Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TUTORIAL KASUS 1 KELOMPOK TUTORIAL B

INTERPROFESSIONAL EDUCATION
TAHAP PROFESI

Disusun oleh:

Kelompok B

1.pranoto wibisono 20204010037 8. Alfan Alghifari 20204010020


2.nabila ardia p 20204010063 9. Syifa fadilla 20204010043
3.antika putri w 20204010079 10. Afifa Khusnul 20204010059
4.ghina anisa 20204010120 11. Seno adi 20204010062
5. Metika Cahya R 20204010087 12. Salma Raudhatul Jannah 20204010114
6. Reza Rizki Ramadhan 20204010089 13. Khairani Sekar A 20204010103
7. Nurul Noviasari 20204020039 14. Safira Aurelia 20204020109

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
RANGKUMAN KASUS BST 1

Identitas Diri

Nama : Tn. S

Usia : 60 tahun

Agama : Islam

Alamat : Yogyakarta

Pekerjaan : Petani

Status Perkawinan : Menikah

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Linglung berkepanjangan setelah operasi

Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang pasien Laki-laki berusia 60 tahun dibawa ke IGD karena jatuh dari sepeda pada
hari Sabtu pagi. Keluhan tidak disertai penurunan kesadaran, mual, muntah. Didapatkan tangan
kanan jari ke-4 dan 5 patah sehingga dilakukan operasi reposisi internal pada Sabtu sore. Setelah
selesai operasi dengan general anesthesia, pasien tampak linglung berkepanjangan. Menurut
keluarga pasien, saat ditanya pasien bingung dan menjawab tidak nyambung hingga hari Minggu
sehingga pasien dikonsulkan ke dokter spesialis saraf dan diadvice untuk dilakukan CT scan
pada hari Senin. Hasil CT Scan didapatkan gambaran infark serebri pada regio parietooccipital
sinistra. Keluhan pusing, mual, muntah, pandangan kabur disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Stroke (-)
Riwayat HT (+) tidak terkontrol
Riwayat operasi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Stroke (-)
Riwayat HT (-)

Riwayat Personal Sosial


Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Pasien tidak merokok, jarang berolahraga, pasien
rutin minum air putih dan jarang minum minuman manis. Pasien tinggal bersama istri dan
anaknya.

Genogram

Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : linglung
Sistem kardiovaskuler : Tidak ada keluhan
Sistem respirasi : Tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal : Tidak ada keluhan
Sistem muskuloskeletal : lemas, nyeri paska operasi
Sistem integumentum : Tidak ada keluhan
Sisten urogenital : Tidak ada keluhan

Resume Anamnesis
Seorang laki-laki usia 60 tahun dengan pekerjaan sebagai petani datang untuk
memeriksakan keluhan yang dirasakannya. Saat ini pasien merasa badannya lemas, linglung, dan
nyeri paska operasi. Dari hasil anamnesis didapatkan pasien memiliki Riwayat hipertensi tidak
terkontrol.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak lemas

Kesadaran : compos mentis, E4V5M6

Vital Sign
Tekanan darah : 143/96 mmHg
Suhu : 36,1oC
Laju Pernapasan : 22 x/menit
Frekuensi Nadi : 96 x/menit

Pemeriksaan Head to Toe


Kepala
Normosefal, Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Reflek Cahaya +│+ ishokor
Ø 3mm│3mm
Nistagmus -│-
Discharge dari hidung dan telinga (-)
Leher
Kaku kuduk (-)
JVP tak meningkat, pembesaran KGB (-)
Paru-paru
I : Tampak simetris, tidak ada ketertinggalan gerak
Pa : Suara fremitus kanan = kiri normal, nyeri tekan (-), benjolan (-)
Pe : Sonor seluruh lapangan paru
Au: vesikuler, suara tambahan (-), RBB (-/-), RBK (-/-) wheezing (-/-)
Jantung
I : Iktus cordis tidak tampak
Pa : Iktus cordis tidak teraba
Pe : batas jantung normal
Au: S1- S2 reguler, BJ (-) Gallop (-)
Abdomen
I : tampak dinding abdomen lebih tinggi dari dada
Au: Bising usus (+) normal, bruit aorta abdominalis (-)
Pe : Timpani, shifting dullness (-) hepatomegali (-)
Pa : Nyeri tekan (-), supel
Ekstremitas

Akral + + , crt < 2 detik, pitting edem (-/-) perban di jari 4 dan 5 tangan kanan –
Hangat + + kiri.

