Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

Penyakit Jantung Rematik pada Anak

Disusun oleh:
Lidya Natasia Andea

Supervisor Pembimbing:
dr. Eka Sari S, Sp.A, M.Biomed.

Residen Pembimbing:
dr. Sondang H S Siagian

Pendamping:
dr. Maryam Hasan, MM.
dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)

TUGAS PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAILOLO
2023
LAPORAN KASUS

Penyakit Jantung Rematik pada Anak

Disusun oleh:
Lidya Natasia Andea

Supervisor Pembimbing:
dr. Eka Sari S, Sp.A, M.Biomed.

Residen Pembimbing:
dr. Sondang H S S

Pendamping:
dr. Maryam Hasan, MM.
dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS INTERNSHIP


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RSUD JAILOLO
Mengetahui,
2023
Pendamping Internship RSUD
Jailolo

Dr. Maryam Hasan, MM


NIP. 19710925 2005012009
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung rematik merupakan proses imun sistemik yang muncul


setelah infeksi streptokokus hemolitik pada faring. Angka kejadian tinggi
pada negara berkembang dan menjadi penyebab 250.000 kematian di
seluruh dunia. Lebih dari 15 juta orang menderita penyakit jantung rematik.
Insidensi DRA adalah 8-51 / 100.000 orang di seluruh dunia. Sering
menyerang kelompok anak usia 5-15 tahun dengan infeksi grup-A-
1
streptokokus.

Jantung merupakan salah satu organ vital manusia, tidak terkecuali pada
anak. Penyakit jantung sendiri dibedakan menjadi penyakit jantung bawaan
dan penyakit jantung yang didapat. Salah satu contoh penyakit jantung yang
didapat adalah Penyakit Jantung Rematik yang merupakan lanjutan dari
Demam Rematik Akut. Demam rematik merupakan gangguan inflamasi
multisistem dengan gejala paling sering yaitu nyeri sendi yang berpindah.
Sering disertai carditis, tetapi jarang disertai gejala chorea dan kelainan
kulit.2

Radang tenggorokan merupakan kasus infeksi yang sering ditemui


fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Namun radang tenggorokan
berulang dan tidak diobati dapat mengakibatkan komplikasi yang berakibat
fatal, contohnya penyakit jantung rematik dan glomerulonefritis akut post
streptococcal. Tidak semua kasus radang tenggorokan mengakibatkan
demam rematik dan penyakit jantung rematik. Hal ini tentu sangat bisa
dicegah. Oleh sebab itu, pentingnya deteksi dini, pengobatan, dan
pencegahan komplikasi dari demam rematik akut dan penyakit jantung
rematik yang merupakan salah satu penyakit jantung didapat yang sering
ditemui pada anak dan dewasa muda.
Berikut ini secara umum akan dilaporkan kasus demam rematik akut
yang diikuti penyakit jantung rematik akibat infeksi tenggorokan berulang
pada anak perempuan usia 7 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD
Jailolo.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung dan Katup Jantung

Jantung terdiri dari empat ruangan, yaitu dua ruangan atrium dan dua
ruangan ventrikel. Di antara kedua ruangan atrium dan ventrikel terdapat
katup jantung yang berfungsi mencegah kembalinya aliran darah (backward
flow). Katup-katup jantung berperan sebagai one-way inlets of blood pada
satu bagian ventrikel dan one-way outlets of blood pada bagian lain dari
ventrikel. Setiap katup memiliki 3 flaps, kecuali katup mitral yang memiliki
2 flaps.3

Ruangan jantung antara lain :

 Atrium dextrum : menerima darah dari vena cava superior, inferior, dan
sinus coronarius. Darah dari atrium ke ventrikel melalui ostium
atrioventrikulare destrum tertutup oleh valvula atrioventrikulare
dextra/tricuspidalis.
 Ventrikulus dexter : Dinding bagian aliran masuk memiliki pars
muscularis yang bentuknya tidak beraturan, bernama trabeculae carnae.
Di bagian apex infundibulum jalur aliran ventriculus dexter terdapat
valve trunci pulmonalis.
 Atrium sinistrum : sebagian besar menerima darah dari empat vena
pulmonalis dan terdapat ostium atrioventriculare sinistrum yang
menghubungkan atrium sinistrum dan ventriculus sinister. Ostium
tertutup valvula atrioventriculare sinistra atau valvula mitralis.
 Ventriculus sinister : berbentuk kerucut dengan lapisan myocardium yang
tebal dengan jalur keluar disebut vestibulum aortae yang tertutup valve
aortae.

Bilik-bilik jantung dan pembuluh darah pada jantung dipisahkan oleh


sekat atau katup jantung yang terdiri dari empat katup.

Gambar 1. Katup Jantung. 4

 Valvula atrioventricularis dextra/valvula tricuspidalis 5

Ostium atrioventriculare dextrum tertutup selama kontraksi ventriculus


oleh valvula atrioventricularis dextra/valvula tricuspidalis (valva
atrioventricularis dextrum), dinamakan demikian karena biasanya terdiri
dari tiga cuspis atau daun katup. Basis setiap cuspis diamankan oleh cincin
fibrosa yang mengelilingi ostium atrioventrieulare. Cincin fibrosa
membantu mempertahankan bentuk dari lubang. Cuspis saling
bersinambungan dekat dasarnya pada daerah yang disebut commissurae.

Penamaan tiga cuspis, cuspis anterior, septalis, dan posterior, didasarkan


pada posisi relatif cuspis tersebut di ventriculus dexter. Tepi bebas cuspis
melekat pada chordae tendineae, yang muncul dari ujung-ujung musculi
papillares.
Selama fase mengisi ventriculus dexter, valvula atrioventricularis
dextra/valvula tricuspidalis terbuka, dan ketiga cuspis berproyeksi ke dalam
ventriculus dexter.

Tanpa adanya mekanisme kompensasi, saat muscularis ventriculorum


berkontraksi, cuspis valvula akan terdorong ke atas bersama aliran darah dan
darah akan bergerak kembali ke dalam atrium dextrum. Tetapi, kontraksi
musculi papillares yang melekat pada cuspis melalui chordae tendineae
mencegah cuspis berbalik ke dalam atrium dextrum.

Secara sederhana, musculi papillares dan chordae tendineae yang terkait


mempertahankan valvulae tertutup selama perubahan-perubahan dramatis
ukuran ventriculus yang berlangsung selama kontraksi.

Selain itu, chordae tendineae dari dua musculi papillares melekat di


setiap cuspis. Ini membantu mencegah terpisahnya cuspis selama kontraksi
ventriculus. Penutupan sempurna valvula atrioventricularis dextra/valvula
tricuspidalis menyebabkan darah keluar dari ventriculus dexter dan bergerak
ke dalam truncus pulmonalis.

Nekrosis musculi papillares yang terjadi setelah infark myocardium


(serangan jantung) dapat menyebabkan prolaps valvula terkait.
Gambar 2. Pandangan Intrnal Ventriculus Dexter. 5

 Valva Trunci Pulmonalis 5

Di apex infundibulum, jalur aliran keluar ventriculus dexter, lubang ke


dalam truncus pulmonalis tertutup oleh valva trunci pulmonalis, yang terdiri
dari tiga valva semilunaris dengan tepi-tepi bebas yang berproyeksi ke atas,
ke dalam lumen truncus pulmonalis. Tepi superior yang bebas dari setiap
cuspis memiliki bagian tengah yang menebal, noduli valvularum
semilunarium; bagian tipis di lateral, lunulae valvularum semilunarum.

