Anda di halaman 1dari 4

Asbabun Nuzul :

Jarkoni singkatan dari iso ngujari ora bisa nglakoni adalah akronim Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
yang bersumber dari Abu Shalih, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim dan ‘Ali, yang
bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa para shahabat ingin mengetahui amal yang paling dicintai
Allah swt dan paling afdol (utama). Maka turunlah ayat ini (Ash-Shaaf: 10-12) yang menegaskan
bahwa berjihad adalah amal yang paling utama. Tetapi ternyata mereka segan berjihad sehingga
merekapun diperingatkan Allah swt, karena menyalahi ucapannya, yakni dengan diturunkannya
surah (Ash-Shaaf: 2-3)

.)3( ‫) َك ُبَر َم ْقًتا ِع ْنَد ِهَّللا َأْن َتُقوُلوا َم ا اَل َتْفَعُلوَن‬2( ‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِلَم َتُقوُلوَن َم ا اَل َتْفَعُلوَن‬

Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? (iu)
sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS.
As-Saff ayat 2-3).
Tafsir QS. As-Saff ayat 2-3
Dalam kitabnya, Ibnu Jarir al-Tabari merinci pendapat para ulama mengenai alasan turunnya
ayat ini.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini diturunkan sebagai peringatan Allah kepada orang-
orang beriman.
Anda benar-benar ingin mengetahui praktik-praktik penting.
Namun ketika Allah mengumumkan amalan pokoknya, mereka tidak melaksanakannya secara
sempurna.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sebagian kaum mukmin berkata “Demi Allah, jikalau kami
mengetahui amal yang paling dicintai Allah, kami pasti akan melaksanakannya”. Lalu Allah
menurunkan QS. Al-Shaf [61]: 2-4. Pada ayat keempat Allah memberitahukan amalan yang
paling dicintainya, yaitu jihad di jalan Allah, namun mereka tidak senang.

Sebagian ulama berpendapat, QS. As-Saff ayat 2-3 tersebut menjadi teguran bagi sebagian
sahabat Nabi yang membangga-banggakan perbuatan yang tidak mereka kerjakan. Mereka
berkata “Aku melakukan ini dan itu,” padahal dia tidak melakukannya dan Allah mencela
mereka sebab sesuatu yang tidak mereka kerjakan.

Diriwayatkan dari Qatadah bahwa ayat tersebut berkaitan dengan seruan jihad di mana ada
seorang laki-laki berkata “Aku pasti berperang, aku pasti melakukannya,” padahal dia tidak
melakukannya. Maka Allah menegurnya dengan teguran yang keras. Sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang munafik yang berjanji
kepada orang-orang mukmin untuk menolong mereka di medan perang namun ternyata mereka
berbohong.
Ibn Katsir menjelaskan bahwa QS. Al-Shaf [61]: 2 merupakan bentuk pengingkaran terhadap
sikap orang yang berjanji namun tidak ditepatinya atau yang berkata namun tidak sesuai dengan
apa yang dikatakannya.

Melalui QS. As-Saff ayat 2-3 ini, para ulama salaf menjadikannya dalil mengenai wajibnya
menepati janji secara mutlak. Baik itu janji yang bisa mengakibatkan denda atau tidak. Para
ulama salaf tersebut juga berhujjah dengan hadis shahih, Rasulullah bersabda “Tanda-tanda
orang munafik ada tiga: ketika berkata, dia berbohong, ketika dia berjanji, dia mengingkari, dan
ketika dipercaya, dia berkhianat.”1
Allah tidak hanya mengingkari perbuatan tersebut, namun juga sangat membenci perbuatan
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari redaksi ayat selanjutnya ‫َك ُب َر َم ْقًت ا ِع ْن َد ِهَّللا َأْن َتُقوُل وا َم ا اَل‬
‫ َتْفَعُلوَن‬. Lafaz maqtan dalam ayat tersebut bermakna asyaddul bukhdhi (sangat dibenci). Apalagi
kebencian tersebut berkaitan dengan bencinya Allah, maka lebih menakutkan lagi peringatan ini.
Manusia tidak bisa membayangkan jika dia dibenci Allah SWT.
Selain itu, redaksi ayatnya disertai dengan pengulangan mā lā taf’alūn. Ketika ada satu lafaz
yang sama diulang dalam satu kalam (pembicaraan) itu menunjukkan betapa menakutkan dan
khusyuknya2
Ali al-Shabuni mengutip sebuah pendapat yang menyatakan bahwa termasuk orang yang
perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya adalah orang-orang yang memerintahkan
saudaranya untuk melakukan kebaikan namun dia sendiri tidak melaksanakannya, atau melarang
perbuatan mungkar namun dia tidak melarang dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana Firman Allah
“mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan
dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab ? Tidakkah kamu mengerti “ (QS. Al-Baqarah
[2]:44).
Berkaitan dengan ayat ini, Al-Qurthubi mengutip riwayat dari Anas bin Malik
dalam Musnad Ahmad hadis nomor 12940; “Ketika malam aku di-isra’-kan, aku
melewati suatu kaum yang lidahnya dipotong-potong dengan gunting api. Aku bertanya
‘siapakah mereka itu Wahai Jibril?’. Dia menjawab ‘Mereka adalah juru dakwah
umatmu, mereka memerintahkan orang-orang untuk berbuat kebaikan namun melupakan
diri mereka sendiri padahal mereka membaca Kitab. Tidakkah mereka berakal?.”3

1
Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Al Katsir, Juz 8, Hal 105
2
Muhammad Jalaludin Al-Qasimi, Muhassin At-Ta’wil, 2008, Juz 9, Hal 216
3
Al Qurtubi, Jami Al Ahkam Qur’an: Tafsir Al-Qurtubi, 2009, Juz 1, Hal 365
Asbabun Nuzul :
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan
kepada kami Marwan ibnu Janah, telah menceritakan kepadaku Ibrahim alias Abu Zar'ah yang
pandai membaca kitab-kitab terdahulu, bahwa Al-Walid ibnu Abdul Malik pernah bertanya
kepadanya, "Apakah khalifah juga mendapat hisab? Kuajukan pertanyaan ini kepadamu karena
kamu telah membaca kitab-kitab terdahulu, juga telah membaca Al-Qur'an serta memahaminya."
Aku (Abu Zar'ah) menjawab, "Wahai Amirul Mu-minin, saya hanya berpesan kepadamu,
hendaknyalah engkau berdoa semoga berada di dalam keamanan dari Allah." Kukatakan lagi,
"Hai Amirul Mu-minin, apakah engkau lebih mulia bagi Allah ataukah Daud a.s.? Sesungguhnya
Allah telah menghimpunkan baginya antara kenabian dan kekhalifahan (kekuasaan), tetapi
sekalipun demikian Allah mengancamnya melalui firman-Nya," sebagaimana yang disebutkan di
dalam Al-Qur'an; Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
Bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Shad: 26) hingga akhir
hayat.
Tafsir Surat As Shad Ayat 26

‫ٰي َداٗو ُد ِاَّنا َجَع ْلٰن َك َخ ِلْيَفًة ِفى اَاْلْر ِض َفاْح ُك ْم َبْيَن الَّناِس ِباْلَح ِّق َو اَل َتَّتِبِع اْلَهٰو ى َفُيِض َّلَك َع ْن َس ِبْيِل ِهّٰللاۗ ِاَّن اَّل ِذ ْيَن َيِض ُّلْو َن َع ْن َس ِبْيِل ِهّٰللا‬
‫َلُهْم َع َذ اٌب َش ِد ْيٌد ۢ ِبَم ا َنُسْو ا َيْو َم اْلِحَس اِب‬
(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau
mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.”

Menurut Tafsir Kementerian Agama, pada ayat ini Allah menyatakan akan mengangkat Nabi
Daud sebagai penguasa dan penegak hukum umat-Nya.

Allah menyatakan bahwa Dia telah mengangkat Nabi Daud sebagai penguasa atas umat-Nya.

Pada ayat ini, menurut Tafsir Kementerian Agama, Allah menjelaskan pengangkatan Nabi Daud
sebagai penguasa dan penegak hukum di kalangan rakyatnya. Allah menyatakan Dia mengangkat
Nabi Daud sebagai penguasa yang memerintah kaumnya. Pengertian penguasa diungkapkan
dengan khalifah, yang artinya pengganti adalah sebagai isyarat agar Nabi Daud dalam
menjalankan kekuasaannya selalu dihiasi dengan sopan-santun yang baik, yang diridhai Allah,
dan dalam melaksanakan peraturan hendaknya berpedoman kepada hidayah Allah.

Dengan demikian, sifat-sifat khalifah Allah tercermin pada diri pribadi Nabi Daud. Rakyatnya
pun tentu akan menaati segala peraturannya dan tingkah lakunya yang patut diteladani.
Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa Dia menyuruh Nabi Daud agar memberi keputusan
terhadap perkara yang terjadi antara manusia dengan keputusan yang adil dengan berpedoman
pada wahyu yang diturunkan kepadanya.

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi,” di sana engkau
menerapkan berbagai persoalan agama dan dunia, “maka berilah keputusan di antara manusia
dengan haq.” maksudnya, dengan adil.

Hal ini tidak mungkin dapat beliau lakukan kecuali dengan ilmu pengetahuaan tentang yang
wajib, pengetahuan tentang realita dan kemampuan menegakkan yang haq, “dan jangaanlah
kamu mengikuti hawa nafsu,” seperti lebih condong kepada seseorang karena adanya hubungan
keluarga, atau hubungan persahabatan, rasa cinta atau rasa tidak suka kepada yang lain. “Karena
ia akan menyesatkan kamu,” maksudnya, hawa nafsu, “dari jalan Allah,” dan mengeluarkanmu
dari jalan yang lurus.

“Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah,” terutama orang-orang yang berbuat
sengaja di antara mereka, “akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” Kalau saja mereka mengingatnya da nada rasa takut di dalam hati mereka, tentu
mereka tidak condong bersama hawa nafsu yang menyesatkan tersebut.4

4
https://tafsirweb.com/8512-surat-shad-ayat-26.html

Anda mungkin juga menyukai