Anda di halaman 1dari 4

Jamaah Jumat yang Dirahmati Allah

Hari ini sangat istimewa karena menjadi sarana kaum muslimin untuk saling bertemu dan menyatukan komitmen
untuk meningkatkan takwallah. Kita setidaknya diingatkan untuk terus meningkatkan rasa takut kepada Allah SWT
dengan menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang. Percayalah, dengan terus menambah kualitas takwallah
tersebut kita akan termasuk hamba yang beruntung.

Hadirin yang Berbahagia


Akhlak merupakan hal yang amat fundamental dalam Islam. Misi utama Rasulullah SAW diutus oleh Allah pun
adalah untuk menyempurnakan akhlak. Innamâ bu‘itstu li utammima makârimal akhlâq. Akhlak setidaknya terbagi
menjadi tiga, yakni akhlak manusia kepada Allah, akhlak individu manusia kepada masyarakat dan alam, serta
akhlak manusia kepada dirinya sendiri. Kemuliaan orang ditentukan oleh kemuliaan akhlaknya.

Sebuah sistem juga akan berjalan dengan baik bila diisi oleh orang-orang yang memiliki akhlak yang baik. Jabatan,
status sosial, kekayaan, popularitas tidak menjamin sang pemilik lantas terhormat bila ia, misalnya, gemar
merendahkan orang lain, korupsi, menyakiti, berbuat sewenang-wenang, dan lain-lain. Demikian pula, secanggih
apa pun sistem yang dibangun, tak ada apa-apanya jika orang-orang di dalamnya hanya pandai memanipulasi, tak
bertanggung jawab, dan sejenisnya

Jamaah shalat Jumat Hafidlakumullah


Baginda Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita semua:
Artinya: Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun berada. Iringilah perbuatan buruk yang sudah dilakukan
dengan perbuatan baik yang dapat menghapusnya. Dan berakhlaklah kepada orang-orang dengan akhlak yang
baik. (HR at-Tirmidzi)

Hadits ini menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk mempedulikan etika sosial. Nabi menyampaikan pesan
tersebut setelah berseru agar manusia bertakwa kepada Allah di mana pun berada: di masjid, di sawah, di kantor, di
trotoar, di pasar, di warung, di lembaga pendidikan, di forum dakwah, dan lain sebagainya. Ketakwaan yang
isikamah, tak pandang tempat maupun waktu.

Rasulullah juga berpesan dalam hadits itu untuk tidak membiarkan keburukan berlarut-larut, dengan menggantinya
dengan perbuatan baik. Para ulama mengaitkan kalimat wa khâliqin nâsa bi khuluqin hasanin sebagai imbauan
tentang pergaulan sosial yang baik, sesuai arti yang tersurat: berakhlaklah kepada masyarakat dengan akhlak yang
baik.

Perintah Nabi tersebut sekaligus menandakan bahwa manusia sesungguhnya potensial berbuat buruk kepada
sesamanya. Karena memang sejatinya manusia punya dua kecenderungan akhlak, yakni mahmûdah (terpuji) dan
madzmûmah (tercela).

Manusia berlaku tercela ketika nafsu lebih menguasai daripada hati nuraninya. Egoisme atau kepentingan untuk
memuaskan diri sendiri atau golongan sering kali membuat kita lupa diri kepada hak-hak orang lain, meremehkan
orang lain, memojokkan orang lain, bahkan mendzalimi orang lain. Bagaimana pengejawantahan husnul
khuluq (akhlak yang baik) kepada masyarakat sebagaimana diperintahkan Rasulullah?

Jamaah yang Dirahmati Allah


Al-Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad mengatakan:

Artinya: Husnul khuluq (berakhlak yang baik) kepada masyarakat adalah engkau tidak menuntut mereka sesuai
kehendakmu, namun hendaknya engkau menyesuaikan dirimu sesuai kehendak mereka selama tidak bertentangan
dengan syariat.

Inti dari definisi husnul khuluq menurut Imam al-Ghazali ini adalah penghargaan yang tinggi seseorang kepada
kehendak masyarakat selama kehendak itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tidak selalu pemahaman,
kebiasaan, dan kebudayaan kita sejalan dengan pemahaman, kebiasaan, dan kebudayaan orang lain. Di sinilah
pentingnya seseorang ‘mengorbankan’ egoisme diri untuk kehidupan yang harmonis di masyarakat.

Hadirin, contoh konkret dari praktik dari pesan tersebut adalah cara berdakwah para ulama terdahulu dalam
membumikan Islam di bumi Nusantara. Wali songo yang mempunyai wawasan fiqih dan tasawuf secara mendalam
tak serta merta melarang tradisi dan kebudayaan yang berkembang di Nusantara. Tentu mereka sadar ada beberapa
aspek yang tak sesuai dengan syariat, tapi toh dengan bijaksana tetap menghormati nilai-nilai lokal, mengikutinya,
lalu mengisinya dengan nilai-nilai Islam secara bertahap.
Mereka merupakan ulama-ulama yang menjunjung tinggi prinsip memanusiakan manusia, menghargai proses,
rendah hati, dan bergaul bersama masyarakat dengan sudut pandang kasih sayang. Padahal, dengan kapasitas, status
sosial, bahkan kekuasaan yang dimiliki, mereka waktu itu bisa saja memaksa penduduk pribumi untuk memeluk
ajaran Islam dan meninggalkan seluruh tradisi dan adat istiadat lokal. Tapi itu tidak dilakukan, karena memang
menyalahi ketentuan wa khâliqin nâsa bi khuluqin hasanin.

Anda mungkin juga menyukai