Anda di halaman 1dari 16

TUGAS 2

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 160 MKWU 4101

NAMA : DIAZ PERMANA


NIM : 051511515
PRODI : SISTEM INFORMASI

UNIVERSITAS TERBUKA 2023.1


1. Jelaskan pengertian hukum syariat menurut isi kandungan Q.S. Al-’Ankabut/29: 45!

Surat Al-Ankabut ayat 45 berbunyi sebagai berikut:

‫ب َواَق ِِم الص َّٰلو ۗ َة اِنَّ الص َّٰلو َة َت ْن ٰهى َع ِن ْال َفحْ َش ۤا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َۗو َلذ ِْك ُر هّٰللا ِ اَ ْك َب ُر َۗوهّٰللا ُ َيعْ َل ُم َما َتصْ َنع ُْو َن‬
ِ ‫ْك م َِن ْالك ِٰت‬
َ ‫ا ُ ْت ُل َمٓا ا ُ ْوح َِي ِا َلي‬

"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat
Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan."

Ayat ini menunjukkan bahwa hukum syariat merupakan aturan yang berasal dari Allah SWT yang
diwahyukan kepada manusia melalui kitab suci Al-Qur'an. Pengertian hukum syariat menurut isi kandungan
ayat ini adalah bahwa hukum syariat merupakan sumber aturan yang tidak dapat diubah oleh manusia,
karena bersumber langsung dari Allah SWT.

Hukum syariat juga merupakan pedoman utama bagi kehidupan manusia dalam beribadah dan berakhlak,
serta mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia. Dalam konteks hukum
Islam, hukum syariat meliputi berbagai bidang, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum keluarga, dan
lain sebagainya. Hukum syariat juga mengandung nilai-nilai moral dan etika yang harus dijadikan panduan
oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Secara umum, pengertian hukum syariat menurut isi kandungan Q.S. Al-'Ankabut/29:45 adalah
aturan-aturan dan perintah-perintah yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat manusia melalui
wahyu-Nya yang tertuang dalam Al-Quran dan As-Sunnah Rasulullah SAW.

Hukum syariat mencakup berbagai aspek kehidupan, baik dalam hubungan individu dengan Allah SWT
maupun hubungan sosial antara manusia. Hukum syariat tidak hanya menetapkan prinsip-prinsip dan tata
cara ibadah, tetapi juga mencakup aturan-aturan terkait kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan lain
sebagainya.

Ayat tersebut menekankan pentingnya membaca Al-Quran sebagai sumber hukum syariat yang utama dan
mengesankan bahwa hukum syariat adalah sarana untuk menjaga keutamaan manusia dan mencegah
perilaku-perilaku buruk. Selain itu, ayat tersebut juga menunjukkan pentingnya menjaga hubungan dengan
Allah SWT melalui ibadah shalat sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan kepada-Nya.

Sumber:

Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur'an: English Translation of the Meanings and Commentary. Amana
Publications, 1991.

Al-Quran Al-Karim (QS. Al-'Ankabut/29:45)

Asy-Syahruri, Muhammad bin Ahmad. (2016). Al-Milal Wa Al-Nihal. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

https://www.dikasihinfo.com/pendidikan/9808726709/terjawab-jelaskan-pengertian-hukum-syariat-menurut
-isi-kandungan-qs-al-ankabut29-45?page=all
2. Sebutkan dan jelaskan lima macam hukum Islam!

a. Wajib

Wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut oleh Allah SWT untuk dilaksanakan oleh umat Islam.
Apabila dikerjakan oleh seseorang, maka orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan
apabila perbuatan itu ditinggalkan maka akan mendapat dosa.

Suatu pernyataan dalam ayat al-Qur’an atau hadist dapat dikatakan mengandung hukum wajib apabila
dalam pernyataan tersebut mengandung beberapa petunjuk, antara lain:

1. Secara tegas mengandung kata-kata yang menunjukan keharusan untuk dikerjakan. Misalnya Firman
Allah dalam Surat Al-Baqarah/2: 183

َ‫ب َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬


َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ٱلصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ ِ‫وا ُكت‬ َ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

َ ِ‫( ُكت‬diwajibkan), maka


Kata yang menunjukan perintah tegas dalam ayat tersebut adalah ‫ب‬
puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib.

2. Pernyataan tersebut berupa kalimat perintah yang tegas, misalnya firman Allah dalam surat
An-Nisaa’/4: 59

ِ ‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوُأ ۟ولِى ٱَأْل ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَِإن تَ ٰنَ َز ْعتُ ْم فِى َش ْى ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّرس‬
‫ُول ِإن ُكنتُ ْم‬ ۟ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ٓو ۟ا َأ ِطيع‬
۟ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوَأ ِطيع‬
َ
‫ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوياًل‬ َ ٰ
َ ِ‫اخ ِر ۚ ذل‬ ْ
ِ ‫تُْؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َوٱليَوْ ِم ٱلْ َء‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Kata ‫ َأ ِطيعُو‬adalah kata perintah untuk memerintahkan suatu pekerjaan agar dikerjakan. Pada
umumnya kalimat perintah dalam al-Qur’an menuntut untuk dikerjakan sehingga wajib hukumnya,
meskipun ada pengecualian-pengecualian tertentu sesuai dengan konteks ayat.

Hukum wajib terbagi menjadi empat jenis berdasarkan bentuk kewajibannya, yaitu:

1. Berdasarkan waktu pelaksanaannya


● Wajib muthlaq: Wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya. Seperti, mengqadha puasa
Ramadhan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.

● Wajib muaqqad: Wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah
dilakukan di luar waktu yang ditentukan.

2. Berdasarkan orang yang melaksanakannya


● Wajib ‘ain: Kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT kepada setiap orang yang sudah baligh
(mukallaf) secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan orang lain. Misalnya,
puasa dan shalat.
● Wajib kifa'i atau kifayah: Kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang pun
melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya maka gugur
kewajibannya. Contohnya, sholat jenazah.

3. Berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya


● Wajib muhaddad: Kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan, contohnya
zakat.
● Wajib ghairu muhaddad: Kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya, misalnya menafkahi
kerabat.

4. Berdasarkan kewajiban perintahnya


● Wajib muayyan: Kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan lain. Contohnya,
membayar zakat dan salat lima waktu.
● Wajib mukhayyar: Kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Seperti,
kafarat pelanggaran sumpah.

b. Sunah

Sunah yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan maka orang yang melaksanakan akan mendapat pahala,
dan tidak akan mendapat dosa bila ditinggalkan.

Lafal ayat atau hadist yang menunjukan arti sunnah adakalanya berupa kalimat tegas yang menunjukan
kesunnahannya. Dan adakalanya berupa kalimat perintah dengan diikuti suatu petunjuk (qarinah) yang
menunjukan arti sunnah. Seperti firman Allah SWT dalam potongan surat Al-Baqarah/2: 282

ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا تَدَايَنتُم بِ َدي ٍْن ِإلَ ٰ ٓى َأ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَٱ ْكتُبُوهُ ۚ ه‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Menuliskan hutang-piutang tidaklah diwajibkan walaupun dalam ayat tersebut disebutkan dengan
kalimat perintah yang pada umumnya mengandung perintah wajib. Alasannya adalah pada rangkaian
perintah tersebut didapatkan suatu petunjuk yang dapat diartikan sebagai ketidakwajiban mencatat
hutang-piutang, yaitu firman Allah SWT dalam ayat selanjutnya, surat Al-Baqarah/2: 283

‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ​ؕ َواَل‬ ۡ ۡ


ِ َّ‫ض ُكمۡ بَ ۡعضًا فَليَُؤ ِّد الَّ ِذى ۡاؤتُ ِمنَ اَ َمانَـتَهٗ َوليَت‬
ُ ‫ضةٌ ​ ؕ فَاِ ۡن اَ ِمنَ بَ ۡع‬ َ ‫۞ َواِ ۡن ُك ۡنتُمۡ ع َٰلى َسفَ ٍر َّولَمۡ ت َِجد ُۡوا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ۡقب ُۡو‬
‫ت َۡكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ ​ ؕ َو َم ۡن ي َّۡكتُمۡ هَا فَاِنَّهٗۤ ٰاثِ ٌم قَ ۡلبُهٗ​ؕ َو هّٰللا ُ بِ َما ت َۡع َملُ ۡونَ َعلِ ۡي ٌ‏م‬

Artinya: Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang
siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.

Ayat tersebut menunjukan bahwa orang yang menghutangi boleh mempercayai orang yang berhutang itu
tanpa mencatat hutangnya. Dengan demikian perintah mencatat hutang dalam ayat 282 meskipun
dengan kalimat “tulislah” tidak menunjukan arti wajib karena ada petunjuk di ayat 283 tersebut.

Secara garis besar hukum sunnah dapat dibagi menjadi dua bagian:

● Sunnah muakkad adalah perbuatan yang amat sering dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan
jarang sekali beliau tinggalkan, kecuali hanya beberapa kali saja. Meskipun demikian tetap bersifat
sunnah karena bagi yang tidak mengerjakan tidak berdosa. Contohnya, berkumur dalam wudhu,
adzan dan iqamah dalam shalat berjamaah, membaca ayat al-Qur’an setelah al-Fatihah dalam shalat.
● Sunnah ghairu muakkad adalah perbuatan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, tetapi
tuntutannya tidak sekuat sunnah muakad. Salah satu alasannya adalah Rasulullah SAW pernah
mengerjakan tetapi juga sering meninggalkannya. Contohnya, shalat sunnah qobliyah isya’.

c. Haram

Haram adalah segala perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat pahala
sementara apabila dikerjakan maka orang tersebut akan mendapat dosa.

Satu perbuatan dinilai haram berdasarkan teks ayat atau hadits yang biasanya dinyatakan dengan
beberapa ungkapan, antara lain:

1. Kalimat larangan tersebut dinyatakan dengan jelas dan tegas, misalnya dengan kata harrama
dengan segala bentuk perubahannya. Misalnya pernyataan Allah dalam surat Al-An‟aam/6: 151

‫قُ ۡل تَ َعالَ ۡوا اَ ۡت ُل َما َح َّر َم َربُّ ُكمۡ َعلَ ۡي ُكمۡ​ اَاَّل تُ ۡش ِر ُك ۡوا بِ ٖه َش ۡيـًٔـا‬

Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, ....

Juga perkataan la yahillu, (tidak halal), misalnya firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 228

‫ق هّٰللا ُ فِ ۡ ٓى اَ ۡر َحا ِم ِه َّن اِ ۡن ُك َّن ي ُۡؤ ِم َّن بِاهّٰلل ِ َو ۡاليَ ۡو ِم‬


َ َ‫َّصنَ بِا َ ۡنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ۡ ُٓو ٍء ​ؕ َواَل يَ ِحلُّ لَه َُّن اَ ۡن ي َّۡكتُمۡ نَ َما َخل‬ ُ ‫َو ۡال ُمطَلَّ ٰق‬
ۡ ‫ت يَتَ َر ب‬
ؕ​‫ااۡل ٰ ِخ ِر‬

Artinya: Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru`.
Mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.
2. Kalimat yang melarang itu menggunakan kata kerja yang melarang dan dibarengi dengan petunjuk
(qarinah) yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut benar-benar dilarang. Misalnya firman Allah
dalam surat Al-Israa‟/17: 32

ِ َ‫الز ٰنٓى اِنَّهٗ َكانَ ف‬


‫اح َشةً ؕ َو َسٓا َء َسبِ ۡياًل ‏‬ ِّ ‫َواَل ت َۡق َربُوا‬

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu
jalan yang buruk.

3. Diperintahkan untuk menjauhinya, misalnya firman Allah dalam surat Al-Hajj/22: 30

ۡ َ‫ت هّٰللا ِ فَهُ َو خ َۡي ٌر لَّهٗ ِع ۡن َد َرب ِّٖه​ؕ َواُ ِحلَّ ۡت لَـ ُك ُم ااۡل َ ۡن َعا ُم اِاَّل َما ي ُۡت ٰلى َعلَ ۡي ُكمۡ​ ف‬
َ ‫اجتَنِبُوا الرِّ ۡج‬
َ‫س ِمن‬ ِ ٰ‫ظمۡ ُحرُم‬ ِّ ‫ك َو َم ۡن يُّ َع‬َ ِ‫ٰذل‬
ُّ ‫اجتَنِب ُۡوا قَ ۡو َل‬
‫الز ۡو ۙ ِ‏ر‬ ۡ ‫ان َو‬ ِ َ‫ااۡل َ ۡوث‬

Artinya: Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa yang terhormat di
sisi Allah (Ḥurumāt), maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu
semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah
(penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.

4. Diancam dengan suatu hukuman atau siksa bagi orang-orang yang melakukannya. Misalnya Firman
Allah dalam surat An-Nuur/24: 4

َ ‫ولٓ ِٕٮ‬
‫ك هُ ُم ۡال ٰف ِسقُ ۡونَ ۙ‏‬ ٰ ُ‫اجلِد ُۡوهُمۡ ثَمٰ نِ ۡينَ َج ۡل َدةً َّواَل ت َۡقبَلُ ۡوا لَهُمۡ َشهَا َدةً اَبَ ًدا​ ۚ َوا‬
ۡ َ‫ت ثُ َّم لَمۡ يَ ۡاتُ ۡوا بِا َ ۡربَ َع ِة ُشهَدَٓا َء ف‬ َ ‫َوالَّ ِذ ۡينَ يَ ۡر ُم ۡونَ ۡال ُم ۡح‬
ِ ‫ص ٰن‬

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

d. Makruh

Suatu perbuatan disebut makruh apabila perbuatan tersebut ditinggalkan maka orang yang meninggalkan
mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak mendapat dosa.

Suatu perbuatan diketahui makruh dilihat dari beberapa hal, antara lain:

1. Ungkapan yang dipakai untuk melarang itu sudah menunjukan kemakruhannya, seperti dengan
menggunakan perkataan karaha (memakruhkan) dengan segala bentuk dan perubahannya.
2. Dengan lafadz yang melarang mengerjakan suatu perbuatan kemudian didapatkan di dalam ayat lain
suatu kata yang menjadi petunjuk bahwa larangan yang terdapat pada ayat tersebut bukan
menunjukan keharamannya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Maidah/5: 101

ؕ ​‫ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا اَل ت َۡســـَٔلُ ۡوا ع َۡن اَ ۡشيَٓا َء اِ ۡن تُ ۡب َد لَـ ُكمۡ تَس ُۡؤ ُك ۚمۡ​ َواِ ۡن ت َۡســَٔـلُ ۡوا ع َۡنهَا ِح ۡينَ يُنَ َّز ُل ۡالقُ ۡر ٰانُ تُ ۡب َد لَـ ُكمۡ ؕ َعفَا هّٰللا ُ ع َۡنهَا‬
‫َوهّٰللا ُ َغفُ ۡو ٌر َحلِ ۡي ٌ‏م‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu
menanyakannya ketika Alquran sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah
telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.

Larangan menanyakan suatu masalah secara berlebihan itu adalah makruh berdasarkan adanya
petunjuk pada ayat lain yang menganjurkan untuk bertanya kepada ahlinya apabila masalah tersebut
belum dipahaminya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT surat an-Nahl/16: 43

َ ِ‫َو َم ۤا اَ ۡر َس ۡلنَا ِم ۡن قَ ۡبل‬


‫ك اِاَّل ِر َجااًل نُّ ۡو ِح ۡۤى اِلَ ۡي ِهمۡ​ فَ ۡســـَٔلُ ۡۤوا اَ ۡه َل ال ِّذ ۡك ِر اِ ۡن ُك ۡنتُمۡ اَل ت َۡعلَ ُم ۡو ۙنَ‏‬

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan1 jika kamu tidak mengetahui,

e. Mubah

Yang disebut mubah adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, orang yang mengerjakannya tidak
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.

Suatu perbuatan dikatakan mubah dapat diketahui dari beberapa cara, antara lain:

● Perbuatan tersebut ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh agama, misalnya dengan ungkapan
ayat atau hadits: “tidak mengapa, tidak ada halangan, tidak berdosa, …”

Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah/2: 235

ؕ​ۡ‫َّضتُمۡ بِ ٖه ِم ۡن ِخ ۡطبَ ِة النِّ َسٓا ِء اَ ۡو اَ ۡکن َۡنتُمۡ فِ ۡ ٓى اَ ۡنفُ ِس ُكم‬


ۡ ‫َواَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ فِ ۡي َما َعر‬

Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu
sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. …

● Ada petunjuk dari ayat atau hadits berupa perintah untuk melakukannya tetapi ada qarinah yang
menunjukan bahwa perintah tersebut hanya untuk mubah saja. Misalnya firman Allah SWT dalam
surat al-Maidah/5: 2

ۡ َ‫َواِ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬


ؕ ​‫اصطَاد ُۡوا‬

… Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu …

● Ditetapkan kemubahannya karena ada kaidah yang menyatakan bahwa pada asalnya segala sesuatu
itu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang memakruhkan atau mengharamkan.

Sumber: Modul MKDU4221 - Pendidikan Agama Islam


3. Sebutkan dan jelaskan tujuh macam prinsip-prinsip umum hukum Islam!

Secara garis besar prinsip umum hukum Islam ada tujuh macam.

