Oleh Kelompok 4
Warna merupakan salah satu aspek penting dalam bidang pangan terkait
dengan penerimaan konsumen terhadap bahan pangan tersebut. Warna menjadi
faktor yang menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktor-faktor lain
dipertimbangkan secara visual. Menurut Winarno (1992), warna dapat digunakan
sebagai indikator kesegaran atau kematangan bahan. Warna dalam produk pangan
dapat berasal dari pigmen alami yang terkandung dalam bahan pangan, akibat
reaksi dalam bahan pangan seperti reaksi karamelisasi, reaksi Maillard, reaksi
senyawa organik dengan udara, atau adanya penambahan zat warna alami maupun
sintetik (Winarno, 1997). Warna bahan pangan yang dapat dipandang sebagai sifat
fisik (obyektif) yang dapat dianalisis dengan instrumen dan sebagai sifat
organoleptik (subyektif) dengan indera manusia.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas dan stabilitas produk pangan
berbentuk cairan atau suspensi, salah satunya adalah viskositas. Viskossitas produk
panagn dapat diukur menggunakan alat rheometer. Rheometer digunakan untuk
mengukur suatu fluida yang mengalir terhadap respon tekanan yang diberikan.
Prinsip kerja rheometer berdasarkan pengaruh gaya pengadukan dan mengukur
tegangan geser dari sampel yang akan diukur viskositasnya. Sampel cenderung
menyeret putaran silinder dan torsi putaran spindle dapat diukur, kemudian
dikonversi menjadi tegangan geser. Kemampuan putar spindle dalam sampel akan
ditampilkan dalam viskositas pada layar rheometer (Dao et al., 2009). Seiring
berkembangnya teknologi, keberadaan instrumen-instrumen tersebut akan
mempermudah pekerjaan dalam analisis bahan pangan. Oleh karena itu, praktikum
ini dilakukan agar kita mengetahui prinsip dan mampu melakukan pengukuran
intensitas warna, sifat termal, dan viskositas bahan pangan menggunakan instrumen
tersebut.
1.2. Tujuan
2.3.4. Rheometer
Prosedur analisis mengguanakan rheometer adalah dinyalakan rangkaian
alat, kemudian dilakukan warming up selama 1 jam sebelum mulai analisis. Setelah
itu, cover pelindung dibuka dan dipasang spindel, lalu dilakukan air check untuk
menguji performa alat sebelum digunakan. Plat tempat sampel dibersihkan dan
sampel diletakkan pada plat yang sudah bersih. Setelah itu, setting alat untuk
melakukan pengujian dan klik tombol start pada software. Hasil pengujian akan
terekam pada software.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Derajat putih pada tepung merupakan salah satu parameter yang penting
karena berpengaruh terhadap kualitas hasil akhir produk tepung tersebut. Whiteness
Meter atau derajat putih adalah instrumen untuk mengukur tingkat keputihan pada
permukaan bubuk seperti tepung. Instrumen tersebut terdiri dari sumber cahaya,
sistem optik, sistem deteksi, proses data dan sistem deteksi, proses data dan sistem
tampilan. Pengukuran menggunakan prinsip fotolistrik. Nilai energi kecerahan
radiant reflektansi difus permukaan sampel diterima oleh sel optik. Kemudian, nilai
tersebut diperkuat oleh penguat operasi penguat otomatis presisi tinggi yang
dimasukan ke sirkuit kalibrasi untuk kalibrasi energi. Nilai keputihan sampel
langsung ditampilkan di layar. Pada praktikum ini dilakukan pengujian whitness
kepada beberapa sampel yaitu tepung meizena, garam, tepung tapioka, dan tepung
sagu. Hasil Nilai derajat putih sampel menggunakan Whiteness Meter dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Derajat Putih Sampel menggunakan Whiteness Meter
Kelompok Sampel Derajat Putih (%)
1 Tepung Maizena 88,88
2 Garam 75,18
3 Tepung Tapioka 92,9
4 Tepung Pati Sagu 73,42
3.2. Chomameter
Nilai L*, a*, b*, dan perubahan warna (∆E*) yang diperoleh pada sampel
disajikan pada tabel berikut .
