Anda di halaman 1dari 84

PROTOKOL PENANGANAN

PENYAKIT KARDIOVASKULAR
DI FKTP

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular


Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan RI
Tahun 2022
1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Sasaran
D. Ruang Lingkup
BAB II Penanganan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dan Faktor Risikonya
A. Penyakit Jantung dan Pembuluh darah
1. Penyakit Jantung Koroner
2. Stroke
3. Penyakit Pembuluh Darah Lainnya (Peripheral Artery Disease - PAD)
B. Faktor risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
1. Hipertensi
2. Dislipidemia
3. Diabetes Melitus
4. Obesitas
5. Penyakit Ginjal Kronis
6. Faktor Risiko Lainnya
BAB III Kegiatan Upaya Pengendalian Kardiovaskular
A. Deteksi Dini Faktor Risiko Kardiovaskular
B. Tata Laksana dan Tindak Lanjut
C. Rujuk dan Rujuk Balik

BAB IV Monitoring dan Evalusi

Penutup
Daftar Kepustakaan

2
KATA PENGANTAR

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular masih menjadi ancaman dunia (global threat) dan
merupakan penyakit yang berperan utama sebagai penyebab kematian nomor satu di
seluruh dunia dan juga Indonesia. Di Indonesia, kematian akibat penyakit
Kardiovaskular mencapai 651.481 penduduk per tahun, yang terdiri dari stroke 331.349
kematian, penyakit jantung koroner 245.343 kematian, penyakit jantung hipertensi
50.620 kematian, dan penyakit kardiovaskular lainnya (IHME, 2019).
Data Riskesdas 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 25,8%
tahun 2013 menjadi 34,1% di tahun 2018. Prevalensi stroke dari 7,0 per mil (tahun
2013) menjadi 10,9 per mil tahun 2018, begitu pula prevalensi penyakit jantung koroner
tetap berada pada 1,5%, dan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, naik dari 0,2%
(tahun 2013) menjadi 0,38% di tahun 2018.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 dan SDKI tahun 2017 terjadi kenaikan
pada prevalensi beberapa penyakit penyerta kardiovaskuler seperti obesitas sentral
(31%) dan diabetes mellitus (8,5%). Selaras dengan peningkatan prevalensi penyakit
peserta, terjadi peningkatan faktor risiko meliputi konsumsi makan-makanan asin (),
makan-makanan tinggi lemak (), kurang konsumsi sayur dan buah (95,5%), kurangnya
melakukan aktivitas fisik (33,5%), perokok aktif (29,3%), serta konsumsi alkohol
berlebihan (0,8%).
Biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit katastropik tahun 2020, penyakit
kardiovaskular menghabiskan hampir separuh dari total biaya, dimana penyakit
kardiovaskular Rp 8,2 Trilyun, penyakit Stroke Rp 2,13 Trilyun, dan penyakit gagal
ginjal sebesar Rp 1,92 Trilyun. (BPJS,2020)
Untuk meningkatkan pelayanan Kesehatan bagi masyarakat, Kementerian
Kesehatan RI melakukan integrasi dan revitalisasi pelayanan kesehatan primer.
Integrasi ini dimulai dari pelayanan di Puskesmas hingga pelayanan di tingkat desa.
Integrasi pelayanan primer yang berfokus pada pemenuhan layanan kesehatan sesuai
siklus hidup (people centred) dalam mendukung agenda transformasi sistem
kesehatan. 
Mendukung transformasi sistem kesehatan 2021 – 2024 dimana 6 (enam)
kategori utama pada upaya pencegahan dan pengendalian penyakit kardiovaskuler

4
yang dilakukan melalui 6 pilar transformasi kesehatan meliputi transformasi layanan
primer yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat melalui program promosi dan edukasi
penyakit kardiovaskuler, perluasan layanan skrining kesehatan bagi masyarakat untuk
mendeteksi faktor risiko terjadinya Penyakit kardiovaskuler. Transformasi layanan
sekunder dengan meningkatkan akses dan pemerataan layanan melalui peningkatan
kapasitas dan kapabilitas rumah sakit vertikal maupun RSUD di daerah, serta terus
menjaga mutu layanan yang ada melalui pengampuan jejaring RS mampu layanan
Jantung. Termasuk penguatan SDM Kesehatan untuk tenaga di RS dan layanan primer,
Transformasi pembiayaan kesehatan dengan melakukan review perbaikan dalam sistem
pembiayaan yang dapat mengakomodir layanan penyakit kardiovaskuler serta
pemanfaatan teknologi tepat guna yang mendukung efisiensi dan efektifitas layanan.
Untuk mendukung program Integrasi Layanan Primer (ILP) di FKTP maka
diperlukan protokol penanganan penyakit kardiovaskular secara komprehensif.

B. Tujuan
Tersedianya protokol penanganan penyakit jantung dan pembuluh darah serta faktor
risikonya dalam pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah di FKTP yang
mendukung program integrasi pelayanan kesehatan primer.

C. Sasaran
1. Pengelola program Penyakit Tidak Menular (PTM) dan lintas program terkait
pengendalian penyakit tidak menular di Dinas Kesehatan Provinsi/ Kota/ Kabupaten
2. Petugas kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama.

D. Ruang Lingkup
1. Protokol penanganan ini meliputi upaya promotif, preventif hingga rehabilitatif
termasuk upaya rujukan dan rujuk balik di FKTP
2. Penyakit jantung dan pembuluh darah yang dimaksud meliputi penyakit;
a. Penyakit Jantung dan Pembuluh darah
- Penyakit Jantung Koroner
- Stroke
- Penyakit Pembuluh Darah Lainnya (Peripheral Artery Disease - PAD)
b. Faktor risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
- Hipertensi
- Dislipidemia

5
- Diabetes Melitus
- Obesitas
- Penyakit ginjal kronis
- Faktor risiko Lainnya

6
BAB II
PENANGANAN PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
SERTA FAKTOR RISIKONYA

Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan istilah bagi serangkaian gangguan
yang menyerang jantung dan pembuluh darah, termasuk yang mengenai sistem organ
lainnya. Pada penyakit jantung dan pembuluh darah, populasi berisiko merupakan kelompok
orang yang memiliki faktor-faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah yakni
Hipertensi, Dislipidemia, Diabetes Melitus, Obesitas, Penyakit Ginjal Kronis dan Faktor risiko
Lainnya.

A. Penyakit Jantung dan Pembuluh darah


1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner atau sering disebut penyakit jantung iskemik merupakan
bagian dari penyakit kronis karena proses terjadinya secara terus menerus dan
berlangsung dalam waktu yang lama.

Sirkulasi koroner meliputi arteri-arteri koroner, sirkulasi mikro dan vena-vana


koroner yang berfungsi mensuplai oksigen dan nutrisi bagi otot jantung
(myocardium) dan membawa karbondioksida serta produk-produk sisanya.
Sehingga bila terjadi penyempitan pada pembuluh darah koroner dapat
mengganggu sirkulasi koroner yang berakibat pada morbiditas dan mortalitas

a. Definisi
Penyakit jantung koroner adalah penyempitan atau penyumbatan pada
pembuluh darah arteri koroner yang mensuplai oksigen ke jantung. Sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen yang
diperlukan untuk kontrakasi otot jantung.

Penyakit jantung koroner meliputi angina pektoris stabil dan sindroma koroner
akut. Sindroma koroner akut dibagi menjadi 3 bagian yaitu ST-segment
Elevation Myocard Infarct (STEMI), Non ST-segment Elevation Myocard Infarct
(NSTEMI) dan Angina tidak stabil. Klasifikasi ini untuk diperlukan dalam
memberikan intervensi yang lebih tepat dan akurat.

7
b. Diagnosa
PJK dapat dimanifestasikan dengan keluhan nyeri dada yang khas, meskipun
tidak semua gejala nyeri dada adalah sebagai tanda serangan jantung.
Masalah-masalah lain yang mempengaruhi otot atau tulang sekitar dada,
adanya peradangan pada otot jantung atau peradangan paru juga sering
menimbulkan nyeri dada. Adanya manifestasi nyeri dada harus diikuti dengan
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) untuk memastikan adanya perubahan
irama jantung yang bermakna sebagai tanda adanya iskemia. Pemeriksaan
EKG dilakukan pada saat istirahat dan dengan latihan (exercise), pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan adanya kenaikan enzim jantung, ekokardiografi
dilakukan untuk melihat gambaran struktur di dalam jantung dan fungsi-
fungsinya.

Tahapan untuk mendiagnosis secara khusus PJK dilakukan sebagai berikut:


1) Menentukan faktor risiko yang dimiliki
2) Mengukur tekanan darah
3) Pemeriksaan fisik
4) Pemeriksaan terhadap gangguan metabolik

c. Tatalaksana Awal
Tatalaksana PJK di Puskesmas/FKTP merujuk kepada Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan sesuai dengan tingkat kompetensi dokter.
Kegiatan yang dapat dilakukan di Puskesmas/FKTP dalam upaya pencegahan
dan pengendalian PJK adalah melalui skrining. Skrining PJK tidak disarankan
secara rutin kepada orang dewasa tanpa gejala dan berisiko rendah dan hanya
boleh disarankan atas dasar kasus per kasus kepada pasien tanpa gejala yang
berisiko lebih tinggi. Hal ini harus sesuai dengan penilaian kita bahwa
manfaatnya untuk masing-masing pasien lebih besar daripada potensi
bahayanya.

8
Pada individu yang mengalami diabetes mellitus sebaiknya disarankan untuk
skrining PJK, sehingga dapat membantu menurunkan risiko komplikasi
kardiovaskular lebih lanjut. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada skrining ini
adalah:
1) Pasien diabetes mana yang berisiko tinggi terhadap kejadian
kardiovaskular
2) Apa implikasi dari diagnosis dini iskemia koroner atau aterosklerosis?
3) Pemeriksaan apa yang harus dipertimbangkan? Seberapa sering
pemeriksaan tersebut harus dilakukan?
4) Apa tindakan lanjut yang diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas skrining
tersebut?

Bagi para pasien PJK perlu mendapatkan perhatian yang berfokus pada
persepsi pasien terhadap status kesehatannya bukan pada penyakitnya, karena
penyakit itu adalah fokus bagi dokter sebagai klinisi.

Gambar 4.2
Status Kesehatan pada Penyakit Jantung Koroner

Sumber: Beltrame, JF, et.all., Epidemiology of Coronary Artery Disease

Upaya pencegahan dan pengendalian PJK pada fasilitas kesehatan tingkat


pertama berfokus pada:
1) pencegahan primer untuk mencegah penyakit dengan mengatasi faktor
risiko utama yang dapat dimodifikasi, termasuk penggunaan tembakau,
hipertensi, kolesterol darah tinggi dan diabetes, menggunakan pendekatan
risiko kardiovaskular.

9
2) pencegahan sekunder untuk mencegah kejadian berulang pada orang
dengan riwayat PJK
3) deteksi dini manifestasi akut PJK (serangan jantung akut dan stroke),
dengan rujukan cepat ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut.

Dalam manajemen PJK yang terintegrasi diperlukan suatu pendekatan berbasis


protokol untuk menyederhanakan, menstandarisasi dan mendukung
peningkatan manajemen tersebut melalui:
- Pengobatan yang disederhanakan dengan protokol standar untuk
pencegahan primer, sekunder dan rujukan yang sesuai, menggunakan
serangkaian obat-obatan dan teknologi dasar;
- Peningkatan pengiriman layanan melalui pembagian tugas dan
pemantauan klinis yang kuat.

Dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit jantung dan


pembuluh darah, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular Kementerian Kesehatan telah melaksanakan berbagai pelatihan
diantaranya Pelayanan Terpadu Penyakit Tidak Menular (PANDU PTM) di
FKTP. Di dalamnya termasuk menggunakan tools/instrument yang
mengadopsi dari WHO yaitu carta prediksi risiko PJPD dalam 10 tahun
yang akan datang. Dalam tools tersebut ada 6 variabel yang digunakan
untuk melakukan prediksi kejadian penyakit kardiovaskular yaitu umur,
jenis kelamin, status diabetes, status merokok, tekanan darah sistolik dan
kolesterol total. Bila hasil pemeriksaan kolesterol total tidak tersedia maka
menggunakan nilai kolesterol total rata-rata di populasi.

d. Tahap Stabilisasi Pasien


Pada Umumnya gejala Penyakit jantung coroner ditandai dengan keluhan yang
sangat khas, yaitu nyeri dada, rasa tidak nyaman di atau seperti ada beban
pada rongga dada. Hal ini terkait adanya penyempitan pembuluh darah coroner
dan kebutuhan oksigen pada otot jantung yang meningkat. Oleh sebab itu
proses awal dalam melakukan stabilisasi pasien penyakit jantung coroner
adalah mengatasi penyebabnya tersebut dan sesegera mungkin dirujuk ke
FKRTL terdekat.

