Anda di halaman 1dari 31

1

MAKALAH PENCEGAHAN KESAKITAN MATERNAL DAN NEONATAL


PADA SITUASI DARURAT BENCANA

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tanggap Darurat Bencana
Dosen Pembimbing : Ani Kusumastuti, SST, M.Keb

Disusun oleh :
Kelas 3B
Kelompok 2
1. Bidanti Putri P3.73.24.2.17.060
2. Cindy Jessica Felicia P3.73.24.2.17.061
3. Desy Amalia P3.73.24.2.17.062
4. Diana Irawati Rosida P3.73.24.2.17.063
5. Dieah Ayu P3.73.24.2.17.064
6. D’viona Marsella P3.73.24.2.17.065
7. Eka Tia Dewa Yanti P3.73.24.2.17.066
8. Elite Marecha Regita P3.73.24.2.17.067
9. Eri Dwi Lestari P3.73.24.2.17.068

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III


JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI D.III KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas tentang “Pencegahan
Kesakitan Maternal dan Neonatal Pada Situasi Darurat Bencana”. Makalah ini
dibuat dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Tanggap Darurat
Bencana . Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan
bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-
dalamnya kami sampaikan kepada dosen pembimbing kami, selaku dosen
mata kuliah tanggap darurat berencana dan Rekan-rekan mahasiswa yang
telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini. Demikian makalah ini
kami buat, semoga dapat digunakan dengan semestinya dan bermanfaat.

Bekasi. 01 November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................2
1.3 TUJUAN MASALAH..............................................................................................3
1.4 MANFAAT MASALAH.........................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.....................................................................................................................4
2.1 RENCANA LAYANAN KESEHATAN MATERNAL DAN NEONATAL
KOMPREHENSIF PADA KONDISI DARURAT BENCANA.........................................4
2.2 IDENTIFIKASI HAMBATAN-HAMBATAN KUNCI YANG BERDAMPAK
PADA KEMATIAN MATERNAL DAN NEONATAL....................................................12
2.3 RENCANA SISTEM RUJUKAN UNTUK MEMFASILITASI TRANSPORTASI
DAN KOMUNIKASI DARI MASYARAKAT KE PUSKESMAS DAN ANTARA
PUSKESMAS DAN RUMAH SAKIT..............................................................................15
2.4 KETERSEDIAAN KIT PERSALINAN................................................................23
2.5 PERTOLONGAN PERSALINAN DALAM SITUASI DARURAT BENCANA..24
BAB III.................................................................................................................................27
PENUTUPAN.......................................................................................................................27
3.1 KESIMPULAN......................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sebagai negara yang terletak di daerah rawan bencana, Indonesia kerap
disebut sebagai “Laboratorium Bencana”. Istilah ini muncul karena kondisi
geografis, geologis, serta demografis Indonesia yang relatif mendorong lahirnya
berbagai jenis bencana baik bencana alam, bencana non-alam, maupun bencana
sosial. Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia
menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko bencana
yang tinggi; mulai dari risiko banjir, gempa bumi, longsor, hingga letusan gunung
berapi. Lebih lanjut, laporan yang sama juga menunjukkan bahwa seluruh Ibu
Kota Provinsi di Indonesia (34 kota) memiliki risiko bencana gempa bumi.
Tingginya Indeks Risiko Bencana (IRB) Indonesia mendorong pemerintah
untuk memberi perhatian ekstra terhadap upaya penanggulangan bencana.
Mengacu pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015 – 2019, BNPB menargetkan penurunan IRB sebesar 30% pada akhir tahun
2019. Berbagai upaya dilakukan oleh BNPB untuk mencapai target tersebut,
mulai dari meningkatkan kapasitas penanggulangan bencana di daerah prioritas,
berkerja sama dengan kementrian dan lembaga lain, hingga menyusun acuan
penyelenggaraan penanggulangan bencana yang baru.
Namun di tengah upaya penanggulangan bencana yang dilakukan oleh
pemerintah dan institusi terkait, terdapat satu isu sentral yang umumnya luput
dari pembahasan. Isu tersebut adalah pelayanan kesehatan reproduksi pada masa
darurat. Bencana memiliki dampak yang signifikan bagi kondisi kesehatan
reproduksi warga yang terdampak; khususnya perempuan, anak, dan remaja.
Rusaknya infrastruktur kesehatan akan menghambat layanan kesehatan
reproduksi yang komprehensif. Keterbatasan akses kontrasepsi dalam situasi
bencana dapat meningkatkan angka kehamilan yang tidak diinginkan, serta
peningkatan insiden IMS dan HIV. Selain itu, kondisi sosial pasca bencana yang
tidak stabil dapat meningkatkan risiko kekerasan seksual.
Poin-poin di atas menegaskan pentingnya pelayanan kesehatan reproduksi
pada masa darurat; sekaligus menjadi basis dari program Paket Pelayanan Awal
Minimum (PPAM) untuk Kesehatan Reproduksi, yang digalang oleh
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PPAM untuk Kesehatan
Reproduksi merupakan seperangkat kegiatan prioritas terkoordinasi, yang
dirancang untuk memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi penduduk, pada
permulaan suatu keadaan darurat/bencana. Berangkat dari prinsip pemenuhan
kebutuhan dan layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), dan
prinsip Keluarga Berencana (KB), PKBI membentuk tim kemanusiaan di setiap
tingkatan kerja PKBI (pusat, daerah, dan cabang) untuk melakukan upaya respon
kesehatan reproduksi pada masa darurat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa rencana layanan kesehatan maternal dan neonatal komprehensif pada
kondisi darurat bencana?
2. Apa hambatan-hambatan kunci yang berdampak pada kematian dan
maternal?
3. Bagaimana perencanan sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan
komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan antara puskesmas dengan
rumah sakit?
4. Bagaimana menolong perslinan dalam situasi darurat bencana?
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui Rencana layanan kesehatan maternal dan neonatal
komprehensif pada kondisi darurat bencana
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan kunci yang berdampak pada kematian
dan maternal
3. Untuk mengetahui rencana sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi
dan komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan antara puskesmas dengan
rumah sakit
4. Untuk mengetahui bagaimana menolong perslinan dalam situasi darurat
bencana

1.4 MANFAAT MASALAH


1. Menambah wawasan mahasiswa dalam tanggap darurat bencana
2. Mengetahui rencana layanan kesehatan maternal dan neonatal komprehensif
pada kondisi darurat bencana
3. Mengetahui hambatan-hambatan kunci yang berdampak pada kematian dan
maternal
4. Mengetahui rencana sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan
komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan antara puskesmas dengan
rumah sakit
5. Mengetahui bagaimana menolong perslinan dalam situasi darurat bencana
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 RENCANA LAYANAN KESEHATAN MATERNAL DAN NEONATAL


KOMPREHENSIF PADA KONDISI DARURAT BENCANA
Di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20% ibu hamil akan mengalami
komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Terdapat lebih dari 500.000
kematian ibu setiap tahun dengan 99%-nya terjadi di negara-negara
berkembang. Di Indonesia, berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan
Indonesian (SDKI 2012) Angka Kematian Ibu sebesar 359 per 100,000
kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi 32 per 1000 kelahiran
hidup. Dari sekitar 130 juta bayi yang lahir setiap tahun, sekitar 4 juta di
antaranya meninggal dunia dalam empat minggu pertama kehidupannya
(periode neonatal). Sekitar 4 juta bayi juga meninggal saat lahir, meninggal
di dalam rahim selama tiga bulan terakhir kehamilan. Sebagian besar angka
kematian ibu pada saat kehamilan dan persalinan serta angka kematian bayi
baru lahir terjadi pada saat proses persalinan dan nifas.
Dari analisa penyebab kematian Ibu 2008 diperoleh data, 90% kematian
ibu terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. Penyebab
utama kematian ibu 1) Hipertensi dalam Kehamilan (24%) 2) Komplikasi
puerperum (8%) 3) Perdarahan (28%) 4) Abortus (5%) 5) Partus macet / lama
(5%) 6) infeksi (11%).
Kematian bayi sebagian besar disebabkan oleh masalah neonatal
(BBLR, asfiksia dan infeksi) yang sebenarnya dapat dihindari penyebabnya.
Mengingat kematian bayi mempunyai hubungan erat dengan mutu
penanganan ibu, maka proses bersalin dan perawatan bayi harus dilakukan
dalam sistem terpadu. Sebagian besar kematian ibu dan bayi sebenarnya dapat
dicegah apabila ditangani oleh petugas terampil dengan sumber daya yang
memadai di tingkat fasilitas kesehatan.
Pada kondisi normal angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih
sangat tinggi dan kondisi ini dapat menjadi lebih buruk pada situasi kondisi
bencana karena sulit mendapat pelayanan kesehatan maternal dan neonatal
atau karena pelayanan tersebut tidak tersedia. Oleh karena itu PPAM
bertujuan untuk mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan
neonatal.
Dalam kondisi bencana, di pengungsian, sekitar 4% dari populasi akan
menjadi hamil dalam suatu periode waktu. Pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal dalam situasi bencana utamanya ditujukan untuk mengenali tanda
bahaya serta penanganan kegawatdaruratan melalui tindakan penyelamatan
nyawa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terampil untuk menangani
komplikasi maternalpada periode kehamilan, persalinan dan nifas dan pada
neonatal.
Untuk itu penting memastikan tersedianya tenaga yang mampu
memberikan pelayanan “pelayanan kegawatdaruratan kebidanan” dan mampu
melakukan tindakan perawatan bayi baru lahir esensial secara
berkesinambungan dan komprehensif pada kondisi darurat bencana.
Dari ketiga komponen Kesehatan Maternal dan Neonatal, yang merupakan
bagian dari PPAM adalah pertolongan persal inan. Bukan berarti bahwa ANC
dan PNC tidak penting, tetapi karena keterbatasan sumber daya, pada kondi
si darurat bencana pelayanan di fokuskan pada pertolongan persalinan untuk
menyelamatkan nyawa karena kematian banyak terjadi pada saat proses
persalinan. Tetapi jika bencana berskal a kecil dan sumber daya manusia dan
sumber daya lain termasuk al at dan bahan tersedi a, maka ke 3 komponen
tersebut dapat di berikan. Perbedaan antara Kesehatan Maternal dan Neonatal
pada si tuasi darurat bencana melalui PPAM dan pada situasi normal melalui
Kesehatan Maternal dan Neonatal Komprehensif:
Fase tanggap darurat Fase stabil/Norma
KOMPONEN PPAM LAYANAN PELAYANAN
KESEHATAN KESEHATAN
REPRODUKSI REPRODUKSI
KOMPREHENSIF
PELAYANAN - Memastikan tersedianya - Menyediakan layanan
MATERNAL layanan kegawatdaruratan Ante
DAN kebidanan dan neonatal Natal Care (ANC)
NEONATAL - Membangun system - Menyediakan layanan
rujukan 24/7 untuk Post
kegawatdaruratan Natal Care (PNC)
kebinanan - Melatih penolong
dan neonatal (Emergency persalinan
Obstetric and Neonatal terlatih (bidan, dokter dan
Care/EmONC) perawat) dalam
- Menyediakan kit melakukan
persalinan layanan kegawatdaruratan
bersih bagi ibu hamil yang kebidanan dan neonatal
terlihat dan penolong (Emergency Obstetric and
persalinan Neonatal Care/EmONC)
- Menginformasikan - Meningkatkan akses
kepada kepada
masyarakat tentang PONED (Pelayanan
layanan Obstetric
yang tersedia Neonatal Emergency
Dasar)
dan PONEK (Pelayanan
Obstetric Neonatal
Emergency
Komprehensif)
Berdasarkan tabel di atas, berikut ini yang harus dilakukan untuk
mencegah kesakitan dan kematian maternal dan neonatal pada fase tanggap
darurat:
a. Memastikan tersedianya layanan kegawatdaruratan kebidanan dan neonatal
b. Membangun system rujukan 24/7 untuk kegawatdaruratan kebinanan dan
neonatal (PONED dan PONEK)
Perlu dilakukan penilaian tentang kondisi fasilitas kesehatan termasuk fasilitas
puskesmas PONED dan RS PONEK, apakah fasilitas tersebut masih
berfungsi dan apakah tenaga kesehatan terlatih dan alat dan bahan untuk
penanganan kegawatdaruratan kebidanan tersedia dan mencukupi. Data
tersebut dapat dipergunakan untuk membangun system rujukan termasuk
merujuk ke fasilitas PONED dan PONEK yang masih berfungsi setelah
bencana. Perlu dipastikan bahwa sarana transportasi termasuk ambulans,
perahu motor dan alat transportasi lain tersedia karena pada bencana
berskala besar sering kali fasilitas infrastruktur seperti jalan dan jembatan
banyak yang rusak dan terputus. Perlu dipikirkan alat transportasi
alternatif untuk mencapai fasilitas rujukan.
c. Menyediakan kit persalinan bersih bagi ibu hamil yang terlihat dan penolong
persalinan.
d. Menginformasikan kepada masyarakat tentang layanan yang tersedia.

Langkah-langkah/kegiatan yang dilakukan untuk mencegah meningkatnya


kesakitan dan kematian maternal dan neonatal adalah
1. Pendataan dan pemetaan ibu hamil, ibu pascapersalinan dan bayi baru lahir di
tempat-tempat pengungsian
Pendataan dan pemetaan ibu hamil, ibu pasca persalinan dan bayi baru lahir
perlu dilakukan sejak awal bencana oleh penanggung jawab dengan
keterlibatan aktif semua anggota sub klaster. Informasi tentang jumlah dan
lokasinya digunakan untuk merencanakan penjangkauan pelayanan kesehatan
dan pemantauan.
Beberapa langkah yang dilakukan dalam pendataan dan pemetaan ibu hamil
dan ibu pasca persalinan:
 Kumpulkan data sekunder dari program KIA yang ada di puskesmas
setempat.
 Siapkan peta daerah setempat dan menandai lokasi dan jumlah sasaran ibu
hamil, ibu pascapersalinan dan bayi baru lahir.
 Lakukan pencatatan ulang di lokasi terdampak dan pengungsian dengan
pengambilan data primer berdasarkan data aktual di lapangan. Gunakan
format wawancara ibu hamil dan format wawancara ibu pasca persalinan.
 Lakukan pembuatan peta tematik dengan metode tumpang susun (overlay).
Overlay pada peta dilakukan terhadap beberapa data/indikator seperti
jumlah ibu hamil, ibu pasca persalinan, jumlah bayi baru lahir. Indikator
dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.
 Lakukan pemetaan untuk perencanaan dan respon cepat dalam memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi di lapangan.

2. Melakukan Pemetaan Puskemas dan Rumah Sakit


Pemetaan dan penilaian puskesmas rawat inap dan rumah sakit minimal kelas
C dilakukan oleh penanggung jawab komponen maternal neonatal untuk
mengetahui kemudahan akses dan kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan
dalam memberikan layanan kesehatan reproduksi sesuai dengan standar. Hal-
hal yang harus diobservasi, antara lain adalah:
 Kondisi bangunan terhadap kelayakan untuk memberikan pelayanan
kesehatan reproduksi
 Ketersediaan peralatan, obat-obatan dan sumber daya manusia, untuk
mengetahui kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi dan prosedur tepat melakukan rujukan:
termasuk stabilisasi pasien.
 Kondisi geogafis, termasuk kemudahan dalam mengakses fasilitas
pelayanan kesehatan dengan menghitung perkiraan waktu tempuh dan jarak
tempuh. Apabila tidak memungkinkan untuk mengakses fasilitas pelayanan
kesehatan dalam waktu singkat, perlu dipertimbangkan penggunaan Public
Safety Centre (PSC 119). Pastikan adanya informasi tentang prosedur
pelayanan kesehatan, yang menyebutkan kapan, dimana dan bagaimana
merujuk pasien dengan kondisi kegawatdaruratan maternal dan/neonatal ke
tingkat pelayanan kesehatan lebih lanjut.
 Transportasi, ketersediaan tranportasi dalam mengakses fasilitas pelayan
an kesehatan tersebut dalam 24 jam terutama apabila akan merujuk kasus
kegawadaruratan maternal neonatal. Penanggung jawab komponen
maternal neonatal memastikan ada petugas pendamping dan alat
transportasi yang digunakan untuk merujuk. Pastikan stabilisasi pasien
sudah dilakukan sebelum merujuk.

3. Memastikan petugas dapat menjangkau ibu hamil dan adanya tempat khusus
ibu hamil yang akan melahirkan dalam waktu dekat
Penempatan ibu hamil dan bayi baru lahir di pengungsian menjadi penting
karena terdapat risiko mengalami komplikasi misalnya hiperemesis, risiko
keguguran, ketuban pecah dini dan pada bayi baru lahir dapat mengalami
infeksi yang didapat dari lingkungan. Penjangkauan dilakukan untuk
memudahkan tenaga kesehatan memberikan pelayanan yang optimal dan
memudahkan dalam pemantauan kesehatan. Penanggung jawab komponen
maternal neonatal perlu memastikan bahwa:
 Mengelompokan ibu hamil pada trimester ketiga dan/atau yang memiliki
risiko tinggi pada satu tempat yang berada dekat tempat pelayanan
kesehatan.
 Menyiapkan alat transportasi yang dapat digunakan sewaktu waktu untuk
melakukan rujukan apabila terjadi kegawatdaruratan maternal neonatal.
Persiapan transportasi termasuk kesiapan petugas, supir, bensin.
 Menyediakan fasilitas yang mendukung kesehatan dengan memperhatikan
keamanan serta kenyamanan sarana dan prasarana di dalam tempat
pengungsian bagi ibu hamil dan bayi baru lahir (kecukupan air bersih, suhu
ideal, sirkulasi udara yang baik, privasi yang terjaga,situasi yang kondusif
bagi kondisi psikologis ibu hamil, dll).
 Ibu hamil pada trimester ketiga diberikan kit individu (kit ibu hamil).
Penjangkauan ibu hamil dan bayi baru lahir di pengungsian dapat
memudahkan untuk pemberian layanan yang tepat dalam penanganan
masalah kesehatan ibu hamil tersebut.
 Pastikan tempat tertutup dalam melakukan ANC dan jika terdapat tanda-
tanda bahaya kehamilan atau persalinan segera dirujuk.
 Berikan edukasi kepada ibu, suami dan keluarga tentang tanda bahaya pada
kehamilan, persalinan dan pascapersalian, apabila ditemukan tanda bahaya
segera menghubungi petugas kesehatan. Gunakan buku KIA untuk
mengedukasi ibu, suami dan keluarga.

4. Berkoordinasi dengan subklaster gizi untuk ketersediaan konselor ASI di


pengungsian
Sejak hamil, ibu dimotivasi untuk memberikan ASI kepada bayinya. Ibu
pascapersalinan di pengungsian tetap dianjurkan untuk memberikan ASI
secara eksklusif. Pada kondisi lingkungan yang kurang mendukung, ibu
mungkin tidak dapat memberikan ASI secara optimal sehingga keberadaan
tenaga konselor ASI di pengungsian mungkin diperlukan. Konselor ASI tidak
terbatas pada tenaga kesehatan saja tetapi dapat juga masyarakat yang sudah
mengikuti pelatihan konselor ASI. Suami dan keluarga diharapkan dapat
mendukung ibu untuk memberikan ASI.
Konselor ASI akan memberikan informasi, memotivasi dan mengedukasi
ibu dan keluarga agar tetap memberikan ASI secara eksklusif kepada bayi di
pengungsian. Penanggung jawab komponen maternal neonatal berkoordinasi
dengan koordinator sub klaster kesehatan reproduksi berkoordinasi dengan
sub klaster gizi untuk:
 Penyediaan tenaga konselor ASI bila dibutuhkan
 Menyiapkan pelaksanaan konseling ASI dilakukan berkelompok atau
secara individu, disesuaikan dengan kondisi pengungsian dan jumlah ibu
yang akan dikonseling
 Menyusun jadwal, waktu dan tempat pelaksanaan konseling ASI

5. Memastikan ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan maternal neonatal dan


rujukan 24 jam/7hari
a) Pada setiap kehamilan dapat terjadi komplikasi sewaktu waktu yang dapat
mengakibatkan keadaan kegawatdaruratan maternal neonatal. Untuk itu
penanggung jawab komponen matenal neonatal wajib memastikan
tersedianya:
 Petugas kesehatan terlatih dengan jadwal jaga 24 jam/7hari
 Alat dan obat kegawatdaruratan tersedia
 Sistem rujukan yang berfungsi (transportasi, radiokomunikasi,
stabilisasi pasien, kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan yang dituju)
b) Jika pelayanan rujukan 24 jam/7 hari tidak tersedia maka penanggung
jawab komponen maternal neonatal perlu memastikan adanya petugas
kesehatan di puskesmas yang tetap dapat melakukan pelayanan
kegawatdaruratan maternal neonatal melalui bimbingan dan konsultasi ahli.
c) Pelayanan dan asuhan pasca keguguran.

6. Memastikan asupan gizi yang cukup bagi kelompok rentan khususnya ibu
hamil dan menyusui, bayi baru lahir
Asupan gizi yang cukup dan baik harus dipenuhi untuk kelompok rentan
khususnya ibu hamil, ibu menyusui dan bayi baru lahir. Ibu hamil dan ibu
menyusui dianjurkan untuk konsumsi beragam makanan dengan pola gizi
seimbang dan proporsional. Penanggung jawab komponen maternal neonatal
perlu memastikan:
 Kecukupan gizi bagi kelompok rentan terutama ibu hamil dan ibu
menyusui dengan cara berkoordinasi dengan koordinator sub klaster gizi
dan klaster perlindungan dan pengungsian untuk menyediakan makanan
yang sesuai dengan pola gizi seimbang
 Pengolahan makanan dilakukan secara higienis dan mempertimbangkan
ketersediaan bahan pangan lokal
 Penggunaan buku KIA untuk pemantauan kecukupan gizi
 Apabila didapatkan ibu hamil dengan permasalahan gizi, penanggung
jawab komponen maternal neonatal dapat berkoordinasi dengan sub klaster
gizi dan sub klaster pelayanan kesehatan untuk Pemberian
MakananTambahan (PMT) kepada ibu hamil dan ibu menyusui.

2.2 IDENTIFIKASI HAMBATAN-HAMBATAN KUNCI YANG BERDAMPAK


PADA KEMATIAN MATERNAL DAN NEONATAL
Pada tanggap darurat krisis kesehatan, koordinator kesehatan reproduksi harus
memastikan bahwa setiap ibu yang akan bersalin mempunyai akses terhadap
pelayanan kesehatan dan apabila sewaktu waktu akan bersalin, terdapat petugas
kesehatan yang siap menolong persalinan. Di samping itu, perlu dipastikan
tersedianya pelayanan PONED dan PONEK 24 jam per hari, 7 hari per minggu
sebagai fasilitas rujukan apabila sewaktu waktu terjadi komplikasi obstetri
dan/neonatal. Untuk itu koordinator kesehatan reproduksi perlu mengidentifikasi
fasilitas pelayanan rujukan terdekat yang mudah dijangkau dan mampu dalam
penanganan kegawatdaruratan. Kegiatan yang harus dilakukan koordinator
kesehatan reproduksi pada situasi bencana:
Langkah-langkah
a. Pendataan dan pemetaan ibu hamil dan bayi baru lahir di tempat-tempat
pengungsian
b. Pemetaan puskemas PONED dan rumah sakit PONEK. Hal-hal yang harus
diobservasi adalah keadaan bangunan, kondisi geogafis, transportasi, peralatan,
obat-obatan dan ketersediaan sumber daya manusia
c. Memastikan petugas dapat menjangkau ibu hamil dan ditempatkan di dalam
satu tenda
d. Berkoordinasi dengan penanggung jawab bidang gizi untuk ketersediaan
konselor ASI di pengungsian
e. Mendistribusikan buku KIA pada ibu hamil
f. Mendistribusikan kit bidan, kit kesehatan reproduksi, kit individu apabila
dibutuhkan
g. Memastikan ketersediaan pelayanan PONED dan PONEK 24 jam/7 hari
h. Berkoordinasi dengan Dinas Sosial dan BPBD untuk menyediakan tenda
kesehatan reproduksi dan tenda pemenuhan kebutuhan khusus perempuan
i. Berkordinasi untuk memastikan adanya sistem rujukan yang berfungsi dari
masyarakat, puskesmas, rumah sakit 24 jam/7 hari
j. Memastikan terpasangnya informasi tentang prosedur pelayanan kesehatan,
yang menyebutkan kapan, dimana dan bagaimana merujuk pasien dengan
kondisi kegawatdaruratan maternal dan/neonatal ke tingkat pelayanan
kesehatan lebih lanjutk. Memastikan nutrisi yang cukup bagi kelompok rentan
khususnya ibu hamil dan menyusui

Koordinator kesehatan reproduksi harus memastikan petugas kesehatan mampu


mengatasi kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal dengan menyediakan
alat, bahan-bahan dan obat-obatan untuk pertolongan persalinan.Pelayanan
kegawatdaruratan neonatal meliputi:a. resusitasib. perlindungan suhu tubuhc.
pencegahan infeksi (kebersihan, memotong dan merawat tali pusar secara higienis,
perawatan mata)d. pengobatan penyakit pada neonatal dan perawatan bayi
prematur/berat badan lahir rendah
Pelayanan kegawatdaruratan obstetri meliputi:
a. penanganan perdarahan
b. Preklamsi/eklampsi
c. Infeksi
d. Persalinan lama
e. Abortus
Ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan untuk ibu hamil beserta janinnya sangat
menentukan kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir. Misalnya, perdarahan
sebagai sebab kematian langsung terbesar dari ibu bersalin perlu mendapat
tindakan dalam waktu kurang dari 2 jam, dengan demikian keberadaan puskesmas
mampu PONED dan Rumah Sakit PONEK menjadi sangat penting.
Pelayanan PONED meliputi :
a. pemberian antibiotik melalui infus
b. obat uterotonika melalu infus (oksitosin)
c. obat anti konvulsi melalui infus (magnesium sulfat)
d. pengeluaran sisa hasil konsepsi dengan menggunakan Aspirasi Vakum Manual
e. melakukan manual placenta
f. kelahiran melalui vagina yang dibantu (dengan vakum)
g. resusitasi neonatal
Penting untuk menekankan bahwa jika puskesmas mempunyai penolong
persalinan kompeten dan peralatan serta perlengkapan yang cukup, maka semua
ibu hamil harus diberitahu dimana lokasi puskesmas tersebut dan harus didorong
untuk melahirkan di sana. Informasi ini dapat diberikan pada saat
mendistribusikan kit individu kepada masyarakat. Jika pelayanan rujukan 24/7
tidak mungkin tersedia maka perlu dipastikan ada petugas kesehatan di puskesmas
yang tetap dapat melakukan pelayanan emergensi obstetri dasar dan perawatan
neonatal melalui bimbingan dan konsultasi ahli. Dalam situasi ini, akan sangat
membantu bila ada sistem komunikasi, seperti penggunaan radio atau telepon
seluler, untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan tenaga yang lebih ahli.
2.3 RENCANA SISTEM RUJUKAN UNTUK MEMFASILITASI
TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI DARI MASYARAKAT KE
PUSKESMAS DAN ANTARA PUSKESMAS DAN RUMAH SAKIT
Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk
mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan sebagai
berikut:
1. Pra Bencana
Tahapan pra bencana ini merupakan tahapan manajemen bencana pada
kondisi sebelum kejadian atau pra bencana meliputi kesiagaan, peringatan
dini, dan mitigasi.
a. Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Membangun kesiagaan adalah unsur
penting, namun tidak mudah dilakukan karena menyangkut sikap mental
dan budaya serta disiplin di teman masyarakat. Kesiagaan adalah tahapan
yang paling strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota
masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana, melakukan
identifikasi, penentuan potensi bencana & pengelolaan lingkungan.
b. Peringatan dini, langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan terjadi sebelum kejadian seperti
banjir, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api atau badai terjadi,
melakukan penyuluhan, pelatihan dan simulasi mekanisme tanggap
darurat.
c. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi
bencana adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat suatu bencana, sehingga jelas bahwa mitigasi bersifat
pencegahan sebelum kejadian, pengorganisasian, pemasangan dan
pengujian sistem peringatan dini, penyiapan lokasi evakuasi dan
penyediaan bahan, barang dan perlatan pemenuhan kebutuhan dasar dan
pemulihan saran dan prasarana.
2. Saat Kejadian Bencana
Saat peringatan dini ataupun tanpa peringatan sekalipun namun bencana
tetap terjadi maka di situlah diperlukan langkah-langkah seperti tanggap
darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar
jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
a. Tanggap Darurat:
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan sarana dan
prasarana.Tanggap darurat adalah tindakan segera yang dilakukan untuk
mengatasi kejadian bencana. Tindakan ini dilakukan oleh tim
penanggulangan yang dibentuk di masing-masing daerah atau organisasi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam kondisi tanggap darurat
antara lain:
 Tahap kesiagaan
Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan diperkirakan tingkat
kerusakannya, melakukan pengecekan kebenaran informasi,
mendistribusikan informasi, penetapan organisasi tugas pengendali dan
organisasi tugas lapangan (penunjukan komandan/koordinator),
penyiapan penampungan sementara.
 Tahap Respon Awal
Penentuan status keadaan darurat bencana dapat diperkirakan tingkat
bencana sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika
tingkat bencana sangat besar dan berdampak luas, mungkin bencana
tersebut dapat digolongkan sebagai bencana nasional, melakukan
pengiriman tim awal (Tim Reaksi Cepat, Tim Tanggap Darurat, Rapid
Medical Assessment team (RHA), melakukan koordinasi lintas sektor
(Tim Rescue-Tim medik-Tim pendukung)
 Tahap perencanaan
Membuat perencanaan berdasarkan informasi (tahap 1 dan tahap 2),
menyesuaikan kebutuhan dan permasalahan dilapangan (SDM,
fasilitas, komunikasi dll).
 Tahap pengendalian operasi
Pemberangkatan team lapangan, pelaksanaan operasi pertolongan
dilapangan (penanganan korban cedera, korban meninggal dan
pengungsi), pelaksanaan evakuasi-trasportasi korban cedera yang
memerlukan pelayanan di rumah sakit, Pemenuhan kebutuhan dasar
seperti sandang, pangan papan, Perlindungan terhadap kelompok
rentan, yaitu anak-anak, orang tua, wanita, pasien rumah sakit, dan
warga yang dianggap lemah lainnya, pemulihan dengan segera sarana
dan prasarana vital seperti saluran telepon, jaringan listrik, air minum,
akses jalan.
2. Penanggulangan Bencana:
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus
menurut kognisi dan skala kejadian. Tim tanggap darurat diharapkan mampu
menangani segala bentuk bencana. Oleh karena itu tim tanggap darurat harus
diorganisir dan dirancang untuk dapat menangani berbagai jenis bencana.
3. Pembagian daerah kejadian
Ditempat kejadian atau musibah masal, selalu terbagi atas :
 Area 1 : Daerah Kejadian (Hot Zone/Red Zone)
Daerah terlarang kecuali untuk tugas penyelamat (rescue) yang sudah
memakai alat proteksi yang sudah benar dan sudah dapat ijin masuk dari
komandan area ini.
 Area 2 : Daerah Terbatas (Warm Zone/Yellow Zone)
Diluar area 1, hanya boleh dimasuki petugas khusus, seperti tim
kesehatan, dekontaminasi, petugas ataupun pasien. Pos komando utama
dan sektor kesehatan harus ada pada daerah ini.
 Area 3 : Daerah Bebas (Cold Zone/Green Zone)
Diluar area 2, tamu, wartawan, masyarakat umum dapat berada di zone
ini karena jaraknya sudah aman. Pengambilan keputusan untuk
pembagian area itu adalah komando utama
4. Pelayanan medis korban di lapangan
Pada saat terjadi bencana, biasanya kita melihat para petugas kesehatan
memberikan pita-pita dengan warna tertentu kepada para korban bencana. Itu
adalah proses yang dinamakan dengan Triase. Triase adalah proses khusus
pemilihan pasien berdasarkan beratnya cedera yang diderita korban untuk
menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi. Proses triase harus
terus dilakukan sepanjang kondisi darurat bencana dan diulang terus menerus
karena status triase pasien dapat berubah. Proses triase biasanya dilakukan oleh
petugas khusus kesehatan yang menangani korban bencana untuk memastikan
bahwa tindakan penyelamatan dilakukan dengan aman dan sesuai
prosedur.Pemberian label/triage pada para korban bencana dikelompokkan
berdasarkan prioritas tindakan yang harus dilakukan. Prioritas tindakan dibagi
ke dalam:
 Prioritas Nol (Hitam): korban meninggal atau cedera fatal yang jelas dan
tidak mungkin diresusitasi.
 Prioritas Pertama (Merah): korban cedera berat yang memerlukan tindakan
dan transport segera (misalnya gagal nafas, cedera kepala, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
 Prioritas Kedua (Kuning): korban dengan cedera yang dipastikan tidak
akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (misalnya cedera dada
tanpa gangguan pernafasan, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta
luka bakar ringan).
 Prioritas Ketiga (Hijau): korban dengan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera (misalnya cedera jaringan lunak, patah
tulang ringan, serta gawat darurat psikologis).
Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan penolong saat terjadi bencana:
1. Penolong pertama melakukan penilaian cepat tanpa menggunakan alat
atau melakuakan tindakan medis.
2. Panggil penderita yang dapat berjalan dan kumpulkan diarea
pengumpulan
3. Nilai penderita yang tidak dapat berjalan, mulai dari posisi terdekat
dengan penolong.
4. Inti Penilaian Triage Medis (TRIAGE dalam bencana memiliki 4 warna
Hitam (penderita sudah tidak dapat ditolong lagi/meninggal), Merah
(penderita mengalami kondisi kritis sehingga memerlukan penanganan
yang lebih kompleks), Kuning (kondisi penderita tidak kritis), Hijau
(penanganan pendirita yang memiliki kemungkinan hidup lebih besar.
Penderita tidak memiliki cedera serius sehingga dapat dibebaskan dari
TKP agar tidak menambah korban yang lebih banyak. Penderita yang
memiliki hidup lebih banyak harus diselamatkan terlebih dahulu).
Langkah 1: Respirasi
 Tidak bernapas, buka jalan napas, jika tetap tidak bernapas beri TAG
HITAM
 Pernfasan >30 kali /menit atau <10 kali /meni beri TAG MERAH
 Pernafasn 10-30 kali /menit: lanjutkan ke tahap berikut
Langkah 2: Cek perfusi (denyut nadi radial) atau capillary refill test (kuku
atau bibir kebiruan)
 Bila CRT > 2 detik: TAG MERAH
 Bila CRT < 2 detik: tahap berikutnya
 Bila tidak memungkinankan untu CRT (pencahayaan kurang), cek
nadi radial, bila tidak teraba/lemah; TAG MERAH
 Bila nadi radial teraba: tahap berikutnya
Langkah 3: Status Mental
 Berikan perintah sederhana kepada penderita, jika dapat mengikuti
perintah: TAG KUNING
 Bila tidak dapat mengikuti perintah: TAG MERAH
5. Penanganan di area rawat sementara/ RS Lapangan
6. Evakuasi/transportasi ke RS rujukan

3. Pasca Bencana
Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka
langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
1. Rehabilitasi:
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pasca bencana. Di tingkat industri atau perusahaan, fase rehabilitasi
dilakukan untuk mengembalikan jalannya operasi perusahaan seperti
sebelum terjadi bencana terjadi. Upaya rehabilitasi misalnya memperbaiki
peralatan yang rusak dan memulihkan jalannya perusahaan seperti semula.
2. Rekonstruksi:
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana,
kelembagaan pada wilayah pasca-bencana baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala kegiatan aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca-bencana. Proses rekonstruksi
tidak mudah dan memerlukan upaya keras dan terencana dan peran serta
semua anggota masyarakat.

Fasilitas yang Terkait dalam Darurat Bencana


1. Dinas Kesehatan Kabupaten
Peran dinkes kabupaten saat tanggap darurat bencana sejauh ini
adalah sebagai koordinator jejaring sektor kesehatan. Selain itu
penyediaan peralatan dan obat pun berada di bawah tanggung jawab
dinkes kabupaten walaupun dengan
2. Puskesmas
Dalam melaksanakan tugasnya, Puskesmas berada di bawah
koordinasi dinkes kabupaten. Hambatan yang dirasakan puskesmas
dalam memberikan pelayanan kesehatan tanggap darurat adalah belum
adanya koordinasi yang optimal antar lembaga terkait.
3. Rumah sakit umum daerah
Sistem pelayanan kesehatan tanggap darurat di tingkat RSUD adalah
sebagai tempat rujukan dari Puskesmas. Koordinasi dalam pemberian
pelayanan dilakukan di bawah Dinkes kabupaten. RSUD bersifat
sebagai tim statis yang mempersiapkan penanganan pasien rujukan.
Pada tahap awal kejadian bencana, RSUD mengirimkan tim kecil
(mobile team) ke lokasi bencana untuk memperoleh informasi mengenai
kebutuhan pelayanan kesehatan sesuai tipe akibat bencana yang terjadi.
Koordinasi pelayanan kesehatan yang dilakukan masih terbatas antara
RSUD dan puskesmas, sedang koordinasi dengan RS swasta, kodim,
polres dan lain-lain masih belum optimal.
Bencana dengan skala wilayah lokal dengan akibat tidak terlalu fatal,
biasanya sudah dapat diatasi oleh puskesmas tanpa merujuk ke RSUD.
Jika timbul risiko masalah kesehatan akibat bencana (misalnya KLB),
baru diambil alih oleh dinkes kabupaten dan koordinasi dengan RSUD
sebagai tempat rujukan. Koordinasi dengan lembaga terkait lainnya
sudah ada, tapi belum maksimal, sehingga cenderung bekerja sendiri-
sendiri. Terlalu luasnya suatu wilayah yang terjadi bencana merupakan
suatu hambatan. Contoh : saat terjadi bencana di Ciamis, secara
geografis dari Pangandaran ke Ciamis melewati Kabupaten Banjar.
Sehingga korban dilarikan ke RSUD Banjar karena lebih dekat,
akibatnya RSUD Ciamis hanya menangani pasien dengan penyakit
pasca-bencana.
Sistem rujukan saat Darurat Bencana
Kapan sistem rujukan untuk darurat kebidanan harus disediakan?
Sesegera mungkin, sistem rujukan, termasuk sarana komunikasi dan
transportasi, yang mendukung manajemen komplikasi kebidanan, harus
tersedia untuk digunakan oleh populasi pengungsi internal 24 jam sehari,
tujuh hari seminggu. Sistem rujukan harus memastikan bahwa wanita yang
mengalami komplikasi kehamilan atau kelahiran dirujuk dari masyarakat
ke fasilitas Pelayanan kesehatan dasar di mana Perawatan
Kegawatdaruratan kebidanan dasar (PONED) tersedia dan ke fasilitas
dengan layanan Kegawatdaruratan kebidanan komprehensif (PONEK).
Persyaratan apa yang dibutuhkan untuk sistem rujukan agar efektif
bekerja selama 24 jam dan 7 hari (24/7)?
1. Sistem rujukan harus memiliki transportasi sepanjang waktu.
Misalnya, apabila ada tenaga kesehatan yang meninggalkan kamp dan
membawa serta kendaraan atau ambulans bersamanya, ada transportasi
yang menggantikannya.
2. Sistem komunikasi harus dibangun agar apabila seorang wanita yang
hendak melahirkan dan mengalami komplikasi, seperti persalinan
macet, maka ia dapat mencapai fasilitas perawatan kesehatan. Dengan
adanya sistem komunikasi ini, tenaga kesehatan di lapangan bisa
berkonsultasi dengan tenaga yang lebih ahli apabila belum
memungkinkan untuk merujuk pasien karena faktor keamanan atau
akses ke fasilitas rujukan yang terputus.
3. Fasilitas rujukan harus memiliki staf yang memenuhi syarat, peralatan
dan supply medis untuk menangani kebutuhan ekstra yang diajukan
kepadanya oleh populasi pengungsi internal.

2.4 KETERSEDIAAN KIT PERSALINAN


Pada saat darurat bencana terdapat kit persalinan bersih individu yang isinya
terdiri dari peralatan sederhana seperti perlak, sabun cuci tangan, silet untuk
memotong tali pusat, tali untuk mengikat tali pusat, dll. Kit persalinan bersih
didistribusikan kepada ibu hamil yang akan melahirkan dalam waktu dekat
dengan pesan bahwa ibu hamil tetap harus melahirkan di tenaga ke sehatan. Kit
ini hanya dipakai pada saat kondisi darurat saja dimana ibu yang akan
melahirkan tersebut tidak bisa bertemu bidan atau puskesmas karena bencana
susulan, jalan terendam banjir, dll. Setidaknya ibu yang melahirkan itu memiliki
alat yang bersih untuk memotong tali pusat bayinya. Jadi kit persalinan bersih
tidak mempromosikan persalinan di rumah. Paket ini berisi materi yang sangat
mendasar: satu lembar seprai plastik atau alas, dua utas tali steril, satu pisau silet
yang bersih (baru dan terbungkus di dalam kertas asli), kasa, kapas, alkohol,
betadine, sebatang sabun, sepasang sarung tangan dan kain katun.

2.5 PERTOLONGAN PERSALINAN DALAM SITUASI DARURAT


BENCANA
Pelayanan persalinan merupakan pelayanan prioritas dalam kondisi bencana.
Proses melahirkan terdiri dari persalinan, kelahiran dan periode segera setelah
kelahiran. Proses ini harus terjadi di fasilitas kesehatan yang memastikan adanya
privasi, aman, khusus dan dilengkapi dengan pemenuhan alat serta petugas
kesehatan yang kompeten yang diperlukan dan transportasi serta komunikasi ke
rumah sakit rujukan untuk kegawatdarurat kebidanan dan neonatal. Petugas
kesehatan reproduksi harus memastikan bahwa semua fasilitas layanan memiliki
protokol klinis/Standar Operating Prosedur (SOP) serta tindakan kewaspadaan
standard terkait dengan penanganan limbah untuk cairan ketuban, darah dan
plasenta. Mencuci tangan dan kewaspadaan standard lainnya harus dilakukan Hal
yang perlu dilakukan pada pelayanan persalinan dalam kondisi bencana adalah :
1. Menilai kemajuan persalinan dengan menggunakan Partograf. Partograf harus
digunakan untuk setiap kelahiran untuk memantau kemajuan persalinan,
kondisi ibu dan fetus secara ketat serta sebagai alat bantu pembuatan
keputusan untuk penanganan lebih lanjut dari rujukan.
2. Pencegahan perdarahan pasca melahirkan Salah satu penyebab utama
kematian ibu adalah perdarahan pasca persalinan. Manajemen aktif kala tiga
akan mengurangi risiko plasenta tertahan dan perdarahan pasca melahirkan.
Petugas kesehatan kompeten harus melakukan manajemen aktif kala tiga ke
semua ibu. Tata laksana ini mencakup:
a. Pemberian obat uterotonika (oksitosin), kepada ibu dalam waktu satu menit
setelah kelahiran bayi.
b. Peregangan tali pusat terkendali
c. Masase uterus dari luar setelah plasenta dilahirkan oksitosin merupakan
uterotonika yang direkomendasikan untuk pencegahan dan perawatatan
perdarahan pasca persalinan atonik. Perlu diperhatikan kesulitan untuk
memastikan praktek penyuntikan aman dan ada tidaknya lemari pendingin
untuk penyimpanan oksitosin . Karena oksitosin mengalami penurunan
keaktifitasannya jika disimpan di atas suhu.
3. Pelayanan kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Selain perawatan esensial selama persalinan dan kelahiran, layanan
PONED harus dilakukan di tingkat pusat kesehatan masyarakat untuk
menangani komplikasi selama kelahiran termasuk masalah-masalah bayi baru
lahir, atau menstabilkan ibu sebelum dirujuk ke rumah sakit. Pastikan petugas
kesehatan telah terampil tentang prosedur penanganan kegawatdaruratan
kebidanan dan neonatal Informasikan protokol/ SOP secara luas tentang obat-
obatan, peralatan dan suplai tersedia di semua pusat kesehatan.
4. Seperti halnya kedaruratan maternal, kedaruratan neonatal tidak selalu dapat
diprediksi.
Misalnya, mungkin saja bayi tidak bernafas sehingga staf harus siap untuk
melakukan resusitasi neonatal disetiap persalinan. Lebih jauh lagi, komplikasi
ibu dapat menyebabkan bayi baru lahir terganggu secara bermakna sehingga
petugas kesehatan harus siap sebelum kelahiran terjadi.
5. Tanda bahaya pada kehamilan merupakan faktor penentu untuk melakukan
intervensi medis yang digunakan dalam menangani komplikasi kebidanan
yang merupakan penyebab utama kematian maternal di seluruh dunia.
Menggambarkan tanda bahaya terkait dengan layanan PONED dan PONEK.
Sejumlah layanan penting tidak disebutkan tetapi dimasukkan ke dalam tanda-
tanda bahaya ini. Misalnya, saat melakukan bedah sesar berarti tindakan
anestesi/ pembiusan harus diberikan.
Apabila situasi sudah mulai stabil dan memungkinkan, bisa dilaksanakan
pemberian pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang lain seperti ANC
dan PNC melalui pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif pada kondisi
norma.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 KESIMPULAN
Pelayanan persalinan merupakan pelayanan prioritas dalam kondisi
bencana. Proses melahirkan terdiri dari persalinan, kelahiran dan periode
segera setelah kelahiran. Proses ini harus terjadi di fasilitas kesehatan yang
memastikan adanya privasi, aman, khusus dan dilengkapi dengan pemenuhan
alat serta petugas kesehatan yang kompeten yang diperlukan dan transportasi
serta komunikasi ke rumah sakit rujukan untuk kegawatdarurat kebidanan dan
neonatal. Pastikan petugas kesehatan telah terampil tentang prosedur
penanganan kegawatdaruratan kebidanan dan neonatal Informasikan protokol/
SOP secara luas tentang obat-obatan, peralatan dan suplai tersedia di semua
pusat kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI. 2017. Pedoman Pelayanan : Paket Pelayanan Awal


Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi Pada Krisis Kesehatan. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI
Kristiana, Lusi dan Ristrini. 2013. SISTEM PELAYANAN KESEHATAN
TANGGAP DARURAT
DI KABUPATEN CIAMIS. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 16(3). 297–304.
Ardhy.2018. Pertemuan 2 mitigasi bencana alam siklus penanggulangan bencana
alam. https://www.slideshare.net/ardhymuhfir/pertemuan-2-mitigasi-bencana-alam-
siklus-penanggulangan-bencana-alam (diakses tanggal 31 Oktober 2019)
Adiyanto, Dwi. Managemen Gawat Darurat.
https://www.academia.edu/17081731/managemen_gawat_darurat (diakses tanggal 31
0ktober 2019)
Mahardika, Dio dan Endang Larasati. MANAJEMEN BENCANA OLEH BADAN
PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) DALAM
MENANGGULANGI BANJIR DI KOTA SEMARANG.
Prameswari, Nila. MAKALAH KEPERAWATAN GADAR DAN MANAJEMEN
BENCANA BENCANA ALAM DAN PENANGANAN KLB
https://gustinerz.com/cara-cepat-menilai-triage-pada-korban-bencana/2/ (diakses
tanggal 31 Oktober 2019)
http://swaragunungkidul.com/tanggap-darurat-bencana-3-apa-itu-triase-management-
camp-dan-trauma-relief/ (diakses tanggal 31 Oktober 2019)

Anda mungkin juga menyukai