1. Prinsip tauhid.

Prinsip ini menjelaskan bahwa seluruh manusia ada di bawah ketetapan yang sama sebagai hamba
Allah. Beberapa ayat yang menjelaskan tentang prinsip ini di antaranya adalah:

Surat Al-A’raaf/7: 172

ُ ‫ك ِم ۡۢن بَنِ ۡۤى ٰا َد َم ِم ۡن ظُه ُۡو ِر ِهمۡ ُذرِّ يَّتَهُمۡ َو اَ ۡشهَ َدهُمۡ ع َٰلٓى اَ ۡنفُ ِس ِهمۡ​ ۚ اَلَ ۡس‬
‫ت بِ َربِّ ُكمۡ​ ؕ قَالُ ۡوا بَ ٰلى​ ۛۚ َش ِه ۡدنَا​ۛۚ اَ ۡن تَقُ ۡولُ ۡوا يَ ۡو َم ۡالقِ ٰي َم ِة اِنَّا‬ َ ُّ‫َو اِ ۡذ اَ َخ َذ َرب‬
‫ُكنَّا ع َۡن ٰه َذا ٰغفِلِ ۡينَ ۙ‏‬

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam
keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman),
"Bukanlah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi."
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya
ketika itu kami lengah terhadap ini,"

Dari ayat tersebut nampak jelas bahwa seluruh manusia pada awalnya yaitu ketika belum terlahir ke
dunia (alam ruh) telah mengakui keesaan Allah SWT. Maka dalam pandangan Islam pada dasarnya
semua manusia mempunyai potensi dan kualitas yang sama yaitu potensi bertauhid dimana hal tersebut
pernah dikukuhkan/diakui sebelumnya.

Surat Ali-Imron/3: 64

َ ‫ب تَ َعالَ ۡوا اِ ٰلى َكلِ َم ٍة َس َوٓا ۢ ٍء بَ ۡينَـنَا َوبَ ۡينَ ُكمۡ اَاَّل ن َۡـعبُ َد اِاَّل هّٰللا َ َواَل نُ ۡش ِر‬ ۤ
‫ضنَا بَ ۡعضًا اَ ۡربَابًا ِّم ۡن‬
ُ ‫ك بِ ٖه َش ۡيـــًٔا َّواَل يَتَّ ِخ َذ بَ ۡع‬ ِ ‫قُ ۡل ٰيـا َ ۡه َل ۡال ِك ٰت‬
‫اشهَد ُۡوا بِاَنَّا ُم ۡسلِ ُم ۡونَ‏‬ ۡ ‫د ُۡو ِن هّٰللا ِ​ؕ فَاِ ۡن تَ َولَّ ۡوا فَقُ ۡولُوا‬

Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat
(pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain
tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), "Saksikanlah, bahwa
kami adalah orang Muslim."

Berdasarkan prinsip tauhid tersebut, maka pelaksanaan dan pengamalan hukum Islam merupakan suatu
ibadah, yaitu penghambaan manusia kepada Allah SWT. Ibadah tersebut merupakan perwujudan
pengakuan atas keEsaan Allah SWT. Dengan demikian adalah suatu pelanggaran yang dinilai berat oleh
Islam apabila ada manusia yang menuhankan sesama makhluk.

Berdasarkan prinsip tauhid tersebut maka sudah semestinya kalau manusia mengikuti dan menetapkan
hukum dalam kehidupannya sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Dari prinsip umum tersebut dapat ditarik beberapa prinsip khusus, di antaranya sebagai berikut.
a. Prinsip berhubungan langsung dengan Allah SWT tanpa perantara. Di antara ayat yang menjelaskan
hal ini adalah surat Al-Baqarah/2: 186.

‫َان فَ ۡليَ ۡست َِج ۡيب ُۡوا لِ ۡى َو ۡلي ُۡؤ ِمنُ ۡوا بِ ۡى لَ َعلَّهُمۡ يَ ۡر ُشد ُۡونَ‏‬ ِ ‫ك ِعبَا ِد ۡى َعنِّ ۡى فَاِنِّ ۡى قَ ِر ۡيبٌ ؕ اُ ِج ۡيبُ د َۡع َوةَ ال َّد‬
ِ ‫اع اِ َذا َدع‬ َ ‫َواِ َذا َساَلَـ‬

Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa
kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar
mereka memperoleh kebenaran.

b. Beban hukum yang diciptakan oleh Allah bertujuan untuk kemaslahatan hidup manusia, bukan untuk
kepentingan Allah SWT. Sehingga Allah SWT pasti tidak akan membebani hamba-Nya di luar
kemampuannya. Di antara ayat yang menjelaskan prinsip ini adalah: Surat Al-Isra’/17: 7

‫اِ ۡن اَ ۡح َس ۡنتُمۡ اَ ۡح َس ۡنتُمۡ اِل َ ۡنفُ ِس ُكمۡ​ َواِ ۡن اَ َس ۡاتُمۡ فَلَهَا​ؕ فَاِ َذا َجٓا َء َو ۡع ُد ااۡل ٰ ِخ َر ِة لِيَس ُۤـوْ ءا ُوج ُۡوهَ ُكمۡ َولِيَ ۡد ُخلُوا ۡال َم ۡس ِج َد َك َما‬
‫َد َخلُ ۡوهُ اَ َّو َل َم َّر ٍة َّولِيُتَبِّر ُۡوا َما َعلَ ۡوا ت َۡتبِ ۡي ًرا‏‬

Artinya: Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu
berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman
(kejahatan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka
masuk ke dalam masjid (Masjid Al Aqsa), sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama
kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai.

Ayat tersebut ada dalam rangkaian ayat yang menjelaskan tentang puasa Ramadhan, sehingga dalam
urusan ibadah mahdhah dapat dirumuskan suatu prinsip asas kemudahan atau meniadakan kesulitan.

2. Prinsip keadilan.

Prinsip keadilan ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam yang mengatur persoalan manusia dari
berbagai aspeknya harus dilandaskan kepada prinsip keadilan yang meliputi hubungan antara individu
dengan dirinya sendiri, individu dengan manusia dan masyarakatnya serta hubungan antara individu
dengan lingkungannya.

