Anda di halaman 1dari 32

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Value Engineering/Rekayasa Nilai

Beberapa pengertian Value Engineering (VE) atau Rekayasa Nilai menurut para
ahli adalah sebagai berikut:
a. Rekayasa Nilai adalah usaha yang terorganisasi secara sistematis dang
mengaplikasikan suatu teknik yang telah diakui, yaitu teknik mengidentifikasi
fungsi produk atau jasa yang bertujuan memenuhi fungsi yang diperlukan dengan
harga yang terendah (paling ekonomis). (Society of American Value Engineers)
b. Rekayasa Nilai adalah sebuah teknik dalam manajemen menggunakan pendekatan
sistematis untuk mencari keseimbangan fungsi terbaik antara biaya, keandalan dan
kinerja sebuah proyek. (Dell’Isola, 1975)
c. Rekayasa Nilai adalah sebuah pendekatan yang bersifat kreatif dan sitematis
dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan biaya-biaya yang tidak
diperlukan. (Zimmerman dan Hart, 1982)
Secara umum pengertian Rekayasa Nilai adalah suatu usaha teknik manajemen
yang menggunakan pendekatan sistematis dan usaha terorganisasi secara terarah untuk
menganalisa fungsi dari item-item pekerjan dengan tujuan menciptakan fungsi yang
diperlukan dengan biaya serendah-rendahnya namun tidak mengurangi kualitas dari
pekerjaan tersebut. Dan yang perlu diketahui adalah Rekayasa Nilai tidak dimaksudkan
untuk meninjau ulang desain, tetapi justru menggunakan desain awal sebagai acuan dan
tidak bertujuan untuk mencari-cari kesalahan dalam perencanaan yang telah dilakukan
sebelumnya atau mengurangi perhitungan yang dilakukan oleh pihak perencanan. Selain
itu Rekayasa Nilai juga tidak dimaksudkan untuk kontrol kualitas Karen kontrol kualitas
lebih dari sekedar meninjau ulang status keandalan sebuah produk desain.

2.2 Waktu Penerapan Rekayasa Nilai

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka Rekayasa Nilai harus diterapkan sedini
mungkin sebelum biaya, sistem, atau desain diputuskan. Besar dari penghematan yang
bias diperoleh sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2.1. menunjukkan potensi
penghematan yang semakin besar saat Rekayasa Nilai semakin cepat diterapkan. Ketika
Rekayasa Nilai diterapkan terlambat, dua hal meningkat: investasi yang dibutuhkan untuk
melakukan perubahan, dan penolakan terhadap perubahan.

Gambar 2. 1 Potensi Penghematan dari Waktu Penerapan Rekayasa Nilai

2.3 Biaya Tidak Diperlukan

Menurut banyak studi yang dilakukan, dalam setiap perencanaa proyek pasti
memiliki potensi biaya yang tidak diperlukan sehebat apapun tim perencana tersebut
(Zimmerman dan Hart, 1982). Ada banyak faktor yang menyebabkan biaya tidak
diperlukan (Unnecessary Cost) dalam suatu proyek misalnya keterbatasan ide, sikap,
perilaku, kebiasaan dan karakter perencana dalam memberikan nilai pada ide yang
dimilikinya akan berbeda dengan yang lain, belum lagi faktor keterbatasan waktu, sumber
daya dan sebagainya.

2.4 Rencana Kerja Rekayasa Nilai

Rencana Kerja Rekayasa Nilai merupakan suatu pendekatan yang terorganisir


secara rapi. Dalam studi Rekayasa Nilai, hal yang paling utama dan menjadi penentu
dalam kesuksesan penerapannya adalah Rencana Kerja Rekayasa Nilai. Melalui
pendekatan Rencana Kerja Rekayasa Nilai inilah seluruh tahapan dalam penerapan
Rekayasa Nilai dilakukan, mulai dari melakukan identifikasi item kerja dari kesuluruhan
proyek, menemukan item kerja dengan potensi biaya tidak diperlukan, hingga mencari
alternatif-alternatif baru secara kreatif untuk menampilkan fungsi yang sama diinginkan
seperti desain item kerja sebelumnya.
Untuk mencapai tujuan dari proses Rekayasa Nilai diperlukan Tim Rekayasa Nilai
yang terdiri dari tenaga ahli dengan multi disiplin ilmu. Untuk membentuk Tim Rekayasa
Nilai membutuhkan pertimbangan tertentu dalam memilih tenaga ahli untuk melakukan
review yang lebih dalam sesuai dengan Rencana Kerja yang ditetapkan. Susunan umum
dari Tim Rekayasa Nilai biasanya terdiri dari komposisi tenaga ahli sesuai dengan
Gambar 2.2. Salah satu acuan untuk menentukan anggota tim adalah sekurang-kurangnya
memiliki kualifikasi yang setara atau bahkan lebih dari tim perencana yang asli. Beberapa
penelitiaan telah memperlihatkan bahwa pemilihan tim yang baik bisa memberikan
keuntungan yang lebih baik sesuai dengan skala proyeknya.
Dengan tujuan utama penghematan biaya namun tanpa mengorbankan kualitas
dari pekerjaan, maka Rekayasa Nilai mempunyai tahapan-tahapan yang tersusun rapi,
sistematis dan terarah berdasarkan teori Dell‘Isola (1975) tahapan tersebut terdiri dari:
Tahap Informasi, Tahap Kreatif, Tahap Analisa, dan Tahap Rekomendasi.
Area-area studi Rekayasa Nilai seringkali dibagi berdasarkan tahapan desain.
Tahapan desain seperti General Project, Struktur, Arsitektur, Mekanikal, Elektrikal, dan
Site dibagi ke dalam area-area studi. Untuk tahapan desain struktur area-area studi
Rekayasa Nilia diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Gambar 2. 2 Susunan Tim Rekayasa Nilai

Tabel 2. 1 Area Studi Rekayasa Nilai Berdasarkan Tahap Desain Struktur


Pengembangan
Area Studi Konseptual Skema
Desain
Pondasi  Performa yang  Skema rencana  Rencana lantai
Substruktur diperlukan basemen basemen
Superstruktur  Ukuran penampang  Pemilihan sistem  Elemen pondasi
elemen struktur pondasi  Rencana lantai dan
 Sistem portal  Pemilihan sistem atap
 Kondisi subsurface struktur  Ukuran penampang
 Konsep underground  Rencana portal elemen
 Kriteria beban  Ukuran penampang  Spesifikasi struktur
struktur elemen

2.4.1 Tahap Informasi

Tujuan dari tahap informasi adalah untuk mendapatkan latar belakang proyek,
mendapatkan pentabulasian data yang berhubungan dengan item pekerjaan, dan
menentukan item pekerjaan dengan mendefinisikan fungsi, sehingga diperoleh item
pekerjaan yang memungkinkan untuk dilakukan Rekayasa Nilai. Untuk menentukan item
pekerjaan yang memungkinkan untuk dilakukan proses Rekayasa Nilai, item-item tersebut
dianalisa kelayakan biayanya juga fungsi-fungsinya.
Analisa fungsi digunakan untuk menerangkan fungsi-fungsi utama item kerja,
menggambarkan pengklasifikasian fungsi utama/primer (basic function) maupun fungsi-
fungsi penunjang/sekunder (secondary function), serta untuk mendapatkan perbandingan
antara biaya dengan nilai manfaat (Cost/Worth) yang dibutuhkan untuk menghasilkan
fungsi tersebut.

2.4.2 Tahap Kreatif

Tujuan dari tahap kreatif ini adalah untuk mendapatkan ide alternatif desain yang
dapat memenuhi fungsi dasar item kerja yang dipilih, dimana pada tahap ini dilakukan
eksplorasi ide sebanyak-banyaknya tanpa melalui pertimbangan keputusan ataupun
analisa terlebih dahulu. Dalam Rencana Kerja ini, pertanyaan prinsip yang harus dijawab
adalah cara-cara alternatif apa yang bisa digunakan untuk menampilkan suatu fungsi pada
item kerja. Tahap ini dibuat untuk memperkenalkan gagasan-gagasan baru untuk
menampilkan fungsi dasar suatu item kerja.
Menurut Dell’Isola (1975) ada dua pendekatan yang utama mengenai kreativitas,
diklasifikasikan berdasarkan teknik-teknik free-association, yaitu:
a. Brainstorming. Kebanyakan pendekatan mengenai kreativitas dalam Rekayasa
Nilai adalah dengan teknik brainstorming. Sebuah sesi brainstorming adalah
sebuah forum pemecahan masalah dimana pemikiran setiap peserta distimulasi
oleh peserta yang lain dalam satu kelompok. Tipikal suatu sesi brainstorming
adalah terdiri dari empat sampai enam orang dari disiplin ilmu yang berbeda
duduk mengelilingi sebuah meja dan secara spontan menghasilkan gagasan-
gagasan yang berhubungan dengan penampilan fungsi yang diinginkan dari sebuah
item. Selama sesi, kelompok tersebut didorong untuk menghasilkan gagasan
sebanyak-banyaknya. Tidak ada kritik, pengopinian ataupun negative thinking.
b. The Gordon Technique Ini juga suatu teknik yang berbentuk forum dimana di
dalamnya gagasan-gagasan disampaikan secara bebas. Namun berbeda dengan
teknik brainstorming, dalam pendekatan Gordon hanya pimpinan forum yang
mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Pimpinan forum menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan forum untuk menghasilkan gagasan-
gagasan.
Untuk mendapatkan ide-ide tahap kreatif tersebut juga diperlukan teknik dan
metode untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Teknik yang digunakan antara lain:
a. Berdasarkan analisa fungsi yang dilakukan pada tahap sebelumnya, dimungkinkan
melakukan penghematan biaya dengan jalan sebisa mungkin menghilangkan item-
item yang mempunyai fungsi sekunder. Namun untuk menghilangkan item-item
yang mempunyai fungsi sekunder harus dilakukan dengan hati-hati karena tidak
semua item-item dengan fungsi sekunder bisa dihilangkan karena ada batasan-
batasan misalnya syarat-syarat teknis dan pertimbangan arsitektural dalam term of
reference perencanaan.
b. Mengganti komponen-komponen item kerja fungsi primer dengan alternatif-
alternatif lain yang mungkin. Dalam langkah ini juga ada batasan-batasan sehingga
tidak semua alternatif dapat digunakan. Selain syarat-syarat teknis dan
pertimbangan arsitektural pokok dalam term of reference perencanaan, juga harus
diperhatikan perubahan analisa struktur atas penerapan alternatif tersebut.
Pemakaian material tertentu untuk mengganti material yang direncanakan dengan
sendirinya akan merubah asumsi pembebanan.
c. Mengganti desain lama dengan desain baru beserta komponen-komoponen item
kerja baru. Penggantian ini dibatasi juga oleh syarat-syarat teknis, pertimbangan
arsitektural dan batasan-batasan dalam analisa struktur.
d. Memilih beberapa alternatif untuk dianalisa pada tahap-tahap berikutnya.

2.4.3 Tahap Analisa

Tujuan dari tahap analisa ini adalah untuk melakukan evaluasi, pembenahan dan
analisa biaya terhadap ide yang dihasilkan dan untuk mendata alternatif yang layak serta
potensi untuk menghasilkan penghematan. Pada tahap ini gagasan-gagasan yang muncul
pada taap kreatif disarung dan diberi penilaian seobyektif mungkin.

A. Life Cycle Cost (Biaya Siklus Hidup)

Prinsip dasar dari Rekayasa Nilai adalah mengekspresikan seluruh biaya alternatif
desain dalam bentuk Life Cycle Cost (Biaya Siklus Hidup). Menurut Kelly (1993) definisi
Life Cycle Cost adalah “Teknik untuk mengevaluasi secara ekonomis dengan menghitung
seluruh biaya yang relevan selama jangka waktu investasi melalui penyesuaian pada time
of money”. Biaya relevan yang dimaksud adalah:
1. Biaya awal. Merupakan penggabungan antara biaya investasi, biaya desain awal
dan biaya konstruksi yang meliputi: biaya pengadaan tanah, fee desain, fee
perizinan dan pajak-pajak.
2. Biaya konstruksi.
3. Biaya rekayasa (perencanaan, dsain dan pengawasan).
4. Biaya energi. Menrupakan penggabungan biaya konsumsi energy untuk
pemenuhan fasilitas tersebut.
5. Biaya operasional dan perawatan.
6. Replacement cost.
7. Nilai sisa pada akhir masa penggunaan dimana nilai tanah akan makin tinggi dan
nilai bangunan akan makin rendah.

B. Analisa Pemilihan Alternatif

Untuk pengambilan keputusan digunakan metode pengambilan keputusan The


Satisficing Model. Esensi dari model ini adalah ketika dihadapkan pada masalah
kompleks, pengambil keputusan berusaha menyederhanakan masalah-masalah pelik
sampai pada tingkat dimana mudah untuk dipahami. Dalam model ini pembatasan proses
pemikiran diarahkan pada pengambilan keputusan dengan bounded rationality
(rasionalitas terbatas), yaitu proses penyederhanaan model dengan mengambil inti
masalah yang paling esensial tanpa melibatkan seluruh permasalahan yang konkrit.
Rasionalitas terbatas adalah batas-batas pemikiran yang memaksan orang membatasi
pandangan mereka atas masalah dan situasi.
Langkah-langkah model pengambilan keputusan ini (the satisficing model) adalah
sebagai berikut:
 Penetapan tujuan pengambilan keputusan berkaitan dengan adanya masalah
tertentu.
 Menyederhanakan masalah.
 Penetapan standar minimum dari serangkaian kriteria keputusan.
 Mengidentifikasi serangkaian alternatif yang dibatasi.
 Menganalisis dan membandingkan setiap alternatif, apakah memenuhi kendala,
lebih besar atau sama dengan standar minimum dari serangkaian keputusan.
 Apakah alternatif yang memenuhi syarat itu ada?
 Jika ya, pilih salah satu alternatif yang dianggap terbaik.
 Jika tidak, dilakukan kembali pencarian alternatif seperti pada langkah kelima.

Gambar 2. 3 The Satisficing Model

2.4.4 Tahap Rekomendasi

Tahap ini adalah tahap terakhir dalam Rencana Kerja Rekayasa Nilai yang
tujuannya yaitu menawarkan atau memberikan laporan mengenai seluruh tahap
sebelumnya dalam Rencana Kerja Rekayasa Nilai kepada pihak manajemen atau owner
pemberi tugas untuk dapat diputuskan apakah desain yang dipilih mampu dan baik untuk
dilakukan.

2.5 Kriteria Perencanaan

2.5.1 Konsep Dasar

Struktur yang didesain pada dasarnya harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai


berikut:
a. Kuat dalam menahan beban yang direncanakan.
b. Memenuhi persyaratan kemampuan layan.
c. Memiliki durabilitas yang tinggi.
d. Kesesuaian dengan lingkungan sekitar.
e. Ekonomis.
f. Mudah perawatannya.
Ada dua metode dasar untuk merencanakan elemen struktur beton bertulang yaitu:
1. Metode Tegangan Kerja
Unsur struktur didesain terhadap beban kerja sedemikian rupa sehingga tegangan yang
terjadi lebih kecil daripada tegangan yang diizinkan, yaitu:

(Pers. 2.1)
Metode tegangan kerja saat ini sudah tidak diakomodasi di dalam SNI yang berlaku saat
ini.
2. Metode Kuat Ultimit
Dengan metode ini, unsur struktur didesain terhadap beban terfaktor sedemikian rupa

sehingga unsur tersebut mempunyai kuat rencana ( ) yang lebih besar dari kuat perlu (

) akibat beban terfaktor, yaitu:

(Pers. 2.2)
Dalam desain ada beberapa kondisi yang bisa dijadikan pembatas desain, yaitu:
1. Kondisi Batas Ultimit, yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini,
yaitu:
a. Hilangnya keseimbangan lokal atau global.
b. Rupture, yaitu hilangnya ketahanan lentur dan geser elemen-elemen struktur.
c. Keruntuhan progressive akibat adanya keruntuhan lokal pada daerah
sekitarnya.
d. Pembentukan sendi plastis.
e. Ketidakstabilan struktur.
f. Fatigue.
2. Kondisi Batas Kemampuan Layan, yang menyangkut berkurangnya fungsi struktur
seperti:
a. Defleksi yang berlebihan pada kondisi layan.
b. Lebar retak yang berlebih.
c. Vibrasi yang mengganggu.
3. Kondisi Batas Khusus, yang menyangkut kerusakan/keruntuhan akibat beban
abnormal, dapat berupa:
a. Keruntuhan pada kondisi gempa kuat.
b. Kebakaran, ledakan atau tabrakan kendaraan.
c. Korosi atau jenis kerusakan lainnya akibat lingkungan.
Perencanaan yang memperhatikan kondisi-kondisi batas di atas disebut
perencanaan batas. Konsep perencanaan batas ini sudah digunakan sebagai prinsip dasar
peraturan di Indonesia.

2.5.2 Peraturan-Peraturan

Sebagai kriteria yang digunakan dalam tahap perencanaan pada proses Rekayasa
Nilai digunakan beberapa peraturan sebagai berikut:
 SNI 03-2847-2002 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung
 SNI 1726-2002 Standar Perencanaan Bangunan Tahan Gempa untuk Strutur
Bangunan Gedung
 Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983

2.5.3 Program

Dalam studi ini secara umum digunakan program SAP2000 yang dikembangkan
oleh Computer and Structures Inc. SAP2000 adalah program terintegrasi untuk
menyelesaikan masalah analisis dan desain struktural. SAP2000 digunakan karena tingkat
user friendly yang cukup baik dan desain yang bisa dimodifikasi sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia.

2.6 Material-Material Alternatif

Bidang konstruksi pada saat ini sebagian besar masih menggunakan baja dan beton
juga kombinasi dari kedua bahan tersebut sebagai material konstruksi. Kelebihan-
kelebihan dari masing-masing material tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu juga sifat-sifat dari masing-masing material tersebut terus dikembangkan
sehingga didapatkan beton atau baja dengan kekuatan lebih tinggi.

2.6.1 Beton

Beton merupakan material komposit yang terbuat dari kumpulan agregat (halus
dan kasar) yang saling terikat secara kimiawi oleh produk hidrasi semen Portland. Bahan
dasar beton, yaitu pasta semen dan agregat, merupakan bahan yang mempunyai sifat
tegangan-regangan yang linier dan getas dalam menahan gaya tekan. Sifat mekanik beton
dapat diklasifikasikan sebagai sifat jangka pendek atau sesaat dan sifat jangka panjang.
Sifat jangka pendek adalah kekuatan tekan, tarik, geser dan kekuatan yang diukur dengan
modulus elastisitasnya. Sifat jangka panjang dapat diklasifikasikan dalam rangkak dan
susut.
Kekuatan tekan beton dapat dicapai sampai 100 MPa atau lebih, bergantung pada
jenis campuran, sifat-sifat agregat, serta lama dan kualitas perawatan. Kekuatan beton
yang paling umum digunakan adalah sekitar 20 sampai 40 MPa. Kekuatan tekan fc’
ditentukan dengan silinder standar (berukuran 15 cm × 30 cm) yang dirawat di bawah
kondisi standar laboratorium pada kecepatan pembebanan tertentu, pada umur 28 hari.
Perlu dipahami bahwa kekuatan beton pada struktur actual dapat saja tidak sama dengan
kekuatan silinder karena perbedaan pemadatan dan kondisi perawatan.
Kekuatan tarik beton relatif rendah. Pendekatan yang baik untuk menghitung
kekuatan tarik beton fct’ adalah dengan taksiran antara 8% sampai dengan 15% dari kuat
tekan beton. Kekuatan tarik lebih sulit diukur dibandingkan dengan kekuatan tekan karena
masalah penjepitan (gripping) pada mesin. Ada sejumlah metode yang tersedia untuk
menguji kekuatan tarik, dan yang paling sering digunakan adalah tes pembelahan silinder
atau tes Brasil. Dalam SNI, hubungan kuat tarik langsung, fcr, terhadap kuat tekan beton
adalah:

(Pers. 2.3)
Untuk batang yang mengalami lentur, yang dipakai dalam desain adalah besarnya
modulus rupture fcr, bukan kekuatan pembelahan-tarik fct. Modulus rupture ini diukur dari
percobaan balok beton sederhana berpenampang bujur sangkar 15 cm, dan bentangnya 45
cm yang diberi beban pada dua titik. Modulus rupture lebih besar daripada kekuatan
pembelahan-tarik. SNI menspesifikasikan modulus rupture untuk beton berbobot normal
sebagai berikut:

(Pers. 2.4)
Kekuatan geser lebih sulit diperoleh secara eksperimental karena sulitnya
mengisolasi geser dari tegangan-tegangan lainnya. Ini merupakan salah satu sebab
banyaknya variasi kekuatan geser yang dituliskan dalam berbagai literatur, mulai dari
20% dari kekuatan tekan pada pembebanan normal sampai sebesar 85% dari kekuatan
tekan, dalam hal terjadinya geser langsung dan tekan. Desain struktural yang ditentukan
oleh kekuatan geser jarang merupakan suatu hal yang pentig karena tegangan geser
biasanya dibatasi sampai harga yang cukup rendah untuk mencegah betonnya mengalami
kegagalan tarik diagonal.
Hubungan tegangan-regangan beton perlu diketahui untuk menurunkan
persamaan-persamaan analisis dan desain juga prosedur-prosedur pada struktur beton.
Gambar 2.4 memperlihatkan kurva tegangan-regangan tipikal yang diperoleh dari
percobaan dengan menggunakan benda uji silinder beton dan dibebani tekan uniaksial
selama beberapa menit. Bagian pertama kurva ini (sampai sekitar 40% dari fc’) pada
umumnya untuk tujuan praktis dapat diaanggap linier. Sesudah mendekati 70% tegangan
hancur, materialnya banyak kehilangan kekakuannya sehingga menambah ketidaklinieran
diagram. Pada beban batas, retak yang searah dengan beban menjadi sangat terlihat dan
hampir semua silinder beton (kecuali yang kekuatannya sangat rendah) akan segera
hancur.

