi?

2. Maghna Charta, adalah satu diantara berbagai dokumen Hak Asasi Manusia
yang pernah ada. Disahkan pada 15 Juni 1215, Maghna Charta ini dilatarbelakangi
oleh tindakan sewenang-wenang dari Raja John Lackland kepada rakyat dan para
bangsawan.

● Apa sesungguhnya prinsip dasar Magna Charta?


● Apa relevansi dokumen-dokumen HAM ini dalam perlindungan HAM masa
kini?

3. Negosiasi, penandatanganan, dan pengesahan merupakan 3 tahapan dalam


pembuatan perjanjian internasional.

● Apa syarat dari tahapan penandatanganan suatu perjanjian internasional?


● Apa konsekuensi hukum ditandatanganinya suatu perjanjian oleh pihak-
pihak?

4. Jelaskan apa itu protokol Manasuka!

5. Kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber atau dasar


pengambilan keputusan Mahkamah Internasional dalam memutuskan suatu
kasus. Bagaimana kebiasaan bisa menjadi sumber hukum internasional?

Jawab
1. Hak Asasi Politik (Political Rights) adalah Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu
pemilihan. Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan. Hak membuat dan mendirikan
partai politik serta organisasi politik lainnya. Hak untuk membuat dan mengajukan suatu
usulan petisi.
● Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.
● Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.
● Hak membuat dan mendirikan partai politik serta organisasi politik lainnya.
● Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.
Apa yang terjadi jika hak asasi politik tidak terpenuhi?

Jika hak asasi politik tidak terpenuhi, maka dapat terjadi pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) dan ketidakadilan dalam sistem pemerintahan. Hak asasi politik adalah hak yang
berkaitan dengan kebebasan individu dalam berpartisipasi dalam kegiatan politik, seperti
hak memilih dan dipilih, hak berserikat, dan hak menyampaikan pendapat. Jika hak ini tidak
terpenuhi, maka individu tidak dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik dan
tidak memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan pemerintah.

2. Prinsip dasar Magna Carta

Magna Carta Libertatum (Latin untuk "Piagam Besar untuk Kebebasan") atau sering
disebut Magna Carta ("Piagam Besar") adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada
tanggal 15 Juni 1215 yang membatasi monarki Inggris, sejak masa Raja John, dari
kekuasaan absolut.

Magna Carta adalah hasil dari perselisihan antara Paus, Raja John, dan baronnya atas
hak-hak raja: Magna Carta mengharuskan raja untuk membatalkan beberapa hak dan
menghargai beberapa prosedur legal, dan untuk menerima bahwa keinginan raja dapat
dibatasi oleh hukum. Magna Carta adalah langkah pertama dalam proses sejarah yang
panjang yang menuju ke pembuatan hukum konstitusional.

Prinsip dasar dari Magna Carta adalah bahwa pemerintahan, termasuk raja atau penguasa,
juga harus tunduk pada hukum dan terikat oleh hukum.

Ini adalah dokumen bersejarah yang mengandung prinsip-prinsip penting sebagai dasar bagi
negara hukum. Berikut adalah beberapa prinsip dasar Magna Carta:

a. Kedaulatan Hukum: Magna Carta menekankan bahwa pemerintahan, termasuk raja,


juga harus mematuhi hukum Ini berarti bahwa pemerintahan tidak bisa bertindak
sewenang-wenang dan harus menjalankan kewajiban sesuai dengan hukum
yang berlaku.
b. Perlindungan Hak dan Privilege: Magna Carta melindungi hak dan hak istimewa
individu, terutama mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi,
seperti bangsawan. Ini mencakup hak atas properti, warisan, dan keadilan.
c. Keterlibatan Pihak Lain dalam Proses Hukum:

Magna Carta juga menegaskan bahwa sebelum ada penghukuman atau perampasan
hak, seseorang harus menghadapi proses hukum yang adil dan mendapatkan
persetujuan dari "tandingan" yang kompeten (biasanya para bangsawan) sebelum
tindakan tersebut diambil.

d. Tidak Ada Pidana yang Tak Wajar:

Dokumen ini melarang pengenaan pidana yang tidak wajar, seperti denda atau
hukuman yang berlebihan, yang dapat mengakibatkan seseorang kehilangan hak atau
properti tanpa alasan yang jelas

● Apa relevansi dokumen-dokumen HAM ini dalam perlindungan HAM masa


kini?

Dokumen-dokumen hak asasi manusia (HAM) memiliki relevansi yang sangat besar
dalam perlindungan HAM masa kini. Fungsi utamanya adalah sebagai dasar hukum dan
pedoman yang menjamin akan adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-
hak asasi manusia. Dokumen ini juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara
individu dengan pihak berwenang atau negara, memastikan bahwa kekuasaan yang
dipegang oleh pihak-pihak tersebut tidak disalahgunakan. Selain itu, dokumen ini
memberikan instrumen bagi individu atau kelompok untuk menuntut haknya jika
dilanggar.