Neurologis
Motorik: 55/55
Sensorik: dbn
Nervus kranialis: pelo (-), perot (-)
Refleks fisiologis: biceps (+) normal, triceps (+) normal, patella (+) normal
Refleks patologis: hoffman tromner (-), babinski (-), chaddok (-), gordon (-), schaefner (-)
Meningeal signs: brudzinski I, II (-), kernig’s (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap
Hb 15,3g/dl
AL 13,81/mmk
Eosinofil 1%
Basofil 0%
Netrofil segmen 85%
Limfosit 7%
Monosit 7%
Eritrosit 5,79juta/mmk
HMT 46,3%
MCV 80
MCH 26,4
MCHC 33
AT 266ribu/ul
Golongan darah AB
PPT 14,8
APTT 29,8
GDS 106 mg/dl
Rontgen
 Manus AP/Lat kanan: fraktur oblique os phalanx proksimal digiti V manus dextra.
Fraktur fragmented os phalanx media pars proksimal digiti IV manus dextra. Fraktur
capitulum prokimal os phalanx proksimal digiti IV manus dextra.
 Manus AP/Lat kiri: tak tampak kelainan pada sistema tulang manus sinistra.
CT Scan
head CT scan: infark serebri di daerah lobus parietoocipital sinistra awal atropfi cerebri
tak tampak tanda-tanda EDH, SDH, SAH, maupun ICH.
DIAGNOSIS
Fraktur digiti IV-V manus dextra
Stroke infark
PENATALAKSANAAN
Non farmakologi
- Edukasi 3J (Tepat Jadwal, Jumah, dan Jenis) pada pasien.
- Edukasi pemberian obat pada pasien.
- Edukasi merawat luka
- Membatasi mobilisasi dan istirahat
- Motivasi berdoa
Farmakologi
Tanggal 22 Februari 22
- Injeksi cefazolin 1gr/12 jam IV
- Injeksi Antrain 1gr/8 jam IV
- Injeksi Ranitidin 1A/12 jam IV
- Injeksi Metoclopramide 1A/12 jam IV
R/ Amlodipin tab 10 mg No. I
S 1 dd tab 1
------------------------------------------
R/ hidrochlorotiazid tab 25 mg No. I
S 1 dd tab 1
------------------------------------------
R/ Miniaspi tab 80 mg No. I
S 1 dd tab 1
------------------------------------------
R/ Candesartan tab 16 mg No. I
S 1 dd tab 1
------------------------------------------
R/ Cefadroxil tab 500 mg No. II
S 2 dd tab 1
------------------------------------------
R/ Analsik tab No. II
S 2 dd tab 1
------------------------------------------
PEMERIKSAAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT
Anamnesis
 Keluhan Utama :
Pasien laki laki berusia 60 tahun mengeluhkan adanya gigi yang mengganggu saat
mengunyah makanan.
 Riwayat Perjalanan Penyakit :
Keluhan dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu pada gigi geraham kecil kanan
atas. Awal mulanya gigi tersebut berlubang. Tidak ada rasa nyeri/ngilu pada gigi tersebut.
Pasien merasa tidak nyaman saat mengunyah karena ada bagian yang tajam pada gigi
tersebut. Faktor yang memperparah kondisi tersebut adalah ketika pasien mengunyah
menggunakan sisi sebelah kanan. Faktor yang memperingan adalah ketika pasien
mengunyah menggunakan sisi sebelah kiri. Pasien belum pernah memeriksakan
keluhannya.
 Riwayat Kesehatan Oral :
Pasien menyikat gigi saat mandi pagi dan sore. Pasien sudah pernah ke dokter gigi
sebelumnya sekitar 2 tahun yang lalu hanya untuk periksa saja tanpa perawatan.
 Riwayat Kesehatan Utama :
Pasien tidak memiliki Riwayat penyakit dalam (jantung, hipertensi, diabetes melitus).
Pasien tidak ada konsumsi obat rutin. Pasien tidak ada alergi pada obat maupun makanan.
Saat ini pasien sedang dirawat inap di rumah sakit sejak 3 hari yang lalu pasca jatuh dari
sepeda.
 Riwayat Kesehatan Keluarga :
Keluarga pasien sehat, tidak dicurigai memiliki Riwayat penyakit dalam.
 Riwayat kehidupan pribadi/sosial :
Sehari-harinya pasien bekerja sebagai petani. Pasien tidak merokok. Pasien sering
konsumsi air putih dan jarang konsumsi kopi ataupun teh. Pasien tidak suka konsumsi
makanan manis. Pasien suka konsumsi sayur dan jarang konsumsi buah-buahan. Pasien
jarang berolahraga.
Pemeriksaan Objektif

