Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di dunia. Meskipun ada berbagai macam penyakit jantung yang
kasusnya telah menurun secara bermakna dengan kemajuan tehnologi dan
penatalaksanaan yang canggih, namun lain halnya dengan penyakit
jantung koroner atau acute coronary syndrome yang masih tetap menjadi
ancaman kesehatan bagi negara-negara di dunia. Acute coronary syndrome
sendiri merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa yang
diakibatkan karena adanya penyumbatan aliran darah baik total maupun
sebagian pada pembuluh darah koroner akibat aterosklerosis atau spasme
atau keduanya. Prevalensi penyakit jantung koroner mendekati tiga juta
orang di seluruh dunia, dengan lebih dari satu juta kematian di Amerika
Serikat setiap tahunnya.

Penyakit jantung koroner atau acute coronary syndrome merupakan jenis


penyakit yang paling umum terjadi di dunia yang insiden dan
prevalensinya terus meningkat. Organisasi kesehatan dunia atau World
Health Organization (WHO), mencatat sebanyak 17,9 juta jiwa meninggal
dunia karena penyakit kardiovaskuler dimana sebanyak 8,9 juta jiwa
disebabkan oleh penyakit jantung iskemik (WHO, 2020). Berdasarkan data
Global Burden of Disease pada tahun 2019, penyakit jantung koroner
menjadi penyakit yang prevalensinya paling banyak diderita oleh perduduk
dunia, terdapat 197 juta kasus penderita penyakit jantung koroner yang
sebagian besar penderitanya adalah laki-laki (Roth et al., 2020) .
Sedangkan pada tahun 2020, menurut American Heart Assosiation, tercatat
244,1 juta orang hidup dengan penyakit jantung koroner
(Tsao et al., 2022)
. Data dari Global Burden of Disease pada tahun 2021, penderita
penyakit jantung koroner mengalami penurunan, namun masih menjadi

1
2

kasus pertama yang menyebabkan gangguan kesehatan di dunia. Tercatat


sebanyak 185 juta penduduk dunia yang menderita penyakit jantung
koroner (Vaduganathan et al., 2022) . Banyaknya penderita penyakit
kardiovaskuler disetiap tahunnya masih menjadi masalah bagi negara-
negara di dunia untuk mencapai target ketiga dalam Sustanaible
Development Goals (SDGs) tahun 2030 yaitu kesehatan yang baik dan
kesejahteraan (Good Health and Well-Being) yang bertujuan untuk
mengurangi angka kematian akibat penyakit tidak menular (WHO, 2022).

Penyakit kardiovaskuler menjadi masalah kesehatan utama di dunia


terutama pada negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia
penyakit kardiovaskuler masih menjadi penyebab kematian utama,
terutama penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner merupakan
kondisi kegawatdaruratan jantung yang tanda dan gejalanya sering
diabaikan. Angka kematian yang disebabkan oleh PJK di Indonesia cukup
tinggi mencapai 1,25 juta jiwa jika populasi penduduk Indonesia 250 juta
jiwa .Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2019 menunjukkan
bahwa sebesar 1,5% atau 15 dari 1.000 penduduk Indonesia menderita
penyakit jantung koroner atau 2.784.064 orang di Indonesia menderita
penyakit jantung pada tahun 2019. Dari hasil laporan profil kesehatan
Indonesia pada tahun 2020, penyakit jantung menjadi penyakit tertinggi
yang dibiayai oleh BPJS kesehatan yaitu 11.592.990 kasus dengan
menghabiskan biaya 8,3 triliun rupiah. Di tahun 2021, tercatat bahwa
penyakit jantung masih menjadi penyakit tertinggi di Indonesia yang
angka kasusnya mengalami peningkatan menjadi 12.934.931 kasus. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit jantung masih menjadi masalah besar bagi
kesehatan di Indonesia (Kemenkes RI, 2022).
3

Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, pada


tahun 2019 tercatat 10.644 kasus penyakit jantung koroner. Di tahun 2020
penderita penyakit jantung koroner di Kalimantan Selatan mengalami
peningkatan yang cukup tinggi menjadi 17.148 kasus dengan rincian 2263
kasus baru dan 14.885 kasus lama. Penderita penyakit jantung koroner
mengalami penurunan di tahun 2021 yaitu menjadi 6.356 kasus dengan
rincian 3.506 kasus lama dan 2.850 kasus baru. Kota Banjarmasin yang
merupakan salah satu kota besar di Kalimantan Selatan mendapatkan
urutan kedua penderita penyakit jantung koroner terbanyak yang mencatat
3.008 kasus penyakit jantung koroner di tahun 2019 setelah kabupaten
Hulu Sungai Utara. Sedangkan pada tahun 2020 kota Banjarmasin
mendapatkan urutan pertama kota terbanyak penderita penyakit jantung
koroner dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Kalimantan Selatan
yaitu sebesar 8.331 kasus dengan rincian 6.859 kasus lama dan 1.454
kasus baru. Pada tahun 2021 kota Banjarmasin mengalami penurunan
menjadi 3.320 kasus dengan rincian 1.274 kasus lama dan 2.046 kasus
baru. Namun, pada tahun 2021 peningkatan penemuan kasus baru penyakit
jantung koroner mengalami peningkatan dan Banjarmasin masih berada
diurutan pertama penderita penyakit jantung koroner terbanyak dari
seluruh kabupaten di Kalimantan Selatan
(Dinas Kesehatan Prov. Kalsel, 2022)
.

Berdasarkan data di RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin


tercatat 4.331 kasus penyakit kardiovaskuler di tahun 2019. Dari data
tersebut tercatat 2.152 kasusnya merupakan penyakit jantung koroner
dengan klasifikasi 586 kasus STEMI, 498 kasus NSTEMI dan 468 kasus
UAP. Kemudian pada tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 2265
kasus penyakit kardiovaskuler yang diantaranya 1.362 kasus merupakan
penyakit jantung koroner dengan klasifikasi 359 kasus STEMI, 247 kasus
NSTEMI dan 156 kasus UAP. Pada tahun 2021 penyakit kardiovaskuler
juga mengalami penurunan menjadi 1.734 kasus dengan 986 kasus
4

penyakit jantung koroner yang diantaranya tercatat sebanyak 217 kasus


STEMI, 178 kasus NSTEMI, dan 191 kasus UAP. Namun, pada tahun
2022 periode Januari sampai dengan November penderita penyakit
kardiovaskuler mengalami peningkatan yang cukup banyak yakni menjadi
2.519 kasus dan menjadikan penyakit kardiovaskuler masuk ke dalam
sepuluh penyakit terbanyak yang dialami pasien di RSUD dr. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin dengan 1380 kasusnya merupakan penyakit
jantung koroner yang diklasifikasikan menjadi 316 kasus pasien dengan
STEMI, 212 kasus NSTEMI dan 120 kasus UAP.

Acute coronary syndrome merupakan kegawatdaruratan jantung dengan


manifestasi klinis berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada
disertai gejala-gejala lain akibat iskemia miokard (Andrianto, 2019) .
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan marka
jantung acute coronary syndrome diklasifikasikan menjadi tiga yakni
unstable angina pectoris (UAP), non-ST elevation myocardial infarction
(NSTEMI), dan ST elevation myocardial infarction (STEMI)
(PERKI, 2018)
. Adanya perbedaan dilakukan untuk mengklasifikasikan manajemen
farmakologi berupa penggunaan obat-obatan dan non farmakologi berupa
manajemen intervensi dan perawatan klinisnya. Sindrom koroner akut
(SKA) adalah diagnosis klinis yang ditegakkan berdasarkan dugaan
iskemia jantung akibat obstruksi koroner. Pemeriksaan selanjutnya dengan
elektrokardiografi dan biomarker jantung akan membedakan subtipe dari
acute coronary syndrome, yang diperlukan untuk membuat diagnosis awal.
Manajemen berfokus pada menghilangkan gejala iskemik, menyelamatkan
miokardium dengan revaskularisasi, dan pencegahan gejala sisa jangka
panjang (Tuttle, 2020).