Gambar 2. 4 Kurva Tegangan-Regangan Tipikal Beton

Karena kurva tegangan-regangan beton seperti yang diperlihatkan pada Gambar


2.4 adalah kurvilinier pada taraf pembebanan awal, maka modulus elastisitas (modulus
Young) dari bahan ini adalah garis singgung dari kurva tegangan-regangan pada titik
pusatnya. Kemiringan garis singgung ini didefinisikan sebagai modulus tangen awal. Bisa
saja dibuat modulus tangen untuk tiap titik lain pada kurva tegangan-regangan.
Kemiringan suatu garis lurus yang menghubungkan titik pusat dengan suatu harga
tegangan (sekitar 0.45fc’) disebut modulus elastisitas sekan dari beton. Harga ini pada
perhitungan desain disebut modulus elastisitas, modulus ini memenuhi asumsi praktis
bahwa regangan yang terjadi selama pembebanan pada dasarnya dapat dianggap elastis
(pada keadaan beban dihilangkan bersifat reversibel penuh), dan regangan lainnya akibat
beban dianggap sebagai rangkak.
Berdasarkan SNI beton, modulus elastisitas beton dapat ditentukan dengan
persemaan berikut:
(Pers. 2.5)
Dimana wc = 1500-2500 kg/m3 (berat satuan beton normal). Untuk beton normal, modulus
elastisitas boleh diambil sebagai berikut:

(Pers. 2.6)
Perlu diketahui bahwa persamaan ini hanyalah rumus umum praktis karena
modulus elastisitas, selain dipengaruhi oleh beban, dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
lain seperti kelembaban benda uji beton, faktor air-semen, umur beton, dan
temperaturnya.

2.6.2 Baja Tulangan

Material beton lemah dalam tarik sehingga material beton digunakan bersama-
sama dengan material baja tulangan atau kawat baja yang menahan tegangan tarik. Dalam
SNI Beton, baja tulangan yang dapat digunakan pada elemen beton bertulang dibatasi
hanya pada baja tulangan atau kawat baja saja. Ada dua jenis tulangan baja yang terdapat
di pasaran, yaitu tulangan polos (BJTP) dan tulangan ulir/sirip (BJTS). Tulangan polos
biasanya mempunyai tegangan leleh minimum sebesar 240 MPa sedangkan tulangan ulir
umumnya mempunyai tegangan leleh minimum sebesar 400 MPa. Spesifikasi baja
tulangan yang umum digunakan di antaranya adalah ASTM A 615M (1993a) dan ASTM
A 706M (1993b).
Sifat tegangan-regangan tulangan baja dapat diidealisasikan dalam bentuk
tegangan-regangan bilinier seperti Gambar 2.5. Berdasarkan SNI Beton, modulus
elastisitas tulangan non-prategang Es boleh diambil sebesar 200000 MPa. Koefisien
thermal untuk tulangan baja umumnya adalah 11.5×10-6/°C. Namun untuk mempermudah,
nilai α baja terkadang diambil sama dengan nilai α beton, yaitu αs = 10×10-6/°C.
Selain tulangan baja tunggal, pada elemen-elemen struktur pelat atau dinding
sering juga digunakan wiremesh (jarring kawat) yang terdiri dari kumpulan kawat polos
dan ulir yang dilas satu sama lain sehingga membentuk pola grid. Tulangan jarring kawat
ini umumnya mempunyai tegangan leleh minimum sebesar 500 MPa.
Gambar 2. 5 Hubungan Tegangan-Regangan Baja

2.6.3 Baja Struktural

Baja yang akan digunakan dalam struktur dapat diklasifikasikan menjadi baja
karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat mekanik dari baja
tersebut seperti tegangan leleh dan tegangan putusnya diatur dalam ASTM A6/A6M.

A. Baja karbon

Baja karbon dibagi menjadi tiga kategori tergantung dari presentase kandungan
karbonnya, yaitu baja karbon rendah (C = 0.03-0.35%), baja karbon medium (C = 0.35-
0.50%), dan baja karbon tinggi (C = 0.55-1.7%). Baja yang sering digunakan dalam
struktur adalah baja karbon medium, misalnya baja BJ 37. Kandungan karbon baja
medium bervariasi dari 0.25-0.29% tergantung ketebalan. Selain karbon, unsur lain yang
juga terdapat dalam baja karbon adalah mangan (0.25-1.50%), silicon (0.25-0.30%),
fosfor (maksimal 0.04%) dan sulfur (0.05%). Baja karbon menunjukkan titik peralihan
leleh yang jelas, seperti nampak dalam Gambar 2.6, kurva a. Naiknya presentase karbon
meningkatkan tegangan leleh namun menurunkan daktalitas, salah satu dampaknya adalah
membuat pekerjaan las menjadi lebih sulit. Baja karbon umumnya memiliki tegangan
leleh (fy) antara 210-250 MPa.

B. Baja paduan rendah mutu tinggi

Yang termasuk dalam kategori baja paduan rendah mutu tinggi (high-strength
low-alloy steel/HSLA) mempunyai tegangan leleh berkisar antara 290-550 MPa dengan
tegangan putus (fu) antara 415-700 MPa. Titik peralihan leleh dari baja ini nampak dengan
jelas (Gambar 2.6 kurva b). Penambahan sedikit bahan-bahan paduan seperti chromium,
columbium, mangan, molybden, nikel, fosfor, vanadium atau zirconium dapat
memperbaiki sifat-sifat mekaniknya. Jika baja krbon mendapat kekuatannya seiring
dengan penambahan presentase karbon, maka bahan-bahan paduan ini mampu
memperbaiki sifat mekanik baja dengan membentuk mikrostruktur dalam bahan baja yang
lebih halus.

C. Baja paduan

Baja paduan rendah (low alloy) dan ditempa dan dipanaskan untuk memperoleh
tegangan leleh antara 550-760 MPa. Titik peralihan leleh tidak tampak dengan jelas
(Gambar 2.6 kurva c). Tegangan leleh dari baja paduan biasanya ditentukan sebgai
tegangangan yang terjadi saat timbul regangan permanen sebesar 0.2%, atau dapat
ditentukan pula sebagai tegangan pada saat regangan mencapai 0.5%. Baut yang biasa
digunakan sebagai alat pengencang mempunyai tegangan putus minimum 415 MPa
hingga 700 MPa. Baut mutu tunggi mempunyai kandungan karbon maksimum 0.30%,
dengan tegangan putus berkisar antara 733 hingga 838 MPa.
Agar dapat memahami perilaku struktur baja, maka seorang ahli struktur harus
memahami pula sifat-sifat mekanik dari baja. Model pengujian yang paling tepat untuk
mendapatkan sifat-sifat mekanik dari material baja adalah dengan melakukan uji tarik
terhadap suatu benda uji baja. Uji tekan tidak memberikan data yang akurat terhadap sifat-
sifat mekanik material baja karena beberapa hal, antara lain adanya potensi tekuk pada
benda uji yang mengakibatkan ketidakstabilan dari benda uji tersbut. Selain itu pehitungan
tegangan yang terjadi di dalam benda uji lebih mudah dilakukan untuk uji tarik daripada
uji tekan.
Gambar 2. 6 Hubungan Tegangan-Regangan Baja Tipikal

Dalam perencanaan struktur baja, SNI 03-1729-2002 mengambil beberapa esifat-


sifat mekanik dari material baja yang sama. Untuk Modulus elastisitas (E) digunakan
200000 MPa. Modulus geser (G) digunakan 80000 MPa. Rasio Poisson (µ) digunakan
0.3. Koefisien muai panjang (α) digunakan 12×10-6/°C. Sedangkan berdasarkan tegangan
leleh dan tegangan putusnya, SNI 03-1729-2002 mengklasifikasikan mutu dari material
baja menjadi lima kelas mutu sebagaimana pada Tabel 2.1. Menurut Kuzmanovic dan
Willems (1977), mendefinisikan daktalitas material baja sebagai rasio antara regangan
saat strain-hardening (εsh) dengan regangan saat leleh (εy):

(Pers. 2.7)

Tabel 2. 2 Sifat-sifat Mekanis Baja Struktural


Tegangan Putus Tegangan Leleh Regangan minimum
Jenis Baja
minimum, fu (MPa) minimum, fy (MPa) (%)
BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
BJ 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 55 550 410 13

Nilai daktalitas dari berbagai material baja berbeda-beda. Baja mutu tinggi
memiliki nilai daktalitas yang lebih rendah dibandingkan misalnya mutu BJ 37. Beberapa
baja mutu tinggi bahkan memiliki nilai daktalitas mendekati satu, atau dengan kata lain
hampir tidak ada bagian yang mendatar pada kurva tegangan-regangan. Untuk baja mutu
tinggi ini juga tidak menunjukkan nilai tegangan leleh (fy) yang jelas, sehingga nilai
tegangan leleh dari baja mutu tinggi didefinisikan sebagai besarnya tegangan yang dapat
menimbulkan regangan permanen sebesar 0.2%. Rendahnya daktalitas juga membuat
material baja menjadi lebih sensitif akibat adanya tegangan sisa yang terjadi selama proses
pembuatan baja tersebut. Proses fabrikasi baja mutu tinggi juga harus diawasi dengan
lebih cermat, terutama pada saat pengelasan yang dapat menimbulkan sobekan lamelar.

2.6.4 Beton Nanomaterial

Beton nanomaterial merupakan beton generasi baru dengan ukuran butiran dalam
skala nanomaterial. Beton nanomaterial yang dimaksud di sini adalah berdasarkan
penelitian Saloma dan Amrinsyah Nasution (2014). Material yang digunakan terdiri dari
semen tipe I, nanosilika ukuran 10-150 nm, pasir halus (quartz sand) ukuran 50-650 µm,
tepung kuarsa (quartz powder) ukuran 0.3-25 µm, agregat kasar ukuran 5-10 mm dan
superplasticizer.
Berdasarkan data penelitian tersebut pada studi ini digunakan mix design Grade 2
yaitu mix design dengan campuran nanosilika 2.5%. Beton tersebut memiliki kuat tekan
(fc’) 100 MPa pada umur 28 hari dan modulus elastisitas (Ec) sebsar 41000 MPa.

2.7 Konsep Desain

2.7.1 Lentur pada Balok Beton Bertulang

Jika suatu balok terbuat dari material yang elastis linier, isotropis dan homogen,
maka tegangan lentur maksimumnya dapat diperoleh dengan rumus lentur balok yang
terkenal, yaitu:

(Pers. 2.8)
Pada keadaan beban batas, balok beton bertulang bukanlah material yang
homogen, juga tidak elastis sehingga rumus lentur balok tersebut tidak dapat digunakan
untuk menghitung tegangannya. Akan tetapi prinsip-prinsip dasar mengenai teori lentur
masih dapat digunakan pada analisis penampang melintang balok beton bertulang. Jika
balok direncanakan sedemikian rupa sehingga semua materialnya (beton dan tulangan
baja) mencapai kapasitasnya sebelum runtuh, ini berarti bahwa beton dan baja tersebut
akan runtuh secara simultan pada saat kekuatan batas balok tercapai. Diagram tegangan
dan regangan pada keadaan ini diperlihatkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2. 7 Distribusi Tegangan dan Regangan pada Penampang Balok

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam menetapkan perilaku penampang adalah


sebagai berikut:
1. Distribusi regangan dianggap linier. Asumsi ini berdasarkan hipotesis Bernoulli
yaitu penampang yang datar sebelum mengalami lentur akan tetap datar dan tegak
lurus terhadap sumbu netral yang mengalami lentur.
2. Regangan pada baja dan beton di sekitarnya sama sebelum terjadi retak pada beton
atau leleh pada baja.
3. Beton lemah terhadap tarik. Beton akan retak pada taraf pembebanan kecil, yaitu
sekitar 10% dari kekuatan tekannya. Akibatnya bagian beton yang mengalami
tarik pada penampang diabaikan dalam perhitungan analisis dan desain, juga
tulangan tarik yang ada dianggap memikul gaya tersebut.
Agar keseimbangan gaya horizontal terpenuhi, gaya tekan C pada beton dan gaya tarik T
pada tulangan harus saling mengimbangi, jadi haruslah:

(Pers. 2.9)
Simbol-simbol yang ada pada Gambar 2.7 didefinisikan, b adalah lebar balok yang
tertekan, d adalah tinggi balok diukur dari tepi serat yang tertekan ke titik berat luas
tulangan, h adalah tinggi total balok, As adalah luas tulangan tarik, εc adalah regangan pada
tepi serat tertekan, εs adalah regangan pada taraf tulangan baja yang tertarik, fc’ adalah
kekuatan tekan beton, fs adalah tegangan pada tulangan baja yang tertarik, fy adalah
kekuatan leleh tulangan tarik, dan c adalah jarak garis netral diukur dari tepi serat yang
tertekan.
Distribusi tegangan tekan aktual yang terjadi pada penampang mempunyai bentuk
parabola seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.7(c). Menghitung volume blok
tegangan tekan yang berbentuk parabola bukanlah hal yang mudah. Karena itu Whitney
mengusulkan agar digunakan blok tegangan segiempat ekuivalen yang dapat digunakan
untuk menghitung gaya tekan – tanpa harus kehilangan ketelitiannya – yang berarti juga
dapat digunakan untuk menghitung lentur penampang. Blok tegangan ekuivalen ini
mempunyai tinggi a dan tegangan tekan rata-rata sebesar 0.85fc’. Seperti pada Gambar
2.7(d), besarnya a adalah β1c yang ditentukan dengan menentukan koefisien β1 sedemikian
rupa sehingga luas blok segiempat ekuvalen kurang-lebih sama dengan blok tegangan
yang berbentuk parabola. Dengan cara demikian gaya tekan C pada dasarnya sama untuk
kedua jenis distribusi tegangan.
Harga 0.85fc’ untuk tegangan rata-rata dari blok segiempat ekuivalen ditentukan
berdasarkan hasil percobaan pada beton yang berumur lebih dari 28 hari. Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan, regangan maksimum yang diizinkan adalah 0.003.
Harga ini dipakai pada SNI sebagai batas yang masih aman. Perilaku tulangan baja
dianggap elastoplastis.
Dengan menggunakan semua asumsi di atas, diagram distribusi tegangan yang
diperlihatkan pada Gambar 2.7(c) dapat digambar ulang seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 2.7(d). Dengan mudah kita dapat menghitung gaya tekan C sebesar 0.85fc’ba,
yaitu volume blok tekan pada atau dekat keadaan batas, yaitu bila baja tarik telah leleh (εs
> εy). Gaya tarik T dapat ditulis Asfy. Jadi persamaan keseimbangan pada Pers. 2.9 dapat
ditulis sebagai:

(Pers. 2.10)
atau

(Pers. 2.11)
Momen tahanan penampang, yaitu kekuatan nominal Mn, dapat ditulis sebagai:

atau (Pers. 2.12a)


Di mana jd adalah lengan momen, yaitu jarak antara gaya tarik dan tekan yang
membentuk kopel. Dengan menggunakan blok tegangan segiempat ekuivalen dari Gambar
2.7(d), maka lengan momennya adalah:

Jadi momen tahanan nominalnya adalah:

(Pers. 2.12b)
Karena C = T, maka persamaan momen dapat ditulis sebagai:

(Pers. 2.12c)