10
Langkah stabilisasi pada kasus serangan penyakit jantung coroner adalah
sebagai berikut:
1. Dugaan kuat adanya penyakit jantung coroner yaitu nyeri dada khas
angina, saat istirahat, >20 menit, disertai gejala simpatis seperti
keringat dingin
2. Periksa tanda vital
3. Periksa EKG ( jika tersedia)
4. lakukan oksigenisasi sebanyak 2 l/perjam
5. Lakukan pemasangan jalur infus cairan larutan krstaloid, seprti NaCl
0,9%, Ringer Laktat atau Dextrose 5%)
6. Berikan antiplatelet dan nitrat tablet sublingual
7. Rujuk ke FKRTL terdekat,
Dampingi oleh tenaga kesehatan jika perdatapa kelainan tanda vital

2. Stroke
Stroke merupakan penyakit jantung dan pembuluh darah yang perlu mendapatkan
perhatian serius. Karena kematian pada batang otak yang irreversible disebut juga
sebagai kematian sosial. Manusia sebagai makhluk sosial tentu saja memerlukan
otak untuk proses berfikir dan memahami segala informasi yang masuk. Stroke juga
menyebabkan disabilitas yang berkepanjangan sehingga memerlukan bantuan dari
orang-orang yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

a. Definisi
Stroke adalah penyakit pembuluh darah otak. Definisi stroke menurut WHO
adalah suatu keadaan dimana ditemukan tanda-tanda klinis yang berkembang
cepat berupa defisit neurologi fokal atau global, yang dapat memberat dan
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan atau dapat menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke merupakan
penyakit otak, yang ditempatkan dalam bab penyakit sistem saraf. Hal ini
menggambarkan fakta bahwa semua manifestasi penyakit serebrovaskuler
berhubungan dengan disfungsi otak dan stroke menjadi penyebab kedua
disabilitas. Klasifikasi stroke ada 2 tipe utama, yaitu: stroke iskemik dan stroke
perdarahan

11
1) Stroke Iskemik, adalah jenis stroke yang paling sering terjadi. Terganggunya
sel neuron dan glia karena kekurangan darah akibat sumbatan arteri yang
menuju otak atau perfusi otak yang tidak adekuat. Sumbatan dapat
disebabkan oleh 3 keadaan yaitu:
a) Trombosis dengan gambaran defisit neurologis dapat memberat dalam
24 jam pertama atau lebih.
b) Emboli dengan gambaran defisit neurologis pertama kali muncul
langsung sangat berat, biasanya serangan timbul saat beraktivitas.
c) Gangguan perfusi secara mendadak, misalnya pada kondisi serangan
jantung (heart attack).
2) Stroke perdarahan, terjadi perdarahan intrakranial akibat pecahnya
pembuluh darah otak, baik pembuluh darah intraparenkimal (perdarahan
serebral) maupun pembuluh darah di subarachnoid (perdarahan
subarachnoid).
Transient ischaemic attack (TIA) atau serangan stroke sepintas terjadi
apabila pembuluh darah yang menuju ke otak tersumbat sesaat, sehingga
aliran darah ke otak akan melambat atau berhenti, mengakibatkan gejala
gangguan fungsi otak sesaat, umumnya terjadi kurang dari 2 jam (walaupun
perdefinisi kurang dari per 24 jam) dan kemudian pasien kembali normal. TIA
mempunyai gejala yang sama dengan stroke.

b. Diagnosa
Diagnosis stroke ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berikut ini beberapa progresifitas stroke dengan
manifestasi klinisnya:
1) TIA (Transient Ischaemic Attack)
Serangan stroke sementara yang berlangsung 15 menit dan dapat
berlangsung sampai 24 jam.
2) RIND (Reversible Ischaemic Neurologic Defisit)
Gejala neurologis akan menghilang antara lebih dari 24 jam sampai
dengan 12 hari.
3) SIE (Stroke in Evolution)
Kelainan atau defisit neurologik yang berlangsung secara bertahap dari
ringan sampai berat.
4) CS (Completed Stroke)

12
Kelainan neurologik yang sudah menetap.

Anamnesis dapat juga dilakukan menggunakan skala anamnesa CPSS


(Cincinnati Prehospital Stroke Scale):

Tabel 4.6
Cincinnati Prehospital Stroke Scale

CPSS (Cincinnati Prehospital Stroke Scale)

Gejala dan tanda Ya Tidak

● Kelemahan lengan

● Asimetri wajah

● Gangguan bicara

Saat serangan Ya Tidak

● Istirahat

● Aktivitas

Progresifitas
Onset
Menghilang Menetap Memberat

Kurang dari 24 jam

24 jam – 72 jam

Lebih dari 72 jam

Interpretasi skala CPSS


Jika ditemukan 1 dari 3 tanda / gejala tersebut diatas ab-normal maka kemungkinan terjadi stroke
72%.
Menentukan jenis stroke hemoragik atau non hemoragik dengan menggunakan sistem skor
SIRIRAJ

13
Tabel
SIRIRAJ

2,5 x kesadaran (...) + 2 x muntah (...) + 2 x nyeri kepala (...)


+ 0,1 x diastolik (...) – 3 x ateroma (...) – 12 = Total

Keterangan

Derajat kesadaran: Muntah:

● Kompos mentis = 0 Tidak ada = 0

● Somnolen = 1 Ada = 1

● Sopor/Koma = 2

Sakit kepala: Tanda ateroma (angina pektoris, DM,


klaudikasio intermittens):

● Tidak = 0 Tidak ada = 0

● Ada = 1 Ada salah satu atau = 1


lebih

Interpretasi:

Bila skor: Nilai antara -1 sampai +1 tidak dapat


>+1 berarti stroke perdarahan ditentukan (dipastikan lebih lanjut dengan CT
<-1 berarti stroke iskemik Scan)

Untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang mudah dimengerti oleh
masyarakat maka dibuatlah slogan “SeGeRa Ke RS”, yang mengandung
makna sebagai berikut:
1) Senyum tidak simetris (mencong ke satu sisi), tersedak, sulit menelan air
minum secara tiba-tiba
2) Gerak separuh anggota tubuh melemah tiba-tiba,

14
3) BicaRa pelo atau tiba-tiba tidak dapat bicara atau tidak mengerti kata-
kata/bicara tidak nyambung,
4) Kebas atau baal, atau kesemutan separuh tubuh
5) Rabun, pandangan satu mata kabur terjadi tiba-tiba,
6) Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba dan tidak pernah dirasakan
sebelumnya. Gangguan fungsi keseimbangan, seperti terasa berputar,
gerakan sulit dikoordinasi (tremor/gemetar, sempoyongan)

c. Tatalaksana Awal
Tatalaksana stroke di Puskesmas/FKTP merujuk kepada Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Stroke dan sesuai dengan tingkat
kompetensi dokter. Upaya yang dilakukan oleh petugas Puskesmas agar dapat
mencegah kejadian stroke di masyarakat, maka perlu:
1) Memahami faktor risiko yang terkait dengan kejadian stroke dan
kontribusinya sebagai faktor penyebab
2) Mengetahui sejauh mana kontribusi faktor-faktor penyebab individu dan
setiap interaksi yang mungkin ada
3) Memahami berbagai isu yang ada di tingkat individu dan populasi

Untuk mengurangi beban penyakit akibat stroke maka perlu upaya pencegahan
primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer adalah tindakan untuk
menghindari perkembangan penyakit stroke. Sebagian besar berupa kegiatan
promosi kesehatan berbasis populasi yang merupakan tindakan pencegahan
utama. Pencegahan sekunder dengan melakukan identifikasi terhadap pasien
yang berisiko tinggi mengalami stroke, dan tindak lanjut untuk mengurangi
faktor risiko terkait untuk mencegah terjadinya stroke di kemudian hari.
Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi risiko kekambuhan pada
pasien yang sudah mengalami stroke atau TIA, hal ini sama pentingnya karena
risiko yang berkelanjutan.

Table 4.8
Model FRAMES untuk Mendukung Perubahan Perilaku pada Pasien Stroke

Feedback Individu menerima informasi tentang status terkini


15
Responsibilit
Individu bertanggung jawab atas perubahan
y

Individu menerima saran yang akan membantu dalam


Advice
proses perubahan

Individu menerima sejumlah strategi alternatif untuk


Menu
memodifikasi perilaku yang menjadi masalah mereka

Individu menerima dukungan dan penghormatan/


Empathy
penghargaan

Self Efficacy Individu mengembangkan sikap “dapat melakukan”

Sumber: Higgins, J, Abbott, H, Public Health Aspects of Stroke, Public Health Module, Health Knowledge,
London Teaching Public Health Network, LTPHN/JH/HB©2010

Untuk mengurangi risiko atau gangguan penurunan fungsi kognisi pada individu
maka perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan instrumen MoCA-Ina sebagai
berikut:

16
d. Tahap Stabilisasi Pasien

3. Penyakit Pembuluh Darah Lainnya (Peripheral Artery Disease - PAD)


Sebagai bagian dari upaya prevensi primer, stratifikasi risiko dan landasan untuk
tata laksana sangat penting dibuat dengan tujuan untuk mendeteksi dini faktor risiko
setiap individu. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu panduan dalam menghitung skor
untuk mengestimasi risiko penyakit kardiovaskular pada masa yang akan
datang.

Faktor Risiko Tradisional


Penyebab utamadan faktor risiko tradisional PKVA yang dapat dimodifikasi antara
lain kolesterol LDL (LDL-C atau low-density lipoprotein cholesterol), tekanan darah
tinggi/hipertensi, merokok, dan diabetes melitus (DM). Faktor risiko penting
lainnya adalah adipositas (kelebihan timbunan lemak pada tubuh) yang akan
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular melalui peran faktor risiko tradisional

1
utama dan mekanisme lainnya.

17
Dalam patofisiologi terjadinya PKVA, peran kolesterol LDL, dan lipoprotein lain
yang mengandung apolipoprotein-B (apo-B) sebagai penyebab PKVA telah
terbukti dalam penelitian genetik, observasional, dan interventif. Alasan kolesterol

2
LDL merupakan faktor risiko PKVA ialah sebagai berikut.

- Berdasarkan banyak penelitian dan hasil uji acak dengan kontrol,


rendahnya kadar kolesterol LDL untuk waktu yang panjang dikaitkan
dengan risiko PKVA yang lebih rendah. Selain itu, penurunan kolesterol LDL
juga terbukti aman dalam menurunkan risiko PKVA, bahkan pada tingkat
kolesterol LDL yang sangat rendah (misalnya <55 mg/dL).
- Penurunan risiko relatif PKVA sebanding dengan penurunan absolut dari
kadar kolesterol LDL, terlepas dari obat apa yang digunakan untuk mencapai
perubahan tersebut.
- Manfaat absolut dari penurunan kolesterol LDL dipengaruhi oleh risiko
absolut PKVA dan penurunan absolut kadar kolesterol LDL.
- Kolesterol non-high-density lipoprotein (kolesterol non-HDL) mencakup
semua lipoprotein aterogenik (mengandung apo-B). Kolesterol non-HDL
didapatkan dari penghitungan kolesterol total dikurangi dengan kolesterol
HDL. Hubungan antara kolesterol non-HDL dengan risiko kardiovaskular
sama kuat jika dibandingkan dengan kolesterol LDL.

Faktor Risk Modifier yang Potensial


Selain faktor risiko PKVA konvensional, terdapat beberapa faktor risiko lain
yang dapat memengaruhi luaran prediksi risiko. Faktor risiko demikian dikenal
sebagai risk modifier. Menurut ESC,3 syarat risk modifier dapat
dipertimbangkan apabila memperbaiki ukuran prediksi risiko, seperti
mempunyai nilai diskriminasi atau reklasifikasi (misalnya dengan perhitungan
net reclassification index);
- memiliki dampak yang jelas pada kesehatan masyarakat (misalnya
manfaatnya pada skrining PKVA);
- mempunyai kemungkinan untuk dapat dikerjakan (feasible) dalam praktik
sehari-hari;
- mengandung informasi mengenai perubahan luaran risiko yang
dipengaruhi keberadaan risk modifier; dan

18
- memiliki literatur tentang risk modifier yang tidak terdistorsi oleh bias
publikasi.

Berdasarkan syarat-syarat di atas, berikut beberapa risk modifier yang perlu


dipertimbangkan dalam prediksi risiko kardiovaskular.

Menghitung Skor Risiko PKVA


Selain dapat digunakan untuk memprediksi angka mortalitas dan morbiditas
penyakit kardiovaskular di kemudian hari pada tingkat individu atau populasi
tertentu, estimasi risiko penyakit kardiovaskular berguna untuk memberi
informasi kepada pembuat kebijakan dan otoritas kesehatan yang berwenang
untuk mengendalikan risiko ini. Selain itu, estimasi risiko dapat menginspirasi
individu untuk mengubah gaya hidup dan perilaku kesehatannya.

B. Faktor risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah


1. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu sindrom jantung dan pembuluh darah yang progresif,
timbul dari etiologi yang kompleks dan saling terkait. Pada awalnya ditandai dengan
munculnya kenaikan tekanan darah secara terus menerus. Perkembangan
selanjutnya sangat terkait dengan struktur dan fungsi jantung dan kelainan pada
pembuluh darahnya, selanjutnya dapat merusak organ jantung, ginjal, otak,
pembuluh darah itu sendiri dan organ-organ lain yang mengarah kepada morbiditas
dan kematian dini.
a. Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik
≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Joint National Committee
on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII/ JNC-
VII, 2003).
Dalam PNPK Tatalaksana Hipertensi Dewasa sesuai KMK No. HK.01.07-
MENKES-4634, klasifikasi Hipertensi sebagai berikut:

Tabel 2
Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi TD sistolik TD diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 dan <80
19
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi derajat 140-159 dan/atau 90-99
1
Hipertensi derajat 160-179 dan/atau 100-109
2
Hipertensi derajat ≥180 dan/atau ≥110
3
Hipertensi sistolik ≥140 dan <90
terisolasi
Sumber: Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti RE, Azizi M, Burnier M, et al; ESC Scientific Document
Group. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. Eur Heart J. 2018;39:3021-
104.

b. Diagnosis
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada
pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Prognosis penderita hipertensi
bukan hanya ditentukan oleh derajat hipertensi, tetapi juga ada tidaknya faktor risiko
kardiovaskular lainnya, kerusakan organ target, atau penyakit penyerta, sebagai berikut
1) Faktor risiko kardiovaskular, yaitu tingginya tekanan darah sistolik dan
diastolik, umur (Laki-laki usia >55 tahun) dan (Perempuan usia >65 tahun,
perokok, obesitas, dislipidemia dengan nilai kolesterol LDL >3.36 mmol/L
(>130 mg/dL) dan/ atau kolesterol HDL <1.0 mmol/L (<40 mg/dl), diabetes
melitus, riwayat keluarga penyakit kardiovaskular prematur dan C-reactive
protein (CRP) > 1 mg/dL;
2) Kerusakan organ target, seperti Hipertrofi ventrikel kiri (EKG,
ekokardiografi , atau foto toraks dada), Proteinuria atau peningkatan kadar
kreatinin plasma: laki-laki > 115–133 μmol/l (>1.34–1.6 mg/dL), perempuan
>107–124 μmol/l (>1.25–1.45 mg/dL), Pemeriksaan ultrasonografi atau
radiologi terbukti adanya plak aterosklerosis (di aorta, arteri karotis, arteri
iliaka, atau arteri femoral), dan Penyempitan arteri retina lokal atau
merata/luas
3) Penyakit Penyerta, yaitu penyakit serebrovaskular: stroke iskemik,
perdarahan serebral, atau TIA, penyakit jantung : infark miokard, angina,
revaskularisasi koroner, atau gagal jantung kongestif, penyakit ginjal:
nefropatik diabetika atau gagal ginjal - kreatinin: laki-laki >133 μmol/l (1.6
mg/dL), perempuan >124 μmol/l (1.45 mg/dL), penyakit pembuluh darah
20
perifer: diseksi aneurisma atau penyakit arteri yang simptomatis, Retinopati
akibat hipertensi lanjut pendarahan, eksudat atau papilledema.
Selain faktor- faktor tersebut diatas, obat-obatan yang diberikan, kondisi
pribadi pasien dan situasi sosial ekonomi pasien juga ikut berpengaruh.

c. Komplikasi
Pada pasien hipertensi usia ≥ 40 tahun dilakukan pemeriksaan deteksi dini komplikasi
pada organ target untuk melihat kemungkinan komplikasi penyakit jantung, stroke dan
kelainan ginjal

Tabel 3
Pemeriksaan Laboratorium Dasar dan Pilihan (Optional)

Pemeriksaan Laboratorium Indikasi dan Interpretasi


Gula darah puasa
Hitung darah lengkap
Profil lipid
Serum kreatinin dengan eGFR
Serum Na, K, Ca
TSH (thyroid stimulating hormone)
Urinalysis (albuminuria urin kreatinin)
EKG
Ekokardiogram
Asam urat
Rasio albumin urin dengan kreatinin
Mata dengan funduskopi
Sumber: 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure
in Adults, Guidelines Made Simple, American College of Cardiology

Namun apabila belum tersedia, penderita dirujuk ke fasilitas pelayanan


kesehatan lainnya yang mampu melaksanakan pemeriksaan tersebut. Rujukan
dilakukan oleh dokter/tenaga medis yang kompeten di pelayanan kesehatan
primer, bilamana target tekanan darah tidak tercapai dengan terapi yang
diberikan, ada penyakit penyerta atau ada kerusakan organ target (sesuai
algoritma). Yang penting adalah mempersiapkan penderita untuk rujukan

21
tersebut, sehingga tidak menimbulkan persepsi yang salah terhadap hasil
pengobatan yang sudah dijalani.

