Pembimbing
dr. Indra Budi Perkasa, Sp.JP, FIHA
Disusun Oleh
Lika Ameylia Tanjung
2019730057
Assaalamualaikum wr.wb
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, nikmat
dan karunia serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“Congestive Heart Failure” yang penulis ajukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Program Studi Profesi Dokter
Universitas Muhammadiyah Jakarta. Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
jahiliyah ke zaman yang yang penuh ilmu pengetahuan sampai hari ini.
Terima kasih kepada dr. Indra Budi Perkasa, Sp.JP, FIHA selaku dokter pembimbing saya,
seluruh dokter spesialis saraf RSIJ Cempaka Putih, bidan, perawat, dan staff di RSIJ Cempaka
Putih serta Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Univesitas Muhammadiyah Jakarta yang telah
membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan Laporan Kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
setiap pembacanya.
Jakarta, 7 Oktober2023
i
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Daftar Isi
ii
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Daftar Gambar
iii
Universitas Muhammadiyah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1
Universitas Muhammadiyah Jakarta
BAB II
STATUS PASIEN
2
Universitas Muhammadiyah Jakarta
• Riwayat Hipertensi (+)
• Riwayat pernah pengobatan paru selama 6 bulan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa. Riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakti keganasan pada keluarga
disangkal.
Riwayat Pengobatan
• Pasien tidak rutin konsumsi obat DM
• Riwayat pemasangan PCI tahun 2018 di RS Jantung Matraman
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, cuaca ataupun debu
Riwayat Psikososial
• Riwayat merokok (+) (Sehari 1 bungkus)
• Riwayat minum alkohol (-)
2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara langsung kepada pasien pada tanggal 20 September
2023 pukul 18.00 WIB di bangsal Shafa 2
Pemeriksaan Umum
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Tingkat Kesadaran
• Kualitatif : Compos Mentis E4M6V5
• Kuantitatif : E4M6V5 (GCS=15)
• Tanda vital
Saat di IGD tanggal 19 September 2023:
• Tekanan Darah :152/101 mmHg
• Nadi : 106x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, kualitas
nadi baik
• RR : 24x/menit, tidak teratur, tipe pernapasan cheyne
stokes.
• Suhu : 36,8oC
• SpO2 : 97%
Saat di Bangsal Shafa 2 pada hari perawatan ke 2 tanggal 20 Agustus 2023:
• Tekanan Darah : 147/66 mmHg
• Nadi : 86x/menit
• Pernapasan : 20x/menit
• Suhu : 36 oC
• SpO2 : 98%
3
Universitas Muhammadiyah Jakarta
• Status Antropometri
• Tinggi Badan : 170 cm
• Berat Badan : 78 kg
• IMT : 26,99 kg/m2 (Obesitas tingkat 1)
Status Generalisata
• Kepala : Normocephal, rambut tidak rontok, dan distribusi merata.
• Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor ± 3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
• Hidung : Septum deviasi (-), epistaksis (-), sekret (-), polip (-),
pernapasan cuping hidung (-)
• Telinga : Normotia, otore (-/-), serumen (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
• Mulut : Mukosa bibir kering lembab (+) dan sedikit pucat, tonsil T1/T1,
faring hiperemis (-)
• Leher
• KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
• Tiroid : Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
• JVP : dalam batas normal
Thorax:
Paru
• Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi dinding
dada (-)
• Palpasi : Vocal fremitus teraba sama di kedua lapang paru, nyeri tekan (-
), massa (-)
• Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
• Auskulatasi : Vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
• Perkusi :
Batas atas setinggi ICS III
Batas jantung kanan ICS V parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS VI linea midclavikularis sinistra
• Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : Bentuk tampak cembung, simetris, tidak terdapat kelainan kulit
• Auskultasi : Bising usus dalam batas normal
• Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-), splenomegali (-)
• Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
4
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Ekstremitas
Superior Inferior
Akral Hangat (+/+) (+/+)
CRT < 2 detik (+/+) (+/+)
Edema (-/-) (+/+)
Sianosis (-/-) (-/-)
Ulkus (-/-) (-/+)
5
Universitas Muhammadiyah Jakarta
• Pemeriksaan Ekokardiografi
6
Universitas Muhammadiyah Jakarta
• Pemeriksaan Rontgen Thorax Tanggal 19 September 2023
7
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2.5 Resume
Tn. H, laki-laki berusia 59 tahun datang ke RSIJCP dengan keluhan sesak napas sejak
3 hari SMRS. Sesak sudah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Sesak memberat saat
pasien berjalan 100 meter. Sesak yang dirasakan timbul ketika beraktivitas dan juga
saat pasien berbaring. Keluhan berkurang ketika pasien beristirahat dengan posisi
duduk. Keluhan sesak disertai nyeri dada yang dirasakan hilang timbul, batuk berdahak,
mudah lelah dan pusing. Pasien mengeluh mudah lelah dan nafsu makan menurun.
Keluhan disertai bengkak pada kedua tungkai. Pasien juga merasakan nyeri ulu hati (+).
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, riwayat diabetes mellitus yang tidak
terkontrol, dan hipertensi. Pasien juga memiliki riwayat pemasangan PCI pada tahun
2018 di RS Jantung Matraman. Pasien merupakan perokok aktif yaitu sehari 1 bungkus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 147/66 mmHg, HR 86x/menit, RR: 20x/menit,
SpO2 98%. Pada pemeriksaan auskultasi paru terdapat ronkhi (+/+), perkusi Batas atas
setinggi ICS III, batas jantung kanan ICS V parasternal dextra, batas jantung kiri ICS
VI linea midclavicular sinistra, nyeri tekan epigastrium (+), Edema pada ekstremitas
inferior (+/+), ulkus pada ekstremitas inferior sinistra. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan leukositosis. Pada EKG pada tanggal 19 September 2023
didapatkan kesan sinus ritme, HR 107x/menit, normoaxis, LBBB. Pada rontgen thorax
didapatkan kesan kardiomegali dan infiltrat pada paru.
2.6 Daftar Masalah
- Dyspnea
- Chest Pain
- Kardiomegali
- DM type 2
- Leukositosis
- Batuk berdahak sejak 2 minggu
2.7 Assessment
- DOE (Dyspnea on Exercise) e.c ADHF
- DM type 2 tidak terkontrol
- Dyspnea, Infiltrat paru e.c Community Acquired Pneumonia
2.8 Planning
• Planning dianostik: BNP atau NTproBNP
• Planning non farmakologi:
- Bedrest
- Monitor TTV dan GDS
• Planning farmakologi:
- Infus Asering 500 cc/24 jam
- Furosemide 10 mg/jam
- Ramipril 2 x 5 mg
- Lasix drip 10 mg/jam
- Lasix IV 3 x 2 ampul
- Glimepiride 1 x 2 mg
- Digoxin 1x0,25 mg PO
- Spironolakton 1x25 mg PO
- Amlodipine 1 x 5 mg
8
Universitas Muhammadiyah Jakarta
- Miniaspi 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Inj Vasola 2,5 mg/24 jam
- Konsul dr. Penyakit Dalam untuk Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol
2.9 Follow Up
21 September 2023
9
Universitas Muhammadiyah Jakarta
22 September 2023
Boleh Pulang
10
Universitas Muhammadiyah Jakarta
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Diperkirakan 64,3 juta orang hidup dengan gagal jantung di seluruh dunia. Di
negara-negara maju, prevalensinya diketahui sekitar 1% sampai 2% orang dewasa pada
populasi umum.3 Sekitar 6,7 juta orang Amerika berusia di atas 20 tahun menderita
gagal jantung, dan prevalensinya diperkirakan meningkat menjadi 8,5 juta orang
Amerika pada tahun 2030. Risiko gagal jantung seumur hidup telah meningkat menjadi
24%; sekitar 1 dari 4 orang akan menderita gagal jantung sepanjang hidupnya. Tingkat
prevalensi gagal jantung di kalangan orang dewasa AS adalah sekitar 1,9% hingga 2,6%
untuk keseluruhan populasi dan lebih tinggi pada pasien berusia lanjut. Tingkat
prevalensi diperkirakan meningkat menjadi 8,5% pada kelompok usia 65 hingga 70
tahun.4
11
Universitas Muhammadiyah Jakarta
akut dapat berlanjut menjadi gagal jantung kronik. World Health Organization (WHO)
menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia,
termasuk Asia diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas,
dislipidemia, dan diabetes. Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring
dengan bertambahnya usia. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013,
gagal jantung memiliki prevalensi 0,3%, hal ini sedikit berbeda dengan data studi Pusat
Janutng Nasional Harapan Kita, yaitu 5%.5
3.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Fraksi Ejeksi
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVki) masih
dianggap penting karena prognosis, respon terapi, serta sebagian besar uji klinis
membagi paisen berdasarkan FEVki. Uji klinis acak pada gagal jantung dengan
bukti yang menguntungkan untuk kelangsungan hidup sebagian besar terdaftar
sebagai pasien dengan FEVKi ≤ 35% atau ≤ 40% (HfrEF).
12
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gambar 3. 2 Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Kapasitas Fungsional
13
Universitas Muhammadiyah Jakarta
sendiri biasanya diakibatkan oleh faktor pemberat yang akut misalnya infark
miokard akut atau aritmia. Patofisiologinya sendiri diakibatkan oleh kegagalan
ventrikel kiri untuk memompa darah saat adanya peningkatkan beban kerjanya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini dipengaruhi juga oleh preload,
afterload, dan kontraktilitas jantung. Perubahan dari faktor-faktor ini dapat
mengakibatkan gagal jantung akut.
D. Gagal Jantung Kronik
Berbeda dengan gagal jantung akut, gagal jantung kronik sudah terjadi setelah
beberapa waktu dengan gejala-gejala yang dapat diatasi. Kondisi ini dibagi menjadi
dua tipe yakni sistolik dan diastolik. Proses yang menyebabkan hal ni sudah
dijelaskan di atas yakni mengenai kompensasi tubuh yang pada jangka panjang
menyebabkan adanya remodeling.
E. Gagal Jantung Sistolik
Gagal jantung sistolik adalah gagal jantung yang diakibatkan abnormalitas pada
fase sistolik sehingga menghambat fungsi normal pompa jantung. Kondisi ini
menghasilkan ejection fraction (EF) yang rendah. Remodeling yang terjadi adalah
dilatasi dari jantung yang tidak diimbangi dengan kemampuan kontraktilitas yang
baik.
F. Gagal Jantung Diastolik
Kondisi ini dapat ditemukan akibat abnormalitas dari fungsi diastolik misalnya
pada saat pengisian dan relaksasi jantung. Berbeda dengan gagal jantung sistolik,
pada kondisi ini, EF pasien biasanya masih normal, yakni di atas 45%, walau
memiliki gejala-gejala gagal jantung. Segala penyebab yang mampu berujung pada
gangguan pengisian dan relaksasi jantung akan menyebabkan gangguan diastolik.
14
Universitas Muhammadiyah Jakarta
3.1.5 Patofisiologi
Gambar 3. 3 Patofisiologi
1. Curah jantung yang rendah; yang mana tidak cukup darah yang dipompa ke sirkulasi
sistemik untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
2. Akibat kongesti pada paru yang mana darah kembali dari ventrikel kiri ke atrium kiri dan
akhirnya terakumulasi di pembuluhn darah paru.
