RETENSIO PLASENTA
Oleh :
PRESEPTOR
dr. Helwi Nofira, Sp.OG
BAITURRAHMAH
2023
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia yang
diberikan-Nya, sehingga penyusunan case yang berjudul “Retensio Plasenta” dapat diselesaikan.
Penulisan Case Report Section ini diharapkan berguna sebagai khasanah ilmu pengetahuan khususnya
dalam bidang kesehatan yang memberikan gambaran tentang berbagai penyakit dalam referat ini dan
dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan sebagai sarana pendidikan untuk mempersiapkan peserta
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Helwi Nofira, Sp. OG selaku pembimbing
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan case report section ini tepat waktu demi
memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior. Kami menyadari masih banyak kesalahan baik dalam
segi penyusunan, pengolahan, pemilihan kata, dan proses pengetikan karena masih dalam
tahap pembelajaran. Saran dan kritik yang membangun tentu sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan dan perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga case report
section ini dapat berguna khususnya bagi kami sebagai penulis dan bagi pembaca pada
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Depan .............................................................................. i
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Retensio plasenta adalah bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir.
Menurut Latifatulzahro (2020) bahwa retensio plasenta adalah plasenta yang tidak lahir lebih dari 30
menit setelah kelahiran bayi. Faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta adalah plasentaprevia, bekas
Faktor predisposisi lain yang menyebabkan retensio plasenta yaitu usia, jarak persalinan, penolong
persalinan, riwayat manual plasenta, anemia, riwayat pembedahan uterus, destruksi endometrium dari
infeksi sebelumnya atau bekas endometritis dan implantasi corneal (Manuaba, 2010).2,3
Macam-Macam dari retensio plasenta yaitu plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta,
plasenta prekreta, plasenta inkarserata. Pencegahan retensio plasenta dengan cara pemberian oksitosin
segera setelah pelahiran bahu anterior, mengklem tali pusat segera setelah pelahiran bayi dan
menggunakan traksi tali pusat terkendali untuk pelahiran plasenta (Varney, 2007). Selain itu, pencegahan
yang dapat dilakukan pada ibu hamil yaitu konsumsi makanan yang mengadung gizi tinggi yang dapat
1
1.2 Tujuan
Case ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi
RSUD M. Natsir dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi
1.3 Manfaat
a. Bagi Penulis
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbangdingan bagi kegiatan yang ada kaitannya dengan
Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Retensio Plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta selama 30 menit setelah bayi
lahir. Hal itu disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas, akan
tetapi belum dilahirkan. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III bisa disebabkan
oleh adhesi yang kuat antaraplasenta dan uterus. Bila sebagian kecil plasenta masih tertinggal dalam uterus
dan dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau lebih sering sekunder.3
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan atau separasi plasenta akan ditandai oleh
perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah lepas tetapi tidak keluar pervaginam
(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Sebagian plasenta yang sudah
lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala tiga) dan harus diantisipasi
dengan segera melakukan manual plasenta, meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Pada beberapa
2.1.2 Etiologi
Terdapat tiga fase yang terlibat dalam ekspulsi normal plasenta: (1) Pemisahan melalui lapisan
spons decidua, (2) Penurunan ke segmen bawah dan vagina, (3) Ekspulsi ke luar. Gangguan pada proses
fisiologis ini, menghasilkan retensio plasenta. Berikut merupakan penyebab gagalnya ekspulsi normal
• Plasenta benar-benar terpisah tetapi terdapat retensio plasenta karena upaya ekspulsi volunter
3
yang buruk.
• Plasenta adheren sederhana yang disebabkan oleh atoni uterus dalam kasus grand multipara,
distensi uterus yang berlebihan, persalinan lama dan malformasi uterus atau karena area
permukaan plasenta yang lebih besar. Penyebab retensi plasenta yang tidak terpisahkan yang
• Plasenta inkarserata setelah pemisahan sebagian atau seluruhnya karena terdapat penyempitan
cincin (kontraksi jam pasir), upaya prematur untuk melahirkan plasenta sebelum dipisahkan.
Menurut Wiknjosastro (2007) sebab retensio plasenta dibagi menjadi 2 golongan ialah sebab
A. Sebab fungsional
1) Plasenta akreta : vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dalam dinding rahim daripada
3) Plasenta perkreta : vili korialis menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau menembusnya
4
Faktor predisposisi
a. Grandemultipara
d. Plasenta previa, karena dibagian istmus uterus pembuluh darah sedikit, sehingga perlu masuk
jauh kedalam.