 Vital sign :
Tekanan darah : 143/96 mmHg
Suhu : 36,1oC
Laju Pernapasan : 22 x/menit
Frekuensi Nadi : 96 x/menit

 Ekstraoral
K. K. Tl.
Fasial Neuromuscular TMJ
Ludah Limfe Rhg
Deformitas ADA TAK TAK TAK TAK TAK
Nyeri TAK TAK TAK TAK TAK TAK
Tumor TAK TAK TAK TAK TAK TAK
Gangguan
TAK TAK TAK TAK TAK TAK
fungsi
Deskripsi lesi/kelainan yang ditemukan :
Terdapat asimetri pada wajah bagian kanan
Kondisi umum pasien: pasien tampak lemas dan linglung saat diajak berbicara
 Intraoral
 Odontogram :

Keterangan :

X : Telah dicabut / tidak ada

□ : Karies

V : Radix

 Assessment :
Dx: Radix gigi 14
 Treatment Planning :
1. KIE
2. Ekstraksi radix 14
3. Ekstraksi radix 13, 15
4. Tumpat gigi 46
5. Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan pada area edentulous gigi 18, 17, 16 dan
area edentulous pada gigi 42, 41, 31, 32
6. Follow up
Step 2. Analisi masalah
1. Apa saja kemungkinan penyebab dari pasien lingung?
2. Hubungan antara general anestesia dengan kondisi linglung pada pasien?
3. Apakah ada hubungan antara Riwayat HT tidak terkontrol dengan infark serebri?
4. Apakah ada risiko linglung pada pasien post GA dengan kondisi gigi pasien?
5. Apakah ada hubungan antara HT tidak terkontrol dengan GA dan kondisi linglung
pasien post-op?
6. Hubungan antara trauma dengan infark serebri?
7. Maksud dari pemeriksaan neurologis dan cara pemeriksaan?
8. Apakah manifestasi oral dari penyakit stroke terkait kondisi rongga mulut?
9. Bagaimana perawatan dan pencegahan gigi untuk lansia?

