Anda di halaman 1dari 4

Hari ini sangat istimewa karena menjadi sarana kaum muslimin untuk saling bertemu dan

menyatukan komitmen untuk meningkatkan takwallah. Kita setidaknya diingatkan untuk


terus meningkatkan rasa takut kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah dan menjauhi
yang dilarang. Percayalah, dengan terus menambah kualitas takwallah tersebut kita akan
termasuk hamba yang beruntung.
Akhlak merupakan hal yang amat fundamental dalam Islam. Misi utama Rasulullah SAW
diutus oleh Allah pun adalah untuk menyempurnakan akhlak. Innamâ bu‘itstu li utammima
makârimal akhlâq. Akhlak setidaknya terbagi menjadi tiga, yakni akhlak manusia kepada
Allah, akhlak individu manusia kepada masyarakat dan alam, serta akhlak manusia kepada
dirinya sendiri. Kemuliaan orang ditentukan oleh kemuliaan akhlaknya.
Sebuah sistem juga akan berjalan dengan baik bila diisi oleh orang-orang yang memiliki
akhlak yang baik. Jabatan, status sosial, kekayaan, popularitas tidak menjamin sang pemilik
lantas terhormat bila ia, misalnya, gemar merendahkan orang lain, korupsi, menyakiti,
berbuat sewenang-wenang, dan lain-lain. Demikian pula, secanggih apa pun sistem yang
dibangun, tak ada apa-apanya jika orang-orang di dalamnya hanya pandai memanipulasi, tak
bertanggung jawab, dan sejenisnya.

Baginda Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita semua:

‫ َو َخ اِلِق الَّناَس ِبُخ ُلٍق َح َس ٍن‬،‫ َو َأْتِبِع الَّسِّيَئَة الَحَس َنَة َتْم ُح َها‬، ‫اَّتِق َهللا َح ْيُثَم ا ُكْنَت‬

Artinya: Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun berada. Iringilah perbuatan buruk
yang sudah dilakukan dengan perbuatan baik yang dapat menghapusnya. Dan berakhlaklah
kepada orang-orang dengan akhlak yang baik. (HR at-Tirmidzi)
Hari ini sangat istimewa karena menjadi sarana kaum muslimin untuk saling bertemu dan
menyatukan komitmen untuk meningkatkan takwallah. Kita setidaknya diingatkan untuk
terus meningkatkan rasa takut kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah dan menjauhi
yang dilarang. Percayalah, dengan terus menambah kualitas takwallah tersebut kita akan
termasuk hamba yang beruntung.

Hadirin yang Berbahagia


Akhlak merupakan hal yang amat fundamental dalam Islam. Misi utama Rasulullah SAW
diutus oleh Allah pun adalah untuk menyempurnakan akhlak. Innamâ bu‘itstu li utammima
makârimal akhlâq. Akhlak setidaknya terbagi menjadi tiga, yakni akhlak manusia kepada
Allah, akhlak individu manusia kepada masyarakat dan alam, serta akhlak manusia kepada
dirinya sendiri. Kemuliaan orang ditentukan oleh kemuliaan akhlaknya.

Sebuah sistem juga akan berjalan dengan baik bila diisi oleh orang-orang yang memiliki
akhlak yang baik. Jabatan, status sosial, kekayaan, popularitas tidak menjamin sang pemilik
lantas terhormat bila ia, misalnya, gemar merendahkan orang lain, korupsi, menyakiti,
berbuat sewenang-wenang, dan lain-lain. Demikian pula, secanggih apa pun sistem yang
dibangun, tak ada apa-apanya jika orang-orang di dalamnya hanya pandai memanipulasi, tak
bertanggung jawab, dan sejenisnya.

Jamaah shalat Jumat Hafidlakumullah


Baginda Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita semua:

‫ َو َخ اِلِق الَّناَس ِبُخ ُلٍق َح َس ٍن‬،‫ َو َأْتِبِع الَّسِّيَئَة الَحَس َنَة َتْم ُح َها‬، ‫اَّتِق َهللا َح ْيُثَم ا ُكْنَت‬

Artinya: Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun berada. Iringilah perbuatan buruk
yang sudah dilakukan dengan perbuatan baik yang dapat menghapusnya. Dan berakhlaklah
kepada orang-orang dengan akhlak yang baik. (HR at-Tirmidzi)

Hadits ini menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk mempedulikan etika sosial. Nabi
menyampaikan pesan tersebut setelah berseru agar manusia bertakwa kepada Allah di mana
pun berada: di masjid, di sawah, di kantor, di trotoar, di pasar, di warung, di lembaga
pendidikan, di forum dakwah, dan lain sebagainya. Ketakwaan yang isikamah, tak pandang
tempat maupun waktu.

Rasulullah juga berpesan dalam hadits itu untuk tidak membiarkan keburukan berlarut-larut,
dengan menggantinya dengan perbuatan baik. Para ulama mengaitkan kalimat wa khâliqin
nâsa bi khuluqin hasanin sebagai imbauan tentang pergaulan sosial yang baik, sesuai arti
yang tersurat: berakhlaklah kepada masyarakat dengan akhlak yang baik.

Perintah Nabi tersebut sekaligus menandakan bahwa manusia sesungguhnya potensial


berbuat buruk kepada sesamanya. Karena memang sejatinya manusia punya dua
kecenderungan akhlak, yakni mahmûdah (terpuji) dan madzmûmah (tercela).

Manusia berlaku tercela ketika nafsu lebih menguasai daripada hati nuraninya. Egoisme atau
kepentingan untuk memuaskan diri sendiri atau golongan sering kali membuat kita lupa diri
kepada hak-hak orang lain, meremehkan orang lain, memojokkan orang lain, bahkan
mendzalimi orang lain. Bagaimana pengejawantahan husnul khuluq (akhlak yang baik)
kepada masyarakat sebagaimana diperintahkan Rasulullah?

Al-Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad mengatakan:

‫ َبْل َتْح ِم ل َنْفَس َك َع َلى ُمَر اِدِهْم َم ا َلْم ُيَخ اِلُفوا الَّش ْر َع‬، ‫َو ُح ْسُن اْلُخ ُلِق َم َع الَّناِس َأاَّل َتْح ِم ل الَّناَس َع َلى ُمَر اِد َنْفِس َك‬
Artinya: Husnul khuluq (berakhlak yang baik) kepada masyarakat adalah engkau tidak
menuntut mereka sesuai kehendakmu, namun hendaknya engkau menyesuaikan dirimu sesuai
kehendak mereka selama tidak bertentangan dengan syariat.

Inti dari definisi husnul khuluq menurut Imam al-Ghazali ini adalah penghargaan yang tinggi
seseorang kepada kehendak masyarakat selama kehendak itu tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Tidak selalu pemahaman, kebiasaan, dan kebudayaan kita sejalan dengan
pemahaman, kebiasaan, dan kebudayaan orang lain. Di sinilah pentingnya seseorang
‘mengorbankan’ egoisme diri untuk kehidupan yang harmonis di masyarakat.

Hadirin, contoh konkret dari praktik dari pesan tersebut adalah cara berdakwah para ulama
terdahulu dalam membumikan Islam di bumi Nusantara. Wali songo yang mempunyai
wawasan fiqih dan tasawuf secara mendalam tak serta merta melarang tradisi dan kebudayaan
yang berkembang di Nusantara. Tentu mereka sadar ada beberapa aspek yang tak sesuai
dengan syariat, tapi toh dengan bijaksana tetap menghormati nilai-nilai lokal, mengikutinya,
lalu mengisinya dengan nilai-nilai Islam secara bertahap. Mereka merupakan ulama-ulama
yang menjunjung tinggi prinsip memanusiakan manusia, menghargai proses, rendah hati, dan
bergaul bersama masyarakat dengan sudut pandang kasih sayang. Padahal, dengan kapasitas,
status sosial, bahkan kekuasaan yang dimiliki, mereka waktu itu bisa saja memaksa penduduk
pribumi untuk memeluk ajaran Islam dan meninggalkan seluruh tradisi dan adat istiadat
lokal. Tapi itu tidak dilakukan, karena memang menyalahi ketentuan wa khâliqin nâsa bi
khuluqin hasanin.

Senada dengan Imam al-Ghazali, salah seorang ulama Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani,
mengartikan berakhlak kepada masyarakat sebagai:

‫ُهَو ُمَو اَفَقُة الَّناِس ِفْي ُك ِّل َشْيٍئ َم ا َعَدا اْلَم َع اِصْي‬

Artinya: Berakhlak yang baik adalah mengikuti konsensus/tradisi dalam segala hal selama
bukan kemaksiatan. (Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Taufiq, halaman 61)
Pengertian ini berangkat dari kecerdasan para ulama kita bahwa masyarakat punya
kebudayaan atau tradisi yang berbeda. Universalitas nilai Islam mereka tunjukkan dengan
bukti bahwa Islam mampu membumi meski dengan wajah yang beragam itu. Tradisi halal bi
halal, misalnya, adalah contoh dari menyatunya nilai-nilai Islam dengan budaya di
masyarakat: nilai persaudaraan dan saling memaafkan dalam Islam bersatu dengan
keguyuban dan tradisi kumpul-kumpul orang Nusantara. Itulah mengapa halal bi halal tak
lazim di Timur Tengah, atau belahan dunia lain, karena memang terkait dengan kebudayaan
khas Nusantara. Tidak ada yang berubah dengan Islam, terutama yang berkenaan dengan
ibadah mahdhah, hanya saja praktiknya yang bersinggungan dengan tradisi masyarakat bisa
berbeda di tiap daerah. Tentu dengan catatan tradisi itu tidak bertentangan dengan syariat.
Karena sangat menghargai kearifan budaya yang berkembang di masyarakat, berakhlak yang
baik kepada orang lain juga menghindari gampang memvonis sesat orang lain, menuduh
munafik, dan menuduh syirik, dan lain sebagainya. Kita boleh memegang kuat-kuat prinsip
yang kita yakini, tapi tak seharusnya itu mengoyak kedamian atau menimbulkan keributan
yang tak perlu di tengah masyarakat. Pesan yang baik pun harus disalurkan dengan cara atau
akhlak yang baik pula.

Semoga kita semua terjaga dari akhlak yang buruk, baik kepada diri sendiri, kepada
masyarakat dan alam, serta lebih-lebih kepada Allah. Semoga kita termasuk dari umat Nabi
Muhammad yang berhasil diperbaiki akhlaknya, mendapat ridlanya, dan memperoleh
syafaatnya. Amin ya rabbal alamin.

Anda mungkin juga menyukai