Pada kasus hipertensi dengan komplikasi perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi


untuk mengoptimalkan fungsi sistem organ yang terganggu akibat hipertensi.
Tindakan ini dapat dilakukan di masyarakat melalui upaya monitoring tekanan
darah secara rutin di Posyandu event atau di rumah atau melalui kegiatan
kunjungan rumah. Upaya ini sebagai tindakan pencegahan sekunder sehingga
penderita tidak mengalami kerusakan organ lebih luas atau berulang.

d. Tata Laksana
1) Tata Laksana Faktor Risiko
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan
hipertensi dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular, antara lain:

No Pembatasan Rekomendasi Porsi ART Penurunan TD


(mmHg)

1 Natrium Tidak lebih dari 2 ● garam dapur 2-8 mmHg


gram/hari (setara dengan (NaCl),
5˗6 gram NaCl perhari ● Penyedap rasa
atau <1 sendok teh (MSG),
garam dapur/ setara makanan yang
dengan 3 sendok teh diawetkan
MSG).

2 Pola Makan Konsumsi diet seimbang Komposisi nutrisi 8-14 mmHg


(Diet Dietary yang mengandung DASH:
Approaches sayuran, berbagai ● Karbohidrat
To Stop macam variasi kacang, (55%)
Hypertension buah segar, produk susu ● Lemak (27%)
(DASH), rendah lemak, gandum ● Protein (18%)
Therapeutic utuh (whole wheat), beras ● Lemak jenuh
Lifestyle yang tidak di sosoh (6%)
Changes berlebihan (highly ● Kolesterol (150
(TLC), diet refined), ikan laut, dan mg)
mediterrania asam lemak tak jenuh ● Serat (30 gr)
dll) (minyak zaitun, dan ● Natrium

22
minyak ikan), serta (<2300 mg)
membatasi asupan ● Kalium (4700
daging merah dan asam mg)
lemak jenuh ● Kalsium (1250
mg)
● Magnesium

3 Berat Badan Melakukan pencegahan IMT 18,5 - 22,9 5-20 mmHg/


obesitas (IMT >25 kg/m2), kg/m2
penurunan 10 kg
dengan target berat
badan ideal (IMT 18,5 –
22,9 kg/m2), serta lingkar
pinggang <90 cm pada
laki-laki dan <80 cm pada
perempuan.

4 Merokok Melakukan konseling Berhenti merokok


berhenti merokok,
melakukan inisiatif,
menggunakan permen
yang mengandung nikotin,
mengikuti kelompok
program

5 Latihan fisik Berolahraga seperti Olah raga teratur Dapat


dan olahraga senam aerobik atau jalan 30-45 menit (3 menurunkan TDS
rutin cepat selama 30-45 menit km)/hari - 5 kali 4 mmHG dan
(sejauh 3 kilometer) lima per-minggu TDD 2,5 mmHG
kali per-minggu

6 Alkohol Batasi konsumsi alkohol Laki-laki : 2 unit 2-4 mmHg


untuk laki-laki maksimal 2 minuman/hari
unit per hari dan Perempuan : 1 unit
perempuan yang 1 unit minuman/hari
per hari, jangan lebih dari
5 hari minum per minggu

23
2) Tata Laksana dengan Pengobatan
a) Tatalaksana berdasarkan klasifikasi hipertensi JNC VII 2003

Modifikasi Pola Hidup

Target TD belum tercapai (<140/90 mmHg/<130/90 mmHg bagi


pasien DM/penyakit ginjal kronis)

Obat Pilihan Awal

Dengan
Tanpa Indikasi Khusus
Indikasi Khusus

DERAJAT I
DERAJAT II Obat Untuk Indikasi Khusus
(TDS 14–159/TDD 90-99 mmHg)
(TDS>160/TDD ≥100 mmHg) Berikan : Obat anti-hipertensi
Berikan: Diuretik tipe Thiazide
Berikan: kombinasi 2 obat lainnya (diuretik, ACEI, ARB, BB,
Pertimbangkan ACEi, ARB, BB,
(tipe Thiazide + ACEi/ARB/BB/CCB) CCB) sesuai kebutuhan
CCB atau kombinasi

Target Tekanan Darah Belum Tercapai

Optimalkan dosis/tambahkan obat sampai target TD tercapai. Pertimbangkan konsul ke


Spesialis/Rumah Sakit

b) Tatalaksana berdasarkan PNPK hipertensi dewasa

24
3) Jenis-jenis obat antihipertensi

No Jenis Obat Dosis (Efikasi) Mekanisme

Modern Medicine

1. Diuretik 1x / hari Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan


Contoh: mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing),
sehingga volume cairan tubuh berkurang,
tekanan darah turun dan beban jantung lebih
ringan

2. β-blockers 1-2 x / hari Mekanisme obat ini yakni melalui penurunan laju
nadi dan daya pompa jantung. Obat golongan β-
blockers dapat menurunkan mortalitas dan
morbiditas pasien hipertensi lanjut usia,
menurunkan risiko penyakit jantung koroner,
prevensi terhadap serangan infark miokard
ulangan dan gagal jantung

3. Golongan 1-2 x / hari Penghambat Angiotensin Converting Enzyme


Penghambat (ACE inhibitor/ ACEI) menghambat kerja ACE
Angiotensin II sehingga perubahan angiotensin I menjadi
(ACEI and ARB) angiotensin II (vasokonstriktor) terganggu.
Sedangkan Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
menghalangi
ikatan zat angiotensin II pada reseptornya. Baik
ACEI maupun
ARB mempunyai efek vasodilatasi, sehingga
meringankan beban jantung

4. Golongan Calcium 1-2 x / hari Calcium channel blocker (CCB) menghambat


Channel Blockers masuknya kalsium ke dalam sel pembuluh darah
(CCB) arteri, sehingga menyebabkan dilatasi arteri

25
koroner dan juga arteri perifer

5. Golongan Digunakan untuk usia lanjut


Antihipertensi Lain

Traditional Medicine

1. Ramuan Jamu ● Satu formula


Saintifik Anti ramuan direbus
hipertensi dengan 5 gelas
(200 cc) air
sampai
mendidih
● 3 gelas
diminum pagi,
siang dan sore,
satu kemasan
untuk satu hari,
hari berikutnya
merebus
kemasan yang
baru.
● Ramuan Jamu
diminum secara
terus menerus
selama delapan
minggu

2. Dislipidemia
Masalah Kesehatan
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
maupun penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa kelainan fraksi lipid yang
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan atau trigliserida,
serta penurunan kolesterol HDL. Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya
aterosklerosis sehingga dapat menyebabkan stroke, Penyakit Jantung Koroner
(PJK), Peripheral Arterial Disease (PAD), Sindroma Koroner Akut (SKA).

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pada umumnya dislipidemia tidak bergejala dan biasanya ditemukan pada saat
pasien melakukan pemeriksaan rutin kesehatan (medical check-up).

26
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan tanda-tanda vital
2) Pemeriksaaan antropometri (lingkar perut dan IMT/Indeks Massa Tubuh). Cara
pengukuran IMT(kg/m2)= BB(kg)/TB2(m)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan:
1) Kadar kolesterol total
2) Kolesterol LDL
3) Kolesterol HDL
4) Trigliserida plasma

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

27
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan dalam dislipidemia dimulai dengan melakukan penilaian
jumlah faktor risiko penyakit jantung koroner pada pasien untuk menentukan
kolesterol LDL yang harus dicapai.
Berikut ini adalah tabel faktor risiko (selain kolesterol LDL) yang menentukan
sasaran olesterol LDL yang ingin dicapai berdasarkan NCEP-ATP III:

Tabel 12.4 Faktor risiko utama (selain kolesterol LDL) yang menentukan
sasaran kolesterol LDL

Perokok sigaret
Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi)
Kolesterol HDL rendah ( <40 mg/dl). Jika didapatkan kolesterol HDL ≥60mg/dl
maka mengurangi satu faktor risiko dari jumlah total
Riwayat keluarga PJK dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun
Umur pria ≥ 45 tahun dan wanita ≥ 55 tahun.

2) Setelah menemukan banyaknya faktor risiko pada seorang pasien, maka


pasien
dibagi kedalam tiga kelompok risiko penyakit arteri koroner yaitu risiko tinggi,
risiko sedang dan risiko tinggi. Hal ini digambarkan pada tabel berikut ini:

Tabel 12.5 Tiga kategori risiko yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang
ingin dicapai berdasarkan NCEP (Sudoyo, 2006)

Kategori Risiko Sasaran Kolesterol LDL (mg/dl)


1. Risiko Tinggi <100
a. Mempunyai Riwayat PJK dan
b. Mereka yang mempunyai risiko

28
yang disamakan dengan PJK
- Diabetes Melitus
- Bentuk lain penyakit
aterosklerotik yaitu stroke,
penyakit arteri perifer,
aneurisma aorta abdominalis
- Faktor risiko multipel (> 2
faktor risiko) yang
mempunyai risiko PJK dalam
waktu 10 tahun > 20 %
(lihat skor risiko
Framingham) <130
2. Risiko Multipel (≥2 faktor risiko) dengan
risiko PJK dalam kurun waktu 10 tahun <
20% <160
3. Risiko Rendah (0-1 faktor risiko)
dengan risiko PJK dalam kurun waktu
10 tahun < 10 %

3) Selanjutnya penatalaksanaan pada pasien ditentukan berdasarkan kategori


risiko pada tabel diatas. Berikut ini adalah bagan penatalaksanaan untuk
masingmasing kategori risiko:

4) Terapi non farmakologis


a) Terapi nutrisi medis
Pasien dengan kadar kolesterol LDL tinggi dianjurkan untuk mengurangi
asupan lemak total dan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tak
jenuh rantai tunggal dan ganda. Pada pasien dengan trigliserida tinggi
perlu dikurangi asupan karbohidrat, alkohol, dan lemak
b) Aktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai kondisi dan
kemampuannya.

5) Tata laksana farmakologis

29
Terapi farmakologis dilakukan setelah 6 minggu terapi non farmakologis.

Jenis Obat Kolesterol Kolesterol Trigliserida


LDL HDL
Statin ↓ 7 – 30 %
↓ 18 – 55 % ↑ 5- 15 %
Resin ↓ 15 – 30 % ↑ 3- 5 % -

Fibrat ↓ 5 – 25 % ↑ 10 - 20 % ↓ 20 – 50 %

Asam Nikotinat ↓ 5 – 25 % ↑ 15- 35 % ↓ 20 – 50 %

Ezetimibe ↓ 17 – 18 % ↑ 3- 4 % -

Tabel 12.7
Obat Hipolopidemik

Jenis Obat Dosis Efek Samping


Resin
4 – 16 gram/hari Konstipasi, gangguan
Kolestiramin
Kolestipol 5 – 20 gram/hari absorbs obat lain
Golongan Asam Lepas cepat 1,5-3 Flushing,
Nikotinat
Asam Nikotinat
gram/hari hiperglikemia,
Lepas lambat 1-2 hiperuricemia,
gram/hari hepatotoksik,
gangguan saluran
cerna
Golongan Statin 20 – 80 mg malam hari Miopati, Peningkatan
Fluvastatin
Lovastatin 5 – 40 mg malam hari SGOT/SGPT,
Pravastatin 5 – 40 mg malam hari Rhabdomiolosis
Simvastatin 5 – 40 mg malam hari
Atorvastatin 10 – 80 mg malam hari
Rosuvastatin 10 – 40 mg malam hari
Pitavastatin 1 – 4 mg malam hari
Golongan Asam Fibrat 145,160 mg 1x/hari Dispepsia, miopati
Fenofibrat
Gemfibrozil 600 mg 2x/hari Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati
30
Penghambat Absorbsi 900 mg 1x/hari dan ginjal berat
Kolesterol
Ezetimibe 10 mg 1x/ hari Dispepsia, sakit kepala
dan punggung

6) Konseling dan Edukasi


a) Perlu adanya motivasi dari pasien dan keluarga untuk mengatur diet pasien
dan aktivitas fisik yang sangat membantu keberhasilan terapi.
b) Pasien harus kontrol teratur untuk pemeriksaan kolesterol lengkap untuk
melihat target terapi dan maintenance jika target sudah tercapai.

7) Kriteria Rujukan
a) Terdapat penyakit komorbid yang harus ditangani oleh spesialis.
b) Terdapat salah satu dari faktor risiko PJK

Peralatan
Pemeriksaan kimia darah

Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka dapat dicegah terjadinya
komplikasi akibat dislipidemia

3. Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes Association (ADA) adalah
kumulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi
insulin) dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, terjadi peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2,1% (2013).
Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9%.WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun
2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya

31
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat
pada tahun 2030.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
1. Polifagia
2. Poliuri
3. Polidipsi
4. Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

Keluhan tidak khas:


1. Lemah
2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)
3. Gatal
4. Mata kabur
5. Disfungsi ereksi pada pria
6. Pruritus vulvae pada wanita
7. Luka yang sulit sembuh

Faktor risiko
2
1. Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/m )

2. Riwayat penyakit DM di keluarga


3. Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi)
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis DM
Gestasional
5. Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome)
6. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)
7. Aktifitas jasmani yang kurang

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
1. Penilaian berat badan
2. Mata : Penurunan visus, lensa mata buram
3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen
32
Pemeriksaan Penunjang
1. Gula Darah Puasa
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial
3. Urinalisis

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200
mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir ATAU
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien
tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)> 200
mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan
beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula
Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh

Kriteria gangguan toleransi glukosa:


1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan
antara 100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l)
2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa plasma 140–
199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram (7,8 -11,1 mmol/L)
3. HbA1C 5,7 -6,4%

Komplikasi
1. Akut
Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia
2. Kronik

33
Makroangiopati, Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah perifer, Pembuluh
darah otak
3. Mikroangiopati:
Pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler renal
4. Neuropati
5. Gabungan:
Kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetik, disfungsi ereksi

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan
pengobatan (algoritma pengelolaan DM tipe 2)

Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan toleransi glukosa


Keluhan Klinik Diabetes

34
Gambar 12.1 Algoritme Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2

35
Gambar 12.2 Algoritma pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 tanpa komplikasi
Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral (OHO) dan insulin bersifat individual
tergantung kondisi pasien dan sebaiknya mengkombinasi obat dengan cara kerja yang
berbeda

Dosis OHO
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahapsesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikansampai dosis optimal.
2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.
3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
4. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapanpertama.