Step 3.
1. Apa saja kemungkinan penyebab dari pasien lingung?
 Kondisi dehidrasi karena tubuh mengalami imbalance cairan sehingga
dapat terjadi penurunan kesadaran delirium
 Cedera otak seperti benturan atau trauma yang lain
 Penggunaan obat-obatan kemoterapi
 Demensia
 Stroke
 hiposomnia
2. Hubungan antara general anestesia dengan kondisi linglung pada pasien?
 Linglung disebabkan karena afasia (kerusakan bagian otot yang mengatur
Bahasa), disatria (sist. Kraniotomi), atau delirium (penkes).
 GA lebih menyebabkan kondisi afasia brocca/ekspresif. Dimana terjadi
kesulitan untuk membentuk kalimat atau bicara namun paham apa yang
disampaikan. Efek dari agen anestesi seperti midazolam yaitu sedative,
antikonvulasan. Mekanisme kerjanya adalah dengan berikatan spesifik
dengan reseptor GABA di SSP. Reseptor GABA ini banyak ditemukan di
area brocca, maka sangat mungkin afasia brocca terjadi. Banyak penelitian
didapatkan bahwa pasien dalam anestesi akan cenderung mengalami afasia
brocca. Efek afasia pada pasien GA adalah reversible. Pemberian
flumazenil sebagai antagonis dapat memperbaiki kondisi pasien. Factor
usia, penyakit serebrovaskular, fibrilasi atrium, gangguan ginjal sangat
berpengaruh pada kondisi linglung pasien. Kondisi ini dapat berlangsung
hingga berbulan-bulan.
 GA pada pembedahan, dapat menyebabkan gangguan autoregulasi otak
dan proses koagulasi paska bedah sehingga akan meningkatkan risiko
stroke perioperative. Gejala stroke bisa terjadi sesaat setelah operasi dalam
rentang waktu 24 jam. Keadaan ini, pasien akan rentan mengalami
hipoperfusi otak yang dilakukan GA. Efek dari pembedahan yakni anemia
dan hipotensi. Sebuah penelitian didapatkan pasien dalam GA dengan H
tidak terkontrol dengan terapi antikoagulan, risiko stroke infark paska
operasi lebih tinggi disbanding pasien biasa lainnya.
 Pada GA, digunakan beberapa agen seperti fentanyl, propofol, dan
midazolam yang memiliki side effect hipoperfusi jaringan otak
menurunkan O2 ke otak dan tekanan darah, penurunan curah jantung, dan
menurunnya resistensi vascular menyebabkan penurunan perfusi O2 ke
jaringan otak factor risiko stroke post operatif akan meningkat.
3. Apakah ada hubungan antara Riwayat HT tidak terkontrol dengan infark serebri?
 Pada pasien dengan HT tidak terkontrol merupakan salah satu factor risiko
stroke. Pada pasien dengan TD yang tidak terkontrol akan menimbulkan
kondisi stroke yang berulang. HT ini akan memicu pecahnya PD di
jaringan otak sehingga menimbulkan klinis stroke seperti perot, parase,
dan keadaan fatal lainnya. Kondisi ini terjadi karena adanya gangguan PD
di jaringan otak sehingga akan meningkatkan TIK dan penyempitan PD
otak sehingga aliran darah ke jaringan otak akan menimbulkan kematian
jaringan otak.
 Patofisiologi stroke iskemik: dalam keadaan oksigenasi cukup akan terjadi
metabolism aerob sehingga dapat mempertahankan pompa-pompa ion dan
transport neurotransmitter. Apabila aliran darah normal akan terjadi
autoregulasi. Apabila mekanisme autoregulasi gagal akan terjadi
perubahan tekanan yang berlebihan atau stroke fase akut. Jika terjadi ggn
aliran darah otak, produksi glutamate meningkat, metabolism anaerob, dan
terjadi penumpukan laktat asidosis dan gagalnya pompa ion natrium
kalium. Regulasi yang kacau ini akan menstimulasi enzim fosfolipasi A2
yang akan memecah protein dan lipid menjadi FFA dan asam amino. Hasil
pecahan ini akan memiliki jalur COX menghasilkan PG, tromboxan
sehingga terjadi kerusakan neuron. Jalur lainnya yakni lipooksigenasi akan
menyebabkan kerusakan neuron. Nah kerusakan ini akan menimbulkan
infark serebri dan menghasilkan gambaran hypodense pada hasil CT Scan.
 MAP pada autoregulasi dipertahankan 50mmHg-160mmHg, kalau <50
akan terjadi iskemik sedang, namun jika >160 akan menyebabkan edema
serebri.
4. Apakah ada risiko linglung pada pasien post GA dengan kondisi gigi pasien?
 Kondisi gigi pasien ini, tidak ada hubungan antara linglung dan adanya
radix. Kemungkinan besar terjadi fraktur gigi, namun pada pasien ini tidak
didapatkan fraktur pada giginya. Pencabutan gigi/ekstraksi harus
menggunakan anestesi local efeknya hanya local saja atau alveolaris
inferior sehingga tidak ada efek lingung saat pasien dilakukan anestesi
local. Komplikasi anestesi lokal adalah vasovagal syncope: pucat, keringat
dingin, pandangan kabur. Hal ini didukung oleh factor psikogenik sebelum
dilakukan prosedur ekstraksi. Sehingga untuk mencegah hal ini, dilakukan
evaluasi pada tekanan darah pasien. Trismus, hyperesthesia, serta
hematom, dan anestesi berkepanjangan juga bisa menjadi komplikasi
anestesi local.
 Prosedur dental menggunakan anestesi local, namun jika pasien tidak
kooperatif dan factor yang menyulitkan bisa dilakukan GA namun sangat
jarang. Kondisi seperti emergensi pada fraktur mandibula biasanya
dilakukan GA.

5. Hubungan antara trauma dengan infark serebri?


 Pasien ini memiliki risiko stroke, sehingga terjadi koinsidensi stroke saat
pasien bersepeda.
 Jika terjadi trauma kepala, akan menyebabkan lesi di parenkim atau
vascular otak. Dapat juga mempengaruhi sistemik hipotensi
hipoperfusi hipoksia serebral iskemik. Akan terjadi pelepasan
eksotoksin sehingga terjadi secondary brain injury lesi semakin luas.
Factor pada pasien ini: a) lansia. Regenerasi sel kurang baik. B) atrofi
sel otak kerusakan akan semakin luas.
 Factor usia berpengaruh dalam elastisitas pembuluh darah yang akan
semakin menurun. Sehingga jika terjadi trauma kepala, akan lebih mudah
menjadi kondisi yang lebih parah seperti stroke.
6. Maksud dari pemeriksaan neurologis dan cara pemeriksaan?
 Kekuatan otot: diminta untuk mengangkat ekstremitas. Range nilai 0
tonus negative (paralisis otot); 1 tonus (+) tampak ada kontraksi otot
namun ekstremitas tidak bisa bergerak sama sekali; 2 tangan atau kaki
pasien bisa bergeser namun tidak bisa melawan gravitasi; 3 dapat
melawan gravitasi namun tidak bisa melawan tahanan; 4 bisa melawan
tahanan ringan, kontraksi bisa dilihat sendi aktif bergerak; 5 kekuatan
otot penuh. Kondisi paralisis terjadi karena ada lesi di traktur piramidalis.
Jika salah satu ekstremitas: monoplegia. Satu sisi hemiplegi. Kedua kaki
paraplegi.
 Refleks fisiologis: muncul pada orang sehat, refleks normal (+) tidak
berlebihan atau kurang. Klasifikasi penilaian: (-) arefleks. +1
hiporefleks. +2 normal. +3 hiperrefleks. +4 klonus.
 Refleks patologis:
 Hoffman: digaruk pada jari tengah pasien akan (+) jika ibu jari dan
telunjuk fleksi
 Tromner: disentil pada phalanx distal jika muncul fleksi pada
ibu jari dan telunjuk
 Chaddok
 Babinski: ibu jari akan mengarah ke plantar fleksi dan jari-jari
lainnya mekar.
 Oppenheim: ibu jari kaki akan dorsofleksi
 Rosolimo
 Bing
 Schaeffer
 Gordon
 Gonad
 Meningeal sign: kaku kuduk, Brudzinski I dan II, kernig’s sign.
7. Apakah manifestasi oral dari penyakit stroke terkait kondisi rongga mulut?
 Hilangnya sensasi jaringan mulut jaringan mulut dan wajah mengalami
kesulitan makan, minum, menelan, dan komunikasi
 Gangguan sensorik motor mulut cenderung akan mengabaikan
kebersihan mulut karies dan penyakit periodontal lain.
 Disfagia/sulit menelan jika ada disfagia akan banyak cairan yang keluar,
sisa makanan, dan pasien akan mengunyah secara berlebih, wajah tidak
simetris, Gerakan lidah lemah, tidak mampu menutup bibir, refleks
muntah menurun/tidak ada, hilangnya refleks menelan, regurgitasi nasal,
dan bisa keluar cairan dari hidung.
8. Bagaimana perawatan dan pencegahan gigi untuk lansia?
 Pada lansia, permasalahan gigi mulut dipicu oleh produksi saliva yang
menurun akan mempengaruhi Kesehatan gigi mulutnya. Sehingga lebih
mudah terkena penyakit periodontal, gigi berlubang, dan mulut kering.
 Pencegahan: edukasi kepada masyarakat terkait cara menyikat gigi yang
benar, cara membersihkan gigi tiruan, dan melakukan pemeriksaan secara
berkala tanpa perawatan (deteksi dini)
 Edukasi mengenai Pemeliharaan gigi dan mulut, pemilihan jenis makanan
yang mudah dikunyah dan dicerna. Dapat dilakukan pencegahan penyakit
keganasan ke dokter gigi dan deteksi dini penyakit mukosa
 Kuratif: edentulous bisa dilakukan pemasangan protesa yang membantu
pasien untuk mengunyah. Instruksi terkait waktu sikat gigi 2x sehari.
 Rehabilitasi: pemeliharaan gigi palsu dengan sikat perhalan tanpa odol,
dan jika gigi palsu semua gigi wajib dilepas saat tidur.
 Pada pasien ini, bisa dibantu dengan menginstruksikan pasien agar
berkumur setelah makan dengan obat kumur karena pasien sulit
menggunakan sikat gigi. Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, dapat
melihat keadaan rongga mulut pasien, jika sehat bisa dilakukan kumur-
kumur dengan obat kumur. Jika ada area ulserasi bisa diberikan topical
antibiotic. Dilihat juga bagaimana oral hygene, jika ada debris apakah ada
kandidiasis? Jika iya dapat diberikan antifungal agent.