2.1.3 Patofisiologi
Tergantung pada kedalaman invasi trofoblas ke dalam miometrium, terdapat tiga subtipe invasi
plasenta abnormal yang dibedakan secara patologi: (1) plasenta akreta superfisial (juga disebut plasenta
creta, vera, atau adherenta), di mana vili menempel langsung atau menginvasi pada permukaan
miometrium, (2) plasenta increta, di mana vili menembus ke dalam miometrium hingga ke lapisan
eksternal; dan (3) plasenta percreta, vili menginvasi tempat jaringan vena dan mencapai serosa uterus
hingga dapat menembus kandung kemih. Plasentasi yang lebih invasif disebabkan akibat adanya jaringan
parut pada yang memungkinkan pengembangan vili korionik jauh ke dalam dinding rahim hingga
menembus miometrium.7
Setiap plasentasi abnormal di atas dapat dikaitkan dengan komplikasi kehamilan utama, termasuk
perdarahan maternal yang mengancam jiwa, transfusi darah dalam volume yang besar, dan histerektomi
peripartum.6 Plasentasi abnormal menyebabkan retensio plasenta sehingga menyebabkan atonia uterus
sekunder akibat jaringan plasenta yang tersisa dan tetap menjadi salah satu penyebab paling umum
5
Pada retensio plasentan non-accreta, kegagalan fase kontraksi merupakan dasar penyebab
plasenta yang tidak sempurna sehingga jaringan plasenta tertahan di dalam uterus. Namun tidak dapat
diasumsi bahwa kegagalan kontraktil retro-plasenta ini terbatas pada periode post partum. Kontraksi yang
terjadi selama sebelum persalinan yang kurang adekuat juga berperan dalam kegagalan pelepasan plasenta.
Pada keadaan ini miometrium tidak dapat mencapai tekanan yang diperlukan untuk detachment plasenta
Peran unit feto-plasenta dalam regulasi kompleks kontraktilitas uterus yang berhubungan
keseimbangan faktor stimulasi dan inhibisi. Plasenta memiliki peran dalam menghambat kontraksi
miometrium melalui produksi progesteron dan kemungkinan nitrat oksida (NO). Progesteron adalah
penghambat penting kontraktilitas miometrium. NO juga merupakan relaksan otot polos yang kuat yang
diproduksi dalam jumlah besar oleh nitric oxide synthase (NOS) dalam plasenta. Karena secara cepat
teroksidasi sesaat setelah produksinya, efeknya bersifat sangat lokal. Sehingga diduga penurunan
6
Dua teori berbeda telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis produk konsepsi yang tertahan
(retained products of conception / RPOC). Menurut teori yang dikemukakan oleh Eastman dan Hellman,
retensi jaringan trofoblas merupakan tipe plasenta akreta parsial atau fokal yang tidak dikenali.
Pembentukan desidua lebih sedikit pada daerah kornu, daerah fundus, dan segmen uterus bawah; jika
implantasi terjadi di salah satu daerah ini, vili korionik dapat melekat langsung ke miometrium, yang
mengarah pada peningkatan risiko terjadinya retensi produk konsepsi. Teori kedua, yang dikemukakan
oleh Ranney, menetapkan hubungan langsung antara ketebalan dan tonus di berbagai area miometrium
dengan keberadaan RPOC. Sesuai teori ini, daerah fundus dan uterotubal relatif atonik setelah persalinan
Tanda yang dapat ditemui adalah tidak adanya tanda-tanda pelepasan plasenta atau adanya
pelepasan plasenta secara parsial. Pada rentensi plasenta komplit, tidak tampak pemanjangan tali pusat
ataupun blood gush, rahim teraba lebih lembek akibat atonia sekunder. Hal ini terutama tampak pada
gangguan plasentasi seperti plasenta akreta. Namun apabila terjadi pelepasan plasenta namun parsial,
jaringan plasenta yang terlepas tampak tidak utuh (tidak bulat) dan kotiledon tidak lengkap. Perdarahan per
vaginam masif akan terus terjadi selama terdapat jaringan plasenta yang tertinggal di dalam uterus
Plasenta inkreta merupakan salah satu kejadian yang dapat menyebabkan retensio plasenta.
Plasenta inkreta biasanya bermanifestasi sebagai perdarahan postpartum segera, yang membutuhkan
histerektomi. Pada kasus plasenta inkreta dapat terjadi inversio uterus akibat penarikan plasenta. Pada
kasus plasenta inkreta yang ringan dapat dilakukan pengangkatan plasenta secara manual.5
7
2.1.5 Klasifikasi
• Plasenta normal yang terperangkap karena serviks yang berkontraksi atau kelainan struktur uterus.
• Adheren yang tidak normal (akreta) atau plasenta invasif (increta atau percreta) juga dikenal sebagai
Faktor risiko terjadinya retensio plasenta yaitu persalinan yang diinduksi, jumlah paritas yang
tinggi (lima paritas atau lebih), riwayat retensio plasenta sebelumnya, riwayat dilatasi dan kuretase
sebelumnya, kelahiran prematur, berat plasenta yang kecil, maupun usia maternal (≥ 30 tahun). Pada tahun
2014, sebuah penelitian menghubungkan kejadian retensio plasenta dengan kejadian intrauterine fetal
death (IUFD). Pada wanita nullipara, faktor lain yang berhubungan dengan kejadian retensio plasenta yaitu
akibat waktu persalinan, baik kala I maupun kala II yang memanjang. Retensio plasenta lebih sering terjadi
di negara maju, karena intervensi yang lebih umum seperti aborsi terapeutik atau induksi persalinan. 4,5
Faktor risiko untuk plasenta akreta antara lain adalah plasenta previa dan riwayat kelahiran dengan
operasi sesar sebelumnya. Faktor risiko lain termasuk tindakan operasi pada uterus sebelumnya (dilatasi
dan kuretase, pengangkatan plasenta secara manual, synaekolisis atau miomektomi), usia ibu dan jumlah
paritas ibu.
Risiko plasenta akreta pada kasus plasenta previa dalam uterus yang tidak mengalami scarring
adalah sekitar 3%. Risiko meningkat tajam dengan meningkatnya jumlah kelahiran sesar. Pada kasus
plasenta previa dengan riwayat satu kali seksio sesarea sebelumnya, risiko terjadinya plasenta akreta
meningkat menjadi sekitar 11%, sedangkan dengan dua kali riwayat operasi sesar adalah sebesar 40% dan
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis retensio plasenta dibuat berdasarkan waktu (30 menit) setelah melahirkan bayi. Pemisahan
plasenta dinilai. Kontraksi atau sifat plasenta yang melekat (simpel atau morbid) hanya dapat didiagnosis
selama pengangkatan manual. Konfirmasi diagnosis adanya plasenta akreta dibuat hanya selama upaya
pengangkatan manual ketika pembelahan antara plasenta dan dinding rahim tidak dapat dilakukan.
9
Pencitraan ultrasonografi, Doppler, dan MRI dapat bermanfaat dalam diagnosis plasenta akreta, inkreta,
Temuan USG yang menunjukkan plasenta akreta adalah: (I) hilangnya zona miometrium retroplacental
hypoechoic yang normal, (II) penipisan dan gangguan permukaan serosa antara kandung kemih-rahim dan
massa eksofitik fokal yang menginvasi kandung kemih. Pada pemeriksaan color flow Doppler
menunjukkan hipervaskularitas dari antar permukaan kandung kemih serosa. Pada MRI tampak
lengkungan pembuluh darah dan band intraplacental gelap pada pencitraan T2- weighted. Peningkatan
serum αFP pada serum ibu diamati terjadi pada kasus plasenta akreta.13,14
Temuan ultrasonografi berupa massa echogenik pada uterus mendukung diagnosis retensio plasenta.
