Anda di halaman 1dari 41

MODUL GIZI

daur kehidupan

BALITA
ANGGOTA KELOMPOK
1. Dina Halliana 22030120120023
2. Widya Ratri Hernanda Putri 22030120130091
3. Indah Ayu Gita 22030120140111
4. Afifah Nur Qolbiyah 22030120130071
5. Gloria Nathania 22030120130093
6. Devina Shafrah Hadi 22030120130077
7. Miftahul Jannah 22030120130061
8. Krisnina Putri Cahayani 22030120140043
9. Nadiya Syifa Ainuzzahra 22030120140057
10. Luthfiya Nida Ideliasari 22030120140115
11. Afwah Nur Afifah 22030120130033
12. Putri Anggun Wahyuningrum 22030120140125
DAFTAR ISI
LATAR BELAKANG ............................................................................................1
TUJUAN ...............................................................................................................3
A. KARAKTERISTIK BALITA .........................................................................4
B. PENGUKURAN/PEMANTAUAN STATUS GIZI BALITA .........................9
C. KEBUTUHAN GIZI BALITA ......................................................................15
D. MASALAH GIZI PADA BALITA ..............................................................20
E. TIPS DAN MAKANAN YANG BERKAITAN .............................................28
F. MITOS ATAU FAKTA .................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................33
LATAR BELAKANG
Masa balita merujuk pada usia anak 1-5 tahun yang sering dianggap
sebagai golden age karena tumbuh kembang seseorang pada masa
balita akan sangat mempengaruhi masa selanjutnya. Balita terbagi atas 2
kategori, yaitu batita (1-3 tahun) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Kedua
kategori ini memiliki perbedaan, terutama dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Batita memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat
daripada anak prasekolah. Orang tua juga memiliki peran utama dalam
pemberian makan terhadap batita, berbeda dengan anak prasekolah
yang umumnya sudah bisa memilih makanannya sendiri.(1)
Pada masa balita peningkatan aktivitas fisik terjadi sehingga balita
membutuhkan asupan yang besar untuk menunjang aktivitas serta
tumbuh kembangnya. Hal ini menjadikan balita rentan mengalami
malnutrisi. Kurang atau tidak seimbangnya asupan gizi dari kebutuhan
dapat berisiko menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada seluruh organ dan sistem tubuh sehingga akan berdampak pada
masa yang akan datang. Kekurangan gizi pada balita juga berisiko
menyebabkan penurunan IQ, penurunan imunitas dan produktivitas,
masalah kesehatan mental dan emosional, serta kegagalan
pertumbuhan. (2,3)
Indonesia masih mengalami masalah gizi ganda terkait asupan
makronutrien, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Berdasarkan data Riskesdas
tahun 2018, prevalensi balita Indonesia menurut indikator BB/U usia 0-5
tahun yang mengalami gizi buruk mencapai 3,9%, gizi kurang 13,8%, dan
gizi lebih 3,1%. Prevalensi tertinggi terdapat pada usia 2-3 tahun dan 4-5
tahun. Sementara, berdasarkan TB/U pada kelompok usia yang sama,
terdapat 11,5% balita sangat pendek dan 19,3% balita pendek di Indonesia.
Prevalensi tertinggi terdapat pada usia 1-3 tahun. Selain itu, masih
terdapat 3,5% balita sangat kurus, 6,7% balita kurus, dan 8% balita gemuk
di Indonesia menurut BB/TB.(4)
1
Apabila dibiarkan, masalah-masalah ini akan menjadi masalah gizi kronis
dan dapat berdampak pada penurunan kecerdasan atau kemampuan
kognitif, meningkatnya morbiditas, serta meningkatkan risiko terhadap
penyakit degeneratif di masa mendatang.(5)
Salah satu penyebab langsung masalah-masalah gizi ini adalah
asupan gizi yang kurang memadai atau tidak seimbang. Selain itu,
terdapat faktor-faktor lain yang saling terkait dan memiliki pengaruh
besar terhadap status gizi balita. Beberapa faktor tersebut diantaranya
kondisi sosial ekonomi, pengetahuan tentang gizi, dan pola asuh orang
tua. Malnutrisi lebih banyak ditemukan pada keluarga dengan status
ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. Pengetahuan tentang gizi
akan membantu keluarga dalam mencari berbagai alternatif pemecahan
masalah gizi yang terjadi, tetapi untuk menanggulangi kekurangan
konsumsi akibat daya beli yang rendah, perlu usaha untuk meningkatkan
penghasilan keluarga. Pola pengasuhan ibu terhadap anak yang baik
juga sangat penting, karena akan mempengaruhi proses tumbuh
kembang balita. Pola pengasuhan ibu terhadap anak berkaitan erat
dengan kondisi ibu, terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan tentang pengasuhan anak.(6)

2
TUJUAN
Berdasarkan uraian di atas, pembuatan modul ini bertujuan sebagai
bahan edukasi terkait gizi balita. Adapun tujuan spesifik dari isi modul ini
adalah:
1. Sebagai media edukasi dan panduan untuk pemenuhan gizi balita,
2. Untuk memahami karakteristik balita,
3. Untuk memahami penilaian status gizi pada balita,
4. Untuk memahami permasalahan-permasalahan yang sering terjadi
pada balita,
5. Untuk memahami kebutuhan asupan gizi balita, dan
6. Untuk mengungkap mitos dan fakta seputar gizi balita

3
A. KARAKTERISTIK BALITA
1. KARAKTERISTIK PSIKOLOGI
Perkembangan dan pertumbuhan pada masa balita menjadi pe-
nentu keberhasilan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang
pada usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan
pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa
keemasan.(7)
Kemandirian vs ragu dan malu. Pada masa ini anak sedang belajar
untuk menegakkan kemandiriannya namun ia belum dapat berfikir, oleh
karena itu masih perlu mendapat bimbingan yang tegas. Pada fase ini
anak menunjukkan sifat ke-AKU-annya. Sikapnya sangat narsistik dan
egoistic. Ia mulai belajar kenal tubuhnya sendiri dan mendapatkan
kepuasan dari pengalaman. Suatu tugas penting yang lain dalam fase ini
adalah perkembangan pembicaraan dan bahasa. Pada umur ini seorang
anak masih bermain sendiri, ia belum bisa berbagi atau main bersama
dengan anak lain. Sifatnya sangat egosentrik dan sadistik.(8)
Adapun perkembangan psikososial yang terjadi pada masa ini me-
liputi beberapa hal yaitu:
a. Perkembangan Emosi
Selama awal masa balita emosi sangat kuat. Hal ini tampak mencolok
pada anak-anak usia 2,5 sampai 3,5 tahun dan 5,5 sampai 6,5 tahun,
meskipun pada umumnya hal ini berlaku pada hampir seluruh periode
masa anak-anak awal. Emosi yang meninggi ditandai dengan
meledaknya amarah yang kuat, ketakutan yang hebat dan rasa iri hati
yang tinggi. Pada masa ini anak sulit untuk dibimbing dan diarahkan,
mereka cenderung akan marah, memberontak dan tersinggung jika
diperingati. Hal ini disebabkan karena anak keluar dari fokus mereka.(9)

4
b. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi
dengan lingkungannya dan anak akan belajar memberi dan menerima
saat aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman,
memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial yang
ada pada kelompoknya.(8) Anak-anak juga akan mulai membandingkan
antara dirinya dengan teman-teman sebayanya.(9)
c. Perkembangan Permainan
Permainan lebih mendominasi kehidupan anak di masa ini. Perma-
inan dapat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif,
perkembangan sosial. dan juga perkembangan emosional pada anak.
Berbagai macam permainan akan melatih anak dalam segala hal,
termasuk dalam memecahkan masalah yang dihadapi anak-anak.(9)
d. Perkembangan Moral
Pada masa ini perkembangan moral tidak begitu pesat berkembang,
hal ini disebabkan oleh pemikiran intelektual anak belum bisa mencapai
pemahaman mengenai prinsip-prinsip benar dan salah, pada masa ini
anak belum bisa membedakan hal-hal yang benar untuk dilakukan dan
hal yang tidak boleh dilakukan.(9)
e. Perkembangan Intelektual
Anak akan melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala
sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya. Terutama mengenal warna,
bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain pula
anak akan melatih diri untuk memecahkan masalah.(8)