Step 4. LO

1. Apa yang dapat dikolaborasi antara dokter umum dan dokter gigi? Dan bentuk
kolaborasi dengan perawat atau farmasi seperti apa?
2. Kebutuhan spiritual pasien (IPOV pada pasien sakit)?
3. Bagaimana patient safety pada pasien ini dilihat dari profesi dokter dan dokter gigi?
4. Jika trauma hebat di daerah kepala, apakah evaluasi odontology harus dilakukan
segera?
5. EBM terkait tindakan non-farmakologi seperti pemberian oksigenasi pada pasien
stroke iskemik

Step 5.
1. Apa yang dapat dikolaborasi antara dokter umum dan dokter gigi? Dan bentuk
kolaborasi dengan perawat atau farmasi seperti apa?
a. Kolaborasi antara dokter umum dan dokter gigi: karena ada Riwayat jatuh,
jadi ada kemungkinan fraktur pada gigi pasien. Sehingga kolaborasi yang
dapat dilakukan adalah mengonsultasikan kondisi pasien dari dokter umum
dan dokter gigi untuk indikasi foto rontgen gigi. Jika terjadi fraktur, selain dari
dokter merawat kondisi strokenya, dokter gigi bisa mengoreksi fraktur,
sehingga terjadi rawat bersama pada pasien ini antara dokter umum dan dokter
gigi.
b. Kolaborasi dengan perawat dan farmasi
i. Perawat: memonitoring pasien selama rawat inap, melakukan
Tindakan Tindakan di bangsal. Kolaborasi dengan dokter umum,
dokter harus memberikan instruksi yang jelas dan tepat.
ii. Farmasi: perawat melakukan double checking ke bagian farmasi untuk
melihat kesesuaian obat yang diberikan ke pasien (dosis, route,
sediaan) sesuai dengan advice dokter.
c. Dilihat dari segi peran dokter umum:
i. pencegahan dengan mengenali dan mengetahui factor risiko stroke
1) dapat dimodifikasi: HT dislipidemia, DM, AF, obesitas, dan
merokok; dan 2) tidak dapat: usia, genetic, ras, dan etnik.
ii. Mengenali secara awal tanda-tanda stroke untuk keperluan diagnosis.
Gejalanya: hemiparese, gangguan sensorik, hemianopia, buta
mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, dan
penkes mendadak.
iii. Untuk hal edukasi bisa dilakukan oleh PPA (dokter, perawat,
kedokteran gigi, gizi, fisioterapi, atau farmasi) materinya meliputi cara
merawat pasien di rumah, kebutuhan dasar pasien, pemberian nutrisi,
melatih Gerakan pasien, cara pemberian obat, cara pembuatan diet,
dan cara merawat ADL.
iv. Tatalaksana komplikasi seperti: ulkus decubitus.
d. Bentuk kolaborasi berupa patient safety:
i. Ketetapan identifikasi pasien
ii. Komunikasi efektif: perawat
iii. Keamanan obat: farmasi, perawat
iv. Tepat lokasi, prosedur
v. Pengurangan risiko infeksi: perawat
vi. Pengurangan risiko jatuh: perawat
e. Pasien post-operasi—perawatan luka secara berkala yang berkolaborasi
dengan perawat dan terkait pemberian obat disertai edukasi (tepat jumlah,
jenis, jadwal) yang berkolaborasi dengan perawat maupun farmasi.
f. Sisa akar pada gigi pasien sehingga harus dilakukan pencabutan—
konsultasikan dengan dokter umum terkait kondisi umum pasien sebelum
dilakukan pencabutan gigi. Selain itu konsultasikan mengenai obat-obatan
yang dikonsumsi pasien, serta komunikasi dengan perawat terkait
pemeriksaan di rongga mulut pasien (seperti sariawan dan ulkus) sehingga
bisa cepat tertangani.
g. Pencabutan gigi pd pasien HT—mengontrol tensi pasien, kecemasan, agen
anestesi, dan kontrol sakit. Butuh Kerjasama dengan dokter umum terkait
edukasi pada kondisi pasien. Kerjasama dengan farmasi mengenai prosedur
dental yang lama – sedative peroral malam dan 1 jam sebelum perawatan
sehingga perlu dikonsulkan dengan farmasi mengenai indikasi dan
kontraindikasi.
2. Kebutuhan spiritual pasien (IPOV pada pasien sakit)?
a. Pada kondisi sakit, pasien wajib beribadah seperti sholat. Namun pada pasien
ini memiliki keterbatasan berwudhu. Pada kondisi orang yang sakit tidak
diwajibkan untuk berwudhu apalagi tidak mampu, sehingga pasien bisa
menggantinya dengan tayamum. Apabila pasien ini masih linglung, dapat
disucikan dengan orang lain. Sehingga perlu diedukasi kepada keluarga pasien
untuk membantu mensucikan pasien untuk beribadah.
b. Manfaat dari spiritual pasien: dapat meningkatkan quality of life pasien. Pada
kondisi sakit, pasien akan lebih memiliki hubungan dengan Tuhan yang lebih
tinggi. Dampak pada orang yang memiliki spiritual yang baik akan mengalami
rasa puas (bersyukur) walau sedang sakit, sehingga mengurangi derita yang
dialami pasien  menyebabkan proses penyembuhan yang lebih cepat (based
on journal). Spiritual pasien dapat meningkatkan coping individu Ketika sakit
dan mempercepat proses penyembuhan disamping proses tatalaksana yang
sudah dilakukan pasien.
c. Sholat saat sakit: wajib untuk umat muslimAn nisa: 103 walaupun dalam
kondisi sakit. Sholat bisa dengan cara duduk atau berbaring, bahkan bisa
hanya dengan kedipan mata jika anggota gerak sama sekali tidak bisa
bergerak. Pada kondisi penurunan kesadaran (somnolen atau koma),
kewajiban sholatnya hilang.
3. Bagaimana patient safety pada pasien ini dilihat dari profesi dokter dan dokter gigi?
a. Patient safety pada kasus ini: Yang paling penting adalah pencegahan
penularan risiko infeksi dan risiko jatuh.
i. Risiko infeksi: Infeksi MUTLAK dilakukan pada semua pasien di RS.
Infeksi ini tidak hanya berisiko pada pasien namun juga pada keluarga,
pengunjung, dan petugas Kesehatan. Dapat dilakukan dengan
Tindakan aseptic cara yang paling mudah adalah dengan hand
hygene (dilakukan sebelum bersentuhan dengan pasien, steril, setelah
bersentuhan dengan cairan pasien, setelah bersentuhan dengan pasien,
dan lingkungan sekitar pasien). Selain hand hygene dengan cara APD
yang baik untuk mencegah kontak dengan cairan infeksius,
pengelolaan jarum bekas dan limbah.
ii. Risiko jatuh: dilakukan untuk setiap pasien terutama yang memiliki
factor risiko jatuh tinggi. Bisa dilakukan asesmen awal (penilaian
asesmen jatuh saat pasien masuk RS), asesmen ulang (dilakukan setiap
transfer ke unit lain, saat kejadian jatuh sehingga dapat dilakukan
pencegahan risiko jatuh), asesmen klinis. Intervensi umum yakni
dilakukan orientasi kamar inap pada pasien, posisikan tempat tidur
serendah mungkin, ruangan rapi dan berada dalam jangkauan,
pencahayaan adekuat, jika pasien menggunakan alat penopang harus
berada dalam jangkauan, optimalisasi alat bantu dengan atau melihat,
pantau obat, edukasi mengenai pencegahan jatuh pada pasien dan
keluarga. Jika pasien dengan risiko tinggi, diberikan penanda gelang
warna kuning, berikan sandal anti licin, membantu ke kamar mandi,
nilai kebutuhan pasien, tempat tidur diusahan rendah, dan lokasi kamar
tidur dekat dengan nurse station.
iii. pasien diberikan patient safety berdasar SOP yang sama untuk semua
kelas pasien.
iv. Patient safety pada pelayanan gigi:
1. Identifikasi factor yang membantu memberikan pelayanan
yang baik. Contoh: alat ditempatkan di dekat operator
2. Identifikasi factor risiko: misal fraktur
3. Pengelolaan risiko yang tepat. Posisi ergonomic perlu diatur
sedemikian rupa sehingga optimal digunakan dan
meminimalisir fraktur/risiko.
4. Kontrol infeksi dengan menggunakan APD yang baik dan
sterilisasi alat.
v. Berdasarkan panduan NN:
1. Pasien tetap menggunakan masker dan cuci tangan dengan
sabun atau hand sanitizer saat menunggu di ruang tunggu
2. Pasien mendaftar dan diukur suhu tubuh <38C – mengisi
formular gejala sars-coV-2
3. Tempat tunggu yang berjarak antar pasien
vi. Panduan untuk dokter gigi
1. Asisten ruang tunggu dengan APD min. lvl 1
2. Petugas kebersihan APD lvl 2
3. Asisten dental unit APD lvl 3
4. Doker APD lvl 3: masker n95, boot, headcap, apron.
5. Desinfektan alat: alat kritikal, semi kritikal, dan non kritikal.
Untuk alat mencabut gigi/instrument bedah termasuk kategori
kritikal item. Desinfeksi menggunakan alcohol, uap panas,
glutaral dehid, hydrogen peroksida.
6. Ruangan dapat didesinfeksi dengan ozon mist, lantai ruang
praktik diberikan karbol. Dental unit, pintu bisa disterilkan
dengan kain lap dan alcohol 70%.
4. Jika trauma hebat di daerah kepala, apakah evaluasi odontology harus dilakukan
segera?
a. Jika ada trauma hebat: sebelum melakukan px daerah mulut dan kepala harus
dipastikan cidera sistemik sudah dievaluasi sebelumnya. Dilakukan
pemeriksaan GCS untuk mengetahui status neurologi pasien. Dilihat dari
panduan, tidak harus dilakukan segera untuk evaluasi odontology. Pastikan
primary survey clear, baru dapat dilakukan evaluasi odontology.
b. Pemeriksaan penunjang dengan px radiografi. Foto dental dilakukan jika ada
trauma. Foto oklusal fraktur rahang atas. Foto luksasi jika ada yang masuk ke
jaringan lunak, MRI jika ada trauma saraf dan jaringan lunak. Selain
pemeriskaan radiologi dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin.
5. EBM terkait tindakan non-farmakologi seperti pemberian oksigenasi pada pasien
stroke iskemik!
a. Supplemental oxygen delivery for stroke patient in hospital rekomendasi
AHA suplementasi diberikan jika SaO2 <92%. Pada jurnal ini diberikan 10-
15lpm 92-95% yang dilakukan segera dan konsisten dapat memberikan
oksigen ke jaringan sehingga mencegah hipoksia di otak dan menunda
kematian sel otak yang terkena stroke.
b. Pemberian window periode sebelum dilakukan tatalaksana terapi TPA secara
IV dapat memberikan waktu 3 jam sebelum dilakukan terapi.

Anda mungkin juga menyukai