Teknik ini baik digunakan pada kasus-kasus perdarahan yang terjadi beberapa jam setelah melahirkan atau
pada pendarahan postpartum yang tertunda (24 jam pasca melahirkan). Pencitraan Doppler dupleks
transvaginal juga efektif dalam mengevaluasi sisa plasenta. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
10
2.1.8 Penatalaksanaan
Selama periode batas waktu setengah jam pasca melahirkan bayi, pasien harus diawasi dengan
cermat untuk bukti adanya perdarahan, baik perdarahan yang tampak maupun perdarahan yang
tersembunyi, serta pencatatan tanda-tanda adanya pemisahan plasenta. Kandung kemih perlu dikosongkan
menggunakan kateter. Setiap perdarahan saat melahirkan plasenta perlu dikelola sebagai perdarahan pada
kala ketiga. Pada setiap perdarahan kala tiga, diberikan larutan kristaloid (larutan saline normal atau
Ringer) dapat ditambahkan dengan oksitosin (1 L dengan 20 unit) dengan 60 tetes per menit dan
Apabila dalam waktu setengah jam plasenta tidak lahir dan terdapat perdarahan, maka diperlukan
tindakan manual plasenta. Teknik manual plasenta yaitu melepaskan plasenta dari perlekatan uterus
dengan gerakan yang sama dengan yang digunakan dalam memisahkan halaman-halaman buku. Setelah
diangkat, selaput dikeluarkan dengan hati-hati dengan cara ditelusuri dari desidua dan menggunakan ring
forceps apabila diperlukan. Metode lain adalah dengan membersihkan rongga rahim dengan tangan yang
11
Gambar 2.5 Teknik Manual Plasenta
dikateterisasi.
12
Langkah II Satu tangan dimasukkan ke dalam rahim setelah diolesi
margin plasenta.
benar terpisah.
13
Langkah IV Segera setelah margin plasenta tercapai, jari-jari disisipkan
tertinggal.
14
Langkah VI Methergine intravena 0,2 mg diberikan dan tangan pada
Komplikasi yang tak terduga selama manual plasenta yaitu terjadinya inversi uteri.
Pengangkatan plasenta secara manual diketahui sebagai salah satu risiko penyebab terjadinya
inversi uterus, terutama pada plasenta yang sulit dilepaskan. Plasenta, baik yang tidak
terpisah atau terpisah, sebagian atau seluruhnya, dapat terperangkap oleh kontraksi lokal dari
otot-otot melingkar uterus. Kontraksi jam pasir ini dapat terletak pada pertemuan segmen
bawah dan atas rahim ataupun dapat berada pada satu cornu. Pemberian oxytocic, terutama
ergometrine dalam manajemen aktif tahap ketiga atau respon iritabilitas yang tidak
semestinya dari uterus dengan upaya awal untuk melahirkan plasenta adalah penyebab
Penatalaksanaan: Cincin yang terbntuuters harus dibuat rileks dengan memberikan agen
anestesi (halotan dapat digunakan dalam kasus ini), kemudian tangan berbentuk kerucut
dimasukkan dan pemisahan plasenta lebih direkomendasikan untuk dilakukan dengan arah
15
Tatalaksana retensio plasenta, baik ekstraksi plasenta secara manual plasenta atau
melalui operatif, berpotensi meningkatkan risiko perdarahan, infeksi, dan peningkatan durasi
rawat inap di rumah sakit. Menurut panduan WHO mengenai penatalaksanaan retensio
plasenta, dosis tunggal antibiotik (ampisilin atau sefalosporin generasi pertama) harus
diberikan setelah pengangkatan plasenta secara manual. Sebuah pengkajian sistematis dari
Agonist (GnRH-a) bersamaan dengan inhibitor aromatase dan asam traneksamat untuk
mengobati perdarahan postpartum yang terkait dengan retensi plasenta inkreta atau
akreta.4,6,18
Dalam dua laporan kasus tersebut, pemberian asam traneksamat 1 g TID selama 5 hari
secara oral, inhibitor aromatase (Letrozole 2,5 mg QD per oral selama lima hari) dan injeksi
Luprolide asetat IM selama 3 dan 5 bulan dapat memberikan hasil berupa perdarahan yang
mereda dalam beberapa jam serta jaringan plasenta yang menghilang dalam 3 sampai 5 bulan
pengobatan. Pada kedua laporan kasus tersebut, siklus menstruasi kembali normal setelah
Pada kasus retensio plasenta dengan perdarahan masif yang telah gagal dilakukan
teknik manual plasenta (manual removal of placenta / MROP), perlu segera dilakukan
lokal maupun anastesi umum. Apabila tidak terjadi perdarahan masif, perlu dilakukan
pemeriksaan radiologi untuk mengetahui adanya invasi plasenta yang abnormal (abnormally
mempercepat resolusi atau mengatasi perdarahan yang tertunda dan / atau nyeri panggul.