Penunjang Penunjang
1. Urinalisis
2. Funduskopi
3. Pemeriksaan fungsi ginjal
4. EKG
5. Xray thoraks

Rencana Tindak Lanjut:


Tindak lanjut adalah untuk pengendalian kasus DM berdasarkan parameter berikut:

Table 12.2 Kriteria pengendalian DM (berdasarkan konsensus DM)

Glukosa darah 2 jam (mg/dL) 80-144 145-179 ≥ 180

A1C (%) < 6,5 6,5 – 8 >8


Kolester
ol total < 200 200-239 ≥ 240
(mg/dL)
Kolester
ol LDL < 100 100 – 129 ≥ 130
(mg/dL)
Pria >
Kolester HDL
40
36
ol Wanita
>
(mg/dL) 50
Trigliseri
da
< 150 150-199 ≥ 200
((mg/dL)

18, 5 -
IMT (kg/m3) 23-25 > 25
23

Tekanan darah ≤130/8 > 130-140


>140/90
(mmHg) 0 / >80-90

Keterangan:
Angka-angka laboratorium di atas adalah hasil pemeriksaan plasma vena.
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh dan plasma vena

Konseling dan Edukasi


Edukasi meliputi pemahaman tentang:
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol
2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga,
menghindari rokok, dan menjaga pola makan.
3. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap 2 minggu

Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1 Karbohidrat 45 – 65 %
.
2 Protein 15 – 20 %
.
3 Lemak 20 – 25 %
.

Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal
dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah
kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari:


1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman
37
Rumus Broca:*
Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 %
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi.
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 – 110 % BB idaman
BB lebih : 110 – 120 %
BB idaman Gemuk : >120 % BB idaman

Rumus Broca:*
Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 %
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi.
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 – 110 % BB idaman
BB lebih : 110 – 120 % BB idaman
Gemuk : >120 % BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari):


1. Status gizi:
a. BB gemuk - 20 %
b. BB lebih - 10 %
c. BB kurang + 20 %
2. Umur > 40 tahun : -5%
3. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %)
4. Aktifitas:
a. Ringan + 10 %
b. Sedang + 20 %
c. Berat + 30 %
5. Hamil:
a. trimester I, II + 300 kal
b. trimester III / laktasi + 500 kal

Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu selama kurang
lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu intensitas sedang). Kegiatan sehari-

38
hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap
dilakukan.

Kriteria Rujukan
Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:
1. DM tipe 2 dengan komplikasi
2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat

Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin rutin,
ureum, kreatinin
2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa
3. Monofilamen test

Prognosis
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo
ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan
sanationamnya adalah dubia ad malam.

4. Obesitas
Obesitas merupakankeadaan dimana seseorang memiliki kelebihan lemak (body
fat) sehingga orang tersebut memiliki risiko kesehatan. Riskesdas 2013, prevalensi
penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7% lebih tinggi
dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Sedangkan pada perempuan di
tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik
18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%).
WHO, dalam data terbaru Mei 2014, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk
penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular (terutama penyakit jantung
dan stroke), diabetes, gangguan muskuloskeletal, beberapa jenis kanker
(endometrium, payudara, dan usus besar). Dari data tersebut, peningkatan
penduduk dengan obesitas, secara langsung akan meningkatkan penyakit akibat
kegemukan.

39
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Biasanya pasien datang bukan dengan keluhan kelebihan berat badan namun
dengan adanya gejala dari risiko kesehatan yang timbul.

Penyebab
1. Ketidakseimbangnya asupan energi dengan tingkatan aktifitas fisik.
2. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain kebiasaan makan
berlebih, genetik, kurang aktivitas fisik, faktor psikologis dan stres, obat-obatan
(beberapa obat seperti steroid, KB hormonal, dan anti-depresan memiliki efek
samping penambahan berat badan dan retensi natrium), usia (misalnya
menopause), kejadian tertentu (misalnya berhenti merokok, berhenti dari
kegiatan olahraga, dsb).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
1. Pengukuran Antropometri (BB, TB dan LP) Indeks Masa Tubuh (IMT/Body
mass index/BMI) menggunakan rumus Berat Badan (Kg)/Tinggi Badan kuadrat

2
(m ) Pemeriksaan fisik lain sesuai keluhan untuk menentukan telah terjadi
komplikasi atau risiko tinggi
2. Pengukuran lingkar pinggang (pada pertengahan antara iga terbawah dengan
kristailiaka, pengukuran dari lateral dengan pita tanpa menekan jaringan lunak).
Risiko meningkat bila laki-laki >85 cm dan perempuan >80cm.
3. Pengukuran tekanan darah
Untuk menentukan risiko dan komplikasi, misalnya hipertensi.

Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan risiko dan komplikasi, yaitu pemeriksaan kadar gula darah, profil
lipid, dan asam urat.

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
40
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Tabel 12.1 Kategori obesitas


Klasifikasi IMT(kg/m2)
Underweight < 18,5
Normal 18,5 – 22,9
Overweight > 23,0
BB Lebih Dengan Risiko 23,0-24,9
Obese I 25,0-29,9
Obese II >30
Sumber: WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:Redefining
Obesity and its Treatment

Diagnosis Banding:
1. Keadaan asites atau edema
2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada olahragawan

Diagnosis klinis mengenai kondisi kesehatan yang berasosiasi dengan


obesitas:
1. Hipertensi
2. DM tipe 2
3. Dislipidemia
4. Sindrom metabolik
5. Sleep apneu obstruktif
6. Penyakit sendi degeneratif

Komplikasi
Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit kardiovakular, Sleep apnoe,
abnormalitas hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan hati
Obesitasdikelompokkan menjadi obesitas risiko tinggi bila disertai dengan 3 atau
lebih keadaan di bawah ini:
1. Hipertensi
2. Perokok
3. Kadar LDL tinggi
4. Kadar HDL rendah

41
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil
6. Riwayat keluarga serangan jantung usia muda
7. Usia (laki-laki > 45 thn, atau perempuan > 55 thn).

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Non –Medikamentosa
1. Penatalaksanaan dimulai dengan kesadaran pasien bahwa kondisi sekarang
adalah obesitas, dengan berbagai risikonya dan berniat untuk menjalankan
program penurunan berat badan
2. Diskusikan dan sepakati target pencapaian dan cara yang akan dipilih (target
rasional adalah penurunan 10% dari BB sekarang)
3. Usulkan cara yang sesuai dengan faktor risiko yang dimiliki pasien, dan
jadwalkan pengukuran berkala untuk menilai keberhasilan program
4. Penatalaksanaan ini meliputi perubahan pola makan (makan dalam porsi kecil
namun sering) dengan mengurangi konsumsi lemak dan kalori, meningkatkan
latihan fisik dan bergabung dengan kelompok yang bertujuan sama dalam
mendukung satu sama lain dan diskusi hal-hal yang dapat membantu dalam
pencapaian target penurunan berat badan ideal.
5. Pengaturan pola makan dimulai dengan mengurangi asupan kalori sebesar
300-500 kkal/hari dengan tujuan untuk menurunkan berat badan sebesar ½-1
kg per minggu.
6. Latihan fisik dimulai secara perlahan dan ditingkatkan secara bertahap
intensitasnya. Pasien dapat memulai dengan berjalan selama 30 menit dengan
jangka waktu 5 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45
menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu.

Konseling dan Edukasi


1. Perlu diingat bahwa penanganan obesitas dan kemungkinan besar seumur
hidup. Adanya motivasi dari pasien dan keluarga untuk menurunkan berat
badan hingga mencapai BB ideal sangat membantu keberhasilan terapi.
2. Menjaga agar berat badan tetap normal dan mengevaluasi adanya penyakit
penyerta.
3. Membatasi asupan energi dari lemak total dan gula

42
4. Meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, serta kacang-kacangan, biji-bijian
dan kacang-kacangan.
5. Terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur (60 menit sehari untuk anak-anak
dan 150 menit per minggu untuk orang dewasa)

Kriteria Rujukan
1. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit dalam bila pasien merupakan
obesitas dengan risiko tinggi dan risiko absolut
2. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi gaya hidup (diet yang telah
diperbaiki, aktifitas fisik yang meningkat dan perubahan perilaku) selama 3
bulan, dantidak memberikanrespon terhadap penurunan berat badan,
maka pasien dirujuk ke spesialis penyakit dalam untuk memperoleh obat-
obatan penurun berat badan

Prognosis
Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai obesitas. Risiko akan meningkat
seiring dengan tingginya kelebihan berat badan.

5. Penyakit ginjal kronis


Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas bukan
hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara dengan berpenghasilan
menengah ke bawah. PGK menjadi isu kesehatan masyarakat yang cukup serius.
Sekitar 1,4 juta pasien di dunia mendapatkan terapi pengganti ginjal (rumeyza).
Karena itu untuk mengurangi beban ekonomi akibat PGK perlu dilakukan intervensi
lebih awal melalui deteksi dini faktor risikonya.

Faktor risiko utama untuk PGK adalah diabetes, hipertensi dan penyakit
kardiovaskular. Prevalensi Diabetes dengan PGK stadium 1 - 3 (20%) lebih tinggi
dibandingkan diabetes tanpa PGK (5%). Hipertensi dengan PGK 64% pada stadium
3 dan 36% pada stadium 1 lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa PGK (24%).
Prevalensi kardiovaskular meningkat 6% pada pasien tanpa PGK dan 36% pada
pasien PGK stadium 3

a. Definisi

43
PGK adalah suatu kelainan (abnormalitas) pada struktur atau fungsi ginjal
dalam waktu 3 bulan atau lebih yang berdampak pada kesehatan. Kerusakan
ginjal merujuk kepada luasnya kelainan struktur maupun fungsi ginjal selama
pengkajian klinis. Definisi PGK menurut Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) adalah kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus <60
mL/menit/1,73 m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih tanpa melihat penyebabnya.
Tabel 4.10 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis
No
Klasifikasi berdasarkan keparahan

Klas Deskripsi LFG Istilah terkait Klasifikasi


mL/menit/1,73 m 2
berdasarkan
treatment
1 Kerusakan ginjal ≥90 Albuminuria, T
dengan LFG proteinuria, jika mendapatkan
normal atau Hemat transplantasi
meningkatnya uria ginjal
LFG
2 Kerusakan ginjal 60 – 89 Albuminuria,
dengan proteinuria,
menurunnya LFG hemat
ringan uria
3 Menurunnya LFG 30 – 59 Insufisiensi
sedang ginjal kronis,
insufisi
ensi ginjal
dini
4 Menurunnya LFG 15 – 29 Insufisiensi
berat ginjal kronis,
insufisiensi
ginjal akhir,
pre-PGSA
5 Gagal <15 Gagal ginjal, D
ginjal (atau uremia, PGSA jika dilakukan
dialysis) dialisis
(hemodialisis,
dialisis
peritoneal)
44
Keterangan: LFG= Laju Filtrasi Glomerulus PGSA= Penyakit Ginjal Stadium Akhir Sumber: Andrew S.Levey.,
Kai-Uwe Eckardit, et.all, Definition and Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO), Kidney International, Vol. 67 (2005), pp 2089-2100

b. Diagnosis
Terdapat 3 komponen utama dalam mendiagnosis PGK yaitu melalui
pemeriksaan urine, darah dan riwayat penyakit sebelumnya. Diagnosis PGK
seringkali sulit ditegakkan lebih dini karena biasanya gejala timbul secara
perlahan dan menahun. Individu sering tidak merasakan gejalanya dan baru
ada keluhan setelah fungsi ginjal menurun sekitar 25% dari fungsi ginjal yang
normal sehingga penyakit ini terlambat ditangani.

c. Tatalaksana
Tatalaksana PGK di Puskesmas/FKTP merujuk kepada Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Penyakit Ginjal dan sesuai dengan
tingkat kompetensi dokter. Manajemen untuk PGK meliputi kontrol terhadap
tekanan darah, target gula darah yang harus dicapai bila memiliki riwayat DM,
bekerja sama dengan tim kesehatan untuk memantau kesehatan ginjal, minum
obat sesuai anjuran, bekerja sama dengan ahli gizi untuk mengatur
perencanaan makan, melakukan aktivitas fisik secara teratur, menjaga berat
badan tetap normal, istirahat tidur yang cukup, berhenti merokok, menemukan
cara yang sehat untuk mengatasi stress dan depresi.
Untuk menjaga kesehatan ginjal bagi individu yang memiliki risiko maka perlu
dilakukan skrining/deteksi dini terhadap kemungkinan PGK. Terutama pada
individu-individu yang tidak mempunyai keluhan PGK sehingga dapat dilakukan
intervensi terapi awal dan menghindari terjadinya paparan agen nefrotoksik
yang perlahan-lahan dapat menyebabkan PGK dan penyakit ginjal stadium
akhir. Dengan melakukan skrining/deteksi dini di Puskesmas/FKTP diharapkan
dapat mengurangi risiko dan menghambat terjadinya PGK lebih lanjut. Deteksi
ini juga penting untuk mengidentifikasi risiko penyakit kardiovaskular.
Menurut kriteria Wilson-Jungner ada 10 kondisi yang dapat digunakan untuk
mempertimbangkan validitas program skrining yaitu:
1) Kondisi yang di skrining harus menjadi masalah kesehatan yang penting
2) Harus ada pengobatan yang diterima pasien bila penyakit sudah diketahui
dari skrining tersebut
3) Fasilitas untuk diagnosis dan perawatan harus tersedia
4) Harus ada tahap pra klinis yang dapat dideteksi
45
5) Harus ada pemeriksaan yang cocok
6) Pemeriksaan harus dapat diterima oleh populasi
7) Riwayat alami dari kondisi ini harus dipahami dengan baik
8) Kebijakan tentang siapa yang harus dirawat sebagai pasien harus
dikembangkan dan disepakati
9) Biaya penemuan kasus harus diseimbangkan dengan ketersediaan
perawatan medis
10) Skrining harus merupakan proses yang berkelanjutan dan bukan proyek
sesaat
Gambar 4.3
Model konseptual pendekatan kesehatan masyarakat pada PGK

Andrew S. Levey, MD, Anton C. SChollwerth, MD, MSHA, et.all., Comprehensive Public
Health Strategies for Preventing the Development, Progression, and Complications of
CKD: Report of an Expert Panel Convened by the Centers for Disease Control and
Prevention, American Journal of Kidney Diseases, Vol. 53, No. 3 (March), 2009: pp 522

Tabel 4.11
Pencegahan PGK dalam Strategi Kesehatan Masyarakat

Strategi
Stadium Istilah yang
kesehatan
Strategi PGK atau berhubungan
Deskripsi LFG masyarakat
Pencegahan kondisi dan kode
dan pedoman
terdahulu ICD-9
klinis

46
Primer Kondisi Peningkatan risiko: Tidak Faktor risiko Kendalikan
sebelum- ● Usia ≥60 th ada PGK tekanan darah
nya ● Hipertensi data dan gula darah;
● Diabetes pemberian ACE
● Penyakit inhibitor/ARB;
kardiovaskula edukasi dan
r waspada PGK
● Riwayat khususnya
keluarga pasien dengan
dengan PGK risiko tinggi

Sekunder Stadium 1 Kerusakan ginjal ≥90 Albuminuria, Edukasi PGK


dengan LFG proteinuria, dan lakukan
normal atau hematuria; pemeriksaan
meningkat 585.1 pada pasien
dengan risiko
Stadium 2 Kerusakan ginjal 60-89 Albuminuria,
tinggi,
dengan penurunan proteinuria,
kendalikan
LFG ringan hematuria;
tekanan darah
585.2
dan gula darah,
pemberian ACE
inhibitor/ARB
atau obat lain
untuk
memperlambat
progress PGK,
konseling gizi,
evaluasi dan
kendalikan
dislipidemia dan
faktor risiko
penyakit
kardiovaskular;
pengobatan
hepatitis C ikuti
rekomendasi
pedoman klinis

Stadium 3 Penurunan LFG 30-59 Insufisiensi Ikuti

47
sedang ginjal kronis, rekomendasi
insufisiensi pedoman klinis ,
ginjal dini; evaluasi dan
585.3 kendalikan
anemia, dan
Stadium 4 Penurunan LFG 15-29 Insufisiensi
metabolisme
berat ginjal kronis,
tulang, rawat
insufisiensi
pasien yang
ginjal lanjut,
menerima
pra-PGSA;
transplant, obat
585.4
PGSA pilihan
dan pasang
akses melalui
pembuluh darah

Tersier Stadium 5 Gagal ginjal <15 Gagal ginjal, Dialysis yang


(atau uremia, adekuat, pasang
dialysis) PGSA; 585.5; akses melalui
585.6 (jika pembuluh
PGSA) kode darah, anemia,
V untuk penyakit
dialisis atau kardiovaskular,
transplantasi gizi,
metabolisme
tulang, evaluasi
transplantasi,
inisiasi dan
dialisis, ikuti
rekomendasi
pedoman klinis

*LFG= Laju Filtrasi Glomerulus


*PGSA= Penyakit Ginjal Stadium Akhir
Sumber:
Andrew S. Levey, MD, Anton C. SChollwerth, MD, MSHA, et.all., Comprehensive Public Health Strategies for
Preventing the Development, Progression, and Complications of CKD: Report of an Expert Panel Convened by
the Centers for Disease Control and Prevention, American Journal of Kidney Diseases, Vol. 53, No. 3 (March),
2009: pp 522

6. Faktor Risiko Lainnya

48
49
BAB III
KEGIATAN UPAYA PENGENDALIAN KARDIOVASKULAR

A. DETEKSI DINI FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULAR


Kegiatan deteksi dini penyakit kardiovaskular dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan pertama seperti Puskesmas, dokter keluarga, Balai Pengobatan, klinik
swasta, dll. Fasilitas pelayanan kesehatan dapat menerima rujukan dari Usaha Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti kegiatan Posyandu event, Pondok Bersalin
Desa (Polindes), Pos Obat Desa (POD), Pos Gizi, Pos Penyuluhan KB, Pos Kesehatan
Pesantren, Saka Bakti Husada dan Desa Siaga.
Kegiatan deteksi dini faktor risiko di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dapat
dilakukan pemeriksaan darah seperti kadar gula darah, profil lipid, kreatinin, dan albumin
urin, funduskopi serta rekam jantung (EKG). Pemeriksaan tersebut dapat mendeteksi risiko
kerusakan target organ seperti jantung, ginjal, mata dan pembuluh perifer.
Deteksi dini faktor risiko dilakukan untuk menentukan stratifikasi faktor risiko
penyakit kardiovaskular dan rencana penanganannya. Stratifikasi penyakit kardiovaskular
ditentukan berdasarkan:
● tingginya tekanan darah,

● adanya faktor risiko lain,

● adanya kerusakan organ target seperti : hipertrofi ventrikel kiri, kenaikan kadar kreatinin,
mikroalbuminuria, gangguan pembuluh darah (plak sklerotik, penebalan tunika intima-
media), dan
● adanya penyakit penyerta tertentu, seperti stroke, infark miokard akut, angina pektoris,
gagal jantung, kelainan pembuluh darah perifer dan retinopati.

1. Deteksi Dini Penyakit Hipertensi


Pengukuran Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah dilakukan menggunakan tensimeter digital, untuk
mendapatkan data tekanan darah pada penduduk.
1) Persiapan Alat :
a. Tensimeter Digital
b. Manset besar
c. Batu baterai AA
2) Persiapan Pasien

50
Sebelum pengukuran tekanan darah dilakukan, sebaiknya lakukan hal-hal sebagai
berikut :
a. Pasien dipersilahkan duduk 3-5 menit
b. Dalam keadaan tenang
c. Dianjurkan untuk mengosongkan kandung kemih
d. Menghindari konsumsi kopi, alkohol dan rokok minimal 30 menit sebelum
pengukuran
3) Prosedur pengukuran tekanan darah
a. Sebelum pengukuran dilakukan, pastikan baterai terpasang dan berfungsi
dengan baik
b. Tekan tombol “START/STOP” untuk mengaktifkan alat

c. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan pasien dalam keadaan sebagai


berikut:
i. Pasien pada posisi bersandar dan rileks
ii. Lengan diposisikan di atas meja dengan ketinggian sejajar posisi
jantung
iii. Posisi kaki tidak menyilang dan telapak kaki rata menyentuh lantai
iv. Lengan baju tidak dilipat
v. Tidak bergerak dan berbicara selama pengukuran

51
d. Gunakan manset dengan lebar ¾ dari ukuran lengan

e. Pasang manset pada lengan atas sejajar posisi jantung, batas bawah manset
sekitar 2,5 cm (2 jari) di atas lipatan siku

f. Lakukan pengukuran 2 (dua) kali, dengan jeda 1-2 menit. Ambil nilai rata-rata
dari kedua pengukuran tersebut

52
g. Pengukuran tekanan darah berulang dapat dilakukan pada pasien dengan
aritmia untuk meningkatkan akurasi
h. Pada kunjungan pertama, pengukuran tekanan darah dilakukan pada kedua
lengan untuk mendeteksi kemungkinan adanya perbedaan tekanan.
Pengukuran selanjutnya dapat dilakukan pada sisi lengan yang menunjukkan
hasil tertinggi pada pengukuran sebelumnya
i. Pada kunjungan pertama pasien diabetes melitus, lanjut usia dan kondisi lain
dengan kecurigaan kemungkinan terjadi hipotensi ortostatik, maka lakukan
pula pengukuran tekanan darah 1-3 menit setelah posisi berdiri.
2. Deteksi Dini Stroke
Deteksi dini stroke dengan pemeriksaan lipid profil. Pemeriksaan lipid profil
(kolesterol total, HDL, LDL dan Trigliserid) dilakukan pada usia 60 tahun keatas serta
penderita hipertensi dan atau DM usia 18 – 59 tahun, dilakukan minimal setahun sekali.
Persiapan yang Anda lakukan sebelum menjalani pemeriksaan ini:
● Berpuasa kurang lebih 9-12 jam sebelum mengambil sampel darah Anda. Sebaiknya
puasa di mulai dari jam 7 atau 8 malam. Anda hanya boleh mengonsumsi air mineral
selama periode puasa tersebut..
● Jangan makan makanan tinggi lemak pada malam hari sebelum pemeriksaan.
● Jangan konsumsi minuman beralkohol atau olahraga berlebih sebelum pemeriksaan.
● Tidak melakukan aktivitas berat selama puasa.
1) Pemeriksaan menggunakan alat rapid tes kolesterol
Alat dan Bahan
a. Alat pemeriksaan profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL dan Trigliserida)
b. Test strip (carik uji)
c. Lancet/Autoclix
d. Sarung tangan
53
e. Alkohol 70%
f. Tissue
g. Kapas
Cara pengambilan Darah
a. Bersihkan salah satu ujung jari pasien dengan kapas yang telah diberi alkohol
70%,keringkan.
b. Tusukkan lancet/autoclix pada ujung jari secara tegak lurus, cepat dan dalam
c. Usap dengan kapas steril kering setelah darah keluar dari ujung jari.
d. Tekan ujung jari ke arah lua
e. Balikkan tangan dan biarkan darah keluar setetes/dua tetes.
f. Sentuhkan setetes/dua tetes darah pada strip test.
g. Lakukan prosedur pemeriksaan sesuai instruksi alat periksa
h. Tunggu dan baca hasilnya
2) Pemeriksaan menggunakan fotometer
Alat dan Bahan
a. Jarum
b. Kapas alcohol 70%
c. Tali bendung (torniket)
d. Plester
e. Tabung vakum
f. Tabung reaksi
g. Sentrifuge
h. Mikropipet beserta tip (1000µL; 10µL)
i. Reagensia (Kolesterol Total, Trigliserid, HDL, LDL)
j. Aquabidest
k. Fotometer
Cara pengambilan darah vena dengan vacutainer
a. Pasang jarum pada holder, pastikan terpasang erat.
b. Lakukan pendekatan pasien dengan tenang dan ramah; usahakan pasien
senyaman mungkin
c. Identifikasi pasien dengan benar sesuai dengan data di lembar permintaan
d. Verifikasi keadaan pasien, misalnya puasa atau konsumsi obat. Catat bila
pasien minum obat tertentu, tidak puasa dsb
e. Minta pasien meluruskan lengannya, pilih lengan yang banyak melakukan
aktifitas

54
f. Minta pasien mengepalkan tangan.
g. Pasang tali pembendung (turniket) kira-kira 10 cm di atas lipat siku
h. Pilih bagian vena median cubital atau cephalic. Lakukan perabaan (palpasi)
untuk memastikan posisi vena; vena teraba seperti sebuah pipa kecil, elastis
dan memiliki dinding tebal. Jika vena tidak teraba, lakukan pengurutan dari
arah pergelangan ke siku, atau kompres hangat selama 5 menit daerah
lengan.
i. Bersihkan kulit pada bagian yang akan diambil dengan kapas alcohol 70%
dan biarkan kering. Kulit yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.
j. Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas.
Masukkan tabung ke dalam holder dan dorong sehingga jarum bagian
posterior tertancap pada tabung, maka darah akan mengalir masuk ke dalam
tabung. Tunggu sampai darah berhenti mengalir. Ambil darah sebanyak 3 cc.
k. Lepas turniket dan minta pasien membuka kepalan tangannya. Volume darah
yang diambil kira-kira 3 kali jumlah serum atau plasma yang diperlukan untuk
pemeriksaan.
l. Letakkan kapas di tempat suntikan lalu segera lepaskan/tarik jarum. Tekan
kapas beberapa saat lalu plester selama kira-kira 15 menit. Jangan menarik
jarum sebelum turniket dibuka.
m. Sampel darah yang sudah ada di dalam tabung tadi di diamkan hingga darah
membeku
Pengambilan darah dengan menggunakan jarum suntik
a. Posisi pasien dalam keadaan rileks pada posisi duduk atau berbaring. Lengan
diluruskan dengan tapak tangan menghadap ke atas dan jari-jari pada posisi
mengepal.
b. Sediakan semua alat, wadah penampung, antikoagulan telah lengkap
semuanya.
c. Lakukan pembendungan pada lengan atas dengan memakai manset atau alat
pembendung khusus, tetapi tidak terlalu kencang sehingga menghambat
aliran darah ke distal.
d. Bersihkan lokasi pengambilan darah dengan memakai kapas alcohol, biarkan
sampai kering sendiri
e. Semprit dipegang dengan telapak tangan, sebaiknya bagian tabung semprit
yang ada garis menghadap ke atas.

55
f. Tangan kiri memegang lengan pasien dengan ibu jari sedikit menekan bagian
distal vena yang akan dipungsi, lalu jarum ditusukkan pada posisi jarum
menghadap ke atas dengan sudut kurang lebih 30º.
g. Bila tusukkan tepat intra vena maka akan tampak darah masuk ke tabung dan
terlihat di antara jarum dengan tabung semprit. Dengan tangan kiri penghisap
semprit ditarik perlahan-lahan sehingga darah masuk ke dalam tabung,
kemudian pasien diminta membuka kepalan tangannya.
h. Setelah mendapat darah sejumlah yang diinginkan, letakkan kapas alkohol
pada tempat tusukan dan jarum ditarik perlahan-lahan.
i. Biarkan kapas alkohol beberapa menit dengan posisi lengan tetap diluruskan
dan jarum segera dilepaskan dari semprit dan darah dialirkan secara lambat
ke dinding tabung penampung yang berisi antikoagulansia (untuk
mendapatkan darah lengkap atau plasma) atau tanpa antikoagulansia (untuk
mendapatkan serum).
Cara Pemisahan Serum dari Darah
a. Setelah darah beku ± 10 menit.
b. Masukkan tabung yang berisi darah ke dalam alat sentrifugasi.
c. Beri pembanding agar seimbang.
d. Putar dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.
e. Setelah serum dan sel-sel darah terpisah, Serum siap untuk dilakukan
pemeriksaan.
f. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan standar prosedur dimasing-masing
laboratorium
Prosedur Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan Kolesterol
Sediakan tiga tabung reaksi yaitu tabung blanko, tabung standart, dan tabung
sampel. Pada tabung blanko masukkan 10µl aquadest, kemudian pada
tabung standart masukkan sebanyak 10µl standart kolesterol, pada tabung
sampel masukkan sebanyak 10µl serum, pada masing-masing tabung di
masukkan reagent kolesterol sebanyak 1000µl, lalu homogenkan. Inkubasi
selama 10 menit pada suhu 37OC, dibaca hasil pada alat strofotometer
dengan panjang gelombang 500 nm.
2. Pemeriksaan Trigliserida
Sediakan tiga tabung reaksi yaitu tabung blanko, tabung standart, dan tabung
sampel. Pada tabung blanko masukkan 10µl aquadest, kemudian pada

56
tabung standart masukkan sebanyak 10µl standart trigeliserida, pada tabung
sampel masukkan sebanyak 10µl serum, pada tabung blanko, standart, dan
sampel masing-masing di masukkan reagent trigeliserida sebanyak 1000µl,
lalu dihomogenkan. Inkubasi selama 10 menit pada suhu 37OC, dibaca hasil
pada alat fotometer dengan panjang gelombang 500nm.
3. Pemeriksaan HDL
Pembuatan supernatant:
I. Campur 0,5mL serum dengan 50 µl reagen HDL Kolesterol (presipitat)
diamkan selama 10 menit lalu sentrifuge selama 15 menit dengan
kecepatan 3000 rpm.
Prosedur kerja kolestrol HDL :
II. Sediakan tiga tabung, pada tabung dimasukkan 25µl larutan standar,
25µl supernantant sampel lalu masukan pada masing-masing tabung
1000µl reagan kolesterol, inkubasi selama 10 menit dengan suhu
37ºC. Baca hasil pada alat spektrofotometer dengan panjang
gelombang 500 nm.
4. Pemeriksaan LDL
Pemeriksaan kadar kolesterol-LDL dilakukan dengan cara yang sama pada
pemeriksaan kolesterol-HDL (presipitasi), yaitu menghilangkan partikel non-
LDL dalam plasma darah, kemudian kolesterol-LDL diukur secara kolorimetrik
enzima- tik seperti tahapan pemeriksaan kolesterol total yang dibaca pada
panjang gelombang sekitar 500 nm. Metode alternatif yang masih banyak
digunakan di laboratorium klinik Indonesia yaitu menggunakan perhitungan
menurut Friedewald, penggunaan formula Friedewald mengharuskan pasien
puasa 12 sampai 14 jam dan tidak boleh memiliki kadar trigliserida di atas 400
mg/dL. Penggunaan formula Friedewald didasarkan pada estimasi
keberadaan LDL dengan menghitung melalui persamaan dan memanfaatkan
hasil pemeriksaan kolesterol total, trigliserida dan kolesterol- HDL.