Tabel 3. Nilai L*, a*, b*, dan ∆E* pada Sampel Kulit dan Daging Buah Apel,
Kulit dan Daging Buah Pir, Biskuit, serta Sirup Hijau
CIE
Kel Sampel Rata-rata ∆E*
L* a* Rata-rata a* b* Rata-rata b*
L*
Daging apel
76,00 -2,06 25,73
1
Daging apel
74,9 74,17 -3,14 -2,47 29,85 27,48 2,90
2
Daging apel
71,61 -2,21 26,87
3
1 Kulit apel 1 62,28 14,44 24,16
Kulit apel 2 62,53 60,95 13,51 16,69 23,14 21,73 22,47
Kulit apel 3 58,04 22,13 17,89
Sirup hijau 1 72,24 -25,67 50,46
Sirup hijau 2 59,23 65,34 -24,94 -26,41 41,91 47,77 7,40
Sirup hijau 3 64,56 -28,63 50,95
Daging pir 1 72,66 -0,2 10,41
Daging pir 2 66,78 69,92 -0,88 -0,42 8,82 10,56 2,05
Daging pir 3 70,33 -0,18 12,44
Kulit pir 1 72,20 -0,48 27,45
2 Kulit pir 2 74,25 73,40 0,51 0,12 31,34 29,79 14,98
Kulit pir 3 73,76 0,34 30,58
Biskuit 1 51,99 12,66 22,09
Biskuit 2 52,11 51,50 10,91 12,38 14,04 19,22 6,94
Biskuit 3 50,39 13,58 21,54
Daging pir 1 70,88 -2,12 12,2
Daging pir 2 69,17 69,32 -1,68 -1,94 11,13 11,79 2,05
Daging pir 3 67,92 -2,02 12,03
Kulit pir 1 66,5 -7,65 42,05
3 Kulit pir 2 64,55 66,13 -7,6 -7,49 39,24 40,44 14,98
Kulit pir 3 67,34 -7,22 40,03
Sirup hijau 1 62,05 -29,09 49,21
Sirup hijau 2 56,81 58,59 -28,93 -28,65 44,21 45,75 7,40
Sirup hijau 3 56,91 -27,93 43,84
Daging apel
1 77,41 -1,97 21,39
Daging apel
73,29 -1,23 25,01 2,90
2 69,6 -1,06 27,69
4 Daging apel
3 72,86 -0,65 25,95
Kulit apel 1 45,76 30,21 12,68
46,22 30,99 12,60 22,47
Kulit apel 2 46,04 31,2 12,91
Kulit apel 3 46,85 31,55 12,2
Biskuit 1 50,49 13,38 25,34
Biskuit 2 50,72 50,09 13,76 13,75 26,32 25,88 6,94
Biskuit 3 49,07 14,1 25,97
1. ∆E* < 1 dimana sangat sedikit atau hampir tidak ada perbedaan yang dapat dilihat
oleh mata manusia, perbedaan warna hampir tidak terlihat secara visual.
2. 1 ≤ ∆E* < 2 dimana perbedaan warna yang sangat kecil dan hampir tidak terlihat
oleh kebanyakan orang. Dalam aplikasi yang sangat sensitif terhadap warna,
masih terlihat signifikan.
3. 2 ≤ ∆E* < 3 dimana perbedaan warna dapat terlihat oleh sebagian relatif kecil.
4. 3 ≤ < 6 dimana perbedaan warna yang signifikan dalam banyak aplikasi, terutama
pada industri dengan tingkat keakuratan warna yang tinggi. Perbedaan warna
jelas terlihat oleh sebagian orang.
5. ∆E* ≥ 6 dimana perbedaan warna yang sangat signifikan dan mudah terlihat oleh
kebanyakan orang.
Berdasarkan tabel hasil praktikkum diatas, diketahui nilai entalpi yang paling
rendah dari sampel uji praktikum diatas adalah tepung pati sagu dengan nilai entalpi
5.89 J/g. Nilai negatif yang dihasilkan dari kurva entalpi menunjukkan suhu sampel
lebih rendah dari pada suhu reference dan reaksi menunjukkan eksotermik
(pelepasan energi) (Zulkifli dan Raudah, 2016). Hasil kurva DSC pada setiap
sampel bahan dapat dilihat pada gambar berikut.
DSC
mW
5.00
0
13.16x10
min
0
97.67x10
C
0
Heat -1.46x10
J
0
-488.23x10
J/g
0.00
0
6.45x10
min
0
68.08x10
C
-5.00 0
10.86x10
min
0
86.35x10
C
-10.00
DSC
mW
0
6.40x10
min
0
68.63x10
C
-5.00
Heat 0
-748.92x10
mJ
0
-220.27x10
J/g
-10.00
0
3.57x10
min
0
54.85x10
C
-15.00
0
5.45x10
min
0
62.25x10
C
40.00 60.00 80.00 100.00
Temp [C]
d. Entalpi (ΔH)
Nilai entalpi didapatkan dari luas area dibawah kurva antara titik To dan Tc.
Pada perhitungan nilai entalpi ini, proses yang terjadi adalah perhitungan jumlah
energi yang dibutuhkan untuk memotong ikatan rangkap heliks yang ada pada pati
(Garcia, et al. 2016). Nilai entalpi yang paling tinggi ada pada tepung maizena
(488,23 J/g), tepung mokaf (220,27 J/g), tepung jagung (8,56 J/g), dan tepung pati
sagu (5,89 J/g). Pada kurva, semua sampel bahan praktikkum memiliki nilai entalpi
negatif, dimana nilai ΔH negatif berarti terjadi reksi eksotermik (Zulkifli dan
Raudah, 2016). Reaksi eksotermik adalah reaksi melepaskan energi dari sistem ke
lingkungan, ditandai dengan nilai ΔH negatif. Reaksi endotermik merupakan
reaksi penyerapan energi oleh sistem dari lingkungan, ditandai dengan nilai ΔH
positif (Noer dan Dayana, 2021).
Hasil analisa sifat termal menggunakan DSC akan berbeda pada setiap bahan
tepung uji. Hal ini dikarenakan komposisi pati yang terdapat dalam bahan juga
berbeda. Pati terdiri dari struktur amilosa dan amilopektin yang memiliki sifat
termal yang berbeda. Amilosa merupakan polisakarida yang tersusun rantai lurus
D-glukosa ikatan α-1,4 glikosidik dan bersifat polar (larut air), sedangkan
amilopektin memiliki rantai cabang pada α-1,4 dan β-1,6 glikosidik yang memiliki
sifat nonpolar (tidak larut air) (Oktavia et al., 2013). Kepolaran dapat memengaruhi
sifat termal karena semakin polar suatu bahan maka perubahan suhu untuk proses
gelatinisasi juga akan semakin rendah. Perbandingan amilopektin yang tinggi dari
pada amilosa akan menyebabkan pati sulit untuk gelatinisasi sehingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai suhu gelatinisasi (Rosidi et al.
2006).
Tepung pati sagu terdiri dari 36% amilosa dan 63% amilopektin (Syafriyanti
et al. (2018). Pada tepung mocaf, amilosanya sebesar 31% dan amilopektin sebesar
59% (Fitria et al., 2017). Tepung jagung memiliki 25% amilosa dan 75%
amilopektin. Pati tepung maizena terdiri dari 30% amilosa dan 70% amilopektin
dan ada juga maizena dengan komposisi amilopektin hampir 100% (Khan et al.,
2014) sehingga suhu gelatinisasi tepung maizena paling tinggi jika dibandingkan
dengan tepung pati sagu, tepung mocaf, dan tepung jagung.
3.4. Rheometer
Data hasil analisis rheometer disajikan pada tabel dan gambar sebagai berikut.
Sampel n k 𝜏0 (Pa)
Mayonnaise 0,2319 73,8769 -2E-13
Sirop 0,8586 0,5893 -4E-14
Saus 0,1905 89,7206 1E+87
(a) (b)
(c)
Gambar 5. Plot Kurva Hubungan Shear Rate dan Shear Stress pada (a) Mayonnaise,
(b) Sirop, dan (c) Saus
(a) (b)
(c)
Gambar 6. Plot Kurva Hubungan Shear Rate dan Viskositas pada (a) Mayonnaise,
(b) Sirop, dan (c) Saus
a. Mayonnaise
Secara visual, nilai n dapat diduga dari bentuk kurva yang menyerupai parabola.
Pada sampel mayonnaise, bentuk kurva shear rate-shear stress yang dihasilkan
oleh pengujian rheometer menunjukan bahwa nilai n<1 yang artinya reologi bahan
diduga shear-thinning (Hariyadi, 2006). Setelah dilakukan verifikasi menggunakan
data rheometer, divalidasi bahwa n<1, k>1 dan 𝜏0 ≈ 0. Berdasarkan ketiga
parameter tersebut, ditarik kesimpulan bahwa mayonnaise bersifat pseudoplastic.
Kadian et al. (2021) melaporkan bahwa mayonnaise menunjukan perilaku
pseudoplastic. Sifat pseudoplastic ini dipengaruhi oleh penggunaan berbagai
stabilizer terutama gum xanthan. Pazhvand dan Khavarpour (2019) dalam
penelitiannya mengenai mayonnaise yang diformulasikan dengan sesame oil juga
berpendapat sama bahwa mayonnaise memiliki perilaku pseudoplastic. Cerro et al.
(2021) membandingkan karakteristik fisikokimia mayonnaise tradisional dan
mayonnaise vegan dan mendapatkan hasil bahwa keduanya memiliki nilai aliran
<1. Nilai aliran ini mengindikasikan bahwa sampel memiliki perilaku pseudoplastic
dan berada pada kondisi yang semi-solid dengan jaringan yang mudah rusak.
b. Sirop
Kurva shear rate-shear stress pada sirop memiliki bentuk hampir linear.
Berdasakan penampakan kurva, diduga bahwa sirop memiliki sifat newtonian
dengan n=1. Selain itu, kurva hubungan shear rate dan viskositas juga cenderung
linear yang artinya meskipun shear rate bertambah, nilai viskositas akan cenderung
konstan. Setelah dilakukan verifikasi dari 61 data yang ada, nilai n sirop adalah
0,8586 atau mendekati 1. Sirop juga memiliki nilai k>1 dan 𝜏0 ≈ 0. Dengan
mempertimbangkan ketiga parameter tersebut, dapat dinyatakan bahwa sirop
merupakan fluida newtonian. Hariyadi (2007) juga menyampaikan hal yang sama
yaitu sirop merupakan salah satu jenis fluida newtonian. Fadilah (2002) meneliti
persamaan yang paling cocok untuk mengkarakterisasi sirop dan hasilnya adalah
persamaan Ostwald-de Waele dan persamaan Newtonian dianggap paling sesuai.
Fluida newtonian merupakan fluida yang akan tetap mengalir secara kontinyu
meskipun shear rate yang diberikan berbeda.
c. Saus
Sama seperti kurva pada mayonnaise, penampakan kurva saus juga memiliki
bentuk seperti parabola yang mengindikasikan nilai n<1 dan fluida memiliki
karakteristik shear-thinning. Setelah diplot pada kurva, nilai n saus adalah <1.
Sementara itu, baik nilai k maupun 𝜏0 >1 yang menunjukan bahwa saus memiliki
perilaku Herschel-Bulkley. Stanciu (2022) menguji perilaku reologi berbagai puree
sayuran dan saus tomat dimana hasil yang didapatkan adalah saus tomat memiliki
perilaku Herschel-Bulkley. Beberapa penelitian lain mencoba membandingkan
fitting model Power Law dan Herschel-Bulkley dengan saus tomat. Kubo et al.
(2019) kemudian melaporkan bahwa model Herschel-Bulkley lebih dapat
menggambarkan perilaku saus tomat dibandingkan Power Law.
IV. KESIMPULAN
1. Nilai derajat putih sampel yang diukur menggunakan Whiteness Meter antara
lain tepung maizena 88,88%, garam 75,18%, tepung tapioka 92,9%, dan tepung
pati sagu 73,42%, sedangkan yang diukur menggunakan Chromameter antara
lain tepung maizena 93,09%, garam 89,89%, tepung tapioka 94,68%, dan
tepung pati sagu 89,13%. Nilai derajat putih sampel yang diukur menggunakan
kedua alat tersebut memiliki perbedaan yang tidak signifikan.
2. Analisis warna pada chroma meter diperoleh nilai L* tertinggi pada kulit buah
apel sebesar 60,95 dan terendah 46,22. Nilai a* tertinggi pada kulit buah apel
kelompok 4 sebesar 30,99 dan terendah pada sirup kelompok hijau sebesar -
28,65. Nilai b* yang tertinggi sebesar 47,77 pada sirup hijau kelompok 1 dan
terendah sebesar 10,56 pada daging buah pir kelompok 2. Untuk perubahan
warna (∆E*) tertinggi pada kulit apel (∆E*=22,47) yaitu tergolong ke kategori
5 dengan nilai ∆E* ≥ 6 dimana perbedaan warna yang sangat signifikan dan
mudah terlihat oleh kebanyakan orang. Dan ∆E* terendah pada daging pir
(∆E*=2,05) dimana tergolong ke kategori 3 dengan nilai 2 ≤ ∆E* < 3 dimana
perbedaan warna dapat terlihat oleh sebagian relatif kecil
3. Analisis sifat termal produk tepung menggunakan DSC memperoleh hasil
bahwa sampel tepung maizena memiliki To, Tp, Tc, dan nilai entalpi tertinggi
yang diikuti oleh sampel tepung pati sagu, tepung mocaf, lalu tepung jagung.
4. Pengukuran menggunakan rheometer menunjukkan bahwa sampel mayonaise
memiliki nilai n<1, k>1, dan 𝜏0 ≈ 0 yang menunjukan perilaku pseudoplastic,
sirop memiliki nilai n≈1, k>1, dan 𝜏0 ≈ 0 yang menunjukkan fluida
newtonian. dan saus memiliki nilai n<1, K>1, dan 𝜏0 >1 yang menunjukkan
perilaku Herschel-Bulkley.
DAFTAR PUSTAKA
Ayetigbo, O., Latif, S., Abass, A., dan Muller, J. 2018. Comparing Characteristics
of Root, Flour and Starch of Biofotified Yellow-Flesh and White-Fles
Cassava Variants, and Sustainability Considerations: A Review. J Sustain.
10(9): 1-32.
Dao, H., Peduzzi, P., Herold, C., dan Mounton, F. 2009. Assesing Global Explosure
and Vulnerability Towards Natural Hazard: The Disaster Risk Index. Natural
Hazard and Earth System Sciences. 9(4): 1149-1159.
Ega, L. dan Lopulalan, C. G. C. 2015. Modifikasi Putu Sagu dangan Metode Heat
Moisture Treatment. Jurnal Teknologi Pertanian. 4(2): 33-40.
Fitria, T. N., Martono, Y., dan Riyanto, C. A. 2017. Pengaruh Asetilasi dan
Oksidasi Tepung Mocaf Terhadap Kadar Amilosa dan Amilopektin.
Prosiding Sains Nasional dan Teknologi. 1(1): 55-60.
Garcia, M. C., Franco, C. M. L., Junior, M. S. S., dan Caliari, M. 2016. Structural
Charateristics and Gelatinization Properties of Sour Cassava Starch. Journal
of Thermal Analysis and Calorimetry. 123(2): 919-926.
Hariyadi, P. 2006. Reologi: Kriteria Tekstur Produk Pangan Cair. Food Review
Indonesia.
Indrayati, F., Utami, R., dan Nurhartadi, E. 2013. Pengaruh Penambahan Minyak
Atsiri Kunyit Putih (Kaempferia rotunda) pada Edible Coating Terhadap
Stabilitas Warna dan pH Fillet Ikan Patin yang Disimpan pada Suhu Beku.
Jurnal Teknosains Pangan. 2(4): 25-31.
Kadian, D., Kumar, A., Badgujar, P. C., dan Sehrawat, R., 2021. Effect of
Homogenization and Microfluidization on Physicochemical and Rheological
Properties of Mayonnaise. Journal of Food Process Engineering. 44(4):
13661.
Khan, N. A., Yu, P., Ali, M., Cone, J. W., dan Hendriks, W. H. 2014. Nutritive
Value of Maize Silage in Relation to Dairy Cow Performance and Milk
Quality. Journal of the Science of Food and Agriculture. 95(2): 238-252.
Khomsatin, S. dan Haryanto, B. 2012. Kajian Pengaruh Pengukusan Bertekanan
(Steam Pressure Treatment) Terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Jagung.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23(1): 86-86.
Koswara, S., Diniari, A. 2015. Peningkatan Mutu dan Cara Produksi Pada Industri
Minuman Jahe Merah Instan di Desa Benteng, Ciampea, Bogor. Agrokreatif.
Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat, 1(2) : 149-161.
Luo, S., Weinell, C. E., Okkels, F., Ostergard, A. L., dan Kiil, S. 2021. On-Line,
Non-Newtonian Capillary Rheometry for Continuous and In-Line Coatings
Production. Journal of Coatings Technology and Research. 18: 611-626.
Noer, Z. dan Dayana, I. 2021. Karakterisasi Material. Guepedia Publisher. Medan.
Oktavia, A. D., Idiawati, N., dan Destiarti, L. 2013. Studi Awal Pemisahan Amilosa
dan Amilopektin Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lam) dengan Variasi
Konsentrasi n-butanol. Jurnal Kimia Khatulistiwa. 2(3): 153-156.
Paredes, J., Shahidzadeh, N., dan Bonn, D. 2015. Wall Slip and Fluidity in
Emulsion Flow. Physical Review E. 92(4): 042313.
Pasca, B., Muhandri, T., Hunaefi, D., Nurtama, B. 2021. Karakteristik Fisikokimia
Tepung Singkong dengan Beberapa Metode Modifikasi. Jurnal Mutu
Pangan. 8(2): 97-104.
Rodisi, D., Suryo, I., dan Iswanto, S. 2006. Pengaruh Substitusi Tepung Ketan
dengan Pati Sagu terhadap Kadar Air, Konsistensi, dan Sifat Organoleptik
Dodol Susu. Jurnal Peternakan Indonesia. 11(1): 66-73.
Rosmawati, B.H. 2008. Elastic, Optical, and Thermal Properties of TeO2-ZnOaAnd
TeO2-ZnO-AlF3 Glass Systems. Thesis. University of Putra Malaysia.
Malaysia.
Sinaga, Anita S. 2019. Segementasi Ruang Warna L* a* b*. Jurnal Mantik Penusa.
3(1): 43-46.
Stanciu, I. 2022. Rheological Behavior of Fruit and Vegetable Purees and Tomato
Sauce. Oriental Journal of Chemistry. 38(6): 1550.
Supadmi, S., Murdiati, A., dan Rahayu, E. 2016. Komposisi Gizi, Indeks Warna
Putih, dan Profil Granula Pati pada Modified Cassava Flour (Mocaf) yang
Difortifikasi dengan Iodium. Jurnal MGMI. 8(1): 65-78.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wunderlich, B. 2005. Thermal Analysis of Polymeric Materials. Springer. Berlin.
Zulkifli, Z. dan Raudah, R. 2016. Dekomposisi Termal pada Briket Biomassa Kulit
Tanduk Kopi Berbahan Perekat Tepung Kanji. Prosiding Semnas Hasil
Penelitian. 941-948.
LAMPIRAN
Lampiran 2. Chromameter