Anda di halaman 1dari 10

MENINGKATKAN KESADARAN HUKUM INDIVIDU DAN

MASYARAKAT MELALUI SOSIALISASI DAN PENDIDIKAN ANTI


KORUPSI

Disusun Oleh

Risda Lumban Siantar

02001092

KELOMPOK IV

Nurlaila

Dindang mayang sari


Baktiar

Thein

Naomi

Risda lumban siantar

Rosmina

Irma

STIKES AMANA MAKASSAR

BAB I

PENDAHULUAN

korupsi merupakan permasalahan yang menarik untuk dikaji terutama mengenai proses
penanggulangan atau pencegahannya. Seringkali penanggulangan dan pencegahan korupsi
lebih ditekankan pada persoalan penegakan hukum atau penggunaan upaya represif. Upaya
penanggulangan dengan menggunakan upaya represif hingga saat ini masih menjadi
“primadona” dalam memberantas korupsi. Hukuman atau sanksi bagi pelaku dipandang
mampu memberikan efek jera bagi para pelaku dapat memuaskan kehendak masyarakat. Di
lain sisi perlu disadari bahwa penanggulangan korupsi dengan melakukan penegakan hukum
pidana pada faktanya belumlah berjalan maksimal. Kehendak negara untuk menekan jumlah
korupsi nampaknya masih belum dapat terwujud. Jadi sekalipun telah ada perangkat hukum
yang lengkap sebagai sarana penanggulangan korupsi pada faktanya masih belum mampu
meniadakan perbuatan korupsi itu sendiri. Dengan kata lain, sekalipun telah diupayakan suatu
cara penanggulangan dengan menggunakan sarana hukum pidana namun korupsi masih saja
bertumbuh dan semakin sulit untuk diberantas. Sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia
juga dikarenakan karena korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia Indonesia.
Korupsi seakan telah membudaya dan manusia Indonesia telah terbiasa dibesarkan dengan
perilakuperilaku koruptif yang dipertontonkan dengan sengaja oleh lingkungan dimana
manusia tersebut berada. Hampir semua aspek bidang kehidupan manusia di Indonesia
pernah tergerus oleh perilaku koruptif yang dilakukan oleh oknumoknum tertentu. Perilaku
koruptif tersebut cukup lama berada dalam sebuah zona 3 yang sangat nyaman atau tidak
tersentuh hukum sehingga dipandang sebagai kewajaran tanpa pernah menyadari kerugian
yang akan dialami oleh negara.

