Anda di halaman 1dari 2

Cara Mengeheningkan Jiwa

Hidup ini adalah pergerakan dari moment ke moment mengalami proses lembaran baru-lembaran
baru menetapi cara hidup tertentu sampai pengabdian (dharma/ibadah) kita selesai. Ada satu
eksistensi sejati, sumber segala realitas dan absolute yang terus-menerus memancarkan diriNya
sehingga terwujud kehidupan semesta ini. Dia memiliki sifat utama Maha Berkelimpahan (ar-
rahmaan) dan Maha Cinta (ar rahiim). Keberadaan kita adalah wujud pancaran dari
keberlimpahan dan cintaNya. Atau dengan kata lain kita ini hidup untuk mengalami
keberlimpahan dan cinta (svarga/surga). Kita manusia ini sejatinya adalah makhluk svarga/surga
yang akan bahagia bila mengalami keberlimpahan dan cinta serta akan menderita bila tercerabut
kita dari keberlimpahan dan cinta. Kebahagiaan dan penderitaan itu ada di jiwa di dalam diri kita
bukan di fisik di luar diri kita. Sejatinya svarga/surga kita ada di jiwa kita.
Pada hari ini, banyak jiwa yang menderita. Data dari WHO, menunjukkan ada sekitar 12,53%
penduduk dunia yang mengalami gangguan jiwa dan trennya terus meningkat 26-28% setiap
tahun. Sungguh ironis, gangguan jiwa semakin meningkat di tengah dunia fisik yang semakin
meningkat. Kita yang hidup dalam ilusi yang tiada habisnya. Kita yang hidup dikejar-kejar
waktu, dikejar target, terlalu merisaukan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan serta tidak
bisa menikmati hidup mari mengheningkan jiwa sejenak. Kita yang terlalu sibuk dengan gadget,
sulit untuk sadar penuh hadir utuh bahkan tersenyum pun kita sering lupa walaupun senyum itu
gratis mari mengheningkan jiwa sejenak untuk memberikan jeda, ruang kosong, hening untuk
jiwa kita. Tarik nafas...buang nafas...se-natural mungkin.
Kita perlu istirahat dari (1) : "membandingkan". Comparison is dengerous. Kalau kita
menghakimi ikan berdasarkan kemampuannya terbang dan menghakimi burung berdasarkan
kemampuannya berenang maka ini kita tidak akan pernah bahagia. Kita perlu menyadari bahwa
setiap makhluk itu unik sesuai kapasitas dan tugas kehidupannya masing-masing. Kita perlu
istirahat dari (2) : menuruti ego, keinginan dan hawa nafsu. Hidup tidak hanya soal
mendapatkan dan mengumpulkan daftar keinginan kita yang sumbernya dari ego dan hawa nafsu.
Hidup ini juga tentang melepaskan dan berbagi. Tidak semua keinginan terwujud demi
keseimbangan kehidupan itu sendiri. Kehidupan ini hancur bila harus menuruti semua ego,
keinginan dan hawa nafsu kita. Kita juga perlu istirahat dari (3) merasa paling baik dan benar.
Kita tidak bisa mengukur sepatu orang lain dengan sepatu kita sendiri. Berapa banyak
penderitaan dalam kehidupan mulai dari penindasan, pembunuhan, perceraian, broken
home bahkan peperangan terjadi berawal dari merasa paling baik dan benar, sedangkan yang
berbeda dianggap salah dan harus disingkirkan bahkan dibinasakan.
Menyadari nafas yang masuk (inhale) dan keluar (exhale) melalui hidup kita. Mengakses
kebahagiaan lewat kesadaran dan mengekspresikan kebahagiaan lewat pengabdian. Mengalami
hidup sadar penuh hadir utuh, mengalami kebahagiaan. Mengalami haru keberlimpahan dan
cintaNya. Lakukan ini setiap pagi, siang, sore dan malam hari. Hidup sadar penuh hadir utuh
tersebut akan melatih kita untuk berada di kecepatan hidup yang tepat. Jadi bukan cepat tapi
tepat. Terlalu cepat akan membuat kita lambat. Tepat, walaupun lambat, akan membuat kita
sangat cepat. Dalam Sistematic Review yang dilakukan Alsubaie dkk disebutkan bahwa sadar
penuh hadir utuh (mindfulness) dapat mengurangi kondisi stress, dan menurunkan tingkat kortisol
dan tekanan darah (keduanya penanda terjadinya stres), meningkatkan respons kekebalan tubuh,
bahkan menunjukkan manfaat sampai ke level gen kondisi kesehatan baik secara fisik dan
psikologis.

Referensi :
Ibn Katsir, Ismail (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 1 : 7) (QS 3 : 190-191)
Verduyn, P. and Lavrijsen, S. Which Emotions Last Longest and Why: the Role of Event
Importance and Rumination. Springer Science+Business Media New York, 31 October 2014.

Alsubaie, M., Abbott, R., Dunn, B., Dickens, C., Frieda Keil, T., Henley, W., Kuyken, W., 2017.
"Mechanisms of action in mindfulness-based cognitive therapy (MBCT) and mindfulness-based
stress reduction (MBSR) in people with physical and/or psychological conditions. Clinical
Psychology Review
Institute of Health Metrics and Evaluation. Global Health Data Exchange (GHDx),
(https://vizhub.healthdata.org/gbd-results/, accessed 14 May 2022).
Mental Health and COVID-19: Early evidence of the pandemic's impact. Geneva: World Health
Organization; 2022.
Charlson, F., van Ommeren, M., Flaxman, A., Cornett, J., Whiteford, H., & Saxena, S. New
WHO prevalence estimates of mental disorders in conflict settings: a systematic review and
meta-analysis. Lancet. 2019;394,240--248.
Laursen TM, Nordentoft M, Mortensen PB. Excess early mortality in schizophrenia. Annual
Review of Clinical Psychology, 2014;10,425-438.
Mental health atlas 2020. Geneva: World Health Organization; 2021
Moitra M, Santomauro D, Collins PY, Vos T, Whiteford H, Saxena S, et al. The global gap in
treatment coverage for major depressive disorder in 84 countries from 2000--2019: a systematic
review and Bayesian meta-regression analysis. PLoS Med. 2022;19(2):e1003901.
doi:10.1371/journal.pmed.1003901.

Anda mungkin juga menyukai