Anda di halaman 1dari 33

Case Report Section

RETENSIO PLASENTA

Oleh :

Nofrina Putri Melati 2110070200137

PRESEPTOR
dr. Helwi Nofira, Sp.OG

SMF OBSTETRIC DAN GINECOLOGY RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

M.NATSIR SOLOK FAKULTAS KEDOTERAN UNIVERSITAS

BAITURRAHMAH

2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia yang

diberikan-Nya, sehingga penyusunan case yang berjudul “Retensio Plasenta” dapat diselesaikan.

Penulisan Case Report Section ini diharapkan berguna sebagai khasanah ilmu pengetahuan khususnya

dalam bidang kesehatan yang memberikan gambaran tentang berbagai penyakit dalam referat ini dan

dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan sebagai sarana pendidikan untuk mempersiapkan peserta

didik di lingkungan pendidikan kesehatan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Helwi Nofira, Sp. OG selaku pembimbing

sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan case report section ini tepat waktu demi

memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior. Kami menyadari masih banyak kesalahan baik dalam

segi penyusunan, pengolahan, pemilihan kata, dan proses pengetikan karena masih dalam

tahap pembelajaran. Saran dan kritik yang membangun tentu sangat kami harapkan untuk

penyempurnaan dan perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga case report

section ini dapat berguna khususnya bagi kami sebagai penulis dan bagi pembaca pada

umumnya dalam memahami masalah yang berhubungan dengan “Retensio Plasenta”.

Solok, Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman Depan .............................................................................. i

Kata Pengantar ............................................................................... ii

Daftar Isi ......................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................... 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ........................................................................................ 2
1.3 Manfaat ...................................................................................... 2
BAB II. Tinjauan Pustaka .............................................................. 3

2.1 Retensio Plasenta ......................................................................... 3


2.1.1 Definisi........................................................................... 3
2.1.2 Etiologi........................................................................... 3
2.1.3 Patofisiologi ................................................................... 5
2.1.4 Manifestasi Klinis ........................................................... 7
2.1.5 Klasifikasi ...................................................................... 8
2.1.6 Faktor Risiko .................................................................. 9
2.1.7 Diagnosis........................................................................ 9
2.1.8 Penatalaksanaan.............................................................. 11
2.1.9 Komplikasi ..................................................................... 20
BAB III. Laporan Kasus ................................................................ 22

BAB IV. Diskusi Kasus ................................................................... 27

BAB V. Penutup .............................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Retensio plasenta adalah bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir.

Menurut Latifatulzahro (2020) bahwa retensio plasenta adalah plasenta yang tidak lahir lebih dari 30

menit setelah kelahiran bayi. Faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta adalah plasentaprevia, bekas

seksio sesarea, pernah kuret berulang dan paritas (Saifuddin, 2009).1

Faktor predisposisi lain yang menyebabkan retensio plasenta yaitu usia, jarak persalinan, penolong

persalinan, riwayat manual plasenta, anemia, riwayat pembedahan uterus, destruksi endometrium dari

infeksi sebelumnya atau bekas endometritis dan implantasi corneal (Manuaba, 2010).2,3

Macam-Macam dari retensio plasenta yaitu plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta,

plasenta prekreta, plasenta inkarserata. Pencegahan retensio plasenta dengan cara pemberian oksitosin

segera setelah pelahiran bahu anterior, mengklem tali pusat segera setelah pelahiran bayi dan

menggunakan traksi tali pusat terkendali untuk pelahiran plasenta (Varney, 2007). Selain itu, pencegahan

yang dapat dilakukan pada ibu hamil yaitu konsumsi makanan yang mengadung gizi tinggi yang dapat

menjaga dan meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah.3

1
1.2 Tujuan
Case ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi

RSUD M. Natsir dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi

bagi para pembaca, khususnya kalangan medis, tentang “Retensio Plasenta”.

1.3 Manfaat

a. Bagi Penulis

Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam mempelajari, mengidentifikasi dan

mengembangkan teori yang telah disampaikan mengenai tentang “Retensio Plasenta”.

b. Bagi Institut Pendidikan

Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbangdingan bagi kegiatan yang ada kaitannya dengan

pelayanan kesehatan khusumya yang berkaitan dengan “Retensio Plasenta”.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retensio Plasenta

2.1.1 Definisi

Retensio Plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta selama 30 menit setelah bayi

lahir. Hal itu disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas, akan

tetapi belum dilahirkan. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III bisa disebabkan

oleh adhesi yang kuat antaraplasenta dan uterus. Bila sebagian kecil plasenta masih tertinggal dalam uterus

dan dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau lebih sering sekunder.3

Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan atau separasi plasenta akan ditandai oleh

perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah lepas tetapi tidak keluar pervaginam

(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Sebagian plasenta yang sudah

lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala tiga) dan harus diantisipasi

dengan segera melakukan manual plasenta, meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Pada beberapa

kasus dapat terjadi retensio plasenta berulang (habitual retensio plasenta).3,4

2.1.2 Etiologi

Terdapat tiga fase yang terlibat dalam ekspulsi normal plasenta: (1) Pemisahan melalui lapisan

spons decidua, (2) Penurunan ke segmen bawah dan vagina, (3) Ekspulsi ke luar. Gangguan pada proses

fisiologis ini, menghasilkan retensio plasenta. Berikut merupakan penyebab gagalnya ekspulsi normal

plasenta, antara lain3:

• Plasenta benar-benar terpisah tetapi terdapat retensio plasenta karena upaya ekspulsi volunter

3
yang buruk.