Klasifikasi ACS ini menjadi penting diketahui oleh tenaga kesehatan


khususnya tenaga perawat karena pengklasifikasian ini akan membantu
perawat untuk memberikan upaya penanganan yang tepat kepada pasien
5

ACS dengan klasifikasi tertentu, yaitu unstable angina pectoris (UAP), ST


elevation myocardial infarction (STEMI), dan ST non elevation
myocardial infarction (NSTEMI), sehingga kecil kemungkinan pasien
akan mengalami kesalahan pemberian terapi atau mengalami komplikasi
penyakit lain (Davis & Maness, 2019).

Menurut Baloch et al., (2020) pengklasifikasian pasien dengan acute


coronary syndrome terkadang tidak dilakukan atau kurang diperhatikan
dalam penegakkan diagnosa ACS ini di beberapa rumah sakit di negara-
negara berkembang. Perawatan pasien dengan nyeri dada yang datang ke
rumah sakit dengan layanan multidisiplin, sering mengalami gangguan
atau keterlambatan karena sistem triase yang sibuk. Namun berbeda halnya
dengan unit gawat darurat khusus jantung (Cardiac Emengency Unit)
dapat meningkatkan pengenalan dini akan klasifikasi acute coronary
syndrome serta meningkatkan waktu reperfusi pada pasien dengan acute
coronary syndrome jenis STEMI. Hal ini berefek pada peningkatan hasil
klinis, mengurangi lama rawat dan mengurangi biaya perawatan. Rumah
sakit dengan pelayanan Cardiac Emengency Unit dan pelayanan rawat
inap jantung yang terpisah dalam waktu 10 menit akan dapat menegakkan
diagnosa klasifikasi acute coronary syndrome, sehingga dalam waktu < 90
menit untuk pasien STEMI sudah dilakukan tindakan primary
percutaneous coronary intervention primary (PPCI).

Klasifikasi acute coronary syndrome diantaranya adalah angina tidak


stabil (unstable angina pectoris) dan NSTEMI (non ST elevation
myocardial infarction), terjadi penurunan aliran darah di arteri koroner,
seringkali karena pecahnya plak aterosklerotik, tetapi arteri tidak
sepenuhnya tersumbat. NSTEMI dan UAP adalah suatu kondisi yang
saling berhubungan sangat dekat, memiliki presentasi klinis dan
patogenesis yang sama, akan tetapi memiliki tingkat luas iskemia yang
berbeda. Pemeriksaan EKG didapat adanya ST segmen depresi atau
6

gelombang T inverted tanpa disertai peningkatan marka jantung pada


pasien dengan UAP. Sedangkan untuk NSTEMI ditandai dengan
peningkatan marka jantung (Amsterdam et al., 2016). ST Elevation
Myocardial Infarction (STEMI) merupakan kondisi rusaknya miokardium
secara permanen biasanya karena plak pecah dan selanjutnya pembentukan
trombus mengakibatkan oklusi total pada arteri koroner. Vasospasme atau
penyempitan tiba-tiba dari arteri koroner mengakibatkan penurunan suplai
oksigen (misalnya, dari kehilangan darah akut, anemia, atau tekanan darah
rendah), dan peningkatan kebutuhan oksigen (misalnya, dari detak jantung
yang cepat, tirotoksikosis, atau konsumsi kokain) adalah penyebab infark
miokard lainnya. Infark miokard dapat ditentukan oleh jenis, lokasi cedera
pada dinding ventrikel, atau pada titik waktu proses terjadinya infark
misalkan terjadi pada fase akut atau sudah lama/old myocardial infarction
(Akbar et al., 2022).

Diagnosis sindrom koroner akut ditegakkan berdasarkan 2 dari 3 kriteria


meliputi nyeri dada yang khas seperti tertindih benda berat, perubahan
pada EKG berupa perubahan ST segmen elevasi maupun depresi, dan
pemeriksaan biomarka jantung berupa peningkatan troponin atau CKMB.
Diagnosis dan tatalaksana perlu dibuat sesegera mungkin untuk
mengurangi total ischemia time sehingga dapat mengurangi area iskemik
atau infark. Karena pada prinsipnya tatalaksana sindrom koroner akut
adalah untuk memperbaiki keseimbangan supply and demand oksigen
pada miokard akibat oklusi parsial atau total (Wijaya, 2019).