Kemudian dari curah jantung yang rendah, mengaktivasi saraf simpatis yang mana
bertujuan untuk meningkatkan curah jantung yang bermanifestasi pada takikardi, jantung
berdebar, diaforesis, kemudian dari low cardiac mengakibatkan perfusi jaringan yang rendah
yang bermanifestasi kelemahan dan kelelahan. bisa juga terjadi vasokonstriksi perifer
mengalihkan volume sekuncup yang terbatas ke organ inti yang bermanifestasi berupa tangan
yang berkeringat dan dingin. Dari perfusi yang rendah terjadi hipoksia pada jaringan yang
dimana terjadi peningkatan respirasi anaerobik dan poroduksi lactic acid yang meningkat,
15
Universitas Muhammadiyah Jakarta
sehingga pusat pernafasan mencoba untuk mengkompensasi dengan meningkatkan respiratory
rate dan bermanifestasi berupa takipneu dan dyspnea.
Kongesti paru menyebabkan tekanan vena pulmonal yang tinggi memaksa cairan
keluar dari kapiler, menuju interstitium paru dan alveoli yang mengakibatkan, interstitium paru
lebih basah dan terjadi penurunan complience yang dimana otot pernapasan bekerja lebih keras
untuk ventilasi paru-paru yang bermanifestasi berupa dyspneu.
Peningkatan vena pulmonal juga mengakibatkan cairan menekan saluran pernafasan
dan terjadi resistensi terhadap aliran udara yang mengakibatkan otot pernafasan semakin
bekerja keras untuk ventilasi paru dan terjadi dyspneu.
Cairan yang bergantung pada gravitasi akan menetap pada lobus paru-paru bagian
bawah. Seiring waktu, pembuluh darah di lobus bagian atas yang berventilasi lebih baik secara
refleks akan melebar, sehingga meningkatkan pertukaran gas. tetapi ketika terlentang, darah
dan cairan alveolar keduanya mengendap di sepanjang dinding posterior paru yang akan
menurunkan ventilasi perfusi alveoli dan bermanifestasi ortopneu. Pada keadaan duduk, edema
kembali menetap pada lobus paru bagian bawah dan darah mengalir kembali ke lobus atas
dengan ventilasi yang lebih vaik, dan terjadi peningkatan perutkaran gas. Orthopneu diatasi
dengan duduk tegak. ketika 2-3 jam terlentang.edema pada ekstremitas bawah diserap kembali
pada sirkulasi yang mengakibatkan peningkatan volume darah. Semakin membebani ventrikel
kiri yang gagal, lebih banyak darah kembali ke paru dan peningkatan kongesti paru akan
menimbulkan paroximal nocturnal dyspneu.
Akibat kongesti pada paru yang mana darah kembali dari ventrikel kiri ke atrium kiri
akan mengakibatkan tekanan hidrostatik dalam vena yang memaksa cairan keluar ke jaringan
interstitial, terutama pada daerah yang bergantung pada gravitasi contohnya pergelangan kakki,
yang mana akan menimbulkan edema pada pergelangan kaki. Tekanan hidrostatik vena juga
mengakibatkan perut terasa penuh, kongesti pada hepar dan ascites.
3.1.6 Tahapan Gagal Jantung
Tahapan gagal jantung menekankan pada perkembangan dan perjalanan
penyakit, dan tahap lanjut dihubungkan dengan penurunan angka keselamatan.
Intervensi terapi pada tiap tahapan bertujuan untuk memodifikasi faktor risiko (pada
tahap A), untuk menangani risiko dan penyakit jantung struktural untuk mencegah
gagal jantung (pada tahap B), untuk mengurangi gejala, morbiditas dan mortalitas (pada
tahap C dan D).
16
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gambar 3. 4 Tahapan Gagal Jantung
• Penyakit jantung iskemik – perlu diingat bahwa infark ventrikel kanan akan
menimbulkan gagal jantung kanan, yang membutuhkan penanganan akut berbeda
dengan gagal jantung kiri.
• Penyakit katup – penyakit katup aorta akan menyebabkan gagal jantung kongestif,
sama seperti regurgitasi mitral. Penting diingat bahwa stenosis mitral menyebabkan
gagal jantung kanan tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri.
• Penyakit jantung hipertensi.