Cuspisnya dinamai valvula semilunaris sinistra, dextra, dan, anterior,


relatif dengan posisi fetal valvula semilunaris ini sebelum rotasi jalur aliran
keluar dari ventriculi sempurn. Setiap cuspis membentuk sinus berbentuk
seperti kantung suatu dilatasi dinding bagian permulaan truncus pulmonalis.
Setelah kontraksi ventriculus, berbaliknya darah mengisi sinus-sinus
pulmonales ini dan memaksa cuspis menutup. Ini mencegah darah di
truncus pulmonalis mengisi kembali ventriculus dexter.
Gambar 3. Pandangan Posterior Valva Trunci Pulmonalis. 5

 Valvula Mitralis 5

Ostium atrioventriculare sinistrum membuka ke dalam sisi posterior


kanan ventriculus sinister bagian superior. Ostium ini tertutup selama
kontraksi ventriculus oleh valvula mitralis (valvula atrioventricularis
sinistra), yang juga disebut sebagai valvula bicuspidalis karena memiliki dua
cuspis, cuspis anterior dan posterior. Di dasarnya, cuspis diamankan oleh
suatu cincin fibrosa yang mengelilingi ostium, dan saling bersinambungan
pada commisurae. Aksi terkoordinasi musculi papillares dan chordae
tendineae di sini serupa dengan yang telah digambarkan pada ventriculus
dexter.
Gambar 4. Pandangan Internal Ventriculus Sinister. 5

 Valva Aortae 5

Vestibulum aortae, atau jalur aliran keluar ventriculus sinister,


bersinambungan dengan aorta ascendens di superior. Lubang dari
ventriculus sinister ke dalam aorta tertutup oleh valva aortae. Valva ini
serupa dengan struktur valva pulmonalis. Valva dari tiga valvula semilunaris
dengan tepi bebas yang menghadap ke atas, ke dalam lumen aorta
ascendens.

Di antara cuspis semilunaris dan dinding aorta ascendens terdapat sinus-


sinus menyerupai kantung sinus aortae dextra, sinistra dan posterior.
Arteriae coronaria dextra dan sinistra berasal dari sinus aortae dextra dan
sinistra. Karena itu, sinus aortae posterior dan cuspisnya terkadang disebut
juga sinus dan cuspis/ valva noncoronaria.

Fungsi valva aortae serupa dengan valva pulmonalis dengan satu proses
tambahan yang penting: saat darah kembali setelah kontraksi ventriculus dan
mengisi sinus-sinus aortae, secara otomatis darah akan dipaksa masuk ke
dalam arteria coronaria karena pembuluh-pembuluh darah ini berasal dari
sinus-sinus aortae dextra dan sinistra.

Gambar 5. Pandangan Anterior Valva Aortae. 5

2.2 Demam Rematik Akut dan Penyakit Jantung Rematik

2.2.1 Definisi

Demam rematik akut merupakan gejala sisa pasca-infeksi, nonsupuratif


dari infeksi faring akibat Streptococcus pyogenes, atau Streptococcus B
Hemolytic Group A (GABHS). Berhubungan dengan gejala yang dialami,
hanya kerusakan yang terjadi pada jaringan katup jantung, atau penyakit
jantung rematik, yang dapat menjadi kondisi kronik yang mengarah ke gagal
jantung kongestif, stroke, endocarditis, dan kematian. 1
Penyakit jantung rematik merupakan kondisi imun sistemik yang muncul
sebagai komplikasi demam rematik.6 Penyakit jantung rematik adalah satu-
satunya penyakit kardiovaskular yang dapat dicegah yang mana
menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada negara
dengan pendapatan menengah kebawah.7 Definisi lain penyakit jantung
rematik adalah suatu inflamasi persisten pada jantung disertai pembentukan
scar yang terjadi sebagai adanya reaksi autoimun terhadap infeksi
Streptococcus Grup A (GAS).8

2.2.2 Epidemiologi

Insidensi dan Prevalensi DRA dan PJR mengalami penurunan di negara


berkembang sejak awal 1900, namun tetap menjadi salah satu penyabab
utama morbiditas dan mortalitas pada dewasa muda di negara berkembang.
Diperkirakan ada sekitar 15 juta kasus PJR di seluruh dunia, dengan 282.00
kasus baru dan 233.000 kematian per tahun.1

Insidensi DRA adalah 8-51 / 100.000 orang di seluruh dunia. Sering


menyerang kelompok anak usia 5-15 tahun dengan infeksi grup-A-
streptokokus. Lingkungan tempat tinggal yang padat dan kondisi sosio-
ekonomi yang rendah secara langsung mempengaruhi insidensi DRA.
Karditis reumatik adalah manifestasi DRA yang mengarah kepada PJR.9
Pada awal abad ke-20, demam rematik akut merupakan penyebab utama
kematian anak dan dewasa muda dengan insidensi tahunan 100-200 kejadian
per 100.000 populasi.10

Penyakit jantung rematik adalah suatu manifestasi penting dari penyakit


jantung yang didapat pada anak dan dewasa muda pada negara berkembang.
Prevalensi PJR sekitar 15-20 dari semua pasien gagal jantung di daerah
endemik. 11

Insidensi PJR tertinggi terdapat pada daerah Oceania, Central sub-


Saharan, dan Asia Selatan.6 PJR paling sering menyerang kelompok
penduduk di daerah kemiskinan dengan akses ke pelayanan kesehatan yang
kurang dan paparan terhadap streptococcus grup A yang berulang. Sebuah
penelitian meta-analysis menunjukan prevalensi PJR yang tidak bergejala
(21.1/1000 penduduk) dimana terdapat 7-8 kali lipat lebih tinggi dari
prevalensi PJR yang bergejala (2.7/1000). Prevalensi PJR meningkat seiring
bertambahnya usia, dari 4.7/1000 anak pada 5 tahun pertama usia hingga
21.0/1000 anak pada kelompok usia 16 tahun.12 Diperikirakan terdapat
sekitar 50-80 juta orang mengalami PJR di seluruh dunia.13

Secara global, diperkirakan dari 33,4 juta penderita penyakit jantung


rematik, hanya kurang dari 1% yang tinggal di negara dengan penghasilan
tinggi.14 15

Belum ada data epidemiologis nasional mengenai penyakit jantung


rematik di Indonesia. Berdasarkan data WHO, negara dengan prevalensi
tertinggi pada tahun 2015 antara lain India (13,17 juta kasus), China (7,07
juta kasus), Pakistan (2,25 juta kasus), dan di Indonesia sendiri mencapai
1,18 juta kasus.

Penyakit jantung reumatik lebih banyak menyerang pada anak usia


5-15 tahun, serta dewasa muda dan terutama negara dengan penghasilan
menengah ke bawah. Secara global, terdapat 15 juta kasus dari penyakit
jantung rheumatik dengan 282 ribu kasus baru dan 233 ribu kematian setiap
tahunnya. Pada negara berkembang, insiden penyakit jantung reumatik
sendiri 19 dari 100.000 anak.16

2.2.3 Etiologi

Bukti kuat mendukung hubungan antara faringitis GAS sebelumnya dan


demam rematik akut maupun penyakit jantung rematik. Sebanyak dua
pertiga pasien dengan episode demam rematik akut memiliki riwayat infeksi
saluran pernafasa atas beberapa minggu sebelumnya, serta usia puncak dan
kejadian demam rematik akut sangat mirip dengan faringitis GAS.10

Tidak semua serotipe GAS dapat menyebabkan demam rematik. Ketika


beberapa strain GAS (misalnya M tipe 4) menyebabkan faringitis akut pada
populasi rematik yang sangat rentan, tidak ada kekambuhan RF. Sebaliknya,
episode faringitis yang disebabkan oleh serotipe lain dalam populasi yang
sama menyebabkan kekambuhan RF akut yang sering, menunjukkan bahwa
organisme yang terakhir bersifat reumatogenik. Konsep rheumatogenisitas
selanjutnya didukung oleh pengamatan bahwa meskipun serotipe GAS
sering dikaitkan dengan infeksi kulit dapat diisolasi juga dari saluran
pernapasan bagian atas, mereka jarang menyebabkan kekambuhan RF pada
individu dengan riwayat RF sebelumnya atau episode pertama RF. Selain
itu, serotipe GAS tertentu (tipe M 1, 3, 5, 6, 18, 29) lebih sering diisolasi
dari pasien dengan RF akut daripada serotipe lainnya.10

Streptococcus ß-hemoliticus grup A merupakan bakteri gram positif


dengan susunan seperti rantai, non motil, tidak membentuk spora, tidak
menghasilkan enzim katalase, mempunyai kapsul asam hialuronik.17

Faktor virulensi yang dimiliki GAS adalah :

 Protein M dan asam lipotekhoik yang berperan dalam proses adhesi


 Kapsul hialuronik yang berperan untuk menghindari proses
fagositosis
 Toxin eritrogenik
 Streptokinase, streptodornase (DNAse B), streptolisin

2.2.4 Patogenesis

Demam rematik akut terjadi setelah adanya infeksi saluran nafas atas
yang disebabkan oleh Streptococcus ß-hemoliticus Grup A (Streptococcus
pyogenes). Pada host yang rentan akan terjadi reaksi otoimun yang
menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan sebagai adanya reaksi
silang antara epitope bakteri dan host.17

Epitope yang terdapat pada dinding sel, membrane sel dan adanya daerah
pengulangan pada regio A, B, dan C pada protein M bakteri secara
immunologi mempunyai molekul yang sama dengan myosin, tropomyosin,
keratin, aktin, laminin, vimentin pada manusia. Adanya mimikri molekuler
inilah yg menjadi dasar terjadinya respon otoimun yang menyebabkan
terjadinya DRA. Infeksi GAS akan menginduksi pembentukan antibody thd
protein M. Terdapat hipotesis yg menyatakan bahwa epitope pada myosin
manusia menyebabkan terjadinya sensitisasi sel T yg selanjutnya akan
menimbulkan respon imun seperti yang terjadi pada epitope streptococcus.17

Terjadinya kerusakan pada katup jantung diduga terjadi melalui


mekanisme yg berbeda karena myosin tdk ditemukan pada endocardium.
Hipotesis sementara adalah adanya laminin, suatu protein mirip myosin dan
protein M yg terdapat pada endocardium dapat dikenali oleh sel T abti-M
protein. Sel T yang responsive thd protein M bakteri akan menginfiltrasi
katup melalui endotel katup, diaktivasi oleh peningkatan antibody
streptococcus dg melepaskan TNFα dan IL. Keterlibatan IL-7 diduga
berperan dlm terjadinya RHD. Selain itu terdapat reaksi silang antara
antibodi katup jantung (endocardium) dg gugus karbohidrat streptococcus.
Hal inilah yg menjadi dugaan terjadinya kerusakan katup jantung. Pada
keadaan akut, akan terjadi perkarditis. Pada kejadian pertama karditis terjadi
pada 40-50% kasus, pericarditis pada 5-10% kasus RF.17
Gambar 6. Patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung
rematik.

Terdapat beberapa teori tentang pathogenesis terjadinya demam rematik


akut dan penyakit jantung rematik. Teori yang pertama adalah teori
sitotoksisitas yang dimana menunjukkan bahwa toksin GAS terlibat dalam
patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. GAS
menghasilkan sejumlah enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung
mamalia, seperti streptolysin O, yang menunjukan efek sitotoksik langsung
pada sel mamalia dalam kultur jaringan. Sebagian besar pendukung teori
sitotoksisitas berfokus pada enzim ini. Namun, kekurangan dari hipotesis
sitotoksisitas adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten
yang substansial (biasanya 10-21 hari) antara faringitis GAS dan onset
demam rematik akut.10

Hipotesa lain adalah patogenesis yang dimediasi imun untuk demam


rematik akut dan penyakit jantung rematik yang dipertimbangkan karena
kesamaan klinisnya dengan penyakit lain dengan imunopatogenesis dan
periode laten antara infeksi GAS dan demam rematik akut. Antigenisitas
beberapa epitop seluler dan ekstraseluler GAS dan reaktivitas silang
imunologisnya dengan epitop antigenik jantung juga mendukung hipotesis
mimikri molekuler. Epitop umum dibagi antara komponen GAS tertentu
(misalnya, protein M, membran sel, karbohidrat dinding sel grup A, kapsul
hyaluronate) dan jaringan mamalia tertentu (misalnya, katup jantung,
sarcolemma, otak, sendi). Misalnya, protein M reumatogenik tertentu (M1,
M5, M6, dan M19) berbagi epitop dengan protein miokard manusia seperti
tropomiosin dan miosin. Selain itu, keterlibatan superantigen GAS seperti
eksotoksin pirogenik dalam patogenesis demam rematik akut juga telah
dipertimbangkan.10

Hipotesis patogenetik lain adalah pengikatan protein-M Domain N-


terminal ke daerah kolagen tipe IV yang menyebabkan respon antibodi
terhadap kolagen, menghasilkan peradangan substansi dasar, terutama di
daerah subendotel seperti katup jantung dan miokardium.10
Gambar 7. Patogenesis dan manifestasi klinis demam rematik akut.19

Lesi pada katup jantung diawali oleh terbentuknya veruka kecil yang
terdiri dari fibrin dan komponen sel darah yang terbentuk sepanjang tepi
satu atau lebih jatup jantung. Katup yang paling sering terdampak adalah
katup mitral, diikuti oleh katup aorta. Saat inflamasi mulai mereda, veruka
yang terbentuk cenderung menghilang dan meninggalkan jaringan scar.
Dengan terjadinya serangan berulang demam rematik, veruka-veruka baru
terbentuk di sekitar jaringan yang lama, dan melibatkan endokardium dan
chordae tendineae. Episode tunggal demam rematik akut sering diikuti
penyembuhan sempurna dari katup jantung, sedangkan episode berulang,
terutama jika melibatkan katup yang sebelumnya pernah terdampak,
menyebabkan penyakit jantung rematik kronis.20

Insufisiensi katup mitral adalah akibat dari perubahan struktural yaitu


hilangnya substansi katup dan/atau perubahan dari apparatus subvalvular,
termasuk pemanjangan chordae, yang mana keduanya dapat menyebabkan
disfungsi katup. Pada demam rematik akut berat yang disertai keterlibatan
jantung, gagal jantung biasanya diakibatkan oleh kombinasi insufisiensi
katup mitral dan pancarditis, yaitu keterlibatan pericardium atau
myocardium. Volume cairan yang meningkat akibat insufisiensi katup
mitral dan proses inflamasi mengakibatkan dilatasi ventrikel kiri. Atrium
kiri juga ikut membesar untuk mengakomodasi volume regurgitant.
Peningkatan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongesti paru dan gejala
gagal jantung kiri. Perbaikan spontan sering tarjadi seiring waktu, bahkan
pada pasien dengan insufisiensi berat katup mitral. Lebih dari setengah
pasien dengan insufisiensi mitral akut tidak menunjukan gejala murmur
pada auskultasi 1 tahun setelah onset akut, walaupun masih terdapat
gambaran insufisiensi pada echocardiogram. Pada pasien dengan
insufisiensi mitral berat, terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal (PAP),
yang diikuti dengan pelebaran atrium dan ventrikel kanan dan gagal jantung
kanan.20
Stenosis katup mitral pada penyakit jantung rematik diakibatkan oleh
fibrosis pada cincin mitral, adhesi commisura, dan kontraktur pada daun
katup, chordae, dan otot papillary. Proses kronik ini umumnya butuh waktu
>10 tahun. Stenosis mitral yang berat mengakibatkan peningkatan tekanan
pada atrium kiri disertai pembesaran dan hipertrofi atrium kiri, hipertensi
vena pulmonal, peningkatan resistensi pulmonary vascular, dan akhirnya
memperparah hipertensi pulmonal. Hipertrofi ventrikel kanan dan dilatasi
atrium kanan diikuti dilatasi ventrikel kanan, regurgitasi tricuspid, dan tanda
gagal jantung kanan.20

Insufisiensi katup aorta kronik mengarah kepada sclerosis pada katup dan
akhirnya mengakibatkan distorsi dan retraksi pada cuspis. Kombinasi
insufisiensi katup mitral dan aorta pada fase akut demam rematik lebih
sering terjadi dibandingkan dengan hanya keterlibatan aorta sendiri.20

2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinik DRA akan muncul setelah 3 minggu (1-5 minggu)


setelah infeksi Streptococcus. Walaupun pada sebagian besar mengeluhkan
terdapat riwayat infeksi saluran napas atas, infeksi streptococcus sering
bersifat subklinik atau simptomatik, sehingga untuk memastikannya
diperlukan pemeriksaan antibody.18

Gambaran klinik yg paling sering adalah poliartritis (50-75%) dan


demam. Karditis terjadi pada 50-60% kasus. Chorea terjadi pada 2-30%
kauss. Eritema marginatum dan nodul subcutan terjadi pada <5% kasus.18

 Migratory Polyarthritis

Gejala yg timbul adalah tanda2 inflamasi yg terjadi pada banyak sendi


dan berpindah-pindah dari satu sendi ke sendi lainnya. Arthritis terjadi pada
75% pasien demam rematik akut dan biasanya terjadi pada sendi besar
seperti sendi lutut, sendi pergelangan tangan dan kaki, sendi siku yg bersifat
asimetris. Sendi rematik biasanya ditandai dengan panas, kemerahan,
bengkak, dan lembut. Sendi yang mengalami inflamasi berat biasanya
membaik dalam 1-3 hari tanpa pengobatan dan berpindah ke sendi lainnya.
Arthritis monoarticular jarang terjadi, kecuali pada kasus dimana
antiinflamasi sudah diberikan lebih awal untuk mencegah progresi dari
migratory polyarthritis. Respon dramatis terhadap salisilat bahkan dosis
rendah adalah kriteria dari arthritis.10

Analisis cairan synovial pada demam rematik akut biasanya menunjukan


10.000-100.000 sel darah putih/ μL dengan predominasi neutrophil, protein
level 4 g/dL, glukosa normal, dan membentuk bekuan mucin. Pada populasi
risiko sedang-berat, monorthritis tanpa pemberian terapi anti-inflamasi, atau
polyathralgia tanpa tanda objektif arthritis, dapat memenuhi kriteria mayor.10

 Carditis

Lebih dari 60% pasien demam rematik akut akan berlanjut menjadi
demam rematik akut. Perjalanan penyakit dapat terjadi pada endocardium,
myocardium, dan pericardium. Kerusakan katup jantung merupakan gejala
klinik yang paling menonjol. Kerusakan katup terutama terjadi pada katup
mitral, diikuti katup aorta. Pada tahap awal kerusakan akan tampak
regurgitasi katup mitral. Dengan adanya episode rekurensi katup akan
mengalami penebalan, scarring dan kalsifikasi sehingga akhirnya dapat
menyebabkan stenosis mitral.18

Subklinikal carditis dengan pemeriksaan echocardiogram yang


menunjukan bukti patologik regurgutasi mitral membutuhkan pancaran
dalam minimal dua tampilan, dengan panjang  2cm pada minimal 1
tampilan, dengan kecepatan puncak >3 meter/detik, dan puncak sistolik
pada minimal 1 envelope. Bukti patologis subklinis dari regurgitasi aorta
serupa kecuali panjang pancaran  1cm dalam minimal 1 tampilan.10

Carditis rematik ditandai dengan pancarditis, dengan inflamasi aktif dari


myocardium, pericardium, dan endocardium. Gejala yang paling sering
dijumpai adalah endocarditis (valvulitis). Pada negara berkembang , dimana
demam rematik akut sering terjadi pada anak usia lebih muda, stenosis
mitral dan stenosis aorta dapat berkembang lebih awal setelag demam
rematik akut dibandingkan dengan anak pada negara maju.10

Gejala klinik yang dapat dijumpai adalah takikardia atau adanya


perubahan murmur atau timbul murmur baru, khususnya regurgitasi katup
mitral (akut) atau mitral stenosis (lanjut) dan gambaran gagal jantung
kongestif, serta Adanya heart block cardiomegaly pada foto thorax.10 18

Carditis rematik sedang-berat dapat mengakibatkan kardiomegali dan gagal


jantung dengan hepatomegaly dan edema perifer serta edema paru.10

Regurgitasi mitral ditandai dengan adanya high-pitched apical


holosystolic murmur yang menjalar hingga ke axilla. Pada pasien dengan
regurgitasi mitral berat, hal ini dapat berhubungan murmur mid-diastolik
apical dari stenosis mitral. Insufisiensi aorta ditandai dengan high-pitched
decrescendo diastolic murmur pada batas kiri sternum.10

Adanya pericarditis sering ditandai dengan adanya friction rub atau efusi
pada pemeriksaan echocardiogram. Gejala klinik yang timbul biasanya
adalah keluhan nyeri dada di daerah sentral. Adanya inflamasi miokardium
dapat mempengaruhi electrical conduction pathway, yang ditandai dengan
adanya PR interval yang memanjang (AV block derajat I) dan suara S1 yang
menurun.18

 Chorea
Sydenham chorea terdapat pada 10-15% pasien demam rematik akut dan
biasanya muncul sebagai gangguan gerakan yang terisolasi dan seringkali
halus. Tanda lain yaitu labilitas emosi, inkoordinasi, performa buruk di
sekolah, gerakan yang tidak terkontrol, dan facial grimacing, semuanya
dapat timbul akibat stress dan menghilang dengan istirahat. Chorea dapat
terjadi unilateral (hemichorea). Periode laten lebih panjang daripada arthritis
atau carditis.10

Manuver klinis untuk melihat manifestasi chorea antara lain gerakan


milkmaid’s grip (kontraksi dan relaksasi otot jari yang tidak teratur saat
meremas jari pemeriksa), spooning dan pronasi tangan saat lengan pasien
direntangkan, wormian darting movements of the toungue on protrusion,
dan pemeriksaan tulisan tangan untuk mengevaluasi gerakan motoric
halus.10

Syndenham’s chorea seringkali terjadi pada saat tidak ditemukannya


gejala lain, pada masa laten stlh terjadinya infeksi. Gerakan involunter ini
biasanya terjadi pada daerah kepala dan ekstremitas atas. Chorea dapat
terjadi ringan hingga berat shg dapat mengganggu aktivitas. Chorea
biasanya dapat menghilang dalam waktu 6 minggu.18

 Manifestasi Kulit

Pada demam rematik akut jarang terdapat eritema marginatum (1%),


namun dapat menjadi karakteristik rash pada demam rematik akut.
Gambaran lesi yaitu eritematous, serpiginosa, macular dengan sentral yang
pucat dan tidak gatal. Biasanya muncul pada batang tubuh dan extremitas,
tapi tidak di wajah.
Gambar 8. Perbatasan merah polisiklik dari eritema marginatum pada
anak dengan demam rematik akut.21

Nodul subkutan jarang terjadi (<1%), biasanya kecil (0,5-1cm), tidak


nyeri, biasanya ditemukan pada daerah tendon atau permukaan tulang
prominensiaa.10 Nodul subkutan merupakan manifestasi lambat yg muncul
setelah 2-3 minggu setelah onset.18

 Kelainan Katup pada Penyakit Jantung Rematik

Insufisiensi mitral ringan tanpa adanya tanda gagal jantung, biasanya


pada auskultasi ditemukan murmur holosistolik pada apex yang menjalar
hingga axilla. Pada insufisiensi mitral yang berat, dapat terjadi gagal jantung
akut ataupun kronis. Jantung membesar, dengan impuls apical ventrikel kiri
dan sering terdapat apical systolic thrill. Bunyi jantung kedua (S2) dapat
keras terdengar apabila terdapat hipertensi pulmonal. Bunyi jantung ketiga
(gallop) umumnya menonjol. Auskultasi bising diastolic, yang sering
disebut stenosis mitral relative (Carey-Coombs murmur), tidak selalu berarti
bahwa stenosis mitral benar-benar ada.20

Stenosis mitral ringan biasanya asimptomatik. Lesi berat pada stenosis


mitral dapat mengakibatkan orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea,
oedem paru berat, hingga aritmia. Jika hipertensi pulmo berkembang,
dilatasi ventrikel kanan dapat mengakibatkan insufisiensi tricuspid,
hepatomegaly, ascites, dan oedem. Hemoptisis diakibatkan oleh rupturnya
bronkus atau vena pleurohilar dan kadang infatk pulmonal. Prinsip
auskultasi yang ditemukan yaitu suara jantung satu yang keras, opening
snap dari katup mitral, dan bising diastolic mitral yang panjang dan low-
pitched dan aksentuasi presistolik di apex. Murmur holosistolik sekunder
akibat insufisiensi tricuspid dapat terdengar di batas sternum kiri bawah.
Dengan adanya hipertensi pulmonal, komponen pulmonal S2 terdengar
jelas. Murmur awal diastolic dapat disebabkan oleh insufisiensi aorta
reumatik atau insufisiensi katup pulmonal sekunder akibat hipertensi
pulmonal.20

Insufisiensi aorta dengan stroke volume yang besar dan kontraksi


ventrikel kanan yang kuat dapat menyebabkan palpitasi. Berkeringat dan
intoleransi terhadap panas berhubungan dengan vasodilatasi yang
berlebihan. Dyspnea saat aktivitas dapat berkembang menjadi ortopnea dan
edema paru. Angina dapat dipicu oleh olahraga berat. Serangan nocturnal
berupa keringat, takikardia, nyeri dada, dan hipertensi dapat terjadi. Tekanan
nadi melebar dengan pulsasi perifer yang terikat (water hammer or
Corrigan pulse). Tekanan darah sistolik meningkat, namun diastolic
menurun. Bisa terdapat dyastolic thrill. Murmur khas terdengar jelas tepat
bersaman dengan S2 dan berlanjut hingga akhir diastole. Murmur terdengar
di batas atas kiri sternum dan kiri tengah dengan penjalaran ke apex dan
batas kanan atas sternum. Murmur terdengar sebagai high-pitched blowing
dan dapat dengan mudah terdengar pada ekspirasi penuh dengan diafragma
stetoskop diletakkan dengan lekat pada dada dan pasien mencondongkan
tubuh ke depan. Murmur presistolik apical (Austin Flint murmur) yang
menyerupai stenosis mitral kadang-kadang terdengar dan disebabkan oleh
aliran aorta regurgitasi yang besar saat diastole yang mencegah katup mitral
membuka sepenuhnya.20

Insufisiensi tricuspid dapat menunjukan manifestasi berupa pulsasi


prominen dari vena jugular, pulsasi sistolik dari liver, dan blowing
holosystolic murmur pada batas kiri bawah sternum dengan intensitas yang
meningkat selama inspirasi.20

Insufisiensi pulmonal sekunder pada demam rematik akut sangat jarang


terjadi namun dapat terjadi dengan adanya hipertensi pulmonal pada mitral
stenosis berat. Murmur yang terdengar (Graham Steell murmur) mirip
dengan murmur pada insufisiensi aorta, namun tanpa disertai adanya tanda
arteri perifer (bounding pulses). 20

2.2.6 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis demam rematik akut pertama kali digagas oleh T.


Duckett Jones pada tahun 1944 dan dikenal sebagai The Jones Criteria dan
direvisi oleh American Heart Association tahun 2015 dengan tujuan untuk
diagnosis dan pengenalan serangan pertama atau serangan berulang dari
demam rematik akut. Diagnosis serangan pertama atau berulang harus
memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dan
disertai adanya bukti infeksi Streptococcus Grup A. Diagnosis serangan
berulang demam rematik akut hanya bisa ditegakkan pada populasi risiko
sedang-berat yang memenuhi 1 kriteria mayor, atau 2 mayor + 1 minor, atau
3 kriteria minor dan bukti infeksi Streptococcus Grup A. Populasi risiko
sedang-berat didefinisikan sebagai prevalensi angka kejadian DRA 2 per
100.000 populasi pada usia anak sekolah atau PJR 1 per 1.000 populasi
semua umur. 10
Pada revisi tahun 2015 juga didapatkan perubahan versi definisi pada
carditis menjadi lebih luas termasuk bukti subklinikal, misalnya jika pada
pemeriksaan tidak terdapat adanya murmur, bukti regurgitasi mitral pada
pemeriksaan echocardiogram dapat memenuhi kriteria sebagai carditis.10

Tabel 1. Kriteria Mayor dan Minor Diagnosis Demam Rematik Akut.22


Manifestasi Mayor Manifestasi Minor Bukti yang
Mendukung
Infeksi
Streptococcus
Grup A yang
Terdahulu
 Carditis Gejala klinis:  Kultur tenggorok
 Polyarthritis positif atau rapid
 Arthralgia antigen
 Eritema marginatum
 Demam (>38C) streptococcal
 Nodul subkutaneus
 Chorea  Peningkatan titer
Pem. Laboratorium:
antobodi
streptococcal
 Peningkatan reaktan fase
akut

