Anda di halaman 1dari 4

Tawassul Dan Wasilah

Tawassul apakah bukan termasuk syirik? "Apakah bertawasul/berdo'a dengan perantaraan


orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta
kepada sang mati (lewat perantaraan)?

Tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman
Allah SWT:

;gt ‫يآَأُّيهَا اَّلِذْي َن آَم ُنوا اَّتُقوا َهللا َو اْب َتُغ وا ِإَلْيِه اْلَو ِس ْي َلَة‬

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35). Pengertian tawassul sebagaimana yang
dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT
melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui
orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi
tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul
merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan
oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam,
berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada
orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan
diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam
berdoa dan bukan merupakan keharusan Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul
kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan
sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan
dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua,
yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang
tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui
perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga
bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap
harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan
keluar bagi mereka bertiga. Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah
bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan
seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah
SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-
Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama
berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh,
namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail
dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan
perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang),
adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang
diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi
SAW:

‫َع ْن َأَن ٍس ْب ِن َم اِلٍك ِإَّن ُع َمَر ْب ِن الَخ َّط اِب َك اَن ِإَذ ا َقَح ُط ْو ا اْس َت ْس َقى ِبالَع َّباِس ْب ِن َعْبِد الُم َطِّلِب َفَقاَل الَّلُهَّم ِإَّن ا ُكَّن ا َنَت َو َّسُل َإَلْي َك ِبَن ِبِّي َن ا‬
137:‫ ص‬1 :‫ أخرجه اإلمام البخارى فى صحيحه ج‬. ‫َفُت ْس ِقْي َن ا َو ِإَّن ا َنَنَت َو َّسُل ِإَلْي َك ِبَع ِّم َن ِبِّي َن ا َفاْس ِقَن اَفَي ْس ُقْو َن‬

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka
meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah
bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami
bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun
turun.” (HR. Bukhori) Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad
SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah
meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah
meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan
seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari
manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba
yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT,
karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau
mereka telah wafat." Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan
perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT
juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan
bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya.
Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa
memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang
bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata. Jadi kami
tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu
perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang
kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan
pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah
termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan
mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/20279/tawassul-apakah-bukan-termasuk-syirik

Mengacu pada surat al Maidah ayat 35:

‫َي ا َأُّيَه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو اْب َتُغ وا ِإَلْيِه اْلَو ِس يَلَة َو َج اِه ُد وا ِفي َس ِبيِلِه َلَع َّلُك ْم ُتْف ِلُحوَن‬

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian
mendapat keberuntungan". Kiai Wazir dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir
mengatakan, "Ada yang mengartikan wasilah itu surga, ada yang mengartikan amalan-
amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan ada yang mengartikan,
seseorang bisa menjadi perantara, karena orang tersebut alim dan dekat kepada Allah SWT,
misalnya seorang wali.” Lebih lanjut, Kiai Wazir menerangkan tentang macam-macam
tawassul. Yang pertama, tawassul bi asmaillah (tawassul dengan nama Allah). Tawassul ini
adalah tawasul yang paling tinggi. Misalnya dengan perkataan a‘ûdzu biqudratillah, a‘udzu
bi izzatillah dan yang lainnya. Seperti tawasul kepada Allah agar disembuhkan dari sakit.
Tawassul ini juga bisa dilakukan dengan menyebut asmaul khusna, secara lengkap atau
sebagian. Atau dengan ismul a'dham. Ismul a'dham, menurutnya merupakan password
berdoa. Ismul a'dham ini disamarkan, tetapi bisa dipelajari, misalnya dalam kitab Imam
Nawawi, Fatawa Nawawi, disebutkan tentang ismul a'dham. Kedua, tawasul bi a'mal
shalihat (tawassul dengan amal yang baik).

Dalam kitab Riyadus Shalihin dikisahkan, ada 3 orang sahabat, yang dalam perjalanan
mereka menemukan gua. Karena penasaran, ketiganya memasuki gua tersebut. Saat sudah
masuk, tiba-tiba ada angin kencang, yang merobohkan batu besar sehingga menutupi gua.
Mereka mengalami kesulitan, seminggu tidak makan, dan memanggil-manggil orang tidak
ada yang dengar, lalu ketiganya muhasabah. Seorang dari mereka berdoa dan bertawassul
dengan perbuatan birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua). Akhirnya batu terdorong
angin besar, dan ada sinar matahari. Kemudian yang lain berdoa dengan amal unggulannya,
akhirnya batu tergeser sedikit demi sedikit. Ketiga, tawassul bis shalihin (tawassul dengan
orang-orang shalih). Tawasul kepada orang-orang shalih, baik masih hidup atau sudah
meninggal. Apa bisa tawasul kepada yang masih hidup. Diceritakan dalam hadits shahih, ada
salah satu sahabat buta, yang ingin bisa melihat, kemudian ia tawassul Allahumma inni
as'aluka wa atawajjahu bi nabiyyika fi hajati hadzihi... (Ya Allah saya meminta dan
menghadapmu dengan wasilah kepada Nabi dalam memenuhi kebutuhan saya ini...).
Akhirnya sahabat tersebut bisa melihat. “Tawasul kepada orang yang sudah meninggal, yang
ditawassuli Nabi SAW. Para nabi itu masih hidup di kuburannya, apa yg dilakukan? Para Nabi
melakukan shalat. Bahkan orang yang memiliki kelebihan (khos) bisa kontak dan belajar
kepada mereka. Bahkan, tamah Kiai Wazir, Nabi Adam AS juga pernah tawassul kepada Nabi
Mahammad SAW, padahal Nabi Muhammad belum lahir. “Ketika Nabi Adam AS melakukan
kesalahan, beliau berdoa ya rabbi as'aluka bihaqqi muhammdin. Ini juga dari Hadits Shahih.
Selanjutnya, Imam Syafii pernah mengatakan: ‘Saya punya masalah berat, saya tawasul dan
ambil berkah kepada guru saya, yaitu Abu Hanifah. Saya datang ke makam beliau setiap
malam sepanjang masalah berat masih menimpa saya, dan sebelum datang makam, saya
shalat dulu 2 rakaat’,” paparnya. Keempat, tawassul bi dzat (tawassul dengan dzat). Cara
melakukan tawassul macam ini, misalnya bi jahi (dengan kedudukan), bi hurmati (dengan
kemuliaan), bi karamati (dengan kemurahan). Shalawat Nariyah merupakan tawassul bi
dzat. Tawassul yang keempat ini diperselisihkan oleh para ulama'. "Menurut sebagian besar
ulama, tawassul dengan empat macam di atas tidak masalah, tetapi menurut Ibn Taimiyah,
semua tawassul bisa diterima secara syariat kecuali tawassul bi dzat," ulas Kiai Wazir.

Anda mungkin juga menyukai