Beberapa ayat yang menjelaskan prinsip keadilan ini di antaranya adalah: Surat Al-Maidah/5: 8

​‫ط َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكمۡ َشن َٰانُ قَ ۡو ٍم ع َٰلٓى اَ اَّل ت َۡع ِدلُ ۡوا​ ؕ اِ ۡع ِدلُ ۡوا هُ َو اَ ۡق َربُ لِلتَّ ۡق ٰوى‬
​ِ ‫ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ُك ۡونُ ۡوا قَ َّوا ا ِم ۡينَ هّٰلِل ِ ُشهَدَٓا َء بِ ۡالقِ ۡس‬
‫َواتَّقُوا هّٰللا ​َ ؕ اِ َّن هّٰللا َ َخبِ ۡي ۢ ٌر بِ َما ت َۡع َملُ ۡونَ‏‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah,
(ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti atas apa yang kamu kerjakan.
Bahkan terhadap kerabat sekalipun maka keadilan itu harus tetap ditegakkan. Hal ini diisyaratkan dalam
surat Al-An’aam/6: 152

​ِ ‫ت َۡق َرب ُۡوا َما َل ۡاليَتِ ۡي ِم اِاَّل بِالَّتِ ۡى ِه َى اَ ۡح َسنُ َح ٰتّى يَ ۡبلُ َغ اَ ُش َّد ٗ​ه ۚ َواَ ۡوفُ ۡوا ۡال َك ۡي َل َو ۡال ِم ۡي َزانَ بِ ۡالقِ ۡس‬
‫ط ۚ اَل نُـ َكلِّفُ ن َۡفسًا اِاَّل ُو ۡس َعهَا​ ۚ َواِ َذا‬ ‫َواَل‬
ّ ٰ ‫اع ِدلُ ۡوا َولَ ۡو َكانَ َذا قُ ۡر ٰبى​ ۚ َوبِ َع ۡه ِد هّٰللا ِ اَ ۡوفُ ۡوا​ ؕ ٰذ لِ ُكمۡ َو‬
‫صٮ ُكمۡ بِ ٖه لَ َعلَّ ُكمۡ تَ َذ َّكر ُۡونَ ۙ‏‬ ۡ َ‫ف‬ ۡ‫قُ ۡلتُم‬

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila
kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat (mu) dan penuhilah janji Allah.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.

Kalau dalam hukum positif dikenal prinsip memiliki kedudukan sama di muka hukum maka Islam
mewajibkan bukan hanya manusia harus sama di muka hukum tetapi dalam seluruh aspeknya harus
berlaku adil, bahkan terhadap musuh sekalipun.

Dari prinsip keadilan ini maka lahirlah kaidah dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa hukum
Islam dalam prakteknya dapat beradaptasi sesuai ruang dan waktu. Ketika terjadi perubahan. Maka yang
sulit menjadi mudah dan kemudahan tersebut sebatas terpenuhinya kebutuhan pokok. Dari sini muncul
kaidah ”Masalah-masalah dalam hukum Islam apabila telah menyempit maka menjadi meluas,
apabila masalah-masalah tersebut telah meluas maka kembali menyempit”.

3. Prinsip amar ma'ruf nahi munkar.

Prinsip ketiga merupakan konsekuensi dari prinsip pertama dan kedua. Amar ma‟ruf ini mengandung
arti bahwa Hukum Islam ditegakkan untuk menjadikan umat manusia dapat melaksanakan hal-hal yang
baik dan benar sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT. Sedangkan nahi munkar mengandung arti
hukum tersebut ditegakkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk yang dapat meruntuhkan
kehidupan bermasyarakat. Di antara paparan al-Qur'an yang menjelaskan prinsip tersebut adalah surat
Ali Imran/3: 110
‫هّٰلل‬
ِ ‫ف َوت َۡنهَ ۡونَ ع َِن ۡال ُم ۡن َك ِر َوتُ ۡؤ ِمنُ ۡونَ بِا ِ​ؕ َولَ ۡو ٰا َمنَ اَ ۡه ُل ۡال ِك ٰت‬
ؕ​ۡ‫ب لَڪَانَ خ َۡيرًا لَّهُم‬ ِ ‫اس ت َۡا ُمر ُۡونَ بِ ۡال َم ۡعر ُۡو‬
ِ َّ‫ُك ۡنتُمۡ خ َۡي َر اُ َّم ٍة اُ ۡخ ِر َج ۡت لِلن‬
‫ِم ۡنهُ ُم ۡال ُم ۡؤ ِمنُ ۡونَ َواَ ۡكثَ ُرهُ ُم ۡال ٰف ِسقُ ۡونَ‏‬

Artinya: Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang
beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Juga di surat yang sama ayat 104

َ ‫ولٓ ِٕٮ‬
‫ك هُ ُم ۡال ُم ۡفلِح ُۡونَ‏‬ ٰ ُ‫ف َويَ ۡنهَ ۡونَ ع َِن ۡال ُم ۡن َكر​ؕ َوا‬
ِ ِ ‫َو ۡلتَ ُك ۡن ِّم ۡن ُكمۡ اُ َّمةٌ ي َّۡدع ُۡونَ اِلَى ۡالخ َۡي ِر َويَ ۡا ُمر ُۡونَ بِ ۡال َم ۡعر ُۡو‬

Artinya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung.
4. Prinsip al-Hurriyah (kebebasan dan kemerdekaan).

Prinsip ini mengandung maksud bahwa hukum Islam tidak diterapkan berdasarkan paksaan, akan tetapi
berdasarkan penjelasan yang baik dan argumentatif yang dapat meyakinkan. Apakah manusia pada
akhirnya menolak atau menerima sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing individu.

Beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan tentang prinsip ini, antara lain dalam surat Al-Baqarah/2: 256.

ُ ‫صا َم لَهَا​ ؕ َوهّٰللا‬


َ ِ‫ك بِ ۡالع ُۡر َو ِة ۡال ُو ۡث ٰقى اَل ا ْنف‬ ۡ ‫ت َوي ُۡؤ ِم ۡۢن بِاهّٰلل ِ فَقَ ِد‬
َ ‫استَمۡ َس‬ ​ِّۚ ‫ن قَد تَّبَيَّنَ الرُّ ۡش ُد ِمنَ ۡالغ‬
ِ ‫َى فَ َم ۡن ي َّۡكفُ ۡر بِالطَّا ُغ ۡو‬ ​ِۙ ‫اَل ۤ اِ ۡك َراهَ فِى الد ِّۡي‬
‫َس ِم ۡي ٌع َعلِ ۡي ٌ‏م‬

Artinya: Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan)
antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan
putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Juga dalam surat Al-Kaafiruun/109: 6

‫لَـ ُكمۡ ِد ۡينُ ُكمۡ َولِ َى ِد ۡي ِن‏‬

Artinya: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

5. Prinsip musawah (persamaan/egaliter).

Prinsip persamaan mengandung arti bahwa pada dasarnya semua manusia adalah sama meskipun
faktanya berbeda dalam lahiriyahnya, baik warna kulit, bahasa suku bangsa dan lain-lain. Kesamaan
tersebut, terutama dalam hal nilai kemanusiaannya. Hukum Islam memandang perbedaan secara
lahiriyah tidak menjadikan manusia berbeda dari segi nilai kemanusiaannya. Sungguh banyak ayat
al-Qur'an yang menjelaskan prinsip ini, di antaranya adalah surat Al-Hujuraat/49: 13.

‫ٰۤياَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ۡق ٰن ُكمۡ ِّم ۡن َذ َك ٍر َّواُ ۡن ٰثى َو َج َع ۡل ٰن ُكمۡ ُشع ُۡوبًا َّوقَبَ ِٕٓاٮ َل لِتَ َعا َرفُ ۡوا​ ؕ اِ َّن اَ ۡك َر َم ُكمۡ ِع ۡن َد هّٰللا ِ اَ ۡت ٰقٮ ُكمۡ​ ؕ اِ َّن هّٰللا َ َعلِ ۡي ٌم َخبِ ۡي ٌر‏‬

Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Dari ayat tersebut juga terlihat bahwa yang membedakan nilai manusia dalam pandangan hukum Islam
adalah bukan karena ras, warna kulit dan sisi lahiriyah lainnya, melainkan faktor ketaqwaannya. Dalam
ayat lainnya lebih tegas Allah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan
dibanding jenis makhluk lainnya. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Israa’/17: 70

ِ ‫ت َوفَض َّۡل ٰنهُمۡ ع َٰلى َكثِ ۡي ٍر ِّم َّم ۡن َخلَ ۡقنَا ت َۡف‬
‫ض ۡياًل ‏‬ ِ ‫۞ َولَـقَ ۡد َكرَّمۡ نَا بَنِ ۡۤى ٰا َد َم َو َح َم ۡل ٰنهُمۡ فِى ۡالبَرِّ َو ۡالبَ ۡح ِر َو َرز َۡق ٰنهُمۡ ِّمنَ الطَّيِّ ٰب‬

Artinya: Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat
dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas
banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
6. Prinsip ta’awun (tolong-menolong).

Prinsip ini mengajarkan bahwa sesama warga masyarakat harus saling menolong demi tercapainya
kemaslahatan bersama. Di antara ayat yang menjadi landasan prinsip tersebut adalah surat Al-Maidah/5:
2.

ۡ َ‫ى َواَل ۡالقَآَل ِٕٮ َد َواَل ۤ ٰٓا ِّم ۡينَ ۡالبَ ۡيتَ ۡال َحـ َرا َم يَ ۡبـتَ ُغ ۡونَ ف‬ ‫هّٰللا‬ ۤ
ۡ‫ضاًل ِّم ۡن َّربِّ ِهم‬ َ ‫ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا اَل تُ ِحلُّ ۡوا َش َع ِٕٓاٮ َر ِ َواَل ال َّش ۡه َر ۡال َحـ َرا َم َواَل ۡالهَ ۡد‬
ِّ‫ص ُّد ۡو ُكمۡ ع َِن ۡال َم ۡس ِج ِد ۡال َحـ َر ِام اَ ۡن ت َۡعتَد ُۡوا​ ۘ َوتَ َعا َونُ ۡوا َعلَى ۡالبِر‬ َ ‫اصطَاد ُۡوا​ ؕ َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكمۡ َشن َٰانُ قَ ۡو ٍم اَ ۡن‬ ۡ َ‫ض َوانًا​ؕ َواِ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬ ۡ ‫َو ِر‬
ۡ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ان َواتَّقُوا َ​ؕ اِ َّن َ َش ِد ۡي ُد ال ِعقَا ِ‏‬
‫ب‬ ۡ ۡ
​ِ ‫َوالتَّ ۡق ٰوى​ َواَل تَ َعا َونُ ۡوا َعلَى ا ِ ث ِم َوالع ُۡد َو‬
‫اۡل‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah,
dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan
kurban) dan qalāid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya.
Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai
kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram,
mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.

7. Prinsip tasamuh (toleransi).

Prinsip ini mengajarkan bahwa hukum Islam mengharuskan kepada umatnya untuk hidup penuh dengan
suasana damai dan toleran. Toleransi ini harus menjamin tidak dilanggarnya hukum Islam dan hak umat
Islam.

Di antara ayat yang menjelaskan prinsip ini adalah surat AlMumtahanah/60: 8.

‫ار ُكمۡ اَ ۡن تَبَرُّ ۡوهُمۡ َو تُ ۡق ِسطُ ۡۤوا اِلَ ۡي ِهمۡ​ؕ اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ۡال ُم ۡق ِس ِط ۡينَ‏‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫اَل يَ ۡن ٰهٮ ُك ُم ُ ع َِن الَّ ِذ ۡينَ لَمۡ يُقَاتِلُ ۡو ُكمۡ فِى الد ِّۡي ِن َولَمۡ ي ُۡخ ِرج ُۡو ُكمۡ ِّم ۡن ِدي‬

Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

4. Jelaskan posisi dan fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an!

Sumber pertama hukum dalam Islam adalah al-Qur‟an sedangkan yang kedua adalah Sunnah Rasul SAW.
Maksudnya adalah bahwa seseorang khususnya para mujtahid yang ingin menetapkan suatu hukum maka
yang pertama-tama dicarinya adalah ayat-ayat dalam al-Qur’an. Apabila tidak menemukan ayat yang
berbicara masalah tersebut baru kemudian mencarinya di dalam Sunnah Rasul SAW. Adapun posisi sunnah
Rasul SAW terhadap al-Qur’an ditinjau dari segi materi hukum yang terkandung di dalamnya secara umum
para ulama membagi menjadi tiga macam.

1. Pertama, Menguatkan (Muakkid) Hukum suatu Peristiwa yang Telah Ditetapkan Hukumnya di Dalam
Al-Qur’an
Beberapa peristiwa telah ditetapkan hukumnya oleh al-Qur‟an kemudian sunnah Nabi SAW
menguatkannya sehingga amalan tersebut ditetapkan oleh MKDU4221/MODUL 4 4.31 dua sumber
hukum yaitu al-Qur‟an dan sunnah Nabi SAW. Misalnya shalat dan zakat telah ditetapkan hukumnya di
dalam al-Qur‟an di antaranya dalam surat Al-Baqarah/2: 43.

‫َواَقِ ۡي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َو ۡار َكع ُۡوا َم َع ال ٰ ّر ِك ِع ۡينَ‏‬

Artinya: Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

Demikian juga berpuasa telah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur‟an dalam surat al-Baqarah/2: 183.
Sementara ibadah haji ditetapkan oleh Allah dalam surat Ali-Imron/3: 97. Kemudian
perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari sahabat Umar bin Khattab r.a. yang menceritakan
bahwa:

“Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang lelaki yang
mengenakan baju putih dan rambutnya hitam kelam, kemudian dia meletakkan lututnya
berhadapan dengan lutut Rasulullah SAW, kemudian berkata “wahai Muhammad terangkan
kepadaku tentang Islam? Kemudian Nabi SAW menjawab Islam itu adalah engkau bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mengerjakan
shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan Haji ke Baitullah
apabila mampu ….”

Di antara contoh yang berupa larangan antara lain: Allah SWT melarang berbuat syirik, ini
diisyaratkan dalam surat An-Nisa’/4: 48
ۤ ‫هّٰلل‬ َ ‫اِ َّن هّٰللا َ اَل يَ ۡغفِ ُر اَ ۡن ي ُّۡش َر‬
ِ ‫ك لِ َم ۡن يَّ َشٓا ُ​ء ۚ َو َم ۡن ي ُّۡش ِر ۡك بِا ِ فَقَ ِد ۡافت َٰـرى اِ ۡث ًما ع‬
‫َظ ۡي ًما‏‬ َ ِ‫ك بِ ٖه َويَ ۡغفِ ُر َما د ُۡونَ ٰذ ل‬

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik),
dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa
mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.

Allah juga mengharamkan berbuat durhaka kepada kedua orang tua dengan firman-Nya dalam surat
Al-Israa’/17: 23

‫ك ۡال ِكبَ َر اَ َح ُدهُ َم ۤا اَ ۡو ِك ٰلهُ َما فَاَل تَقُلْ لَّهُ َم ۤا اُفٍّ َّواَل‬
َ ‫ك اَاَّل ت َۡعبُد ُۡۤوا اِاَّل ۤ اِيَّاهُ َوبِ ۡال َوالِد َۡي ِن اِ ۡح َسانًا​ ؕ اِ َّما يَ ۡـبلُغ ََّن ِع ۡن َد‬
َ ُّ‫ضى َرب‬ ٰ َ‫۞ َوق‬
‫ت َۡنهَ ۡرهُ َما َوقُلْ لَّهُ َما قَ ۡواًل َك ِر ۡي ًما‏‬

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah
kepada keduanya perkataan yang baik

Larangan-larangan tersebut kemudian dikuatkan oleh Nabi SAW dalam haditsnya, sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: ”Perhatikan aku akan menerangkan kepada
kalian tentang dosa besar (diulangi oleh Nabi SAW tiga kali), para sahabat menjawab, baik ya
Rasulullah, Nabi SAW kemudian bersabda; (dosa besar itu adalah) menyekutukan Allah SWT,
durhaka kepada kedua orang tua ....”

2. Memberikan penjelasan terhadap Ayat-Ayat Al-Qur‟an, antara lain dengan jalan berikut ini.
a. Memberikan rincian terhadap ayat-ayat yang masih global, misalnya perintah shalat yang harus
dikerjakan dalam waktu-waktu tertentu, sebagaimana diisyaratkan dalam surat An-Nisaa‟/4: 103.

ۡ ‫ض ۡيتُ ُم الص َّٰلوةَ فَ ۡاذ ُكرُوا هّٰللا َ قِيَا ًما َّوقُع ُۡودًا َّوع َٰلى ُجنُ ۡوبِ ُكمۡ ۚؕ فَاِ َذا‬
‫اط َم ۡان َۡنتُمۡ فَاَقِ ۡي ُموا الص َّٰلو ​ةَ ۚ اِ َّن الص َّٰلوةَ َكان َۡت َعلَى‬ َ َ‫فَاِ َذا ق‬
‫ۡال ُم ۡؤ ِمنِ ۡينَ ِك ٰتبًا َّم ۡوقُ ۡوتًا‏‬

Artinya: Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu
berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman,
maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.

Kandungan ayat tersebut jelas masih global, maka Nabi SAW kemudian menjelaskan secara rinci
tentang waktu-waktu shalat, syarat dan rukunnya dengan cara praktek langsung yang kemudian
beliau tegaskan dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.