Hasil pemeriksaan profil lipid


Nilai Normal :
1. Kolesterol total < 190 mg/dL
2. Kolesterol-LDL ≤ 115 mg/dL
3. Kolesterol-HDL ≥ 40 mg/dL (L), ≥ 45 mg/dL (P)
4. Trigliserida < 150 mg/dL

57
3. Deteksi Dini Penyakit Jantung
● Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) adalah pemeriksaan untuk mengukur dan
merekam aktivitas listrik jantung, umumnya dilakukan untuk memeriksa kondisi
jantung dan menilai efektivitas pengobatan penyakit jantung.
● Elektrokardiogram dilakukan menggunakan mesin pendeteksi impuls listrik jantung
yang disebut elektrokardiograf. Dengan alat tersebut, impuls atau aktivitas listrik
jantung akan terpantau dan tampak berupa grafik yang ditampilkan di layar monitor.
● Bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya abnormalitas fungsi maupun struktur organ
jantung
● Pemeriksaan EKG dilakukan pada penderita hipertensi dan atau Diabetes Melitus
yang berusia 40 tahun keatas, minimal satu tahun sekali.
a. Persiapan Alat
1) Mesin EKG, yang dilengkapi :
○ Kabel untuk sumber listrik
○ Kabel untuk bumi (ground)
○ Kabel elektroda extremitas dan dada
○ Plat elektroda ekstremitas beserta karet pengikat
○ Balon penghisap elektroda dada
2) Jelly
3) Tissu
4) Kapas Alkohol
5) Kertas EKG
b. Persiapan Pasien
1) Penjelasan (informed consent) Pasien dan keluarga diberi penjelasan tentang
tindakan yang akan dilakukan
2) Pastikan kondisi pasien tenang, kooperatif dan dapat dipasang elektroda
3) Hal-hal yang perlu diperhatikan saat perekaman :
○ Dinding dada harus terbuka dan tidak ada perhiasan logam yang
melekat
○ Pasien diminta tenang atau tidak bergerak saat perekaman EKG
c. Pelaksanaan
1) Cek identitas pasien
2) Pasang semua komponen/ kabel-kabel pada mesin EKG

58
3) Nyalakan mesin EKG
4) Lakukan cuci tangan
5) Atur posisi pasien tidur telentang. Tangan dan kaki tidak saling bersentuhan
6) Buka dan longgarkan pakaian pasien bagian atas. Lepaskan perhiasan yang
dipakai pasien, seperti jam tangan, gelang dan logam lain.
7) Bersihkan daerah dada, kedua pergelangan kaki dan tangan dengan kapas
alkohol (kalau perlu dada dan pergelangan kaki dicukur) di lokasi yang akan
dipasang manset elektroda
8) Oleskan jelly pada keempat permukaan manset elektroda ektremitas
9) Pasang keempat manset elektrode ektremitas tersebut pada kedua
pergelangan tangan dan kaki.
10) Sambung kabel EKG pada kedua pergelangan tangan dan kedua tungkai
pasien, untuk sadapan ekstremitas LEAD (LEAD I, II, III, AVR, AVL, AVF)
dengan cara sebagai berikut :
○ Warna merah pada tangan kanan
○ Warna kuning pada tangan kiri
○ Warna hijau pada kaki kiri
○ Warna hitam pada kaki kanan
11) Oleskan jelly pada dinding dada sesuai dengan lokasi elektroda V1 s/d V6.
12) Pasang elektroda ke dada dengan menekan karet penghisap untuk merekam
precardical :
○ V1 : Pada garis parasternal kanan sejajar dengan intercosta ke 4,
(merah)
○ V2 : Pada garis parasternal kiri sejajar dengan intercosta ke 4 (kuning)
○ V3 : Pertengahan antara V2 dan V4 (hijau)
○ V4 : Pada garis mid klavikula kiri sejajar intercosta ke 5 pada axilla
bagian belakang kiri (coklat)
○ V5 : di garis aksila anterior kiri sejajar intercosta ke 5 (hitam)
○ V6 :Pada garis mid aksila kiri sejajar intercosta ke 5 (ungu)
13) Lakukan perekaman secara berurutan sesuai dengan pemilihan LEAD yang
terdapat pada mesin EKG.
14) Lepaskan semua electroda
15) Bersihkan jelly dari tubuh pasien
16) Beritahu pasien bahwa perekaman sudah selesai

59
17) Tulis pada hasil perekaman : nama, umur, jenis kelamin, jam, tanggal, bulan
dan tahun pembuatan, nama masing-masing lead serta nama orang yang
merekam
18) Matikan mesin EKG
19) Bersihkan dan rapikan alat

4. Deteksi Dini Penyakit Ginjal


a. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Tampilan klinis tiap pasien dapat bervariasi, mulai dari yang ringan hingga
menunjukkan tanda dan gejala menyerupai sepsis. Pemeriksaan fisik menunjukkan
tanda-tanda di bawah ini:
1. Demam dengan suhu biasanya mencapai >38,5oC
2. Takikardi
3. Nyeri ketok pada sudut kostovertebra, unilateral atau bilateral
4. Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi karena adanya nyeri tekan dan spasme
otot
5. Dapat ditemukan nyeri tekan pada area suprapubik
6. Distensi abdomen dan bising usus menurun (ileus paralitik)
b. Pemeriksaan Penunjang Sederhana
1) Urinalisis
Urin porsi tengah (mid-stream urine) diambil untuk dilakukan pemeriksaan
dip-stick dan mikroskopik. Temuan yang mengarahkan kepada PNA adalah:
● Piuria, yaitu jumlah leukosit lebih dari 5 – 10 / lapang pandang besar
(LPB) pada pemeriksaan mikroskopik tanpa / dengan pewarnaan
Gram, atau leukosit esterase (LE) yang positif pada pemeriksaan
dengan dip-stick.
● Silinder leukosit, yang merupakan tanda patognomonik dari PNA, yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik tanpa/dengan
pewarnaan Gram.
● Hematuria, yang umumnya mikroskopik, namun dapat pula gross.
Hematuria biasanya muncul pada fase akut dari PNA. Bila hematuria
terus terjadi walaupun infeksi telah tertangani, perlu dipikirkan penyakit
lain, seperti batu saluran kemih, tumor, atau tuberkulosis.
● Bakteriuria bermakna, yaitu > 104 koloni/ml, yang nampak lewat
pemeriksaan mikroskopik tanpa /dengan pewarnaan Gram. Bakteriuria

60
juga dapat dideteksi lewat adanya nitrit pada pemeriksaan dengan dip-
stick.
2) Kultur urin dan tes sensitivitas-resistensi antibiotik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui etiologi dan sebagai pedoman
pemberian antibiotik dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan
lanjutan.
3) Darah perifer dan hitung jenis
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya leukositosis dengan
predominansi neutrofil.
4) Kultur darah
Bakteremia terjadi pada sekitar 33% kasus, sehingga pada kondisi tertentu
pemeriksaan ini juga dapat dilakukan.
5) Foto polos abdomen (BNO)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan adanya obstruksi atau batu di
saluran kemih.
c. Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
d. Diagnosis banding:
Uretritis akut, Sistitis akut, Akut abdomen, Appendisitis, Prostatitis bakterial akut,
Servisitis, Endometritis, Pelvic inflammatory disease

61
B. Tata Laksana dan Tindak Lanjut
Penilaian Hasil Penemuan/deteksi dini kardiovaskular dan faktor risikonya dilakukan
tindak lanjut:
o Berdasarkan skrining pada kegiatan Posyandu atau Posyandu Prima
- Normal : tetap pertahankan gaya hidup sehat
- Normal Tinggi: edukasi untuk melakukan gaya hidup sehat dan pemantauan
setiap bulan.
- Hipertensi: tindak lanjut dini ke fasilitas pelayanan kesehatan
o Berdasarkan skrining di Puskesmas/FKTP
- Normal: tetap pertahankan gaya hidup sehat
- Normal Tinggi: edukasi untuk melakukan gaya hidup sehat dan pemantauan
setiap bulan
- Hipertensi: tatalaksana sesuai PPK dan standar lain yang berlaku
Tatalaksana kardiovaskular dilakukan di Puskesmas/FKTP dilakukan dengan PANDU PTM
sesuai standar. Disamping pemeriksaan tekanan darah, di Puskesmas pada pasien hipertensi usia
≥ 40 tahun juga dilakukan pemeriksaan deteksi dini komplikasi pada organ target untuk melihat
kemungkinan adanya komplikasi penyakit jantung, stroke dan kelainan ginjal. Pemeriksaan
mata dengan funduskopi, pemeriksaan fungsi jantung dengan EKG dan laboratorium yaitu
profil lipid untuk mengetahui dyslipidemia, pemeriksaan fungsi ginjal dengan urinalisa untuk
menilai albuminuria, ureum dan kreatinin.
Tindak lanjut skrining dilakukan konseling perubahan perilaku untuk lebih sehat, seperti
gizi seimbang, aktivitas fisik, layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) dan terapi yang
sesuai Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK). Kunjungan rumah oleh kader untuk memberikan edukasi bila pasien tidak
datang 2 kali.

Penderita hipertensi dan Diabetes Melitus yang berusia 40 tahun ke atas wajib
dilakukan skrining kardiovaskular. Pemeriksaan yang dilakukan:
o EKG dan lipid profil dilakukan minimal setahun sekali.
o Pemeriksaan lipid profil (kolesterol total, HDL, LDL dan Trigliserid) dilakukan
pada seluruh penduduk usia 60 tahun keatas serta penderita hipertensi dan atau
DM usia diatas 40 tahun.
Skrining kardiovaskular dapat dilakukan di Posyandu event di komunitas, sekolah,
kampus, instansi/ tempat kerja dan fasyankes ataupun laboratorium klinik swasta serta

62
tempat-tempat umum lainnya. Alat yang digunakan di tingkat Puskesmas adalah
tensimeter digital, alat pemeriksaan profil lipid, dan alat pemeriksaan EKG.

Pengunjung Puskesmas usia ≥15 tahun


Rujukan Posyandu/Posyandu Prima
Intervensi Lanjut PIS-PK
Pasien Rujuk Balik FKRTL

Anamnesa Faktor Risiko


Pola makan tinggi gula, garam dan lemak
Merokok
Kurang aktifitas fisik
BB Berlebih
Kurang konsumsi sayur buah

Pemeriksaan Faktor Risiko


IMT (BB,TB)
Penilaian Prediksi Lingkar perut
Risiko PTM Tekanan darah
Gula darah
Fisik lainnya

Hipertensi/DM/Obesitas

DIOBATI
Deteksi dini Komplikasi Ya Tidak
Penyakit

Pemeriksaan Komplikasi Pada Penyampaian KIE


Kelompok Usia >40 tahun: (masukin ket)
EKG
Profil Lipid (min kolesterol total,
trigliserilda)
K O N T R O L Melalui :
Gula darah puasa/2jam PP/HBa1C
Puskesmas /FKTP Lainnya
Protein Urin
Perkesmas
Posyandu Prima
Posyandu event
Kunjungan Rumah

Pasien Rujuk Balik Follow up

Langkah 1. Tanyakan Kepada Pasien Tentang:


- Adanya penyakit jantung, stroke, TIA, diabetes, penyakit ginjal
63
- Nyeri dada dan/atau sesak saat aktivitas, nyeri tungkai saat jalan
- Obat-obatan yang diminum pasien
- Merokok saat ini (ya/tidak)
- Konsumsi alkohol (ya/tidak)
- Pekerjaan (duduk saja atau banyak gerak)
- Berolahraga teratur (30 menit/hari, 5 hari perminggu): ya/tidak

Langkah 2. Lakukan Penilaian


- Berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang
- Palpasi jantung, nadi perifer dan abdomen
- Auskultasi jantung dan paru
- Tekanan darah
- Gula darah puasa (GDP), sewaktu (GDS) - dinyatakan DM: kadar GDP>7 mmol/L
(126 mg/dl) atau GDS > 11,1 mmol/L (200 mg/dl)
- Proteinuria
- Ketonuria pada diabetes yang baru didiagnosis (bila dimungkinkan)
- Kolesterol plasma (bila dimungkinkan)
- Bila ada DM: lakukan test sensasi (rasa) pada kaki dan pulsasi arteri dorsalis
pedis/tibialis

Langkah 3. Kriteria Rujukan (untuk semua kunjungan):


- TDS >140 mmHg atau TDD >90 mmHg pada subyek usia <40 tahun (untuk
menyingkirkan hipertensi sekunder)
- Diketahui menderita penyakit jantung, stroke, TIA, DM, penyakit ginjal (untuk
penilaian bilamana diperlukan)
- Angina pektoris, klaudikasio
- Perburukan gagal jantung
- Tekanan darah >140/90 mmHg atau >130/80 mmHg pada DM yang sudah minum 2 -
3 obat
- Proteinuria
- Rujukan untuk kasus DM dilakukan bila:
⮚ Kasus DM baru dengan keton 2+ atau berbadan kurus usia <30 tahun
⮚ Gula darah puasa >14 mmol/L (250 mg/dl) meskipun sudah mendapat
metformin dosis maksimal dengan/tanpa sulfonylurea
⮚ Disertai infeksi berat dengan/tanpa luka di kaki

64
⮚ Terjadi perburukan penglihatan/tidak diperiksa mata dalam 2 tahun terakhir

Langkah 4. Tetapkan Risiko Kardioserebrovaskular bagi yang tidak dirujuk:


- Gunakan Carta risiko WHO/ISH sesuai ketentuan standar PEN-WHO
- Gunakan usia, jenis kelamin, status merokok, tekanan darah sistolik, diabetes melitus
(dan kadar kolesterol bila ada)
- Bila usia 50-59 tahun pilih kolom kelompok usia 50, bila 60-69 tahun pilih kelompok
usia 60 dan seterusnya; untuk usia <40 tahun pilih kelompok usia 40