Hal inilah yang menyebabkan korupsi menjadi penyakit generatif yang diturunkan terus
menerus tanpa pernah diberi pengobatan yang tepat. Perilaku koruptif yang berkembang di
Indonesia tersebut, ditengarai karena perilaku yang berkembang di masa feodalisme dan juga
di masa kolonialisme. Pada masa feodalisme, perilaku koruptif banyak dilakukan oleh para
adipatiadipati kerajaan dalam pemungutan pajak dimana pajak yang dipungut umumnya
dipotong terlebih dahulu baru diserahkan kepada kerajaan. Selain itu perilaku koruptif juga
ditengarai terjadi karena adanya kebiasaan dari masyarakat untuk memberikan kesenangan
kepada para pemungut pajak dengan cara-cara yang tidak benar.
Penyelewenganpenyelewengan di masa lalu juga banyak dilakukan oleh para penguasa
pribumi di masa itu seperti lurah dan kepala desa dalam pembayaran pajak dimana rakyat
diwajibkan untuk membayar pajak secara utuh ditambah dengan sejumlah persekot untuk
kepentingan pribadi. Adapula penguasa pribumi yang melakukan penyelewengan pada
penerapan sistem ijon yaitu dengan memerintahkan petani membayar sejumlah uang untuk
tanaman yang belum masak. Pada masa feodalisme ini tidak ada masyarakat yang
menyalahkan atau yang bertindak untuk menghentikan perbuatan korupsi tersebut sehingga di
masa itu perilaku korupsi berjalan terus tanpa ada koreksi sama sekali. Selanjutnya ada yang
menilai bahwa perilaku korupsi juga diperkenalkan pada masa kolonialisme, ketika VOC
datang ke Indonesia dan memperkenalkan sistem birokrasi yang 4 ditengarai menjadi “pupuk
kompos” bertumbuh dan berkembangnya korupsi di Indonesia. Uraian tersebut
menggambarkan bahwa perilaku koruptif di Indonesia dipengaruhi oleh kejadiankejadian
masa lalu yang terjadi di Indonesia dan juga didukung oleh sikap permisif masyarakat
terhadap kesewenang-wenangan penguasa dan pandangan-pandangan yang disisipi tentang
nilai-nilai tradisional tentang pemimpin pun menambah buruk angka korupsi di Indonesia.
Dengan kata lain uraian diatas menggambarkan adanya benang merah yang menghubungkan
perilaku saat ini dengan perilaku di masa lalu. Menurut analisis Theodore M. Smith1 ,
korupsi di Indonesia merupakan persoalan kultural, ekonomi, sekaligus politik. Hal ini
menyebabkan permasalahan korupsi di Indonesia sarat dengan berbagai masalah kompleks.
Korupsi di Indonesia tidak semata-mata terkait dengan kerugian di bidang ekonomi
melainkan juga meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan, politik, nilainilai
demokrasi, moral dan lain sebagainya. Artinya korupsi di Indonesia merupakan permasalahan
yang sangat kompleks dengan ragam faktor kriminogen yang menyebabkan korupsi itu
terjadi terus dan semakin sulit untuk diberantas. Kembali pada persoalan penanggulangan
korupsi di Indonesia, tidak maksimalnya penegakan hukum dalam memberantas korupsi juga
dikarenakan kompleksnya faktor kriminogen atau faktor penyebab korupsi itu sendiri.
Luasnya penyebab kriminogen dari korupsi inilah yang kemudian menyulitkan pelaksanaan
penegakan hukum dan penanggulangan terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Apabila
diseksamai, penanggulangan korupsi perlu dilakukan secara menyeluruh atau integral antara
upaya represif dengan upaya preventif atau pun upaya pre-emtif. Penggunaan upaya represif
dengan menggunakan hukum sebagai sarana penanggulangan kejahatan sebagaimana
diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief, lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan
represif, karena seolaholah hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik
lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu faktor perundang-undangan.2
Beliau menyebutkan dilihat dari sudut kebijakan kriminal, strategi dasar penanggulangan
kejahatan (“the basic crime prevention strategy”) seyogyanya diarahkan pada upaya
meniadakan (mengeliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa dan
kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan (korupsi).3
Memperhatikan pendapat yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief tersebut diatas
menunjukkan bahwa selain upaya represif (penggunaan hukum pidana) perlu juga dilakukan
upaya lain yang disebutnya sebagai upaya meniadakan atau mengeliminasi dan memperbaiki
seluruh kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen

1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana cara membagun kesadaran individu dan masyarakat melalui
sosialisasi pendidkan anti korupsi
2. Tujuan
a. Menjelaskan cara membagun kesadaran individu dan masyarakat melalui
sosialisasi pendidkan anti korrupsi
BAB II

PEMBAHASAN

Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan terbesar di Indonesia yang harus diberantas
namun melakukan pemberantasan korupsi tidaklah semudah semudah memberantas kejahatan
konvensional yang cukup dilakukan dengan hanya melakukan penegakan hukum saja.
Kesulitan pemberantasan korupsi ini disebabkan karena tipologi kejahatan korupsi yang
berbeda dengan kejahatankejahatan konvensional. Sebagaimana disebutkan oleh Syed
Hussein Alatas yang mengungkapkan beberapa ciri-ciri korupsi yaitu:

