Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di dalam
rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya melibatkan
tenaga
medis maupun non medis termasuk masyarakat awam. Pada pertolongan
pertama yang cepat dan tepat akan menyebabkan pasien/korban dapat tetap
bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut.
Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita yang
memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang
mengancam nyawa,sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat,
tepat, cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk
memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus diklasifikasikan
termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak
darurat dan meninggal.
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana
pasien
berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik
adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di
rongga abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen
kasus-kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya
perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun saluran
cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi
korban atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita
perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada system pencernaan
secara cepat,cermat dan tepat sehingga hal-hal tersebut dapat kita hindari.

BABII
PEMBAHASAN

A. DEFINISI PERDARAHAN SALURAN CERNA DAN


TRAUMA ABDOMEN
Perdarahan saluran cerna yaitu perdarahan yang bisa terjadi dimana saja
di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa
ditemukannya darah dalam tinja atau muntah darah,tetapi gejala bisa juga
tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu. Saluran
perncernaan dibagi menjadi 2 yaitu, perdarahan saluran cerna bagian atas
dan saluran cerna bagian bawah. Saluran cerna bagian atas ( upper GI )
meliputi : mulut, faring, esophagus dan lambung. Sedangkan saluran cerna
bagian bawah ( lower GI) meliputi : usus halus dan usus besar sampai anus.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja
(Smeltzer, 2001 : 2476 )
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).
B. ETIOLOGI
1. Perdarahaan saluran cerna
Perdarahan saluran cerna bagian atas ( upper GI ) umumnya dapat
disebabkan antara lain :
a. Ulkus peptikum
b. Varises esophagus pada hipertensi portal
c. Gastritis erosive atau ulseratif :
ü Alcohol dalam jumlah besar
ü Obat-obatan : salisilat, fenilbutazon, indometasin,
kortikosteroid, reserpin dosis besar (oral/parenteral).
ü Stress berat : penyakit intracranial, luka bakar, sepsis.
d. Lain-lain : esofagitis, karsinoma lambung ( biasanya bersifat
perdarahan kronik ), ruptura aneurisma aorta, laserasi hepar
( hemobilia ), uremi.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah ( lower GI) umumnya
disebabkan antara lain:
a. Lesi daerah anus : hemoroid, fisura ani, fistula ani.
b. Penyakit rectum dan usus besar : karsinoma, polip, radang
( colitis ulseratif, penyakit crohn, amuba ) dan divertikulum.
c. Penyakit jejunum dan ileum : volvulus, enterokolitis nekrotikans (
keduanya pada bayi baru lahir ), invaginasi ( bayi dan anak-anak <
2 tahun ), divertikulum Meckel (perdarahan banyak dan berulang
pada anak dan dewasa muda), tifoid.

2. Trauma tumpul abdomen


Dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau
sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).

C. PATOFISIOLOGI
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas
ü Ulkus peptikum, perdarahan pada ulkus peptikum merupakan
manifestasi yang utama dari penyakit ini .
ü Gastritis erosive tjd org yg mengkonsumsi alkohol & obat-obat
antiinflamasi dpt menyebabkan terjadinya erosi lambung. Erosi
lambung juga terjadi pada orang yang mengalami trauma berat,
pembedahan, & penyakit sistemik yang berat.7
ü Varises & gastropati hipertensi portal, terjado secara
mendadak disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi
sekunder akibat sirosis hepar, kemudian akan menyebabkan
perdarahan varises.
ü Ruptur mukosa esofagogastrika (Sindrom Mallory Weiss),
perdarahan disebabkan karena laserasi mukosa.

2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah


ü Lesi pd anus & rectum, perdarahan dapat terjadi karena feses
yang mengeras sehingga defekasi dilakukan dengan mengejan.
Trauma rectum & msuknya benda asing dalam rectum juga
dapat menyebabkan terjadinya hematochezia.
ü Lesi pada colon, perdarahan terjadi karena karsinoma
maupun polip pada colon.
3. Trauma tumpul
Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju)
biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma
tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel,
seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ
berongga. (Sorensen, 1987)
Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen adalah :

ü Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan
oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian
atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia
segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula
timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut
abdomen karena perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses,
maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera
dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan,
peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini
dapat menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.
ü Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak)
dapat menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena
robekan pada trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan
ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma
tumpul biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma
tumpul lebih sulit dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih
pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan
secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus
dilakukan untuk menghentikan perdarahan tersebut. Sebagai
contoh adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari
limpa. Dalam taraf pertama darah akan berkumpul dalam sakus
lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan peritoneal
belum ada sama sekali.
Dalam hal ini sebagai pedoman untuk menentukan limpa
robek(ruptur lienalis) adalah:
• Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
• Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
• Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10 garis aksiler
depan kiri.

Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus → Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang


dari
dan eloktrolit kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Saluran pencernaan
Gambaran kliniknya berbeda-beda tergantung pada :
ü Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
ü Kecepatan dan jumlah perdarahan
ü Keadaan penderita sebelum perdarahan
Hematemesis ialah dimuntahkannya darah dari mulut, darah dapat
berasal dari saluran cerna bagian atas atau darah dari luar yang
tertelan (epistaksis, hemoptisis, ekstraksi gigi, tonsilektomi).
Tergantung pada lamanya kontak dengan asam lambung, darah dapat
berwarna merah, coklat atau hitam. Biasanya tercampur sisa makanan
dan bereaksi asam.
Melena ialah feces berwarna hitam seperti ter karena tercampur
darah ;umumnya terjadi akibat perdarahan saluran cerna bagian atas
yang lebih dari 50-100ml dan biasanya disertai hematemesis. Melana
tanpa hematemesis terjadi pada perdarahan jejunum atau ileum
asalkan perjalanannya dalam usus lambat. Biasanya melena
berlangsung 1-3 hari, lalu berangsur normal meskipun darah samar
mungkin menetap sampai 3-8 hari (perdarahan <50 ml, diketahui
dengan tes benzidin).
Hematokezia ialah keluarnya darah segar dari anus umumya terjadi
akibat perdarahan saluran cerna bagian bawah. Dapat juga
disebabkan perdarahan saluran cerna bagian atas yang besar dan
cepat disalurkan melalui usus.
2. Trauma tumpul
Gambaran kliniknya antara lain :
ü Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat.
Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat
nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
ü Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
ü Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
ü Mual dan muntah
ü Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal
shock hemoragi

E. PROSEDUR DIAGNOSTIK
1. Perdarahan saluran pencernaan bagian atas
ü Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
Dilakukan anmnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita
lamah atau kesadaran menurun maka dapat diambil aloanamnesis.
Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu, misalnya hepatitis,
penyakit hati menahun, alkoholisme, penyakit lambung, pemakaian
obat-obat ulserogenik dan penyakit darah seperti: leukemia dan
lain-lain. Biasanya pada perdarahan saluran makan bagian atas
yang disebabkan pecahnya varises esofagus tidak dijumpai
adanya keluhan rasa nyeri atau pedih di daerah epigastrium dan
gejala hematemesis timbul secara mendadak. Dari hasil
anamnesis sudah dapat diperkirakan jumlah perdarahan yang
keluar dengan memakai takara yang praktis seperti berapa gelas,
berapa kaleng dan lain-lain. Pemeriksaan fisik penderita
perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu diperhatikan
adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-
tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera
diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau
kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi
portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti,
eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites,
hepatosplenomegali dan edema tungkai. Pemeriksaan
laboratorium seperti kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit,
sediaan darah hapus, golongan darah dan uji fungsi hati segera
dilakukan secara berkala untuk dapat mengikuti perkembangan
penderita.

ü Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan
esofagogram untuk daerah esofagus dan diteruskan dengan
pemeriksaan double contrast pada lambung dan duodenum.
emeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi terutama pada
daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan fundus lambung untuk
mencari ada/tidaknya varises. Untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan, dianjurkan pemeriksaan radiologik ini sedini mungkin,
dan sebaiknya segera setelah hematemesis berhenti.
ü Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka
pemeriksaan secara endoskopik menjadi sangat penting untuk
menentukan dengan tepat tempat asal dan sumber perdarahan.
Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat
dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi, aspirasi cairan,
dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan
saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung,
pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau
sedini mungkin setelah hematemesis berhenti.
ü Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat
mendeteksi penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin
sebagai penyebab perdarahan saluran makan bagian atas.
Pemeriksaan ini memerlukan peralatan dan tenaga khusus yang
sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja.

2. Trauma tumpul
ü Riwayat
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari
penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans,
polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan
dengan usaha resusitasi.
ü Penemuan
Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal menimbulkan rasa
nyeri tekan, dan rigiditas otot, pada daerah terjadinya rembesan
darah atau isi perut. Tanda-tanda ini dapat belum timbul hingga 12
jam atau lebih pasca trauma, sehingga kadanga-kadang diperlukan
pengamatan yang terus-menerus yang lebih lama. Nyeri yang
berasal dari otot dan tulang, mungkin malah tak terdapat tanda-
tanda objektif yang dapat menunjukan perlukaan viseral yang luas.
Fraktur pada iga bagian bawah sering kali menyertai perlukaan
pada hati dan limpa. Pemeriksaan rektum secaga digital, dapat
menimbulkan adanya darah pada feses
ü Test Laboratorium
Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis leukosit, dan
urinalisis, sedangkan test lainnya dilakukan bila diperlukan. Nilai-
nilai amilase urine, dan serum dapat membantu untuk menentukan
adanya perlukaan pankreas atau perforasi usus.
ü Foto Sinar X
· Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya udara
bebas intraperitoneal, obliterasi bayangan psoas, dan
penemuan-penemuan lainnya yang pada umunya tak khas.
Fraktur prosesus transversalis menunjukan adanya trauma
hebat, dan harus mengingatkan kita pada kemungkinan adanya
perlukaan viseral yang hebat.
· Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga,
hematotorak, pnemotorak, atau lainnya yang berhubungan
dengan perlukaan thorak
· Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan foto
thorak sinar X tengkorak, pelvis, dan anggota gerak lainnya.
· Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila terdapat
hematuria.
· Foto sinar X dengan kontras pada saluran pencernaan atas
dan bawah, diperlukan pada kasus tertentu.
· C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa
kasus, tetapi inibelim banyak dilakukan.
· Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang perlukaan
pada limpa, hati, dan pakreas. Pada kenyataanya, angiografi
abdominal jarang dilakukan.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)


Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dibagi atas:
a. Penatalaksanaan umum/suportif
b. Penatalaksanaan khusus
c. Usaha menghilangkan faktor agresif
d. Usaha meningkatkan faktor defensif
e. Penatalaksanaan bedah

a. Penatalaksanaan umum atau suportif


Penatalaksanaan ini memperbaiki keadaan umum dan tanda vital.
Yang paling penting pada pasien perdarahan SCBA adalah
memberikan resusitasi pada waktu pertama kali datang ke rumah sakit.
Kita harus secepatnya memasang infus untuk pemberian cairan
kristaloid (seperti NaCL 0.9% dan lainnya) ataupun koloid (plasma
expander) sambil menunggu darah dengan/tanpa komponen darah
lainnya bila diperlukan. Selang nasogastrik perlu dipasang untuk
memonitor apakah perdarahan memang berasal dari SCBA dan
apakah masih aktif berdarah atau tidak dengan melakukan bilasan
lambung tiap 6 jam sampai jernih.
Pasien harus diperiksa darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit
dan trombosit) tiap 6 jam untuk memonitor aktifitas perdarahan.
Sebaiknya bila dicurigai adanya kelainan pembekuan darah
seperti Disseminated Intravascular Coagullation (DIC) dan lainnya,
harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah seperti masa
perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, APTT, masa
trombin, Burr Cell, D dimmer dan lainnya. Bila terdapat kelainan
pembekuan darah harus diobati sesuai kelainannya. Pada penderita
dengan hipertensi portal dimana perdarahan disebabkan pecahnya
varises esofagus dapat diberikan obat somatostatin atau oktreotide.
Pada perdarahan non varises yang masif,
dapat juga diberikan somatostatin atau oktroetide tetapi jangka pendek
1-2 hari saja. Pada prinsipnya, urutan penatalaksanaan perdarahan
SCBA dapat mengikuti anjuran algoritme penatalaksanaan dari
Konsensus Nasional Indonesia atau Palmer atau Triadapafilopoulos.
Selain pengobatan pada pasien perdarahan perlu diperhatikan
pemberian nutrisi yang optimal sesegera mungkin bila pasien sudah
tidak perlu dipuasakan lagi , dan mengobati kelainan kejiwaan/psikis
bila ada dan memberikan edukasi mengenai penyakit pada pasien dan
keluarga misal memberi tahu mengenai penyebab perdarahan dan
bagaimana cara-cara pencegahaan agar tidak mengalami perdarahan
lagi.
b. Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan khusus merupakan penatalaksanaan hemostatik
perendoskopik atau terapi embolisasi arteri.
Terapi hemostatik perendoskopik yang diberikan pada pecah varises
esofagus yaitu tindakan skleroterapi varises perendoskopik (STE) dan
ligasi varises perendoskopik (LVE). Pada perdarahan karena kelainan
non varises, dilakukan suntikan adrenalin di sekitar tukak atau lesi dan
dapat dilanjutkan dengan suntikan etoksi-sklerol atau obat fibrinogen-
trombin atau dilakukan terapi koagulasi listrik atau koagulasi
dengan heat probe atau terapi laser, atau koagulasi dengan bipolar
probe atau yang paling baik yaitu hemostatik dengan terapi metal clip.
Bila pengobatan konservatif, hemostatik endoskopik gagal atau
kelainan berasal dari usus halus dimana skop tak dapat masuk dapat
dilakukan terapi embolisasi arteri yang memperdarahi daerah ulkus.
Terapi ini dilakukan oleh dokter spesialis radiologi intervensional.
c. Usaha menghilangkan faktor agresif
Usaha yang diperlukan untuk menghilangkan faktor agresif pada
perdarahan SCBA karena kelainan non varises antara lain :
a. Memperbaiki/menghindari faktor predisposisi atau risiko seperti gizi,
stres, lingkungan, sosioekonomi
b. Menghindari/menghentikan paparan bahan atau zat yang agresif
seperti asam, cuka, OAINS, rokok, kortikosteroid dan lainnya
c. Memberikan obat yang dapat mengurangi asam lambung seperti
antasida, antimuskarinik, penghambat reseptor H2 (H2RA),
penghambat pompa proton (PPI). PPI diberikan per injeksi bolus intra
vena 2-3 kali 40 mg/hari atau bolus intra vena 80 mg dilanjutkan
kontinu infus drip 8 mg/jam selama 12 jam kemudian intra vena 4
mg/jam sampai 5 hari atau sampai perdarahan berhenti lalu diganti oral
1-2 bulan. Alasan mengapa PPI diindikasikan pada perdarahan non
varises, karena PPI dapat menaikkan pH diatas 6 sehingga
menyebabkan bekuan darah yang terbentuk tetap stabil, tidak lisis
d. Memberikan obat eradikasi kuman Helicobacter pylori dapat berupa
terapi tripel dan terapi kuadrupel selama 1- 2 minggu :
Terapi tripel :
1. PPI + amoksisilin + klaritromisin
2. PPI + metronidazol + klaritromisin
3. PPI + metronidazol + tetrasiklin
Terapi kuadrupel, bila tripel gagal :
1. Bismuth + PPI + amoksisilin + klaritromisin
2. Bismuth + PPI + metronidazol + klaritromisin
3. Bismuth + PPI + tetrasiklin + metronidazole (untuk daerah
resistensi tinggi klaritromisin)
d. Usaha meningkatkan faktor defensif
Usaha ini dilakukan dengan memberikan obat-0bat yang meningkatkan
faktor defensif selama 4 – 8 minggu antara lain :
a. Sukralfat 3 kali 500-1000 mg per hari
b. Cetraxate 4 kali 200 mg per hari
c. Bismuth subsitrat 2 kali 2 tablet per hari
d. Prostaglandin eksogen 2-3 kali 1 tablet per hari
e. Tephrenone 3 kali 50 mg per hari
f. Rebamipide 3 kali 100 mg per hari
e. Penatalaksanaan bedah/operatif
Penatalaksanaan bedah/operatif merupakan penatalaksanaan yang
cukup penting bila penatalaksanaan konservatif dan khusus gagal atau
memang sudah ada komplikasi yang merupakan indikasi pembedahan.
Biasanya pembedahan dilakukan bila pasien masuk dalam :

a. Keadaan gawat I sampai II


b. Komplikasi stenosis pilorus-duodenum, perforasi, tukak
duodenum refrakter
Yang dimaksud dengan gawat I adalah bila perdarahan SCBA dalam 8
jam pertama membutuhkan darah untuk transfusi sebanyak 2 liter,
sedangkan gawat II adalah bila dalam 24 jam pertama setelah gawat I
pasien masih membutuhkan darah untuk transfusi sebanyak 2 liter.
2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah ( SCBB )
Penatalaksanaan perdarahan SCBB tentunya akan bervariasi tergantung
pada penyebab atau lesi sumber perdarahan, dampak hemodinamik yang
telah terjadi pada waktu masuk rumah sakit, pola perdarahan yang bersifat
akut atau telah berlangsung lama/kronik.
Riwayat Penyakit
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur dengan feses
(seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau terpisah/menetes
(terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat gejala sistemik lainnya
seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat badan (kanker),
perubahan pola defekasi (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema,
angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura,
disentri). Apakah kejadian ini bersifat akut, pertama kali atau berulang, atau kronik,
akan membantu ke arah dugaan penyebab atau sumber perdarahan.

Pemeriksaan Fisik
Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi postural (Tilt
test). Jangan lupa colok dubur untuk menilai sifat darah yang keluar dan ada
tidaknya kelainan pada anus (hemoroid interna, tumor rektum). Pemeriksaan fisis
abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia mesenterial),
rangsang peritoneal (divertikulitis), massa intraabdomen (tumor kolon, amuboma,
penyakit Crohn). Pemeriksaan sistemik lainnya: adanya artritis (inflammatory bowel
disease), demam (kolitis infeksi), gizi buruk (kanker), penyakit jantung koroner (kolitis
iskemia).
Laboratorium
Segera harus dinilai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan kalau
sarana lengkap waktu protrombin. Laboratorium lain sesuai indikasi. Penilaian hasil
laboratorium harus disesuaikan dengan keadaan klinis yang ada. Penilaian kadar
hemoglobin dan hematokrit, misalnya pada perdarahan akut dan masif, akan
berdampak pada kebijakan pilihan jenis darah yang akan diberikan pada proses
resusitasi.
Anoskopi/Rektoskopi
Pada umumnya dapat segera mengetahui sumber perdarahan tersebut bila berasal
dari perdarahan hemoroid interna atau adanya tumor rektum. Dapat dikerjakan tanpa
persiapan yang optimal.
Sigmoidoskopi
Perdarahan dari sigmoid (misalnya tumor sigmoid) masih mungkin dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan ini dengan hanya persiapan laksan enema (YAL)
atau klisma, mengingat darah dalam lumen usus itu sendiri sudah bersifat laksan.
Kolonoskopi
Pada keadaan yang bersifat elektif dengan persiapan yang optimal, pemeriksaan ini
dapat dengan relatif mudah mengidentifikasi sumber perdarahan di seluruh bagian
kolon sampai ileum terminal. Tetapi pada keadaan perdarahan aktif, lumen usus
penuh darah (terutama bekuan darah), maka lapang pandang kolonoskop akan
terhambat. Diperlukan usaha yang berat untuk membersihkan lumen kolon secara
kolonoskopi. Sering sekali lumen skop tersumbat total sehingga pemeriksaan harus
dihentikan. Tidak jarang hanya dapat menyumbangkan informasi adanya demarkasi
atau batas antara lumen kolon yang bersih dari darah dan diambil kesimpulan bahwa
letak sumber perdarahan di distal demarkasi tersebut
Push Enteroskopi
Pemeriksaan ini dilakukan melalui SCBA dan melewati ligamentum Treitz serta dapat
mengidentifikasi perdarahan pada usus kecil. Sarana ini masih sangat jarang di
Indonesia.
Barium Enema (colon in loop)
Pada keadaan perdarahan akut dan emergensi, pemeriksaan ini tidak mempunyai
peran. Bahkan kontras yang ada akan memperlambat rencana pemeriksaan
kolonoskopi (kontras barium potensial dapat menyumbat saluran pada skop) atau
skintigrafi (kontras barium akan mengacaukan interpretasi) bila diperlukan. Serta
tidak ada tambahan manfaat terapeutik. Tetapi pada keadaan yang elektif,
pemeriksaan ini mampu mengidentifikasi berbagai lesi yang dapat diprakirakan
sebagai sumber perdarahan (tidak dapat menentukan sumber perdarahan).
Angiografi/Arteriografi
Injeksi zat kontras lewat kanul yang dimasukkan melalui arteri femoralis dan arteri
mesenterika superior atau inferior, memungkinkan visualisasi lokasi sumber
perdarahan. Dengan teknik ini biasanya perdarahan arterial dapat terdeteksi bila
lebih dari 0,5 ml per menit. Arteriografi dapat dilanjutkan dengan embolisasi
terapeutik pada pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan.

Blood Flow Scintigraphy (Nuclear Scintigraphy)


Darah pasien diambil dan dilabel dengan zat radioaktif (99m.technitium), kemudian
dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Darah yang berlabel tersebut akan bersirkulasi
dan keluar pada daerah/lokasi lesi. Tehnik ini dilaporkan dapat mendeteksi
perdarahan yang relatif sedikit (0,1 ml per menit). Scanning diambil pada jam 1 dan 4
setelah injeksi darah berlabel serta 24 jam setelah itu atau sesuai dengan prakiraan
terjadinya perdarahan. Sehingga dapat mendeteksi perdarahan yang bersifat
intermiten dengan cara mengambil scanning pada jam-jam tertentu.
Operasi Laparatomi Eksplorasi
Tentunya proses operasi secara langsung dapat mengidentifikasi sumber
perdarahan. Tetapi masalahnya adalah kapan tindakan ini akan dilakukan sebagai
modalitas diagnostik sekaligus terapeutik, bagaimana pertimbangan toleransi operasi
bagi pasien dan sejauh mana kemudahan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
durante operasi. Secara nyata dalam praktek penatalaksanaannya di rumah sakit,
hal ini sering menimbulkan kontroversi. Keadaan ini membutuhkan koordinasi
multidisiplin yang terkait. Pada dasarnya laparatomi eksplorasi diindikasikan bila
perdarahan hebat yang tidak dapat diatasi secara konservatif. Perdarahan berulang
pada keadaan yang sudah teridentifikasi sumber perdarahan pada pemeriksaan
kolonoskopi, arteriografi, atau scanning, juga tidak memerlukan intervensi operasi.
Risiko operasi akan menurun bila pada operasi tersebut dapat dilakukan identifikasi
sumber perdarahan per kolonoskopik, baik sebelum maupun durante operasi.
3. Trauma tumpul abdomen
ü Abdominal paracentesis
Menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium,
merupakan indikasi untuk laparotomi.
ü Pemeriksaan laparoskopi
Mengetahui secara langsung penyebab abdomen akut.
ü Pemasangan NGT
Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma
abdomen.
ü Pemberian antibiotik
Mencegah infeksi.
ü Laparotomi

OCT

25

ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MILLITUS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan sistem endokrin merupakan suatu gangguan sistem tubuh yang
melibatkan banyak aspek. Hal ini disebabkan sistem endokrin dipertimbangkan sebagai salah
satu sistem tubuh yang kompleks. Diabetes Melitus sebagai salah satu gangguan sistem
endokrin disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara persediaan dan kebutuhan
insulin. Ada beberapa jenis DM, tetapi umumnya hanya dua kategori yang dikenal yaitu
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM, Tipe I) dan Non Insulin Independent Diabetes
Melitus) (NIDDM, Tipe II). Kemajuan ilmu dan teknologi telah memberikan dampak positif
dan negatif dalam kehidupan manusia. Salah satu dampak negatif tersebut adalah
meningkatnya jumlah klien dengan DM akibat perubahan pola hidup. Di USA, jumlah klien
DM telah meningkat tajam dimana terdapat 8 juta orang mengalami NIDDM, dan 1 juta
orang mengalami IDDM serta kemungkinan lebih dari 4 juta orang yang belum terdiagnosa
(Golemon dan Gurin 1993). Menurut Black dan Matassarin Jacob (1997) jumlah keseluruhan
klien dengan DM adalah 114 juta, tetapi separuh dari jumlah itu belum terdiagnosa.
Peningkatan ini juga diyakini telah terjadi di Indonesia.
Perawat berada pada posisi tepat untuk terlibat dalam berbagai aspek pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada klien DM. Perawat perlu berpartisipasi secara aktif dari
sejak pengkajian sampai dengan evaluasi tindakan. Oleh karena itu, peran tenaga
keperawatan dalam memberikan keperawatan pada klien ini menjadi sangat penting terutama
setelah diagnosis ditegakkan agar komplikasi yang serius tidak terjadi, seperti salah satu
contoh gangguan saraf tepi dengan gejala berupa kesemutan, terutama pada kaki di waktu
malam sehingga mengganggu tidur, selain itu juga disertai gangguan penglihatan dan
kelainan kulit berupa gatal/bisul.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memperdalam pengertian dan pengetahuan tentang proses keperawatan pada
pasien dengan DM.
2. Mengamati secara adekuat dan memberikan asuhan keperawatan secara holistik
pada pasien dengan DM.
3. Meningkatkan kemampuan perawat dalam menciptakan hubungan yang terapeutik
dengan pasien dan keluarga.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan kasus ini, penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap
pasien yang meliputi: wawancara, observasi maupun catatan yang dilengkapi dengan studi
kepustakaan yang ada hubungannya dengan penyakit DM.

D. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar dan daftar isi, kemudian
dilanjutkan dengan Bab I Pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan, sistematika penulisan. Bab III Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep
medik, yang terdiri dari definisi, klasifikasi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda
dan gejala, pemeriksaan diagnostik, komplikasi dan penatalaksanaan medik, konsep asuhan
keperawatan terdiri atas: pengkajian, diagnosa, perencanaan, discharge planning,
patoflowdiagram. Bab III memuat pengamatan kasus, yang berisikan pengkajian, diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Bab IV Pembahasan kasus, Bab V Kesimpulan dan
diakhiri dengan daftar pustaka.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP MEDIK

1. Definisi
Diabetes Melitus adalah merupakan penyakit metabolik kronik yang terjadi akibat
kurangnya produksi insulin dengan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, protein
dan lemak. (Medical Surgical Nursing, Brunner and Suddarth, 1998).
Diabetes Melitus adalah sekumpulan penyakit genetik dan gangguan heterogen yang
secara klinis ditandai dengan ketidaknormalan dalam keseimbangan kadar glukosa yaitu
hiperglikemia (Lewis, 2000, hal. 1367).

2. Klasifikasi
Berdasarkan tipe, Diabetes Melitus terbagi atas :
a. DM Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
- Disebut juga Juvenile Diabetes, berkembang pada masa kanak-kanak dan
sebelum usia 30 tahun.
- Memerlukan therapi insulin karena pankreas tidak dapat memproduksi
insulin atau produksinya sangat sedikit.
b. DM Tipe II : Non Insulin Independent Diabetes Melitus (NIDDM)
- Biasanya terjadi di atas usia 35 tahun ke atas.
- Terjadi resistensi terhadap kerja insulin normal karena interaksi insulin
dengan reseptor. Insulin pada sel kurang efektif sehingga glukosa tidak dapat
masuk sel dan berkurangnya produksi insulin relatif.

4. Etiologi
DM Tipe I :
a. Faktor genetik
Terjadi pada individu yang memiliki HLA (Human Leukosit Antigen) yang
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas transplantasi dan proses
imun.
b. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta. (Masih dalam proses penelitian).
c. Faktor imunologi
Terdapat respon autoimun yang merupakan respon abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan yang
dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.

DM Tipe II :
a. Faktor genetik: memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin.
b. Faktor usia: resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun.
c. Obesitas: berkaitan dengan resistensi insulin, maka kemungkinan besar
terjadi gangguan toleransi glukosa.
5. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta di pulau langerhans.
Insulin diproduksi terus menerus sesuai tingkat kadar glukosa dalam darah. Pada
penderita DM produksi insulin terganggu atau tidak diproduksi. Defisiensi insulin
mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk sel melalui siklus krebs dan akan
mengakibatkan sel mengakomodasi protein dan lemak dari jaringan adipose untuk
dipakai sebagai sumber energi. Pemecahan ini akan menghasilkan zat sisa berupa
urea dan keton sehingga menimbulkan ketoasidosis.
Pada DM Tipe I (IDDM) adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dan gejala yang pada akhirnya menuju pada proses tahap kerusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin, yaitu kerusakan pada sel langerhans
sehingga terjadi penurunan sekresi atau defisiensi insulin sehingga metabolisme
insulin menjadi terganggu. Bila sekresi insulin berkurang atau tidak ada, maka
konsentrasi glukosa dalam darah akan meningkat (hiperglikemia), keadaan
hiperglikemia menyebabkan tekanan extra sel meningkat, karena peningkatan
tekanan ini sehingga cairan dari ekstrasel ditarik ke dalam darah sehingga terjadi
gangguan reabsorbsi pada ginjal sehingga kemampuan reabsorbsi melebihi batas
ambang ginjal dan akan tampak glukosuria akibat dari ginjal tidak dapat menyaring
semua glukosa yang keluar, ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam
urin. Ekskresi ini akan disertai dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan (diuresis osmotik) sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan,
pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia). Pasien mengalami penurunan berat badan akibat defisiensi insulin
menyebabkan gangguan metabolisme protein dan lemak. Oleh karena menurunnya
simpanan kalori pasien mengalami banyak makan (polifagia). Dalam keadaan
normal insulin mengendalikan glukogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru) yang dapat menyebabkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang akan
mengakibatkan peningkatan produksi keton dengan tanda dan gejala : nyeri
abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas bau aseton, bila tidak ditangani dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran bahkan kematian. Pemecahan lemak yang
tidak sempurna akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dan
menimbulkan aterosklerosis yang memvasokonstriksi pembuluh darah yang
membuat tahanan perifer meningkat akhirnya terjadi peningkatan tekanan darah.
Aterosklerosis menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh terganggu, pada organ
ginjal akan terlihat adanya proteinuria, hipertensi mencetuskan hilangnya fungsi
ginjal dan terjadi insufisiensi ginjal. Pada organ mata terjadi pandangan kabur.
Sirkulasi ekstremitas bawah yang buruk mengakibatkan neuropati perifer dengan
gejala antara lain : kesemutan, parastesia, baal, penurunan sensitivitas terhadap
panas dan dingin. Akibat lain dari gangguan sirkulasi ekstremitas bawah yaitu
lamanya penyembuhan luka karena kurangnya O2 dan ketidakmampuan fagositosis
dari leukosit yang mengakibatkan gangren. DM Tipe II (NIDDM) terjadi resistensi
insulin dan gangguan sirkulasi insulin yang secara normal akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel.
Resistensi insulin pada tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa
oleh jaringan.

6. Tanda dan Gejala


DM Tipe I :
a. Poliuria, polidipsia terjadi akibat konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan yang disebut diuresis
osmotik.
b. Polifagia : akibat menurunnya simpanan kalori dan defisiensi insulin
mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan.
c. Kelelahan dan kelemahan.
d. Nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton,
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian yaitu akibat dari ketoasidosis,
yang merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh bila
jumlahnya berlebihan.

DM Tipe II :
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lama dan progresif maka DM Tipe II
dapat berjalan tanpa terdeteksi dengan gejala ringan seperti :
a. Kelelahan
b. Iritabilitas
c. Poliuria
d. Polidipsia
e. Luka pada kulit yang lama sembuh
f. Luka pada kulit yang lama sembuh
g. Infeksi vagina
h. Pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi sekali).

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan kadar gula darah :
- Gula darah puasa di atas 140 mg/dl.
- Gula darah sewaktu di atas 200 mg/dl
- Gula darah 2 jam PP lebih dari 200 mg/dl
- Tes toleransi glukosa lebih dari 200 mg/dl
- HBAIC (Glucosated Haemoglobin AIC) meningkat yaitu terikatnya
glukosa dengan Hb. (Normal : 3,8-8,4 mg/dl).
- Urinalisa : glukosuria dan keton uria.

8. Komplikasi
DM Tipe I
- DKA (Diabetik Ketoasidosis) : gangguan metabolik yang berat, ditandai
dengan adanya hiperglikemia, hiperosmolaritas dan asidosis metabolik terjadi
akibat lipolisis yang hasil metabolisme akhirnya adalah badan keton.
DM Tipe II :
- HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik)
Terjadi jika asupan cairan kurang dan dehidrasi, memungkinkan resiko
terjadinya koma. Dehidrasi terjadi akibat hiperglikemia, sehingga cairan intrasel
berpindah dan ke ekstrasel. Juga karena diuresis osmotik (konsentrasi glukosa
darah melebihi ambang ginjal) dapat terjadi kehilangan cairan dan elektrolit
dalam jumlah yang besar.
a. Perubahan makrovaskuler
Penderita diabetes dapat mengakibatkan perubahan aterosklerosis pada arteri-
arteri besar. Penderita NIDDM mengalami perubahan makrovaskuler lebih
sering daripada penderita IDDM. Insulin memainkan peranan utama dalam
metabolisme lemak dan lipid. Selain itu, diabetes dianggap memberikan
peranan sebagai faktor dalam timbulnya hipertensi yang dapat mempercepat
aterosklerosis. Pengecilan lumen pembuluh darah besar membahayakan
pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan dan dapat menyebabkan ischemia
jaringan, dengan akibatnya timbul berupa penyakit cerebro vascular, penyakit
arteri koroner, stenosis arteri renalis dan penyakit-penyakit vascular perifer.
b. Perubahan mikrovaskuler
Ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran basal pembuluh kapiler,
sering terjadi pada penderita IDDM dan bertanggung jawab dalam terjadinya
neuropati, retinopati diabetik.
1) Nefropati
Salah satu akibat dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan struktur
dan fungsi ginjal. Empat jenis lesi yang sering timbul adalah pyelonefritis,
lesi-lesi glomerulus, arterisclerosis, lesi-lesi tubular yang ditandai dengan
adanya proteinuria yang meningkat secara bertahap sesuai dengan beratnya
penyakit.

2) Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi saraf-saraf perifer, sistem syaraf otonom,
medula spinalis atau sistim saraf pusat.
Neuropati sensorik/neuropati perifer.
Lebih sering mengenai ekstremitas bawah dengan gejala parastesia (rasa
tertusuk-tusuk, kesemutan atau baal) dan rasa terbakar terutama pada malam
hari, penurunan fungsi proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta
gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat
menimbulkan gaya berjalan yang terhuyung-huyung, penurunan sensibilitas
nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami
cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui.
3) Retinopati diabetik
Disebabkan karena perubahan dalam pembuluh darah kecil pada retina
selain retinopati, penderita diabetes juga dapat mengalami pembentukan
katarak yang diakibatkan hiperglikemi yang berkepanjangan sehingga
menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.

9. Therapi dan Penatalaksanaan Medis


a. Diet
Ditujukan pada pengaturan jumlah kalori dan KH yang dimakan setiap hari.
Jumlah kalori yang dianjurkan tergantung pada kebutuhan untuk
mempertahankan mengurangi atau mencegah obesitas.
b. Latihan, berfungsi :
1) Menurunkan kadar gula dalam darah dengan meningkatkan
metabolisme.
2) Mempermudah transportasi glukosa untuk masuk ke dalam sel.
Yang perlu diperhatikan pada terapi aktifitas :
· Jangan mulai olahraga jika kadar gula darah rendah.
· Jangan menggunakan sepatu yang sempit, karena luka sekecil apapun
menimbulkan komplikasi yang parah.
c. Obat
1) Obat hipoglikemia oral.
Bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan yang
tersimpan.
2) Insulin
Reseptor insulin mempunyai 2 fungsi utama :
· Membedakan bahan lain dengan insulin kemudian mengikatnya
dengan cepat.
· Pembentukan kompleks reseptor insulin akan merangsang
rangkaian kejadian intraseluler yang kemudian mengarah terjadinya
efek insulin yang karakteristik.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Post Operasi
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
- Riwayat keluarga penderita DM.
- BB turun pada DM Tipe I.
- Obesitas pada DM Tipe II.
- Biasa terjadi pada usia di bawah 30 tahun pada DM Tipe I.
- Terjadi di atas usia 35 tahun pada DM Tipe II.
b. Pola nutrisi metabolik
- Polifagia
- Polidipsi
- Mual, muntah
- Berat badan turun atau obesitas.
c. Pola eliminasi
- Poliuria
- Berkemih pada malam hari.
d. Pola aktivitas - latihan
- Keluhan tiba-tiba lemas, cepat lelah.
- Kurang olahraga
- Kram otot.
e. Pola tidur dan istirahat
- Gangguan pola tidur karena nokturia.
f. Pola persepsi kognitif
- Pusing/hipotensi.
- Nyeri daerah luka operasi/gangguan post amputasi.
- Baal, kesemutan pada ekstremitas bawah, keluhan gatal.
- Nyeri abdomen.
- Pandangan kabur.
g. Pola persepsi diri - konsep diri
- Cemas akan luka yang lama sembuh.
- Mekanisme koping yang tidak efektif : cemas tentang penyakitnya.
h. Pola peran dan hubungan sesama
- Hubungan dengan keluarga
- Hubungan dengan suami istri.
i. Pola reproduksi - seksual
- Impotensi pada pria
- Riwayat libido menurun.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor
insulin dan insulin yang resisten.
b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran daerah
arterial.
c. Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik tentang proses penyakit,
pencegahan, pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
vaskularisasi/gangguan sirkulasi.
e. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi.
f. Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan osmotik diuresis.
g. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula dalam
darah dan adanya luka post operasi.
h. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
penurunan aliran darah serebral yang disebabkan adanya aterosklerosis.
i. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan sistemik berhubungan dengan
peningkatan tahanan perifer, aterosklerosis.

3. Perencanaan Keperawatan
a. Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor insulin
dan insulin yang resisten.
Hasil Yang Diharapkan :
- Tidak terjadi hipo/hiperglikemi.
- Kadar gula darah dalam batas normal : GDS < 140 mg/dl, Gula darah 2 jam PP
< 200 mg/dl.
Intervensi :
1. Kaji intake makanan pasien.
Rasional : Untuk melihat atau indikasi terjadinya hipoglikemi bila
makanan yang dihidangkan tidak habis.
2. Beri makan sesuai diet.
Rasional : Mencegah terjadinya hipoglikemi/hiperglikemi.
3. Amati dan kaji tanda dan gejala hipo/hiperglikemi : pucat, keringat dingin, sakit
kepala, gemetaran, cenderung tidur,
Rasional : Reaksi insulin dapat terjadi secara tiba-tiba yaitu hipo/
hiperglikemi yang dapat berakibat fatal.
4. Monitor dan catat kadar gula darah perifer, glukosuria.
Rasional : Menentukan diagnosa dan perencanaan keperawatan
selanjutnya.
5. Beri dan pertahankan pemberian cairan melalui IV (NaCl 0,9%).
Rasional : Hiperglikemi menyebabkan dehidrasi yang berhubungan
dengan efek hiperosmolar.
6. Beri insulin atau therapi peroral.
Rasional : Insulin meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel dan
menurunkan glukoneogenesis.
b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah
arterial.
Hasil Yang Diharapkan :
Klien menunjukkan kesadaran tentang faktor-faktor keamanan/perawatan kaki yang tepat,
permukaan kulit utuh.
Intervensi :
1. Tinggikan kaki saat duduk di kursi, hindari periode penekanan yang lama pada
kaki yang cedera.
Rasional : Meminimalkan gangguan aliran darah.
2. Anjurkan pasien untuk menghindari baju atau kaos kaki yang ketat dan sepatu
yang sempit.
Rasional : Gangguan sirkulasi dan penurunan sensasi nyeri dapat
menyebabkan kerusakan jaringan.
3. Kaji tanda dehidrasi, pantau intake dan output cairan, anjurkan cairan peroral.
Rasional : Glukosuria dapat mengakibatkan dehidrasi yang
menurunkan volume sirkulasi dan selanjutnya mengakibatkan
perubahan perfusi perifer.
4. Jaga luka jahitan tetap bersih dan kering.
Rasional : Daerah insisi yang bersih dan kering mengurangi resiko
infeksi sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.

c. Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik tentang proses penyakit, pencegahan,


pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Hasil Yang Diharapkan :
Pengetahuan klien meningkat dalam waktu 1 hari dengan kriteria klien dapat menjelaskan
kembali tentang perawatan luka operasi, dan pencegahan-pencegahan yang harus
dilakukan.
Intervensi :
1. Beri penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai latar belakang
pendidikan klien.
Rasional : Bahasa yang mudah dimengerti membantu dalam
pemahaman klien.
2. Jelaskan pada klien tentang perawatan luka operasi.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan/pemahaman klien tentang
perawatan luka operasi.
3. Jelaskan pada pasien pentingnya pengobatan yang teratur.
Rasional : Mencegah terjadinya hipo/hiperglikemi.
4. Tekankan pentingnya aktifitas dan latihan.
Rasional : Latihan menstimulasi metabolisme karbohidrat,
menstabilkan berat badan.

d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan vaskularisasi/gangguan


sirkulasi.
Hasil Yang Diharapkan :
Tidak ada kemerahan di sekitar kulit, luka jahitan bersih dan tidak ada tanda-tanda
infeksi.
Intervensi :
1. Kaji daerah sekitar kulit.
Rasional : Pengkajian terus menerus secara berkesinambungan
memudahkan deteksi awal jika terjadi gangguan dalam proses
penyembuhan luka.
2. Jaga luka jahitan tetap bersih dan kering.
Rasional : Daerah operasi yang bersih dan kering mengurangi resiko
infeksi sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.
3. Gunakan tehnik aseptik dalam merawat luka.
Rasional : Mencegah infeksi silang dan mencegah transmisi infeksi
bakterial pada luka operasi.
4. Beri terapi antibiotik sesuai program medik.
Rasional : Menurunkan jumlah organisme.

e. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi.


Hasil Yang Diharapkan :
Nyeri berkurang dalam waktu 3 hari dengan kriteria ekspresi wajah tampak rileks, tidak
kesakitan, klien dapat beristirahat.
Intervensi :
1. Kaji keluhan dan karakteristik nyeri (intensitas dan lokasi) dan skala 0-10.
Rasional : Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
2. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : Perubahan TTV menunjukkan intensitas nyeri yang tinggi.
3. Anjurkan dan ajarkan tehnik relaksasi.
Rasional : Mengurangi rasa nyeri.
4. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Lingkungan yang tenang membantu mengurangi stress
akibat nyeri.
5. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.
Rasional : Analgetik membantu mengurangi nyeri.

f. Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan osmotik diuresis.


Hasil Yang Diharapkan :
Klien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ditandai dengan : mukosa lembab, TTV
dalam batas normal. TD. 120/80 mmHg, Sh. 36-37 oC.
Intervensi :
1. Observasi TTV tiap 4 jam.
Rasional : Hipovolemik mengakibatkan hipoksia dan takikardia.
2. Kaji membran kulit/membran mukosa dan pengisian kapiler.
Rasional : Mengetahui hidrasi sirkulasi tubuh yang adekuat.
3. Kaji tanda-tanda hipovolemik glukosa darah kurang atau sama dengan 60 mg/dl.
Rasional : mendeteksi tanda hipoglikemia : pucat, takikardia, lapar,
palpitasi, lemah, gemetar, pandangan kabur.
4. Pertahankan pemasukan cairan : 2,5-3 liter/hari.
Rasional : memenuhi status cairan dalam tubuh.
5. Kolaborasi tim medik untuk pemeriksaan SE.
Rasional : penurunan SE mengindikasikan adanya kekurangan
elektrolit.

g. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula darah dengan
adanya luka post operasi.
Hasil Yang Diharapkan :
Mencegah atau mengurangi infeksi.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda infeksi seperti : demam, nyeri, merah.
Rasional : Infeksi akan memperlambat proses penyembuhan.
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.
Rasional : untuk mencegah resiko kontaminasi silang.
3. Berikan perawatan kulit dan teratur, jaga kulit tetap kering.
Rasional : sirkulasi perifer bisa terjadi yang menempatkan klien pada
resiko terjadinya kerusakan pada kulit dan infeksi.
4. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian antibiotik.
Rasional : mencegah infeksi lebih lanjut.

4. Discharge Planning
a. Memotivasi pasien untuk mematuhi diet yang sudah ditetapkan yakni rendah
lemak, rendah glukosa, tinggi serat sebagai cara efektif untuk mengendalikan lemak
darah, gula darah dan kolesterol.
b. Menjelaskan tanda-tanda hipoglikemia (kadar gula darah turun) seperti
mengantuk, bingung, lemas, keringat dingin, mual, muntah.
c. Menjelaskan pentingnya merawat kaki dan mencegah luka seperti tidak
memakai sepatu yang sempit, harus memakai alas kaki, hindari kulit yang lembab.
d. Jaga luka tetap bersih dan kering.
e. Hindari penekanan yang lama pada kaki yang luka.
f. Menganjurkan untuk tetap kontrol gula darah secara rutin.
g. Menganjurkan untuk tetap kontrol gula darah secara rutin.
h. Menjelaskan jangan menghentikan terapi obat tanpa konsultasi dengan dokter.
i. Minum obat secara teratur.
j. Informasikan kepada klien tentang perawatan kaki :
- Anjurkan/jelaskan pada k lien dan keluarga untuk membersihkan kaki
dengan sabun terutama di sela-sela setiap jari.
- Potong kuku jari kaki mengikuti lekungan jari kaki, jangan memotong kuku
berbentuk lurus pada tepinya karena dapat menyebabkan tekanan pada jari-jari
yang berdekatan.
- Hati-hati saat mengikir tepi kuku yang kasar untuk mencegah kerusakan
kuku.
- Hindari merendam kaki berlama-lama, hindari merendam dengan air panas.
- Gunakan pelembab untuk kulit yang kering.
- Pakai kaos kaki yang terawat dari bahan yang berkualitas baik.
- Hindari menyilangkan kaki saat duduk.
- Anjurkan klien untuk melakukan latihan kaki untuk mempertahankan
sirkulasi.
l. Informasikan kepada klien mengenai alas kaki.
- Hindari berjalan tanpa alas kaki.
- Anjurkan klien untuk memakai sepatu yang pas, tidak sempit.
- Periksa sepatu setiap hari dari benda asing, bagian yang kasar.
- Hindari memakai kaos kaki yang sempit.
- Ganti sepatu bila sudah rusak.
- Gunakan sepatu yang terbuat dari bahan yang menyerap.
BAB III
PENGAMATAN KASUS

1. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas klien
Klien bernama Ny. L umur 57 tahun. Sudah menikah, beragama islam, suku bangsa
betawi. Pendidikan terakhir SLTP, bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa
indonesia, pekerjaan ibu di rumah tangga, Alamat CBA Rt 03/Rw 03 No.126,
sumber biaya dirumah sakit adalah ASKES.

2. Resume
Klien tiba di ruang SYIFA kamar 5 dari Intalasi Gawat Darurat pada tanggal 14
februari 2012 pukul 13 WIB dengan diagnosa Diabetes Militus. Keadaan umum
lemah kesadaran compos mentis, klien mengeluh lemas, mual,dan muntah serta ada
luka di kaki sebelah kanan. Dilakukan pemeriksasan tanda – tanda vital, hasil TD
150/60 mmhg, ND 100x/ menit. Rr: 20 x/ menit, S 39 C, pemeriksaan labolatorium
Hb :6,8 Gr/ dl (12-14 gr/dl), laekusit 18.600/ul (5000- 10 000./ ul), hematokrit : 21 %
(37-43 %), Trombosit : 397.000 (150.000- 450.000/ul), ureum : 66 mg/dl (10-50
mg/dl ), creatinin : 1,5 mg/dl ( 0,5- 1,5 mg/dl ), GDS : 524 mg/dl (<200 mg/dl)
terapi yang di berikan adalah IV asering 16 tetes/ menis sesuai intruksi dari dokter .
inj Ceftriakson 2x1 gr. PCT 3x500 mg, inj rantin 2x1 amp, antasid sirup 3x1 , cek
GDS, diet DM :1700 kal. Masalah keperawatan yang timbul adalah gangguan
keseimbangan cairan dan gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. Tindakan keperawatan yang yang telah di lakukan adalah Obs.
Tanda- tanda vital, mengkaji intake dan Output, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat dan pemberian cairan pariental. Evaluasi keperawatan, tujuan belum
tercapai, tindakan keperawatan di lanjutkan.

3. Riwayat keoerawatan :

1. Riwayak kesehatan sekarang


Klien di rawat dengan keluhan lemas, dan ada luka pada kaki sebalah kanan,
faktor pencetusnya peningkatan glukosa dalam darah. timbulnya keluhan
bertahap kurang lebih selama 5 tahun (DM) . Upaya mangatasi adalah dengan
pergi kerumah sakit.
2. Riwayat Kesehatan Masa lalu.
Klien tidak memiliki masalah alergi. Pernah dirawat di rumah sakit sebelum ini.
Klien mempunyai riwayat penyakit diabetes sejak 5 tahun yang lalu.
3. Riwayak kesehatan keluarga genogram.
4. Riwayat fisikososial dan spiritual.
Orang yang terdekat dengan klien adalah anak-anak klien dan suami klien.
Interaksi dalam keluarga baik, klien mengikuti kegiatan kemasyarakatan, jika
klien mempuyai maslah, hal yang dilakukan klien adalah mencoba untuk
menyelesaikannya dampak penyakit klien terhadap keluarga adalah keluarga
menjadi cemas. Dan klien ingin cepat sembuh.
5. Persepsi klien terhadap penyakitnya.
Klien mengerti dengan panyakit yang di derita. Hal dirasakan saat ini klien
merasa lemas. Makaanisme kopping terhadap stres dengan cara memecahkan
maslah. Dan klien optimis ingin cepet pulang.
6. Sistem nilai kepercayaan.
Tidak ada nilai- nilai yang berkesehatan pada klien aktivitas agama yang di
lakukan klien, klien banyak- banyak berdoa.
7. Kondisi rumah klien.
Klien saat ini tenggal di lingkungan yang baik dan bersih.
8. Pola kebiasaan sehari-hari sebalum sakit.
a. Nutrisi.
Pola nutrisi baik makan 3x sehari, nafsu makan baik, tidak ada alergi
terhadap makanan atau pantangan. Dan tidak ada makann yang tidak di
sukai.
b. Pola eleminasi.
Pola buang air kecil 7x/ hari, berwarna kuning jernih. Todak ada keluhan
menggunakan dan tidak menggunakan alat bantu.

c. Pola personal hygiene.


Mandi frekwensi 2x sehari dan menggunakan sabun. Oral hygiene
frekwensi 2x sehari. Waktunya pagi sore. Cuci rambut 3x seminggu
manggunakan shampoo.
d. Pola istirahat tidur.
Sebelum saklin klien biasa tidur siang 1 jam/ hari. Tidur malam kurang
lebih 8 jam/ hari
e. Pola aktivitas
Klien adalah ibu rumah tangga, klien tidak pernah barolahraga.
Dan kegiatan waktu luang klien adalah beristirahat.
f. Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Klien tidak pernah merokok dan minum-minuman keras.serta tidak
tergantung obat.
9. Pola kabiasaan di rumah sakit.
a. Pola nutrisi
Pola nurtrisi tidak baik. Makan 3x sehari nafsu makan tidak baik makan
habis 1/2 posri, tidak ada makan yang tidak di sukai, tidak ada alergi
terhadap makanan atau pantangan.diet DM makan biasa 1700 kalori.
b. Pola personal hygiene
Klien mandi 1 kali seharidi pagi hari oral hygiene 1x/ hari dibantu oleh
anak-anaknya.
c. Pola istirahat dan tidur.
Lama tidur kurang lebih 8 jam klien melakukan tidur siang kurang lebih
1 jam.
d. Pola aktifitas.
Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti buang air kecilklien
dibantu oleh anaknya.

4. Pengkajian fisik

a. Pemerikasan fisik umum.


Pola pemeriksaan fisik umum tidak di temukan kelainan. Berat badan klien 59 kg.
Tinggi badan klien 155 cm. Keadaan umum sakit sedang dan tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening.
b. Sistem penglihatan
Posisi mata simetris. Kelopakmata normal, pergerakan mata normal
konjungtiva ananemis. Skela mata anikterik. Pupil isokor. Otot mata tidak ada
kelainan, fungsi penglihatan kurang baik, klien tidak manggunakan kaca mata.
c. Sistem pendengaran
Daun telinga normal tidak sakit, cairan dalam telinga tidak ada darah, perasaan
penuh dalam telinga tidak ada tinitus tidak ada pendengaran normal. Tidak
menggunakan alat bantu dengar.
d. Sistem pernapasan
Tidak ada kelainan dalam pola napas. Frekwensi napas 20 x/ menit. Irama
teratur,kadalaman dalam, suara napas vesikuler. Keadaan dada simetris.
e. Sistem kadiovaskular.
Tekanan darah : 180/110 mmhg, iram Teratur, nadi : 88 x/ menit. Tempratur kulit
hangat, pengisian kapiler 3 detik. Klien mengalami edema di area wajah. Tangan
dan kaki tidak ada kelainan. pada sirkulasi jantung. Kecepatan denyut apikal 80 x
/ menit.irama teratur. Tidak ada kelainan bunyi jantung, klien tidak mengeluh
sakit pada dada.

f. Sistem hematologi.
Klien tidak pucat dan tidak mengalami perdarahan. Hasil labolatorium : Hb 11,0
g/dl. Leukosit 11.500 /ul (5000- 10000/ul) hematokrit 35 % (37 -43%) trombosit
370.000 (150.000- 450.000 /ul).
g. Sistem syaraf pusat
Kesadaran klien kompos mentis ( GCS =15) E : 4. M : 6 V: 5
Reflek fisiologis tidak normal. Kaki klien sering merasa kesemutan.
h. Sistem pencernaan
Pada sistem pencernaan klien di dapat bahwa gigi klien tampak bersih, tidak ada
karies gigi. Tida manggunakan gigi palsu.saliva normal. Klien tidak mengalami
muntah dan tidak nyeri pada daerah perut.bising usus 12 x/ menit.tidak
mengalami diare, warna feses kuning konsistensi lembek.hepar tidak teraba.
i. Sisitem endokrin.
Napas tidak berbau keton tidak terjadi poliuri, polidipsi dan poliphagi, terdapat
luka ulkus di kaki kanan.warna kulit sekitar luka terlihat kehitaman.
j. Sistem Urogenital.
BAK berwarna kuning jernih. Balance cairan intake 2855 ml output 2495 ml.
Terjadi perubahan pola berkemih.klien sedang buang air kecil. Tidak ada keluhan
sakit pinggang.
k. Sisitem integument
Sistem integument, turgor kulit buruk, temperature hangat, warna kulit kehitaman,
keadaan adanya ulkus di kaki sebelah kanan kondisi cukup baik, kondisi kulit di
daerah pemasangan infuse baik dan tidak ada tanda – tanda infeksi (kalor, dolor,
rubor, tumor, fungsiolesa), infuse dipasang datangan sebelah kanan RL 20 tetes/menit
sejak dua hari yang lalu, tekstur rambut baik, kebersihan rambut kurang.
l. Sistem musculoskeletal
Tidak ada kelainan pergerakkan, tidak ada fraktur, keadadan tonus otot normal,
kekuatan otot

5. Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium darah, Hb : 11,0 g/dl (N 12 – 14 g/dl), leukosit : 11.500 /
µl ( N 5000 – 1000 /µl ), Hematokrit : 35 % ( 37 – 43 % ) Trombosit : 370.000
( 150.000 -450.000). dalakukan pemeriksaan GDS hasilnya GDS : 289 (<200mg/dl)
6. Penatalaksanaan
Terapi yang didapatkan IV RL 20 tetes/menit dilengan sebelah kanan, Paracetamol 3x500
mg, Antacid syrup 3x1, Captropil 3x12,5 mg, OMZ 2x1Capsul, Clindamycin 2x300 mg,
diit DM makan biasa 1700 kalori

7. Data fokus
Data subyektif Data Obyektif

- klien mengatakan - kesadaran composmetis


bengkak pada wajah serta - observasiTTV : TD :
kedua tangan dan kaki 180/110 mmHg, ND :
- klien mengatakan mual 88X/menit, SH : 37,5◦C, Rr :
20x/menit
- tampak mukosa bibir
kering
- tampak ada luka dikaki
sebelah kanan
- kondisi luka basa
- luka terdapat pus
- warna merah dan putih
pada jaringan
- diameter luka 3 cm
- kedalaman luka 1 cm
- terdapat oedema pada
wajah
- tangan dan kaki
- waenakulit sekitar luka
kehitaman
- temperature kulit hangat
- suara nafas vesikuler
- diet DM makan biasa
1700 kalori
- makan habis ⅟₂porsi
- berat badan sebelum sakit
53 kg
- lingkar perut 114 cm
- therapy yang
diberikan IVFD RL 16
tets/menit
- paracetamol 3x500 mg
- Antacid syrup 3x1
- Captropil 3x12,5 mg
- OMZ 2X1 Caps
- Clindamycin 2x300 mg
- Hasil pemeriksaan
laboratorium darah : Hb 11.0
g/dl,(N 12-14 g/dl),
- Leukosit : 11.50 /µl ( N
5000-10000/µl),
- Hematokrit : 35% (37-43
%),
- Trombosit : 370.000
(150.000-450.000).
- dilakukan pemeriksaan
GSD hasilnya GSD : 289
(<200 mg/dl).

Analisa Data
No. Data Masalah Etiologi
1 DS.: Kelebihan Penurunan
DO : - Terdapat oedem volume cairan plasma protein
- Intake : 2855 ml
- Output 2495 ml
- Balance : 360 ml
- Lingkar perut : 114 cm
- Hasil lab:
- 289 mg/ dl (<200 mg/dl)
- Hasil Lab Albumin : 2,5 (3,5 -5,2 g/dl)
- Hasil Lab 03 Juni
2010 Haemoglobin : 11,0 g/dl(N
12-14 ) Leukosit : 11.500 /µl (N 5000 –
10000
/µl ), Hematokrit :
35% (37 -43 % ) Trombosit :
370.000 (150.000 –
450.000) Obs.
TTV TD :
180/110 mmHg ND :
88X/menit SH :
37,5◦C RR : 20
x/menit

2 DS : Penurunan Kontraktilitas
DO : - Obs.TTV Curah Jantung Tekanan darah
-TD : 180/110 mmHg Meningkat
-ND : 88 x/menit
-SH : 37,5◦C
- RR : 20 x/menit

3 DS : Klien mengeluh mual Perubahan Penurunan


DO : - Tampak makan habis ⅟₂ porsi nutrisi kurang masukan oral,
-BB sebelum sakit : 59 kg dari kebutuhan ketidak
-BB ideal : 49,5 kg tubuh cukupan
- Tinggi badan : 155 cm insulin atau
status
hipermetabolik
4 DS : Klien mengatakan ada luka pada kaki kanan yang Resiko tinggi Peningkatan
belum sembuh perluasan Luka kadar Glukosa
DO : - Tampak Ulkus pada kaki sebelah kanan Infeksi
- Diameter luka : 3 cm
- Kedalaman luka : 1 cm
- Keadadn luka basah terdapat pus
- Warna merah dan putih pada jaringan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah
- Hb : 11.0
g/dl Leukosit :
11.500 /µl Hematokrit :
35% Trombosit : 370.000
- dilakukanpemeriksaan GDS
Hasilnya GDS :
289 (<200 mg/dl )

B. Diagnosa Keperawatan ( sesuai prioritas )

Bardasarkan data di atas maka dapat di rumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :

1. Kelebihan volume cairan barhubungan dengan penurunan plasma protein


2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas tekanan
darah meningkat
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
masukan oral. Kecukupan insulin atau status hipermetabolik
4. Resiko tinngi perluasan luka infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar
glukosa

C. Perencanaan, Pelaksanaan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan plasma protein

Data subyektif : -
Data obyektif : terdapat oedem, intake 2885
ml, output 2495ml, balance 360 ml, lingkar perut 114
cm . hasil lab gds 289 mg/dl (<200 mg/dl),hasil lab
albumin 2,5 g/dl (3,5- 5,2 g/dl) hasil lab Hb 11,0 g/dl
(N 12- 14 g/dl ) leukosit 11.500/ul (N 5000-10.000/ul )
Ht 35 % (37-43 %) Tr 370.000 (150.000-450.000)
Tujuan : setelah di lakukan tindakan
keperawatan 3x 24jam di harapkan volume cairan
seimbang.
Kreteria hasil : intak output seimbang,Gds
normal tidak ada oedem lingkar perut normal, albumin
dalam batas normal.
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Monitor intake output
c. Kaji turgor kulit
d. Ukur lingkar perut setiap hari
e. Monitor hasil labolatorium.
f. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena.

Pelaksanaan Keperawatan
Tanggal 15 Februari 2012
Pukul 09.00 Melakukan observasi tanda-tanda vital.
Hasil : TD : 180/110 mmhg , Nadi : 88x/menit , Suhu : 37,5◦C , Rr :
24x/menit.
Pukul 10.30 Mengkaji intake dan output.
Hasil : Intake 2855 ml , output 2495 ml, balance 360 ml.
Pukul 11.00 Mengukur lingkar perut.
Hasil : 114 cm.
Pukul 11.40 Mengkaji turgor kulit.
Hasil : turgor kulit buruk
Tanggal 16 Februari 2012
Pukul 07.40 Melakukan observasi tanda – tanda vital .
Hasil : TD : 150/180 mmhg , Nadi : 80x/menit , Suhu : 38◦C, Rr :
22x/ Menit .
Pukul 08.20 Memonitor hasil Lab.
Hasil : GDS : 197 mg/dl
Pukul 09.00 Mengkaji intake dan output.
Hasil : Intake : 2855 , Output : 2295, balance 560ml.
Pukul 10.00 Mengambil darah vena sebanyak 5 cc untuk
pemeriksaan protein, globulin, albumin.
Hasil : Darah terambil sebanyak 5 cc.
Tanggal 17 Februari 2012
Pukul 09.00 Melakukan observasi tanda – tanda vital .
Hasil : TD : 130/80 mmhg , Nadi : 80x/ menit, Suhu : 37◦C , Rr :
20x/ menit.
Pukul 10.00 Memonitor hasil Lab.
Hasil : Protein 5,7 (6,0-8,7 g/dl), Albumin 2,5 (3,5-5,2 g/dl),
Globulin 3,2 (2,5-3,1 mg/dl), GDS : 197 (<200 mg/dl).
Pukul 11.00 Mengukur Lingkar perut .
Hasil : Lingkar perut 103 cm.

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas


tekanan darah meningkat
Data Subyektif :
Data Obyektif : Obs. TTV TD 180/110 mmhg, Nadi
88x/menit, Suhu 37,5◦C, Rr 20x/menit
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
Keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
Penurunan curah jantung tidak terjadi.
Kriteria Hasil : TTV Normal
Intervensi : a. Observasi TTV
b. Ciptakan lingkungan nyaman
c. Motivasi dan dukung klien untuk menghilangkan
stress
d.Berikan captopryl 3x12,5 mg
Pelaksanaan Keperawatan
Tanggal 15 Februari 2012
Pukul 09.00 Melakukan observasi tanda-tanda vital
Hasil : TD 180/110 mmhg, Suhu 37,5◦C, Rr 24x/menit
Pukul 11.30 Menganjurkan klien untuk banyak istrahat
Hasil : Klien mengikuti anjuran perawat
Pukul 12.10 Memberikan obat Catopril 12,5 mg
Hasil : Obat diminum sesuai pengobatan
Tanggal 16 Februari 2012
Pukul 07.40 Melakukan observasi tanda-tanda vital
Hasil : TD 150/180 mmhg , Nadi 80x/menit, Suhu 38◦C ,Rr 22x/menit
Pukul 11.30 Menganjurkan klien untuk banyak istrahat
Hasil : Klien mengikuti anjuran perawat
Pukul 12.20 Memberikan obat Catopril 12,5 mg
Hasil : Obat diminum sesuai pengobatan
Tanggal 17 Februari 2012
Pukul 09.00 Melakukan observasi tanda-tanda vital
Hasil : TD 130/80mmhg, Nadi 80x/menit, Suhu 37◦C, Rr 20x/menit
Pukul 11.30 Menganjurkan klien untuk banyak istrahat
Hasil : Klien mengikuti anjuran perawat
Pukul 12.10 Memberikan obat Catopril 12,5 mg
Hasil : Obat diminum sesuai pengobatan

3. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan penurunan masukkan oral,ketidakcukupan insulin atau status
hipermetabolik
Data Subyektif : Klien mengeluh mual
Data Obyektif : Tampak makan habis ½ porsi, BB
sebelum sakit 59 kg, setelah sakit menjadi 53 kg, BB
ideal 49,5 kg
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan
nutrisi teratasi.
Kriteria Hasil : Mual hilang , BB normal, Makan habis 1 porsi
Intervensi :
- Sajikan makanan dalam keadaan hangat
- Beri makan porsi kecil tetapi sering
- Sajikan makanan dalam bentuk bervariasi
sesuai dietnya
- Motivasi klien untuk menghabiskan
makanannya
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian
diet DM (MB 1700 kalori)
Pelaksanaan Keperawatan
Tanggal 15 februari 2012
Pukul 12.00 Menyajikan makanan dalam keadaan hangat.
Hasil : klien habis makan ½ porsi
Pukul 12.05 Memotivasi klien untuk menghabiskan makanannya
Hasil : klien makan ½ porsi

Tanggal 16 Februari 2012


Pukul 11.50 Menyajikan makanan dalam keadaan hangat
Hasil : klien makan habis ¼ porsi
Pukul 11.55 Memotivasi klien untuk menghabiskan makanannya
Hasil : klien makan ¼ porsi

Tanggal 17 Februari 2012


Pukul 12.10 Menyajikan makanan dalam keadaan hangat
Hasil : klien makan ½ porsi
Pukul 12.15 Memotivasi klien untuk menghabiskan makanannya
Hasil : klien makanan setengah porsi

4. Resiko tinggi perluasan luka infeksi berhubungan dengan


peningkatan kadar glukosa
Data Subyektif : Klien mengatakan
ada luka pada kaki kanan yang belum sembuh
Data Obyektif : Ada Ulkus pada
kaki kanan, Diameter luka : 3 cm, Kedalaman
luka : 1 cm,Keadaan luka :
basah,Terdapat pus,Warna merah dan putih
pada jaringan, Hasil pemeriksaan laboratorium
darah pada tanggal 3 februari 2012 , Hb : 11,0
g/dl, leukosit : 11.500/ul, Hematokrit : 35%,
Trombosit : 370.000. Pada tanggal 15 februari
2012 dilakukan pemeriksaan gula darah
sewaktu, hasilnya : GDS : 289(<200 mg/dl).
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : Infeksi tidak terjadi, luka sembuh .
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Kaji tanda perluasan infeksi
c. Lakukan perawatan luka 2x/hari
d. Pertahankan tehnik Aseptic dan antiseptic pada perawatan
luka
e. Berikan terapi sesuai program Clindamycin 2x300mg

Pelaksanaan Keperawatan
Tanggal 15 Februari 2012
Pukul 09.00 Melakukan observasi tanda-tanda vital.
Hasil : TD : 180/110 mmhg , Nadi: 88x/menit, Suhu : 37,5◦C, Rr :
20x/menit
Pukul 10.00 Melakukan perawatan luka.
Hasil : Luka bersih tertutup perban.
Pukul 12.10 Memberikan obat Clindamycin 300 mg.
Hasil : Obat diminum sesuai program pengobatan
Tanggal 16 Februari 2012
Pukul 07.40 Melakukan observasii tanda-tanda vital
Hasil : TD :150/80 mmhg, Nadi : 80x/menit, Suhu : 38◦C, Rr : 20x/menit
Pukul 10.30 Melakukan perawatan luka
Hasil : Luka bersih tertutup perban.
Pukul 12.20 Memberikan obat Clindamycin 300 mg.
Hasil : Obat diminum sesuai program pengobatan

Tanggal 17 Februari 2012


Pukul 09.00 Melakukan observasii tanda-tanda vital
Hasil : TD :130/80 mmhg, Nadi : 80x/menit, Suhu : 37◦C, Rr : 20x/menit
Pukul 10.30 Melakukan perawatan luka
Hasil : Luka bersih tertutup perban.
Pukul 12.20 Memberikan obat Clindamycin 300 mg.
Hasil : Obat diminum sesuai program pengobatan

D. EVALUASI ( Catatn Perkembangan )

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan plasma protein


Tanggal 18 Februari 2012 Pukul 14.00 WIB
Subyektif :
Obyektif : Observasi TTV TD 130/80 mmhg,
Nadi 80x/ menit , Rr 20x/ menit, Suhu 37◦C, hasil Lab
Protein 5,7(6,0-8,7g/dl), Albumin 2,5(3,5-5,2 g/dl),
Globulin 3,2(2,5-3,1 mg/dl). GDS 197(<200 mg/dl),
lingkar perut 103 cm.
Analisa : Tujuan Keperawatan tercapai sebagian
Perencanaan : Tindakan Keperawatan dilanjutkan
- Observasi Tanda-tanda vital
- Monitor Intake dan Output
- Kaji turgor kulit
- Ukur lingkar perut setiap hari
- Monitor hasil lab
- Kolaborasi dalam pemberian cairan
intravena

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas


tekanan darah meningkat
Tanggal 18 Februari 2012 14.00 WIB
Subyektif :
Obyektif : obs. TTV TD:130/80 mmhg , Nadi
80x/menit , Suhu 37◦C, Rr 20x/menit
Analisa : Tujuan Keperawatan tercapai sebagian
Perencanaan : Tindakan Keperawatan dilanjutkan
- Observasi tanda-tanda vital
- Anjurkan klien untuk banyak istirahat
- Ciptakan lingkungan yang nyaman
- Motivasi dan dukung klien untuk
menghilangkan stress
- Berikan catopril 3x12,5 mg

3. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan penurunan masukkan oral,ketidakcukupan insulin atau status
hipermetabolik

Tanggal 18 Februari 2012 Pukul 14.00 WIB


Subyektif : Klien mengatakan tidak nafsu makan
Obyektif : Tampak makan habis ½ porsi
Analisa : Tujuan Keperawatan belum tercapai
Perencanaan : Tindakan keperawatan dilanjutkan
- Sajikan makanan dalam keadaan
hangat
- Beri makan dalam porsi kecil tetapi
sering
- Sajikan makanan dalam bentuk
bervariasi sesuai dietnya
- Motivasi klien untuk menghabiskan
makanannya
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
pemberian diet DM (MB: 1700 Kal)

4. Resiko tinggi perluasan luka infeksi berhubungan dengan


peningkatan kadar glukosa
Tanggal 18 Februari 2012 Pukul 14.00 WIB
Subyektif : Klien mengatakan ada
luka pada kaki kanan yang belum sembuh
Data Obyektif : Ada Ulkus pada kaki
kanan, Diameter luka : 3 cm, Kedalaman luka :
1 cm,Keadaan luka : basah,Terdapat pus,Warna
merah dan putih pada jaringan.
Analisa : Tujuan keperawatan belum tercapai
Perencanaan : Tindakan keperawatan dilanjutkan
- Observasi tanda-tanda vital
- Kaji tanda perluasan infeksi
- Lakukan perawatan luka 2x/hari
- Pertahankan tehnik Aseptic dan
antiseptic pada perawatan luka
- Berikan terapi sesuai program
( Clindamycin 2x300mg )

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat di peroleh dari asuhan keperawatan pada
Ny. L dengan diabetes militus adalah.
1. Pengkajian keperawatan
Dalam tahap pengkajian klien dengan diabetes militus tipe Iipada manisfestasi klinis
di dapat poli uria, poliphagia, polidisi, penurunan berat badan, kesemutan sedangkan
pada kasus hal ini tidak terjadi, klien tidak memperlihat kan danya polidipsi karena
pada saat pengkajian klien hanya minum 800 cc, klien juga tidak memperlihatkan
adanya poliphagiakarena pada saat dilakukan pengkajian klien mengatakan mual,
makan klien hanya habis ½ porsi
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ada pada kasusu sesuai teori diagnosa yaitu, perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan masa oral,
ketidak adekuatan insulin atau setatus hipermetabolik,resiko tinggi perluasan luka
infeksi barhubungan dengan kadar glukosa tinggi. Sedangkan ada diagnosa yang ada
pada kasus tapi tidak terdapat pada teori.kelebihan volume cairan berhubungan
dengan penurunan protein plasma. Penurunan curah jantung berhubungan
kontraktilitas tekanan darah tinggi.
3. Perencanaan Keperawatan
Prioritas masalah keperawatan pada kasus Ny. L. Sesuai dengan prioritas pada
masalah yang ada pada teori dan sesuai dengan kondisi klien saat dilakukan
pengkajian.
4. Pelaksanaan Peperawatan
Tidakan keperawatan dilakukan berdasrkan rencana tindakan yang telah dibuat antara
lain mengobsevasi tanda- tanda vital. Menciptakan lingkungan yang
nyaman.melakukan perawatan luka,menghidangkan makanan dalam keadaan yang
hangat. Karena tebatas oleh waktu.dalam melakukan asuhan keperawatan yang belum
terlaksanan maka penulis mempalidasi dengan senior ruangan
.
5. Evaluasi
kami memuliskan hasil evaluasi dalam asuhan ini didasarkan oleh waktu selama 3
hari dan di mengevaluasi pada hari ke 4. Berdasarkan hasil dari intervensi yang telah
di laksanakan .

B. Saran

1. Untuk Perawat
Saran yang perlu di sampaikan kepada perawat, yaitu harus
mendokumentasikan setiap tindakan yang telah di lakukan. Serta
menambah ilmu pengetahuan.tentang berbagai macam penyakit, dalam
khusus nya Diabetes militus agar perawat dapat melakukan implementasi
sesuai dengankebutuhan klien
2. Untuk Penulis
Kami memahami segala kekurangan yang ada pada karya tulis kami
sehingga kami sangat meng harapkan kritik dan masukan yang
memebangun guna dalam penulisan karya tulis selanjutnya kami dapat
membuat kaya tulis dengan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. M.S.N (1997). Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Continuity of Care, (Fifth Edition). Philadelphia : W.B. Saunders Company.
Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi kedelapan).
Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall (2000). Diagnosa Keperawatan, (Edisi keenam). Jakarta : Penerbit
EGC.

Ignatavicius, Donna D. (1991). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach


W.B Saunders Company.

Luckman and Sorensens (1997). Medical Surgical Nursing, A Psychophysiology Approach.


Fourth Edition. W.B. Saunders.

Lewis, Sharon Mantik, R.N. FAAN (2000). Medical Surgical Nursing, (Fifth Edition), St.
Louis, Missouri : Mosby Inc.

Price, Sylvia Anderson, Ph.D, R.N (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, (Edisi keempat), Jakarta : EGC.

R. Syamsuhidayat, Wim de Jong (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah.

Anda mungkin juga menyukai