Langkah 5. Penggunaan obat-obatan sebagai berikut:


- Bila TD ≥160/100 mmHg harus segera diberikan obat anti -hipertensi
- Semua pasien DM dan penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung koroner, infark
miokard, serangan iskemik transien/TIA, penyakit serebrovaskuler atau penyakit
vaskuler perifer); bilamana stabil hendaknya terus minum obat yang sudah
diresepkan, dan dianggap mempunyai risiko >30%
- Semua subjek dengan kadar kolesterol total >8 mmol/L (320 mg/dl) harus diberi obat
statin disamping nasihat pola hidup sehat
- Bila Risiko <20%:
⮚ Perlu konsultasi diet, aktivitas fisik, berhenti merokok
⮚ Bila risiko <10% cek kembali dalam waktu 12 bulan
⮚ Bila risiko 10 - <20% cek kembali tiap 3 bulan hingga target tercapai,
selanjutnya tiap 6 - 9 bulan.
- Bila risiko 20-30%
⮚ Perlu konsultasi diet, aktivitas fisik, berhenti merokok - Bila TD menetap
>140/90 mmHg atau >130/80 mmHg pada DM pertimbangkan pemberian
salah satu dosis rendah obat :
▪ Hydrochlorthiazide 25 - 50 mg per hari,
▪ Enalapril 5 - 20 mg per hari,
▪ Atenolol 50 - 100 mg per hari atau
▪ Amlodipine 5 - 10 mg perhari,
⮚ Cek teratur tiap 3-6 bulan
- Bila risiko >30%
⮚ Perlu konsultasi diet, aktivitas fisik, berhenti merokok
⮚ Bila TD menetap = 130/90 mmHg harus diberikan salah satu dosis rendah
obat:

65
▪ Hydrochlorthiazide 25 - 50 mg per hari,
▪ Enalapril 5 - 20 mg per hari,
▪ Atenolol 50 - 100 mg per hari atau
▪ Amlodipine 5 - 10 mg perhari,
⮚ Berikan statin
⮚ Cek teratur tiap 3 bulan

Langkah - langkah yang harus dilakukan saat kunjungan pasien yang kedua.
Ulangi langkah 2,3,4. Ikuti kriteria rujukkan untuk semua kunjungan (langkah 3)
- Bila risiko <20%:
⮚ Cek ulang tiap 12 bulan - dinilai kembali risiko kardioserebrovaskuler
⮚ Konsultasi diet, aktivitas fisik, berhenti merokok (lihat lampiran konseling)
- Bila risiko 20-30%:
⮚ Lanjutkan seperti langkah 3 dan cek ulang tiap 3 bulan
- Bila risiko masih tetap >30% setelah 3-6 bulan intervensi obat-obatan pada
kunjungan pertama, rujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan

Langkah tambahan: untuk pasien diabetes melitus (DM)


- Bila dengan diet DM kadar gula puasa tetap diatas normal, berikan meƞ ormin
- Titrasi meƞ ormin hingga kadar gula mencapai target yang diinginkan
- Nasehatkan cara memelihara kaki
- Cek teratur tiap 3 bulan
- Beri statin bila usia >40 tahun meskipun risiko kardioserebrovaskular rendah
- Rujuk untuk pemeriksaan mata setiap 2 tahun

A. Kegiatan
1. Skrining Hipertensi
● Sasaran: penduduk usia > 15 tahun

● Kegiatan dilaksanakan secara rutin dan berkala untuk memudahkan


masyarakat menjangkau layanan dan berdampak pada keberhasilan
pencapaian target.
● Skrining untuk deteksi dini hipertensi dapat dilakukan di Posbindu
PTM/Posyandu/Pos UKK, Komunitas, Sekolah, Kampus, Instansi/ tempat
kerja dan fasyankes atau laboratorium klinik swasta, dan serta tempat-
66
tempat umum lainnya, melalui pemeriksaan tekanan darah menggunakan
tensimeter digital.
● Di komunitas deteksi dini hipertensi dilakukan oleh kader terlatih dan
penegakan diagnosis dilakukan di Puskesmas/ FKTP
● Penilaian hasil skrining Hipertensi dan tindak lanjutnya: berdasarkan
skrining pada kegiatan Posyandu atau  Posyandu Prima
● Tindak lanjut penilaian hasil skrining Hipertensi: (sesuaikan dgn JNC
VII,2003)
- Normal : tetap pertahankan gaya hidup sehat
- Normal Tinggi : edukasi untuk melakukan gaya hidup sehat dan
pemantauan setiap bulan
- Hipertensi : tindak lanjut dini ke fasilitas pelayanan kesehatan
(Posyandu/Posyandu Prima) atau tatalaksana sesuai PPK dan
peraturan lain yang berlaku (Puskesmas)
● Tatalaksana hipertensi di Puskesmas/FKTP dilakukan dengan PANDU
PTM sesuai standar.
● Disamping pemeriksaan tekanan darah, di Puskesmas pada pasien hipertensi usia ≥
40 tahun juga dilakukan pemeriksaan deteksi dini komplikasi pada organ target
untuk melihat kemungkinan komplikasi penyakit jantung, stroke dan kelainan
ginjal:
- Pemeriksaan mata dengan funduskopi
- EKG dan laboratorium: profil lipid untuk mengetahui dyslipidemia
- Urinalisis untuk menilai albuminuria, ureum dan kreatinin.
●  Tindak lanjut skrining dilakukan:
- Konseling perubahan perilaku untuk lebih sehat, seperti gizi seimbang,
aktivitas fisik, layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) dan terapi yang
sesuai Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
- Kunjungan rumah oleh kader untuk memberikan edukasi bila pasien
tidak datang 2 kali.
- Bila ditemukan anggota (Anggora RT), dilakukan konseling keluarga

67
2. Skrining Diabetes Melitus
● Penapisan dilakukan untuk usia ≥ 15 tahun dengan faktor risiko PTM obesitas dan
atau obesitas sentral, dan atau tekanan darah tinggi.
● Penapisan DM dengan pemeriksaan kadar gula darah, dilakukan untuk:
o Usia 15 - < 40 tahun dengan faktor risiko PTM (riwayat  obesitas umum
dan/atau obesitas sentral, dan/atau tekanan  darah tinggi) 
o Usia ≥ 40 tahun 
● Skrining DM di Posyandu dan FKTP dilakukan 1 tahun sekali:
o Saat kegiatan Posyandu oleh kader terlatih dan penegakan diagnosa
dilakukan di FKTP.
o Skrining di Posyandu Prima dan FKTP oleh tenaga kesehatan, mengacu
pada Panduan Praktik Klinis (PPK), atau ketentuan lain yang berlaku.
● Tatalaksana diabetes melitus di Posbindu Prima dan Puskesmas/ FKTP
oleh tenaga kesehatan dengan PANDU PTM sesuai standar atau mengacu
pada Panduan Praktik Klinis (PPK), atau ketentuan lain yang berlaku. 
● Alat yang digunakan untuk skrining DM: Alat pemeriksaan kadar gula darah
(Glukometer untuk kegiatan Posyandu/ Posyandu Prima atau Clinical
Chemistry Analyzer di Puskesmas/FKTP lainnya)
● Tindak lanjut skrining DM dapat dilakukan kunjungan rumah oleh kader
untuk memberikan edukasi
● Penilaian hasil skrining DM dan tindak lanjutnya:
o Normal : tetap pertahankan gaya hidup sehat
o Prediabetes : edukasi untuk gaya hidup sehat dan pemantauan selama
3 bulan
o Diabetes : tindak lanjut dini ke fasilitas pelayanan kesehatan
(Posyandu/Posyandu Prima) atau tatalaksana
sesuai PPK dan peraturan lain yang berlaku
(Puskesmas)

3. Prediksi Risiko PTM


a. Memprediksi risiko seseorang menderita penyakit kardiovaskuler 10 tahun
mendatang, berdasarkan jenis kelamin, umur, tekanan darah sistolik, status
68
merokok
b. Menggunakan Tabel Prediksi Risiko PTM
c. Diadaptasi dari “WHO Cardiovascular Disease Risk Charts” yang dikeluarkan
tahun 2020
d. Terdapat 2 jenis tabel prediksi risiko PTM, yaitu:
✔ Berdasarkan hasil laboratorium (memerlukan nilai kolesterol total dan
diagnosis diabetes melitus) dan
✔ Tanpa hasil laboratorium (memerlukan nilai IMT)

Pemakaian Tabel Prediksi Risiko PTM


• Usia 40 tahun ke atas
• Riwayat Merokok
• Berat Badan Berlebih
• Terdiagnosa Hipertensi
• Terdiagnosa hipertensi
• Terdiagnosa Diabetes
• Riwayat Keluarga tingkat satu dengan penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
• Riwayat Keluarga tingkat satu dengan Diabetes dan Penyakit Ginjal

tabel dan cara membaca dalam lampiran

69
Cara penggunaan tabel prediksi risiko PTM
(Dengan hasil laboratorium)
1. Tentukan dahulu apakah orang yang diperiksa penyandang DM atau tidak.
Gunakan kolom yang sesuai dengan statusnya.
2. Kemudian tentukan kolom jenis kelaminnya (laki-laki di kolom kiri dan perempuan di
kolom kanan).
3. Tentukan status merokok apakah merokok atau tidak, sesuaikan di kolomnya
masing-masing
4. Selanjutnya tetapkan blok usia. Lihat lajur angka paling kiri (misalnya untuk usia 46
tahun pakai blok usia 45-49 tahun, 68 tahun pakai blok 65-69 tahun, dst
5. Tekanan darah (TD) yang dipakai adalah tekanan darah sistolik – lihat nilai sistolik
pada lajur paling kanan.
6. Lihat kolom konversi kadar kolesterol total pada lajur bawah (pada tabel digunakan
satuan mmol/l, sedangkan di Indonesia umumnya menggunakan satuan mg/dl,
angka konversi tercantum).
7. Tarik garis dari blok umur ke arah dalam, kemudian tarik garis dari TD ke arah
dalam dan nilai kolesterol ke atas, angka dan warna kotak yang tercantum pada titik

70
temu antara kolom umur, TD, dan kolom kolesterol menentukan besarnya risiko
untuk mengalami penyakit kardiovaskular dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.
8. Penilaian berdasarkan tingkat risiko ini dilanjutkan dengan tata laksana

Cara penggunaan tabel prediksi risiko PTM


(tanpa hasil laboratorium)
71
1. Tentukan dahulu kolom jenis kelaminnya (laki-laki kolom kiri dan perempuan kolom
kanan).
2. Tentukan status merokok apakah merokok atau tidak, sesuaikan di kolomnya
masing-masing
3. Selanjutnya tetapkan blok usia. Lihat lajur angka paling kiri (misalnya untuk usia 46
tahun pakai blok usia 45-49 tahun, 68 tahun pakai blok 65-69 tahun, dst
4. Tekanan darah (TD) yang dipakai adalah tekanan darah sistolik – lihat nilai sistolik
pada lajur paling kanan.
5. Lihat kolom IMT (Indeks Masa Tubuh) pada lajur bawah.
6. Tarik garis dari blok umur ke arah dalam, kemudian tarik garis dari titik tekanan darah
ke arah dalam dan nilai IMT ke atas, angka dan warna kotak yang tercantum pada
titik temu antara kolom umur, TD sistolik dan kolom IMT menentukan besarnya risiko
untuk mengalami penyakit kardiovaskular dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.
7. Penilaian berdasarkan tingkat risiko ini dilanjutkan dengan tata laksana

TATA LAKSANA HASIL PREDIKSI RISIKO


Tatalaksana berdasarkan Tingkat Risiko tabel dengan Hasil Laboratorium
1. Risiko Kardiovaskular <5 %

Memberi Diet sehat dan seimbang, aktifitas fisik.


kan KIE Upaya berhenti merokok dan menghindari
konsumsi alkohol berlebih

Obati Pemberian obat anti hipertensi sesuai


indikasi
Pemberian Antidiabetik sesuai indikasi

Follow Lakukan follow up prediksi risiko dalam 12


Up bulan
Bagi penyandang hipertensi dan atau DM
dilakukan kontrol minimal 1 bulan sekali
dan pemeriksaan skrining penyakit
kardiovaskular dan stroke minimal 1 tahun
sekali

72
2. Risiko Kardiovaskular 5 -10%

Memberi Diet sehat dan seimbang, aktifitas fisik.


kan KIE Upaya berhenti merokok dan menghindari
konsumsi alkohol berlebih

Obati Pemberian obat anti hipertensi sesuai


indikasi
Pemberian Antidiabetik sesuai indikasi

Follow • Lakukan follow up prediksi risiko dalam


Up 3 bulan hingga mencapai target,
dilanjukan 6-9 bulan kemudian
• Bagi penyandang hipertensi dan atau
DM dilakukan kontrol minimal 1 bulan
sekali dan pemeriksaan skrining
penyakit kardiovaskular dan stroke
minimal 1 tahun sekali

3. Risiko Kardiovaskular 10 - 20%

Memberi Diet sehat dan seimbang, aktifitas fisik.


kan KIE Upaya berhenti merokok dan menghindari
konsumsi alkohol berlebih

Obati Pemberian obat anti hipertensi sesuai


indikasi
Pemberian Antidiabetik sesuai indikasi

Follow Up • Lakukan follow up prediksi risiko dalam


3-6 bulan
• Bagi penyandang hipertensi dan atau DM
dilakukan kontrol minimal 1 bulan sekali
dan pemeriksaan skrining penyakit
kardiovaskular dan stroke minimal 1
tahun sekali

4. Risiko Kardiovaskular > 20 %

73
Memberikan KIE Diet sehat dan seimbang, aktifitas fisik.
Upaya berhenti merokok dan menghindari
konsumsi alkohol berlebih

Obati Pemberian obat anti hipertensi sesuai


indikasi
Pemberian Antidiabetik sesuai indikasi
Berikan Statin sesuai indikasi

Follow Up • Lakukan follow up prediksi risiko dalam


12 bulan
• Bagi penyandang hipertensi dan atau
DM dilakukan kontrol minimal 1 bulan
sekali dan pemeriksaan skrining
penyakit kardiovaskular dan stroke
minimal 1 tahun sekali
• Bila tidak ada penurunan risiko
kardiovaskular setelah 6 bulan follow up
maka rujuk ke FKRTL

C. Rujuk dan Rujuk Balik

Tata laksana penyakit kardiovaskular dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat


pertama (FKTP), agar tidak berlanjut terjadi komplikasi dan sebagai evaluasi, diperlukan
rujukan atau tata laksana maupun perawatan lebih lanjut ke FKRTL.

Layanan di FKTP, yaitu:


a. Kunjungan ke puskesmas atas inisiatif sendiri atau atas rujukan dari Posyandu,
pemberi layanan primer/klinik pratama/ praktik mandiri atau masyarakat.
b. Pasien melakukan registrasi dan diidentifikasi apakah termasuk kasus gawat
darurat atau bukan.