Serangan jantung sering dikaitkan dengan kejadian acute coronary


syndrome. Serangan jantung terjadi ketika aliran darah yang membawa
oksigen ke jaringan otot jantung berkurang secara tiba-tiba atau terputus
sama sekali tidak ada aliran (Gulati et al., 2021) . Infark miokard dengan
elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi
total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
7

revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan revaskularisasi


miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik
atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan
marka jantung (PERKI, 2018).

Sebagian besar sindrom koroner akut (SKA) merupakan manifestasi akut


dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini
berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus
yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus
yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun sebagian atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain
itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya
aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen
yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis atau yang sering disebut dengan infark miokard
(PERKI, 2018).

Sindrom koroner akut merupakan penyakit yang disebabkan adanya


sumbatan pada pembuluh darah di arteri koroner akibat ateroma yang
pecah atau lepas. Ateroma ini dapat terbentuk oleh berbagai faktor, dimana
faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu yang dapat dimodifikasi dan yang
tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu: merokok,
displipidemia, hipertensi dan diabetes, obesitas, stres dan sindrom
metabolik lainnya yang sering terlibat, dan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi yaitu usia, genetik, dan jenis kelamin. Terdapat peningkatan
8

prevalensi serangan jantung pada usia kurang dari 40 tahun sebanyak 2%


setiap tahunnya di Indonesia. Salah satu penyakit jantung yang mengalami
peningkatan pada usia muda adalah penyakit jantung koroner.
(Dai et al., 2016)
.

Faktor utama penyebab acute coronary syndrome yang dapat dimodifikasi


diantaranya adalah merokok, hipertensi, obesitas, dislipidemia, diabetes,
dan stres. Merokok dapat meningkatkan proses pembentukan trombosit,
sehingga meningkatkan pembentukan trombus di pembuluh darah
(Alzo’ubi et al., 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Goswami &
Manohar (2016) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara kejadian penyakit jantung koroner dengan merokok dan konsumsi
tembakau. Selain merokok. Upaya pengendalian faktor resiko Acute
Coronary Syndrome (ACS) yang dilakukan oleh pemerintah berupa
promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat melalui perilaku CERDIK, yaitu
Cek Kesehatan Berkala, Enyahkah asap rokok, Rajin aktivitas fisik, Diet
sehat seimbang, Istirahat yang cukup, dan Kelola stres. Selain itu, upaya
pengendalian acute coronary syndrome (ACS) dengan cara
mengengendalikan konsumsi rokok melalui kawasan tanpa rokok di
sekolah-sekolah. Hal ini sebagai upaya penurunan prevelensi perokok ≤ 18
tahun. Sedangkan untuk pengaturan makanan beresiko, diterbitkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang gula, garam dan lemak dalam
makanan yang dijual bebas (Kemenkes RI, 2019).

Faktor yang menyebabkan terjadinya sindrom koroner akut lainnya adalah


faktor yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya yakni, jenis kelamin,
genetik, ras dan usia. Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko dibandingkan
dengan perempuan. Akan tetapi kejadian serangan acute coronary
syndrome pada perempuan akan meningkat setelah terjadinya proses
menopause. Usia merupakan faktor penentuan penting pada pasien
sindrom koroner akut, pengaruh usia lanjut menyebabkan dua kali lipat
9

beresiko terkena sindrom koroner akut, karena terjadi perubahan fungsi


endotel vaskular dan trombogenesis. Menurut American Heart Assosiation
tahun 2017, acute coronary syndrome terjadi pada individu diatas 50
tahun. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa individu di bawah usia
50 tahun terserang acute coronary sindrom. Gaya hidup tidak sehat
menjadi penyebab paling umum dari penyakit jantung koroner di usia
muda (Kemenkes RI, 2022).

Dalam satu tahun terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Moch.
Ansari Banjarmasin didapati bahwa pasien yang terdiagnosis acute
coronary syndrome adalah pasien dengan usia yang relatif muda dan masih
produktif yaitu usia 30 tahun sampai dengan 49 tahun. Menurut AHA,
2017, acute coronary syndrome dialami oleh individu diatas usia 50 tahun.
Pasien-pasien ini sebagian besar tidak memiliki penyakit hipertensi dan
diabetes. Didapati bahwa pasien memiliki gaya hidup yang tidak sehat
terutama merokok. Tetapi ada beberapa pasien yang mereka tidak merokok
namun terserang acute coronary syndrome (Ricci et al., 2017).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD dr. H.