• Kardiomiopati – herediter, seperti kardiomiopati dilatasi atau hipertrofik, atau
didapat seperti miokarditis sekunder virus, obat, inflamasi, tirotoksikosis, dan lain
sebagainya.
Gagal jantung dapat muncul meski tanpa disertai gangguan fungsi sistolik miokard.
Gagal jantung dengan fungsi sistolik normal (dikenal juga dengan gagal jantung
diastolik) terjadi karena adanya gangguan relaksasi ventrikel saat diastolik ataupun
peningkatan kekakuan yang pasif pada miokard. Biasanya muncul pada pasien usia tua
dengan hipertensi dan lebih sering terjadi pada wanita.
17
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gambar 3. 5 Manifestasi Klinis
18
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gambar 3. 7 Foto Toraks
19
Universitas Muhammadiyah Jakarta
• Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau difungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada
pasien dengan dugaan gagal jantung. Ekokardiografi Transtorakal (TTE)
memberikan informasi mengenai struktural dan fungsi jantung serta
mengidentifikasi abnormalitas miokardium, katup jantung, dan perikardium.
Penilaian yang harus dilakukan dengan pemeriksaan ekokardiografi termasuk
pengukuran FEVKi, dimensi dan volume ventrikel, evaluasi geometri ruang
jantung, wall motion regional, fungsi diastolik, serta estimasi tekanan pengisian
ventrikel kiri dan atrial kiri.
Gambar 3. 9 Ekokardiografi
20
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gagal jantung merupakan kondisi heterogen dengan etiologi dan patofisiologi
yang sangat bervariasi (baik secara kardiovaskular maupun non-kardiovaskular).
Proses identifikasi etiologi akhir harus menjadi bagian dari langkah diagnostik
untuk penegakan penyebab spesifik atau penyebab sekunder dari gagal jantung.
Penentuan etiologi termasuk di dalamnya pemeriksaan standar yang dapat
menentukan penyebab iskemia miokard, respons abnormal tekanan darah terhadap
aktivitas, inkompetensi kronotropik, atau aritmia supraventrikular dan ventrikular.
Deteksi kondisi tersebut dapat mempengaruhi strategi tatalaksana. Pemeriksaan
lainnya dapat dilihat pada (gambar 10). Identifikasi etiologi pada gagal jantung
tidak hanya membuka jalan untuk terapi spesifik, namun juga berkaitan dengan
prognosis gagal jantung.
21
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gambar 3. 11 Algoritma diagnosis untuk pasien dicurigai gagal jantung
3.1.10 Tatalaksana
Tatalaksana Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Rendah
A. Tatalaksana Non-Farmakologi
- Manajemen Gagal Jantung Berbasis Tim Multidisiplin
Manajemen gagal jantung berbasis tim multidisiplin merupakan suatu
program yang bertujuan untuk menurunkan angka rawat ulang akibat
gagal jantung dan kematian kardiovaskular yang tersusun dalam suatu
klinik gagal jantung. Anggota klinik gagal jantung mencakup dokter
spesialis jantung dan pembuluh darah, dokter spesialis lain, perawat
gagal jantung, farmasi klinis, ahli gizi, dan fisioterapis yang saling
berhubungan dalam merawat pasien-pasien gagal jantung. Pendekatan
personal oleh tim multidisiplin dalam penanganan pasien gagal jantung
dapat menurunkan risiko kematian hingga 25%.
22
Universitas Muhammadiyah Jakarta
- Rehabilitas Jantung
Rehabilitas jantung secara umum merupakan suatu intervensi yang
kompleks, multikomponen yang meliputi latihan fisik dan promosi
aktivitas, edukasi kesehatan, manajemen risiko kardiovaskular dan
dukungan psikologis, yang dilakukan secara personal sesuai kebutuhan
individu pasien dengan penyakit jantung.
- Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan
yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung. Manajemen perawatan mandiri mempunyai
peran penting dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat
memberi dampak bermakna untuk perbaikan gejala gagal jantung,
kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas, dan prognosis.
- Kepatahuan Pasien
Kepatuhan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas,
mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-
60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun nonfarmakologis
- Pemantauan Berat Badan Mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikkan dosis
diuretik atas pertimbangan dokter.
- Asupan Cairan
Restriksi cairan 900–1200 cc/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan
terutama pada pasien dengan gejala kongesti berat yang disertai
hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala
ringan sampai sedang tidak memberikan manfaat klinis.
- Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
B. Tatalaksana Farmakologi
Tujuan terapi gagal jantung untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Tindakan pencegahan tetap merupakan bagian penting dalam tatalaksana gagal
23
Universitas Muhammadiyah Jakarta
jantung. Tabel 4.1 menyajikan tujuan strategi farmakologis menggunakan obat-
obatan dan alat pada pasien HFrEF. Selain itu, penting untuk mendeteksi dan
melakukan pengobatan terhadap komorbiditas kardiovaskular dan non
kardiovaskular yang menyertai.
Gambar 3. 12 Tujuan strategi farmakologis menggunakan obat-obatan dan alat pada pasien
HFrEF
24
Universitas Muhammadiyah Jakarta
- Penyekat Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA)
Secara umum, terdapat tiga golongan obat yang bekerja sebagai
penyekat SRAA yang direkomendasikan untuk manajemen pasien
HFrEF. Ketiga golongan obat tersebut adalah penghambat enzim
pengubah angiotensin (angiotensin-converting enzyme inhibitor/ACEI),
penghambat nefrilisin dan reseptor angiotensin (angiotensin receptor
nephrylisin inhibitor/ARNI) dan penyekat reseptor angiotensin II
(angiotensin receptor blocker/ARB). Penyekat SRAA
direkomendasikan pada pasien HFrEF guna menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas. Penghambat enzim pengubah angiotensin,
atau ARNI mempunyai kelas rekomendasi I sedangkan ARB diberikan
hanya jika pasien tidak dapat mentoleransi ACE-I atau ARNI.
Salah satu dari ketiga golongan obat ini wajib diberikan pada pasien
HFrEF sebagai bagian dari terapi yang diberikan sejak diagnosis
ditegakkan. Obat golongan penyekat SRAA direkomendasikan sebagai
obat utama HFrEF bersamaan dengan penyekat-β, antagonis aldosteron
dan obat golongan penghambat SGLT2.
A. Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-i)
Penghambat enzim pengubah angiotensin (angiotensin-converting
enzyme inhibitor/ACE-I) merupakan golongan obat yang bekerja untuk
menghambat perubahan angiotensin-I menjadi angiotensin-II dengan
cara menghambat enzim pengubah angiotensin (angiotensin converting
enzyme). ACE-I merupakan obat pilihan utama yang harus diberikan
pada semua pasien gagal jantung simtomatik dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40% kecuali terdapat kontraindikasi. ACE-i
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup pasien gagal jantung,
mengurangi rawat ulang akibat perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kesintasan pada pasien HfrEF.
ACE-i dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simptomatik, batuk, dan angioedeme (jarang). Oleh sebab itu,
ACE-i sebaiknya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat
dan kadar kalium normal (<5,5 mEq/dL)
25
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Indikasi pemberian ACE-i pada HfrEF
▪ Semua pasien dengan/tanpa tanda dan gejala gagal jantung
▪ Riwayat angioedema
▪ Stenosis arteri renalis bilateral
▪ Stenosis aorta berat
▪ Kadar kalium serum >5,5 mmol/L
▪ Kehamilan
▪ Serum kreatinin >2,5 mg/dL (kontraindikasi relatif)
Inisiasi ACE-I dapat diberikan sejak awal pada pasien HFrEF yang
dirawat, dengan memperhatikan hasil pemeriksaan fungsi ginjal dan
serum elektrolit. Titrasi dosis dan optimalisasi hingga dosis optimal atau
dosis yang dapat ditoleransi dari obat ACE-I sebaiknya dilakukan
dengan cepat. Titrasi saat perawatan rumah sakit dapat dilakukan dengan
lebih cepat dengan mempertimbangkan klinis pasien, tekanan darah,
evaluasi fungsi ginjal dan kadar kalium serum.