74
c. Setelah registrasi, bila termasuk kasus gawat darurat akan diberikan
penanganan sesuai kasus gawat darurat di IGD/RB dan bila tidak dapat
ditangani di puskesmas akan dirujuk ke FKTRL.
d. Bila bukan termasuk kasus gawat darurat maka akan diberikan pelayanan di poli
untuk mendapatkan pemeriksaan sesuai standar.
● untuk usia produktif yaitu skrining PTM, PM dan layak hamil.

● untuk lansia (60 tahun keatas) yaitu skrining/penilaian pengkajian paripurna


pasien geriatri, skrining PTM (hipertensi, DM, kardiovaskuler, kanker
payudara, paru, usus/kolorektal, skrining PPOK, obesitas) dan PM (TBC).
Bila pasien membutuhkan pelayanan farmasi dapat diberikan bila diperlukan.
e. Bila pasien dengan tidak perlu pelayanan umum lainnya, setelah mendapat
pemeriksaan sesuai standar diatas, maka pasien dapat pulang.
f. Bila pasien membutuhkan pelayanan umum lainnya maka dapat diberikan
pelayanan yang diperlukan seperti pengobatan gigi dan mulut, laboratorium,
rawat inap (bila ada). Setelah mendapatkan pelayanan yang sesuai, maka akan
dilakukan evaluasi apakah membutuhkan konsultasi ulang atau tidak.
g. Bila pasien membutuhkan penanganan spesialistik maka akan dirujuk ke FKTRL.
h. Pelayanan dalam puskesmas termasuk PWS yaitu melakukan analisa beban
penyakit meliputi morbiditas dan cakupan pelayanan.

75
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI

Dalam memonitoring kinerja, Kementerian Kesehatan mempunyai indikator sebagai


penilaian dalam perencanaan kerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi internal
dan capaian kinerja yang ada di seluruh instansi.

Sasaran Program (Outcome)/Sasaran Kegiatan (Output)/Indikator, tersebut, yaitu:


A. Meningkatnya jumlah kabupaten/ kota yang melakukan deteksi dini faktor risiko PTM

Indikator Definisi Operasional Cara Perhitungan


(DO)

1. Persentase penduduk Persentase penduduk Rerata persentase yang


sesuai kelompok usia sesuai kelompok sasaran dihitung dengan cara :
yang dilakukan skrining yang mendapatkan menjumlahkan persentase
PTM prioritas skrining PTM Prioritas masing-masing skrining dibagi
yaitu Hipertensi, DM, dengan 9. Persentase masing-
Obesitas, Stroke, Jantung, masing skrining dihitung
PPOK, Kanker Payudara, dengan jumlah sasaran yang
Kanker Leher Rahim, mendapatkan skrining
Katarak dan Kelainan (Hipertensi, DM, Obesitas,
Refraksi, Tuli Kongenital, Stroke, Jantung, PPOK, Kanker
dan Otitis Media Payudara, Kanker Leher
Supurative Kronis (OMSK) Rahim, Kelainan Refraksi,
dan/atau Otitis Media

76
Supurative Kronis (OMSK)
dalam 1 tahun dibagi jumlah
sasaran masing-masing jenis
skrining dikali 100. Rerata
persentase yang dihitung
dengan cara : menjumlahkan
persentase masing-masing
skrining dibagi dengan 9

B. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang melakukan Pengendalian faktor risiko PTM:

Indikator Definisi Operasional (DO) Cara Perhitungan

1. Jumlah kabupaten/kota Persentase kabupaten/kota Jumlah kabupaten/kota yang


yang melakukan pelayanan yang minimal 80% minimal 80% puskesmasnya
terpadu (Pandu) PTM di ≥ puskesmasnya melaksanakan Pelayanan
80% puskesmas melaksanakan Pelayanan Terpadu PTM (PANDU
Terpadu PTM (PANDU PTM) dalam 1 tahun dibagi
PTM) dengan total kabupaten/kota
dikali 100

2. Persentase penyandang Hipertensi terkendali jika Jumlah penyandang


hipertensi yang tekanan tekanan darah Sistole hipertensi yang tekanan
darahnya terkendali di <140mmHg dan diastole sistol dan diastol turun dari
puskesmas/FKTP <90 mmHg pemeriksaan sebelumnya
dalam kurun waktu 1 tahun
minimal 3 kali (3 bulan)
dibagi seluruh penyandang
hipertensi dikali 100

3. Persentase penyandang Persentase peyandang Jumlah penyandang


diabetes melitus yang diabetes melitus yang gula diabetes melitus yang gula
gula darahnya terkendali darah puasa < 126 mg/dl darah puasa <126 mg/dl
di puskesmas/FKTP atau gula darah 2 jam pp atau gula darah 2 jam pp
nya < 200 mg/dl sebanyak nya <200 mg/dl sebanyak
minimal 3 kali (3 bulan) atau minimal 3 kali (3 bulan) atau

77
HbA1c <7% minimal 1 kali HbA1c <7% minimal 1 kali
dalam kurun waktu 1 tahun dalam kurun waktu 1 tahun
dibagi jumlah seluruh
penyandang diabetes
melitus dikali 100

Peranan dalam kegiatan monitoring evaluasi:


1. Dinas Kesehatan Provinsi :
a. Menyampaikan kegiatan program pencegahan dan pengendalian hipertensi dari
pemerintah pusat ke Dinas Kabupaten/Kota
b. Melakukan koordinasi dan dukungan pelaksanaan program pencegahan dan
pengendalian hipertensi dari pemerintah pusat ke Dinas Kabupaten/Kota dengan
lintas sektor terkait.
c. Melakukan monitoring dan evaluasi:
a. implementasi kebijakan/ aturan/ regulasi tentang Pengendalian PTM
terkait pengendalian hipertensi
b. kegiatan pengendalian hipertensi dalam bentuk pelatihan pengendalian
PTM terintegrasi, jejaring kerja dengan program dan sektor lain yang
terkait
c. pelayanan kesehatan terkait hipertensi.
d. Posbindu PTM di wilayah kerja FKTP
e. ketersediaan alat-alat kesehatan penunjang kegiatan pencegahan dan
pengendalian hipertensi di FKTP dan Posbindu PTM/Posyandu
(tensimeter digital, alat ukur lingkar perut, alat ukur tinggi badan,
timbangan berat badan, glukomoter dan KIE).
d. melakukan analisa situasi berdasarkan cakupan/capaian indikator tahun lalu,
maslaah dna kebutuhan dll

2. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota:


a. Menetapkan jumlah target sasaran yang harus dicakup dalam 1 tahun yang
disepakati bersama.
b. Melakukan sosialisasi program pencegahan dan pengendalian hipertensi
c. Berkoordinasi dengan lintas sektor, mengintegrasikan program program
pencegahan dan pengendalian hipertensi.
78
d. Bekerja sama dengan Pengelola Program Puskesmas menyiapkan tim
pelaksana.
e. Menyiapkan alat pendukung dan catatan terkait program dan pelayanan
hipertensi. Alat pendukung terdiri dari tensimeter, timbangan, pita ukur dan buku
catatan serta buku-buku KIE yang terkait
f. Melakukan monitoring dan evaluasi serta bimbingan teknis berkala.
g. Monitoring dan evaluasi ketersediaan SDM untuk penanganan PTM: dokter
spesialis penyakit dalam, dokter umum/ keluarga, perawat, petugas kesehatan
komunitas /penyuluh kesehatan, ahli gizi, apoteker / asisten apoteker, petugas
yang sudah pernah dilatih.
h. Monitoring dan evaluasi ketersediaan peralatan untuk pencegahan dan
pengendalian hipertensi : tensimeter digital, alat ukur lingkar perut, alat ukur
tinggi badan, timbangan berat badan dan glukometer.
i. Monitoring dan evaluasi jenis pelayanan kesehatan dalam program pencegahan
dan pengendalian hipertensi di Posyandu event/Posbindu PTM dan FKTP, serta
ketersediaan sarana penyuluhan (poster, lembar balik, banner, leaflet, Pedoman/
Juknis, Pedoman/ Juknis Posbindu PTM).
j. Monitoring dan evaluasi terintegrasinya upaya pencegahan dan pengendalian
faktor risiko hipertensi dengan program penyakit tidak menular lainnya:
Ketersediaan konsultasi bagi individu dan keluarga (klinik gizi, klinik berhenti
merokok), konseling dan penyuluhan PTM (gizi sehat dan seimbang, aktivitas
fisik, berhenti merokok). Kawasan tanpa rokok di wilayah kerja

3. FKTP Puskesmas, Klinik Pratama, Praktek Dokter Mandiri:


a. Memberikan edukasi perilaku gaya hidup sehat disampaikan pada
penyandang hipertensi.
b. Mengkoordinir pencatatan dan pelaporan secara berjenjang.
c. Klinik Pratama dan Praktek Dokter Mandiri memberikan laporan kepada
Puskesmas wilayahnya
d. Melakukan monitoring dan evaluasi serta bimbingan teknis berkala.
Menganalisis laporan dan memberikan umpan balik berjenjang kepada
pelaksana Pengelola Program Kab/Kota, Pengelola Program Puskesmas dan
pelaksana

4. UKBM (Posyandu event/Posbindu PTM):

79
a. Tim pelaksana/kader melakukan rujukan ke FKTP sesuai ketentuan apabila
diperlukan
b. Menetapkan jumlah target sasaran di wilayah tersebut yang harus dicakup
dalam 1 tahun.
c. Mencatat dan melaporkan kegiatan secara berjenjang

5. Lembaga Swadaya Masyarakat


Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan
Stroke Indonesia, LSM Himpunan Peduli Stroke dan Organisasi Non-Pemerintah
lainnya mampu menjadi pendamping dalam proses pengendalian hipertensi
melalui upaya penyuluhan, pelatihan, pemberian dukungan dan konseling

6. Organisasi Profesi dan Lembaga Pendidikan


Keterlibatan tenaga profesional baik secara individu maupun melalui organisasi
profesi seperti InaSH, PERDOSSI, PERKI, PERNEFRI, PAPDI dan lain-lain serta
lembaga pendidikan tinggi dapat berperan dalam menyebarluaskan informasi
kepada lingkungan profesi dan masyarakat luas, mengadvokasi para penentu
kebijakan sesuai dengan profesinya, terlibat aktif dalam penyusunan pedoman
teknis yang sesuai dengan profesinya, penelitian, riset dan operasional
pengendalian hipertensi

7. Organisasi masy peduli kesehatan, AoC PTM

PENUTUP

Penyakit Kardiovaskular merupakan masalah kesehatan yang memerlukan


penanganan holistik dan berkesinambungan baik di tingkat masyarakat maupun di
pelayanan kesehatan. Program pengendalian hipertensi di Indonesia meliputi : penyuluhan
(KIE), deteksi dini, penanganan faktor risiko, peningkatan akses pelayanan tatalaksana, dan
surveilans epidemiologi (kasus dan faktor risiko). Protokol penanganan Penyakit
Kardiovaskular menjadi acuan bagi petugas kesehatan di FKTP untuk menyusun,
melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kinerja program pengendalian penyakit tidak
menular, khususnya pengendalian penyakit Kardiovaskular.

80
BAB VII
SURVEILANS PENYAKIT HIPERTENSI

A. Pencatatan
Perlu suatu mekanisme pencatatan yang baik, formulir yang cukup serta cara
pengisian yang benar dan teliti. Pencatatan dilaksanakan sesuai dengan jenis kegiatan
yang dilaksanakan. Pencatatan pelayanan tiap tahapan dilaksanakan melalui sistem
digital untuk memudahkan kader dan tenaga kesehatan menginput data, yaitu
menggunakan aplikasi Sehat Indonesiaku (ASIK) dan SI PTM. Data hasil kegiatan

81
pengendalian hipertensi dilaporkan setiap bulannya sesuai format, yang nantinya akan
di laporkan secara bertingkat.

B. Pelaporan
Pelaporan adalah suatu kegiatan penyampaian informasi dari hasil pencatatan yang
dituangkan dalam format laporan kepada pihak-pihak terkait. . Pelaporan pelayanan
hipertensi dengan SI PTM dapat menggunakan format laporan offline yang telah
disediakan untuk Posbindu/Poyandu Event, kemudian di laporkan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setiap bulan. Dinas Kabupaten Kota mengupload laporan
offline dari puskemas kedalam SIPTM yang terintegrasi dengan SI Puskesmas. Sedang
sistem pelaporan berbasis digital mellaui aplikasi ASIK dapat menginput melalui hape
android yang telah teregistrasi user Puskesmas dan dalam fitur dashboard setiap
pengelola program pada setiap jenjang dapat mengetahui terkait morbiditas dan progres
cakupan pelayanan di wilayahnya.
Pada dashboard Sehat IndonesiaKu, pengguna dapat memantau hasil layanan
deteksi dini PTM level individual yang sudah dilaksanakan di lapangan. Dinas
Kesehatan kabupaten/kota dan provinsi dapat memantau puskesmas mana saja yang
sudah melakukan layanan deteksi dini PTM berikut dengan jumlah orang yang sudah
discreening.

SISTEM INFORMASI PENYAKIT TIDAK MENULAR (SI PTM) dapat Diakses


melalui :
https://drive.google.com/drive/folders/1Sr74DXljFDNbt1tEs6zeMzivkFr28b8c?
usp=sharing

Untuk lebih jelasnya pencatatan dan pelaporan data Deteksi Dini PTM (aplikasi
ASIK), dapat mengunduh melalui:
● Tautan materi dll ada di https://link.kemkes.go.id/MateriSosASIK

● Login dashboard https://sehatindonesiaku.kemkes.go.id/login

● Tautan Youtube Sosialisasi ASIK https://youtu.be/ToIMAgQ8PPM

● Video Penjelasan Penggunaan Aplikasi Sehat Indonesia Ku - ASIK


https://youtu.be/H_QgzXU8BFs
● Buku Panduan ASIK https://link.kemkes.go.id/PanduanASIKDDPTM

● Akses dashboard ASIK https://link.kemkes.go.id/AksesDashboardASIK

82
● Isi pemutakhiran data puskesmas yang belum ada kode wilayah
https://link.kemkes.go.id/FormPemutakhiranDataPuskesmas
● KIE Kick Off Bulan Gerakan Deteksi Dini dapat diakses di
https://link.kemkes.go.id/KIEKickOffDDPTMHHS

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Petunjuk Teknis Integrasi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas tahun 2022


2. Permenkes 67 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lansia di
Puskesmas
3. Permenkes 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular
4. Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana hipertensi, tahun 2015
5. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Diabetes Melitus tahun 2016

83
6. Pedoman Pelayanan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Pandu PTM) di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama tahun 2021
7. Buku Juknis Deteksi Dini PTM tahun 2022
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/4634/2021
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hipertensi Dewasa
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/603/2020
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe
2 Dewasa
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/514/2015
Tentang Panduan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 854/Menkes/SK/IX/2009
tentang pedoman pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah

84

Anda mungkin juga menyukai