Dokumen-dokumen HAM seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),


Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan lain-lain, merupakan
produk dari usaha bersama negara-negara di dunia untuk menciptakan standar universal
yang mengatur hak dan kebebasan setiap individu. Dokumen-dokumen ini mewujud
dalam bentuk perjanjian internasional, hukum, serta instrumen lainnya yang diadopsi
oleh banyak negara, termasuk Indonesia.

Dengan adanya dokumen-dokumen HAM ini, standar perlindungan HAM telah


diatur dan setara di seluruh dunia, membuat setiap individu memiliki
perlindungan yang sama, tanpa memandang ras, agama, atau latar belakang
lainnya. Dokumen-dokumen ini juga menjadi rujukan bagi negara untuk
menciptakan dan mengimplementasikan kebijakan yang berformat HAM.

Selain itu, dokumen-dokumen ini juga memberikan mekanisme bagi individu atau
kelompok untuk memperjuangkan hak-hak mereka jika dirasa telah dilanggar.
Melalui berbagai lembaga dan mekanisme yang diatur dalam dokumen-dokumen
HAM, seseorang dapat menuntut dan mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran
HAM yang mereka alami.

3. Negosiasi/Perundingan Perjanjian Internasional

Tahapan perjanjian internasional yang pertama adalah perundingan, di mana biasanya


didahului oleh pendekatan-pendekatan oleh pihak yang bermaksud mengadakan
perjanjian internasional, atau yang dalam bahasa diplomatik dikenal dengan lobbying.
Lobbying dapat dilakukan secara formal maupun secara nonformal. Bila dalam lobbying
telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu masalah, maka kemudian
diadakan perundingan secara resmi yang akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi
mewakili negaranya, menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan
mengesahkannya.

Orang-orang yang berwenang mewakili negaranya ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 7
Konvensi Wina 1969, di antaranya yaitu kepala negara (seperti presiden), kepala
pemerintahan (seperti perdana menteri), dan menteri luar negeri.

Dalam tahapan perundingan ini terdapat juga proses penerimaan teks (adoption of the
text),[4] di mana para pihak yang berunding merumuskan teks dari perjanjian yang
kemudian diterima oleh masing-masing pihak peserta perundingan. Penerimaan
naskah/teks dalam konferensi yang melibatkan banyak negara dilakukan dengan
persetujuan 2/3 dari negara yang hadir dan menggunakan suaranya, kecuali jika 2/3
negara tersebut setuju untuk memberlakukan ketentuan lain.

2. Penandatanganan Perjanjian Internasional


Setelah adanya penerimaan teks dalam tahapan perundingan, tahapan perjanjian
internasional selanjutnya adalah dilakukan pengesahan teks yang telah diterima oleh
peserta perundingan tadi.[6] Proses atau tahap pengesahan teks perjanjian
internasional dilakukan sesuai kesepakatan para peserta perundingan, atau dengan
pembubuhan tanda tangan wakil negara dalam teks perjanjian internasional tersebut.

3. Ratifikasi Perjanjian Internasional (jika perlu)

Menurut Pasal 1 angka 2 UU 24/2000, ratifikasi merupakan salah satu perbuatan


hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Namun, dari perspektif hukum perjanjian internasional, proses ratifikasi ini tak selalu
diperlukan agar sebuah perjanjian internasional bisa berlaku mengikat terhadap suatu
negara. Hal ini dikarenakan, bisa saja peserta perundingan perjanjian internasional
menyepakati bahwa penandatanganan perjanjian saja sudah cukup menandakan
persetujuan negara terhadap perjanjian tersebut.

Proses ratifikasi ini diperlukan, di antaranya jika teks perjanjian internasional terkait
menyatakan bahwa persetujuan negara untuk terikat ditunjukkan dengan cara ratifikasi.

Di Indonesia, ratifikasi sebagai pengesahan perjanjian internasional ini dilakukan


dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Hukum ada di berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah
perjanjian. Hal ini dibuktikan dengan adanya konsekuensi hukum jika perjanjian
tersebut telah ditandatangani.

Lalu, apa konsekuensi hukum ditandatanganinya suatu perjanjian oleh pihak-pihak


yang terlibat? Singkatnya menurut Pasal 1338 KHUPerdata, semua orang yang terlibat
dari perjanjian tersebut harus menaatinya seperti menaati undang-undang.

Jika perjanjian tersebut tak ditaati, maka sama saja melanggar undang-undang yang
ada. Konsekuensi bagi pelanggarnya pun berupa sanksi hukum. Sanksi hukum ini
berbeda satu sama lain, tergantung pada isi perjanjian dan undang-undang yang
mengaturnya.
Bagaimanapun juga, perjanjian tersebut tak bisa dibatalkan begitu saja secara sepihak.
Artinya, pembatalan perjanjian harus disepakati oleh semua pihak yang terlibat. Selama
ada yang tak terlibat, maka pembatalan tersebut tidak sah sehingga konsekuensi
hukum tetap dapat ditegakkan.

