• Falsafah atau filosofi adalah tata nilai atau prinsip-
prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. • Dalam pengertian lainnya, falsafah adalah merupakan anggapan, gagasan, prinsip, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat (padangan hidup). Ia menjadi pegangan agar apa-apa yang dilakukan sesuai dengan prinsip tersebut. Falsafah Pers
• Falsafah pers disusun berdasarkan sistem politik
yang dianut masyarakat di mana pers yang bersangkutan hidup. Pers liberalis yang dianut Amerika Serikat (AS) berbeda dengan yang dianut Uni Soviet (Rusia) atau Cina yang bersifat komunis. Begitu juga, negara yang menganut paham militer akan berbeda dengan negara berpaham demokrasi. Falsafah Pers
• Tahun 1956, Federick Siebert, Tom Peterson dan
Wilbur Schramm menerbitkan buku berjudul Four Theories of the Press (Empat Teori tentang Pers), yang diterbitkan Universitas Illinois. Buku itu hingga kini menjadi pegangan dalam dunia akademis maupun pers praktis tentang bagaimana pers hidup dalam masyarakat masing-masing. Falsafah Pers
• Dari karya Siebert dkk itu kemudian dikembangkan
beberapa teori lagi tentang pers. Tahun 1980, terbit buku berjudul Responsibility in Mass Communication yang ditulis oleh William L Rivers, Wilbur Schramm, dan Clifford G Christian. Isi dari buku ini merupakan kekecewaan, ketidakpuasaan dan kecurigaan orang terhadap terhadap libertarianisme dari jurnalisme yang terlalu pers sentris. Untuk itu perlu adanya tanggung jawab sosial dalam komunikasi massa, dan tidak hanya dalam pers. Tetapi, intinya apa yang dikembangkan oleh Rivers dkk adalah perkembangan dari teori libertarian dan tanggung jawab sosial Siebert dkk. Falsafah Pers
Four Theories of the Press yang pengaruhnya
hingga kini masih sangat besar, merupakan pandangan normatif Sibert dkk tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat. Asumsi dasar mereka adalah , bahwa “pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial dan politik di mana ia beroperasi.” 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Ini adalah teori yang hingga kini diakui sebagai teori pers tertua di dunia, yang berasal dari abad ke-16. Asal dari teori ini adalah dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut. Penetapan tentang hal-hal “yang benar” seolah dipercayakan kepada orang beberapa orang yang kadang dipaksakan dan dilegitimasi sebagai pemimpin. • Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Para penerbit diawasi dan dikontrol dengan aturan-aturan, izin-izin terbit, dan sensor. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Konsep ini menetapkan pola asli bagi sebagian besar sistem-sistem pers nasional dunia dan masih bertahan sampai sekarang, terutama di negara-negara otoriter. • Prinsip dasar dalam teori ini adalah bahwa negara memiliki kedudukan lebih tinggi daripada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Individu dianggap akan menjadi orang yang beradap dan memperoleh cita-citanya jika mau menempatkan dirinya di bawah kekuasaan negara. Tak ada ruang bagi individu untuk melawan negara/penguasa, karena itu akan dianggap sebagai tindakan melawan negara. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Hal itu juga berlaku bagi pers. Sebagai sebuah badan/lembaga yang berada di bawah negara/penguasa, maka pers harus ikut dengan kehendak penguasa/negara. Jika pers dianggap memberitakan sesuatu yang berlawanan dengan negara, maka alamat buruk bagi pers tersebut. Pembredeilan atau pencabutan izin akan terjadi. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Di masa Orde Lama dan Orde Baru, pers Indonesia mengalami masa seperti ini. Beberapa media dicabut dan diberangus oleh negara karena dianggap memberitakan sesuatu yang “tak pantas” diberitakan. Mochtar Lubis adalah salah satu tokoh pers yang mengalami masalah itu. Pemilik Harian Indonesia Raya ini pernah dipenjara di masa Orla dan Orba, selain medianya dibreidel. Saat Orla, Indonesia Raya dan Mochtar Lubis dianggap anti cita-cita Nasakom-nya Soekarno. Sedang saat Orba, Indonesia Raya membongkar korupsi di Pertamina yang melibatkan keluarga Presiden Soeharto. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Di masa Orba, pembredeilan media sering terjadi. Misalnya, selain Indonesia Raya di tahun 1970-an, Harian Sinar Harapan juga mengalami nasib yang sama karena dianggap melawan pemerintah. • Pembreidelan “massal” terjadi tahun 1994 ketika Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik dicabut izinnya. Melalui Departemen Penerangan, negara mengontrol pers dengan ketat dengan memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) yang kemudian menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan mencabut SIT atau SIUPP, maka hidup pers itu langsung tamat. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Tempo dianggap salah karena memberitakan tentang “rahasia negara”, yakni kekuatan alat tempur ABRI. Tempo melakukan investigasi tentang pembelian kapal perang eks Perang Dunia II milik Jerman Timur. Tempo menemukan kejanggalan karena kapal-kapal perang itu sudah tak layak pakai. Selain sudah tua dan karatan, kapal-kapal tersebut juga memiliki teknologi yang ketinggalan jaman. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Majalah Editor dicabut izinnya karena dianggap melakukan kesalahan administrasi. Para pengelolanya dianggap orang- orang yang tak berkompeten dan tak dilaporkan ke Departemen Penerangan. Itu hanya alasan. Yang sebenarnya terjadi adalah, Editor juga sering memberitakan hal-hal yang tabu menurut pemerintah. • Alasan pembredeilan Detik juga sama, kesalahan administrasi. Tetapi semua orang tahu bahwa Detik adalah salah satu tabloid yang sangat vokal dan sering memberitakan keburukan pemerintahan, termasuk korupsi. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Sekitar tahun 1996, Majalah Detektif dan Romantika (D & R), juga “dipaksa” untuk kembali ke kitahnya sebagai majalah kriminalitas oleh Departemen Penerangan, sesuai yang tertera dalam SIUPP. Saat Tempo dibreidel, banyak wartawan Tempo yang pindah ke D & R, dan menjadikan majalah itu mirip Tempo semasa hidupnya. Puncak dari kekesalan negara adalah ketika D & R membuat kaver mirip kartu remi, yakni kartu King, yang menjadi simbol dari otoriterisme Soeharto. 1. Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) • Masa Orla dan Orba di Indonesia adalah penjabaran nyata authoritarian theory, bahwa negara adalah segalanya, dan jika pers tidak mau mengikuti kehendak penguasa/negara, maka pers tersebut harus rela dirinya dibunuh oleh negara, dengan alasan demi kepentingan negara dan masyarakatnya. Dengan menjadikan ekonomi sebagai panglima, di masa Orba, Indonesia berada pada masa otoriterisme yang sangat masif. 2. Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) • Teori ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika. • Teori ini memandang manusia sebagai makhkluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. • Pers harus menjadi mitra dalam upaya mencari kebenaran, dan bukan sebagai alat pemerintah, yang mengikuti apa kata penguasa. • Tuntutan agar pers mengawasi pemerintah berkembang dari teori ini. 2. Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) • Munculnya sebutan pers sebagai The Fourth Estate atau Pilar Kekuasaan Keempat dalam demokrasi, berawal dari teori ini. Sebagai pilar demokrasi, pers harus bebas dari pengaruh kekuasaan. • Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembankan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap. 2. Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) • John Milton mempunya gagasan tentang self-righting process (proses menemukan sendiri kebenaran) dan free market of ideas (kebabasan menjual gagasan), menjadi ide sentral dalam teori ini. • Dengan gagasan Milton ini, pers dikontrol oleh self- righting process of truth, free market of ideas , dan pengadilan. • Implikasi dari self-righting process ini, bahwa semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang punya akses yang sama pula ke sana. 2. Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) • Teori ini paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. • Teori ini juga paling banyak memberikan informasi, hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. • Tapi, muncul kritikan, bahwa pers bebas ini dianggap paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit mengadakan kontrol terhadap pemerintah. 2. Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) • Dalam perusahaan pers seperti ini sangat sedikit pembatasan dan aturan sebagai pedoman, karena pers diharapkan bisa mengontrol diri sendiri. • Sebagian aturan yang ada hanya untuk menciptakan keuntungan materi bagi pemiliknya. • Pers menjadi cenderung tak tertarik pada persoalan dalam untuk kepentingan masyarakat, karena orientasinya adalah keuntungan. Yang muncul kemudian adalah bahwa kebebasan adalah identik dengan keuntungan atau uang. Pers kapitalisme dan liberal lahir karena teori ini. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) • Muncul sebagai respon atas penyederhanaan masalah yang dilakukan oleh Teori Pers Bebas. Para pemilik media terlalu berkuasa karena mereka yang menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan dan dalam versi apa. • Pers Bebas tak berhasil memahami masalah- masalah seperti kebebasan internal. Pers terlalu liar dan semuanya ditentukan oleh pemilik pers tanpa menghiraukan kebutuhan masyarakat. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) • Tahun 1949, Robert Hutchins memimpin “Commision on the Freedom of the Press” yang menjadi cikal-bakal Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial sebagai reaksi terhadap keliaran Pers Bebas. • Komisi ini kemudian dikenal sebagai “Hutchins Commission” yang mengajukan lima prasyarat bagi sebuah pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) 1. Media harus menyajikan berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikan makna. Artinya: media harus akurat, tak boleh berbohong, memisahkan fakta dan opini, dan melakukan pendalaman fakta dengan bahasa yang umum. 2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Artinya: media harus menjadi sarana umum, memuat gagasan-gagasan meskipun bertentangan dengan gagasan media itu sendiri, objektif, pandangan dan kepentingan yang penting harus terwakili, harus jelas siapa sumber bertitanya. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) 3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar- benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat. Artinya, ketika gambaran yang disajikan tersebut gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka pendapat diesatkan. Kebenaran tentang sebuah kelompok harus benar-benar terwakili, tetapi juga harus menjelaskan kelemahan dan sifat-sifat buruk suatu kelompok. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) 4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan- tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, media harus menjadi instrumen pendidikan, ia harus memikul tanggung jawab untuk menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan masyarakat. 5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi yang tersembunyi pada suatu saat. Artinya, media seharusnya tidak hanya memberitakan yang tersurat, tetapi juga menjelaskan yang tersirat, yang disembunyikan dari masyarakat. Kasus-kasus korupsi misalnya. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) Meskipun kerja Komisi Hutchins telah berhasil mempengaruhi pers di Amerika pada masa itu, tetapi baru tahun 1956 pers AS benar-benar meninggalkan prinsip-prinsip teori pers libertarian/pers bebas tanpa batas dan bergeser ke pers bertanggung jawab sosial. Inilah kebebasan pers yang dikehendaki masyarakat, yakni pers bebas yang bersyarat, bukan tanpa syarat, seperti yang diungkapkan oleh Frederick Siebert dkk dalam Four Theories of the Press. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) Ada 6 fungsi yang harus dilakukan pers sebagai tanggung jawab sosialnya menurut Siebert dkk. 1. Melayani sistem politik yang memungkinkan informasi, diskusi, dan konsiderasi (pertimbangan) tentang masalah-masalah publik dapat diakses oleh masyarakat. 2. Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingannya sendiri. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) 3. Melindungi hak-hak individu dengan bertindak sebagai watchdog (anjing penjaga) terhadap pemerintah. 4. Melayani sistem ekonomi, misalnya dengan mempertemukan pembeli dan penjual dalam iklan. 5. Memberi hiburan (hiburan yang baik yang diperlukan masyarakat agar bisa menikmati kegembiraan). 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) 6. Memelihara otonomi di bidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan pada kepentingan- kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu. • Teori ini memang mengkritik dan kemudian memperbaiki teori pers bebas/liberal yang ternyata hanya mencari untung dan melayani pengiklan, sementara pelayanan terhadap publik sangat kecil dan dianggap tidak penting. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) • PF Lazarsfeld dan RK Merton dalam artikel berjudul “Mass Communication, Popular Taste and Organized Social Action” yang dikutip Wilbur Schramm buku yang disuntingnya, Mass Communication (1947) mengatakan tentang pers liberal itu. “Karena media massa kita yang disponsori secara komersial itu mempromosikan kesetiaan tanpa berpikir kepada struktur sosial kita, media massa ini tidak dapat diandalkan bekerja untuk perubahan, bahkan perubahan kecil pun, dalam struktur tersebut. 3. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) • Media penganut Pers Bertanggun Jawab Sosial ini memiliki prinsip yang tak disukai penganut pers bebas, yakni bahwa ada prinsip dan etika di belakang tanggung jawab sosial itu, yakni bukan saja akan mewakili golongan masyarakat mayoritas, tetapi juga melindungi golongan minoritas untuk bersuara lewat media itu. Teori ini banyak dipakai di negara- negara demokrasi dengan tingkat kecederasan masyarakatnya yang tinggi dan rakyat memiliki suara yang berpengaruh sehingga berperan penting dalam menentukan bagaimana negara melayani rakyatnya dengan baik. 4. Teori Pers Komunis Soviet (The Soviet Communist Theory) • Teori ini berkembang setelah Revolusi Bolsyevik Oktober 1917, sebuah revolusi yang menggulingkan kekuasaan monarki Tsar Nichlas II dan menjadikan negara Rusia sebagai sebuah republik. Teori ini berakar dari Teori Pers Otoriter. • Sistem pers ini menopang kehidupan pers sosialis-komunis, dengan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah komunis terhadap seluruh kegiatan warganya. Tujuan utama komunisme adalah terciptanya masyarakat tanpa kelas, yang dikontrol dengan ketat oleh penguasa. Tak jauh beda dengan pers otoriter, sistem yang diterapkan dari teori ini adalah tak ada kebebasan dalam pers, semuanya dikontrol, dikendalikan, dan pelanggarnya akan diberi sanksi yang tegas oleh pemerintah komunisme. 4. Teori Pers Komunis Soviet (The Soviet Communist Theory) • Teori ini menguat setelah Perang Dunia II yang melahirkan negara Uni Soviet yang begitu besar di bawah Stalin. Seiring dengan pemerintah tirani komunisme Stalin, jutaan oran yang dianggap tak setia terhadap negara dibunuh, temasuk wartawan maupun sastrawan yang ide-idenya melawan komunisme. Perang Dingin yang terjadi antara Soviet dan AS berawal dari ideologi ini. 4. Teori Pers Komunis Soviet (The Soviet Communist Theory) • Perang Korea yang kemudian melahirkan dua negara kandang, Korea Selatan dan Korea Utara, adalah salah satu dari “penjabaran” Perang Dingin. Termasuk Perang Vietnam. Soviet ingin meluaskan komunisme, AS ingin menamkan liberalisme. • Pengaruh teori pers ini seiring sejalan dengan meluasnya komunisme hingga ke Eropa Timur, Cina, Amerika Latin, termasuk Indonesia ketika itu. 4. Teori Pers Komunis Soviet (The Soviet Communist Theory) • 25 Desember 1991 Uni Soviet bubar, dan negara-negara yang memisahkan diri sudah tak lagi menganut komunisme, yang juga diikuti sistem persnya. Negara komunis yang masih kuat saat ini adalah Cina, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan beberapa negara Amerika Latin. 4. Teori Pers Komunis Soviet (The Soviet Communist Theory)
•Ciri-ciri Pers Komunis Soviet ini adalah:
1. Dihilangkannya motif profit pada media. 2. Menomorduakan topikalitas, yakni pemilihan sudut pandang pemberitaan yang berorientasi pada “apa yang sedang ramai dibicarakan. 3. Jika dalam pers otoriter murni orientasinya adalah mempertahankan status quo, dalam teori ini orientasi utamanya adalah perkembangan dan perubahan masyarakat untuk mencapai tahap kehidupan komunis, yakni tercapainya masyarakat tanpa kelas.