BAB I................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2. Identifikasi Masalah...............................................................................................7
1.3. Tujuan Dan Kegunaan........................................................................................... 7
1.4. Metode Penyusunan...............................................................................................7
BAB II................................................................................................................................. 8
KAJIAN TEORITIS.............................................................................................................8
2.1. Pemerintah Dan Industri.......................................................................................8
BAB III..............................................................................................................................11
EVALUASI DAN ANALISIS........................................................................................... 11
3.1. Pemerintah Terhadap Perusahaan........................................................................11
BAB IV.............................................................................................................................. 17
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIALISASI, DAN YURIDIS............................................17
4.1. Landasan Filosofis...............................................................................................17
4.2. Landasan Sosialisasi............................................................................................17
4.3. Landasan Yuridis.................................................................................................18
BAB V................................................................................................................................19
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP................................19
5.1. Jangkauan Dan Arah Pengaturan.........................................................................19
5.2. Ruang Lingkup.................................................................................................... 19
BAB VI.............................................................................................................................. 20
PENUTUP..........................................................................................................................20
6.1. Kesimpulan..........................................................................................................20
6.2. Saran.................................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
HALAMAN 1
pengawasan perburuhan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
dan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (untuk selanjutnya ditulis UUD NRI 1945) serta maklumat Wakil Presiden
tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, tidak menggunakan nomenklatur perburuhan, akan
tetapi diubah menggunakan nomenklatur ketenagakerjaan. Dengan demikian
nomenklatur “Pengawasan Perburuhan” tidak digunakan lagi dan menggunakan
nomenklatur “Pengawasan Ketenagakerjaan”. Pengawasan ketenagakerjaan adalah
fungsi publik dari administrasi ketenagakerjaan yang memastikan penerapan
perundang-undangan ketenagakerjaan di tempat kerja. Peran utamanya adalah untuk
meyakinkan mitra sosial atas kebutuhan untuk mematuhi undang-undang di tempat
kerja dan kepentingan bersama mereka terkait dengan hal ini, melalui langkah-
langkah pencegahan dan edukasi, dan jika diperlukan penegakan hukum. Sejak
pengangkatan pengawas ketenagakerjaan pertama di Inggris pada tahun 1833,
pengawas ketenagakerjaan telah dibentuk dihampir semua negara di dunia. Sekitar
175 tahun, pengawas ketenagakerjaan telah melakukan pekerjaannya untuk
memperbaiki kondisi kerja. Pencapaian di seluruh dunia dan catatan keberhasilan
mereka sangat membanggakan.2 Dalam dunia kerja, pengawasan ketenagakerjaan
adalah instrumen yang paling penting dari kehadiran negara dan intervensi untuk
merancang, merangsang, dan berkontribusi kepada pembangunan budaya
pencegahan yang mencakup semua aspek yang secara potensial berada di bawah
pengawasannya yaitu meliputi hubungan industrial, upah terkait dengan kondisi
kerja secara umum, keselamatan dan kesehatan kerja, dan isu-isu yang terkait
dengan ketenagakerjaan dan jaminan sosial. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa pengawasan ketenagakerjaan
adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dibidang ketenagakerjaan.3 Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen
guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.4
Pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut ditetapkan oleh Menteri atau pejabat
HALAMAN 2
yang ditunjuk.5 Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang ketenagakerjaan
pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.6 Unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan tersebut pada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan kepada Menteri. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terjadi perubahan yang signifikan bagi
pengawas ketenagakerjaan. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah fungsi negara. Hal
ini secara implisit tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat. Salah satu tugas Pemerintah
Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Tugas dan fungsi itulah yang menjadi kewenangan pemerintah, yaitu yang sering
disebut dengan istilah Urusan Pemerintahan. Urusan Pemerintahan inilah yang
diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Pengawasan Ketenagakerjaan
masuk dalam kategori Urusan Pemerintahan Konkuren yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota. Sebelumnya,
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota; Pengawasan Ketenagakerjaan sebagai Urusan
Pemerintahan telah dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah
Kabupaten/Kota. Pembagian urusan Pengawasan Ketenagakerjaan dalam PP ini
cenderung seimbang. Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang serupa. Perbedaannya hanya nampak
pada skala atau ruang lingkupnya. Urusan berskala Kabupaten/Kota menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, urusan berskala Provinsi menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi, dan urusan berskala nasional menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat. Saat ini pembagian urusan Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah cenderung berat sebelah. Kewenangan yang ada pada
Pemerintah Pusat adalah penetapan sistem dan pengelolaan personel. Kewenangan
HALAMAN 3
yang ada pada Daerah Provinsi adalah penyelenggaraan Pengawasan
Ketenagakerjaan. Sedangkan Daerah kabupaten/kota sama sekali tidak memiliki
kewenangan apapun dalam urusan Pengawasan Ketenagakerjaan. Sistem inilah yang
sering disebut dengan istilah “sentralistik terbatas”. “Sentralistik” itu maksudnya
terpusat, dan “terbatas” itu maksudnya dibatasi hanya padaDaerah provinsi. Jadi,
urusan Pengawasan Ketenagakerjaan yang sebelumnya tersebar di semua tingkatan
pemerintahan, sekarang dipusatkan ke Daerah Provinsi, yaitu dalam hal
penyelenggaraannya. Pengaturan pembagian Urusan Pemerintahan ini bukannya
tanpa masalah. Saat ini ada tiga undang-undang yang mengatur tentang kewenangan
Pengawasan Ketenagakerjaan. Yang pertama adalah UndangUndang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah disampaikan di
atas. Yang kedua adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 Tentang
Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection InIndustry And
Commerce. Ketiga adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003, kebijakan
Pengawasan Ketenagakerjaan bersifat sentralistik secara penuh. UndangUndang ini
juga mengatur bahwa Pengawasan Ketenagakerjaan harus berada dibawah supervisi
dan kontrol pemerintah pusat. Ini artinya, Pengawasan Ketenagakerjaan semestinya
merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Lain halnya dengan ketentuan Pasal 178
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini
mengatur bahwa Pengawasan Ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Ini artinya, kewenangan Pengawasan Ketenagakerjaan ada pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dalam hal ini terdapat kontradiksi pengaturan.
undang-undang yang satu mengatakan demikian, sedangkan undang-undang yang
lain mengatur secara berbeda. Tidak tanggungtanggung, konflik ini melibatkan tiga
undang-undang yang mengatur satu hal yang sama. Dalam sistem hukum, apabila
terjadi konflik, maka sistem itu sendiri yang akan menyelesaikannya. Sebagai
HALAMAN 4
bagian dari sistem hukum, disinilah peran asas hukum. Dan salah satu asas yang
berperan penting dalam penyelesaian konflik semacam ini adalah asas lex speciali
derogat legi generali. Asas ini mengatakan bahwa aturan yang mengatur secara
khusus itu mengalahkan aturan yang mengatur secara umum, sehingga yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan adalah aturan yang bersifat khusus. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak dibuat khusus untuk
mengatur tentang Pengawasan Ketenagakerjaan. Begitu pula Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini memang mengatur banyak hal terkait
aspek-aspek ketenagakerjaan, namun tidak khusus untuk mengatur tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan. Berbeda dengan kedua undang-undang tersebut,
UndangUndang Nomor 21 Tahun 2003 Tentang Pengesahan ILOConvention No. 81
Concerning labour inspection In Industry And Commerce dibuat secara khusus
untuk mengesahkan dan mengadopsi konvensi International Labour Organization
tentang Pengawasan Ketenagakerjaan. Undang-undang inisecara khusus dan
spesifik dari awal sampai akhir hanya berbicara mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan. Dari sini, sudah jelas bahwa diantara ketiga undang-undang
tersebut, yang bersifat lex specialis adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003.
Dengan demikian, dalam hal ini, undang-undang inilah yang harus dipatuhi dan
diterapkan. Konsekuensinya, Pengawasan Ketenagakerjaan sebagai salah satu
Urusan Pemerintahan sepenuhnya harus menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,
sesuai standar yang berlaku secara internasional. Hal ini selaras dengan fungsi
Pengawasan Ketenagakerjaan sebagai lembaga penegak hukum nasional. Bila
dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya, sebut saja Kepolisian,
Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, semuanya bersifat sentralistik
yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Contoh lainnya adalah penegakan
hukum sektoral dibidang keimigrasian, perpajakan, bea cukai, lingkungan hidup,
serta pengawasan obat dan makanan. Semuanya ditangani oleh Pemerintah Pusat,
dengan membentuk instansi vertikal di daerah. Begitu pula seharusnya Pengawasan
Ketenagakerjaan, yaitu sepenuhnya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, yang
HALAMAN 5
mana pelaksanaannya di daerah dilakukan oleh instansi vertikal. Terkait dengan
sikap pemerintahan kita terhadap kewenangan pengawasan ketenagakerjaan ternyata
asas hukum yang digunakan adalah lex posteriori derogat lex priori. Asas ini
mengatakan bahwa aturan yang baru itu mengalahkan aturan yang lama. Maka,
dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
adalah pemenangnya. Dengan demikian, konsep Pengawasan Ketenagakerjaan yang
“sentralistik terbatas” akan segera diterapkan. Sebagai akibatnya, harus dilakukan
serah terima atas segala personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen
(P3D) dari Daerah Kabupaten/Kota ke Daerah Provinsi. Undang-Undang
Pemerintahan Daerah telah memagari bahwa serah terima dilakukan paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Menteri Dalam
Negeri juga telah menegaskan bahwa serah terima dilakukan paling lambat 2
Oktober 2016. Untuk itu, saat ini pemetaan dan inventarisasi P3D sedang
digencarkan. Dengan demikian, sistem Pengawasan Ketenagakerjaan yang terpusat
di Daerah Provinsi sekiranya sudah akan diterapkan secara penuh pada tahun 2017.
Sistem ini diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagai ekses negatif dari otonomi
daerah, yang dihadapi di lapangan selama tidak kurang dari 10 tahun terakhir.
Gambaran kedepannya, Pengawasan Ketenagakerjaan akan menjadi lebih
independen, sehingga kinerjanya akan lebih efektif dan efisien dalam
melindungi/menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban para pengusaha dan
pekerja di era pemberlakuan MEA yang dimulai 31 Desember 2015 kemarin.
Dengan demikian diharapkan akan linear dengan peningkatan kualitas
ketenagakerjaan di Indonesia. Kabupaten Serang merupakan salah satu dari delapan
kabupaten/kota di Propinsi Banten, terletak di ujung barat bagian utara Pulau Jawa
dan merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan
Pulau Jawa dengan jarak ± 70 km dari kota Jakarta, Ibukota Negara Republik
Indonesia. Jumlah penduduk Kabupaten Serang pada tahun 2020 adalah 1.799.966
Jiwa yang tersebar di 326 Desa dalam 29 Kecamatan.
HALAMAN 6
1.2. Identifikasi Masalah
HALAMAN 7
BAB II
KAJIAN TEORITIS
HALAMAN 8
Pada dasarnya, harmonik merupakan gejala pembentukan gelombang-gelombang
dengan frekuensi yang merupakan perkalian dari bilangan bulat dengan frekuensi
dasarnya. Permasalahan distorsi harmonik dapat berikabat fatal pada sistem.
Beberapa akibat yang ditimbulkan dari adanya distorsi harmonik pada sistem
tersebut adalah terjadinya kesalahan operasi pada peralatan-peralatan kontrol dan
pemutus yang terhubung dengan bus yang telah terganggu. Distorsi harmonik juga
berakibat timbulnya getaran mekanis pada panel listrik yang merupakan getaran
resonansi mekanis akibat harmonik arus dengan frekuensi tinggi. Pemerintah adalah
suatu organisasi yang diberi kekuasaan untuk mengatur kepentingan Bangsa dan
Negara. Lembaga pemerintah dibentuk umumnya untuk menjalankan aktivitas
layanan terhadap masyarakat luas. Dan sebagai organisasi nirlaba mempunyai
tujuan bukan mencari keuntungan semata-mata untuk menyediakan layanan dan
kemampuan meningkatkan layanan tersebut dimasa yang akan datang. Tujuan yang
ingin dicapai biasanya ditentukan dalam bentuk kualitatif, misalnya peningkatan
keamanan dan kenyamanan, mutu pendidikan, mutu kesehatan dan keimanan.
Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan
manajer dalam pelayanan publik yang lebih baik. Yaitu bukan sekedar kemampuan
menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan, akan tetapi meliputi
kemampuan menunjukkan bahwa uang publik terebut telah dibelanjakan secara
efisien dan efektif (Mardiasmo, 2002:121) Dalam undang-undang No. 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan
daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah
dan DPRD. Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan
kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Pemerintahan daerah dan
DPRD sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing. Salah satu
fungsi dari lembaga legislatif adalah fungsi pengawasan (fungsi untuk mengawasi
kinerja eksekutif). Dalam penelitian ini fungsi dewan yang akan dibahas adalah
fungsi pengawasan anggaran. Permasalahanya adalah apakah fungsi pengawasan
lebih disebabkan pengetahauan dewan tentang anggaran ataukah lebih disebabkan
HALAMAN 9
karena permasalahan lain. Disamping itu, apakah partisipasi masyarakat dan
transparansi kebijakan publik juga akan berpengaruh terhadap pengawasan anggaran
yang dilakukan oleh dewan (Sopanah dan Mardiasmo, 2003). Sehubungan dengan
hal itu maka peran dewan menjadi sangat meningkat dalam mengontrol kebijakan
pemerintahan. Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah Pasal 132 yang menyatakan bahwa DPRD melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD. Pengawasan tersebut bukan berarti
pemeriksaan, tapi lebih mengarah pada pengawasan untuk menjamin pencapaian
sasaran yang telah ditetapkan dalam APBD. Pengawasan anggaran dilakukan oleh
dewan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Pramono, 2002 dalam
Rosseptalia, 2006). Faktor internal adalah faktor yang dimiliki oleh dewan yang
berpengaruh secara langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan,
salah satunya adalah pengetahuan tentang anggaran. Sedangkan faktor eksternal
adalah pengaruh dari pihak luar terhadap fungsi pengawasan oleh dewan yang
berpangaruh secara tidak langsung terhadap pangawasan yang dilakukan oleh
dewan, diantaranya adalah partisipasi masyarakat dan kebijakan publik. Sopanah
(2003 : 45) telah menguji kembali penelitian Adriani dengan memasukkan
partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik sebagai variabel
moderating yang diharapkan memperkuat atau memperlemah hubungan tersebut.
Sopanah melakukan penelitian terhadap anggota dewan se Malang Raya yang terdiri
dari Kota Malang Kabupaten Malang dan Kota Batu. Penelitian serupa juga pernah
dilakukan oleh Winarna dan Murni, (2007 : 5) dengan meneliti pengaruh personal
background dan political background terhadap pengawasan keuangan Daerah.
HALAMAN 10
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
HALAMAN 11
daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan baik.
Pengawasan umum dilakukan oleh MENDAGRI terhadap pemerintahan daerah.
Pengawasan umum adalah pengawasan terhadap seluruh aspek pelaksanaan tugas
pokok organisasi. Fungsi pengawasan umum dapat pula dilakukan melalui
WASKAT yang hakekatnya sama dengan WASNAL. Inspektorat Jenderal
mempunyai tugas melakukan pengawasan umum terhadap pelaksanaan tugas pokok
KEMDAGRI.Tetapi juga IRJEN merupakan aparat pengawasan fungsional (APF)
(Sujamto, 1986 : 73-74).Pengawasan LangsungPengawasan Langsung adalah
pengawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi dan melakukan pemeriksaan
di tempat (on the spot) terhadap obyek yang diawasi. Jika pengawasan langsung ini
dilakukan terhadap proyek pembangunan fisik maka yang dimaksud dengan
pemeeriksaan ditempat atau pemeriksaan setermpat itu dapat berupa pemeriksaan
administratif atau pemeriksaan fisik di lapangan. Pengawasan tidak langsung
Pengawasan Tidak Langsung merupakan pengawasan yang dilakukan tanpa
mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau obyek yang diawasi atau
pengawasan yang dilakukan dari jarak jauh yaitu dari belakang meja. Dokumen
yang diperlukan dalam pengawasan tidak langsung antara lain : Laporan
pelaksanaan pekerjaan baik laporan berkala maupun laporan insidentil;
b. Laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari pengawan lain;
c. Surat-surat pengaduan;
d. Berita atau artikel di mass media;
e. Dokumen lain yang terkait.
Pengawasan Formal Pengawasan Formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh
instansi/pejabat yang berwenang (resmi) baik yang berifat intern dan ekstern;
Misal : pengawasan yang dilakukan oleh BPK, BPKP dan ITJEN Pengawasan
Informal Pengawasan Informal yakni pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat
atau social control, misalnya surat pengaduan masyarakat melalui media massa atau
melalui badan perwakilan rakyat. Pencemaran lingkungan Pencemaran lingkungan
hidup menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”) adalah masuk atau
HALAMAN 12
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pada dasarnya setiap orang yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta melakukan pemulihan
lingkungan hidup. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dilakukan dengan
pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup kepada masyarakat;
pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
dan/atau
cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Sedangkan pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan:
penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
remediasi (upaya pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk
memperbaiki mutu lingkungan hidup);
rehabilitasi (upaya pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan
manfaat lingkungan hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan,
memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem);
restorasi (upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau
bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula); dan/atau
cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Jadi, seharusnya perusahaan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan
melakukan penanggulangan pencemaran, yang salah satunya adalah memberikan
informasi peringatan pencemaran kepada masyarakat. Adanya informasi peringatan
dapat mencegah adanya masyarakat yang meminum air sungai yang sudah tercemar.
HALAMAN 13
Selain itu, perusahaan juga wajib melakukan pemulihan terhadap pencemaran yang
terjadi pada sungai tersebut. Ancaman Pidana Bagi Perusahaan Pelaku Pencemaran
Lingkungan Berdasarkan pernyataan Anda pencemaran sungai oleh perusahaan
tersebut mengakibatkan warga meninggal dan menimbulkan kerugian materiil yaitu
matinya ikan pada kerambah warga. Berdasarkan peristiwa tersebut ada beberapa
ancaman pidana terhadap pencemar lingkungan menurut UU PPLH. Jika
perusahaan tersebut sengaja membuang limbah ke sungai maka diancam pidana
berdasarkan Pasal 60 jo. Pasal 104 UU PPLH sebagai berikut: Pasal 60 UU PPLH:
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media
lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 104 UU PPLH: Setiap orang yang melakukan
dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dumping
(pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan
limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan
persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.[4] Selain pidana karena
pembuangan limbah, ada beberapa pidana lain yang bisa dikenakan kepada
perusahaan tersebut:
Jika pencemaran lingkungan tersebut terjadi karena perusahaan sengaja melakukan
perbuatan (misalnya membuang limbah) yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, yang mana hal tersebut mengakibatkan orang mati maka diancam
pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
tahun dan denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar. Jika
pencemaran lingkungan tersebut terjadi karena perusahaan lalai sehingga
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yang mana hal tersebut
mengakibatkan orang mati, maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling
sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp9 miliar. Anda menyebutkan bahwa
HALAMAN 14
tindakan pencemaran ini dilakukan oleh perusahaan. Jika tindak pidana lingkungan
hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada: badan usaha; dan/atau , orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Jika tuntutan pidana diajukan
kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana dalam huruf b di atas,
ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga. Jika tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan
usaha sebagaimana dalam huruf a di atas, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan
usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Gugatan Ganti Kerugian Terhadap Akibat dari Pencemaran Lingkungan Prinsipnya,
setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.Selain diharuskan membayar ganti
rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim
untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: memasang
atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku
mutu lingkungan hidup yang ditentukan; memulihkan fungsi lingkungan hidup;
dan/atau menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Mengenai kerugian yang diderita warga yaitu
ikan di kerambah yang mati, masyarakat bisa mengajukan gugatan perwakilan
kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat
apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup. Gugatan dapat dilakukan jika memenuhi syarat yaitu adanya terdapat
kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil
kelompok dan anggota kelompoknya.Jadi warga masyarakat dapat melakukan
gugatan perwakilan kelompok dengan tujuan untuk meminta ganti rugi atas ikan di
kerambah yang mati karena pencemaran lingkungan. Di samping itu perusahaan
HALAMAN 15
juga dapat dipidana karena pencemaran tersebut mengakibatkan orang meninggal
dunia. Sebagai contoh kasus pencemaran limbah dalam Putusan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor: 3628/Pid.B/2011/PN.SBY. Dalam putusan ini, Terdakwa
merupakan wakil dari sebuah perusahaan yang terbukti secara sah melakukan
dumping limbah industri ke media lingkungan hidup tanpa izin sehingga
menyebabkan sungai tercemar. Untuk itu, Majelis Hakim menghukum terdakwa
dengan pidana penjara selama 8 bulan dan pidana denda sebesar Rp 10 juta dengan
ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan
selama 2 bulan. Contoh gugatan ganti rugi dapat dilihat pada Putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Pinang Nomor: 26/Pdt.G/2009/PN.TPI. Gugatan ini merupakan
gugatan perwakilan kelompok terhadap Para Tergugat yang melakukan
penambangan dan penimbunan dermaga yang mengakibatkan pencemaran terhadap
air laut dan ekosistem laut serta menimbulkan kematian ikan dan habitat laut tempat
mata pencaharian Para Penggugat. Untuk itu, Majelis Hakim menyatakan tindakan
Para Tergugat yang mengakibatkan pencemaran terhadap air laut merupakan
perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil dan imateriil.
Majelis Hakim mengabulkan gugatan Para Penggugat dan memerintahkan Tergugat
I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng
kepada masing-masing Penggugat sebesar Rp. 2,88 miliar, dan ditambah dengan
kerugian immaterial sebesar Rp 5 miliar, jadi total ganti rugi yang harus dibayarkan
oleh tergugat sebesar Rp10,76 miliar.
HALAMAN 16
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIALISASI, DAN YURIDIS
HALAMAN 17
sangat handal. Bahkan, bencana apa yang sudah diramalkan, kapan waktu
kejadiannya, dan bagaimana dampaknya, seringkali pula bergeseratau malah tidak
terjadi sama sekali. Akibat berbagai kejadian alam yang tak terduga itu, menjadikan
manusia was-was dan seharusnya selalu bersiaga menghadapi bencana. Secara
sosiologis, hilangnya rumah dan harta benda, hancurnya sarana pendidikan, telah
membuat orang yang dirajam bencana itu putus asa dan apatis. Mereka seringkali
tidak tahu harus melakukan aktivitas apa untuk menjalani kehidupan seperti
sebelumnya. Sebab, seringkali pula bantuan yang disediakan tidak sesuai dengan
kebutuhan mereka pada masa tanggap darurat. Karena itulah, diperlukan peran
pemerintah, lembaga-lembaga sosial masyarakat, pihak-pihak yang peduli bencana
untuk menciptkan suatu mekanisme bagaimana meminimalisasi korban bencana dan
bagaimana mengatasi dampak bencana, terutama yang berkenaan dengan
pendidikan.
HALAMAN 18
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
Ruang lingkup wilayah kajian ini berada pada Daerah daerah yang rawan Banjir
dan Abrasi di wilayah Provinsi Banten
HALAMAN 19
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
6.2. Saran
HALAMAN 20