4. Protokol Manusaka

Kesadaran manusia mengenai perlindungan terhadap hak asasi manusia semakin


meningkat sejak berakhirnya Perang Dunia II. Akhirnya, dibentuklah PBB untuk
memajukan kesejahteraan manusia.

Penugasan ini sendiri tertuang dalam pasal 68 Piagam PBB, yang menyatakan bahwa
dewan ekonomi dan sosial mendirikan panitia di kedua bidang tersebut untuk
memajukan hak asasi manusia.

Untuk memenuhi ketentuan pasal 68 tersebut, terbentuklah Komisi Hak-hak Manusia


yang beranggotakan 18 orang pada 1946. Lalu, hak-hak sipil dan politik diatur dalam
pasal 3 sampai pasal 21.

Lalu, muncul juga sebuah protokol tambahan dalam, yakni protokol manasuka. Protokol
manasuka merupakan protokol tambahan terhadap Konvensi Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik, yang merupakan perjanjian hak asasi paling penting di dunia.

5. Kebiasaan internasional (bahasa Inggris: customary international law) adalah kebiasaan


bersama negara-negara di dunia yang menjadi bukti praktik umum yang diterima sebagai
hukum.[1] Kebiasaan internasional diakui sebagai salah satu sumber hukum internasional oleh
Pasal 38(1)(b) Piagam Mahkamah Internasional. Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa juga menyatakan bahwa kebiasaan internasional adalah salah satu sumber hukum
yang akan diterapkan oleh Mahkamah Internasional.

Kebiasaan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum yang berasal dari tindakan negara-
negara yang konsisten yang muncul dari keyaknian bahwa tindakan mereka itu diwajibkan oleh
hukum. Maka dari itu, terdapat dua unsur yang harus dipenuhi untuk membuktikan keberadaan
suatu kebiasaan internasional:

● Praktik atau kebiasaan negara-negara (usus)


● Keyakinan dari negara-negara bahwa kebiasaan tersebut dilakukan atas dasar
kewajiban hukum (opinio juris)

Kepentingan kedua unsur ini telah ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam perkara
Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons. Terkait dengan aspek opinio juris yang
merupakan unsur subjektif, Mahkamah Internasional menyatakan dalam perkara North Sea
Continental Shelf bahwa kebiasaan tersebut harus dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga
menjadi bukti keyakinan bahwa kebiasaan tersebut diwajibkan oleh hukum, sehingga negara
yang melakukan kebiasaan tersebut harus merasa bahwa tindakan mereka sejalan dengan
kewajiban hukum. Mahkamah Internasional menekankan perlunya pembuktian rasa untuk
memenuhi kewajiban hukum dan bukan "tindakan yang didorong oleh pertimbangan
kesopanan, kemudahan atau tradisi". Pernyataan ini ditegaskan kembali dalam perkara
Nicaragua v. United States of America.

Pada umumnya, negara harus menyatakan persetujuannya terlebih dahulu agar dapat terikat
dengan suatu perjanjian secara hukum. Namun, kebiasaan internasional merupakan norma
yang juga berlaku untuk negara yang belum menyatakan persetujuannya. Pengecualian
diberikan kepada negara yang menjadi persistent objector atau dalam kata lain negara yang
terus menerus menentang keberadaan suatu kebiasaan internasional, kecuali jika hukum
tersebut masuk ke dalam kategori jus cogens.

Kebiasaan internasional tidak hanya berlaku dalam konteks multilateral, tetapi bisa juga berlaku
dalam konteks regional. Keberadaan kebiasaan regional telah diakui oleh Mahkamah
Internasional dalam perkara Right of Passage Over Indian Territory yang melibatkan Portugal
dan India; dalam perkara tersebut, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa "tidak ada
alasan mengapa praktik yang sudah lama berlangsung di antara kedua negara yang diterima
oleh keduanya sebagai praktik yang mengatur hubungan di antara mereka tidak dapat menjadi
landasan hak dan kewajiban timbal-balik di antara kedua negara

Sumber Referensi
1. https://www.bola.com/ragam/read/5235864/contoh-hak-asasi-manusia-yang-
perlu-dipahami?page=7
2. https://id.quora.com/Apa-yang-terjadi-jika-hak-asasi-politik-tidak-terpenuhi
3. https://www.dikasihinfo.com/pendidikan/98010670544/terjawab-apa-sebenarnya-
prinsip-dasar-magna-charta-simak-pembahasan-lengkap-berikut-ini?page=3
4. https://www.nesabanesia.com/apa-relevansi-dokumen-dokumen-ham-ini-dalam-
perlindungan-ham-masa-kini/
5. https://kumparan.com/berita-terkini/konsekuensi-hukum-ditandatanganinya-
suatu-perjanjian-oleh-pihak-pihak-terkait-21PW1FcIEd1/full/gallery/2
6. https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/mengenal-protokol-manasuka-pada-
hak-hak-sipil-dan-politik-21PaxUcYkir/2
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiasaan_internasional

Anda mungkin juga menyukai