Peningkatan laju endapan


darah (min. 30mm/jam)
C-reactive protein
Pemanjangan interval P-R

Tabel 2. Kriteria WHO tahun 2002-2003 untuk diagnosis demam rematik


dan penyakit jantung rematik (berdasarkan revisi kriteria Jones).23
Kategori Diagnostik Kriteria
Demam rematik serangan pertama 2 mayor ATAU 1 mayor dan 2 minor +
bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren tanpa 2 mayor ATAU 1 mayor dan 2 minor +
PJR bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren dengan 2 minor + bukti infeksi SGA sebelumnya
PJR
Korea Rematik Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya
atau bukti infeksi SGA
PJR (stenosis mitral murni atau kombinasi Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
dengan insufisiensi mitral dan/atau mendiagnosis sebagai PJR
gangguan katup aorta)

2.2.7 Diagnosis Banding

Pada anak yang datang dengan manifestasi arthritis, penyakit vascular


kolagen harus dipertimbangkan. Demam yang sangat tinggi, non-migratory
arthiritis, limfadenopati, dan splenomegaly lebih sugestif ke arah Juvenile
Idiopathic Arthritis (JIA) dibandingkan dengan demam rematik akut.10

Tabel 3. Diagnosis Banding Demam Rematik Akut.10


Arthritis Carditis Chorea
Juvenile idiopathic arthritis Viral myocarditis Huntington
chorea
Reactive arthritis Viral pericarditis Wilson disease
Sickle cell disease Infective endocarditis Systemic lupus
erythematosu
s
Malignancy Kawasaki disease Tic disorder
Systemic lupus Congenital heart disease Hyperactivity
eritematosus
Lyme disease (Borrelia Mitral valve prolapse Encephalitis
burgdorferi)
Pyogenic arthritis Innocent murmur

Pasien dengan endocarditis infektif bisa terdapat kedua gejala baik


manifestasi sendi mupun jantung. Pasien yang demikian biasanya dibedakan
dari pasien dengan demam rematik akut melalui kultur darah atau adanya
temuan extrakardial seperti hematuri, splenomegaly, atau perdarahan
splinter.10

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang10, 20

 Darah lengkap : peningkatan sel darah putih menunjukan adanya infeksi.


 Laju endapan darah : fibrinoid menyebabkan eritrosit menyatu menyatu,
dan mengendap di dasar serum.
 C-Reactive Protein : terdapat peningkatan protein dalam darah akibat
reaksi inflamasi.
 Foto thorax : Pada insufisiensi mitral dapat ditemukkan penonjolan
atrium dan ventrikel kiri, kongesti pembuluh perihilar, tanda hipertensi
vena pulmonal, namun kalsifikasi katup mitral jarang didapatkan pada
anak. Stenosis mitral ringan dapat menunjukan gambaran radiografi dada
yang normal, namun pada kondisi sedang-berat bisa didapatkan
pembesaran atrium kiri dan penonjolan arteri pulmonal dan ruang jantung
kanan, selain itu bisa terdapat gambaran khas berupa garis horizontal di
bawah perifer paru yang dinamakan “Karley B lines”. Pada insufisiensi
aorta dapat ditemukan pembesaran aorta dan ventrikel kiri.20
 Elektrokardiografi : Pada insufisiensi mitral terdapat pemanjangan durasi
dan bifid pada gelombang P, tanda hipertrofi ventrikel kiri, dan hipertrofi
ventrikel kanan jika terdapat hipertensi pulmonal. Pada stenosis mitral
berat bisa didapatkan mirip dengan tanda pada insufisiensi mitral.
 Echocardiografi

Pada pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan efusi pericardium,


penurunan kontraksi ventrikel, dan regurgutasi katup mitral atau aorta.
Subclinical carditis (SCC) terdeteksi dengan echocardiografi dan dapat
memenuhi kriteria sebagai carditis. Pemeriksan echocardiografi dapat
dilakukan dengan Doppler.10
Tabel 5. Temuan Echocardografi pada Valvulitis Rheumatic.22
Regurgitasi Mitral Patologis Regurgitasi Aorta Patologis
1. Terlihat pada Terlihat pada min. 2
min. 2 tampilan tampilan

2. Panjang jet ≥2 Panjang jet ≥1 cm pada


cm pada min. 1 min. 1 tampilan
tampilan

3. Peak velocity Peak velocity


>3meter/detik >3meter/detik

4. Jet pan-sistolik Jet pan-sistolik dalam


dalam min. 1 min. 1 envelope
envelope

Pada insufisiensi mitral akut dapat ditemukan pembesaran pada atrium


dan ventrikel kiri, sedangkan pada kondisi kronis penyakit jantung
rematik ditemukan penebalan pada chordae dan daun katup, fusi chordae,
dan gerakan daun katup yang terbatas. Temuan echocardiografi yang
mirip juga didapatkan pada stenosis mitral, terdapat temuan khas yaitu
“elbow” atau “dog leg” pada daun anterior dari katup mitral. Pada
insufisiensi aorta didapatkan dilatasi ventrikel kiri dan flutter diastolic
katup mitral atau oskilasi, defek, dan prolaps daun katup.20

 Kultur apus tenggorok : mencari kuman penyebab radang


 Serologis anti-streptococcus : ASO, DNAseB
 Aspirasi cairan sendi (mikroskopik dan kultur) : bila terdapat dugaan
arthritis septic
 Pemeriksaan histopatologis : Vegetasi akut pada DRA pada katup akan
terlihat adanya thrombus, kerusakan katup yang minimal, edema, dan
inflamasi. Fase kronik ditandai dengan adanya neovaskularisasi,
inflamasi kronik, dan kalsifikasi. Aschoff bodies merupakan gambaran
spesifik pada karditis. Aschoff bodies merupakan patognomonis dari
RHD berupa lesi dengan agregasi makrofag dan limfosit interstitial,
dengan nekrosis kolagen di dalam area fibrosis interstitial.

2.2.9 Penalataksanaan

A. Tirah Baring
Semua pasien dengan demam rematik akut diharuskan untuk tirah
baring dan monitor ketat terutama apabila didapatkan tanda carditis.10

Tabel 6. Panduan Aktifitas pada Demam Rematik Akut.24

Aktifitas Arthritis Karditis Karditis Karditis


minimal Sedang Berat
Tirah baring 1-2 minggu 2-4 minggu 4-6 minggu 2-4
bulan/selama
masih terdapat
gagal jantung
Aktivitas dalam rumah 1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
Aktivitas di luar 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
rumah
Aktivitas penuh Setelah 6-10 Setelah 6-10 Setelah 3-6 bervariasi
minggu minggu minggu

B. Antibiotik
Setelah diagnosis demam rematik akut ditegakkan, pasien harus
menerima antibiotik berupa penisilin atau amoksisilin peroral selama 10
hari, atau benzathine penisilin dosis tunggal. Apabila terdapat alergi,
dapat diberikan eritromisin selama 10 hari, azitromisin selama 5 hari,
atau klindamisin selama 10 hari. Setelah pemberian dosis inisial
antibiotic, harus diberikan antibiotik profilaksis jangka panjang untuk
pencegahan sekunder.10
Rekomendasi untuk pencegahan streptokok dari tonsil dan faring sama
dengan rekomendasi yang dianjurkan untuk pengobatan faringitis
streptokok, yaitu:24
 Benzatin Penicilin G :
o Dosis 0,6-1,2 juta U / IM
o Berfungsi juga sebagai profilaksis dosis pertama
 Jika alergi terhadap benzatin penisilin G
o Eritromisin 40mg/kgBB/hari dibagi 204 dosis selama
10 hari
o Alternatif lain: Penisilin V (Phenoxymetil penicillin)
4x250mg / PO selama 10 hari

C. Antiinflamasi
Agen inflamasi (salisilat atau kortikosteroid) harus ditunda jika
arthralgia atau arthritits atipikal menjadi satu-satunya manifestasi
kecurigaan demam rematik akut karena pemberian dini antiinflamasi
dapat mengakibatkan misdiagnosis karakterisitik mayor dari demam
rematik akut. Asetaminofen dapat diberikan untuk manajemen nyeri dan
demam selama pasien dimonitor tanda demam rematik akut. Pada pasien
dengan migratory plyarthritis atau carditis tanpa kardiomegali atau gagal
jantung harus diberikan salisilat oral. Dosis aspirin yang biasa digunakan
yaitu 50-70mg/kg/hari dibagi 4 dosis peroral untuk 3-5 hari, diikuti
50mg/kg/hari dibagi 4 dosis selama 2-3 minggu, kemudian diturunkan
setengah dosis selama 2-4 minggu kemudian. Pemberian salisilat
diteruskan kecuali jika pasien tidak berespon terhadap salisilat atau jika
didapatkan tanda toksiksitas sailisilat (tinnitus, hiperventilasi). Pasien
dengan carditis atau tanda kardiomegali atau gagal jantung bisa diberikan
kortikosteroid. Dosis prednisone adalah 2mg/kg/hari dibagi 4 dosis
selama 2-3 minggu, diikuti setengah dari dosis sebelumnya selama 2-3
minggu, kemudian tapering-of hingga 5mg/24jam selama 2-3 hari. Saat
dosis prednisone diturunkan, aspirin harus dimulai pada dosis
50mg/kg/hari dibagi 4 dosis untuk 6 minggu untuk pencegahan rebound
inflamasi.10

Tabel 7. Panduan obat anti inflamasi.24


Obat Arthritis Karditis Karditis Karditis
minimal Sedang Berat
Prednison - - 2-4 minggu 2-6 minggu
Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan

Dosis prednisone : 2mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.


Dosis Aspirin : 100mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis
Dosis prednisone di tappeirng off pada minggu terakhir pemberian dan
mulai diberikan aspirin. Setelah minggu kedua dosis aspirin diturunkan
menjadi 60mg/kgBB/hari.24

D. Tatalaksana suportif lain yang bisa diberikan pada pasien cardits sedang-
berat antara lain digoxin, restriksi cairan dan garam, diuretic, dan
oksigen.10

E. Terapi pembedahan
Prosedur pembedahan diindikasikan untuk pasien yang meskipun
dengan terapi medis yang memadai, mengalami gagal jantung persisten,
dispnea dengan aktivitas sedang, dan kardiomegali progresif, seringkali
dengan hipertensi pulmonal.20
Beberapa prosedur bedah yang menjadi pilihan antara annuloplasty,
penggantian katup. Pada pasien dengan penggantian katup mitral
prostetik, kemoprofilaksis terhadap endocarditis bakterial diperlukan
untuk prosedur gigi, karena antibiotic rutin yang diminum oleh pasien
sebagai profilaksis demam rematik tidak cukup untuk mencegah
endokarditis.20
F. Terapi pada Sydenham chorea dapat diberikan sedatif seperti fenobarbital
(16-32 mg tiap 6-8 jam PO). Apabila tidak efektif dengan fenobarbital,
dapat diberikan haloperidol dengan dosis 0.01-0.03 mg/kg/24jam dibagi
2 dosis atau chlorpromazine (0.5mg/kg tiap 4-6 jam PO).10

2.2.10 Komplikasi

Gejala arthritis dan chorea pada demam rematik akut biasnya pulih tanpa
gejala sisa atau komplikasi, komplikasi jangka panjang sering terjadi pada
jantung.10

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain poststreptococcal


reactive arthritis dan Pediatric Auto-immune Neuropsychiatric Disorder
Associated with Streptococcal Infection (PANDAS) yang dimana
menunjukan gejala neuropsikiatrik.10

2.2.11 Prognosis

Prognosis pasien dengan demam rematik akut tergantung dari manifestasi


klinis yang muncul saat serangan pertama, derajat keparahan episode
pertama, serta ada atau tidaknya kekambuhan. Rerata sekitar 50-70%
dengan carditis pada serangan pertama demam rematik akut akan pulih
tanpa adanya gangguan pada jantung; semakin berat keterlibatan jantung
pada serangan pertama, semakin besar gejala penyakit jantung. Semakin
banyak jumlah serangan yang terjadi, semakin tinggi pula keterlibatan
jantung. Oleh sebab itu, dibutuhkan kemoprofilaksis jangka panjang.10

Sebelum adanya antiobiotik profilaksis, 75% pasien akan mengalami


serangan berulang minimal 1 kali dalam periode kehidupan. Kekambuhan
inilah yang menjadi sumber utama morbiditas dan mortalitas. Risiko
kekambuhan tertinggi terjadi dalam 5 tahun pertama setelah serangan
pertama dan akan menurun dengan berjalannya waktu. Sekitar 20% pasien
dengan manifestasi chorea yang tidak diberikan profilaksis sekunder akan
berkembang menjadi penyakit jantung rematik dalam 20 tahun.10

Jika tidak diobati, manifestasi demam rematik akut akan beresolusi


sekitar 12 minggu pada 80% kasus dan 15 minggu pada sisanya. Dengan
penanganan yang baik, gejala akan membaik dalam 2 minggu.18

Penyakit jantung rematik yang tidak diobati dapat menyebabkan scarring


pada katup jantung sehingga terjadi stenosis mitral atau stenosis aorta yang
pada akhirnya menimbulkan gagal jantung. Marker inflamasi dimonitor
setiap 1-2 minggu hingga normal (4-6 minggu). Ekokardiografi dilakukan
setelah 1 bulan untuk melihat progresivitas karditis.18

Setelah episode akut terlewati, penanganan utama adalah memastikan


adanya follow up klinis jangka panjang dan melakukan profilaksis sekunder.
Keluarga penderita perlu diberikan edukasi tentang perjalanan penyakit
DRA, serta pentingnya profilaksis sekunder. Jika terdapat karditis, penderita
perlu diinformasikan perlunya pemberian antibiotic profilaksis sebelum
melakukan suatu tindakan medis untuk mencegah terjadinya endocarditis.18

2.2.12 Pencegahan

Pencegahan episode pertama dan kekambuhan demam rematik akut


berfokus kepada pengendalian infeksi Streptococcus grup A pada saluran
nafas atas.10 Sebuah studi di New Zealand pada populasi dengan tingkat
demam rematik akut yang sangat tinggi menunjukan bahwa skrining
faringitis Streptococcus grup A di sekolah dan manajemen menggunakan
amoksisilin oral secara substansial menurunkan prevalensi faringitis akibat
Streptococcus grup A dan demam rematik akut.25