16
mengkonfirmasi secara visual jaringan selama reseksi, dan mengurangi risiko pembentukan
adhesi.3,9
diterapkan sebagai tambahan untuk manajemen konservatif pada kasus plasenta akreta,
sambil menunggu reabsorpsi atau ekspulsi plasenta. MTX menghambat jalur asam folat;
dengan demikian, memiliki target pengobatan pada sel-sel yang membelah dengan cepat,
seperti trofoblas. Berdasarkan cara kerjanya, MTX lebih umum digunakan untuk kehamilan
Namun, MTX dinilai juga dapat mempercepat reabsorpsi atau ekspulsi plasenta
postpartum yang tidak lagi tumbuh. Selain methotrexate, agen farmakologis lain yang diteliti
efeknya dalam kasus retensio plasenta yakni nitrogliserin (NTG). Berdasarkan evaluasi
terhadap tiga RCT, saat ini data yang tersedia menunjukkan bahwa penggunaan NTG saja
tidak mengurangi kebutuhan untuk pengangkatan plasenta secara manual. Oleh sebab itu,
Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana retensio plasenta setelah gagal dilakukan manual plasenta
17
Pada plasenta akreta parsial (focal) tatalaksana berupa upaya melepaskan jaringan
plasenta sebanyak mungkin. Kontraksi uterus yang efektif dan hemostasis dapat dicapai
dengan oksitosik dan jika perlu dengan penyumbatan intrauterin. Jika rahim gagal
berkontraksi, keputusan awal histerektomi mungkin harus diambil. Dalam kasus plasenta
akreta total, histerektomi diindikasikan pada wanita multipara, sedangkan pada pasien yang
ingin memiliki anak, sikap konservatif dapat diambil. Langkah ini terdiri dari insisi uterus di
atas perlekatan plasenta dan penjepitan serta pemotongan tali pusar sedekat mungkin dengan
alasnya dan meninggalkan plasenta, yang diharapkan akan diautolisasi pada waktunya.
Setiap upaya pemisahan plasenta yang berisiko perdarahan masif akan berakhir pada
histerektomi. Embolisasi atau terapi arteri uterin dengan metotreksat telah dilakukan untuk
konservasi uterus. Dalam kasus yang jarang terjadi, plasenta akreta dapat menyerang
kandung kemih. Dalam kasus ini, tatalaksana yang paling baik adalah untuk menghindari
pelepasan plasenta secara manual. Pada kasus ini diperlukan histerektomi dan cystectomy
parsial.19
Hal yang penting untuk diperhatikan adalah apabila pasien telah jatuh dalam keadaan
syok, tindakan yang perlu dilakukan adalah resusitasi terlebih dahulu sebelum melakukan
pengangkatan plasenta secara manual. Tatalaksana syok pada perdarahan post partum, antara
lain dengan:3
Darah harus ditransfusikan terutama pada syok hemoragik segera setelah tersedia. Pemberian
cairan kristaloid: salin normal harus diberikan pada awalnya untuk penggantian volume
segera. Larutan kristaloid dengan cepat hilang dari sirkulasi. Koloid: Larutan polygelatin
(Hemaccel, Gelofusion) adalah larutan yang memiliki kelarutan iso-osmotik dengan plasma.
18
Larutan koloid tidak mengganggu sistem koagulasi. Oleh sebab itu dapat diberikan dengan
volume besar. Larutan koloid dapat menyebabkan diuresis osmotik. Dextrans: merupakan
polisakarida polimolekul. Larutan dextrans dapat mengganggu crossmatching, oleh sebab itu
perlu dihindari. Larutan human albumin (4,5%) - tidak umum digunakan untuk penggantian
volume.6
Ketika sejumlah besar cairan atau darah diberikan, kontraksi atau efisiensi jantung harus
dipastikan– jika tidak, terdapat risiko terjadinya kelebihan beban pada sirkulasi dan gagal
jantung. Sebanyak 6 liter kristaloid mungkin diperlukan untuk kehilangan 1 liter volume
plasma. Satu atau dua kanul besar (14 atau 16 gauge) dimasukkan untuk penggantian volume
(2 line intravena). PRC (komponen darah spesifik), dikombinasikan dengan salin normal,
mempertahankan tekanan darah sistolik> 90 dan MAP> 60 mm Hg, CVP 12-15 cm H2O dan
Pada fase awal, pemberian oksigen dengan nasal kanul pada kecepatan 6-8 liter per menit
sudah cukup. Namun pada fase selanjutnya, ventilasi dengan intubasi endotrakeal mungkin
diperlukan. Pemberian oksigen harus dilanjutkan untuk mempertahankan saturasi O2> 92%,
PaO2 80-100 mm Hg, PaCO2 30-35 mm Hg dan pH> 7,35. Intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik mungkin diperlukan untuk pasien dengan syok septik. Indikasi ventilasi mekanik
adalah: takipnea berat (RR> 40 / mnt), perubahan status mental, hipoksemia berat, walaupun
19
• Agen farmakologis
Penggunaan obat vasopresor harus dijaga seminimal mungkin, karena sudah terdapat
vasokonstriksi perifer.
• Kontrol perdarahan
• Pemantauan
Parameter klinis seperti suhu kulit, vena perifer yang terlihat dapat membantu menilai tingkat
perfusi jaringan. Output urin (> 30 mL / jam) adalah salah satu panduan yang bermanfaat.
Tekanan darah arteri adalah indikator yang buruk untuk menilai perfusi jaringan. Pemantauan
secara invasif mungkin tidak diperlukan. Namun, pada keadaan pasien kritis, pengukuran
tekanan vena sentral (CVP), untuk menilai kecukupan volume sirkulasi pasien dan keadaan
kontraktil miokardium, sangat penting. Oksimeter nadi dan analisis gas darah bermanfaat
untuk menilai perfusi jaringan. Pengukuran tekanan atrium kiri (tekanan oklusi arteri
2.1.9 Komplikasi
Risiko yang dapat terjadi pada kasus retensio plasenta yang berkepanjangan adalah:
(1) Perdarahan. (2) Syok yang disebabkan oleh, (a) kehilangan darah, (b) kadang-kadang
tidak berhubungan dengan kehilangan darah, terutama ketika perdarahan tersembunyi lebih
dari satu jam dan (c) upaya manipulasi perut untuk mengeluarkan plasenta. (3) Sepsis nifas.
Perdarahan masif akibat retensio plasenta dapat menyebabkan pasien perlu dilakukan
histerektomi darurat, terutama apabila tindakan manual plasenta gagal dilakukan. Pasien
20
dalam periode singkat dapat mengalami kolaps sirkulasi. Kematian dapat menjadi salah satu
konsekuensinya. Angka Case Fatality Rate karena perdarahan langsung akibat retensio
plasenta mencapai 10%. Retensio plasenta juga merupakan penyebab utama perdarahan
postpartum yang tertunda, dimana perdarahan berlangsung dengan onset lebih dari 24 jam
setelah melahirkan. Komplikasi jangka panjang antara lain anemia, kegagalan menyusui, dan
depresi pascapersalinan.5,3,7
21
BAB III
Laporan Kasus
Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 24 th
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
No. RM : 249940
Anamnesis
Keluhan Utama
Seorang pasien Perempuan umur 24 tahun datang dengan ke ponek RSUD M. Natsir
dengan keluhan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2 sejak 2 jam SMRS.
Seorang pasien Perempuan umur 24 tahun datang dengan ke ponek RSUD M. Natsir
dengan keluhan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2 sejak 2 jam
SMRS. Pasien melahirkan spontan anak ke-2 dalam perjalanan menuju ke rumah bidan.