2. KARAKTERISTIK FISIK
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkem-
bangan berikutnya, dengan meningkatnya pertumbuhan berat badan,
tinggi badan, perkembangan indera dan organ lainnya serta
kekuatannya, memungkinkan anak untuk lebih aktif dan berkembang
keterampilan fisiknya, dan juga berkembangnya eksplorasi terhadap
lingkungan tanpa bantuan orang tuanya.(10)
5
Anggota badan tumbuh dengan kecepatan yang berbeda-beda
dan tiap anak mempunyai tempo perkembangannya sendiri. Proporsi
badan dan jaringan urat daging dapat dikatakan tetap sampai kurang
lebih tahun kelima.(10)
1. Pertumbuhan Tinggi dan Berat Badan
Pada tahun kedua, angka penambahan berat badan adalah 0,25
kg/tahun sampai berusia 10 tahun. Panjang tubuh rata-rata pada akhir
pertama bertambah 50% dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun
keempat. Pada usia tiga tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm, dan
beratnya sekitar 10-13 kg. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun
pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumnya.
2. Perkembangan Indera
Pada usia balita, kelima indera anak yaitu penglihatan, pendengaran,
penciuman, dan peraba diharapkan sudah berfungsi optimal. Sejalan
dengan perkembangan kecerdasan dan banyak kata yang ia dengar,
anak usia pra sekolah sudah dapat berbicara dengan menggunakan
kalimat lengkap yang sederhana.
3. Pertumbuhan Gigi
Pembentukan struktur gizi yang sehat dan sempurna dimungkinkan
dengan gizi protein, kalsium, fosfat, dan vitamin yang cukup. Pada usia 16-
18 bulan gigi taring mulai muncul. Usia dua tahun, umur bayi dalam bulan
dapat diukur secara kasar dengan menghitung jumlah gigi ditambah
dengan enam
4. Denyut Jantung
Denyut jantung balita lebih cepat daripada orang dewasa. Pada usia 2-4
tahun yaitu 100/menit.(10)

6
3. KARAKTERISTIK KOGNITIF
Dalam perkembangan kognitif, otak anak mulai berkembang dalam
kemampuan untuk berpikir, belajar dan mengingat. Dunia Kognitif anak
pada usia ini adalah kreatif, bebas, dan fantastis. Imajinasi anak
berkembang sepanjang waktu, dan pemahaman mental mereka
mengenai dunia menjadi lebih baik.(9)
Saat anak berusia 3 hingga 4 tahun, sistem koneksi neuron dasar
anak telah terhubung dengan baik dan jaringan sarafnya mulai meluas.
Jaringan yang banyak mendapat penguatan akan tumbuh dengan baik.
Jalur-jalur koneksi yang kuat mulai dibangun dalam jaringan asosiatif.
Jalur ini memperkuat koneksi antara pusat-pusat penglihatan,
pendengaran, dan motorik. Semakin kuatnya koneksi tersebut, anak
dapat mengendalikan gerak, berhenti, bergerak lagu, mengubah arah,
dan meniru gerakan orang lain. Otak anak juga telah berpikir secara
simbolik dengan konsep-konsep abstrak. Kemampuan berpikir secara
nalar dan naluri mulai meningkat, sehingga anak dapat mengolah
dimensi mental lebih dari satu dan serentak. Kemampuan otak anak juga
mulai berkembang sehingga mampu mengingat kejadian atau peristiwa,
pengalaman emosional, dan mampu menceritakan kembali semuanya
kepada orang lain.(11)

7
4. KARAKTERISTIK BIOLOGIS
a. Berat Badan Lahir
Riwayat kelahiran BBLR dapat menyebabkan pertumbuhan pada balita
tidak normal. Selain itu bahwa bayi dengan BBLR memiliki pengaruh besar
terhadap kejadian balita dengan berat badan di bawah garis merah dan
hal ini menentukan pertumbuhan anak di masa yang akan datang.
Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk apabila BBLR kurang mendapat
penanganan yang baik.(12)
b. Status Imunisasi
Imunisasi dasar sangat penting bagi imunitas balita, dimana sesuai
dengan target nasional bahwa imunisasi dasar lengkap harus mencapai
target sampai 100,0%. Anak yang tidak diimunisasi secara lengkap akan
terdapat gangguan kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi karena
produksi antibodi menurun mengakibatkan mudahnya bibit penyakit
masuk, hal dapat mengganggu produksi berbagai jenis enzim untuk
pencernaan makanan.(13)
c. Status ASI Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif berpengaruh pada imunitas balita terhadap
suatu penyakit. Balita yang tidak mendapat ASI eksklusif rentan terhadap
berbagai penyakit. Hal ini dapat disebabkan karena komposisi susu
formula tidak sama dengan komposisi dari ASI. Selain itu balita yang tidak
mendapat ASI eksklusif akan mengalami gangguan psikomotorik halus
maupun kasar.(14)

8
B. PENGUKURAN/PEMANTAUAN
STATUS GIZI BALITA
Pemantauan pertumbuhan fisik anak dilakukan dengan meng-
gunakan parameter di antaranya ukuran antropometri, gejala/tanda
pada pemeriksaan fisik, gejala/tanda pada pemeriksaan laboratorium,
dan gejala/tanda pemeriksaan radiologis. Pemantauan yang sering
dilakukan adalah pengukuran antropometri. Pengukuran antropometri ini
merupakan salah satu cara pengukuran yang dapat dilakukan oleh pihak
selain tenaga kesehatan, seperti kader dan guru PAUD (Pendidikan Anak
Usia Dini) yang sudah dilatih oleh tenaga kesehatan.(15)
Menurut bahasa, antropometri adalah ukuran tubuh. Antropometri
banyak digunakan untuk mengukur status gizi anak. Hal ini karena
prosedur yang digunakan sangat sederhana dan aman, relatif tidak
membutuhkan tenaga ahli, menghasilkan data yang tepat dan akurat
serta dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi dimasa
lampau. Parameter yang sering digunakan yaitu umur, berat badan , dan
tinggi.(16) Pengukuran antropometri dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu
: (15)
Pengukuran yang tergantung usia
Pengukuran tergantung pada usia, yaitu berat badan terhadap usia
(BB/U), tinggi badan terhadap usia (TB/U), lingkar kepala terhadap usia
(LK/U), dan lingkar lengan atas terhadap usia (LLA/U). Pengukuran status
gizi yang tergantung dengan usia memiliki kesulitan. Kesulitan yang sering
didapati adalah kurang tepatnya menentukan usia anak. Ketidaktepatan
dapat disebabkan oleh tidak semua anak memiliki catatan tanggal.
Pengukuran yang tidak tergantung usia.
Pengukuran antropometri yang tidak tergantung usia yaitu berat
badan terhadap tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas terhadap tinggi
badan (LLA/TB), dan lingkar lengan atas, lipatan kulit pada trisep,
subscapular, abdominal yang dibandingkan dengan standar/baku.
9
1. INDEKS STANDAR ANTROPOMETRI ANAK
Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat
badan dan panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks,
meliputi: (17)
a. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif dibandingkan
dengan umur anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan
berat badan kurang (underweight) atau sangat kurang (severely
underweight), tetapi tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
anak gemuk atau sangat gemuk. Penting diketahui bahwa seorang anak
dengan BB/U rendah, kemungkinan mengalami masalah pertumbuhan,
sehingga perlu dikonfirmasi dengan indeks BB/PB atau BB/TB atau IMT/U
sebelum diintervensi.
b. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur
(PB/U atau TB/U)
Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang atau
tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat
mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted) atau sangat pendek
(severely stunted), yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu lama
atau sering sakit. Anak-anak yang tergolong tinggi menurut umurnya juga
dapat diidentifikasi. Anak-anak dengan tinggi badan di atas normal
(tinggi sekali) biasanya disebabkan oleh gangguan endokrin, namun hal
ini jarang terjadi di Indonesia.
c. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB atau
BB/TB)
Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan anak
sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya. Indeks ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi anak gizi kurang (wasted), gizi buruk
(severely wasted) serta anak yang memiliki risiko gizi lebih (possible risk of
overweight). Kondisi gizi buruk biasanya disebabkan oleh penyakit dan
kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi (akut) maupun yang telah
lama terjadi (kronis).
10
1. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi buruk, gizi
kurang, gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan obesitas. Grafik IMT/U
dan grafik BB/PB atau BB/TB cenderung menunjukkan hasil yang sama.
Namun indeks IMT/U lebih sensitif untuk penapisan anak gizi lebih dan
obesitas. Anak dengan ambang batas IMT/U >+1SD berisiko gizi lebih
sehingga perlu ditangani lebih lanjut untuk mencegah terjadinya gizi lebih
dan obesitas.