• Plasenta adheren sederhana yang disebabkan oleh atoni uterus dalam kasus grand multipara,

distensi uterus yang berlebihan, persalinan lama dan malformasi uterus atau karena area

permukaan plasenta yang lebih besar. Penyebab retensi plasenta yang tidak terpisahkan yang

paling umum adalah atoni uterus.

• Plasenta yang tidak sehat.

• Plasenta inkarserata setelah pemisahan sebagian atau seluruhnya karena terdapat penyempitan

cincin (kontraksi jam pasir), upaya prematur untuk melahirkan plasenta sebelum dipisahkan.

Menurut Wiknjosastro (2007) sebab retensio plasenta dibagi menjadi 2 golongan ialah sebab

fungsional dan sebab patologi anatomik.

A. Sebab fungsional

1) His yang kurang kuat (sebab utama).

2) Tempat melekatnya yang kurang menguntungkan (contoh : di sudut tuba).

3) Ukuran plasenta terlalu kecil.

4) Lingkaran kontriksi pada bagian bawah perut.

B. Sebab patologi anatomik (perlekatan plasenta yang abnormal)

1) Plasenta akreta : vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dalam dinding rahim daripada

biasa ialah sampai ke batas antara endometrium dan miometrium

2) Plasenta inkreta : vili korialis masuk ke dalam lapisan otot rahim

3) Plasenta perkreta : vili korialis menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau menembusnya

4
 Faktor predisposisi

a. Grandemultipara

b. Kehamilan ganda sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak luas.

c. Kasus infertilitas, karena lapisan endometriumnya tipis.

d. Plasenta previa, karena dibagian istmus uterus pembuluh darah sedikit, sehingga perlu masuk

jauh kedalam.

e. Bekas oprasi pada uterus

2.1.3 Patofisiologi

Tergantung pada kedalaman invasi trofoblas ke dalam miometrium, terdapat tiga subtipe invasi

plasenta abnormal yang dibedakan secara patologi: (1) plasenta akreta superfisial (juga disebut plasenta

creta, vera, atau adherenta), di mana vili menempel langsung atau menginvasi pada permukaan

miometrium, (2) plasenta increta, di mana vili menembus ke dalam miometrium hingga ke lapisan

eksternal; dan (3) plasenta percreta, vili menginvasi tempat jaringan vena dan mencapai serosa uterus

hingga dapat menembus kandung kemih. Plasentasi yang lebih invasif disebabkan akibat adanya jaringan

parut pada yang memungkinkan pengembangan vili korionik jauh ke dalam dinding rahim hingga

menembus miometrium.7

Setiap plasentasi abnormal di atas dapat dikaitkan dengan komplikasi kehamilan utama, termasuk

perdarahan maternal yang mengancam jiwa, transfusi darah dalam volume yang besar, dan histerektomi

peripartum.6 Plasentasi abnormal menyebabkan retensio plasenta sehingga menyebabkan atonia uterus

sekunder akibat jaringan plasenta yang tersisa dan tetap menjadi salah satu penyebab paling umum

pendarahan obstetrik masif secara global, perdarahan pasca-partum khususnya.7,8

5
Pada retensio plasentan non-accreta, kegagalan fase kontraksi merupakan dasar penyebab

kegagalan ekspulsi plasenta. Insufisiensi kontraksi myometrium retro-plasenta menyebabkan pelepasan

plasenta yang tidak sempurna sehingga jaringan plasenta tertahan di dalam uterus. Namun tidak dapat

diasumsi bahwa kegagalan kontraktil retro-plasenta ini terbatas pada periode post partum. Kontraksi yang

terjadi selama sebelum persalinan yang kurang adekuat juga berperan dalam kegagalan pelepasan plasenta.

Pada keadaan ini miometrium tidak dapat mencapai tekanan yang diperlukan untuk detachment plasenta

dari dinding miometrium.

Peran unit feto-plasenta dalam regulasi kompleks kontraktilitas uterus yang berhubungan

keseimbangan faktor stimulasi dan inhibisi. Plasenta memiliki peran dalam menghambat kontraksi

miometrium melalui produksi progesteron dan kemungkinan nitrat oksida (NO). Progesteron adalah

penghambat penting kontraktilitas miometrium. NO juga merupakan relaksan otot polos yang kuat yang

diproduksi dalam jumlah besar oleh nitric oxide synthase (NOS) dalam plasenta. Karena secara cepat

teroksidasi sesaat setelah produksinya, efeknya bersifat sangat lokal. Sehingga diduga penurunan

kontraktilitas miometrium disebabkan peningkatan efek inhibitorik.9

Gambar 2.1 Vili korionik

6
Dua teori berbeda telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis produk konsepsi yang tertahan

(retained products of conception / RPOC). Menurut teori yang dikemukakan oleh Eastman dan Hellman,

retensi jaringan trofoblas merupakan tipe plasenta akreta parsial atau fokal yang tidak dikenali.

Pembentukan desidua lebih sedikit pada daerah kornu, daerah fundus, dan segmen uterus bawah; jika

implantasi terjadi di salah satu daerah ini, vili korionik dapat melekat langsung ke miometrium, yang

mengarah pada peningkatan risiko terjadinya retensi produk konsepsi. Teori kedua, yang dikemukakan

oleh Ranney, menetapkan hubungan langsung antara ketebalan dan tonus di berbagai area miometrium

dengan keberadaan RPOC. Sesuai teori ini, daerah fundus dan uterotubal relatif atonik setelah persalinan

kala kedua yang menjelaskan fenomena retensi plasenta.3

2.1.4 Manifestasi Klinis

Tanda yang dapat ditemui adalah tidak adanya tanda-tanda pelepasan plasenta atau adanya

pelepasan plasenta secara parsial. Pada rentensi plasenta komplit, tidak tampak pemanjangan tali pusat

ataupun blood gush, rahim teraba lebih lembek akibat atonia sekunder. Hal ini terutama tampak pada

gangguan plasentasi seperti plasenta akreta. Namun apabila terjadi pelepasan plasenta namun parsial,

jaringan plasenta yang terlepas tampak tidak utuh (tidak bulat) dan kotiledon tidak lengkap. Perdarahan per

vaginam masif akan terus terjadi selama terdapat jaringan plasenta yang tertinggal di dalam uterus

menyebabkan kala tiga yang memanjang.7,9

Plasenta inkreta merupakan salah satu kejadian yang dapat menyebabkan retensio plasenta.

Plasenta inkreta biasanya bermanifestasi sebagai perdarahan postpartum segera, yang membutuhkan

histerektomi. Pada kasus plasenta inkreta dapat terjadi inversio uterus akibat penarikan plasenta. Pada

kasus plasenta inkreta yang ringan dapat dilakukan pengangkatan plasenta secara manual.5

7
2.1.5 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, retensio plasenta dapat diklasifikasikan akibat3,7:

• Plasenta normal yang terperangkap karena serviks yang berkontraksi atau kelainan struktur uterus.

• Plasenta normal masih melekat karena kegagalan kontraksi myometrium retroplacental.

• Adheren yang tidak normal (akreta) atau plasenta invasif (increta atau percreta) juga dikenal sebagai

placenta acreta spectrum (PAS).

Gambar 2.2 Plasenta inkreta

Menurut tingkat adherensinya, plasenta akreta dibagi menjadi:10

1. Placenta accreta vera -Villi menempel pada miometrium superfisial.

2. Placenta increta -Villi menginvasi lapisan miometrium.

3. Placenta percreta -Villi menembus ketebalan penuh miometrium.

Berdasarkan jumlah plasenta yang terlibat, plasenta akreta terbagi menjadi:10

1. Adheren fokal -Hanya satu kotiledon yang terlibat..

2. Adheren parsial -Satu atau beberapa kotiledon terlibat.

3. Adheren total -Seluruh plasenta terlibat.


8
2.1.6 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya retensio plasenta yaitu persalinan yang diinduksi, jumlah paritas yang

tinggi (lima paritas atau lebih), riwayat retensio plasenta sebelumnya, riwayat dilatasi dan kuretase

sebelumnya, kelahiran prematur, berat plasenta yang kecil, maupun usia maternal (≥ 30 tahun). Pada tahun

2014, sebuah penelitian menghubungkan kejadian retensio plasenta dengan kejadian intrauterine fetal

death (IUFD). Pada wanita nullipara, faktor lain yang berhubungan dengan kejadian retensio plasenta yaitu

akibat waktu persalinan, baik kala I maupun kala II yang memanjang. Retensio plasenta lebih sering terjadi

di negara maju, karena intervensi yang lebih umum seperti aborsi terapeutik atau induksi persalinan. 4,5

Faktor risiko untuk plasenta akreta antara lain adalah plasenta previa dan riwayat kelahiran dengan

operasi sesar sebelumnya. Faktor risiko lain termasuk tindakan operasi pada uterus sebelumnya (dilatasi

dan kuretase, pengangkatan plasenta secara manual, synaekolisis atau miomektomi), usia ibu dan jumlah

paritas ibu.

Risiko plasenta akreta pada kasus plasenta previa dalam uterus yang tidak mengalami scarring

adalah sekitar 3%. Risiko meningkat tajam dengan meningkatnya jumlah kelahiran sesar. Pada kasus

plasenta previa dengan riwayat satu kali seksio sesarea sebelumnya, risiko terjadinya plasenta akreta

meningkat menjadi sekitar 11%, sedangkan dengan dua kali riwayat operasi sesar adalah sebesar 40% dan

67% dengan empat atau lebih seksio sesarea.3

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis retensio plasenta dibuat berdasarkan waktu (30 menit) setelah melahirkan bayi. Pemisahan

plasenta dinilai. Kontraksi atau sifat plasenta yang melekat (simpel atau morbid) hanya dapat didiagnosis

selama pengangkatan manual. Konfirmasi diagnosis adanya plasenta akreta dibuat hanya selama upaya

pengangkatan manual ketika pembelahan antara plasenta dan dinding rahim tidak dapat dilakukan.

9
Pencitraan ultrasonografi, Doppler, dan MRI dapat bermanfaat dalam diagnosis plasenta akreta, inkreta,

dan perkreta selama kehamilan.

Temuan USG yang menunjukkan plasenta akreta adalah: (I) hilangnya zona miometrium retroplacental

hypoechoic yang normal, (II) penipisan dan gangguan permukaan serosa antara kandung kemih-rahim dan

massa eksofitik fokal yang menginvasi kandung kemih. Pada pemeriksaan color flow Doppler

menunjukkan hipervaskularitas dari antar permukaan kandung kemih serosa. Pada MRI tampak

lengkungan pembuluh darah dan band intraplacental gelap pada pencitraan T2- weighted. Peningkatan

serum αFP pada serum ibu diamati terjadi pada kasus plasenta akreta.13,14

Temuan ultrasonografi berupa massa echogenik pada uterus mendukung diagnosis retensio plasenta.

Teknik ini baik digunakan pada kasus-kasus perdarahan yang terjadi beberapa jam setelah melahirkan atau

pada pendarahan postpartum yang tertunda (24 jam pasca melahirkan). Pencitraan Doppler dupleks

transvaginal juga efektif dalam mengevaluasi sisa plasenta. Beberapa bukti menunjukkan bahwa

sonohisterografi dapat membantu dalam diagnosis sisa jaringan trofoblas.14

Gambar 2.3 Massa pada isthmus uterus pada pencitraan USG

10
2.1.8 Penatalaksanaan

Selama periode batas waktu setengah jam pasca melahirkan bayi, pasien harus diawasi dengan

cermat untuk bukti adanya perdarahan, baik perdarahan yang tampak maupun perdarahan yang

tersembunyi, serta pencatatan tanda-tanda adanya pemisahan plasenta. Kandung kemih perlu dikosongkan

menggunakan kateter. Setiap perdarahan saat melahirkan plasenta perlu dikelola sebagai perdarahan pada

kala ketiga. Pada setiap perdarahan kala tiga, diberikan larutan kristaloid (larutan saline normal atau

Ringer) dapat ditambahkan dengan oksitosin (1 L dengan 20 unit) dengan 60 tetes per menit dan

mempersiapkan transfusi darah jika diperlukan.16

Gambar 2.4 Algoritme tatalaksana perdarahan kala III

Apabila dalam waktu setengah jam plasenta tidak lahir dan terdapat perdarahan, maka diperlukan

tindakan manual plasenta. Teknik manual plasenta yaitu melepaskan plasenta dari perlekatan uterus

dengan gerakan yang sama dengan yang digunakan dalam memisahkan halaman-halaman buku. Setelah

diangkat, selaput dikeluarkan dengan hati-hati dengan cara ditelusuri dari desidua dan menggunakan ring

forceps apabila diperlukan. Metode lain adalah dengan membersihkan rongga rahim dengan tangan yang

dibungkus dengan kain kasa.13,15

11
Gambar 2.5 Teknik Manual Plasenta

Tabel 2.1 Langkah-langkah Teknik Manual Plasenta

Teknik Manual Plasenta

Langkah I Operasi dilakukan dengan anestesi umum. Dalam keadaan

sangat mendesak di mana ahli anestesi tidak tersedia,

operasi mungkin harus dilakukan dengan sedasi dalam

dengan 10 mg diazepam, atau Sulfas atropine 2 amp yang

diberikan secara intravena Pasien ditempatkan dalam posisi

litotomi. Dengan semua tindakan aseptik, kandung kemih

dikateterisasi.

12
Langkah II Satu tangan dimasukkan ke dalam rahim setelah diolesi

dengan larutan antiseptik. Tangan berbentuk kerucut

mengikuti tali pusat, yang dibuat kencang oleh tangan lain.

Saat memperkenalkan tangan, labia dipisahkan oleh jari-

jari tangan lainnya. Jari-jari tangan harus menemukan

margin plasenta.

Langkah III Tekanan balik pada fundus uterus diterapkan dengan

tangan lain yang diletakkan di atas perut. Tangan pada

perut harus menstabilkan fundus dan memandu gerakan

jari-jari di dalam rongga rahim sampai plasenta benar-

benar terpisah.

13
Langkah IV Segera setelah margin plasenta tercapai, jari-jari disisipkan

di antara plasenta dan dinding rahim dengan punggung

tangan bersentuhan dengan dinding rahim. Plasenta secara

bertahap dipisahkan dengan gerakan mengiris jari ke

samping, sampai seluruh plasenta dipisahkan.

Langkah V Ketika plasenta benar-benar dipisahkan,

plasentadiekstraksi oleh traksi tali pusat oleh tangan lain.

Tangan pada rahim masih di dalam rahim untuk eksplorasi

rongga untuk memastikan tidak ada plasenta yang

tertinggal.

14
Langkah VI Methergine intravena 0,2 mg diberikan dan tangan pada

rahim secara bertahap diangkat sambil memijat rahim dengan

tangan eksternal untuk membuatnya berkontraksi. Setelah

selesainya pengangkatan secara manual, inspeksi kanal

serviks harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya cedera.

Langkah VII Plasenta dan membran diperiksa untuk kelengkapan dan

pastikan uterus tetap keras dan berkontraksi.

Komplikasi yang tak terduga selama manual plasenta yaitu terjadinya inversi uteri.

Pengangkatan plasenta secara manual diketahui sebagai salah satu risiko penyebab terjadinya

inversi uterus, terutama pada plasenta yang sulit dilepaskan. Plasenta, baik yang tidak

terpisah atau terpisah, sebagian atau seluruhnya, dapat terperangkap oleh kontraksi lokal dari

otot-otot melingkar uterus. Kontraksi jam pasir ini dapat terletak pada pertemuan segmen

bawah dan atas rahim ataupun dapat berada pada satu cornu. Pemberian oxytocic, terutama

ergometrine dalam manajemen aktif tahap ketiga atau respon iritabilitas yang tidak

semestinya dari uterus dengan upaya awal untuk melahirkan plasenta adalah penyebab

terpenting terjadinya kontraksi.

Diagnosis dapat dibuat selama upaya ekstraksi dengan manual plasenta.

Penatalaksanaan: Cincin yang terbntuuters harus dibuat rileks dengan memberikan agen

anestesi (halotan dapat digunakan dalam kasus ini), kemudian tangan berbentuk kerucut

dimasukkan dan pemisahan plasenta lebih direkomendasikan untuk dilakukan dengan arah

dari atas ke bawah untuk meminimalkan perdarahan.18

15
Tatalaksana retensio plasenta, baik ekstraksi plasenta secara manual plasenta atau

melalui operatif, berpotensi meningkatkan risiko perdarahan, infeksi, dan peningkatan durasi

rawat inap di rumah sakit. Menurut panduan WHO mengenai penatalaksanaan retensio

plasenta, dosis tunggal antibiotik (ampisilin atau sefalosporin generasi pertama) harus

diberikan setelah pengangkatan plasenta secara manual. Sebuah pengkajian sistematis dari

dua laporan kasus mengevaluasi efektivitas injeksi Gonadotropin Releasing Hormone

Agonist (GnRH-a) bersamaan dengan inhibitor aromatase dan asam traneksamat untuk

mengobati perdarahan postpartum yang terkait dengan retensi plasenta inkreta atau

akreta.4,6,18

Dalam dua laporan kasus tersebut, pemberian asam traneksamat 1 g TID selama 5 hari

secara oral, inhibitor aromatase (Letrozole 2,5 mg QD per oral selama lima hari) dan injeksi

Luprolide asetat IM selama 3 dan 5 bulan dapat memberikan hasil berupa perdarahan yang

mereda dalam beberapa jam serta jaringan plasenta yang menghilang dalam 3 sampai 5 bulan

pengobatan. Pada kedua laporan kasus tersebut, siklus menstruasi kembali normal setelah

sembilan bulan post-partum.6

Pada kasus retensio plasenta dengan perdarahan masif yang telah gagal dilakukan

teknik manual plasenta (manual removal of placenta / MROP), perlu segera dilakukan

histerektomi untuk menghentikan perdarahan. Histerektomi dapat dilakukan dibawah anastesi

lokal maupun anastesi umum. Apabila tidak terjadi perdarahan masif, perlu dilakukan

pemeriksaan radiologi untuk mengetahui adanya invasi plasenta yang abnormal (abnormally

invasive placentation / AIP).3,7

Selain histerektomi, reseksi histeroskopi sisa-sisa plasenta telah dideskripsikan dapat

mempercepat resolusi atau mengatasi perdarahan yang tertunda dan / atau nyeri panggul.

Keuntungan potensial menggunakan pendekatan histeroskopi meliputi kemampuan untuk

16
mengkonfirmasi secara visual jaringan selama reseksi, dan mengurangi risiko pembentukan

adhesi.3,9

Methotrexate (MTX) adalah modalitas pengobatan farmakologis yang telah

diterapkan sebagai tambahan untuk manajemen konservatif pada kasus plasenta akreta,

sambil menunggu reabsorpsi atau ekspulsi plasenta. MTX menghambat jalur asam folat;

dengan demikian, memiliki target pengobatan pada sel-sel yang membelah dengan cepat,

seperti trofoblas. Berdasarkan cara kerjanya, MTX lebih umum digunakan untuk kehamilan

ektopik dan penyakit trofoblas gestasional.

Namun, MTX dinilai juga dapat mempercepat reabsorpsi atau ekspulsi plasenta

postpartum yang tidak lagi tumbuh. Selain methotrexate, agen farmakologis lain yang diteliti

efeknya dalam kasus retensio plasenta yakni nitrogliserin (NTG). Berdasarkan evaluasi

terhadap tiga RCT, saat ini data yang tersedia menunjukkan bahwa penggunaan NTG saja

tidak mengurangi kebutuhan untuk pengangkatan plasenta secara manual. Oleh sebab itu,

NTG tidak secara rutin diindikasikan pada kasus retensio plasenta.3,17

Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana retensio plasenta setelah gagal dilakukan manual plasenta

17
Pada plasenta akreta parsial (focal) tatalaksana berupa upaya melepaskan jaringan

plasenta sebanyak mungkin. Kontraksi uterus yang efektif dan hemostasis dapat dicapai

dengan oksitosik dan jika perlu dengan penyumbatan intrauterin. Jika rahim gagal

berkontraksi, keputusan awal histerektomi mungkin harus diambil. Dalam kasus plasenta

akreta total, histerektomi diindikasikan pada wanita multipara, sedangkan pada pasien yang

ingin memiliki anak, sikap konservatif dapat diambil. Langkah ini terdiri dari insisi uterus di

atas perlekatan plasenta dan penjepitan serta pemotongan tali pusar sedekat mungkin dengan

alasnya dan meninggalkan plasenta, yang diharapkan akan diautolisasi pada waktunya.

Antibiotik perlu diberikan.

Setiap upaya pemisahan plasenta yang berisiko perdarahan masif akan berakhir pada

histerektomi. Embolisasi atau terapi arteri uterin dengan metotreksat telah dilakukan untuk

konservasi uterus. Dalam kasus yang jarang terjadi, plasenta akreta dapat menyerang

kandung kemih. Dalam kasus ini, tatalaksana yang paling baik adalah untuk menghindari

pelepasan plasenta secara manual. Pada kasus ini diperlukan histerektomi dan cystectomy

parsial.19

Hal yang penting untuk diperhatikan adalah apabila pasien telah jatuh dalam keadaan

syok, tindakan yang perlu dilakukan adalah resusitasi terlebih dahulu sebelum melakukan

pengangkatan plasenta secara manual. Tatalaksana syok pada perdarahan post partum, antara

lain dengan:3

• Mengembalikan volume sirkulasi (cairan intravena dan transfusi)

Darah harus ditransfusikan terutama pada syok hemoragik segera setelah tersedia. Pemberian

cairan kristaloid: salin normal harus diberikan pada awalnya untuk penggantian volume

segera. Larutan kristaloid dengan cepat hilang dari sirkulasi. Koloid: Larutan polygelatin

(Hemaccel, Gelofusion) adalah larutan yang memiliki kelarutan iso-osmotik dengan plasma.

18
Larutan koloid tidak mengganggu sistem koagulasi. Oleh sebab itu dapat diberikan dengan

volume besar. Larutan koloid dapat menyebabkan diuresis osmotik. Dextrans: merupakan

polisakarida polimolekul. Larutan dextrans dapat mengganggu crossmatching, oleh sebab itu

perlu dihindari. Larutan human albumin (4,5%) - tidak umum digunakan untuk penggantian

volume.6

• Pemeliharaan efisiensi jantung

Ketika sejumlah besar cairan atau darah diberikan, kontraksi atau efisiensi jantung harus

dipastikan– jika tidak, terdapat risiko terjadinya kelebihan beban pada sirkulasi dan gagal

jantung. Sebanyak 6 liter kristaloid mungkin diperlukan untuk kehilangan 1 liter volume

plasma. Satu atau dua kanul besar (14 atau 16 gauge) dimasukkan untuk penggantian volume

(2 line intravena). PRC (komponen darah spesifik), dikombinasikan dengan salin normal,

digunakan untuk syok hemoragik. Pemantauan hemodinamik bertujuan untuk

mempertahankan tekanan darah sistolik> 90 dan MAP> 60 mm Hg, CVP 12-15 cm H2O dan

tekanan kapiler paru 14- 18 mmHg.

• Pemberian oksigen untuk menghindari asidosis metabolik

Pada fase awal, pemberian oksigen dengan nasal kanul pada kecepatan 6-8 liter per menit

sudah cukup. Namun pada fase selanjutnya, ventilasi dengan intubasi endotrakeal mungkin

diperlukan. Pemberian oksigen harus dilanjutkan untuk mempertahankan saturasi O2> 92%,

PaO2 80-100 mm Hg, PaCO2 30-35 mm Hg dan pH> 7,35. Intubasi endotrakeal dan ventilasi

mekanik mungkin diperlukan untuk pasien dengan syok septik. Indikasi ventilasi mekanik

adalah: takipnea berat (RR> 40 / mnt), perubahan status mental, hipoksemia berat, walaupun

sudah diberikan suplementasi O2.1,4

19
• Agen farmakologis

Penggunaan obat vasopresor harus dijaga seminimal mungkin, karena sudah terdapat

vasokonstriksi perifer.

• Kontrol perdarahan

Penatalaksanaan secara bedah untuk mengendalikan perdarahan harus dimulai bersama

dengan manajemen umum syok.

• Pemantauan

Parameter klinis seperti suhu kulit, vena perifer yang terlihat dapat membantu menilai tingkat

perfusi jaringan. Output urin (> 30 mL / jam) adalah salah satu panduan yang bermanfaat.

Tekanan darah arteri adalah indikator yang buruk untuk menilai perfusi jaringan. Pemantauan

secara invasif mungkin tidak diperlukan. Namun, pada keadaan pasien kritis, pengukuran

tekanan vena sentral (CVP), untuk menilai kecukupan volume sirkulasi pasien dan keadaan

kontraktil miokardium, sangat penting. Oksimeter nadi dan analisis gas darah bermanfaat

untuk menilai perfusi jaringan. Pengukuran tekanan atrium kiri (tekanan oklusi arteri

pulmonalis) oleh kateter 'Swan-Ganz' dapat dilakukan dalam kasus-kasus tertentu.6,7,8

2.1.9 Komplikasi

Risiko yang dapat terjadi pada kasus retensio plasenta yang berkepanjangan adalah:

(1) Perdarahan. (2) Syok yang disebabkan oleh, (a) kehilangan darah, (b) kadang-kadang

tidak berhubungan dengan kehilangan darah, terutama ketika perdarahan tersembunyi lebih

dari satu jam dan (c) upaya manipulasi perut untuk mengeluarkan plasenta. (3) Sepsis nifas.

(4) Risiko kekambuhan pada kehamilan berikutnya.3

Perdarahan masif akibat retensio plasenta dapat menyebabkan pasien perlu dilakukan

histerektomi darurat, terutama apabila tindakan manual plasenta gagal dilakukan. Pasien

20
dalam periode singkat dapat mengalami kolaps sirkulasi. Kematian dapat menjadi salah satu

konsekuensinya. Angka Case Fatality Rate karena perdarahan langsung akibat retensio

plasenta mencapai 10%. Retensio plasenta juga merupakan penyebab utama perdarahan

postpartum yang tertunda, dimana perdarahan berlangsung dengan onset lebih dari 24 jam

setelah melahirkan. Komplikasi jangka panjang antara lain anemia, kegagalan menyusui, dan

depresi pascapersalinan.5,3,7

21
BAB III

Laporan Kasus
Identitas Pasien

Nama : Ny. N

Umur : 24 th

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Alamat : Sungai lasi

Tanggal Masuk : 26 September 2023

No. RM : 249940

Anamnesis

Keluhan Utama

Seorang pasien Perempuan umur 24 tahun datang dengan ke ponek RSUD M. Natsir

dengan keluhan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2 sejak 2 jam SMRS.

Riwayat penyakit sekarang:

 Seorang pasien Perempuan umur 24 tahun datang dengan ke ponek RSUD M. Natsir

dengan keluhan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2 sejak 2 jam

SMRS. Pasien melahirkan spontan anak ke-2 dalam perjalanan menuju ke rumah bidan.

 Pendarahan di jalan lahir ada sedikit

 Pasien tidak mengeluhkan mual dan muntah

 Pasien tidak merasakan pusing

 Pasien tidak mengeluhkan demam

 Buang air kecil tidak ada keluhan

 Buang air besar tidak ada keluhan

22
Riwayat Kehamilan/Abortus/Persalinan

1. 2018 / Perempuan / 4000 gr / Normal / Aterm / Bidan

2. 2023 / Perempuan / 3000 gr / Normal / Aterm / Bidan

Riwayat Menstruasi

 Menarche : 12 tahun

 Durasi : 6 hari

 Siklus : 28 hari teratur

 HPHT : 27 Desember 2022

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien tidak ada riwayat penyakit infeksi menular seksual.

 Riwayat hipertensi tidak ada.

 Riwayat alergi tidak ada.

 Riwayat asma tidak ada.

 Riwayat trauma tidak ada.

 Riwayat diabetes mellitus tidak ada.

 Riwayat penyakit jantung tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien.

Riwayat Perkawinan

 Status pernikahan sekarang : menikah

 Pernikahan kedua

Riwayat Kontrasepsi

Pemakaian KB tidak ada

Riwayat Sosial

Pasien tidak mengkonsumsi minuman beralkohol dan tidak merokok.

23
Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Kompos Mentis kooperatif

Tekanan Darah : 114/73 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 36,5 oC

BB : 46 kg

TB : 147 cm

Status Generalisata

Kepala : Normocephali, rambut tidak mudah dicabut

Wajah : simetris, bibir pucat (-), edema (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Leher : pembesaran KGB (-)

Thorak : paru dan jantung dalam batas normal

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Status Obstetrikus

Abdomen

TFU setinggi 1 jari di bawah pusat

Nyeri tekan (+)

Genitalia

PPV (+)

OUE terbuka, teraba jaringan pada OUE

tanda lepas plasenta (-).

24
Pemeriksaan Penunjang

Tanggal 26 September 2023

Pemeriksaan Hematologi Rutin


Hb 11.5 g/dL
Eritrosit 3.59 106/uL
Hematokrit 33.1 %
MCV 92.2 fL
MCH 32.0 pg/cell
MCHC 34.7 g/dL
Leukosit 13.0 103/mm3
Trombosit 262 103/uL

Imunologi
Anti HIV Non Reaktif
RapidSyphilis Antibody Non Reaktif
(TPHA)
HbsAg Non Reaktif

Diagnosis
 P2A0H2 post PN diluar + Retensio plasenta

Penatalaksanaan
 IVFD RL 500 ml drip oxytosin : metargin (1:1)
 Inj. Oxytocin 10 IU/ml (iv)
 Paracetamol 3 x 500 mg tab (po)
 Cefadroxil 2 x 500 mg tab (po)
 Ferro Sulfat 1 x 1 tab (po)
 Vitamin C 3 x 1 tab (po)
Follow Up
26 September 2023
S  Nyeri bekas jahitan pada kemaluan (+)
O TD : 114/73 mmHg
HR : 84 x/m
RR : 20 x/m
T : 36.5 oC
A P2A0H2 post PN diluar + retensio plasenta
P  IVFD RL drip oxytocin : methylergometrine (1:1)
 Inj. oksitosin 1 amp (iv)
 Dilakukan manual plasenta
 Heacting 2 buah
 Pasang kateter urin
 Inj. Methylergometrine 1 amp (iv)
 Paracetamol 3 x 500 mg (po)

25
 Ferro Sulfat 1 x 1 tab (po)
 Vitamin C 3 x 1 tab (po)
 Cefadroxil 2 x 500 mg tab (po)
27 September 2023
S  Nyeri bekas jahitan pada kemaluan (+)
O TD : 110/70 mmHg
HR : 99 x/m
RR : 20 x/m
T : 36.7 oC
A P2A0H2 post PN diluar + post manual plasenta a/i retensio plasenta
P  Paracetamol 3 x 500 mg (po)
 Ferro Sulfat 1 x 1 tab (po)
 Vitamin C 3 x 1 tab (po)
 Cefadroxil 2 x 500 mg tab (po)
 Pasien rencana untuk pulang

26
BAB IV
DISKUSI KASUS

Pasien Perempuan umur 24 tahun datang dengan ke ponek RSUD M. Natsir dengan

keluhan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2 sejak 2 jam SMRS. Pada

pasien ini ditegakkan diagnosis berdasarkan dari anamnesis. Pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien melahirkan anak ke-2 di perjalanan

menuju ke rumah bidan dan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2

selama 2 jam SMRS. Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan pada abdomen nyeri

tekan ada. Pemeriksaan penunjang dilakukan cek darah rutin yaitu Hb 11.5 g/dL,

Eritrosit 3.59 106/uL, Hematokrit 33.1 %, Leukosit 13.0 103/mm3, Trombosit 262

103/uL.

Namun pada pasien ini ditegakkan diagnosis retensio plasenta ialah ada tertahannya

plasenta selama > 30 menit dan tidak ada keluhan demam karena suhu pasien saat di cek 36, 5
o
C, nyeri hebat pada pasien tidak ada, perdarahan hebat pada pasien tidak ada hanya perdarahan

sedikit karena post melahirkan.

27
BAB V

Kesimpulan

Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah

persalinan bayi, bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir.

Jenis Perlekatan Retensio Placenta Plasenta Akreta, Plasenta Inkreta, Plasenta Perkreta.9

Penyebab retensio plasenta, a) His kurang kuat (Penyebab terpenting), b) Plasenta

sukar terlepas karena tempatnya (insersi disudut tuba), bentuknya (Plasenta membranasea,

plasenta anularis), dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil).Plasenta yang sukar lepas

karena penyebab diatas disebut plasenta adhesiva.7,11

Pencegahan retensio plasenta dengan cara pemberian oksitosin segera setelah

pelahiran bahu anterior, mengklem tali pusat segera setelah pelahiran bayi dan menggunakan

traksi tali pusat terkendali untuk pelahiran plasenta.2

Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terus

berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali, jika traksi pusat terkendali belum

berhasil, cobalah untuk melakukan pengeluaran plasenta secara manual.14

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Prick B, Altenstadt J, Hukkelhoven C, et al. Regional differences in severe


postpartum hemorrhage: a nationwide comparative study of 1.6 million deliveries.
BMC Pregnancy and Childbirth. 2015;15(43):1-10.
2. Jekti RP, Suarthana E. Risk factors of post partum haemorrhage in Indonesia. Health
Science Indonesia. 2011;2(2):66-70.
3. Dutta D. DC Dutta's textbook of obstetrics. 8th ed. New Delhi: Jaypee; 2015. p. 475-
485; 704.
4. Coviello E, Grantz K, Huang C, et al. Risk factors for retained placenta. American
Journal of Obstetrics and Gynecology. 2015;213(6):864.e1- 864.e11.
5. Cramer SF, Hatem F, Heller D. Placenta increta presenting as retained placenta: a
report of 3 cases. Fetal and Pediatric Pathology. 2019; p. 1-18.
6. Vilos A, Machado M, Abu-Rafea B, et al. Treatment of Persistent Postpartum
Bleeding Associated with Retained Placental Tissue with a Gonadotropin Releasing
Hormone Agonist together with an Aromatase Inhibitor and Tranexamic Acid:
Experience with 2 Cases and Review of the Literature. Journal of Medical Imaging
and Case Reports. 2018;02(01):1-4.
7. Jauniaux E, Chantraine F, Silver R, Langhoff-Roos J. FIGO consensus guidelines on
placenta accreta spectrum disorders: Epidemiology,. International Journal of
Gynecology & Obstetrics. 2018;140(3):265-273.
8. Greenbaum S, Wainstock T, Dukler D, et al. Underlying mechanisms of retained
placenta: Evidence from a population based cohort study. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2017;216:12-17.
9. Weeks A. The Retained Placenta [Internet]. PubMed Central (PMC). 2001 [cited 19
February 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
10. Alonso PL, Nieto PL, Garcia MB, et al. Hysteroscopy and Retained Products of
Conception. Hysteroscopy. 2017;:181-191.

29
11. Poggi SB. Postpartum Hemorrhage & the Abnormal Puerperium. In: Decherney AH,
Nathan L, Laufer N, Roman AS. Current diagnosis and treatment obstetrics &
gynecology. 11th ed. McGraw-Hill; 2013; p. 635- 649.
12. Kulhan NG, Kulhan M, Nayki UA, et al. Placenta increta, mimicking gestational
trophoblastic disease and cesarean scar pregnancy, diagnosed eleven months after
delivery: A case report. J Cases Obstet Gynecol, 2016;3(1):33-35.
13. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, et al. Williams Obstetrics. 24th ed. McGraw-
Hill; 2012. p. 784-785.
14. Chikazawa K, Akashi K, Gomi Y, et al. A case of severe uterine bleeding postpartum
following manual removal of placenta increta. Taiwanese Journal of Obstetrics and
Gynecology. 2016;55(6):913-914.
15. Bjurström J, Collins S, Langhoff-Roos J, et al. Failed manual removal of the placenta
after vaginal delivery. Archives of Gynecology and Obstetrics. 2017;297(2):323-332.
16. World Health Organization. WHO guidelines for the management of postpartum
haemorrhage and retained placenta. Geneva: WHO; 2009. p. 17-20.
17. Fox K, Shamshirsaz A, Carusi D, et al. Conservative management of morbidly
adherent placenta: expert review. American Journal of Obstetrics and Gynecology.
2015;213(6):755-760.
18. Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem M, Shaaban O. Nitroglycerin for management of
retained placenta. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2015;1-37.
19. Nugroho, Taufan, 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika

30

Anda mungkin juga menyukai