2.7.2 Geser pada Balok Beton Bertulang

Retak miring pada badan balok pada dasarnya akan melebar dengan arah bukaan
tegak lurus terhadap bidang retaknya dengan meningkatnya beban. Untuk
menahan/mengendalikan proses pembukaan retak miring tersebut diperlukan adanya
kombinasi tulangan lentur horizontal dan tegak atau kombinasi tulangan horizontal dan
miring. Tulangan tegak atau miring tersebut dinamakan sebagai tulangan sengkang geser
atau badan.
Tulangan badan untuk menahan gaya geser yang terjadi harus disediakan secara
memadai untuk menjamin agar kapasitas geser balok lebih kuat dari kapasitas lenturnya.
Dengan pendekatan ini, mode keruntuhan lentur yang bersifat daktail akan lebih
menentukan perilaku balok daripada keruntuhan geer yang bersifat brittle.
Di Indonesia, yang umum digunakan adalah sengkang tegak. Sengkang miring
tidak boleh digunakan, khususnya di daerah rawan gempa, karena gaya geser yang terjadi
akibat gaya gempa bersifat bolak-balik.
Kuat geser nominal ditentukan dengan memperhitungkan baik kontribusi beton
maupun kontribusi tulangan sengkang, sehingga:

(Pers. 2.13)
Di mana Vc adalah gaya geser yang dipikul oleh beton dan Vs adalah gaya geser yang
dipikul oleh tulangan sengkang.
Untuk menghitung besar gaya geser yang dipikul oleh beton digunakan
persamaan:
(Pers. 2.14)
Dimana bw adalah lebar badan penampang.
Untuk elemen struktur yang dibebani gaya aksial (seperti kolom), kapasitas geser
beton dihitung sebagai berikut:
Untuk kombinasi dengan gaya aksial tekan,

(Pers. 2.15)
Untuk kombinasi dengan gaya aksial tarik,

(Pers. 2.16)
Di mana Nu adalah beban aksial terfaktor yang terjadi bersamaan dengan Vu (bernilai
positif untuk tekan) dan Ag adalah luas bruto penampang.
Untuk menghitung kemampuan geser yang diberikan oleh tulangan pada sengkang
tegak digunakan persamaan:

(Pers. 2.17)
Di mana Av adalah luas tulangan geser dan s adalah jarak antar sengakang pengikat.

2.7.3 Kombinasi Tekan dan Lentur pada Kolom Beton Bertulang

Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang memikul
beban dari balok. Kolom meneruskan beban-beban dari elevasi atas ke elevasi yang lebih
bawah hingga akhirnya sampai ke tanah mealalui pondasi. Karena kolom merupakan
komponen tekan, maka keruntuhan pada satu kolom merupakan situasi kritis yang bisa
menyebabkan collapse (runtuhnya) lantai yang bersangkutan, dan juga runtuh total
(ultimate total collapse) seluruh strukturnya.
Bentuk dan susunan tulangan pada kolom dapat dibagi menjadi tiga kategori
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.8.
1. Kolom segiempat atau bujur sangkar dengan tulangan memanjang dan sengkang
(Gambar 2.8a).
2. Kolom bundar dengan tulangan memanjang dan tulangan lateral berupa sengkang
atau spiral.
3. Kolom komposit yang terdiri atas beton dan profil baja struktural di dalamnya.
Profil baja ini biasanya diletakkan di dalam selubung tulangan biasa yang
diperlihatkan pada Gambar 2.8c.

Gambar 2. 8 Jenis Kolom Berdasarkan Bentuk dan Macam Penulangan

Kolom bersengkang merupakan jenis yang paling banyak digunakan karena


murahnya harga pembuatannya. Sekalipun demikian, kolom segiempat maupun bundar
dengan tulangan berbentuk spiral kadang-kadang digunakan juga, terutama apabila
diperlukan daktalitas kolom yang cukup tinggi pada daerah-daerah gempa. Kemampuan
kolom berspiral untuk menahan beban maksimum pada deformasi besar mencegah
terjadinya collapse pada struktur secara keseluruhan sebelum terjadinya redistribusi total
momen.
Berdasarkan posisi beban terhadap penampang melintang, kolom dapat
diklasifikasikan atas kolom dengan beban sentris dan kolom dengan beban eksentris.
Kolom yang mengalami beban sentris berarti tidak mengalami mmen lentur. Akan tetapi,
dalam prakteknya semua kolom hendaknya direncanakan terhadap eksentrisitas yang
diakibatkan oleh hal-hal tak terduga, seperti tidak tepatnya pembuatan acuan beton dan
sebagainya.
Prinsip-prinsip pada balok mengenai distribusi tegangan dan blok tegangan
segiempat ekuivalennya dapat juga diterapkan pada kolom. Gambar 2.8 memperlihatkan
penampang melintang suatu kolom segiempat tipikal dengan diagram distribusi regangan,
tegangan, dan gaya padanya. Diagram ini berbeda dengan Gambar 2.9 dalam hal adanya
gaya nominal memanjang Pn yang bekerja pada keadaan runtuh dan mempunyai
eksentrisitas e dari pusat plastis (atau bisa saja pusat geometri) penampang. Tinggi sumbu
netral ini sangat menentukan kekuatan kolom.
Gambar 2. 9 Tegangan dan Gaya-Gaya pada Kolom

Persamaan keseimbangan gaya dan momen dari Gambar 2.9 untuk kolom pendek
dapat dinyatakan dengan gaya aksial tekan nominal dalam keadaan runtuh sebagai
berikut:

(Pers. 2.18)
Momen tahanan nominal Mn, yaitu sebesar Pne, dapat diperoleh dengan menuliskan
keseimbangan momen terhadap pusat plastis penampang. Untuk kolom yang
penulangannya simetris, pusat plastisnya sama dengan pusat geometrisnya.

(Pers. 2.19)
Karena

, dan
Persamaan 2.18 dan 2.19 dapat pula ditulis dengan:

(Pers. 2.20)
(Pers. 2.21)
Dalam persamaan 2.20 dan 2.21, tinggi sumbu netral c dianggap kurang daripada
tinggi efektif d penampang, juga baja pada sisi yang tertarik memang mengalami tarik.
Kondisi ini dapat berubah apabila eksentrisitas e beban Pn sangat kecil. Untuk
eksentrisitas kecil ini – yang seluruh bagian penampangnya mengalami tekan – kontribusi
tulangan yang tertaril harus ditambahkan pada kontribusi baja dan beton yang tertekan.
Suku Asfs dalam persamaan 2.20 dan 2.21, dalam hal ini, mempunyai tanda positif
karenasemua tulangan baja mengalami tekan. Dalam hal ini juga diasumsikan bahwa
volume beton yang hilang akibat adanya tulangan diabaikan.
Perlu ditekankan di sini bahwa gaya aksial Pn tidak dapat melebihi kekuatan
dengan aksial maksimum Pn(max) yang dihitung dengan:

(Pers. 2.22)
Tulangan tekan As’ atau tulangan tarik As akan mencapai kekuatan lelehnya fy, bergantung
pada besarnya eksentrisitas e. Tegangan fs’ pada baja dapat mencapai fy apabila
keruntuhan yang terjadi berupa hancurnya beton. Apabila kehancurannya berupa lelehnya
tulangan baja, besaran fs harus disubstitusikan dengan fy. Apabila fs’ atau fs lebih kecil
daripada fy, maka yang disubstitusikan adalah besaran aktualnya, yang dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan yang diperoleh dari segitiga yang sebangun dengan
distribusi regangan di seluruh tinggi penampang (Gambar 2.9), yaitu persamaan:

(Pers. 2.23)

(Pers. 2.24)
Kapasitas penampang beton bertulang untuk menahan kombinasi gaya aksial dan
momen lentur dapat digambarkan dalam bentuk suatu kurva interaksi antara kedua gaya
tersebut. Gambar 2.10 memperlihatkan contoh diagram tersebut. Perhatikan bahwa
pendekatan yang digunakan dalam solusi empiris Whitney tidak selalu konservatif.
Khususnya apabila beban rencana Pu cukup dekat dengan beban balanced.
Gambar 2. 10 Diagram Interaksi Kekuatan Gaya Aksial-Momen (P-M) Tipikal pada Kolom

Setiap titik dalam kurva ini menunjukkan kombinasi kekuatan gaya nominal Pn dan
kekuatan momen nominal Mn yang sesuai dengan lokasi sumbu netralnya. Diagar interaksi
tersebut dapat dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah yang ditentukan oleh keruntuhan
tarik dan daerah yang ditentukan oleh keruntuhan tekan, dengan pembatasnya adalah titik
balanced (titik B).

2.7.4 Komponen Struktur Lentur Baja Struktural

Untuk desain ini diasumsikan bahwa balok tak akan tertekuk, karena bagian
elemen yang mengalami tekan, sepenuhnya terkekang baik dalam arah sumbu kuat
ataupun sumbu lemahnya. Asumsi ini mendekati kenyataan, sebab dalam banyak kasus
balok cukup terkekang secara lateral, sehingga masalah stabilitas tidak perlu mendapat
penekanan lebih.
Distribusi tegangan pada sebuah penampang WF akibat momen lentur,
diperlihatkan dalam Gambar 2.11. Pada daerah beban layan, penampang masih elastik
(Gambar 2.11a), kondisi elastik berlangsung hingga tegangan pada daerah terluar
mencapai kuat lelehnya (fy). Setelah mencapai regangan leleh (εy), regangan akan terus
naik tanpa diikuti kenaikan tegangan.
Gambar 2. 11 Distribusi Tegangan pada Tingkat Pembebanan yang Berbeda

Ketika kuat leleh tercapai pada serat terluar (Gambar 2.11b), tahanan momen
nominal sama dengan momen leleh Myx, dan besarnya adalah:

(Pers. 2.25)
Ketika kondisi pada Gambar 2.11d tercapai, semua daerah dalam penampang melampaui
regangan lelehnya, dan dinamakan kondisi plastis. Tahanan momen nominal dalam
kondisi ini dinamakan momen plastis Mp, yang besarnya:

(Pers. 2.26)
Dengan Z dikenal sebagai modulus plastis.
Selanjutnya faktor bentuk (shape factor) yang merupakan perbandingan antara
modulus plastis dan elastis penampang, yaitu:

(Pers. 2.27)
Dalam perhitungan tahanan momen nominal dibedakan antara penampang
kompak, tidak kompak dan langsing. Penampang kompak (λ < λp), tidak kompak (λp < λ <
λr) dan langsing (λ > λr).
Untuk penampang kompak Mn = Mp. Sedangakan untuk penampang tidak kompak
pada saat λ = λr adalah:

(Pers. 2.28)
Besarnya tegangan sisa fr = 70 MPa untuk penampang gilas panas, dan 115 MPa untuk
penampang yang dilas.
Bagi penampang tidak kompak yang mempunyai λp < λ < λr, maka besarnya
tahanan momen nominal dicari dengan melakukan interpolasi linear, sehingga diperoleh:
(Pers. 2.29)

Di mana λ adalah kelangsingan penampang balok dan nilai λr, λp bisa dilihat pada
tabel peraturan baja.

2.7.5 Balok-Kolom Baja Struktural

Pada suatu komponen struktur terkadang efek gaya aksial maupun momen lentur
tidak dapat diabaikan salah satunya, kombinasi dari gaya aksial dan momen lentur harus
dipertimbangkan dalam proses desain komponen struktur tersebut. Komponen struktur
tersebut sering disebut sebagai elemen balok-kolom (beam-column). Pada struktur-
struktur statis tak tentu sering dijumpai elemen balok-kolom ini. Beberapa prosedur desain
yang dapat digunakan untuk suatu elemen balok-kolom antara lain adalah pemakaian
rumus interaksi berdasarkan kekuatan penampang (metode LRFD).
Perencanaan komponen struktur balok-kolom, diatur dalam SNI 03-1729-2002
yang menyatakan bahwa suatu komponen struktur yang mengalami momen lentur dan
gaya aksial harus direncanakan memenuhi ketentuan sebagai berikut:

Untuk

(Pers. 2.30)

Untuk

(Pers. 2.31)
Dengan Nu adalah gaya tekan aksial terfaktor, Nn adalah tahanan tekan nominal dengan
menganggap batang sebagai elemen tekan murni, ϕ adalah faktor reduksi tahanan tekan,
Mux adalah momen lentur terfaktor terhadap sumbu yang berseuaian sesuai dengan
perhitungan efek orde 2, Mnx adalah tahanan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu
yang bersesuaian dan ϕb adalah faktor reduksi tahanan lentur.
Daya dukung nominal Nn struktur tekan dihitung sebagai berikut:
(Pers. 2.32)
Dengan besarnya ω ditentuka oleh λc, yaitu:
Untuk λc < 0.25 maka ω = 1 (Pers. 2.33a)

Untuk 0.25 < λc < 1.2 maka (Pers. 2.33b)


Untuk λc > 1.2 maka ω = 1.25λc2 (Pers. 2.33c)

Dengan (Pers. 2.34)

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang evaluasi struktur bangunan telah dilakukan oleh peneliti


sebelumnya. Di dalam studi pustaka ini hanya disajikan beberapa penelitian.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui kinerja struktur
bangunan terhadap gaya gempa dan menggunakan analisis pushover untuk
memprediksi kinerja struktur terhadap gempa.
Penelitian tentang evaluasi struktur bangunan Gedung kuliah umum
Dr.Sardjito (4 tingkat) menggunakan analisis pushover untuk mengetahui perilaku
dan kinerja pada bangunan tersebut. Evaluasi dilakukan tiga tahap sesuai FEMA
310 (1998), yaitu tahap screening (tahap 1) dengan rapid visual screening (RVS)
menurut FEMA 154 (2002) dan evaluasi lebih rinci berdasarkan FEMA 310 (1998),
evaluasi tahap 2 (analisa linier) dan evaluasi tahap 3 (analisis nonlinier). Evaluasi
tahap lanjutan dilakukan apabila dari tahap sebelumnya ditemukan kelemahan
struktur bangunan. Evaluasi tahap 2 menggunakan beban gempa statik ekuivalen
untuk prosedur statik linier dan beban respon spektrum untuk prosedur analisis
dinamik. Untuk tahap 3 digunakan analisis pushover untuk prosedur nonlinier.
Hasil evaluasi diketahui level kinerja bangunan untuk gempa 500 tahun adalah
Immediate Occupancy (Jamal, 2011).
Analisis statik nonlinear (pushover analysis) dapat dilakukan untuk
mengevaluasi kinerja seismik bangunan gedung. Dalam penelitian yang dilakukan
Yunalia Muntafi (2012), bangunan gedung yang di evaluasi adalah gedung kantor
Dinas Pekerjaan Umum (DPU), terdiri dari empat lantai yang berlokasi di wilayah
kabupaten Wonogiri. Evalauasi dilakukan menggunakan metode capacity spectrum
(ATC 40) prosedur B untuk mengetahui level kinerja bangunan. Tahapan analisis
perhitungan dilakukan dengan memberi beban lateral pada tiap lantai dan
meningkatkan faktor pengalinya secara bertahap, hingga bangunan hancur atau didapat
gaya lateral maksimum. Hasil penelitian ini menunjukkan level kinerja
gedung Immediate Occupancy (IO) yang artinya jika terjadi gempa, gedung hanya
mengalami sedikit kerusakan struktur dan non struktur (Muntafi, 2012).
Analisa pushover dilakukan untuk menganalisa perilaku in-elastis struktur
bangunan dengan memberikan pola beban statik yang besarnya ditingkatkan secara
bertahap hingga mencapai target displacement tertentu atau mencapai pola
keruntuhan tertentu. Dalam Penelitian yang dilakukan Ulfa Nurdianti (2013),
bangunan gedung yang di evaluasi adalah gedung Karebosi Condotel, Makassar.
Bangunan gedung di modelkan secara 3D menggunakan program SAP 2000 V15.
Evaluasi dilakukan menggunakan metode capacity spectrum (ATC-40) untuk
mengetahui level kinerja bangunan. Hasil penelitian ini menunjukkan level kinerja
gedung Immediate Occupancy (IO) yang artinya jika terjadi gempa, gedung hanya
mengalami sedikit kerusakan struktur dan non struktur (Nurdianti, 2013).
Mempelajari metode strut-and-tie model untuk perencanaan balok tinggi beton
bertulang, mempelajari simulasi numerik metode elemen hingga pada model benda uji
untuk mendapatkan parameter yang diperlukan dalam perencanaan strut-and-tie model,
mempelajari perilaku keruntuhan balok tinggi beton bertulang, dan melakukan studi
perbandingan hasil simulasi numerik metode elemen hingga pada model benda uji balok
tinggi dengan hasil penelitian eksperimental Hardjasaputra [Hardjasaputra, 2006].

