Anda di halaman 1dari 12

Pandangan Islam Terhadap Kasus Bunuh Diri Mahasiswi UMY

Cheryl Nadia Fawwaz, M. Arafah Fadhila, M. Ilham Wardhana, Nadifa Alya Shabrina

Abstrak

Perilaku bunuh diri sering kita jumpai di banyak media dan seringkali banyak dari kita
yang mempertanyakan mengapa perilaku tersebut muncul. Masyarakat Indonesia memandang
bahwa perilaku bunuh diri terjadi karena mereka adalah individu yang kurang religius. Padahal
orang yang bunuh diri sudah berusaha mencari kedamaian secara rohani, namun mereka tidak
menemukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana agama dapat
mengendalikan orang yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri dan stigma masyarakat
terhadap orang yang melakukan perilaku bunuh diri melalui 6 (enam) agama di Indonesia.
Hasil jurnal ini menunjukkan bahwa setiap agama dan kepercayaan telah memberikan perintah
atau larangan terhadap perilaku bunuh diri, namun ada faktor pencegahan yang dianggap
mampu; dukungan sosial dan hubungan kekeluargaan sehingga pikiran atau keinginan untuk
bunuh diri dapat dicegah.

Kata kunci: Bunuh diri, Islam, Agama, Allah, Mahasiswi

Abstract

Suicidal behavior is often encountered in many media and often many of us question
why that behavior arises. Indonesian society views that suicidal behavior occurs because they
are individuals who have less religiosity. Even though people who committed suicide had tried
to find peace in spiritually, but they did not find it. This study aims to find out how religion
can control people who have suicidal thoughts and public stigma regarding people who has
committed suicidal behavior through 6 (six) religions in Indonesia. The results of this journal
show that every religion and belief has given orders or prohibitions for suicidal behavior, but
there are preventive factors that are considered capable; social support and family relations so
that thoughts or desires for suicide can be prevented.

Keyword: Suicide, Islam, Religion, Allah, Student College,


Pendahuluan

Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang kompleks dan serius yang
memengaruhi individu, keluarga, dan masyarakat di seluruh dunia. Kondisi kesehatan mental
seperti depresi, kecemasan, dan gangguan penggunaan zat seringkali terkait dengan
peningkatan risiko bunuh diri. Bunuh diri bukanlah gangguan mental, tetapi merupakan salah
satu penyebab utama bunuh diri. Penyebab bunuh diri bersifat multifaktorial dan dapat
mencakup kombinasi penyakit mental, penyalahgunaan zat, kehilangan yang menyakitkan,
paparan kekerasan, dan isolasi sosial. Upaya pencegahan bunuh diri sering melibatkan
mengidentifikasi dan mengatasi faktor risiko, mempromosikan faktor perlindungan, serta
memberikan dukungan dan sumber daya kepada individu yang mungkin berjuang.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pandangan Islam tentang bunuh diri dan
kesehatan mental, serta bagaimana hal ini berkaitan dengan kasus terbaru mahasiswa UMY
yang bunuh diri. Kita juga akan membahas pentingnya mencari bantuan dan dukungan untuk
masalah kesehatan mental, serta sumber daya yang tersedia bagi individu yang mungkin sedang
berjuang dengan pemikiran atau perasaan bunuh diri. Dengan meningkatkan kesadaran dan
pemahaman mengenai isu ini, kita berharap dapat mendorong individu dan masyarakat untuk
bertindak dan mencegah tragedi di masa depan. penting untuk dicatat bahwa depresi dan
masalah kesehatan mental lainnya dapat memengaruhi siapa pun, terlepas dari keyakinan atau
latar belakang mereka.