Moch. Ansari Saleh pada tanggal 8 – 23 Desember 2022 didapatkan 17
pasien dengan kasus sindrom koroner akut, 9 pasien dengan kasus STEMI,
5 pasien dengan kasus NSTEMI dan 3 pasien dengan kasus UAP. Dari
data diatas dapat dilihat bahwa terdapat tren peningkatan kasus sindrom
koroner akut, meskipun ada beberapa kasus yang mengalami penurunan
tetapi kasus sindrom koroner akut masih menjadi kasus yang
menyebabkan kematian tertinggi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
mengambil penelitian mengenai pasien dengan sindrom koroner akut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat
dirumuskan masalah penelitian ini yaitu bagaimana klasifikasi acute
10

coronary syndrome (ACS) pada pasien dengan penyakit jantung di RSUD


dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2023?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui klasifikasi acute coronary syndrome (ACS) pada pasien
dengan penyakit jantung di RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin tahun 2023.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi ST elevation miokard infark pada pasien
dengan penyakit jantung di RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin tahun 2023.
1.3.2.2 Mengidentifikasi non ST elevation miokard infark pada
pasien dengan penyakit jantung di RSUD dr. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2023.
1.3.2.3 Mengidentifikasi unstable angina pectoris pada pasien
dengan penyakit jantung di RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin tahun 2023.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Responden
Penelitian ini diharapkan informasi dan wawasan tentang pentingnya
deteksi dini dalam menghadapi serangan jantung di rumah, sehingga
dapat mengunjungi pelayanan kesehatan secara cepat
1.4.2 Bagi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Para klinisi dapat meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosis
acute coronary syndrome secara cepat dan tepat, sehingga
penatalaksaan awal dapat diberikan dan ketika serangan jantung
terjadi tidak memberikan efek yang bermakna setelah serangan
jantung.
11

1.4.3 Bagi Perawat Pelaksana


Penelitian ini diharapkan bisa meningkatkan kemampuan perawat
pelaksana di ruangan dalam memberikan tatalaksana klasifikasi
acute coronary syndrome.

1.4.4 Bagi Institusi Pendidikan


Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai data referensi pada
program studi keprawatan dan ilmu kesehatan Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin.
1.4.5 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penilitian ini dapat menjadi data untuk penelitian selanjutnya
dalam menganalisis kejadian acute coronary syndrome.

1.5 Penelitian Terkait


Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.5.1 (Halimuddin, 2016) “Klasifikasi Acute Coronary Syndrom dengan
nilai profil lipid di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh periode
Januari – Agustus 2016”. Tujuan penelitian untuk mengetahui
hubungan klasifikasi Acute Coronary Syndrome dengan dengan nilai
profil lipid di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Jenis
penelitian deskriptif dengan desain retrospectif study dengan teknik
pengumpulan data purpose sampling, didapatkan 220 responden
dengan alat ukur lembar isian dan tehnik observasi. Tidak ada
perbedaan klasifikasi sindrom koroner akut dengan nilai kolesterol
total (p value = 0.007). Tidak ada perbedaan klasifikasi sindrom
koroner akut dengan nilai LDL (p value = 0.328). Tidak ada
perbedaan klasifikasi sindrom koroner akut dengan nilai HDL (p
value = 0.312). Tidak ada perbedaan klasifikasi sindrom koroner
akut dengan nilai trigliserida (p value = 0.734).
12

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Halimuddin terletak pada


judul, variable, populasi, desain penelitian, dan tehnik pengambilan
sampel. Penelitian ini mengambil judul “Klasifikasi Acute Coronary
Syndrome” di RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada
tahun 2023. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien acute
coronary syndrome di RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin dengan menggunakan desain penelitian kuantitatif
dengan metode deskriptif dan pengambilan sampel dengan tehnik
accidental sampling. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2023 di
RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai