Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS PANGAN LANJUT

ANALISIS SIFAT FISIK PANGAN

Oleh Kelompok 4

Dhara Saraswati F2501222064


Tria Amanda F2501222067
Windi Aprilia F2501222070
Suryani Merydaniati Saragih F2501222072
Riska Jannah Nasution F2501222076
Meysin Anjliany F2501222078

Kelas Paralel 2 (P2)

Dosen: Dr. Faleh Setia Budi, S.T., M.T.

PROGRAM STUDI ILMU PANGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2023
I. PENDAHULUAN

1.1. Landasan Teori

Warna merupakan salah satu aspek penting dalam bidang pangan terkait
dengan penerimaan konsumen terhadap bahan pangan tersebut. Warna menjadi
faktor yang menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktor-faktor lain
dipertimbangkan secara visual. Menurut Winarno (1992), warna dapat digunakan
sebagai indikator kesegaran atau kematangan bahan. Warna dalam produk pangan
dapat berasal dari pigmen alami yang terkandung dalam bahan pangan, akibat
reaksi dalam bahan pangan seperti reaksi karamelisasi, reaksi Maillard, reaksi
senyawa organik dengan udara, atau adanya penambahan zat warna alami maupun
sintetik (Winarno, 1997). Warna bahan pangan yang dapat dipandang sebagai sifat
fisik (obyektif) yang dapat dianalisis dengan instrumen dan sebagai sifat
organoleptik (subyektif) dengan indera manusia.

Analisis warna bahan pangan dapat dilakukan menggunakan instrumen,


seperti Chromameter dan Whiteness Meter. Chromameter dilengkapi alat Color
Reader dan sistem warna yang digunakan adalah Hunter’s Lab Colorimetric
System. Sistem notasi warna Hunter terdapat tiga nilai, yaitu L (Lightness), a*
(Redness), dan b* (Yellowness) (Indrayati et al., 2013). Whiteness Meter
merupakan alat yang digunakan untuk mengukur instensitas warna putih pada suatu
produk. Biasanya alat ini digunakan dalam pengolahan pangan untuk mengukur
keputihan bahan makanan seperti tepung dan gula. Prinsip kerja Whiteness Meter
adalah membandingkan cahaya yang dipantulkan oleh objek yang diukur dengan
standar warna putih. Alat ini menggunakan sensor cahaya dan prosesor digital
untuk mengukur keputihan objek dengan tingkat presisi yang tinggi. Hasil
pengukuran ditampilkan dalam bentuk nilai numerik pada layar digital.

Selain analisis warna, analisis termal juga penting dilakukan untuk


menentukan beberapa sifat penting transisi fase bahan pangan, seperti melting, suhu
transisi glass (Tg), atau dekomposisi eksotermik, serta untuk menganalisis
kestabilan terhadap oksidasi dan kapasitas panas suatu bahan (Wunderlich, 2005).
Analisis termal dapat dilakukan dengan menggunakan instrument Differential
Scanning Calorimetry (DSC). Prinsip kerja DSC adalah mendeteksi perubahan
panas yang meningkat selama transformasi eksotermik dan penyerapan panas
selama transformasi endotermik. DSC digunakan untuk menganalisis dan
mengukur perbedaan kalor yang masuk ke dalam sampel dan referensi sebagai
pembandingnya (Rosmawati, 2008).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas dan stabilitas produk pangan
berbentuk cairan atau suspensi, salah satunya adalah viskositas. Viskossitas produk
panagn dapat diukur menggunakan alat rheometer. Rheometer digunakan untuk
mengukur suatu fluida yang mengalir terhadap respon tekanan yang diberikan.
Prinsip kerja rheometer berdasarkan pengaruh gaya pengadukan dan mengukur
tegangan geser dari sampel yang akan diukur viskositasnya. Sampel cenderung
menyeret putaran silinder dan torsi putaran spindle dapat diukur, kemudian
dikonversi menjadi tegangan geser. Kemampuan putar spindle dalam sampel akan
ditampilkan dalam viskositas pada layar rheometer (Dao et al., 2009). Seiring
berkembangnya teknologi, keberadaan instrumen-instrumen tersebut akan
mempermudah pekerjaan dalam analisis bahan pangan. Oleh karena itu, praktikum
ini dilakukan agar kita mengetahui prinsip dan mampu melakukan pengukuran
intensitas warna, sifat termal, dan viskositas bahan pangan menggunakan instrumen
tersebut.

1.2. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui tentang instrument untuk pengukuran derajat putih dan warna


bahan dan produk pangan, serta menjelaskan prinsip pengukuran dengan
instrumen tersebut.
2. Mempraktikkan cara analisis derajat putih dan warna bahan pangan beserta
perhitungannya.
3. Mengetahui prinsip pengukuran sifat termal menggunakan alat DSC
(Differential Scanning Calorimetry)
4. Mengetahui prinsip dan mempraktikkan analisis rheologi bahan pangan
menggunakan rheometer.
II. METODE PENELITIAN

2.1. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 16 dan 23 Mei 2023 di Laboratorium


Rekayasa Proses Pangan dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

2.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Whiteness Meter,


Chromameter, DSC (Differential Scanning Calorimetry), Rheometer, dan neraca
analitik.

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tepung tapioka,


tepung pati sagu, tepung maizena, tepung jagung, tepung mocaf, garam, biskuit,
buah apel, buah pir, sirup, mayonaise, saus, dan air demineralisasi.

2.3. Prosedur Kerja

2.3.1. Whiteness Meter

Prosedur pengukuran warna dengan instrumen whiteness meter adalah


kalibrasi alat terlebih dahulu dengan meletakkan plat kalibrasi ke dalam cawan
sampel berwarna putih menghadap ke atas, kemudian sampel dimasukkan ke dalam
wadah sampel dan ditutup. Pastikan wadah dan filter tetap bersih. Setelah itu,
sampel dimasukkan ke tempat pengukuran dan alat dinyalakan dengan menekan
tombol on. Proses ditunggu hingga tanda wait hilang dan LED menampilkan nilai
derajat putih dari plat kalibrasi. Filter gelas dari wadah dibersihkan dengan lap dan
kuas khusus yang disediakan.

Setelah proses kalibrasi selesai, sampel disiapkan dan dimasukkan ke dalam


cawan sampel, kemudian diletakkan kedalam wadah sampel. Selanjutnya, suhu
sampel diseimbangkan dengan meletakkan sampel di atas tempat pengukuran.
Wadah sampel dimasukkan ke tempat pengukuran sehingga alat menyala dan LED
menampilkan nilai derajat putih dari sampel. Setelah itu, dihitung nilai derajat putih
sampel.
2.3.2. Chromameter

Prosedur pengukuran warna dengan instrumen chromameter adalah


peletakkan sampel dalam wadah, lalu diletakkan measuring head di atas sampel
yang akan diukur dan tekan measure. Pengukuran dilakukan pada 3 titik permukaan
sampel. Setelah itu, hasil pengukuran dicetak dan dihitung indeks warna sampel.

2.3.3. DSC (Differential Scanning Calorimetry)

Prosedur analisis menggunakan DSC adalah penimbangan sampel sebanyak


3 mg, lalu sampel ditempatkan dalam pan alumunium dan dipress hingga rapat.
Disiapkan juga pan alumunium kosong yang sudah dipress sebagai reference.
Setelah itu, alat DSC dihidupkan dengan dialirkan gas nitrogen dan diatur kenaikan
suhu 10°C per menit. Selanjutnya, pan alumunium berisi sampel dan reference
diletakkan pada heater dalam alat DSC dan dianalisis hingga hasil muncul di layar
monitor.

2.3.4. Rheometer
Prosedur analisis mengguanakan rheometer adalah dinyalakan rangkaian
alat, kemudian dilakukan warming up selama 1 jam sebelum mulai analisis. Setelah
itu, cover pelindung dibuka dan dipasang spindel, lalu dilakukan air check untuk
menguji performa alat sebelum digunakan. Plat tempat sampel dibersihkan dan
sampel diletakkan pada plat yang sudah bersih. Setelah itu, setting alat untuk
melakukan pengujian dan klik tombol start pada software. Hasil pengujian akan
terekam pada software.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Whiteness Meter

Derajat putih pada tepung merupakan salah satu parameter yang penting
karena berpengaruh terhadap kualitas hasil akhir produk tepung tersebut. Whiteness
Meter atau derajat putih adalah instrumen untuk mengukur tingkat keputihan pada
permukaan bubuk seperti tepung. Instrumen tersebut terdiri dari sumber cahaya,
sistem optik, sistem deteksi, proses data dan sistem deteksi, proses data dan sistem
tampilan. Pengukuran menggunakan prinsip fotolistrik. Nilai energi kecerahan
radiant reflektansi difus permukaan sampel diterima oleh sel optik. Kemudian, nilai
tersebut diperkuat oleh penguat operasi penguat otomatis presisi tinggi yang
dimasukan ke sirkuit kalibrasi untuk kalibrasi energi. Nilai keputihan sampel
langsung ditampilkan di layar. Pada praktikum ini dilakukan pengujian whitness
kepada beberapa sampel yaitu tepung meizena, garam, tepung tapioka, dan tepung
sagu. Hasil Nilai derajat putih sampel menggunakan Whiteness Meter dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Derajat Putih Sampel menggunakan Whiteness Meter
Kelompok Sampel Derajat Putih (%)
1 Tepung Maizena 88,88
2 Garam 75,18
3 Tepung Tapioka 92,9
4 Tepung Pati Sagu 73,42

Berdasarkan hasil yang diperoleh tapioka memiliki persen derajat putih


tertinggi setelah itu berturut-turut tepung maizena, garam, dan tepung pati sagu.
Tepung tapioka memiliki nilai derajat putih tertinggi sebesar 92,9%. Derajat putih
merupakan tingkat warna putih pada sampel. Oleh karena itu, tepung tapioka
memiliki warna yang lebih putih dibandingkan sampel lainnya seperti tepung
maizena, garam, dan tepung pati sagu. Whiteness pada suatu produk dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti raw material, proses pembuatannya ,tempat
penyimpanan, lama penyimpanan, proses kimiawi yang terjadi dan masih banyak
lagi. Menurut Ayetigbo et al. (2018) Perbedaan nilai derajat putih dari bahan
pangan seperti tepung atau garam dalam praktikum ini dipengaruuhi oleh lama
proses pengeringan, suhu pemanasan dan lain hal nya. Tepung pati sagu memiliki
derajat putih terendah yaitu 73,42%. Hal ini sejalan dengan penelitian Ega dan
Lopulalan (2015) yang menunjukan sagu diberi perlakuan HMT pada suhu 100°C
memiliki nilai derajat putih yang rendah (71,91%). Hal tersebut dikarenakan reaksi
pencoklatan yang dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung karbohidrat
tinggi karena adanya gula pereduksi yang beraksi saat terjadi pemanasan dengan
suhu yang cukup tinggi (Ega dan Lopulalan, 2015).
Ada pula instrumen lain selain whiteness meter yang dapat digunakan untuk
mengukur nilai derajat putih. Pada praktikum ini juga dianalisis nilai derajat putih
menggunakan Chromameter. Prinsip kerja dari Chromameter adalah dengan
mengukur perbedaan warna yang diperoleh dari permukaan bahan yang diuji. Nilai
yang ditampilkan dari pengukuran intesitas warna ditampilkan dalam bentuk nilai
L*, nilai a*, dan nilai b*. Ketiga nilai tersebut dapat menghitung nilai derajat putih
pada sampel. Hasil nilai derajat putih sampel menggunakan Chromameter dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Derajat Putih Sampel menggunakan Chromameter
Kelompok Sampel Derajat Putih (%)
1 Tepung Maizena 93,09
2 Garam 89,89
3 Tepung Tapioka 94,68
4 Tepung Pati Sagu 89,13

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari hasil perhitungan derajat putih


menggunakaan Chromameter, tepung tapioka memiliki persen derajat putih
tertinggi setelah itu berturut-turut tepung maizena, garam, dan tepung pati sagu.
Hasil ini sama dengan nilai derajat putih yang diperoleh menggunakan instrumen
Whiteness Meter. Derajat putih mencerminkan tingkat warna putih dari bahan
pangan. Parameter warna sangat berpengaruh bagi penerimaan konsumen. Warna
juga menjadi identitas suatu bahan pangan. Warna putih pada tepung-tepungan dan
garam merupakan ciri khas dari bahan pangan tersebut. Warna yang tidak sesuai
dengan ciri khas produk dapat menurunkan kualitas dari suatu produk. Untuk
menjaga kualitas warna pada bahan pangan, banyak hal yang dapat dilakukan.
Mulai dari pengaturan suhu proses pembuatannya, tempat dan suhu penyimpanan
bahan tambahan yang digunakan dan kemasan yang digunakan.

3.2. Chomameter

Nilai L*, a*, b*, dan perubahan warna (∆E*) yang diperoleh pada sampel
disajikan pada tabel berikut .
Tabel 3. Nilai L*, a*, b*, dan ∆E* pada Sampel Kulit dan Daging Buah Apel,
Kulit dan Daging Buah Pir, Biskuit, serta Sirup Hijau

CIE
Kel Sampel Rata-rata ∆E*
L* a* Rata-rata a* b* Rata-rata b*
L*
Daging apel
76,00 -2,06 25,73
1
Daging apel
74,9 74,17 -3,14 -2,47 29,85 27,48 2,90
2
Daging apel
71,61 -2,21 26,87
3
1 Kulit apel 1 62,28 14,44 24,16
Kulit apel 2 62,53 60,95 13,51 16,69 23,14 21,73 22,47
Kulit apel 3 58,04 22,13 17,89
Sirup hijau 1 72,24 -25,67 50,46
Sirup hijau 2 59,23 65,34 -24,94 -26,41 41,91 47,77 7,40
Sirup hijau 3 64,56 -28,63 50,95
Daging pir 1 72,66 -0,2 10,41
Daging pir 2 66,78 69,92 -0,88 -0,42 8,82 10,56 2,05
Daging pir 3 70,33 -0,18 12,44
Kulit pir 1 72,20 -0,48 27,45
2 Kulit pir 2 74,25 73,40 0,51 0,12 31,34 29,79 14,98
Kulit pir 3 73,76 0,34 30,58
Biskuit 1 51,99 12,66 22,09
Biskuit 2 52,11 51,50 10,91 12,38 14,04 19,22 6,94
Biskuit 3 50,39 13,58 21,54
Daging pir 1 70,88 -2,12 12,2
Daging pir 2 69,17 69,32 -1,68 -1,94 11,13 11,79 2,05
Daging pir 3 67,92 -2,02 12,03
Kulit pir 1 66,5 -7,65 42,05
3 Kulit pir 2 64,55 66,13 -7,6 -7,49 39,24 40,44 14,98
Kulit pir 3 67,34 -7,22 40,03
Sirup hijau 1 62,05 -29,09 49,21
Sirup hijau 2 56,81 58,59 -28,93 -28,65 44,21 45,75 7,40
Sirup hijau 3 56,91 -27,93 43,84
Daging apel
1 77,41 -1,97 21,39
Daging apel
73,29 -1,23 25,01 2,90
2 69,6 -1,06 27,69
4 Daging apel
3 72,86 -0,65 25,95
Kulit apel 1 45,76 30,21 12,68
46,22 30,99 12,60 22,47
Kulit apel 2 46,04 31,2 12,91
Kulit apel 3 46,85 31,55 12,2
Biskuit 1 50,49 13,38 25,34
Biskuit 2 50,72 50,09 13,76 13,75 26,32 25,88 6,94
Biskuit 3 49,07 14,1 25,97

Instrumen yang digunakan dalam praktikum ini adalah chormameter.


Parameter yang diamati adalah L*, a*, dan b*. Nilai L* yang dihasilkan dari
pengukuran ini menunjukkan kecerahan sampel dengan rentang nilai 0 (warna
semakin hitam) sampai dengan 100 (warna semakin putih). Nilai a* menunjukkan
nilai cahaya pantul yang menyebabkan warna kromatik campuran warna merah-
hijau dengan semakin positif nilai a* akan menunjukkan warna merah dari 0 sampai
100 , sedangkan semakin negatif a* menghasilkan warna hijau dari 0 sampai -80.
Nilai b* menunjukkan warna kromatik campuran antara warna biru-kuning dengan
nilai b* yang bernilai semakin positif dari 0 – 70 menunjukkan warna kuning,
sedangkan nilai b* yang negatif dari 0 sampai -80 menunjukkan warna biru
(Koswara, 2015).
Sampel yang digunakan pada pada praktikum ini adalah kulit buah apel,
daging buah apel, kulit buah pir, daging buah pir, biskuit, dan sirup melon. Hasil
dari pengukuran intensitas nilai L* tertinggi pada kulit buah apel sebesar 60,95 dan
terendah sebesar 46,22. Hasil pengukuran nilai L* memiliki beda yang cukup
tinggi. Hal ini dapat dikarenakan sampel kulit buah apel yang digunakan berbeda
sehingga tingkat kematangan apel juga menjadi faktor perbedaan nilai L* tersebut.
Buah apel yang sudah matang dan kurang matang, akan menunjukkan perbedaan
warna kuliat buahnya, dimana kulit buah apel yang sudah matang akan lebih cerah
dibandingkan dengan buah apel yang masih kurang matang. Pada sampel daging
buah apel nilai L tertinggi sebesar 74,17 dan terendah 73,29. Hasil pengukuran
nilai L* tidak beda nyata. Nilai L* yang cukup tinggi menunjukkan bahwa daging
buah apel memiliki intensitas warna yang cerah (hampir mendekati warna putih).
Pada sampel kulit buah pir nilai L* tertinggi sebesar 73,40 dan terendah 66,13. Hasil
pengukuran nilai L* pada kulit buah pir tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan walaupun sampel kulit buah pir yang digunakan berbeda. Pada
pengukuran intensitas nilai L* tertinggi pada daging buah pir sebesar 69,92 dan
terendah sebesar 69,32. Hasil pengukuran nilai L* menunjukkan nilai yang sangat
rendah, sehingga dapat dianggap bahwa nilai intensitas kedua sampel tidak berbeda
dan memiliki intensitas yang cukup cerah. Pada sampel biskuit nilai L* tertinggi
sebesar 51,50 dan terendah 50,09. Pada sampel sirup hijau pengukuran intensitas
nilai L* tertinggi sebesar 65,34 dan terendah sebesar 58,59.

Hasil pengukuran nilai a* pada semua sampel praktikum yang digunakan,


dapat dilihat bahwa nilai a* yang tertinggi sebesar 30,99 pada kulit buah apel
kelompok 4 dan nilai terendah sebesar -28,65 pada sirup hijau kelompok 3. Hal ini
sesuai dengan pernyataan (Sinaga, 2019) nilai a* menunjukkan warna kromatik
campuran merah-hijau dengan nilai +a* dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan
nilai –a* dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai positif yang paling tinggi
didapatkan hasil pada kulit buah apel yang berwarna merah, sedangkan nilai
terendah (negatif) didapatkan hasil pada sirup hijau. Selama proses pematangan
buah berlangsung, terjadi metabolisme sel – sel jaringan yang akan menyebabkan
degradasi pigmen klorofil sehingga warna hijau akan menghilang seiring dengan
proses pemasakan. Degradasi klorofil pada buah selama proses pemasakan akan
diikuti dengan sintesis pigmen warna lain seperti likopen sehingga warna buah akan
menjadi kemerahan.

Hasil pengukuran nilai b* pada semua sampel pada praktikum yang


digunakan, dapat dilihat bahwa nilai b* yang tertinggi sebesar 47,77 pada sirup
hijau kelompok 1 dan terendah sebesar 10,56 pada daging buah pir kelompok 2.
Nilai b* pada sirup hijau yang didapatkan cukup tinggi. Hal ini dapat dikarenakan
adanya pigmen atau zat aditif lainnya pada sirup sehingga warna yang muncul
menghasilkan warna kuning. Pada penelitian yang dilakukan oleh Andreas dan Sri
(2012), nilai b* yang diperoleh juga cukup tinggi. Hal ini dikarenakan terdapatnya
pigmen kuning (Monaskin dan Ankaflavin) yang juga terkandung sehingga muncul
warna kuning.

Perubahan warna pada chroma meter disimbol kan dengan ∆E*.


Penggolongan nilai ∆E* tergolong menjadi 5 kelompok yaitu :

1. ∆E* < 1 dimana sangat sedikit atau hampir tidak ada perbedaan yang dapat dilihat
oleh mata manusia, perbedaan warna hampir tidak terlihat secara visual.
2. 1 ≤ ∆E* < 2 dimana perbedaan warna yang sangat kecil dan hampir tidak terlihat
oleh kebanyakan orang. Dalam aplikasi yang sangat sensitif terhadap warna,
masih terlihat signifikan.
3. 2 ≤ ∆E* < 3 dimana perbedaan warna dapat terlihat oleh sebagian relatif kecil.

4. 3 ≤ < 6 dimana perbedaan warna yang signifikan dalam banyak aplikasi, terutama
pada industri dengan tingkat keakuratan warna yang tinggi. Perbedaan warna
jelas terlihat oleh sebagian orang.

5. ∆E* ≥ 6 dimana perbedaan warna yang sangat signifikan dan mudah terlihat oleh
kebanyakan orang.

Perubahan warna (∆E*) dari terbesar ke tertinggi pada sampel diperoleh


berturut-turut pada kulit apel (∆E*=22,47), kulit pir (∆E*=14,98), sirup hijau
(∆E*=7,40), biskuit (∆E*=6,94) yaitu tergolong ke kategori 5 dengan nilai ∆E* ≥
6 dimana perbedaan warna yang sangat signifikan dan mudah terlihat oleh
kebanyakan orang. Kemudian pada daging apel (∆E*=2,90), dan nilai ∆E* terendah
pada daging pir (∆E*=2,05) dimana tergolong ke kategori 3 dengan nilai 2 ≤ ∆E*
< 3 dimana perbedaan warna dapat terlihat oleh sebagian relatif kecil (Bahanawan
dan Krisdianto, 2020).

3.3. DSC (Differential Scanning Calorimetry)

DSC (Differential Scanning Calorimetry) ialah suatu alat pengukuran yang


berfungsi untuk mengetahui sifat termal dari suatu bahan. DSC merupakan alat
yang dapat mengukur perbedaan pada aliran panas pada sampel yang dipantau
terhadap waktu dan temperatur. Pengukuran dengan DSC dapat mengukur
perubahan dalam perbedaan laju heat flow ke material sampel dan reference sebagai
fungsi dari suhu dan waktu (Zulkifli dan Raudah, 2016). Pada pengujian dengan
DSC ini dapat diketahui heat flow dari bahan seperti ketika bahan melting,
kristalisasi. Alat DSC dapat mengukur sifat termal bahan dengan berat uji sampel
yang sedikit. Pada praktikum ini digunakan sampel bahan tepung maizena, tepung
mokaf, tepung jagung, dan tepung pati sagu sebagai bahan uji. Hasil pengukuran
menggunakan DSC pada berbagai sampel dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Karakterisasi Gelatinisasi Berbagai Sampel Menggunakan DSC

To Onset Tp Puncak Tc Conclusion Entalpi


Kelompok Sampel
(oC) (oC) (oC) (J/g)
1 Tepung Maizena 68,08 86,35 97,67 488,23
2 Tepung Mokaf 54,85 62,25 68,63 220,27
3 Tepung Jagung 49,44 50,47 53,90 8,56
4 Tepung Pati Sagu 67,22 71,65 76,35 5,89

Berdasarkan tabel hasil praktikkum diatas, diketahui nilai entalpi yang paling
rendah dari sampel uji praktikum diatas adalah tepung pati sagu dengan nilai entalpi
5.89 J/g. Nilai negatif yang dihasilkan dari kurva entalpi menunjukkan suhu sampel
lebih rendah dari pada suhu reference dan reaksi menunjukkan eksotermik
(pelepasan energi) (Zulkifli dan Raudah, 2016). Hasil kurva DSC pada setiap
sampel bahan dapat dilihat pada gambar berikut.
DSC
mW

5.00

0
13.16x10
min
0
97.67x10
C
0
Heat -1.46x10
J
0
-488.23x10
J/g
0.00
0
6.45x10
min
0
68.08x10
C

-5.00 0
10.86x10
min
0
86.35x10
C

-10.00

40.00 60.00 80.00 100.00


Temp [C]

Gambar 1. Kurva thermogram DSC untuk sampel tepung maizena

DSC
mW

0
6.40x10
min
0
68.63x10
C

-5.00

Heat 0
-748.92x10
mJ
0
-220.27x10
J/g

-10.00

0
3.57x10
min
0
54.85x10
C

-15.00
0
5.45x10
min
0
62.25x10
C
40.00 60.00 80.00 100.00
Temp [C]

Gambar 2. Kurva thermogram DSC untuk sampel tepung mokaf


Gambar 3. Kurva thermogram DSC untuk sampel tepung jagung

Gambar 4. Kurva thermogram DSC untuk sampel tepung pati sagu

a. Onset temperature (To)


Onset temperature merupakan suhu awal yang digunakan untuk awal proses
terjadinya gelatinisasi, dimana pati mulai kehilangan sifat polarisasi (Widyatmoko
et al., 2018). Pada sampel praktikum yang diujikan, urutan nilai To dari yang
tertinggi ke yang terendah adalah tepung maizena (68,08oC), tepung pati sagu
(67,22oC), tepung mocaf (54,85oC), dan tepung jagung (49,44oC). Menurut
penelitian Wang et al. (2008), nilai To tepung maizena adalah 65,6oC (lebih rendah
dari hasil praktikum). Menurut penelitian Syafriyanti et al. (2018), nilai onset
temperatur dari tepung pati sagu adalah 67,67oC dan nilai ini hampir sama dengan
nilai yang didapatkan pada hasil praktikum. Pada tepung mocaf, menurut
penelitian Widiatmoko et al., (2018), nilai To tepung ubi fermentasi adalah 66oC
(lebih tinggi dari hasil praktikum). Hal ini dapat dikarenakan berbedanya jenis
mikroba yang digunakan untuk proses fermentasi Mocaf, sehingga karakteristik
pati yang dihasilkan juga berbeda. Menurut penelitian Khomsatin et al., (2012),
nilai To untuk tepung jagung adalah 69,51oC sehingga nilai suhu To hasil praktikum
untuk tepung jagung lebih rendah dari pada literatur. Hal ini bisa dikarenakan
bedanya jenis tepung jagung yang digunakan.

b. Peak temperature (Tp)


Peak temperature merupakan suhu puncak saat terjadinya proses gelatinisasi
pati karena adanya panas. Pada sampel bahan praktikum yang diujikan, urutan nilai
Tp dari yang tertinggi ke yang terendah adalah tepung maizena (86,35 oC), tepung
pati sagu (71,65oC), tepung mocaf (62,25oC), dan tepung jagung (50,47 oC).
Semakin banyak terbentuk peak pada kurva termogram, maka akan semakin tidak
stabil dan heterogen kristal granula yang terbentuk (Khomsatin et al., 2012). Peak
tunggal pada tepung pati sagu dapat diindikasikan kristal yang terbentuk hampir
sama dan stabil. Nilai Tp pada tepung pati sagu ini sesuai dengan hasil penelitian
Syafriyanti et al. (2018) yang menyatakan nilai Tp pada tepung pati sagu adalah
71,68 oC. Pada sampel tepung maizena, nilai Tp yang dihasilkan lebih tinggi dari
pada literatur hasil penelitian Wang, et al. (2008) nilai Tp maizena 70oC. Untuk
peak temperatur mocaf, nilai Tp hasil praktikum lebih rendah dari pada literatur
yaitu Tp = 70,2oC (Widiatmoko et al., 2018). Untuk Tp tepung jagung, hasil
praktikkum lebih rendah dari pada literatur yaitu 75,08 oC (Khomsatin et al., 2012).

c. Conclusion temperature (Tc)


Conclusion temperature merupakan suhu akhir dari proses gelatinisasi yang
terjadi. Pada saat ini polarisasi granula pati hilang (98%) (Widyatmoko et al.,
2018). Pada sampel bahan praktikum yang diujikan, urutan nilai Tc dari yang
tertinggi ke yang terendah adalah tepung maizena (97,67oC), tepung pati sagu
(76,35oC), tepung mocaf (68,63oC), dan tepung jagung (53,90oC). Menurut
penelitian Khomsatin et al. (2012), nilai Tc dari tepung jagung yaitu 80,09 oC
sehingga nilai Tc dari tepung hasil praktikum lebih tinggi dari literatur. Hal ini
dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti berbedanya jenis spesies bahan
yang digunakan dan sebagainya. Menurut penelitian Syafriyanti et al. (2018)
tepung pati sagu memiliki nilai suhu Tc 75oC dan nilai ini mendekati dengan hasil
praktikum yaitu Tc tepung pati sagu 76oC. Pada tepung mocaf, nilai Tc hasil
praktikum lebih rendah dari literatur yang menyatakan nilai Tc tepung ubi kayu
fermentasi 74,4oC (Widiatmoko et al., 2018). Nilai Tc hasil praktikum pada sampel
tepung jagung juga lebih rendah dari literatur yaitu 75,2 oC (Khomsatin et al.,
2012). Rendahnya nilai Tc ini bisa disebabkan beda jenis spesies tanaman yang
digunakan yang bisa memengaruhi sifat termal pati bahan.

d. Entalpi (ΔH)
Nilai entalpi didapatkan dari luas area dibawah kurva antara titik To dan Tc.
Pada perhitungan nilai entalpi ini, proses yang terjadi adalah perhitungan jumlah
energi yang dibutuhkan untuk memotong ikatan rangkap heliks yang ada pada pati
(Garcia, et al. 2016). Nilai entalpi yang paling tinggi ada pada tepung maizena
(488,23 J/g), tepung mokaf (220,27 J/g), tepung jagung (8,56 J/g), dan tepung pati
sagu (5,89 J/g). Pada kurva, semua sampel bahan praktikkum memiliki nilai entalpi
negatif, dimana nilai ΔH negatif berarti terjadi reksi eksotermik (Zulkifli dan
Raudah, 2016). Reaksi eksotermik adalah reaksi melepaskan energi dari sistem ke
lingkungan, ditandai dengan nilai ΔH negatif. Reaksi endotermik merupakan
reaksi penyerapan energi oleh sistem dari lingkungan, ditandai dengan nilai ΔH
positif (Noer dan Dayana, 2021).

Hasil analisa sifat termal menggunakan DSC akan berbeda pada setiap bahan
tepung uji. Hal ini dikarenakan komposisi pati yang terdapat dalam bahan juga
berbeda. Pati terdiri dari struktur amilosa dan amilopektin yang memiliki sifat
termal yang berbeda. Amilosa merupakan polisakarida yang tersusun rantai lurus
D-glukosa ikatan α-1,4 glikosidik dan bersifat polar (larut air), sedangkan
amilopektin memiliki rantai cabang pada α-1,4 dan β-1,6 glikosidik yang memiliki
sifat nonpolar (tidak larut air) (Oktavia et al., 2013). Kepolaran dapat memengaruhi
sifat termal karena semakin polar suatu bahan maka perubahan suhu untuk proses
gelatinisasi juga akan semakin rendah. Perbandingan amilopektin yang tinggi dari
pada amilosa akan menyebabkan pati sulit untuk gelatinisasi sehingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai suhu gelatinisasi (Rosidi et al.
2006).
Tepung pati sagu terdiri dari 36% amilosa dan 63% amilopektin (Syafriyanti
et al. (2018). Pada tepung mocaf, amilosanya sebesar 31% dan amilopektin sebesar
59% (Fitria et al., 2017). Tepung jagung memiliki 25% amilosa dan 75%
amilopektin. Pati tepung maizena terdiri dari 30% amilosa dan 70% amilopektin
dan ada juga maizena dengan komposisi amilopektin hampir 100% (Khan et al.,
2014) sehingga suhu gelatinisasi tepung maizena paling tinggi jika dibandingkan
dengan tepung pati sagu, tepung mocaf, dan tepung jagung.
3.4. Rheometer

Data hasil analisis rheometer disajikan pada tabel dan gambar sebagai berikut.

Tabel 5. Nilai n, k dan 𝜏0 dari ketiga sampel yang diuji

Sampel n k 𝜏0 (Pa)
Mayonnaise 0,2319 73,8769 -2E-13
Sirop 0,8586 0,5893 -4E-14
Saus 0,1905 89,7206 1E+87

(a) (b)

(c)
Gambar 5. Plot Kurva Hubungan Shear Rate dan Shear Stress pada (a) Mayonnaise,
(b) Sirop, dan (c) Saus
(a) (b)

(c)

Gambar 6. Plot Kurva Hubungan Shear Rate dan Viskositas pada (a) Mayonnaise,
(b) Sirop, dan (c) Saus

Rheometer merupakan alat laboratorium yang digunakan untuk menentukan


sifat reologi lelehan polimer, larutan polimer, suspensi, ataupun emulsi serta
caranya mengalir sebagai respons terhadap gaya yang diberikan. Saat ini,
pengembangan rheometer sedang gencar-gencarnya karena data yang banyak dapat
diperoleh dalam waktu yang singkat. Beberapa rheometer yang dikembangkan
antara lain microfluic-rheometer (Giudice dan Barnes, 2022) dan ultrasound-based
rheometer (Luo et al., 2021). Spindle yang terdapat pada rheometer disebut
geometri. Terdapat dua jenis geometri, yaitu cone-plate (CP) dan plate-plate (PP).
Geometri cone-plate berbentuk seperti mangkuk dan memiliki derajat kemiringan.
Pada fluida newtonian, geometri CP menyebabkan aliran geser yang hampir
seragam (Paredes et al., 2015).
Setelah dilakukan pengujian menggunakan rheometer, akan diperoleh dua
kurva yaitu kurva hubungan shear rate dan shear stress serta kurva hubungan shear
rate dan viskositas. Semua sampel menunjukan hubungan yang berbanding lurus
antara shear rate dan shear stress. Namun, terlihat bahwa kurva sirop memiliki
bentuk yang berbeda dari kedua kurva. Perbedaan bentuk plot kurva yang
didapatkan menunjukan karakteristik reologi bahan tersebut. Sementara itu, pada
kurva hubungan viskostas dan shear rate, ketiga sampel juga menunjukan
penurunan nilai viskositas dengan semakin tingginya nilai shear rate. Bakshi et al.
(2020) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa hubungan berbanding terbalik
ini mengindikasikan reologi bahan shear-thinning atau semakin diberi gaya maka
akan semakin cair.

a. Mayonnaise
Secara visual, nilai n dapat diduga dari bentuk kurva yang menyerupai parabola.
Pada sampel mayonnaise, bentuk kurva shear rate-shear stress yang dihasilkan
oleh pengujian rheometer menunjukan bahwa nilai n<1 yang artinya reologi bahan
diduga shear-thinning (Hariyadi, 2006). Setelah dilakukan verifikasi menggunakan
data rheometer, divalidasi bahwa n<1, k>1 dan 𝜏0 ≈ 0. Berdasarkan ketiga
parameter tersebut, ditarik kesimpulan bahwa mayonnaise bersifat pseudoplastic.
Kadian et al. (2021) melaporkan bahwa mayonnaise menunjukan perilaku
pseudoplastic. Sifat pseudoplastic ini dipengaruhi oleh penggunaan berbagai
stabilizer terutama gum xanthan. Pazhvand dan Khavarpour (2019) dalam
penelitiannya mengenai mayonnaise yang diformulasikan dengan sesame oil juga
berpendapat sama bahwa mayonnaise memiliki perilaku pseudoplastic. Cerro et al.
(2021) membandingkan karakteristik fisikokimia mayonnaise tradisional dan
mayonnaise vegan dan mendapatkan hasil bahwa keduanya memiliki nilai aliran
<1. Nilai aliran ini mengindikasikan bahwa sampel memiliki perilaku pseudoplastic
dan berada pada kondisi yang semi-solid dengan jaringan yang mudah rusak.

b. Sirop
Kurva shear rate-shear stress pada sirop memiliki bentuk hampir linear.
Berdasakan penampakan kurva, diduga bahwa sirop memiliki sifat newtonian
dengan n=1. Selain itu, kurva hubungan shear rate dan viskositas juga cenderung
linear yang artinya meskipun shear rate bertambah, nilai viskositas akan cenderung
konstan. Setelah dilakukan verifikasi dari 61 data yang ada, nilai n sirop adalah
0,8586 atau mendekati 1. Sirop juga memiliki nilai k>1 dan 𝜏0 ≈ 0. Dengan
mempertimbangkan ketiga parameter tersebut, dapat dinyatakan bahwa sirop
merupakan fluida newtonian. Hariyadi (2007) juga menyampaikan hal yang sama
yaitu sirop merupakan salah satu jenis fluida newtonian. Fadilah (2002) meneliti
persamaan yang paling cocok untuk mengkarakterisasi sirop dan hasilnya adalah
persamaan Ostwald-de Waele dan persamaan Newtonian dianggap paling sesuai.
Fluida newtonian merupakan fluida yang akan tetap mengalir secara kontinyu
meskipun shear rate yang diberikan berbeda.

c. Saus
Sama seperti kurva pada mayonnaise, penampakan kurva saus juga memiliki
bentuk seperti parabola yang mengindikasikan nilai n<1 dan fluida memiliki
karakteristik shear-thinning. Setelah diplot pada kurva, nilai n saus adalah <1.
Sementara itu, baik nilai k maupun 𝜏0 >1 yang menunjukan bahwa saus memiliki
perilaku Herschel-Bulkley. Stanciu (2022) menguji perilaku reologi berbagai puree
sayuran dan saus tomat dimana hasil yang didapatkan adalah saus tomat memiliki
perilaku Herschel-Bulkley. Beberapa penelitian lain mencoba membandingkan
fitting model Power Law dan Herschel-Bulkley dengan saus tomat. Kubo et al.
(2019) kemudian melaporkan bahwa model Herschel-Bulkley lebih dapat
menggambarkan perilaku saus tomat dibandingkan Power Law.
IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh pada praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Nilai derajat putih sampel yang diukur menggunakan Whiteness Meter antara
lain tepung maizena 88,88%, garam 75,18%, tepung tapioka 92,9%, dan tepung
pati sagu 73,42%, sedangkan yang diukur menggunakan Chromameter antara
lain tepung maizena 93,09%, garam 89,89%, tepung tapioka 94,68%, dan
tepung pati sagu 89,13%. Nilai derajat putih sampel yang diukur menggunakan
kedua alat tersebut memiliki perbedaan yang tidak signifikan.
2. Analisis warna pada chroma meter diperoleh nilai L* tertinggi pada kulit buah
apel sebesar 60,95 dan terendah 46,22. Nilai a* tertinggi pada kulit buah apel
kelompok 4 sebesar 30,99 dan terendah pada sirup kelompok hijau sebesar -
28,65. Nilai b* yang tertinggi sebesar 47,77 pada sirup hijau kelompok 1 dan
terendah sebesar 10,56 pada daging buah pir kelompok 2. Untuk perubahan
warna (∆E*) tertinggi pada kulit apel (∆E*=22,47) yaitu tergolong ke kategori
5 dengan nilai ∆E* ≥ 6 dimana perbedaan warna yang sangat signifikan dan
mudah terlihat oleh kebanyakan orang. Dan ∆E* terendah pada daging pir
(∆E*=2,05) dimana tergolong ke kategori 3 dengan nilai 2 ≤ ∆E* < 3 dimana
perbedaan warna dapat terlihat oleh sebagian relatif kecil
3. Analisis sifat termal produk tepung menggunakan DSC memperoleh hasil
bahwa sampel tepung maizena memiliki To, Tp, Tc, dan nilai entalpi tertinggi
yang diikuti oleh sampel tepung pati sagu, tepung mocaf, lalu tepung jagung.
4. Pengukuran menggunakan rheometer menunjukkan bahwa sampel mayonaise
memiliki nilai n<1, k>1, dan 𝜏0 ≈ 0 yang menunjukan perilaku pseudoplastic,
sirop memiliki nilai n≈1, k>1, dan 𝜏0 ≈ 0 yang menunjukkan fluida
newtonian. dan saus memiliki nilai n<1, K>1, dan 𝜏0 >1 yang menunjukkan
perilaku Herschel-Bulkley.
DAFTAR PUSTAKA

Andreas, R. dan Sri, N. P. 2012. Kajian Penggunaan Ekstrak Angkak dalam


Pembuatan Low Fat Fruity Yogurt sebagai Pangan Fungsional. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Ayetigbo, O., Latif, S., Abass, A., dan Muller, J. 2018. Comparing Characteristics
of Root, Flour and Starch of Biofotified Yellow-Flesh and White-Fles
Cassava Variants, and Sustainability Considerations: A Review. J Sustain.
10(9): 1-32.

Bahanawan A., Krisdianto, 2020. Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan


Warna, Penyusutan Tebal, dan Pengurangan Berat Empat Jenis Bambu.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 38(2): 69 – 80.

Dao, H., Peduzzi, P., Herold, C., dan Mounton, F. 2009. Assesing Global Explosure
and Vulnerability Towards Natural Hazard: The Disaster Risk Index. Natural
Hazard and Earth System Sciences. 9(4): 1149-1159.

Del Giudice, F. dan Barnes, C. 2022. Rapid Temperature-Dependent Rheological


Measurements of Non-Newtonian Solutions Using A Machine-Learning
Aided Microfluidic Rheometer. Analytical Chemistry. 94(8): 3617-3628.

Ega, L. dan Lopulalan, C. G. C. 2015. Modifikasi Putu Sagu dangan Metode Heat
Moisture Treatment. Jurnal Teknologi Pertanian. 4(2): 33-40.

Fadilah, F. dan Fetria, W. 2002. Karakter Aliran Larutan Sirup. EKUILIBRIUM.


1(1): 1-5.

Fitria, T. N., Martono, Y., dan Riyanto, C. A. 2017. Pengaruh Asetilasi dan
Oksidasi Tepung Mocaf Terhadap Kadar Amilosa dan Amilopektin.
Prosiding Sains Nasional dan Teknologi. 1(1): 55-60.
Garcia, M. C., Franco, C. M. L., Junior, M. S. S., dan Caliari, M. 2016. Structural
Charateristics and Gelatinization Properties of Sour Cassava Starch. Journal
of Thermal Analysis and Calorimetry. 123(2): 919-926.
Hariyadi, P. 2006. Reologi: Kriteria Tekstur Produk Pangan Cair. Food Review
Indonesia.

Indrayati, F., Utami, R., dan Nurhartadi, E. 2013. Pengaruh Penambahan Minyak
Atsiri Kunyit Putih (Kaempferia rotunda) pada Edible Coating Terhadap
Stabilitas Warna dan pH Fillet Ikan Patin yang Disimpan pada Suhu Beku.
Jurnal Teknosains Pangan. 2(4): 25-31.
Kadian, D., Kumar, A., Badgujar, P. C., dan Sehrawat, R., 2021. Effect of
Homogenization and Microfluidization on Physicochemical and Rheological
Properties of Mayonnaise. Journal of Food Process Engineering. 44(4):
13661.

Khan, N. A., Yu, P., Ali, M., Cone, J. W., dan Hendriks, W. H. 2014. Nutritive
Value of Maize Silage in Relation to Dairy Cow Performance and Milk
Quality. Journal of the Science of Food and Agriculture. 95(2): 238-252.
Khomsatin, S. dan Haryanto, B. 2012. Kajian Pengaruh Pengukusan Bertekanan
(Steam Pressure Treatment) Terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Jagung.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23(1): 86-86.
Koswara, S., Diniari, A. 2015. Peningkatan Mutu dan Cara Produksi Pada Industri
Minuman Jahe Merah Instan di Desa Benteng, Ciampea, Bogor. Agrokreatif.
Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat, 1(2) : 149-161.
Luo, S., Weinell, C. E., Okkels, F., Ostergard, A. L., dan Kiil, S. 2021. On-Line,
Non-Newtonian Capillary Rheometry for Continuous and In-Line Coatings
Production. Journal of Coatings Technology and Research. 18: 611-626.
Noer, Z. dan Dayana, I. 2021. Karakterisasi Material. Guepedia Publisher. Medan.
Oktavia, A. D., Idiawati, N., dan Destiarti, L. 2013. Studi Awal Pemisahan Amilosa
dan Amilopektin Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas Lam) dengan Variasi
Konsentrasi n-butanol. Jurnal Kimia Khatulistiwa. 2(3): 153-156.
Paredes, J., Shahidzadeh, N., dan Bonn, D. 2015. Wall Slip and Fluidity in
Emulsion Flow. Physical Review E. 92(4): 042313.

Pasca, B., Muhandri, T., Hunaefi, D., Nurtama, B. 2021. Karakteristik Fisikokimia
Tepung Singkong dengan Beberapa Metode Modifikasi. Jurnal Mutu
Pangan. 8(2): 97-104.

Pazhvand, R. dan Khavarpour, M. 2019. Rheological, Physical and Sensory


Properties of Mayonnaise Formulated with Sesame Oil. Journal of Food
Biosciences and Technology. 9(1): 35-44.

Rodisi, D., Suryo, I., dan Iswanto, S. 2006. Pengaruh Substitusi Tepung Ketan
dengan Pati Sagu terhadap Kadar Air, Konsistensi, dan Sifat Organoleptik
Dodol Susu. Jurnal Peternakan Indonesia. 11(1): 66-73.
Rosmawati, B.H. 2008. Elastic, Optical, and Thermal Properties of TeO2-ZnOaAnd
TeO2-ZnO-AlF3 Glass Systems. Thesis. University of Putra Malaysia.
Malaysia.
Sinaga, Anita S. 2019. Segementasi Ruang Warna L* a* b*. Jurnal Mantik Penusa.
3(1): 43-46.
Stanciu, I. 2022. Rheological Behavior of Fruit and Vegetable Purees and Tomato
Sauce. Oriental Journal of Chemistry. 38(6): 1550.
Supadmi, S., Murdiati, A., dan Rahayu, E. 2016. Komposisi Gizi, Indeks Warna
Putih, dan Profil Granula Pati pada Modified Cassava Flour (Mocaf) yang
Difortifikasi dengan Iodium. Jurnal MGMI. 8(1): 65-78.

Syafriyanti, D. K., Andarwulan, N., Hariyadi, P., dan Laksana, A. J. 2018.


Karakteristik Pati Sagu (Metroxylon sp.) Hasil Modifikasi Ikat Silang. Jurnal
Mutu Pangan. 5(1): 25-33.
Wang, B., Li, D., Wang, L. J., Chiu, Y. L., Chen, X. D., dan Mao, Z. H. 2008. Effect
of High-Pressure Homogenization on The Structure and Thermal Properties
of Maize Starch. Journal of Food Engineering. 87(3): 436-444.
Widyatmoko, H., Subagio, A., dan Nurhayati, N. 2018. Sifat-Sifat Fisikokimia Pati
Ubi Kayu Terfermentasi Khamir Indigenus Tapai. Agritech. 38(2): 140-150.
Wijana, S., Nurika, I., dan Habibah, E. Analisis Kelayakan Kualitas Tapioka
Berbahan Baku Gaplek. Jurnal Teknologi Pertanian. 10(2): 97-105.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wunderlich, B. 2005. Thermal Analysis of Polymeric Materials. Springer. Berlin.

Zulkifli, Z. dan Raudah, R. 2016. Dekomposisi Termal pada Briket Biomassa Kulit
Tanduk Kopi Berbahan Perekat Tepung Kanji. Prosiding Semnas Hasil
Penelitian. 941-948.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Whiteness Meter

Lampiran 2. Chromameter

Lampiran 3. DSC (Differential Scanning Calorimetry)


Lampiran 4. Rheometer

Anda mungkin juga menyukai