Robert C. Bolles
Oleh:
Azzatil akmar (202225021)
KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan.........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan................................................................................................................16
3.2 Saran...........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
d. Argumen Tempat
Bolles (1988) mengatakan bahwa pemahaman atas belajar harus diiringi dengan
pemahaman atas sejarah evolusi organisme. Dia mengatakan bahwa :
“ Hewan punya kewajiban, dorongan, untuk belajar dan untuk tidak belajar, tergantung
pada tempat mereka berada dan bagaimana menyesuaikan diri dengan keseluruhan
skema. Kita dapat memperkirakan beberapa jenis pengalaman akan direfleksikan dalam
belajar, dan sebagaian lainnya tidak... tugas belajar yang nelanggar komitmen biologis
terhadap tempat dapat di perkirakan akan menhasilkan perilaku anomali. Sebuah tugas
belajar yang menguatkan predisposisi hewan untuk berperilaku dengan cara tertentu akan
lebih besar kemungkinannya untuk sukses.Ini adalah argumen tempat.”
Psikologi evolusi lainnya memperluas argumen tempat ini dengan gagasan
Environment of Evolutionary Adaptedness (EEA) istilah yang merujuk pada lingkungan
fisik dan sosialtempat munculnya adaptasi spesifik. Penulis ini dan yang lainnya (misalnya;
Sherman dan Reeve) menekankan ide bahwa EEA bukan sekedar priode atau tempat
prahistoris yang eksis selama perkembanga spesies.
A. Perkembangan Phobia
Fobia pada manusia, yang berupa rasa takut yang berlebihan terhadap suatu stimuli
seperti ular atau laba-laba, sulit untuk dijelaskan dalam pengkondisian klasik. Usaha untuk
menjelaskan akan menghasilkan permasalahan yang dangkal. Menurut bebrapa para ahli,
mereka juga menyebut bukti bahwa, meskipun monyet yang dibesarkan di laboratorium
tampaknya tidak memiliki rasa takut bawaan terhadap ular, mereka akan dengan cepat
ketakutan terhadap ular setelah melihat reaksi dari rekaman video monyet liar yang
bertemu dengan ular betulan atau mainan (cook & mineka, 1990). Bahwa kemunculan
rasa takut terhadap ular atau laba-laba mungkin tidak membutuhkan persepsi sadar atas
stimuli itu.
Stimuli ini menarik perhatian kita, dan kita dapat belajar tentangnya tanpa pemrosesan
informasi secara sadat. Ini bukan berarti bahwa, semua manusia pada dasarnya takut pada
ular, laba-laba, anjing, dsb. Psikologi evolusioner juga mendiskusikan xenophobia atau
takut terhadap orang asing. Fobia ini berasal dari tendensi primitive untuk
mendikotomisasikan orang sebagai sebagai anggota satu kelompok (desa atau suku)
dengan orang di luar anggota kelompok.
Dalam xenophobia seseorang mungkin melihat adanya kecenderungan natural ke arah
prasangka. Menurut psikolog evolusioner bahwa suatu tendensi adalah natural yakni,
memiliki asal usul biologis yang sama bukan berarti tendensi itu selalu baik. Mereka
mengatakan adanya predisposisi atau tendensi biologis.
Psikolog evolusioner menegaskan bahwa perilaku manusia selalu merupakan hasil dari
interaksi antara tendesi biologis dengan pengaruh cultural. Jadi, bahkan jika unsur biologi
kita mencondongkan hal yang di anggap tidak diinginkan, hal ini dapat dianggap oleh
pengaruh cultural.