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;


b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu
merajalela, dan begitu mendalam berurat akar, sehingga individu-individu
yang berkuasa, atau mereka yang berada daalam lingkungannya tidak tergoda
untuk menyembunyikan perbuatan mereka;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbale balik;
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusankeputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk memengaruhi
keputusan-keputusan itu.
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;
h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka
yang melakukan tindakan itu;
i. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat

menurut Syed Hussein Alatas ini telah cukup menggambarkan sifat khas dari korupsi dan
ketika melakukan pengklasifikasian suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi sekurang-
kurangnya haruslah memenuhi ciri-ciri tersebut diatas. Memperhatikan tipologi korupsi
tersebut diatas nampak jelaslah mengapa kemudian dikatakan pemberantasan korupsi
umumnya sulit untuk dilakukan. Kejahatan korupsi seringkali tersistematisasi sedemikian
rupa sehingga sulit terjangkau dengan penegakan hukum pidana. Dalam hal ini patutlah
disadari bahwa hukum pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan ketika berhadapan dengan
masalah-masalah sosial yang berada diluar hukum pidana dan kejahatan korupsi seringkali
berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Keterbatasan hukum pidana dalam melakukan
pencegahan dan penanggulangan kejahatan dapat dilengkapi dengan menggunakan
tindakantindaakan diluar hukum pidana yang preventif sifatnya atau dengan menggunakan
cara-cara non penal. Salah satu cara “non penal” untuk mengatasi masalahmasalah sosial
adalah dengan menggunakan “kebijakan sosial” atau social policy. Salah satu konkritisasi
kebijakan sosial yang dapat dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan adalah dengan
memperhatikan kesehatan jiwa masyarakat baik secara individual maupun kelompok.
Persoalan kesehatan jiwa masyarakat ini perlu dikembangkan dalam penanggulangan korupsi
mengingat korupsi di Indonesia telah mengakar daging dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam artian telah membudaya, terpelajari dan terwarisi secara turun temurun.

Berikut adalah gambaran model pemecahan masalah dengan menggunakan pendekatan Street
Law: Skill building activities connection to the community membangun keahlian hubungan
dg masyarakat practical legal content konten praktik hukum\ Berdasarkan model tersebut
diatas, dipahami bahwa street law mengedepankan kemampuan membangun keahlian untuk
melakukan hubungan dengan masyarakat dalam melakukan praktik hukum secara nyata dan
didasarkan pada upaya untuk membangun sikap/perilaku masyarakat agar sesuai dengan UU.
Pembentukan sikap atau perilaku sesuai UU merupakan tujuan dilaksanakannya street law.
Contoh perilaku yang diharapkan adalah masyarakat dapat melakukan pencegahan terhadap
anti korupsi maka street law akan difokuskan pada peran masyarakat dalam pencegahan anti
korupsi dan memberikan jalan keluar dalam melaksanakan perannya tersebut. Jadi metode
street law pada hakikatnya merupakan suatu upaya pembentukan perilaku atau sikap
sebagaimana diharapkan oleh hukum. Oleh karena itu penyuluhan hukum dan pendampingan
hukum secara nyata merupakan pemecahan masalah yang dapat dilakukan untuk membangun
sikap atau perilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum. Hal mana juga menjadi ide
kebijakan sosial dan pengeliminasian faktor-faktor kriminogen yang menjadi sebab terjadinya
kejahatan. Dengan demikian penggunaan metode street law dalam upaya pencegahan korupsi
oleh Klinik Anti Korupsi FH Unud untuk mengedukasi masyarakat sangat tepat. Dengan
penggunaan metode Street law diharapkan akan dapat membentuk perilaku dan sikap
masyarakat sebagaimana dikehendaki oleh UU Korupsi. Sehubungan dengan itu, Klinik Anti
Korupsi FH Unud sudah 3 (tiga) kali melakukan street law dengan adresat remaja-remaja
SMU, anak SD dan juga masyarakat umum. Dalam melaksanakan street law, Klinik Anti
Korupsi FH Unud telah membangun kerjasama dengan SPAK (Saya Perempuan Anti
Korupsi) bentukan KPK RI. Kerjasama tersebut berkaitan dengan materi penyuluhan yang
diberikan oleh mahasiswa dan pendampingan selama street law. Selama pelaksanaan street
law tidak dijumpai kendala-kendala yang menyulitkan pelaksanaan street law. Rata-rata
adresat street law menerima dengan tangan terbuka pelaksanaan edukasi anti korupsi.
BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dipahami bahwa penanggulangan korupsi dapat