Penting bagi keluarga, teman-teman, dan masyarakat untuk menyadari tanda-tanda


depresi dan menawarkan dukungan serta sumber daya kepada mereka yang mungkin sedang
berjuang. Kampus UMY memiliki sumber daya yang tersedia bagi mahasiswa yang
membutuhkan bantuan, termasuk layanan konseling dan kelompok dukungan. Selain itu,
penting bagi individu untuk mencari bantuan profesional jika mereka mengalami pemikiran
atau perasaan bunuh diri.Dalam rangka menciptakan masyarakat yang lebih peduli terhadap
kesehatan mental, penting bagi kita semua untuk terus mempromosikan kesadaran,
pemahaman, dan dukungan terhadap individu yang mengalami depresi atau masalah kesehatan
mental lainnya. Dengan melakukan ini, kita dapat berperan dalam membangun masyarakat
yang lebih inklusif dan peduli terhadap kesejahteraan mental semua anggotanya.
Metode Penelitian

1. Observasi

Penulis melakukan beberapa observasi kepada masyarakat mengenai pendapat mereka


terhadap seseorang yang melakukan bunuh diri. Penulis mengambil sample dari pendapat
beberapa masyarakat untuk mewakili masyarakat luas.

A. 15% masyarakat kurang mengetahui berita bunuh diri yang dilakukan oleh
mahasiswi UMY
B. Masyarakat sedih dan prihatin akan kasus ini
C. Masih banyak stigma terhadap masalah kesehatan mental dalam masyarakat
islam dikarenakan kurangnya pemahaman, stereotip negatif, atau tekanan
budaya.
D. Sebagian masyarakat menggap bahwa bunuh diri itu bukan karena faktor jauh
dari tuhan, melainkan pilihan bagi mereka untuk menuju jalan yang tenang dan
melepaskan semua masalah yang membebani mereka selama ini. Sebagin
masyarakat lainnya juga mengaggap bahwa bunuh diri merupakan tindakan
yang tidak dibenarkan dalam ajaran islam, mereka menggunakan beberapa dalil
dan berpendapat bahwa orang yang melakukan bunuh diri adalah orang yang
jauh dari agama, dan tidak bisa memahami sistem dari ajaran agam Islam itu
sendiri.

Maka seharusnya orang yang ketika ia ingin melakukan bunuh diri, hendaknya
mendekatkan diri kepada Allah, mohoh ampunan, dan berzikir. Insyaallah dengan kekuatan
zikir, Allah bisa membukakan jalan , seperti dalam surah An Nisa ayat 29.

‫ٱَّلل َكانَ ِب ُك ْم َرحِ ي ًما‬ َ ُ‫َو ََل ت َ ْقتُلُ ٓو ۟ا أَنف‬


َ َّ ‫س ُك ْم ۚ ِإ َّن‬

Artinya: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu." (An Nisa ayat 29).

2. Internet Searching
Penulis melakukan beberapa penelitian mengenai 'Bunuh diri dalam pandangan
psikologi', penulis menemukan beberapa referensi dari internet yang bisa menjelaskan sudut
pandang bunuh diri menurut psikologi. Bunuh diri adalah tindakan seseorang yang
mengakhiri hidupnya sendiri. Ada banyak faktor yang dapat memicu seseorang untuk
melakukan bunuh diri, termasuk faktor psikologis. Berikut adalah beberapa faktor
psikologis yang dapat memicu seseorang untuk melakukan bunuh diri, seperti yang
dijelaskan dalam hasil pencarian:
a. Depresi: Depresi yang tidak tertangani dapat menyebabkan seseorang merasa putus asa
dan kehilangan harapan, sehingga menganggap bunuh diri sebagai satu-satunya cara
untuk keluar dari situasi tersebut. Depresi juga dapat membuat seseorang merasa sedih,
marah, bersalah, dan depresi.
b. Gangguan bipolar: Individu yang mengalami gangguan bipolar sangat mungkin untuk
memiliki pemikiran bunuh diri, bahkan tindakan untuk bunuh diri.
c. Perilaku impulsif: Perilaku impulsif dapat memicu seseorang untuk melakukan
tindakan yang tidak terduga, termasuk bunuh diri
d. Masalah dalam kehidupan sosial: Masalah dalam kehidupan sosial, seperti
perundungan (bully) atau penyimpangan orientasi seksual, dapat memicu rasa
kehilangan dan keinginan untuk bunuh diri.
e. Kondisi psikologis lainnya: Beberapa kondisi psikologis lainnya, seperti skizofrenia
atau psikosis, dapat membuat seseorang kesulitan membedakan imajinasi dan
kenyataan, sehingga membawa individu tersebut kepada aksi bunuh diri.
f. Kehilangan objek cinta: Percobaan bunuh diri dilakukan karena adanya rasa kehilangan
dan sebagai sarana untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif yang dirasakan, hal ini
disebabkan oleh depresi yang muncul tidak dapat direduksi oleh ego.
g. Tidak berpikir sistematis: Individu yang melakukan percobaan bunuh diri cenderung
tidak berpikir sistematis.
h. Faktor keturunan: Faktor keturunan juga dapat mempengaruhi seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Jika ada keluarga yang memiliki riwayat bunuh diri, risiko
individu tersebut melakukan hal serupa axkan lebih besar.

Dalam beberapa kasus, individu yang ingin melakukan bunuh diri mungkin tidak
menunjukkan gejala tertentu sebelumnya, sehingga sulit untuk memprediksi tindakan tersebut.

Penulis juga melakukan penelitian mengenai 'Bunuh diri menurut pandangan islam'.
Dalam pandangan Islam, bunuh diri dianggap sebagai dosa besar yang dilarang dan
fdiharamkan. Islam melarang penghilangan nyawa baik melalui pembunuhan terhadap
orang lain maupun diri sendiri. Tindakan bunuh diri merupakan pelanggaran terhadap hukum
Allah dan merupakan dosa besar yang telah dilarang dalam Alquran dan sunah. Dalam Alquran,
Allah SWT menyatakan bahwa hidup dan mati adalah urusan-Nya. Bunuh diri juga dianggap
sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dalam Islam, orang yang melakukan bunuh diri akan diganjar dengan hukuman yang
mengerikan di akhirat. Orang yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia akan disiksa
dengan benda tersebut di neraka jahannam. Namun, meskipun bunuh diri dianggap sebagai
dosa besar dalam Islam, para cendekiawan Islam yang disupervisi oleh Syekh Muhammad
Saalih Al Munajjid dalam Islam Q&A menilai akan ada pengecualian untuk orang-orang yang
mengidap gangguan kesehatan mental seperti depresi. Umat Muslim yang melakukan bunuh
diri karena mengidap gangguan kesehatan mental seperti depresi, akan mendapatkan
pengecualian dari hukuman tersebut.

Dalam Islam, hidup di dunia ini hanyalah ujian dan cobaan yang sementara. Oleh
karena itu, ketika seseorang menghadapi suatu permasalahan, akal yang sehat tentu akan setuju
bahwa bunuh diri bukanlah solusi dari permasalahan tersebut. Sebagai gantinya, Islam
menetapkan berbagai undang-undang perdata dan pidana beserta sanksi-larangan larangannya,
baik di dunia berupa larangan had dan qisas termasuk larangan mati, denda atau ta’zir, norma
yang ditetapkan oleh ulul amri atau lembaga peradilan.

Dalam Islam, orang yang ingin melakukan bunuh diri disarankan untuk mencari
bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, atau profesional kesehatan mental. Hal ini karena
Islam mengajarkan untuk saling membantu dan mendukung satu sama lain dalam
menghadapi masalah hidup.

3. Studi Pustaka

Penulis melakukan beberapa penelitian mengenai 'Faktor Lain Yang Mempengaruhi


Terjadinya Tragedi Bunuh Diri'. Penulis menemukan referensi dari artikel yang bisa
menjelaskan sudut pandang bunuh diri menurut kepercayaan warga sekitar. Menurut
Darmaningtyas dalam Gamayanti (2014) di Indonesia ada sebuah budaya di sekitar Gunung
Kidul yang memiliki keyakinan mengenai Pulung Gantung. Keyakinan ini berkaitan dengan
budaya bunuh diri, masyarakat percaya apabila Pulung Gantung jatuh di salah satu rumah
warga atau melewati tempat tertentu maka akan ada orang yang meninggal dengan cara
gantung diri. Tingkat bunuh diri di Gunung Kidul pada tahun 2009-2013 mencapai jumlah
125 orang yang didominasi sebanyak 97% menggunakan metode gantung diri. Namun saat
ini kepercayaan masyarakat Gunung Kidul mengenai Pulung Gantung sudah mulai
memudar, menurut Sudyasih & Lukman (2015) hal ini disebabkan karena adanya
keberhasilan dari tokoh masyarakat, nilai-nilai agama, serta peran Ulama yang mampu
menjelaskan bahwa Pulung Gantung merupakan takhayul yang bertentangan dengan ajaran
agama.
Menurut Joiner (2005) seseorang akan melakukan tindakan bunuh diri jika memiliki 3
komponen yakni : 1) kemampuan untuk melakukan tindakan menyakiti diri sendiri, 2)
perasaan bahwa dirinya menjadi beban bagi orang lain, 3) merasa kesepian dan individu
tidak dapat menyatu dengan nilai kelompok atau hubungan tertentu. Perilaku bunuh diri
merupakan perilaku yang melibatkan respon antara biologis, psikologis, dan sosial, serta
kurangnya faktor pencegahan atau support system (Moscicki, 2001). Faktor untuk bunuh
diri bukanlah faktor tunggal, namun merupakan kombinasi dari beberapa faktor baik
individu maupun sosial yang menjadi pemicu hebat sehingga terjadi tindakan bunuh diri
(Prayitno dalam Gamayanti, 2014). Beragam faktor yang menyebabkan bunuh diri
diantaranya bisa disebabkan karena masalah keluarga, lingkungan sosial, pekerjaan, diajuhi
oleh teman-temannya, persoalan keluarga, kesehatan mental, kehilangan orang yang dicintai
yang mempengaruhi well-being (Heaney&Israel, 1997; Kaslow 2005; King&Merchant,
2008; Wardlaw et al., 2003). Namun seringkali ketika seseorang menceritakan hasrat atau
pemikiran mengenai bunuh diri, yang pertama kali dilakukan oleh orang terdekatnya adalah
memberikan label bahwa orang tersebut memiliki iman yang lemah atau orang tersebut
kurang berdoa.
Faktor lain yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri adalah media.
Menurut teori social learning Bandura bahwa bunuh diri juga dapat menular karena sebagian
besar perilaku manusia adalah belajar meniru dan media menyiarkan berita mengenai cara
seseorang melakukan Pandangan Masyarakat Eklesia Hosana R P 174 tindakan bunuh diri.
Meniru tindakan bunuh diri yang disiarkan oleh media disebut dengan istilah “Wherter
Effect” yang diambil dari sebuah novel berjudul “The Sorrows of Young Wherther”. Novel
tersebut dianggap memicu tingkat bunuh diri di Eropa pada tahun 1744 dan setiap kasus
yang ditemukan merupakan kasus bunuh diri yang sama yang sebelumnya dilaporkan di
koran maupun teleivisi (Gould, 2001). Mesoudi (2009) juga mengungkapkan bahwa tingkat
bunuh diri meningkat ketika media massa menyiarkan berita mengenai selebriti atau tokoh
politik yang meninggal dengan cara bunuh diri dan meniru cara bunuh diri sang selebriti
maupun tokoh politik.
Pembahasan

Bunuh diri adalah usaha tindakan atau pikiran yang bertujuan untuk mengakhiri
hidup yangdilakukan dengan sengaja, mulai dari pikiran pasif tentang bunuh diri
sampai akhirnya benar-benar melakukan tindakan yang mematikan. Keparahan tingkat
bunuh diri bervariasi, mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh
diri, dan melakukan bunuh diri (completed suicide). Ide bunuh diri yaitu pemikiran
untuk membunuh diri sendiri; membuat rencana kapan, dimana, dan bagaimana bunuh
diri akan dilakukan; dan pemikiran tentang efek bunuh dirinya terhadap orang lain. Ancaman
bunuh diri merupakan ungkapan yang ditujukan kepada orang lain yang
mengindikasikan keinginan untuk melakukan bunuh diri. Sedangkan percobaan bunuh
diri/parasuicide didefinisikan sebagai semua tindakan melukai diri sendiri dengan hasil
yang tidak fatal dengan tujuan untuk mencari perhatian, dan keinginan untuk
menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian yang tercantum pada sertifikat
kematian atas dirinya (Rathus dan Miller, 2002; Pelkonen dan Marttunen, 2003; Orden
et al., 2011).
Epidemiologi National Centre for Health Statistic (NCHS) tahun 2000
mengungkapkan data angka bunuh diri di AS dari segi usia, pada usia 10-14 tahun adalah
1,6/100.000, sedangkan usia 15-19 tahun 9,5/100.000. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-
laki 3 kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan anak perempuan, namun seiring
bertambah usia ratio semakin bertambah menjadi 4,5 : 1 pada usia 15-19
tahun.Percobaan bunuh diri pada remaja 2 kali lipat lebih sering pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Sedangkan ide bunuh diri sering dijumpai pada pelajar SMA, kira-
kira 1 dari 4 perempuan, dan 1 dari 6 laki-laki (AACAP, 2001; Cash dan Bridge, 2009).
Metode bunuh diri pada remaja yang paling sering digunakan adalah dengan
menggunakan senjata api. Pada percobaan bunuh diri, metode yang paling sering digunakan
adalah menelan analgetik, selain itu metode lain yang sering digunakan adalah
mengiris permukaan pergelangan tangan atau leher (AACAP, 2001; Gould dan Kramer,
2001; Shain dan Care, 2007; Cash dan Bridge, 2009).
Pada anak, bunuh diri bersifat impulsif dan metode yang digunakan adalah
menabrakkan diri, lompat dari tempat yang tinggi dan menjatuhkan diri dari
tangga (Hoberman dan Garfinkel, 1988; Shaffer et al., 1996; Dervic, Brent dan Oquendo,
2008).
Gangguan psikiatri yang sering menjadi faktor resiko bunuh diri pada anak dan
remaja adalahgangguan suasana perasaan (depresi dan bipolar), skizofrenia, penyalahgunaan
zat, gangguan tingkah laku, dan gangguan makan (Apter dan Freudstein, 2000; Gould
dan Kramer, 2001; Shain dan Care, 2007).
Faktor resiko lain yang juga bisa memunculkan perilaku bunuh diri yaitu
adanya kejadian yang menimbulkan stres, masalah hubungan anak dan orangtua, perceraian
orangtua, riwayat keluarga, dan penyakit kronis(Shafii et al., 1985; Gould et al., 1996;
Pfeffer, 2000; Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005; Gray dan
Dihigo, 2015).
Keputusasaan serta kemampuan meyelesaikan masalah yang buruk juga
dihubungkan dengan perilaku bunuh diri. Perilaku bunuh diri dijumpai diantara pasien
dengan range IQ retardasi mental sedang atau di atasnya dan lebih sering dijumpai
pada remaja dibandingkan anak-anak(Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan
Kosky, 2005).
Dari aspek biologi, pada pemeriksaan single-photon emission tomography (SPET)
didapati pasien yang dengan sengaja menyakiti diri memiliki penurunan kadar ikatan
reseptor 5-HT2a. Pada remaja korban bunuh diri juga dijumpai disregulasi posreseptor
5HT2a, yang ditandai dengan perubahan ikatan protein C kinase. Penurunan kadar
triptopan di dalam darah dijumpai pada anak prepubertal dengan masalah psikiatri yang
melakukan usaha percobaan bunuh diri dibandingkan dengan anak yang normal atau anak
dengan masalah psikiatri yang memiliki ide bunuh diri. Sehingga kadar triptopan darah dapat
dijadikanpenanda untuk mengidentifikasi anak-anak dengan resiko bunuh diri. Beberapa
penelitian mengungkapkan keterkaitan kadar serum kolesterol yang rendah dengan bunuh diri
pada pasien depresi dan anak. Sedangkan bunuh diri pada remaja menunjukkan kadar serum
kolesterol yang lebih tinggi. Pada pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) didapati alfa
asimetris pada regio posterior dikaitkan dengan keinginan bunuh diri. Oleh karena itu
penurunan aktivasi posterior berkaitan dengan bunuh diri dan atau perilaku agresif (Pfeffer,
2000; King dan Apter, 2003).
Penanganan awal yang dapat diberikan adalah krisis intervensi yang bertujuan untuk
memberikanpengalaman yang baik antara keluarga dan staf medik gawat darurat, mengatur
harapan realistis tentang follow up treatment, dan mendapatkan komitmen dari remaja yang
bunuh diri serta keluarganya untuk kembali dan melakukan evaluasi lebih lanjut.
Pelaku percobaan bunuh diri harus dirawat inap jika kondisinya tidak stabil dan
perilakunya tidak bisa diprediksi. Gambaran diagnostik yang bisa digunakan sebagai
indikasi untuk rawat inap adalah depresi mayor dengan gejala psikotik, siklus cepat
perilaku impulsif dan iritabel, psikotik dengan halusinasi perintah dan penyalahgunaan
alkohol dan zat terlarang (AACAP, 2001).
Penanganan selanjutnya dilakukan menggunakan teknik psikoterapi yang
bertujuan untuk mengurangi perasaan tidak berdaya, marah, cemas, putus asa, serta
untuk mereorientasi perspektif kognitif dan emosional dari anak/remaja yang melakukan
bunuh diri. Jenis-jenis psikoterapi yang dapat digunakan yaitu terapi perilaku kognitif,
psikoterapi interpersonal, dialectical behavioral therapy (DBT), psikoterapi psikodinamik
dan terapi keluarga (Rathus dan Miller, 2002; Calear et al., 2015).
Psikofarmakologi diberikan berdasarkan gangguan yang mendasari perilaku
bunuh diri. Pelaku bunuh diri yang memiliki riwayat gangguan bipolar, pertama kali
harus diberikan mood stabilizer sebelum mendapatkan anti depresan, dan lithium
merupakan pengobatan lini pertama. SSRI dipilih sebagai penatalaksanaan depresi pada
anak dan remaja. Obat antidepresan golongan trisiklik harus dihindari karena efek yang
mematikan(Pfeffer, 2000; Baron et al., 2009)
Pencegahan bunuh diri sangat penting dan direkomendasikan untuk strategi
pengembangan dan penerapan penurunan angka bunuh diri. Pencegahan primer
yaitu program dalam latar pendidikan, meliputi Program Berbasis Sekolah, Krisis
Hotline, Pembatasan Metode yang Mematikan,Edukasi melalui Media serta
Mengidentifikasi Anak dan Remaja dengan Faktor Resiko Tinggi Bunuh Diri.
Pencegahan sekunder berkaitan dengan mengidentifikasi dan penatalaksanaan yang
adekuat terhadap mereka yang memilki risiko bunuh diri, berupa
penatalaksanaan psikososial dan penatalaksanaan secara biologi dengan pemberian
antidepresan (AACAP, 2001; Pelkonen dan Marttunen, 2003).
Pencegahan tersier bertujuan mengembangkan penatalaksanaan yang tepat untuk
anak dan remaja, khususnya modalitas terapi yang tepat setelah melakukan
percobaan bunuh diri, sehingga dapat mencegah terjadinya bunuh diri (AACAP, 2001;
Pelkonen dan Marttunen, 2003).
Postvention adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan intervensi
yang dilakukan setelah terjadi bunuh diri. Setelah anak atau remaja melakukan bunuh
diri, sangat dianjurkan untuk melakukan krisis intervensi pada orang-orang
terdekatnya karena mereka berisiko menderita depresi, gangguan stres paska trauma
atau reaksi duka cita yang patologis. Bila hal ini tidak dilakukan, maka jumlah
kejadian bunuh diri pada kerabat dan orang terdekat pelaku selama setahun setelah kejadian
bunuh diri akan meningkat (AACAP, 2001; Gould dan Kramer, 2001; Pelkonen dan
Marttunen, 2003).
Bunuh diri pada anak sangat terkait dengan perkembangan kognitif dan
pemahaman tentang kematian, stressor psikososial, afektif, serta peran kelekatan
(attachment). Untuk mengerti psikodinamika mengenai hal ini maka akan dibahas
teori kognitif Piaget, terutama tahap preoperasional, dan konkret operasional yang
erat kaitannya dengan pemahaman anak mengenai konsep kematian yang disertai juga
tentang subkonsep kematian yang diusulkan oleh Speece dan Brent(Mishara, 1999; Gould
dan Kramer, 2001; Slaughter, 2015).
Kesimpulan

Perilaku bunuh diri merupakan perilaku yang melibatkan banyak respon dan faktor,
serta memiliki penyebab yang kompleks. Beragam faktor yang menyebabkan bunuh diri
diantaranya bisa disebabkan karena depresi, strategi coping yang salah, dan kurangnya
religiusitas (Kaslow et al., 2004). Agama di Indonesia sudah mampu menjadi kontrol sosial
yang menjadi pengawas bagi individu maupun kelompok, namun agama belum mampu
berfungsi transformative bagi individu yang melakukan tindakan bunuh diri karena agama
dianggap tidak mampu mengubah kehidupan kepribadian individu tersebut menjadi kehidupan
yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya (Hendropuspito, 1990). Menurut Hofstede
(1991) Indonesia memiliki budaya kolektivisme yang berarti menunjukkan keadaan
masyarakat dimana setiap anggotanya terintegrasikan dalam ikatan kelompok yang kuat dan
terpadu sepanjang rentang hidup mereka untuk saling melindungi satu sama lain. Pada negara
dengan tingkat kolektivisme yang tinggi, individu mempunyai kepedulian terhadap individu
lain dalam kelompok serta mengharapkan orang lain untuk peduli terhadap dirinya secara
timbal balik. Oleh sebab itu peneliti menyarankan perlunya support system seperti hubungan
keluarga dan dukungan sosial menjadi faktor pencegah ketika menemui individu yang memiliki
pemikiran bunuh diri (Moscicki, 2001; Compton et al., 2005) serta memberikan kata-kata
penyemangat, pelatihan resiliensi secara mandiri (Nugroho, 2012) dan segera mencari konselor
(Gamayanti, 2014) yang juga dianggap mampu mengurangi pemikiran bunuh diri (Nock et al.,
2008).

Peneliti juga menyarankan apabila menemui individu yang memiliki pemikiran bunuh
diri tidak langsung memberikan label “kurang beriman” atau “kurang berdoa”, karena dalam
budaya kolektivisme dikembangkan budaya malu sehingga individu cenderung merasa malu
jika melakukan penyimpangan (Hofstede, 1991). Namun rasa malu ini bukan merupakan rasa
bersalah yangberujung pada introspeksi diri, sehingga pelabelan “kurang beriman” dapat
menyebabkan individu semakin depresi (Nock et al., 2008).

Penelitian ini masih memiliki batasan karena menilai perilaku bunuh diri melalui
pandangan masyarakat Indonesia yang menggunakan kacamata agama. Diharapkan untuk
penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian mengenai bunuh diri yang ditinjau melalui
support system sebagai faktor pencegah.

*****
Daftar Pustaka

Randi Pratiwi, Eklesia Hosana. PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP BUNUH DIRI


MELALUI PERAN AGAMA DI INDONESIA

Afrina Zulaikha, Nining Febriyana. BUNUH DIRI PADA ANAK DAN REMAJA

Harbani, Rahma. (2021) PANDANGAN ISLAM TENTANG BUNUH DIRI : DALIL DAN
PENJELASANNYA.

Persada, Ikhsan. (2023). 11 PENYEBAB ORANG BUNUH DIRI

Anda mungkin juga menyukai