B. Seleksi Pasangan
Teoritis belajar sosial-kognitif mungkin menunjukan bahwa definisi daya tarik
dipelajari dengan mengamati model yang paling menonjol dalam kultur tertentu misalnya
orang tua, teman, pimpinan dan sebagainya. Dalam masyarakat teknologi, model yang
dibuat atraktif oleh media. Akan tetapi, dari sudut pandang psikologi evolusioner banyak
standart yang ditransmisikan secara sosial sebenarnya adalah standart buatan. Dan standart
sosial yang berkaitan dengan daya tarik bisa berubah-ubah. Misal gaya rambut, riasan
wajah, pakaian, bahkan bentuk tubuh semuanya bisa berubah. Bagi psikolog evolusioner,
harus ada criteria seleksi pasangan yang lebih mendasar ketimbang standart sosial untuk
daya tarik fisik di dalam satu kultur dan criteria ini bersifat universal. Walaupun ada
kemiripan antara pria dan wanita namun ada 2 pengecualin, laki-laki ada cenderung
meletakkan urutan daya tarik fisik ditingkat lebih tinggi ketimbang wanita. Sebaliknya,
wanita cenderung meletakkan kemampuan mencari nafkah yang baik lebih tinggi
ketimbang laki-laki.
C. Parenting
Parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak
mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut: memberi makan (nourishing), memberi
petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka bertumbuh.5
Aktivitas-aktivitas parenting biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga, namun parenting
tidak terbatas hanya pada mereka yang melahirkan anak. Tanggung jawab parenting juga
dilakukan oleh pihak-pihak lain dalam masyarakat, seperti anggota-anggota jemaat di
gereja, para guru di sekolah, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan
bahkan teman-teman si anak, serta media masa (TV, surat kabar, dan majalah). Kendati
demikian, orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengasihi dan
memperhatikan anak-anak serta menolong mereka bertumbuh.
1. Seleksi kerabat, kesesuaian evolusi membutuhkan kelangsungan bukan hanya gen-gen
kita saja, tetapi juga dari individu yang memiliki hubungan dengan kita (kecocokan
inklusi). Psikologi evolusioner memandang parenting bukan sebagai perilaku yang
dipelajari, tetpai sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh seleksi kerabat.
2. Perbedaan jenis kelamin, menurut psikologi evolusioner ada dua alasan mengapa
wanita cenderung lebih terlibat dalam parening ketimbang pria. Pertama karena wanita
memiliki lebih banyak investasi pada anak ketimbang pria. Kedua,agar perilaku altruisme
harus ada mekanisme yang membuat kita mengenali saudara kita, termasuk anak-anak kita,
sebagai pembawa gen.
3. Kekerasan keluarga, kekerasan dalam keluarga hampir terjadi setiap hari.secara
spesifik seleksi kerabat menguatkan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga yang
tidak sedarah.
3. Orientasi seksual: kaum minoritas dalam seks (homo, lesbi) lebih memerlukan
pertolongan untuk mempertahankan kelompok sehingga lebih alturis daripada heteroseks.
E. Bahasa
Menurut psikologi evolusioner belajar bahasa mengilustrasikan kesiapan biologis
dalam proses belajar manusia. Pinker berpendapat bahawa ada bahasa universal , aturan
umum untuk setiap bahasa. Semua bahasa mengakui masa lalu, sekarang dan masa depan.
Semua bahasa punya referensi pelafalan dan semua bahasa memiliki variasi susunan
subjek/tindakan. Pinker menunjukkan bahwa anak secara biologis sudah siap untuk
meyusun struktur gramatical, bahkan tanpa model dan petunjuk. Kompleksitas pemahaman
dan penyusunan bahasa tidak memungkinkan kita untuk mengasumsikan bahwa satu gen
atau bahkan sekumpulan gen itu merupakan basis dari fenomena bahasa.
B. Kritik
Kritiknya sebagai berikut.
1. Kritik yang paling umum terhadap psikologi evolusioner, dan terhadap teori evolusi
adalah klaim bahwa argumen evolusioner bersifat sirkuler (memutar). Artinya, pengkritik
mengatakan bahwa adaptasi yang sukses didefinisikan sebagai ciri bawaan fisk atau
behavioral yang menjaga seleksi alam. Jika suatu prilaku eksis dalam satu generasi, ia pasti
dipilih dan karenanya akan menjadi adaptasi yang sukses. Namun. Disusi kita diatas
menunjukan bahwa psikolog evolusioner telah menghindari perangkap adaptasionis dan
problem sirkularitas ini.
2. Penjelasan evolusi tentang prilaku mencakup doktrin determinisme genetik. Yakni, jika
kita adalah produk dari warisan genetik, maka kita mewarisi gen yang serakah dan
menigkatkan diri sendiri. Akan tetapi psikolok evolusioner tidak menganut determinasi
genetik karena ciri bawaan yang ditentukan melalui evolusi dapat berubah jika lingkungan
tempat dimana individu berkembang jiga berubah.
3. Pengeritik khawatir bahwa psikolog evolusioner menyebabkan kembalinya
Darwinisme sosial, doktrin yang menjustifikasi nepotismme, rasisme, dan mungkin bahkan
pembiakan selektif. Tetapi, sepertinya telah ditemukan di atas, prilaku moral yang
mencakup kebaikan kepada orang asing dan membantu orang selain kerabat kita juga tetap
berkembang sebab kita mendapatkan banyak manfaat dengan melakukan hal-hal seperti
itu.
4. Jika suatu prilaku adalah hasil dari proses genetik, maka prilaku itu tidak dipelajari.
Situasi hanya memunculkan prilaku; jadi, semua prilaku dideskripsikan sebagai gugusan
respone yang tak dikondisikan. Akan tetapi, seperti kita lihat diatas psikolog evolusioner
hanya mengklim bahwa evolusi mempengaruhi dan membiasakan proses belajar. Seperti
dikataka Pinker “Psikolog Evolusioner bukannya tidak menghargai proses belajar tetapi
berusa ha untuk menjelaskan proses itu...tidak ada proses belajar tanpa mekanisme bawaan
yang menyebabkan proses belajar terjadi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori evolusioner pada dasarnya lebih menekankan pada sejarah evolusi proses belajar
organisme. Secara psikologis, belajar merupakan proses perubahan yaitu perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.
Namun dalam kajian biologi evolusi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan
suatupopulasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan
ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-
sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan
suatu makhluk hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi.
3.2 Saran
Ilmu adalah sesuatu yang sangat berharga. Setiap manusia berusaha untuk mencari
ilmu. Ada bermacam teori yang bisa dijadikan sebagai ilmu, salah satunya adalah teori
evolusioner. Dan teori evolusioner ini membahas pewariasn keturunan dan dapat di
pertimbangkan sebagai bahan pengetahuan atau bahan ajar dalam kehidupan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Baqir, Zainal. 2012. Peran Tuhan dalam Evolusi.
https://ahmadsamantho.wordpress.com. diakses 08 Mei 2014, 22:07
Alhada. 2012. Teori Evolusi Dari Sudut Pandang Ilmu Pengetahuan dan Agama Islam.
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id.Darwinkses 13 September 2014, 08.40
A. Francis. Keith. 2007. Charles Darwin and The Origin of Species. Westport: Greenwood
Press.
Ayoub. Mahmoud. 2003. “Evolusi Teistik Vs Ateistik” dalam surat kabar Republika edisi
09 April 2003.
A. Partanto, Pius dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
2001.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi Penelitian
Filsafat.Jogjakarta: Kanisius.
Losos, Jonathan B. 2011. In The Light of Evolution : Essays From The Laboratory and
Field.
Bruine, David. 2005. Bengkel Ilmu Evolusi. Jakarta: Erlangga.
Dahler, Franz dan Julius Chandra. 1989. Asal dan Tujuan Manusia. Yogyakarta. Kanisius.
Dahler, Franz. 2011. Teori Evolusi: Asal dan Tujuan Manusia. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Darwin, Charles. 2007. The Origin of Spesies, (terj): Tim Pusat Penerjemah Universitas
Nasional, Jakarta: Yayasan Obor IndonesDarwin.