dilakukan dengan melakukan upaya represif dan upaya preventif. Pengarusutamaan upaya
penanggulangan seyogyanya dilakukan pada upayaupaya preventif yang lebih menyentuh
faktor-faktor penyebab kejahatan atau faktor kriminogen. Selain itu penanggulangan
kejahatan termasuk kejahatan korupsi dengan menggunakan upaya preventif sudah menjadi
kehendak internasional sehingga perlu dikembangkan Penanggulangan kejahatan dengan
upaya preventif lebih banyak memperhatikan sisi pencapaian kesejahteraan dengan
melakukan kebijakankebijakan sosial seperti misalnya melakukan penyuluhan hukum,
pendidikan hukum, pembinaan hukum dan lain-lain dibandingkan menggunakan cara-cara
represif yang sifatnya lebih fragmenter, simptomatik. Hal inilah yang ingin dikembangkan
oleh Klinik Anti Korupsi FH Unud dengan memfokuskan pelaksanaan edukasi pencegahan
korupsi kepada masyarakat dengan jalan street law. metode street law pada hakikatnya
merupakan suatu upaya pembentukan perilaku atau sikap sebagaimana diharapkan oleh
hukum. Oleh karena itu penyuluhan hukum dan pendampingan hukum secara nyata
merupakan pemecahan masalah yang dapat dilakukan untuk membangun sikap atau perilaku
sebagaimana diharapkan oleh hukum.

Jawabana Soal Esay

1) (a). Pelaksanaan implementasi pendidikan anti korupsi di sekolah dan perguruan


tinggi adalah merupakan cara untuk mengatasi mentalitas dan sikap-sikap
dasar yang mengarah pada tindakan korupsi yang curang. Dalam proses
pembelajaran misalnya seorang siswa atau mahasiswa yang mencontek saat
ujian dan sering terlambat , sebenarnya ini adalah tindakan korupsi nyata yang
dilakukan dalam skala kecil.
(b). Implementasi pemerintah dalam mengatasi TIPIKOR pada lembaga pemerintah
adalah sesuai dengan UU TIPIKOR yang telah dibuat untuk menjamin
kepastian huk um, menghindari keragaman penafsiran dan memberikan
perlindungan terhadap hak s osial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan
adil terhadap pidana korupsi.
2) Bentuk sosialisasi yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengadakan sosialisasi
anti korupsi pada masyarakat dan sosialisasi pada pendidikan dengan upaya
mencegah dan memerangi korupsi yang dapat dilakukan antara lain dengan
menjungjung tinggi perilaku jujur, berani dan melawan perilaku curang. Contoh
membayar utang dengan disiplin( cash flow sehat)
3) (a). strategi yang dilakukan oleh koruptor untuk mengelabui kpk adalah dengan
melakukan korupsi secara diam karena adanya faktor monopoli,
kesempatan/peluang(kelemahan sistem, pengawasan kurang) dan niat
atau/keinginan (didorong karena kebutuhan dan keserakahan).

(b). adalah dengan memilih pimpinan yang jujur dan transparan, menjadi pendengar
yang baik serta rendah hati dan tidak sombong.

4) lembaga social dalam lingkungan kerja yang berfungsi sebagai wadah yang memiliki
wewenang mengatur perilaku manusia untuk memberantas budaya politik yang ada
pada lingkungan kerja dengan mengatur perilaku agar sesuai dengan aturan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai