Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL PROJECT GALIFU

ANALISIS DAMPAK ERUPSI GUNUNG BROMO DENGAN METODE


PEMODELAN ALIRAN LAHAR DI KAWASAN GUNUNG BROMO,
KABUPATEN LUMAJANG

Disusun Oleh :
Kelompok 7
Lailatul Fitria 175040200111066
Yudhistira Ahmad Santoso 175040200111070
Octa Aulia Kurniawati 175040201111017
Muhammad Reziq 175040207111118
Rizky Fariz Alfandy 175040207111168

MINAT MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan proposal yang berjudul
“Analisis Dampak Erupsi Gunung Bromo dengan Metode Pemodelan Aliran
Lahar di Kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Lumajang” dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya. Proposal ini merupakan laporan akhir
dalam kegiatan Praktikum Geomorfologi, Analisis Lansekap, dan Interpretasi
Udara di Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Tahap selesainya proposal project ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Untuk itu
penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Orangtua yang telah membimbing serta mendoakan kami
2. Dosen pengampu mata kuliah Morfologi, Genesis, dan Klasifikasi Tanah;
Analisis Lanskap; dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan
3. Asisten praktikum Morfologi, Genesis, dan Klasifikasi Tanah; Analisis
Lanskap; dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan yang telah membimbing
penulis sehingga laporan ini dapat terselesaikan
4. Serta teman-teman yang telah memberikan dukungan penuh kepada kami
Penulis menyadari banyaknya kesalahan dalam penulisan laporan ini, maka
dari itu penulis berharap kritik dan saran yang konstrukif dari pembaca untuk
memperbaiki tulisan ini guna membantu penulisan kedepannya.
Akhir kata semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca.

Wassalamualaikum.Wr.Wb.

Malang, 3 Maret 2020

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul :
“ANALISIS DAMPAK ERUPSI GUNUNG BROMO DENGAN METODE
PEMODELAN ALIRAN LAHAR DI KAWASAN GUNUNG BROMO,
KABUPATEN LUMAJANG”

Mengesahkan

Koordinator Asisten Pendamping kelompok

Muhammad Fikri Baihaqi Alifa Yumna


NIM. 165040207111102 NIM. 165040200111145

Tanggal Pengesahan :

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Tujuan ............................................................................................................2
1.3 Manfaat ..........................................................................................................2
1.4 Alur Pikir .......................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................3
2.1 Gunung Api ...................................................................................................3
2.2 Bencana Erupsi ..............................................................................................6
2.3 Dampak Becana Erupsi Gunung Berapi ........................................................7
2.4 Mitigasi Bencana ...........................................................................................8
2.5 Metode Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Software LAHARZ ..........9
III. METODE ......................................................................................................11
3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................................11
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................11
3.3 Tahapan Pelaksanaan ..................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................14

iii
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Erupsi gunung berapi telah menjadi bencana yang mengancam hampir
sebagian besar penduduk dunia. Menurut Costantini dan Thierry (2012) total dari
1500 gunung api yang aktif didunia, 60 diantaranya mengalami erupsi setiap
tahun dan telah memberikan berbagai dampak yang merugikan baik ringan
ataupun berat. Hasil dari erupsi gunung api seperti material piroklastik dan lahar
telah menyebabkan berbagai kerusakan pada bangunan, rumah, jalan dan juga
telah menyebabkan korban luka hingga kematian pada manusia. Ancaman
terhadap bahaya gunung api semakin besar karena meningkatnya aktivitas
manusia yang tinggal di sekitar kawasan gunung api yang berdampak pada
peningkatan risiko bahaya.
Salah satu gunung api paling aktif di Timur Pulau Jawa adalah Gunung
Bromo. Gunung Bromo merupakan salah satu dari jajaran gunung api aktif yang
terletak di dalam kaldera Tengger, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Data
menunjukan, sejak tahun 1804 hingga tahun 2012, gunung api Bromo telah
bererupsi lebih dari 50 kali (Bachri et al., 2015). Erupsi terakhir terjadi pada
tahun 2010 dan merupakan periode erupsi paling lama dalam sejarah letusan
Gunung Bromo. Pada erupsi tersebut, Gunung Bromo terus menerus mengalami
fluktuasi aktivitas vulkanik hingga akhirnya erupsi berakhir pada tahun 2011.
Erupsi pada periode terakhir ini menimbukan pijaran lava di kawah Bromo akibat
hancurnya kubah lava.
Bahaya erupsi Gunung Bromo tidak hanya pada jatuhan abu dan pasir, tetapi
juga aliran lahar yang menerjang kawasan di lereng bawah Bromo (BPBD, 2011).
Meskipun erupsi yang terjadi pada Gunung Bromo telah menyebabkan kerusakan
dan kerugian, namun masyarakat tetap memilih untuk tinggal dan beradaptasi
dengan ancaman dan bahaya yang terus datang dari Gunung Bromo (Bachri,
2015). Dengan kondisi resiko yang seperti ini, perlu adanya identifikasi bahaya
erupsi Gunung Bromo secara lebih detail dan menjadi hal yang perlu untuk
dilakukan.
2

1.2 Tujuan
Berdasarkan identifikasi tersebut, maka tujuan yang dirumuskan ialah
mengidentifikasi bahaya Gunung Bromo secara komprehensif dengan pendekatan
geomorfologi yang dibantu dengan teknologi sistem informasi geografi (GIS).
1.3 Manfaat
Manfaat yang didapat dari kegiatan ini ialah dapat mengidentifikasi bahaya
Gunung Bromo secara komprehensif dengan pendekatan geomorfologi yang
dibantu dengan teknologi sistem informasi geografi (GIS).
1.4 Alur Pikir

Gunung Bromo Erupsi

Hasil dari erupsi gunung api


seperti material piroklastik dan
lahar

Menyebabkan berbagai dampak


kerusakan

Melakukan pendekatan dengan


mengidentifikasi bahaya
Gunung Bromo secara
menyeluruh

Identifikasi dilakukan dengan


pendekatan melalui
geomorfologi dan teknologi
sistem informasi geografi
(GIS).

Hasil evaluasi dan solusi


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gunung Api


Menurut Saptoly (2011), gunung api merupakan lubang kepundan atau
rekahan dalam kerak bumi yang merupakan tempat keluarnya cairan magma, gas
atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan
bumi dapat membentuk kerucut terpancung. Sedangkan menurut Pradana (2016),
gunung api terbentuk akibat magma yang muncul ke permukaan bumi. Gunung
api tidak dapat ditemui di segala tempat, melainkan hanya di tempat-tempat
tertentu. Jalur punggungan tengah samudera, jalur pertemuan dua buah lempeng
kerak bumi, dan pada titik-titik panas di muka bumi tempat keluarnya magma, di
benua maupun di samudera (hot spot) merupakan tempat dimana gunung api
berada. Berdasarkan kedua pengertian diatas, dapat diketahui bahwa gunung api
merupakan gunung yang masih dapat mengeluarkan magma ke atas permukaan
bumi.
Menurut Pradana (2016), berdasarkan aktivitasnya, jenis gunung api
dibedakan menjadi:
a. Gunung api aktif, yaitu gunung api yang masih mengeluarkan asap, gempa dan
letusan
b. Gunung api mati, yaitu gunung api yang tidak lagi mengalami erupsi
c. Gunung api istirahat, yaitu gunung api yang masih beristirahat, namun dapat
meletus sewaktu-waktu.
Sedangkan menurut Setiawan (2014), berdasarkan proses terjadinya, gunung
api dibedakan menjadi:
a. Stratovolcano
Merupakan gunung api yang tinggi dan terdiri atas lapisan lava yang
mengeras serta abu vulkanik. Gunung ini terjadi karena letusan dan lelehan
batuan panas yang cair. Letusan yang terjadi berkali-kali membentuk suatu
kerucut besar dengan bentuk yang kadang tidak beraturan.
b. Shield volcano (perisai)
Gunung berapi ini memiliki bentuk yang landai dan sedikit
menggelembung. Tersusun dari batuan aliran endapan lava yang masih cair,
4

sehingga tidak membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam). Susunannya


terdiri dari batuan yang bersifat basaltik
c. Cinder cone volcano
Merupakan gunung api yang membentuk mangkuk di puncaknya. Gunung
jenis ini memiliki abu dan pecahan kecil batuan yang menyebar di sekeliling
gunung.
d. Kaldera
Merupakan gunung api yang terbentuk akibat ledakan yang sangat kuat
yang membuat ujung gunung terlempar ke bawah sehingga membentuk suatu
cekungan.
2.1.1 Sejarah Gunung Api
Gunung berapi yang masih aktif memiliki potensi yang besar untuk dapat
meletus kembali. Gunung bromo merupakan gunung api aktif yang terletak di
Jawa Timur, tepatnya berada di empat wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten
Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan dan kabupaten Lumajang.
Gunung ini memiliki ketinggian hingga 2.329 meter di atas permukaan air laut.
Terhitung sejak tahun 1775, Gunung Bromo telah mengalami banyak sekali
letusan dengan interval letusan yang teratur, yaitu sekitar 30 tahun (Maulana et
al., 2017).
2.1.2 Jenis Gunung
Gunung Bromo merupakan jenis gunung aktif dengan ketinggian 2.392
meter diatas permukaan laut. Gunung ini memiliki sebuah kawah dengan garis
tengah sekitar 800 meter (utara-selatan) dan sekitar 600 meter (timur-barat).
Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera
atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi (Lestari et al., 2017).
Berdasarkan kenampakan morfologis, Gunung Bromo tergolong gunung
komposit kuarter karena fasiesnya yang mudah diklasifikasikan. Pusat kawah
dapat diidentifikasi sebagai fasies sentral. Dari puncak gunung ke lereng dapat
diidentifikasi masing-masing sebagai proksimal, medial, dan distal fasies (Lestari
et al., 2017).
5

2.1.3 Letusan Gunung


Menurut Rachmawati et al., (2007), gunung api Bromo merupakan
gunung aktif tipe A, yaitu gunung api yang kegiatannya atau letusannya tercatat
dalam sejarah sejak tahun 1600. Sebagai gunung dengan status yang masih aktif,
maka terdapat beberapa aktifitas gunung Bromo yang dapat membahayakan para
pengunjung dan atau masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Beberapa
potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas Gunung Bromo antara lain
bahaya akibat letusan gunung tersebut, seperti batu pijar, gas beracun, dan hujan
abu. Hujan belarang yang dikeluarkan oleh gunung berapi dapat menyebabkan
iritasi pada mata dan kulit, dapat menyebabkan sesak nafas dan timbulnya
penyakit batuk.
Hasil letusan berupa batu pijar dianggap paling berbahaya karena dapat
membunuh manusia secara langsung. Menurut Dinas Komunikasi dan
Informatika (2012), batu/lava pijar merupakan lontaran material besar yang
dikeluarkan oleh gunung api dengan diameter >10 cm dan memiliki suhu yang
tinggi (>200oC). Dengan ukuran dan suhu yang demikian, mampu membakar
sekaligus melukai makhluk hidup. Menurut Rachmawati et al., (2007),
berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa lontaran batu pijar pada
gunung Bromo hanya terdapat dan tersebar didalam Kaldera Tengger dengan
radius 2-5,5 km dari pusat kawah Bromo meliputi sekeliling Gunung Bromo,
Laut Pasir, Gunung Kursi, Gunung Segarawedi dan Gunung Widodaren yang
terletak berdekatan dengan Gunung Bromo. Kawasan yang berpotensi terkena
hujan abu lebat dan kemungkinan lontaran batu (pijar) terutama apabila tingkat
letusan Gunung Bromo membesar atau mencapai puncaknya meliputi daerah
mulai dari pematang Kaldera Tengger hingga radius 6 km yang berpusat di
Kawah Bromo yang memiliki luas 63 km2.
2.1.4 Tipologi Kawasan Rawan Letusan Gunung
Menurut Asriningrum et al., (2004), direktorat vulkanologi menentukan
beberapa zona daerah bahaya letusan gunung api:
a. Daerah sekitar kawah dikategorikan sebagai daerah terlarang karena
kemungkinan terkena aliran piroklastik dan terkena aliran lava sangat besar.
6

b. Daerah bahaya tingkat I, yaitu daerah yang tidak dapat diserang oleh awan
panas, namun ketika terjadi letusan daerah tersebut dapat tertimpa hembusan
piroklastik (pyroclastic surge) dan jatuhan piroklastik (hujan abu).
c. Daerah bahaya tingkat II, merupakan daerah yang berdekatan dengan sungai
yang memiliki hulu di puncak gunung api. Secara topografis merupakan
kawasan yang rendah, sehingga ketika hujan dapat terkena aliran lahar.
2.2 Bencana Erupsi
Bencana merupakan rangkaian peristiwa dapat mengganggu kehidupan
masyarakat secara menyeluruh akibat faktor-faktor alam atau buatan, sehingga
berdampak pada munculnya berbagai masalah seperti korban jiwa, rusaknya
lingkungan, kerugian dari segi harta benda, dan dampak secara psikologis (UU
No. 24 Tahun 2007). Sedangkan, menurut Priambodo, (2009) bencana adalah
kejadian yang terjadi di alam dan buatan manusia atau gabungan antara keduanya
yang menimbulkan dampak negatif (merugikan) bagi kelangsungan kehidupan.
Bencana saling berkaitan, dan faktor penyebab utama bencana lainnya yang
terjadi dalam jangkauan wilayah tertentu, seperti bencana gempa bumi berkaitan
dengan tsunami, tanah longsor, letusan gunung api, dan lain lain. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, erupsi merupakan letusan gunung berapi atau semburan
sumber dan uap panas dari dalam bumi. Akibat terdapat pergerakan atau aktivitas
magma dari dalam perut bumi menuju ke permukaan bumi. Erupsi gunung api
dibagi menjadi 2 macam yaitu berdasarkan kekuatan dan kandungan material
serta berdasarkan dapur magma, kekentalan magma dan tekanan gas. Erupsi
gunung berapi adalah salah satu bencana alam yang menghasilkan dampak sangat
luas terhadap daerah terkena dampak bencana. Dampak Becana ini bisa jadi
berdampak negatif dan dampak secara positif. Bencana erupsi merupakan
bencana terjadi secara alami akibat adanya pengeluran material material vulkan
dari kawah gunung berapi. Material vulkan ini bisa saja berbentuk partikel yng
halus, sedang, hingga besar. Menurut Suryani (2014) material letusan gunung
berapi disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan piroklastik bahan material
vulkanik. Material ini di lontarkan ke udara. Saat terjadi muntahan material
vulkanik batuan yang berukuran besar (bongkah kerikil) akan jatuh di sekitar
kawah dengan radius 5 hingga 7 km. Jika untuk material berukuran halus akan
7

jatuh dengan jarak mencapai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah
tergantung pada kecepatan angin.
2.3 Dampak Becana Erupsi Gunung Berapi
Dampak akibat bencana erupsi gunung berapi sangat beraneka ragam hal
itu tergantung kembali pada skala letusan, materil yang dikeluarkan, dan jenis
gunung berapinya. Potensi bahaya pada suatu wilayah sangat berkaitan dengan
karakteristik medan wilayah tersebut (Rahayu, 2014). Menurut Nurhadi, dkk
(2015) kondisi komponen-komponen medan seperti sejarah kegunung apian,
bentuk lahan, kemiringan lereng, unit relief, jarak dari kepunden, jarak dari
sungai, serta kerapatan vegetasi merupakan komponen utama yang berpengaruh
terhadap perbedaan tingkat bahaya antar wilayah. Seperti yang diketahui seperti
rata rata gunung berapi yang ada di Pulau Jawa, merupakan gunung api yang
berjenis gunung api aktif dengan bentuk kerucut/strato. Gunung api berbentuk ini
sering mengeluarkan letusan erupsi eksplosif dan efusif. Eksplosif dimaksudkan
bahwa letusan yang dikeluarkan secara kuat dan meledak seketika, karena adanya
tekanan kuat dari dalam, sedangkan efusif merupakan ledakan magma tergolong
rendah. Karena tekanan dari dalam perut magma tergolong kecil sehingga yang
dimuntahkan tidak meledak dengan kuat.
Menurut PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi),
ada beberapa faktor yang mempengaruhi karakteristik atau perilaku erupsi
diantaranya :
a. Jenis dan sifat magma, serta jenis komponen kimia, kekentalan, kandungan
gas dan air
b. Bentuk, struktur, dimensi pipa saluran magma yang dimiliki
c. Letak, posisi serta volume kantong magma (menentukan besarnya pasokan).
Abu vulkanik yang keluar dari gunung berapi memiliki dampak negatif
bagi lingkungan. Karena ketika terjadi erupsi abu vulkanik membentuk awan
panas. Hal ini membuat daerah sekitarnya memiliki dampak dari kandungan dan
temperaturnnya. Akibatnya bisa mematikan dan bersifat beracun, bagi makhluk
hidup yang terpapar. Menurut Suryani, (2014) abu vulkanik memiliki bahan
bahan yang memiliki senyawa kimia bersifat asam yang dapat merusak berbagai
siklus baik hidrologi, tanah, dan ekosistem. Sangat dikhawatirkan terlebih lagi
8

ketika adanya interaksi dengan air hujan dapat menyebabkan hujan asam yang
bersifat korosif. Sifat korosif inilah yang menyebabkan rusaknya berbagai jenis
infrastruktur dan utilitas. Berdasarkan penelitian Suryani (2014) abu vulkanik
memiliki berbagai kandungan kimia yang komplek, diantaranya unsur mayoritas
seperti aluminium, silika, kalium dan besi, kemudian unsur minor seperti iodium,
magnesium, mangan, natrium, pospor, sulfur dan titanium dan tingkat trace
seperti aurum, asbes, barium, kobalt, krom, tembaga, nikel, plumbum, sulfur,
stibium, stannum, stronsium, vanadium, zirconium, dan seng. Dari beberapa
kandungan kimia yng terdapat dari bahan vulkanik terdapat beberapa jenis kimia
tertinggi pada kandungan tanah abu vulkanik gunung berapi yaitu silikon
dioksida 55%, aluminium oksida 18%, besi oksida 18%, kalsium oksida 8%,
dan magnesium oksida 2,5%. Kemudian mengetahui tentang bahaya mengenai
kesehatan sangat berbahaya komposisi kimia yang dihasilkan erupsi tersebut,
seperti karbon dioksida (CO2), sulfu oksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S), gas
hidrogen (H2), hidrogen klorida (HCL), hidorgen florida (HF), dan helium (He).
Kandungan tersebut memiliki dampak yang berbahaya pada tubuh seperti sakit
kepala, pusing, diare, bronchitis (saluran nafas), bronchopneumonia (radang
jaringan paru), iritasi selaput lendir saluran pernafasan, iritasi kulit, serta
mempengaruhi gigi dan tulang. Hal ini tergantung pada seberapa banyak
kandungan yang masuk kedalam tubuh dan konsentrasi zat nya (Suryani, 2014).
Menurut Rahayu (2014) erupsi memiliki bahaya secara lansung dan tidak
lansung yang dapat merusak lahan. Kerusakan lahan akibat erupsi pada umumnya
berupa hilangnya plasma nutfah dan berubahnya biodiversitas tumbuhan,
Rusaknya daerah tangkapan air, rusaknya hutan, tertutupnya sumber air, saluran
saluran air hilang dan tertutup, terkuburnya tanah dan terhambatnya pembentukan
tanah, hilangnya jalan-jalan akses ke lahan pertanian dan hilangnya batas-batas
kepemilihan lahan oleh erupsi dan lahar dingin.
2.4 Mitigasi Bencana
Mitigasi Bencana Menurut Undang Undang no. 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana. Mitigasi merupakan rangkaian kegiatan guna
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan akan
terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (Rahayu,
9

2014). Mitigasi bencana dilakukan untuk mencegah dan mengurangi berbagai


risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana
tersebut. Berikut adalah kegiatan mitigasi bencana sebagaimana di maksud pada
pasal 47 ayat 1 UU no.24 Tahun 2007 (Depdagri,2007) sebagai berikut:
a. Pelaksanaan penataan ruang
b. Pengaturan pembangunan infrastruktur, tata bangunan
c.Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern
Upaya untuk menghindari dampak negatif abu vulkanik merupakan salah
satu mitigasi yang dapat dilakukan terhadap lingkungan walaupun terbatas. Bagi
masyarakat, untuk menghindari dampak negatif abu vulkanik terhadap kesehatan,
maka paparan abu vulkanik tersebut harus dicegah dengan berada sejauh
mungkin dengan lokasi letusan. Mereka harus menghentikan konsumsi air dari
sumber air yang telah tercemar. Selain itu aktivitas di luar perlu dikurangi, rumah
harus dalam keadaan tertutup untuk mencegah masuknya abu dan gas ke dalam
rumah. Penggunaan masker adalah hal mutlak dilakukan. Alat perlindungan diri
yang lainnya, seperti kaca mata, juga diperlukan untuk mengurangi iritasi abu
dengan mata (Suryani, 2014). Resiko negatif dari abu vulkanik yang sudah
terdeposisi dapat memanfaatkan menjadi bahan yang berguna. Pasir dan abu
vulkanik yang mengadung silika dan besi merupakan pasir dapat dijadikan
campuran bahan bangunan berupa bahan beton dan bata ringan. Serta kandungan
kimia yang terdapat dalam abu vulkanik dapat berguna untuk memperkaya unsur
hara tanah sehingga dapat dijadikan pupuk. Manfaat lainnya adalah sebagai
penjernih air. Pola silika pada abu vulkanik membuat kemampuan pasir
menyerap partikel yang tidak diinginkan jauh lebih baik ketimbang pasir biasa.
2.5 Metode Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Software LAHARZ
Salah satu cara untuk mengetahui arah zonasi aliran lahar akibat erupsi
Gunung Berapi adalah dengan menggunakan metode pemodelan aliran lahar
menggunakan software LAHARZ. Lahar merupakan aliran yang terdiri dari
campuran material vulkanik dan air yang berasal dari gunung api. Lahar
membawa material panas dan dingin (Situmorang, 1989). Ada dua tipe lahar
yaitu lahar letusan dan lahar hujan. Lahar letusan terjadi ketika suatu letusan
10

terjadi di gunungapi yang memiliki danau kawah. Sedangkan lahar hujan terjadi
ketika hujan turun di puncak gunung selama beberapa waktu dan membawa air
hujan beserta endapan piroklastik di bagian atas sungai yang berhulu di puncak
gunung (Sudradjat et al., 2010).
LAHARZ adalah perangkat lunak untuk pemodelan aliran lahar yang
dibuat oleh Steve Schiling dari USGS pada tahun 1998. LAHARZ ini merupakan
implementasi dari persamaan empiris yang memprediksi luas penampang sungai
dan area inundasi, serta volume lahar. LAHARZ dibuat dalam format Arclnfo
Macro Language (AML) sehingga bisa dijalankan dalam perangkat lunak
ArcGIS. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan aplikasi LAHARZ dengan
menggunakan data DEM dan histori volume lahar gunung api yang didapat dari
studi literatur. Aplikasi tersebut mampu melakukan pemodelan aliran lahar untuk
dapat dipetakan menjadi sebuah peta bahaya aliran lahar.
11

III. METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Fieldtrip dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 April 2020 sampai hari Minggu,
20 April 2020. Fieldtrip dilakukan di beberapa tempat yaitu Pujon, Ngoro, Ploso,
Kabuh, Ngimbang, Kedungpring, Babat, Pucuk, Drajat, Manyar, Bromo, Cemoro
Lawang, Sukapura, Boto, Klakah, dan Gladak Perak. Sedangkan untuk lokasi
spesifik dilakukan pengamatan yaitu pada kawasan Gunung Bromo yang terletak
di 4 wilayah yaitu Kabupaten, antara lain Kapupaten Probolinggo, Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Secara geografis
Kawasan Bromo terletak pada 8°06′ LS dan 120°55′ BT. Pengamatan dilakukan
pada satu titik pengamatan. Pada setiap plot dilakukan pengamatan kelerengan,
jenis tanah dan indeks vegetasi.
3.2 Alat dan Bahan
Berikut merupakan alat yang digunakan dalam fieldtrip :
No Alat Fungsi
Perangkat keras untuk menjalankan
1. Laptop aplikasi serta menyimpan informasi yang
digunakan selama pengamatan
Perangkat lunak untuk melakukan
2. ArcGIS 10.6
pengolahan data
Untuk mengetahui titik koordinat
3. Global Positioning Map (GPS)
pengamatan lapang
4. Avenza Maps Aplikasi untuk menjalankan GPS
Untuk melakukan pengamatan penampang
5. Survey set
tanah di lapang
6. Formulir pengamatan lapang Untuk mencatat data hasil pengamatan
7. Kamera Untuk mendokumentasikan kegiatan
8. Alat tulis Untuk mencatat data hasil pengamatan
Perangkat lunak untuk pengolahan
9. LAHARZ
pemodelan aliran lahar

Sedangkan bahan yang digunakan dalam fieldtrip adalah sebagai berikut:


No Alat Fungsi
Peta dasar skala 1:25.000 (Landuse
vektor, administrasi, geologi, Digunakan dalam bahan pengolahan data
1
kelerengan, landform, jenis tanah, di Arcgis 10.6
dan curah hujan)
Digunakan sebagai bahan pemodelan aliran
2 Peta DEMNAS Kawasan Bromo
lahar di LAHARZ
3 Peta Kawasan Rawan Bencana Digunakan sebagai bahan pengolahan data
12

Bromo skala 1: 25.000 di Arcgis 10.6


Digunakan untuk bahan ketika pengamatan
4 Air
lapang
5 Tanah Sebagai bahan pengamatan ketika di lapang

3.3 Tahapan Pelaksanaan


3.3.1 Tahap Pra Survei
Pada tahap ini dilakukan dengan menganalisis permasalahan berdasarkan
data dan pencarian referensi yang menguatkan kegiatan fieldtrip. Kemudian
dilakukan studi literatur sebelumnya yang relevan dengan permasalahan yang
akan diteliti. Selanjutnya menentukan metode yang tepat serta pengumpulan
informasi dan data-data penunjang kegiatan fieldtrip agar sesuai dengan prosedur.
Pada tahap pra survei, langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu penyiapan data-
data sekunder seperti peta dasar skala 1: 25.000, data DEM, dan peta Kawasan
Rawan Bencana Bromo. Data sekunder yang telah didapatkan selanjutnya diolah
dan digunakan sebagai bahan untuk pengamatan ketika fieldtrip.
Pengamatan dilakukan dengan memodelkan aliran lahar yang berpotensi
pada alur sungai dengan menggunakan software LAHARZ. Data yang
dibutuhkan yaitu data DEM (Digital Elevation Model) kemudian data tersebut
akan dibandingkan dengan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Bromo.
3.3.2 Tahap Survei Lapang
Pengamatan di lapang dilakukan dengan menentukan titik pengamatan
terlebih dahulu pada daerah stopsite yang telah ditentukan. Penentuan titik
pengamatan harus dapat mewakili semua daerah survei. Metode Pengamatan
yang digunakan yaitu pembuatan minipit dan singkapan. Minipit dibuat dengan
ukuran 50 x 50 cm dengan kedalaman 50 cm serta dilanjutkan dengan
pengeboran. Pengamatan yang dilakukan yaitu menyesuaikan dengan informasi
apa saja yang dibutuhkan dalam pengambilan data karakteristik morfologi dan
fisiografi.
3.3.3 Pengolahan Data, Analisis Data, serta Pembuatan Peta
Data yang telah diperoleh dan diolah dari pengamatan lapang ketika
fieldtrip kemudian dianalisis. Tahapan analisis dimulai dengan cara
mengekstraksi data DEM Gunung Bromo kemudian dikonversi menjadi format
Grid agar dapat digunakan untuk pemodelan aliran lahar di aplikasi LAHARZ.
13

Hasil Pemodelan kemudian akan dioverlay dengan peta KRB Gunung Bromo
untuk mengetahui perbedaan serta persamaannya. Selanjutnya peta dasar yang
sebelumnya sudah dilakukan pengkelasan (skoring) kemudian dilakukan overlay
berdasarkan beberapa parameter (kelerengan, curah hujan, jenis tanah,
penggunaan lahan).
3.3.4 Tahap Akhir
Tahapan terakhir dari kegiatan fieldtrip adalah penyusunan laporan
fieldtrip. Semua data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk tulisan
karya ilmiah, tabel, gambar, dan peta.
14

DAFTAR PUSTAKA

Asriningrum, Wikanti, H. Noviar dan Suwarsono. 2004. Pengembangan Metode


Zonasi Daerah Bahaya Letusan Gunung Api Studi Kasus Gunung
Merapi. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital.
1(1): 66-75
Departemen Dalam Negeri. 2007. Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta : Departemen Dalam Negeri
Dinas Komunikasi dan Informatika. 2012. Diakses Melalui
Https://Www.Blitarkab.Go.Id/2012/06/13/Letusan-Gunung-Berapi/ Pada
15 Maret 2020.
Lestari. 2017. Identifikasi Sedimen Piroklastik pada Kawah Tengger Gunung
Bromo Menggunakan Metode Resistivitas 2D. Jurnal Geosaintek 3(2):
115-120.
Maulana, Adito, Y. Prasetyo, dan Arwan P. Wijaya. 2017. Pemetaan Kerentanan
Bencana Gunung Bromo Dengan Citra Sentinel-1 Menggunakan Metode
Interferometric Synthetic Aperture Radar (Insar). Jurnal Geodesi 6(3):
106-116.
Nurhadi, Ashari Arif, Suparmini. 2015. Kajian Bahaya Erupsi dan Longsorpada
Lembah gunung api Merapi-Merbabu Jawa Tengah. Jakarta. Fieldtrip
Unggulan. UNY
Pradana, C. M. Putra. 2016. Kajian Zonasi Bahaya Erupsi Gunung Merapi
terhadap Permukiman Di Kabupaten Magelang. [Skripsi]. Jurusan
Geografi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas. Negeri Semarang.
Priambodo, Ari. 2009. Panduan Praktis Menghadapi Bencana. Yogyakarta:
Kanisius.
PVMBG. “Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana an Upaya Mitigasinya Di
Indonesia”. Jakarta: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG).
Rachmawati. 2007. Potensi Bahaya Di Kawasan Wisata Gunung Bromo, Resort
Tengger Laut Pasir, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa
Timur. Media Konservasi 12(3).
Rahayu, A., D. Priyo, Komariah, dan H. Sri. 2014. Effects Of Merapi Mountain
Eruption On Arable Land And The Efforts Of Rehabilitation. Jurnal
Ilmu Ilmu Pertanian. 29(1)
Saptoly, A. 2011. Implementasi Pembelajaran Mitigasi Erupsi Gunung Api
Melalui Model Siklus Belajar Indoor dan Outdoor Bagi Siswa SMP
Negeri 1 Kalianda Tahun Pelajaran 2010-2011. [Skripsi]. Prodi
Pendidikan Fisika. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas
Lampung.
Setiawan, Catur. 2014. Term Gunung Berapi: Tinjauan Secara Leksikologi.
Skripsi. Progam Studi Pendidikan Bahasa Prancis. Fakultas Bahasa dan
Seni. Universitas Negeri Yogyakarta.
15

Situmorang, T. 1989. Pemetaan Zona Bahaya Aliran Piroklastik dan Lahar G.


Semeru. Direktorat Vulkanologi. Bandung.
Sudrajat, A., Syafri, I., Paripurno, E. T. 2010. Karakteristik Lahar di Gunung
Merapi, Jawa Tengah sebagai Indikator Eksplosivitas pada Holosen.
Jurnal Geologi Indonesia. 6(2): 69-74.
Suryani, A. Sri. 2014. Dampak Negatif Abu Vulkani Terhadap Lingkungan dan
Kesehatan. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data Dan Informasi (P3DI).
ISSN 2088-235

Anda mungkin juga menyukai