22
Riwayat Kehamilan/Abortus/Persalinan
Riwayat Menstruasi
Menarche : 12 tahun
Durasi : 6 hari
Riwayat Perkawinan
Pernikahan kedua
Riwayat Kontrasepsi
Riwayat Sosial
23
Pemeriksaan Fisik
Nadi : 84 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
BB : 46 kg
TB : 147 cm
Status Generalisata
Status Obstetrikus
Abdomen
Genitalia
PPV (+)
24
Pemeriksaan Penunjang
Imunologi
Anti HIV Non Reaktif
RapidSyphilis Antibody Non Reaktif
(TPHA)
HbsAg Non Reaktif
Diagnosis
P2A0H2 post PN diluar + Retensio plasenta
Penatalaksanaan
IVFD RL 500 ml drip oxytosin : metargin (1:1)
Inj. Oxytocin 10 IU/ml (iv)
Paracetamol 3 x 500 mg tab (po)
Cefadroxil 2 x 500 mg tab (po)
Ferro Sulfat 1 x 1 tab (po)
Vitamin C 3 x 1 tab (po)
Follow Up
26 September 2023
S Nyeri bekas jahitan pada kemaluan (+)
O TD : 114/73 mmHg
HR : 84 x/m
RR : 20 x/m
T : 36.5 oC
A P2A0H2 post PN diluar + retensio plasenta
P IVFD RL drip oxytocin : methylergometrine (1:1)
Inj. oksitosin 1 amp (iv)
Dilakukan manual plasenta
Heacting 2 buah
Pasang kateter urin
Inj. Methylergometrine 1 amp (iv)
Paracetamol 3 x 500 mg (po)
25
Ferro Sulfat 1 x 1 tab (po)
Vitamin C 3 x 1 tab (po)
Cefadroxil 2 x 500 mg tab (po)
27 September 2023
S Nyeri bekas jahitan pada kemaluan (+)
O TD : 110/70 mmHg
HR : 99 x/m
RR : 20 x/m
T : 36.7 oC
A P2A0H2 post PN diluar + post manual plasenta a/i retensio plasenta
P Paracetamol 3 x 500 mg (po)
Ferro Sulfat 1 x 1 tab (po)
Vitamin C 3 x 1 tab (po)
Cefadroxil 2 x 500 mg tab (po)
Pasien rencana untuk pulang
26
BAB IV
DISKUSI KASUS
Pasien Perempuan umur 24 tahun datang dengan ke ponek RSUD M. Natsir dengan
keluhan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2 sejak 2 jam SMRS. Pada
pasien ini ditegakkan diagnosis berdasarkan dari anamnesis. Pemeriksaan fisik dan
menuju ke rumah bidan dan plasenta belum lahir setelah pemberian oksitosin ke-2
selama 2 jam SMRS. Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan pada abdomen nyeri
tekan ada. Pemeriksaan penunjang dilakukan cek darah rutin yaitu Hb 11.5 g/dL,
Eritrosit 3.59 106/uL, Hematokrit 33.1 %, Leukosit 13.0 103/mm3, Trombosit 262
103/uL.
Namun pada pasien ini ditegakkan diagnosis retensio plasenta ialah ada tertahannya
plasenta selama > 30 menit dan tidak ada keluhan demam karena suhu pasien saat di cek 36, 5
o
C, nyeri hebat pada pasien tidak ada, perdarahan hebat pada pasien tidak ada hanya perdarahan
27
BAB V
Kesimpulan
Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah
persalinan bayi, bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir.
Jenis Perlekatan Retensio Placenta Plasenta Akreta, Plasenta Inkreta, Plasenta Perkreta.9
sukar terlepas karena tempatnya (insersi disudut tuba), bentuknya (Plasenta membranasea,
plasenta anularis), dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil).Plasenta yang sukar lepas
pelahiran bahu anterior, mengklem tali pusat segera setelah pelahiran bayi dan menggunakan
Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terus
berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali, jika traksi pusat terkendali belum
28
DAFTAR PUSTAKA
29
11. Poggi SB. Postpartum Hemorrhage & the Abnormal Puerperium. In: Decherney AH,
Nathan L, Laufer N, Roman AS. Current diagnosis and treatment obstetrics &
gynecology. 11th ed. McGraw-Hill; 2013; p. 635- 649.
12. Kulhan NG, Kulhan M, Nayki UA, et al. Placenta increta, mimicking gestational
trophoblastic disease and cesarean scar pregnancy, diagnosed eleven months after
delivery: A case report. J Cases Obstet Gynecol, 2016;3(1):33-35.
13. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, et al. Williams Obstetrics. 24th ed. McGraw-
Hill; 2012. p. 784-785.
14. Chikazawa K, Akashi K, Gomi Y, et al. A case of severe uterine bleeding postpartum
following manual removal of placenta increta. Taiwanese Journal of Obstetrics and
Gynecology. 2016;55(6):913-914.
15. Bjurström J, Collins S, Langhoff-Roos J, et al. Failed manual removal of the placenta
after vaginal delivery. Archives of Gynecology and Obstetrics. 2017;297(2):323-332.
16. World Health Organization. WHO guidelines for the management of postpartum
haemorrhage and retained placenta. Geneva: WHO; 2009. p. 17-20.
17. Fox K, Shamshirsaz A, Carusi D, et al. Conservative management of morbidly
adherent placenta: expert review. American Journal of Obstetrics and Gynecology.
2015;213(6):755-760.
18. Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem M, Shaaban O. Nitroglycerin for management of
retained placenta. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2015;1-37.
19. Nugroho, Taufan, 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika
30