Anda di halaman 1dari 17

TEORI EVOLUSIONER

Robert C. Bolles

Dosen Pengampu : Raudah, M.Pd


MAKALAH

Oleh:
Azzatil akmar (202225021)

PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis bermunajat kehadirat Allah SWT, tuhan


Yang Maha Esa sembari mengagkat tangan, bermohon kiranya
memberikan taufiq, hidayah, rahmat dan karunianya serta
kelapangan berpikir dan waktu, sehingga penulis dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Dengan judul “TEORI
EVOLUSIONER”. Dalam penulisan makalah ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-
pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen Belajar Dan Pembelajaran.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak
kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki Penulis. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Atas kritik dan sarannya
diucapkan terimakasih.

Lhokseumawe, 6 Oktober 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1

1.3 Tujuan.........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Teori Darwin dan Psikologi Evolusioner....................................................................3

2.2 Teori Belajar Bolles....................................................................................................5

2.4 Psikologi Evolusioner dan Perilaku Manusia...........................................................10

2.5 Pandangan Psikologi Evolusioner Tentang Pendidikan............................................14

2.6 Evaluasi Psikologi Evalusioner.................................................................................15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................................16

3.2 Saran...........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak melakukan kegiatan yang sebenarnya
merupakan gejalah belajar, dalam arti mustahillah dapat melakukan kegiatan itu, kalau
tidak belajar terlebih dahulu, Winken dalam Abdi (2009: 11) menyatakan, bahwa terlalu
banyak hal yang kita lakukan jika ingin sebutkan satu-persatu, namun secara spontannitas
kegiatan yang dilakukan adalah bagian dari belajar.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan proses perubahan yaitu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh
aspek tingkah laku. Sejalan dengan itu, Slameto (1990:2) menyatakan bahwa belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.
Salah satu teori pembelajaran adalah Teori evolusioner. Teori evolusioner lebih
menekankan pada sejarah evolusi proses belajar organisme. Paradigma ini lebih berfokus pada
cara di mana proses evolusi mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis belajar tetapi
membuat jenis belajar lain menjadi sulit atau mustahil.
Penerimaan teori evolusi oleh komunitas ilmiah menandai pukulan telak terhadap
ego manusia. Evolusi mengembalikan kontiunitas antara manusia dan hewan lain yang
telah diabaikan selama berabad-abad. Kehadiran karya Darwin (1859-1958) On the Origin
of Species by Means of Natural Selection, yang mempopulerkan konsep natural selection
(seleksi alam) sebagai dasar dari perubahan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Siapakah Robert C. Bolles itu dan bagaimanakah konsep teori evolusiner?
2. Bagaimanakah aplikasi Psikologi Evolusioner dalam perilaku manusia?
3. Bagaimanakah pandangan psikologi evolusioner tentang pendidikan?
4. Apa sajakah kelebihan dan kekurangan teori evolusioner?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui biografi Robert C. Bolles dan konsep teori evolusioner.
2. Mengetahui aplikasi psikologi evolusioner dalam perilaku manusia.
3. Mengetahui pandangan psikologi evolusioner tentang pendidikan.
4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan teori evolusioner.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Darwin dan Psikologi Evolusioner


A. Seleksi Alam dan Adaptasi
a. Seleksi alam
Seleksi alam atau natural seletion dalah karya Darwin. Ciri esensi dari seleksi
alam, dan relevansinya bagi psikologi evolsioner, sebagi berikut.
1. Ada variabilitas (variability) natural di dalam suatu spesies. Variabilitas ini
mungkin lebih banyak diekspresikan dalam aktivitas visual di beberapa anggota
suatu spesies, atau dalam kekuatan fisik dibeberapa anggota lainya, atau dalam
kecepatan belajar dianggota lainnya lagi. Perbedaan-perbedaan individual ini
membentuk blok banguna dasar dari proses evolusi dan merupakan unsur esensial
bagi terjadinya proses ini.
2. Hanya beberapa perbedaan individul yang dapat diwarskan. yakni, hanya beberapa
yang dapat diturunkan dari orang tua ke anak dan dari anak ke anaknya, dan
seterusnya. Variasiyang disebabkan oleh mutasi genetik atau oleh kejadian
lingkungan yang tidak menguntungkan bagi anggota suatu spesies tidak akan
diturunkan ke keturunan berikutnya.Demikian pula variasi dalam belajar perilaku,
entah itu menguntungkan atau tidak, akan diteruskan ke generasi berikutnnya
melalui belajar, tetapi tidak diwariskan. Teori evolusi berhubungan dengan
variabilitas yang bisa di warisakan, bukan pada variasi behavioral yang merupakan
hasil dari fenomena lainnya.
3. Interaksi antara atribut organisme dengan tuntunan lingkungan tempat ia tinggal
akan memungkinkan akan terjadinya seleksi alam.
b. Adaptasi
Adaptasi diartikan sebagai cara bagaimana individu mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk bertahan hidup. Individu yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup,
sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan
jenis.
Pada dasarnya adaptasi adalah cara untuk mempertahankan keberadaan. Dilihat dari
latar belakang perkembangannya, pada mulanya adaptasi diartikan sama dengan
penyesuaian diri. Padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian
diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari
daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah
dingin tersebut. Dengan demikian. dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian diri
cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik (self-maintenance
atau surnival). Oleh sebab itu, jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha
mempertahankan diri maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian
dalam arti psikologis. Akibatnya, adanya kompleksitas kepribadian individu serta adanya
hubungan kepribadian individu dengan lingkungan menjadi terabaikan. Padahal, dalam
penyesuian diri sesungguhnya tidak sekadar penyesuaian fisik, melainkan yang lebih
kompleks dan lebih penting lagi adalah adanya keunikan dan keberbedaan kepribadian
individu dalam hubungannya dengan lingkungan. Individu yangpunya kemampuan
adaptasi yang tinggi akan punya juga kemampuan survival yang tinggi.

c. Miskonsepsi tentang Adaptasi,


Crawford (1998) memperingatkam adanya kesalahpahaman konsep “ survival of
the fittest “. Umumnya diyakini bahwa seleksi alam akan lebih menguntungkan anggota
individu yang terkuat, paling agresif, dan kesuksesan evolusi akan melibatkan perjuangan
dimana yang dominanlah yang akan menang. Akan tetapi ada di beberapa individu yang
mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan menyembunyikan diri
menghindari konfrontasi yang menyusahkan. Dengan kata lain kecocokan evolusioner,
yang didefinisikan dalam trem kesuksesan reproduksi, kerap bergantung pada kesesuaian
fisik individu.
Buss, Haselton, Shackelford, Blaske, dan Wakefield (1998) juga memperingatkan
kita untuk menghindari miskonsepsi bahwa seleksi alam akan menimbulkan adaptasi
optimal dalam situasi tertentu. “ seleksi alam bukan seperti penyanyi yang menggunakan
suaranya untuk mencapai tujuan, yaitu menghibur orang lain. Seleksi alam bekerja hanya
dengan materi yang ada dan tidak bisa diramalkan”. Jadi, proses evolusi lambat
menghasilkan adaptasi yang dapat memecahkan problem untuk lingkungan spesifik, yang
di masa depan mungkinakan berubah, dengan menggunakan materi genetik yang
disediakan oleh organisme dalam unsur biologois organisme. Adaptasi bukan mekanisme
yang di desain secara optimal, mereka lebih baik dimengerti sebagai solusi yang
memperbaiki...dengan kualitas dan tampilan yang dibatasi oleh variasi kekuatan yang lain.

B. Kecocokan Inklusif Dan Teori Neo-Darwinian


Seperti kita ketahui, Darwi mendefinisikan fitness dalam trem jumlah keturunan
yang diproduksi. Kemudian pada tahun 1964, William Hamilton memperluas definisi
darwin dengan mengajukan usulan kecocokan inklusif. Dalam kecocokan inklusif ini,
fokusnya di perluas dari kesuksesan reproduktif suatu anggota individual dari suatu spesies
kepenerusan gen individual dan gen yang juga dimiliki anggota lai dari spesies itu.
Jadi,kita melihat perilaku parental atau perilaku kerjasama dalam suatu kelompok
sebagai perilaku adaptif karena perilaku itu menggunakan survival dan kemungkinan
kesuksesan reproduksi. Perilaku yang mungkin membahayakan individu spesifik akan
dilihat sebagai adaptif sebab pengorbanan individu itu akan mungkin meningkatkan
survival anggota lain dari spesies itu.

2.2 Teori Belajar Bolles


A. Riwayat hidup Robert C. Bolles
Robert C. Bolles lahir di Sacramento, California pada 1928. Dia mendapatkan
pendidikan di rumah sampai usia 12 tahun. Dia memperoleh gelar B.A. di Stanford
University pada tahun 1948 dan meraih M.A bidang matematika di Stanford setahun
kemudian. Dia bertemu dengan John Garcia (penemu efek garcia) di U.S. Naval
Radiological Defense Laboratory dekat San Fransisco. Yang kemidian Garcia menjadi
sahabatnya sepanjang hidup. Bolles segera bergabung dengan Garcia dalam program study
psikologi di Berkelay dimana mereka berdua belajar dibawah bimbingan Tolman. Pada
masa ini Bolles dan Lewis Petrinovic melakukan eksperimen awal yang menimbulkan
minat Bolles pada teori belajar evolusioner.setelah meraih gelar Ph.D. pada 1956 , Bolles
bertugas sebentar di University of Pennsylvania dan kemudian ke Princeton University.
Pada 1959, dia pindah ke Hollins College, dan pada 1964 dia pindah ke University
Washington dan mengajar di sana sampai dia meninggal pada 8 April 1994 karena
serangan jantung.

B. Konsep Teori Utama


a. Ekspektasi
Expektasi menurut Bolles adalah bahwa belajar itu melibatkan pengembangan
expectancies (ekspektasi, pengharapan). Yakni, organisme belajar satu jenis jenis yang
mendahului kejadian lainnya. Bolles menjelaskan pengkondisian kalsik sebagai ekspektasi
yang dipelajari yang ketika diberi denga satu stimulus (CS) aka enimbulkan stimulus lain
(US). Dalam kehidupan sehari-hari, melihat dan berharap suara petir adalah contoh dari
jenis ekspektasi stimulus-stimulus atau SS ini. Pengkondisian klasik melibatkan
pengembangan ekspektasi S-S, sedangkan pengkondisian opran dan istrumental
melibatkan pengembangan ekspektasi respons-stimulus atau R-S.
b. Predisponsi Bawaan
Penekanan Bollespada ekspetasi menunjukan pengaruh dari tolman. Akan tetapi,
ada perbedaan penting antara kedua teoritis itu. Tolman berkonsentrasi pada ekspektasi S-S
dan R-S yang dipelajari, sedangkan Bolles menekankan pada ekspektasi S-S dan R-S
bawaan (innate) dalam analisisnya terhadap prilaku, dan penekananpada S-S dan R-S
bawaan inilah yang menetapkannya segolongan dengan psikolog lain yang tertarik pada
penjelasan prilaku dari prespektif evolusi. contohnya dari hubungan S-S bawaan adalah
ketika bayi menunjukan ketakutan akan suara yang keras. Mengisyaratkan bayi tersebut
memperkirakan peristwa yang berbahaya untuk diikuti. Ekspektasi R-S bawaan
dicontohkan oleh prilaku stereotip yang banyak dilakukan spesies yang saat menghadapi
makanan, minuman, bahaya, dan objek atau kejadian biologis yang siknifikan lainnya.

c. Motivasi Membatasi Fleksibilitas Respons


beberapa teoritis telah meminimalkan atau menolak peran motivasi balam proses
belajar (misalnya, Guhtrie dan tolman). Tetapi teoritis lainnya (misalnya, Hull dan Bolles)
mementigkan motivasi organisme. Menurut Bolles, motivasi dan belajar tidak bisa
dipisahkan. Namun dalam pandangan Bolles seseorang harus tahu baik itu keadaan
motifasional organsime maupun apa yang secara alamiah dilakukan organisme dalam
keadaan motivasional itu.. Menurut Bolles (1979, 1988) organisme mungkin fleksibel
dalam hal ekpektasi S-S, ekpektasi R-S mungkin lebih terbatas sebab motivasi
menghasilkan bias respon. Artinya, hewan akan kesulitan mempelajari perilaku yang
berkonflik dengan prilaku yang terjadi secara alami dalam situasi tersebut. Misalnya,
organisme tidak akan belajar prilaku yang berhubungan dengan tndakan membebaskan diri
guna mendapatkan makanan, atau tdak akan belajar perilaku tertentu untuk bisa bebas dari
stimulus yang menyakitkan atau berbahaya.

d. Argumen Tempat
Bolles (1988) mengatakan bahwa pemahaman atas belajar harus diiringi dengan
pemahaman atas sejarah evolusi organisme. Dia mengatakan bahwa :
“ Hewan punya kewajiban, dorongan, untuk belajar dan untuk tidak belajar, tergantung
pada tempat mereka berada dan bagaimana menyesuaikan diri dengan keseluruhan
skema. Kita dapat memperkirakan beberapa jenis pengalaman akan direfleksikan dalam
belajar, dan sebagaian lainnya tidak... tugas belajar yang nelanggar komitmen biologis
terhadap tempat dapat di perkirakan akan menhasilkan perilaku anomali. Sebuah tugas
belajar yang menguatkan predisposisi hewan untuk berperilaku dengan cara tertentu akan
lebih besar kemungkinannya untuk sukses.Ini adalah argumen tempat.”
Psikologi evolusi lainnya memperluas argumen tempat ini dengan gagasan
Environment of Evolutionary Adaptedness (EEA) istilah yang merujuk pada lingkungan
fisik dan sosialtempat munculnya adaptasi spesifik. Penulis ini dan yang lainnya (misalnya;
Sherman dan Reeve) menekankan ide bahwa EEA bukan sekedar priode atau tempat
prahistoris yang eksis selama perkembanga spesies.

2.4 Psikologi Evolusioner dan Perilaku Manusia


Psikologi evolusioner telah diaplikasikan secara luas untuk memahami perilaku
manusia. Apa yang oleh Wilson disebut sosiobiologi kini disebut psikologi evolusioner dan
ia merupakan topik yang sangat popular dalam psikolgi kontemporer. Meskipun
pembahasan nanti kita membatasi diri pada pengaruh belajar terhadap perkembangan
phobia, seleksi pasangan, parenting, kekerasan keluarga, altruism, dan perilaku moral, serta
perkembangan bahasa. Tetapi ada bidang lain dimana prinsip evolusi telah diaplikasikan
seperti agresi dan perang, pemerkosaan, incest, dan bunuh diri, penghindaran incest, dan
agama.
Dalam banyak hal, prinsip yang menjadi pedoman penjelasan evolusi terhadap
perilaku manusia adalah sejajar dengan prinsip yang dipakai Bolles (1972, 1988) untuk
mengaplikasikan penjelasan evolusi terhadap perilaku non manusia.
Secara spesifik, psikologi evolusioner mengasumsikan bahwa meski ada kemajuan luar
biasa yang dibuat oleh manusia, terutama selama 200 tahun terahkir kita masih merupakan
produk dari evolusi ribuan tahun. Karenanya seperti binatang lainnya, kita terkadang
menunjukan predisposisi bawaan untuk lebih memperhatikan beberapa stimuli ketimbang
stimuli lainnya dan untuk mempelajari beberapa ekspetasi secara lebih mudah ketimbang
ekspetasi lainnya. Seperti binatang, kita juga terkadang cenderung punya bias respon,
terutama ketika didorong oleh keadaan motivasi yang signifikan secara biologis. Menurut
psikologi evolusioner, factor cultural dan biologi harus dipertimbangkan guna mendapat
pemahaman yang penuh tentang perilaku manusia.

A. Perkembangan Phobia
Fobia pada manusia, yang berupa rasa takut yang berlebihan terhadap suatu stimuli
seperti ular atau laba-laba, sulit untuk dijelaskan dalam pengkondisian klasik. Usaha untuk
menjelaskan akan menghasilkan permasalahan yang dangkal. Menurut bebrapa para ahli,
mereka juga menyebut bukti bahwa, meskipun monyet yang dibesarkan di laboratorium
tampaknya tidak memiliki rasa takut bawaan terhadap ular, mereka akan dengan cepat
ketakutan terhadap ular setelah melihat reaksi dari rekaman video monyet liar yang
bertemu dengan ular betulan atau mainan (cook & mineka, 1990). Bahwa kemunculan
rasa takut terhadap ular atau laba-laba mungkin tidak membutuhkan persepsi sadar atas
stimuli itu.
Stimuli ini menarik perhatian kita, dan kita dapat belajar tentangnya tanpa pemrosesan
informasi secara sadat. Ini bukan berarti bahwa, semua manusia pada dasarnya takut pada
ular, laba-laba, anjing, dsb. Psikologi evolusioner juga mendiskusikan xenophobia atau
takut terhadap orang asing. Fobia ini berasal dari tendensi primitive untuk
mendikotomisasikan orang sebagai sebagai anggota satu kelompok (desa atau suku)
dengan orang di luar anggota kelompok.
Dalam xenophobia seseorang mungkin melihat adanya kecenderungan natural ke arah
prasangka. Menurut psikolog evolusioner bahwa suatu tendensi adalah natural yakni,
memiliki asal usul biologis yang sama bukan berarti tendensi itu selalu baik. Mereka
mengatakan adanya predisposisi atau tendensi biologis.
Psikolog evolusioner menegaskan bahwa perilaku manusia selalu merupakan hasil dari
interaksi antara tendesi biologis dengan pengaruh cultural. Jadi, bahkan jika unsur biologi
kita mencondongkan hal yang di anggap tidak diinginkan, hal ini dapat dianggap oleh
pengaruh cultural.

B. Seleksi Pasangan
Teoritis belajar sosial-kognitif mungkin menunjukan bahwa definisi daya tarik
dipelajari dengan mengamati model yang paling menonjol dalam kultur tertentu misalnya
orang tua, teman, pimpinan dan sebagainya. Dalam masyarakat teknologi, model yang
dibuat atraktif oleh media. Akan tetapi, dari sudut pandang psikologi evolusioner banyak
standart yang ditransmisikan secara sosial sebenarnya adalah standart buatan. Dan standart
sosial yang berkaitan dengan daya tarik bisa berubah-ubah. Misal gaya rambut, riasan
wajah, pakaian, bahkan bentuk tubuh semuanya bisa berubah. Bagi psikolog evolusioner,
harus ada criteria seleksi pasangan yang lebih mendasar ketimbang standart sosial untuk
daya tarik fisik di dalam satu kultur dan criteria ini bersifat universal. Walaupun ada
kemiripan antara pria dan wanita namun ada 2 pengecualin, laki-laki ada cenderung
meletakkan urutan daya tarik fisik ditingkat lebih tinggi ketimbang wanita. Sebaliknya,
wanita cenderung meletakkan kemampuan mencari nafkah yang baik lebih tinggi
ketimbang laki-laki.
C. Parenting
Parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak
mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut: memberi makan (nourishing), memberi
petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka bertumbuh.5
Aktivitas-aktivitas parenting biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga, namun parenting
tidak terbatas hanya pada mereka yang melahirkan anak. Tanggung jawab parenting juga
dilakukan oleh pihak-pihak lain dalam masyarakat, seperti anggota-anggota jemaat di
gereja, para guru di sekolah, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan
bahkan teman-teman si anak, serta media masa (TV, surat kabar, dan majalah). Kendati
demikian, orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengasihi dan
memperhatikan anak-anak serta menolong mereka bertumbuh.
1. Seleksi kerabat, kesesuaian evolusi membutuhkan kelangsungan bukan hanya gen-gen
kita saja, tetapi juga dari individu yang memiliki hubungan dengan kita (kecocokan
inklusi). Psikologi evolusioner memandang parenting bukan sebagai perilaku yang
dipelajari, tetpai sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh seleksi kerabat.
2. Perbedaan jenis kelamin, menurut psikologi evolusioner ada dua alasan mengapa
wanita cenderung lebih terlibat dalam parening ketimbang pria. Pertama karena wanita
memiliki lebih banyak investasi pada anak ketimbang pria. Kedua,agar perilaku altruisme
harus ada mekanisme yang membuat kita mengenali saudara kita, termasuk anak-anak kita,
sebagai pembawa gen.
3. Kekerasan keluarga, kekerasan dalam keluarga hampir terjadi setiap hari.secara
spesifik seleksi kerabat menguatkan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga yang
tidak sedarah.

D. Altruisme dan perilaku moral


Altruisme atau menolong demi survive atau mempertahankan jenis dalam proses
evolusi.
1. Perlindungan kerabat (kin protection)
Orang tua bekerja keras untuk menyekolahkan anak → untuk meneruskan keturunan.
Secara alamiah orang cenderung membantu pada orang yang pertalian darah, dekat dengan
diri kita, ada skala prioritas.
Dalam bencana: anak-anak lebih dulu, keluarga, teman, tetangga. Naluri perlindungan
yang kuat dapat melewati batas moral dan keadilan => Nepotisme.
2. Timbal balik biologik (biological reciprocity) → ada keseimbangan altruis dan
egois prinsipnya orang yang suka menolong akan ditolong, yang suka mementingkan diri
sendiri → dibiarkan.

3. Orientasi seksual: kaum minoritas dalam seks (homo, lesbi) lebih memerlukan
pertolongan untuk mempertahankan kelompok sehingga lebih alturis daripada heteroseks.

4. Teori Perkembangan Kognisi → berhubungan dengan tingkat perkembangan


kognitif. Piaget bahwa semakin tinggi kemampuannya berfikir abstrak → semakin mampu
mempertimbangkan antara usaha atau biaya (cost) yang harus dikorbankan untuk
menolong dengan hasil atau perolehan.
 Anak-anak meminjamkan mainan yang mahal untuk suatu yang nilainya rendah
(keuntungan).
Orang dewasa → untung — Rugi
Kapan orang menolong → faktor pemicu orang menolong.

E. Bahasa
Menurut psikologi evolusioner belajar bahasa mengilustrasikan kesiapan biologis
dalam proses belajar manusia. Pinker berpendapat bahawa ada bahasa universal , aturan
umum untuk setiap bahasa. Semua bahasa mengakui masa lalu, sekarang dan masa depan.
Semua bahasa punya referensi pelafalan dan semua bahasa memiliki variasi susunan
subjek/tindakan. Pinker menunjukkan bahwa anak secara biologis sudah siap untuk
meyusun struktur gramatical, bahkan tanpa model dan petunjuk. Kompleksitas pemahaman
dan penyusunan bahasa tidak memungkinkan kita untuk mengasumsikan bahwa satu gen
atau bahkan sekumpulan gen itu merupakan basis dari fenomena bahasa.

2.5 Pandangan Psikologi Evolusioner Tentang Pendidikan


Psikologi evolusioner akan setuju dengan Thorndike dan Piaget, bahwa anak
seharusnya diajari hal-hal ketika mereka sudah siap untuk mempelajarinya, namun mereka
mungkin menekankan jenis belajar yang berbeda dengan yang dikaji Thorndike dan
teoretisi lainnya. Hal ini berarti bahwa kurikulum dan aktivas sekolah, bersama dengan
pengaruh kultural lainnya, seperti praktik pengasuhan anak, harus disusun sedemikian rupa
sehingga bisa melemahkan tedensi alamiah itu. Dengan kata lain, anak dan remaja perlu
diajari bertindak dengan cara yang bertentangan dengan predisposisi natural ini. Di lain
pihak, psikolog evolusioner juga percaya bahwa manusia secara biologis siap untuk belajar
hal-hal yang dinilai oleh suatu kultur. Misalnya, karena manusia cenderung bisa menguasai
bahasa, maka sekolah harus menekankan pada belajar bilingual di tahap awal pendidikan.
Psikolog evolusioner mengingatkan pendidik untuk menghindari asumsi bahwa
perilaku ditentukan oleh gen atau kultur saja. Menurut mereka, perilaku manusia selalu
merupakan fungsi dari keduanya. Realisasi ini mungkin secara khusus penting ketika
menghadapi problem perilaku seperti prasangka atau agresi. Barash (1979) mengingatkan:
jelas ada banyak ketidakadilan dan kewajiban kita untuk menunjukkanya ketika kita
melihatnya,dan berusaha melakukan perbaikan.

2.6 Evaluasi Psikologi Evalusioner


A. Kontribusi :
Kebanyakan teori belajar yang diulas di bab ini menekankan pada yang pertama
dan kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan penjelasan yang kedua.Manfaat dari
penjelasan yang lebih lengkap ini tampak melanggar prinsip belajar yang sudah diketahui
telah diatasi dengan penjelasan evolusi. Selain itu, psikologi evolusi memberikan fungsi
heuristic yang penting.

B. Kritik
Kritiknya sebagai berikut.
1. Kritik yang paling umum terhadap psikologi evolusioner, dan terhadap teori evolusi
adalah klaim bahwa argumen evolusioner bersifat sirkuler (memutar). Artinya, pengkritik
mengatakan bahwa adaptasi yang sukses didefinisikan sebagai ciri bawaan fisk atau
behavioral yang menjaga seleksi alam. Jika suatu prilaku eksis dalam satu generasi, ia pasti
dipilih dan karenanya akan menjadi adaptasi yang sukses. Namun. Disusi kita diatas
menunjukan bahwa psikolog evolusioner telah menghindari perangkap adaptasionis dan
problem sirkularitas ini.
2. Penjelasan evolusi tentang prilaku mencakup doktrin determinisme genetik. Yakni, jika
kita adalah produk dari warisan genetik, maka kita mewarisi gen yang serakah dan
menigkatkan diri sendiri. Akan tetapi psikolok evolusioner tidak menganut determinasi
genetik karena ciri bawaan yang ditentukan melalui evolusi dapat berubah jika lingkungan
tempat dimana individu berkembang jiga berubah.
3. Pengeritik khawatir bahwa psikolog evolusioner menyebabkan kembalinya
Darwinisme sosial, doktrin yang menjustifikasi nepotismme, rasisme, dan mungkin bahkan
pembiakan selektif. Tetapi, sepertinya telah ditemukan di atas, prilaku moral yang
mencakup kebaikan kepada orang asing dan membantu orang selain kerabat kita juga tetap
berkembang sebab kita mendapatkan banyak manfaat dengan melakukan hal-hal seperti
itu.
4. Jika suatu prilaku adalah hasil dari proses genetik, maka prilaku itu tidak dipelajari.
Situasi hanya memunculkan prilaku; jadi, semua prilaku dideskripsikan sebagai gugusan
respone yang tak dikondisikan. Akan tetapi, seperti kita lihat diatas psikolog evolusioner
hanya mengklim bahwa evolusi mempengaruhi dan membiasakan proses belajar. Seperti
dikataka Pinker “Psikolog Evolusioner bukannya tidak menghargai proses belajar tetapi
berusa ha untuk menjelaskan proses itu...tidak ada proses belajar tanpa mekanisme bawaan
yang menyebabkan proses belajar terjadi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teori evolusioner pada dasarnya lebih menekankan pada sejarah evolusi proses belajar
organisme. Secara psikologis, belajar merupakan proses perubahan yaitu perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.
Namun dalam kajian biologi evolusi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan
suatupopulasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan
ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-
sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan
suatu makhluk hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi.

3.2 Saran
Ilmu adalah sesuatu yang sangat berharga. Setiap manusia berusaha untuk mencari
ilmu. Ada bermacam teori yang bisa dijadikan sebagai ilmu, salah satunya adalah teori
evolusioner. Dan teori evolusioner ini membahas pewariasn keturunan dan dapat di
pertimbangkan sebagai bahan pengetahuan atau bahan ajar dalam kehidupan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Baqir, Zainal. 2012. Peran Tuhan dalam Evolusi.
https://ahmadsamantho.wordpress.com. diakses 08 Mei 2014, 22:07
Alhada. 2012. Teori Evolusi Dari Sudut Pandang Ilmu Pengetahuan dan Agama Islam.
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id.Darwinkses 13 September 2014, 08.40
A. Francis. Keith. 2007. Charles Darwin and The Origin of Species. Westport: Greenwood
Press.
Ayoub. Mahmoud. 2003. “Evolusi Teistik Vs Ateistik” dalam surat kabar Republika edisi
09 April 2003.
A. Partanto, Pius dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
2001.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi Penelitian
Filsafat.Jogjakarta: Kanisius.
Losos, Jonathan B. 2011. In The Light of Evolution : Essays From The Laboratory and
Field.
Bruine, David. 2005. Bengkel Ilmu Evolusi. Jakarta: Erlangga.
Dahler, Franz dan Julius Chandra. 1989. Asal dan Tujuan Manusia. Yogyakarta. Kanisius.
Dahler, Franz. 2011. Teori Evolusi: Asal dan Tujuan Manusia. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Darwin, Charles. 2007. The Origin of Spesies, (terj): Tim Pusat Penerjemah Universitas
Nasional, Jakarta: Yayasan Obor IndonesDarwin.

Anda mungkin juga menyukai