Demikian halnya dengan perintah-perintah ibadah yang lain seperti Zakat, Haji dan lain-lain.

b. Membatasi kemutlakannya; yang dimaksud adalah ada ayat-ayat yang masih bersifat mutlak, tetapi
kemudian Rasul SAW membatasi kemutlakan ayat tersebut. Contohnya adalah ketika seseorang
sudah merasa dekat waktu ajalnya kemudian membuat wasiat terkait dengan hartanya, maka
al-Qur‟an tidak memberikan batasan, sepertinya berapa pun boleh. Namun kemudian Nabi
membatasi bahwa wasiat diperbolehkan maksimal 1/3 dari harta yang akan ditinggalkan. Ini pun
dengan catatan bahwa wasiat yang berkaitan dengan harta tidak diperuntukkan kepada keluarga yang
secara syariat memang berhak menerima harta waris. Di antara ayat yang membolehkan berwasiat
adalah an-Nisa‟/4: 12, sedangkan hadits yang membatasi kadar wasiat tersebut diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dan Imam Muslim yang bersumber dari sahabat Sa'ad bin Abi Waqqas, r.a
c. Mengkhususkan atas ayat yang masih bersifat umum; beberapa ketentuan dalam al Quran masih
sangat bersifat umum, kemudian Nabi SAW mengkhususkan (mentakhsis) atas ketentuan tersebut.
Misalnya al Quran mengharamkan bangkai dan darah, seperti dijelaskan dalam ayat 3 surat
Al-Maidah.

Ternyata kemudian Rasulullah SAW mengkhususkan atau mengecualikan atas bangkai ikan laut dan
belalang serta hati dan limpa yang termasuk kategori darah. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah: ” Dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah, dua macam bangkai itu
adalah bangkai binatang laut dan belalang. Dan dua macam darah itu adalah hati dan limpa”.

3. Ketiga, Menciptakan Hukum Baru yang Tidak terdapat Dalam AlQur’an


Tentang poin ini cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan, di antaranya adalah Nabi SAW
menetapkan keharaman binatang buas yang bertaring kuat dan juga burung yang berkuku kuat,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari sahabat Ibnu ‟Abbas.

Hukum-hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW secara mandiri tersebut meskipun bersumber dari
ijtihad beliau namun harus diyakini bahwa hal tersebut pasti kebenarannya. Karena Nabi SAW
terpelihara dari berbuat salah (ma’shum) yang mengandung arti apabila ada ketetapan-ketetapan hukum
agama yang menurut pandangan Allah salah maka akan turun ayat yang menegurnya. Penegasan bahwa
apa yang disampaikan oleh Nabi SAW pada hakikatnya adalah wahyu dijelaskan dalam surat
An-Najm/53: 3-4.

ٌ ‫ اِ ۡن هُ َو اِاَّل َو ۡح‬٣ ‫ق ع َِن ۡالهَ ٰوىؕ‏‬


٤ ‫ى ي ُّۡو ٰحىۙ‏‬ ُ ‫َو َما يَ ۡن ِط‬

Artinya: dan tidaklah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut keinginannya. Tidak lain (Al Quran
itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)

Karena semua pada hakikatnya adalah bersumber dari Allah maka mustahil kalau apa yang beliau
sampaikan itu bertentangan dengan al-Qur’an. Namun demikian sebagai manusia ada
perbuatan-perbuatan yang tidak masuk kategori perbuatan hukum (syara’) dalam hal ini tidak wajib
dijadikan landasan hukum dalam agama. Inilah yang akan diulas dalam tulisan di bawah ini.

5. Jelaskan perbedaan moral, susila, budi pekerti, etika, dan akhlak, dan kaitan antara
semuanya!
1. Moral: Moral merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang mengatur perilaku manusia dalam
masyarakat. Moral mencakup nilai-nilai yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk, dan
membentuk dasar dari tindakan dan keputusan seseorang. Moral bersifat subjektif dan dapat berbeda
antara individu, budaya, atau agama.
2. Susila: Susila adalah istilah yang digunakan dalam budaya Indonesia untuk merujuk pada perilaku yang
baik, sopan, dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Susila mencakup
nilai-nilai seperti kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab.
3. Budi Pekerti: Budi pekerti adalah istilah yang digunakan dalam budaya Indonesia untuk merujuk pada
sikap dan perilaku yang baik, terutama dalam hubungan sosial. Budi pekerti mencakup nilai-nilai seperti
keramahan, kesopanan, dan kebaikan hati.
4. Etika: Etika adalah studi tentang apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk, dalam konteks
moral. Etika mencakup prinsip-prinsip dan teori-teori yang digunakan untuk memahami dan
mengevaluasi tindakan manusia. Etika berfokus pada pertimbangan rasional dan refleksi moral.
5. Akhlak: Akhlak adalah istilah yang digunakan dalam Islam untuk merujuk pada perilaku yang baik dan
moralitas yang tinggi. Akhlak mencakup nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang.
Akhlak juga mencakup aspek spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Kaitan Antara Semuanya

Semua konsep tersebut berkaitan erat dan saling melengkapi dalam membentuk perilaku manusia yang
baik dan moral. Berikut adalah kaitan antara moral, susila, budi pekerti, etika, dan akhlak:

1. Moral, susila, dan budi pekerti adalah konsep yang berkaitan dengan perilaku yang baik dan sesuai
dengan norma-norma sosial dalam masyarakat. Ketiganya mencakup nilai-nilai yang dianggap penting
dalam membentuk karakter dan sikap yang baik.
2. Etika adalah studi tentang moral dan memberikan kerangka kerja untuk memahami dan mengevaluasi
tindakan manusia. Etika membantu kita memahami prinsip-prinsip moral yang mendasari perilaku dan
memberikan pedoman dalam mengambil keputusan moral.

Anda mungkin juga menyukai