2. KATEGORI DAN AMBANG BATAS STATUS GIZI ANAK


Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

11
Sumber: PMK No. 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak.(17)

Keterangan:
Anak yang termasuk pada kategori ini mungkin memiliki masalah
pertumbuhan, perlu dikonfirmasi dengan BB/TB atau IMT/U.
Anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak
menjadi masalah kecuali kemungkinan adanya gangguan endokrin
seperti tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuk ke
dokter spesialis anak jika diduga mengalami gangguan endokrin
(misalnya anak yang sangat tinggi menurut umurnya sedangkan tinggi
orang tua normal).
Walaupun interpretasi IMT/U mencantumkan gizi buruk dan gizi kurang,
kriteria diagnosis gizi buruk dan gizi kurang menurut pedoman
Tatalaksana Anak Gizi Buruk menggunakan Indeks Berat Badan
menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB).

12
3. PARAMETER ANTROPOMETRI
Parameter antropometri dapat digunakan untuk mengukur per-
tumbuhan linier. Berikut adalah contoh parameter antropometri : (18)
a. Berat Badan
Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan mineral
yang terdapat di dalam tubuh. Berat badan merupakan komposit
pengukuran ukuran total tubuh. Pengukuran berat badan mudah
dilakukan dan alat ukur untuk menimbang berat badan mudah diperoleh.
Pengukuran berat badan memerlukan alat yang hasil ukurannya akurat.
Beberapa jenis alat timbang yang biasa digunakan untuk mengukur berat
badan adalah dacin untuk menimbang berat badan balita, timbangan
detecto, bathroom scale (timbangan kamar mandi), timbangan injak
digital, dan timbangan berat badan lainnya.
b. Tinggi Badan
Tinggi badan atau panjang badan menggambarkan ukuran
pertumbuhan massa tulang yang terjadi akibat dari asupan gizi. Oleh
karena itu tinggi badan digunakan sebagai parameter antropometri
untuk menggambarkan pertumbuhan linier. Pertambahan tinggi badan
atau panjang terjadi dalam waktu yang lama sehingga sering disebut
akibat masalah gizi kronis.
c. Lingkar Kepala
Lingkar kepala dapat digunakan sebagai pengukuran ukuran
pertumbuhan lingkar kepala dan pertumbuhan otak, walaupun tidak
sepenuhnya berkorelasi dengan volume otak. Pengukuran lingkar kepala
merupakan predikator terbaik dalam melihat perkembangan saraf anak
dan pertumbuhan global otak dan struktur internal.
d. Lingkar Dada
Lingkar dada dapat dipakai sebagai pengganti penimbangan berat
lahir untuk deteksi BBLR. Pengukuran lingkar dada biasa digunakan pada
anak umur 2- 3 tahun karena pertumbuhan lingkar dada pesat sampai
pada umur tersebut.

13
Manfaat lain lingkar kepala adalah:
Rasio lingkar dada dan lingkar kepala dapat digunakan sebagai
indikator KEP pada balita,
Pada umur 6 bulan lingkar dada dan lingkar kepala sama,
Setelah umur ini lingkar kepala tumbuh lebih lambat daripada lingkar
dada,
Pada anak yang KEP terjadi pertumbuhan lingkar dada yang lambat
rasio lingkar dada dan lingkar kepala < 1
e. Lingkar Lengan Atas
Lingkar lengan atas (LILA) merupakan gambaran keadaan jaringan
otot dan lapisan lemak bawah kulit. LILA mencerminkan tumbuh kembang
jaringan lemak dan otot yang tidak berpengaruh oleh cairan tubuh
Besarnya ukuran lingkar lengan atas menunjukkan persediaan lemak
tubuh cukup banyak, sebaliknya ukuran yang kecil menunjukkan
persediaan lemak sedikit. Lingkar lengan atas mencerminkan cadangan
energi sehingga dapat mencerminkan status KEP pada balita.

14
C. KEBUTUHAN GIZI BALITA
Masalah gizi kurang (underweight) dan pendek (stunting) pada anak
balita di Indonesia saat ini masih cukup tinggi dan cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang dan buruk pada anak balita
sebesar 19,6%. (19) Berdasarkan provinsi, dari sejumlah 33 provinsi di
Indonesia terdapat 18 provinsi dengan prevalensi gizi kurang (indeks
berat badan menurut umur) lebih dari 20%. Bahkan terdapat tiga provinsi
termasuk kategori prevalensi sangat tinggi (>30%), yaitu Sulawesi Barat,
Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (TB/U),
prevalensi anak balita pendek dan sangat pendek sebanyak 37,2%. Pada
tingkat provinsi, prevalensi stunting (TB/U) di Indonesia berkisar antara
22,5-58,4%, hal ini menunjukkan bahwa masalah stunting masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di semua provinsi di
Indonesia.(20) Usia balita sangat penting untuk diperhatikan kebutuhan
gizinya. Kekurangan gizi pada masa balita terkait dengan perkembangan
otak sehingga dapat mempengaruhi kecerdasan anak dan berdampak
pada pembentukan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.
Berikut ini beberapa zat gizi penting yang harus terpenuhi pada masa
kehidupan balita.
1. PROTEIN
Asupan protein sangat penting bagi balita dikarenakan balita
membutuhkan asupan protein yang cukup untuk proses tumbuh
kembangnya. Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang berfungsi
sebagai zat pembangun, pemelihara sel dan jaringan tubuh serta
membantu dalam metabolisme sistem kekebalan tubuh seseorang.
Protein yang berasal dari makanan akan dicerna dan diubah menjadi
asam amino yang berfungsi sebagai prekursor dari neurotransmitter dan
berperan dalam perkembangan otak anak.
15
Protein erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh, asupan protein
yang rendah menyebabkan gangguan pada mukosa, menurunnya sistem
imun sehingga mudah terserang penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pencernaan dan pernafasan.(2) Kebutuhan protein harian berdasarkan
AKG tahun 2019 untuk usia 1 sampai 3 tahun sebesar 20 gram dan 4
sampai 6 tahun sebesar 25 gram.(21)
2. SENG
Seng merupakan mineral esensial yang ditemukan pada hampir
semua sel. Seng berperan dalam metabolisme, pertumbuhan, diferensiasi
sel, sistem imunitas, dan perkembangan balita. Defisiensi seng pada
balita berkaitan dengan menurunnya nafsu makan dan mengakibatkan
pola makan yang buruk serta mengakibatkan kegagalan pertumbuhan
pada balita. Seng dibutuhkan untuk proses pertumbuhan bukan hanya
karena efek replikasi sel dan metabolisme namun juga sebagai mediator
hormon pertumbuhan.(22)
Seng atau zink dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang cukup. Kebu-
tuhan seng harian berdasarkan AKG tahun 2019 anak usia 1-3 tahun dan 4-
5 tahun secara berturut-turut adalah 3 mg dan 5 mg. (21) Namun, asupan
seng dalam jumlah yang berlebih dapat berisiko menimbulkan kerusakan
pada sel saraf otak. Hal ini disebabkan oleh tempat penyimpanan seng
dalam jumlah besar adalah pada terminal neuron sehingga toksisitas
seng dapat menyebabkan neurotoksin.(23) Batas aman asupan maksimal
seng harian anak usia 1-3 tahun adalah 7 mg dan usia 4-5 tahun adalah 12
mg.(24)
3. ZAT BESI
Besi berfungsi sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jari-
ngan tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan bagian terpadu dari
berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Defisiensi zat besi banyak
ditemukan di Negara berkembang, terutama pada golongan balita umur
1-3 tahun. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan lesu pada anak-anak
yang menyebabkan nafsu makan menurun dan asupan energi menjadi
kurang.
16
Hal ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan zat besi pada masa
pertumbuhan, berkurangnya cadangan besi, dan makanan yang diasup
oleh balita tidak mengandung cukup zat besi. Asupan besi yang kurang
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada balita.(22)
Zat besi dibutuhkan tubuh balita dalam jumlah yang cukup. Kebu-
tuhan zat besi harian berdasarkan Angka kecukupan Gizi (AKG) tahun 2019
anak usia 1-3 tahun dan 4-5 tahun secara berturut-turut adalah 7 mg dan
10 mg. (21) Batas atas aman asupan zat besi harian untuk balita adalah
sebanyak 40 mg. Asupan zat besi yang berlebih dapat menimbulkan efek
samping pada kesehatan. Salah satu penelitian pada tikus wistar berusia
12-14 hari yang diberikan zat besi berupa iron carbonyl dengan dosis
tinggi (10 mg/kg) selama 2-3 bulan berdampak menurunkan ±29% ingatan
pengenalan objek pada tikus tersebut.(23,24)
4. YODIUM
Yodium merupakan salah satu zat gizi esensial yang ditemukan
dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam tubuh. Iodium merupakan
bagian dari hormon tiroksin yang berfungsi dalam pengaturan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Metabolisme iodium berkaitan
dengan hormon pertumbuhan (Growth Hormone/GH) yang memiliki peran
penting dalam pertumbuhan.(25) Yodium diperlukan dalam pertumbuhan
tubuh pada masa gestasi dan awal kehidupan, karena yodium
merupakan komponen penting dalam pembentukan hormon tiroid. Ketika
asupan yodium tidak sesuai dengan kebutuhan yodium, maka sintesis
hormon tiroid akan terganggu. Gangguan pertumbuhan dan
perkembangan balita merupakan dampak yang terjadi saat hipotiroid
selama gestasi. Kekurangan hormon tiroid dapat menurunkan aktivitas
hormon pertumbuhan seperti (Insulin Growth Hormon) yang berakibat
pada sejumlah kelainan perkembangan dan fungsional lainnya atau
disebut GAKY.(26) Kebutuhan yodium harian berdasarkan AKG tahun 2019
untuk usia 1 sampai 3 tahun sebesar 90 mcg dan 4 sampai 6 tahun
sebesar 120 mcg. (21)

17
Toksisitas yodium akut jarang terjadi dan seringkali sulit dikenali.
Manifestasi klinis dapat berkisar dari mual, muntah, dan diare hingga
delirium, pingsan, dan syok. Konsumsi yodium hingga 1 mg per hari masih
dianggap aman.(27)
5. KALSIUM
Kalsium adalah mineral yang berperan sangat penting bagi
metabolisme tubuh, sebagai penghubung antar syaraf, dalam kerja
jantung dan pergerakan otot.(28) Selama pertumbuhan, tuntunan
terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi, asupan kalsium yang sangat
rendah dapat menyebabkan hipokalsemia, meskipun sekresi dari kelenjar
paratiroid maksimal, yang dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi
matriks deposit tulang baru dan disfungsi osteoblas. Defisiensi kalsium
akan mempengaruhi pertumbuhan linear jika kandungan kalsium dalam
tulang kurang dari 50% kandungan normal. Pada bayi, kekurangan
kalsium didalam tulang dapat menyebabkan rakitis, sedangkan pada
anak-anak, kekurangan deposit dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan.(29) Kebutuhan kalsium harian berdasarkan AKG tahun 2019
untuk usia 1 sampai 3 tahun sebesar 650 mg dan 4 sampai 6 tahun
sebesar 1000 mg.(21)
6. VITAMIN A
Vitamin A adalah zat gizi yang paling esensial untuk pemulihan
kesehatan dan kelangsungan hidup.(29) Kekurangan vitamin A akan
meningkatkan mortalitas dan morbiditas, anak muda terkena penyakit
infeksi seperti diare, radang paru, pneumonia, buta senja, dan tanda-
tanda lain dari xeropthalmia termasuk kerusakan kornea (keratomalasia)
dan kebutaan.(30) Penelitian yang telah dilakukan World Health
Organization (WHO) menunjukkan dari 20 juta balita di Indonesia
setengahnya menderita kekurangan Vitamin A. Sedangkan data dari WHO,
Indonesia merupakan salah satu negara yang pemenuhan Vitamin A
tergolong rendah.(29) Kebutuhan vitamin A harian berdasarkan Angka
kecukupan Gizi (AKG) tahun 2019 anak usia 1-3 tahun dan 4-6 tahun secara
berturut-turut adalah 400 RE dan 450 RE. (21)
18
7. VITAMIN C
Vitamin C atau asam askorbat termasuk vitamin larut air dan
merupakan antioksidan larut air utama di dalam tubuh. Kadar antioksidan
yang rendah mempengaruhi sistem imun dan menyebabkan anak-anak
sering terkena ISPA dan infeksi pada tonsil. Vitamin C dapat
meningkatkan komponen imunitas seperti aktivitas antimikrobial dan sel
Natural Killer (NK cell), proliferasi limfosit, dan kemotaksis serta
berkontribusi dalam pemeliharaan integritas redoks sel dan melindungi
terhadap Reactive Oxygen Species (ROS).(31) Kebutuhan vitamin C harian
berdasarkan Angka kecukupan Gizi (AKG) tahun 2019 anak usia 1-3 tahun
dan 4-6 tahun secara berturut-turut adalah 40 mg dan 45 mg. (21)

19
D. MASALAH GIZI PADA BALITA
1. KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi zat energi dan zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga
tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan atau gangguan penyakit
tertentu. Balita yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada
pemeriksaan anak hanya nampak kurus karena ukuran berat badan anak
tidak sesuai dengan berat badan anak yang sehat. Anak dikatakan KEP
apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut
umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP ringan apabila BB/U 70% sampai 79,9%
dan KEP sedang apabila BB/U 60% sampai 69,9%, % Baku WHO-NCHS. (32)
UNICEF mengungkapkan bahwa KEP disebabkan oleh penyebab
langsung dan tak langsung. Penyebab langsung yaitu konsumsi makanan
dan infeksi Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang
tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup
baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita
kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup
(jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam
keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi
nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi buruk.
Sedangkan penyebab tak langsung yaitu ketersediaan pangan, pola
asuh anak, pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih. Semua
penyebab tak langsung ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan. (32.33)
Untuk mengantisipasi masalah asupan nutrisi dan penyakit infeksi,
perlu ditingkatkan upaya penyuluhan gizi yang berkaitan dengan
alternatif-alternatif makanan yang berimbang dan bergizi, serta
pemberdayaan masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungannya-

20
karena gizi kurang juga disebabkan oleh penyakit infeksi kronis pada
balita dimana sebagian besar penyakit infeksi berasal dari kebersihan
lingkungan yang tidak terjaga sehingga berpengaruh terhadap zat-zat
gizi dalam tubuh.(34)

2. KEKURANGAN VITAMIN A (KVA)


Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi
utama. Meskipun KVA tingkat berat rabun senja sudah jarang ditemui,
tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan
gejala nyata, masih menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita.
Vitamin A memilki peranan penting dalam fungsi normal sistem kekebalan
tubuh. Oleh karena itu pada saat terjadi defisiensi vitamin A fungsi normal
sistem kekebalan tubuh (imunologis) terganggu, akibatnya tingkat infeksi
bibit penyakit ke dalam tubuh juga akan meningkat. Kekurangan vitamin A
meningkatkan risiko anak balita terhadap penyakit infeksi seperti
penyakit saluran pernafasan dan diare, meningkatkan angka kematian
karena campak, serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.(35)
Defisiensi vitamin A dapat timbul karena makanan yang kurang
kandungan vitamin A-nya atau karena absorpsi dan transportasi vitamin
A yang kurang baik dalam tubuh. Tanda-tanda khas defisiensi vitamin A
antara lain melemahnya kekebalan tubuh, keratinisasi dan terhambatnya
pertumbuhan terkhusus pada pembentukan rangka. Gejala-gejala
defisiensi vitamin A pada mata, diawali dengan berkurangnya daya
adaptasi, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan mata dengan keadaan
redup, yang lambat laun menjadi buta malam (niktalopia). Pada stadium
terakhir defisiensi vitamin A dapat timbul xeroftalmia, yaitu mengering
dan mengerasnya sel-sel kornea yang berakibat keratomalasia, yaitu
hancurnya kornea mata sehingga menjadi kebutaan.(36)
Kesadaran seseorang akan pentingnya vitamin A pada balita ter-
lihat dari pengetahuan yang ia miliki, salah satu penyebab timbulnya
masalah kekurangan vitamin A adalah perilaku atau sikap ibu yang tidak
memberikan vitamin A kepada anaknya.
21
Hal tersebut dilandasi oleh kurangnya pengetahuan akan pentingnya
pemberian vitamin A. Ketika seorang berada di tingkatan pengetahuan
yang lebih tinggi maka perhatian akan pentingnya pemberian vitamin A
juga lebih tinggi. Salah satunya dengan pemberian suplementasi vitamin
A pada anak balita dengan program kesehatan yang sudah ada di
posyandu ataupun tempat pelayanan kesehatan lainnya.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau pun
melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui
penyuluhan baik secara individu mau pun kelompok. Untuk meningkatkan
pengetahuan kesehatan diperlukan penyuluhan kesehatan yang
bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan
masyarakat dalam membina dan memelihara hidup sehat dan
lingkungan sehat dan berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat
kesehatan optimal.(37)

3. ANEMIA DEFISIENSI BESI


Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah
atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi
untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO dan pedoman Kemenkes
1999, cut-off points anemia berbeda-beda antar kelompok umur, maupun
golongan individu. Kelompok umur atau golongan individu tertentu
dianggap lebih rentan mengalami anemia dibandingkan kelompok
lainnya. Rujukan cut-off point anemia balita 12–59 bulan adalah kadar Hb
dibawah 11,0 g/dL. Anak sekolah usia 6–12 tahun dianggap mengalami
anemia bila kadar Hbnya ,12,0 g/dL. Ibu hamil dianggap mengalami
anemia bila kadar Hb-nya di bawah 11,0 g/dL. Sementara itu, laki-laki
berusia ≥15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hb <13,0 g/dL
dan wanita usia subur 15–49 tahun mengalami anemia bila kadar Hb <12,0
g/dL (Kemenkes RI, 2013).
Penyebab utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak
cukup dan absorbsi zat besi yang rendah serta pola makan yang
sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam.

22
Selain itu investasi cacing dan penyakit malaria memperberat keadaan
anemia yang diderita pada daerah-daerah tertentu terutama daerah
pedesaan. anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas
kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Anemia defisiensi
besi dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius, seperti
penurunan kecerdasan dan perkembangan motorik serta perilaku pada
anak-anak. Anemia pada balita dapat mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan fisik yang terhambat, gangguan perkembangan mental,
kecerdasan berkurang, produktivitas kerja menurun, dan gangguan
fungsi reproduksi pada masa yang akan datang. Faktor-faktor yang
dapat menimbulkan defisiensi zat besi adalah kurangnya persediaan zat
besi pada makanan dan buruknya absorpsi zat besi sebagai akibat
adanya tanin dalam minuman teh dan fitat dalam sayuran yang
dikonsumsi.
Memberikan protein hewani dalam jumlah yang cukup kepada anak
balita dapat mencegah timbulnya anemia gizi besi. Protein hewani
membantu penyerapan zat besi dalam tubuh. Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan absorbsi zat besi yaitu daging, ikan, dan vitamin C.
Protein hewani dari daging dapat meningkatkan dan mempercepat
penyerapan besi heme yang merupakan pembentuk hemoglobin.(38)

4. GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM


GAKY adalah kumpulan segala yang ditimbulkan akibat tubuh
kekurangan yodium secara terus menerus dalam waktu lama. Yodium
adalah zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk diubah menjadi hormon di
kelenjar gondok, dan fungsi dari hormon ini adalah menjaga
pertumbuhan dan perkembangan.(39) Yodium diperlukan tubuh untuk
mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai
dewasa.

23
Kekurangan yodium pada tingkat berat dapat mengakibatkan cacat fisik
dan mental seperti tuli, bisu tuli, pertumbuhan badan terganggu, badan
lemah, kecerdasan dan perkembangan mental terganggu.(40)
Sejumlah 20 juta penduduk Indonesia yang menderita GAKY
diperkirakan dapat kehilangan 140 juta angka kecerdasan atau IQ points.
Hasil Riskesdas 2013, prevalensi GAKY di Indonesia mencapai 11,1%.
Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam berdasarkan
kandungan iodium sesuai hasil tes cepat menurut provinsi, ada beberapa
provinsi yang belum memenuhi target garam beryodium salah satunya
adalah Jawa Timur sebesar 75,4% dari target 90%. Data Riskesdas 2013
menunjukkan proporsi nilai ekskresi yodium urin (EYU) defisit (<100 µg/L)
tertinggi dialami oleh ibu hamil dengan proporsi 24,3 diatas ibu menyusui,
Wanita subur (WUS) dan anak umur 6-12 tahun.(41)
Penyebab langsung dari GAKY di antaranya adalah bahan goitro-
genik, defisiensi protein, unsur sekelumit (trace element), ekses yodium,
dan genetic. Penyebab tidak langsung antara lain faktor geografis dan
faktor non geografis.(41)
Masalah GAKY merupakan masalah yang serius mengingat dam-
paknya secara langsung memengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas
manusia. Kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap masalah
dampak defisiensi yodium adalah wanita usia subur (WUS), ibu hamil, anak
balita, dan anak usia sekolah. Perkembangan otak salah satunya
dipengaruhi oleh zat yodium. Kekurangan yodium menyebabkan
rendahnya kecerdasan. Fungsi yodium di dalam tubuh, terangnya, adalah
membentuk hormon di dalam kelenjar tiroid. Sekresi hormon tiroid
dipertahankan sedemikian rupa melalui mekanisme umpan balik,
sehingga kadarnya optimal untuk menjalankan fungsinya. Jika karena
suatu sebab, produksi hormon tiroid kurang, akan terjadi hipotiroid. Pada
hipotiroid, pergerakan menjadi lamban, kadar protein dalam cairan otak
meningkat. Hormon tiroid mempunyai efek yang nyata pada
perkembangan otak, membuat peka sistem syaraf dan meningkatkan
aktivitas otak.(41)
24
Pada bayi baru lahir, kekurangan yodium yang parah dan ber-
langsung lama akan mempengaruhi fungsi tiroid bayi yang kemudian
mengancam perkembangan otak secara dini. Gangguan pada anak dan
remaja akibat kekurangan Yodium yaitu Gondok, hipoiroidisme Juvenile
dan perkembangan fisik terhambat.. Mencegah kekurangan asupan
yodium sangat penting untuk mengkonsumsi garam beryodium. Garam
beryodium adalah garam yang diperkaya dengan yodium yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kecerdasan. Kekurangan hormone
tiroid dapat menurunkan aktifitas hormone pertumbuhan seperti yang
berakibat pada sejumlah kelainan perkembangan dan fungsional lainnya
salah satu kelompok umur dalam masyarakat yang paling mudah
menderita kelainan gizi adalah anak balita (bawah lima tahun). Upaya lain
yang sering dilakukan adalah garam beryodium dan suplementasi minyak
beryodium. Selain upaya langsung dalam menanggulangi GAKY, perlu
dilakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, advokasi pada
pembuat keputusan, serta peningkatan pengetahuan pada tenaga
kesehatan.(41,42)

5. STUNTING
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan ter-
hambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting
menurut WHO Child Growth Standard didasarkan pada indeks panjang
badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U)
dengan batas (z-score) <-2 SD. (43)
Prevalensi stunting tertinggi terjadi pada anak saat berusia 24-59
bulan. Proses menjadi pendek atau stunting pada anak di suatu wilayah
atau daerah miskin dimulai sejak usia sekitar 6 bulan dan muncul
utamanya pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan serta
berlangsung terus sampai usia 18 tahun. Stunting terjadi dalam usia 36
bulan pertama biasanya disertai dengan efek jangka panjang.(43)
Menurut World Health Organization (WHO) prevelensi balita stunting
menjadi masalah kesehatanjika prevelensi mencapai 20% atau lebih.
25
Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia meng-
alami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun
2000yaitu 32,6%. Pada tahun 2017 lebih dari setengah balita di dunia
berasal dari Asia (55%)sedangkan lebih dari sepertiga (39%) tinggal di
Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal
dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit diAsia Tengah (0,9%)
(Kementerian KesehatanRI, 2018). Data prevalensi balita stunting yang
dikumpulkan WHO, Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara. Rata-rata prevelensi balita
stunting di Indonesia 2005-2017 adalah 36,4%. Timor leste menempati
urutan pertama dengan rata-rata prevalensi balita stunting 50,2%, lalu
India 38,4% prevalensi paling sedikit Thailand 10,5% (Kementerian
Kesehatan RI, 2018)
Ada berbagai macam faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting. Faktor sosial demografi meliputi pendapatan rendah, pendidikan
orang tua yang rendah, jumlah anggota keluarga, dan faktor ekonomi
dalam rumah tangga secara tidak langsung juga berhubungan dengan
kejadian stunting. Pendapatan akan mempengaruhi pemenuhan zat gizi
keluarga dan kesempatan dalam mengikuti Pendidikan formal.
Rendahnya pendidikan disertai rendahnya pengetahuan gizi sering
dihubungkan dengan kejadian malnutrisi.(44) Pada dasarnya status gizi
anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung, faktor
langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu karakteristik anak
berupa jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir rendah, konsumsi
makanan berupa asupan energi rendah dan asupan protein rendah,
faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan penyakit infeksi ISPA dan
diare. Pola pengasuhan dengan tidak ASI eksklusif, pelayanan kesehatan
berupa status imunisasi yang tidak lengkap, dan karakteristik keluarga
berupa pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua dan status ekonomi
keluarga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi stunting.
(45)

26
Tinggi badan orang tua juga berkaitan dengan kejadian stunting.
Ibu yang pendek memiliki kemungkinan melahirkan bayi yang pendek
pula. Hasil penelitian di Mesir menunjukkan bahwa anak yang lahir dari ibu
yang memiliki tinggi badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk
tumbuh menjadi stunting.(46)
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh stunting dalam jangka pen-
dek terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Dampak
buruk dalam jangka panjang menurunnya kemampuan kognitif dan
prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan
risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada
rendahnya produktivitas ekonomi.(47)
Upaya perbaikan yang diperlukan untuk mengatasi stunting meliputi
upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung
(intervensi gizi spesifik) dan upaya untuk mencegah dan mengurangi
gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif). Upaya intervensi
gizi spesifik difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK), yaitu ibu hamil, ibu menyusui, dan anak 0-23 bulan, karena
penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK
(periode emas atau periode kritis/windows of opportunity). Adanya
kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akan menyebabkan seorang
anak bertubuh pendek, proses ini dimulai dari dalam rahim hingga usia
dua tahun. Setelah anak melewati usia dua tahun, maka usaha untuk
memperbaiki kerusakan pada tahun-tahun awal sudah terlambat. Maka
dari itu, status kesehatan dan gizi ibu hamil berperan penting dalam
mencegah stunting.(47)

27
E. TIPS DAN MAKANAN YANG
BERKAITAN
Pertumbuhan dan perkembangan balita merupakan suatu hal krusial
yang perlu diperhatikan, karena masa balita merupakan masa dengan
pertumbuhan yang sangat pesat dan kritis, yang dikenal dengan istilah
golden age atau masa emas. Anak usia balita akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan terutama pada fungsi bahasa, kognitif,
dan emosi, dan asupan nutrisi dari makanan menjadi salah satu faktor
yang berperan penting untuk menunjang pertumbuhan dan
perkembangan tersebut.(48) Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang
dapat menghambat asupan gizi pada balita, sehingga perlu dilakukan
upaya – upaya untuk memastikan asupan gizi balita tercukupi.
Usia balita, terutama pada periode toddler disebut juga usia food
jag, yaitu usia dimana anak hanya mau memakan makanan yang disukai
sehingga anak menjadi picky eater dan nafsu makan menurun. Picky
eater dan penurunan nafsu makan adalah bagian yang normal dari fase
hidup seorang balita. Keadaan ini dapat disebabkan karena banyak hal,
seperti adanya tahap neophobia, dimana wajar bagi anak untuk enggan
mencoba makanan baru yang tidak familiar, kemudian ada
keterlambatan pengenalan makanan pada anak balita, adanya sugesti
terhadap jenis makanan tertentu sebagai pencetus alergi, adanya kontrol
yang berlebihan dari orang tua sehingga anak cenderung menolak
makan bila merasa diawasi, kurangnya variasi menu makanan, rasa
terlanjur kenyang akibat terlalu banyak minum susu atau makan camilan,
maupun adanya infeksi atau sakit pada fisik anak sehingga nafsu makan
anak hilang.­(49,50)

28
1. MODIFIKASI PENYAJIAN MAKANAN
Cara pertama untuk mengatasi penurunan nafsu makan balita
adalah dengan memodifikasi penyajian makanan agar balita lebih
tertarik untuk makan. Modifikasi penyajian makanan dapat dilakukan
dengan pemilihan warna – warna atau bentuk – bentuk yang lucu agar
dapat menarik perhatian anak untuk makan. Nafsu makan balita
dipengaruhi salah satunya oleh suasana hati dan moodnya, sehingga
dengan menyajikan makanan yang menarik dan meningkatkan mood
balita, nafsu makan balita dapat meningkat.(48)

Faktor yang dapat mempengaruhi modifikasi penyajian makanan


antara lain warna makanan, tekstur makanan, bentuk makanan,
pemilihan alat yang digunakan, porsi makanan, kondisi makanan yang
disajikan, jadwal pemberian makanan, dan penghias makanan.(48) Warna
dan bentuk makanan yang cerah dan beragam akan menarik perhatian
anak. Pemilihan makanan dengan tekstur beragam atau yang disukai
anak akan membuat anak tidak bosan ketika menghabiskan makanan.
Porsi yang diberikan juga secukupnya, agar anak merasa bangga ketika
berhasil menghabiskan porsi makanannya, sehingga kedepannya
termotivasi untuk makan dan menghabiskan makanan.(51)

29
2. MELIBATKAN BALITA DALAM PEMBUATAN MAKANAN
Keterlibatan anak dalam suatu kegiatan berperan terhadap
perkembangan emosi dan sikap serta permasalahan kesehatan anak.
Menyiapkan dan memilih makanan untuk anak merupakan tanggung
jawab orangtua, namun anak sebaiknya diajak untuk terlibat dalam
mempersiapkan dan memilih makanan. Ketika anak dilibatkan dalam
proses penyiapan makanan, akan terbentuk pemikiran pada anak bahwa
penyiapan makanan merupakan proses yang menyenangkan. Anak juga
cenderung lebih memakan makanan yang disiapkannya karena adanya
rasa bangga dan senang.(52)

3. ORANG TUA SEBAGAI CONTOH DAN PENYEDIA MAKANAN SEHAT


Orang tua bertanggung jawab atas penyediaan makanan yang
sehat bagi anak untuk membentuk kebiasaan perilaku makan yang sehat.
Anak yang sering diberi makanan sehat akan terbiasa untuk
mengonsumsi makanan yang sehat. Implementasinya bisa dilakukan
dengan memastikan makanan anak bergizi seimbang setiap kali makan,
juga dengan membiasakan pemberian makanan selingan berupa buah
dan sayur. Orang tua juga bertanggung jawab untuk memastikan anak
mengonsumsi makanan yang sehat, misalnya pada kasus anak yang
tidak suka sayuran, orang tua menyembunyikan sayuran dalam bentuk
makanan lain misalnya seperti nugget sayur.(52)
Tidak hanya dengan menyediakan makanan, perilaku dan ke-
biasaan orang tua akan membentuk kebiasaan makan anak. Anak balita
merupakan peniru dari orang – orang terdekatnya. Apapun yang dilihat
oleh balita akan dianggap baik dan patut untuk dicontoh, sehingga
semua tindakan dan kebiasaan orang tua sebagai orang terdekat anak
dapat membawa dampak bagi anak. Dalam perilaku makan, ketika
orangtua tidak pernah mengkonsumsi makanan sehat di hadapan anak,
kebiasaan tersebut akan ditiru sehingga anak juga tidak akan
membentuk kebiasaan makan makanan yang sehat.

30
Anak juga akan meniru perilaku orangtua yang sering memilih-milih
makanan berdasarkan selera atau kesukaan. Sebaliknya, jika orangtua
memiliki kebiasaan mengkonsumsi banyak sayur dan buah dan
menghindari konsumsi makanan tidak sehat, resiko anak mengkonsumsi
makanan yang tidak sehat juga akan berkurang.(52)

4. MADU DAN TEMULAWAK


Madu mengandung kadar fruktosa dan glukosa yang cukup tinggi
sehingga dapat langsung diserap. Kadar glukosa madu akan
mempercepat kerja insulin dan menurunkan glukosa dalam darah. Hal ini
akan mempercepat penurunan kadar insulin dalam tubuh. Penurunan
insulin ini mempengaruhi hipotalamus ventromedial yang merupakan
pusat pengendalian nafsu makan.(49)
Sedangkan pada temulawak, kandungan curcuminoid dan minyak
asiri dapat membantu memperlancar produksi cairan empedu dan
proses penyerapan makanan di dalam usus, termasuk sekresi pankreas
yang menstimulasi hipotalamus ventromedial sehingga juga dapat
meningkatkan nafsu makan. Terdapat berbagai penelitian yang
membuktikan keefektifan kedua bahan ini dalam peningkatan nafsu
makan seseorang. Pada sebuah penelitian, balita terbukti mengalami
peningkatan nafsu makan dengan pemberian 1 sendok makan madu
temulawak yang dilarutkan dalam 1/2 gelas (± 125 mL) air hangat, teh, atau
susu dan diminumkan setiap pagi dan sore.(49)

31
F. MITOS ATAU FAKTA
IMUNISASI ADALAH PERBUATAN YANG HARAM (MITOS)
Ada pemahaman yang berkembang di masyarakat bahwa salah satu
unsur pembuatan vaksin berasal dari enzim hewan babi yang membuat
para ibu menilai negatif terhadap imunisasi dan akan menolak anaknya
diberi imunisasi karena dalam ajaran agama Islam tidak diperbolehkan
dan dianggap haram. Padahal MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah
mengeluarkan Fatwa No. 16 tahun 2005 tentang pemberian Vaksin Polio
Oral kepada seluruh balita.(53)
Pemberian vaksinasi melalui imunisasi merupakan pemberian antibodi
spesifik yang efektif untuk mencegah terjadinya penyakit menular, tidak
mengalami sakit berat, serta tidak menimbulkan wabah dan kematian
serta mampu menurunkan angka kematian pada anak.(53)

ANAK BALITA TIDAK BOLEH MENGONSUMSI IKAN LAUT KARENA


DIKHAWATIRKAN AKAN MENIMBULKAN CACINGAN (MITOS)
Faktanya ikan laut merupakan lauk sumber protein dan memiliki harga
terjangkau. Adanya pembatasan makan ikan laut ini dapat mengurangi
asupan protein balita.(54)

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Nugraha S, Putri R, Wihandika R. Penerapan Fuzzy K-Nearest Neighbor
(FK-NN) Dalam Menentukan Status Gizi Balita. Jurnal Pengembangan
Teknologi Informasi Dan Ilmu Komputer. (2017);1(9):925-32. Diambil dari
https://j-ptiik.ub.ac.id/index.php/j-ptiik/article/view/278
2. Diniyyah S, Nindya T. Asupan Energi, Protein dan Lemak dengan
Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 24-59 Bulan di Desa Suci, Gresik.
Amerta Nutrition. (2017);1(4):341-50.
doi:http://dx.doi.org/10.20473/amnt.v1i4.2017.341-350
3. Ni’mah C, Muniroh L. Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat
Pengetahuan dan Pola Asuh Ibu dengan Wasting dan Stunting pada
Balita Keluarga Miskin. Media Gizi Indonesia. (2015);10(1):84-90. =
http://dx.doi.org/10.20473/mgi.v10i1.84-90
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2018. Jakarta: Depkes RI. (2018)
5. Utami N, Mubasyiroh R. Masalah Gizi Balita dan Hubungannya dengan
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. (2019);42(1):1-10. DOI:
https://doi.org/10.22435/pgm.v42i1.2416
6. Handayani R. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
pada Anak Balita. Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah Problema
Kesehatan/ (2017);2(2):217-24. doi:http://dx.doi.org/10.22216/jen.v2i2.1742
7. Setyawati VAV, Hartini E. 2018. Buku Ajar Dasar Ilmu Gizi Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta: Deepublish
8. Wahyuni C. Panduan Lengkap Tumbuh Kembang Anak Usia 0-5 Tahun.
Kediri: Strada Press. 2018.
9. Murni, M. Perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial pada masa
kanak-kanak awal 2-6 tahun. Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak. 2017;
3(1):19-33.
10. Adriani M, Wirjatmadi B. Peranan gizi dalam siklus kehidupan. Jakarta.
Prenada Media Group. 2016.
33
11. Khadijah. Pengembangan Kognitif Anak Usia Dini. Medan: Perdana
Publishing. 2016
12. Nengsih U, dkk. Hubungan Riwayat Kelahiran Berat Bayi Lahir Rendah
dengan Pertumbuhan Anak Usia Balita. Jurnal Bidan. 2016; 2(2).
13. Rahmad AH, dkk. Kajian Stunting pada Anak Balita Ditinjau dari Pemberian
ASI Eksklusif, Status Imunisasi, dan Karakteristik Keluarga di Kota Banda
Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes. 2013; 6 (2); 169-84.
14. Karinda D, dkk. Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Balita
Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Dusun Mangir Tengah Desa Sendang Sari
Kecamatan Pajangan Bantul. Journal Ners and Midwifery Indonesia. 2013;
1(1): 29-35
15. Hasanah RA, Kusuma RM. Antropometri Pengukuran Status Gizi Anak Usia
24-60 Bulan Di Kelurahan Bener Kota Yogyakarta. J Med Respati.
2018;13(4):36–42.
16. Fidiantoro N, Setiadi T. Model Penentuan Status Gizi Balita di Puskesmas. J
Sarj Tek Inform. 2013;1:367–73
17. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Standar Antropometri Anak
[Internet]. 2020. 1–78 p. Available from:
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf
18. Kementerian Kesehatan RI. Penilaian Status Gizi. 2017. 47–49 p.
19. Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No.
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status
gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
20..Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. Pokok-pokok hasil riskesdas Indonesia 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI,
2013.
21. Indonesia, Kementerian Kesehatan. Peraturan menteri kesehatan RI No 28
tahun 2019 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk
masyarakat Indonesia. Jakarta:Kementrian Kesehatan. 2019.

34
22. Maharani DG, Kusumastuti AC. Pengaruh suplementasi seng dan zat besi
terhadap tingkat kecukupan energi balita usia 3–5 tahun di kota
semarang. Journal of Nutrition College. 2017 Oct 1;6(4):293-300.
23. Purnamasari DM, Lubis L, Gurnida DA. Pengaruh zat besi dan seng
terhadap perkembangan balita serta implementasinya. Jurnal Sains dan
Kesehatan. 2020 Dec 31;2(4):497-504.
24. Whitney Ellie, RR Sharon. Understanding nutrition. Ed 11. United
States:Thomson Wadsworth; 2008.
25. Sulistyaningsih DA, Panunggal B, Murbawani EA. Status iodium urine dan
asupan iodium pada anak stunting usia 12-24 bulan. Media Gizi Mikro
Indonesia. 2018 Dec 27;9(2):73-82.
26. Uvaraju T, Pinatih GI. Gambaran status gizi balita pada penggunaan
garam beryodium di Desa Sangkan Gunung Kecamatan Sidemen,
Kabupaten Karangasem Bali. Intisari Sains Medis. 2017;8(1):82-6.
27. Southern AP, Jwayyed S. Iodine Toxicity [Updated 2021 Aug 14]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560770/
28. Sudiarmanto AR, Sumarmi S. Hubungan asupan kalsium dan zink dengan
kejadian stunting pada siswi smp unggulan bina insani surabaya. Media
Gizi Kesmas. 2020 Jun 30;2(1):1-9.
29. Al Insyirah L. Gambaran sikap ibu tentang vitamin a terhadap pemberian
vitamin a pada balita usia 12-59 bulan di puskesmas senapelan
pekanbaru tahun 2017. Al-Insyirah Midwifery: Jurnal Ilmu Kebidanan
(Journal of Midwifery Sciences). 2018 Aug 10;7(2):29-33.
30. Adriani P. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian vitamin a
pada balita di wilayah kerja puskesmas kandai kota kendari. Jurnal SMART
Kebidanan. 2019 Jun 28;6(1):20.
31. Furi AK, Candra A, Rahadiyanti A. Hubungan asupan seng dan vitamin c
dengan kejadian tonsilitis pada balita usia 2-5 tahun di kelurahan
jomblang kecamatan candisari kota semarang. Journal of Nutrition
College. 2019 Nov 25;8(3):107-14.

35
32. Mardisantosa B, Huri D, Edmaningsih. Faktor-faktor Kejadian Kurang Energi
Protein (KEP) Pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan. 2018;6(2)
33. Hatta H, Measarah. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian KEP Pada
Anak Balita di Kelurahan Manggala Kecamatan Manggala Kota Makassar.
Jurnal Hibualamo. 2018;2(2):48-53.
34. Buku Ajar. Ekologi Pangan dan Gizi. Universitas Lambung Mangkurat. 2019
Pratiwi YS. Kekurangan Vitamin A (KVA) dan infeksi. The Indonesian Journal
of Science. 2013;3(2):207-210.
35. Maulina N. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Cakupan Imunisasi
Vitamin A. Jurnal Aceh Medika. 2018; 2(2): 224-232.
36. Fithriyana R. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Vitamin A dengan
Pemberian Vitamin A pada Balita di Desa Kuantan Sako Tahun 2016. Jurnal
Doppler Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai. 2018;2(1) : 50-57.
37. Faiqah S, Ristrini, Irmayani. Hubungan Usia, Jenis Kelamin dan Berat Badan
Lahir dengan Kejadian Anemia Pada Balita di Indonesia. Jurnal Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 2018; 21(4):281-289.
38. Mendrofa O. Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Pada Balita di Desa
Sisobahili Tabaloho Kecamatan Gununsitoli. Karya Tulis Ilm. 2021;
40. Muttaqien RD. Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Masalah Gizi Pada Balita
dan Ibu Hamil dengan Metode Forward Chaining. JTIULM. 2019;4(1):21–34.
41. Diah Ayu Pitaloka, Mamik Ratnawati INU. Hubungan Ganguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY) dengan Prestasi Belajar di SDN Tanggalrejo
Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang. J Ilm Keperawatan.
2017;12(1).
42. Pratiwi AD, Dewi I, Sumi SS. Hubungan Penggunaan Garam Beryodium
Dalam Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-60 bulan di
Puskesmas Minasatene. J Ilm Kesehat Diagnosis. 2020;15:316–20.
43. Nur Afia Amin MJ. Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta
hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan. J Gizi
dan Diet Indones. 2014;2(3):170–7.
44. Nasikhah, Roudhotun AM. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia
24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. PhD Thesis, Univ Diponegoro.
2012.
36
45. Sri Mugianti, Arif Mulyadi, Agus Khoirul Anam ZLN. Faktor penyebab anak
Stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar 1. J Ners dan
Kebidanan. 2018;5(3):268–78.
46. Zottarelli L, Sunil T RS. Influence of parental and socioeconomic factors on
stunting in hildren under 5 years in Egypt. East Mediterr Heal J.
2007;13(6):1330–42.
47. Wayan N, Ekayanthi D, Suryani P. Edukasi Gizi pada Ibu Hamil Mencegah
Stunting pada Kelas Ibu Hamil. J Kesehat. 2019;10:312–9.
48. Anggraini, Refida F., Aries Chandra A., Latifiyan N. A., Oski Illiandri. The
Relationship between Modification of Food Presentation and Changes in
Appetite of Toddler Children at Puskesmas Mojo Surabaya. Magna Medica.
Vol 1, No 3. February 2016
49. F, Renny, Yuni Sufyanti A., NK Alit. Madu Temulawak Meningkatkan Berat
Badan Anak Usia Toddler. Jurnal Ners. Vol. 5 No. 1. April 2010: 49–54
50. Anggraini, Ika Rizki. Perilaku Makan Orang Tua Dengan Kejadian Picky
Eater Pada Anak Usia Toddler. Jurnal Keperawatan. Volume 5, Nomor 2.
2014.
51. Putri, Maya Sari K. Dampak Sarapan Terhadap Daya Tangkap Anak Usia 4-
5 Tahun di Taman Kanak - kanak Negeri 2 Bandar Lampung. Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung. 2019
52. Kesuma, A., Riri Novayelinda, Febriana Sabrian. Faktor - faktor yang
Berhubungan dengan Perilaku Kesulitan Makan Anak Prasekolah. JOM Vol 2
No 2. Oktober 2015
53. Parlindungan, DR., Kusuwati, Dyah., Lobodally, Altobeli. Strategi Komunikasi
Rumah Vaksinasi Menghadapi Kampanye Hitam dan Mitos Imunisasi.
54. Illahi RK, Muniroh L. Gambaran Sosio Budaya Gizi Etnik Madura Dan
Kejadian Stunting Balita Usia 24–59 Bulan Di Bangkalan. Media Gizi
Indonesia. 2018;11(2):135.

37

Anda mungkin juga menyukai