26
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Berdasarkan studi PARADIGM-HF, ARNI terbukti lebih superior
dibandingkan enalapril dalam menurunkan angka perawatan berulang
karena gagal jantung, dan mortalitas kardiovaskular pada pasien gagal
jantung kronik dengan fraksi ejeksi ≤ 40%. Adapun ARNi sebagai terapi
de novo dapat dipertimbangkan pemberiannya pada pasien gagal jantung
fraksi ejeksi ≤ 40% yang mengalami perawatan karena gagal jantung
akut berdasarkan studi PIONEER. Pada kasus tersebut terbukti ARNI
lebih unggu dalam menurunkan NT-proBNP dan memperbaiki
remodelling ventrikel kiri dibandingkan valsartan.
Indikasi pemberian ARNI pada HfrEF
▪ Semua pasien dengan/tanpa tanda dan gejala gagal jantung
▪ Riwayat angioedema
▪ Stenosis arteri renalis bilateral
▪ Stenosis aorta berat
▪ Kadar kalium serum > 5,5 mmol/L
▪ Kehamilan
▪ Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (kontraindikasi relatif)
Dosis inisiasi yang dianjurkan adalah 50 mg (2 kali per hari) dan dapat
ditingkatkan hingga dosis optimal 200 mg (2 kali per hari). Apabila
digunakan sebagai terapi substitusi pasien yang sebelumnya telah
mendapatkan ACE-I, maka segala jenis obat ACE-I, harus dihentikan
penggunaannya selama minimal 36 jam terbih dahulu sebelum memulai
ARNI. Namun, bila pasien sebelumnya mendapatkan ARB, maka ARNI
27
Universitas Muhammadiyah Jakarta
dapat langsung diberikan sebagai pengganti ARB, tanpa harus melalui
proses penghentian.
Penggunaan ARNI dapat diberikan secara awal pada pasien HFrEF yang
dirawat inap dengan memperhatikan hasil pemeriksaan fungsi ginjal dan
serum elektrolit. Titrasi dosis dan optimalisasi hingga dosis optimal atau
dosis yang dapat ditoleransi dari obat ARNI dapat dilakukan secara
berkala saat perawatan di rumah sakit maupun rawat jalan. Titrasi saat
perawatan rumah sakit dapat dilakukan dengan lebih cepat dengan
mempertimbangkan klinis pasien, tekanan darah, evaluasi fungsi ginjal
dan kadar kalium serum.
28
Universitas Muhammadiyah Jakarta
▪ Kehamilan
▪ Serum kreatinin >2,5 mg/dL (kontraindikasi relatif)
▪ Pasien yang diterapi ACE-i dan antagonis aldosteron
bersamaan
▪ Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serta bila ARB
digunakan berasama ACE-i.
Titrasi dosis dan optimalisasi hingga dosis optimal (Tabel 4.3) atau
dosis yang dapat ditoleransi dari obat ARB dapat dilakukan secara
berkala saat perawatan di rumah sakit maupun rawat jalan. Titrasi
saat perawatan rumah sakit dapat dilakukan dengan lebih cepat
dengan mempertimbangkan klinis pasien, tekanan darah, evaluasi
fungsi ginjal dan kadar kalium serum.
29
Universitas Muhammadiyah Jakarta
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan menurunkan mortalitas.
Indikasi pemberian BB pada HfrEF
▪ Semua pasien dengan/tanpa tanda dan gejala gagal jantung
▪ Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,
tidak ada kebutuhan inotropik i.v dan tidak ada tanda retensi
cairan berat.
Kontraindikasi pemberian BB
Peningkatan dosis berkala dapat dilakukan tiap 1-2 minggu apabila tidak
didapatkan tanda dan gejala perburukan klinis gagal jantung seperti
hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi <50x/menit). Untuk
mendapatkan manfaat maksimal, obat ini harus dititrasi hingga dosis
optimal atau dosis maksimal yang dapat ditolereansi pasien sesuai bukti
ilmiah.
- Antagonis Aldosteron
Obat golongan antagonis aldosteron atau yang biasa dikenal dengan
antagonis reseptor mineralokortikoid (mineralocorticoid receptor
30
Universitas Muhammadiyah Jakarta
antagonist/MRA) berfungsi untuk menghambat sekresi aldosteron
(suatu hormon mineralokortikoid yang diproduksi oleh zona
glomerulosa korteks adrenal) dari reseptornya di tubulus ginjal. Obat ini
menurunkan reabsorbsi natrium dan air, serta menghambat ekskresi
kalium di tubulus distal dan duktus kolektivus ginjal. Obatobatan
golongan antagonis aldosteron direkomendasikan sebagai obat utama
HFrEF bersamaan dengan penghambat renin angiotensin, penyekat-β
dan obat golongan penghambat SGLT2.
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron
harus diberikan harus diberikan pada semua pasien HFrEF dengan atau
tanpa tanda dan gejala gagal jantung. Antagonis aldosteron dapat
mengurangi frekuensi rawat ulang karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan angka kesintasan pasien.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron pada HfrEF
▪ Semua pasien dengan/tanpa tanda dan gejala gagal jantung
Titrasi dosis dan optimalisasi hingga dosis optimal atau dosis yang dapat
ditoleransi dari obat antagonis aldosteron dapat dilakukan secara berkala
saat perawatan di rumah sakit maupun rawat jalan. Titrasi dapat
31
Universitas Muhammadiyah Jakarta
dilakukan dengan lebih cepat dengan mempertimbangkan klinis pasien,
tekanan darah, evaluasi fungsi ginjal dan kadar kalium serum.
32
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Batasan LFG pada empagliflozin adalah 20 mL/min/1.73m2 dan pada
dapagliflozin adalah 25 mL/min/1.73m2. Inisiasi penghambat SGLT2
pada pasien HFrEF baik pada dapagliflozin maupun empagliflozin
diberikan pada dosis 10mg sekali sehari dan tidak memerlukan titrasi
dosis, kecuali jika terjadi penurunan LFG >40% pada pemakaian obat
ini.
- Diuretik Loop
Diuretik loop merupakan obat golongan diuretik yang bekerja pada
Loop Henle glomerulus ginjal. Obai ini direkomendasikan pada HFrEF
untuk menghilangkan kongesti. Pada gagal jantung dengan berbagai
spektrum FEVKi, diuretik merupakan rekomendasi kelas I untuk
menurunkan risiko rawat ulang dan memperbaiki gejala kongesti.
Namun efek diuretik terhadap morbiditas dan mortalitas hanya sedikit
diteliti dengan studi terandomisasi. Beberapa penelitian
menghubungkan penggunaan diuretik dengan peningkatan mortalitas,
namun hasil ini banyak terdapat pada studi dengan kondisi yang sangat
berat dan menggunakan dosis diuretik yang lebih tinggi.
Pemakaian terapi utama gagal jantung dengan penghambat SRAA,
penyekat-β, antagonis aldosteron, dan penghambat SGLT2 berkaitan
dengan prognosis yang jauh lebih baik pada pasien yang mendapatkan
dosis diuretik rendah dibandingkan dosis diuretik yang tinggi. Artinya,
penggunaan diuretik sendiri hanya untuk mengurangi tanda dan gejala
gagal jantung, sedangkan untuk menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas harus mengikuti alur GDMT.
33
Universitas Muhammadiyah Jakarta
▪ Ganggua elektrolit berat
▪ Pasien dengan tanda-tanda dehidrasi
34
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gambar 3. 14 Algoritma Tatalaksana HFrEF
35
Universitas Muhammadiyah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
36
Universitas Muhammadiyah Jakarta