2.9 Rencana Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah mengevaluasi bangunan gedung riil yaitu


gedung Auditorium Kampus PIP Makassar dengan menggunakan analisa statik
nonlinear (pushover). Metode yang digunakan dalam analisis pushover mengacu
pada ATC-40 prosedur A, semua analisis struktur tersebut menggunakan bantuan
program komputer SAP2000 V14.
Gambar 2. 12 Gambar Tampak Rencana

Gambar 2. 13 Gambar Tampak Depan Rencana

Gambar 2. 14 Gambar Tampak Belakang Rencana


Contents

BAB II.........................................................................................................................1
LANDASAN TEORI..................................................................................................1
2.1 Pengertian Value Engineering/Rekayasa Nilai.......................................1
2.2 Waktu Penerapan Rekayasa Nilai...........................................................1
2.3 Biaya Tidak Diperlukan...........................................................................2
2.4 Rencana Kerja Rekayasa Nilai................................................................2

2.4.1 Tahap Informasi......................................................................................4


2.4.2 Tahap Kreatif..........................................................................................4
2.4.3 Tahap Analisa..........................................................................................5
A. Life Cycle Cost (Biaya Siklus Hidup).........................................................5
B. Analisa Pemilihan Alternatif......................................................................6
2.4.4 Tahap Rekomendasi................................................................................7

2.5 Kriteria Perencanaan...............................................................................7

2.5.1 Konsep Dasar..........................................................................................7


2.5.2 Peraturan-Peraturan.................................................................................9
2.5.3 Program...................................................................................................9

2.6 Material-Material Alternatif...................................................................9

2.6.1 Beton.......................................................................................................9
2.6.2 Baja Tulangan.......................................................................................12
2.6.3 Baja Struktural......................................................................................13
A. Baja karbon...............................................................................................13
B. Baja paduan rendah mutu tinggi...............................................................13
C. Baja paduan...............................................................................................14

2.6.4 Beton Nanomaterial................................................................................16


2.7 Konsep Desain.........................................................................................16

2.7.1 Lentur pada Balok Beton Bertulang......................................................16


2.7.2 Geser pada Balok Beton Bertulang.......................................................19
2.7.3 Kombinasi Tekan dan Lentur pada Kolom Beton Bertulang................20
2.7.4 Komponen Struktur Lentur Baja Struktural..........................................24
2.7.5 Balok-Kolom Baja Struktural...............................................................26

2.8 Penelitian Terdahulu..............................................................................27


2.9 Rencana Penelitian.................................................................................28

Gambar 2. 1 Potensi Penghematan dari Waktu Penerapan Rekayasa Nilai................7


Gambar 2. 2 Susunan Tim Rekayasa Nilai.......................................................................9
Gambar 2. 3 The Satisficing Model.................................................................................13
Gambar 2. 4 Kurva Tegangan-Regangan Tipikal Beton..............................................18
Gambar 2. 5 Hubungan Tegangan-Regangan Baja.......................................................20
Gambar 2. 6 Hubungan Tegangan-Regangan Baja Tipikal.........................................22
Gambar 2. 7 Distribusi Tegangan dan Regangan pada Penampang Balok................24
Gambar 2. 8 Jenis Kolom Berdasarkan Bentuk dan Macam Penulangan..................28
Gambar 2. 9 Tegangan dan Gaya-Gaya pada Kolom...................................................30
Gambar 2. 10 Diagram Interaksi Kekuatan Gaya Aksial-Momen (P-M) Tipikal pada
Kolom.................................................................................................................................32
Gambar 2. 11 Distribusi Tegangan pada Tingkat Pembebanan yang Berbeda.........33
Gambar 2. 12 Gambar Tampak Rencana......................................................................37
Gambar 2. 13 Gambar Tampak Depan Rencana..........................................................37
Gambar 2. 14 Gambar Tampak Belakang Rencana.....................................................38
Gambar 2. 15 Bumi dan Interior Bumi..........................................................................39
Gambar 2. 16 Gaya Permukaan pada Medium Padat Elastis......................................40
Gambar 2. 17 Peta intensitas Gempa di Indonesia........................................................42
Gambar 2. 18 Lempengan Lithosphere..........................................................................48
Gambar 2. 19 Pola Interaksi Antar Lempengan /Kerak Bumi....................................49
Gambar 2. 20 Interaksi Lempeng....................................................................................49
Gambar 2. 21 Pola Perbatasan Lempengan...................................................................49
Gambar 2. 22 Kombinasi Orthogonal.............................................................................55
Gambar 2. 23 Soft Story dengan Perbedaan Tinggi Tingkat........................................57
Gambar 2. 24 Kekakuan Kolom Jepit Jepit...................................................................60
Gambar 2. 25 Visualisasi Koefisien Kekakuan Metode Muto.......................................62
Gambar 2. 26 Model Matematika Untuk Sistem Berderajat Kebebasan Tunggal
(Sumber: Widodo, 2001)...................................................................................................63
Gambar 2. 27 Struktur dengan 3 SDOF, Model Kinemaik, dan FBD..........................64
Gambar 2. 28 Skema pembebanan struktur Sumber: Schodek, 1999..........................67
Gambar 2. 29 Aliran Angin di Sekitar Bangunan.........................................................69

Tabel 2. 1 Area Studi Rekayasa Nilai Berdasarkan Tahap Desain Struktur................9


Tabel 2. 2 Sifat-sifat Mekanis Baja Struktural..............................................................23
Tabel 2. 3 Perbandingan intensitas gempa dari berbagai sumber...............................41
Tabel 2. 4 Skala MMI (Modified MercallayIntensity)..................................................42
Tabel 2. 5 Derajat Kerusakan oleh Gempa....................................................................43
Tabel 2. 6 Tingkat Kategori Risiko Bangunan...............................................................44
Tabel 2. 7 Faktor keutamaan gempa...............................................................................45
Tabel 2. 8 Kombinasi Pembebanan gempa.....................................................................45
Tabel 2. 9 Kombinasi Pembebanan Beban Terfaktor dan Beban Layan....................46
Tabel 2. 10 Kandungan Frekuensi Gempa Berdasarkan A/V Rasio............................58

Anda mungkin juga menyukai