A. Pencegahan Primer
Pemberian terapi antibiotic sebelum hari ke-9 gejala faringitis akut
akibat Streptococcus grup A menjadi sangat efektif untuk mencegah
serangan pertama demam rematik akut.10 Rekomendasi IDAI untuk
pencegahan primer yaitu penisilin oral untuk eradikasi Streptococcus B
Hemolyticus Grup A selama 10 hari atau Benzatine Penisilin G 0.6-1.2
juta unit IM.24

B. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah faringitis akut


Streptococcus grup A pada pasien yang berisiko mengalami demam
rematik akut rekuren. Pencegahan ini meliputi profilaksis antibiotik
yang berkelanjutan, yang dimana harus dimulai segera setelah
terdiagnosis demam rematik akut dan antibiotik inisial diberikan. Pada
pasien dengan manifestasi karditis harus menerima harus menerima
antibiotik jangka panjang dikarenakan berisiko tinggi mengalami
serangan berulang karditis dengan perubahan yang semakin berat pada
jantung.10

Rekomendasi IDAI yaitu Benzatine Penisilin G 600.000 U IM untuk


berat badan < 27 kg (60 pound) dan 1,2 juta U untuk berat badan > 27
kg (60 pound) setiap 4 minggu/28 hari. Pilihan lainnya adalah Penisilin
V 125-250mg 2x/hari secara peroral, Sulfadiazin 1 gram 1x/hari peroral,
Eritromisin 250mg 2x/hari peroral. Diberikan pada demam rematik akut,
termasuk korea tanpa penyakit jantung rematik. 24
Tabel 8. Lama Pemberian Kemoprofilaksis. 24
Kategori Pasien Durasi
Demam rematik tanpa karditis Minimal hingga 5 tahun setelah serangan
terakhir / hingga usia 18 tahun
Demam rematik dengan karditis tanpa bukti Minimal hingga 10 tahun setelah serangan
adanya penyakit jantung residual/kelainan terakhir / hingga usia 25 tahun, dipilih
katup jangka waktu terlama
Demam rematik dengan karditis dan Minimal 10 tahun sejak episode terkahir /
penyakit jantung residual (kelainan katup min. hingga usia 40 tahun, kadang seumur
persisten) hidup
Setelah operasi katup Seumur hidup
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama Lengkap : An. A.R.E.

Tanggal Lahir : 26 Oktober 2015

Umur : 7 tahun 3 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : ds. Balisoan, kec. Sahu, Halmahera Barat

Pendidikan : SD

Agama : Kristen

Identitas Orang Tua Pasien

Nama Ayah : Tn. F

Pekerjaan Ayah : Wiraswasta

Pendidikan Terakhir : SMA

Nama Ibu : Ny. M

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir : SMA

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama: Nyeri pergelangan kaki dan tangan

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD diantar ibunya dengan

keluhan nyeri pada kedua sendi tangan dan kaki sejak 3 hari SMRS. Keluhan

muncul tiba-tiba, makin memberat hingga pasien sulit berjalan dan


beraktifitas. Keluhan terutama dirasakan di sendi kedua siku, pergelangan

tangan, lutut, dan pergelangan kaki. Keluhan nyeri disertai rasa kaku dan

lemah anggota gerak. Keluhan disertai demam sejak 10 hari yang lalu, muncul

mendadak, naik turun. Pasien sempat minum obat penurun demam, demam

membaik tapi timbul lagi. Ibu pasien juga mengeluhkan pasien sering

mengalami batuk, pilek, radang tenggorokan (+) berulang. Frekuensi kira-kira

2 minggu sekali. Makan sedikit-sedikit, minum baik. BAB dan BAK dalam

batas normal.

Tidak ada keluhan sesak, kemerahan pada kulit, benjolan di bawah kulit,

gerakan tangan dan kaki yang tiba-tiba dan tidak terkendali.

Riwayat Penyakit Dahulu : DM (-), Covid-19 (-), asma (-), rhinitis (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : Keluhan serupa pada anggota keluarga

disangkal. Adik dan kakak sering batuk dan radang tenggorokan berulang,

Tidak ada riwayat keganasan, penyakit autoimun, atau penyakit lainnya.

Riwayat Pribadi:

Alergi : -

3.3 Riwayat Pribadi/Sosial

a. Status Tumbuh Kembang


Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara lahir di rumah ditolong
oleh dukun. Pasien lahir secara normal, dengan masa kehamilan 9 bulan. Berat
badan waktu lahir ibu pasien lupa . Warna ketuban tidak diketahui oleh ibu.
Saat lahir pasien langsung menangis, tidak pucat, tidak biru, tidak kuning, dan
tidak kejang. Ibu riwayat keguguran sebelumnya disangkal.
Pasien dikatakan menegakkan kepala usia 3 bulan, membalikkan badan ibu
pasien lupa, duduk usia 8 bulan, merangkak ibu pasien lupa, berdiri usia 12
bulan, berjalan usia 14 bulan, bicara ibu pasien lupa. Pasien rutin diajak
kontrol ke posyandu sehingga pertambahan berat badan setiap kunjungan
diketahui dengan pasti. Perkembangan pasien dikatakan baik sesuai dengan
teman sebayanya.
Kesan: perkembangan dan pertumbuhan pasien sesuai usia.
b. Riwayat Imunisasi
Menurut ibu pasien sudah mendapat semua imunisasi lengkap karena ibu rutin
membawa pasien pasien ke posyandu dekat rumah
Kesan: riwayat imunisasi dasar terpenuhi dan sesuai jadwal.
c. Riwayat Makanan
Pasien mendapat ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai 18
bulan, dengan frekuensi on demand, susu formula sejak usia 18 bulan, bubur
susu diberikan sejak usia 6 bulan, , dan mulai diberikan makanan dewasa sejak
usia 12 bulan. Sebelum masuk RS pasien makan nasi dengan lauk pauk dan
sayur 3 kali sehari dengan tambahan makanan selingan berupa biskuit, dan
buah. Ibu pasien mengatakan pasien sering membeli makanan jajan di sekolah.
Kesan: riwayat asupan makanan sesuai kebutuhan harian, terdapat faktor
risiko infeksi streptococcus berupa jajanan di sekolah.
d. Lingkungan :
Anak tinggal dalam rumah yang berisi 6 anggota keluarga. Rumah memiliki
pencahayaan masuk dan ventilasi udara yang cukup.
Kesan : terdapat faktor risiko DRA berulang anggota keluarga > 5 orang

3.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis


GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 110/70 (p50 – p90)

Nadi : 110x/m

Pernapasan : 22x/m

Suhu : 39,2°C

BB : 21 kg

TB : 125 cm

LILA : 16 cm
Status Antropometri:
TB/U : P50 -75 (normoheight)
BB/U : P10-50 (underweight)
Waterlow : 87,5% (Gizi Kurang)
Kepala : Normocephal, bentuk simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Ubun-ubun : Menutup

Mata : Cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Refleks pupil : isokor

Refleks cahaya : +/+

Hidung : Rhinorea (-), epistaksis (-)

Bibir : Sianosis (-)

Caries : (+)

Tenggorokan : Tonsil: T2/T2, tenang

Faring: Hiperemis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Telinga : otorhea (-), nyeri tarik (-), nyeri tekan tragus (-)

Thorax

Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, jejas (-), retraksi (-)

Palpasi : krepitasi (-), massa (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : sonor (+)

Auskultasi: Bunyi pernapasan: vesikular +/+

Bunyi Tambahan: ronkhi -/-, wheezing -/-

Pulmo:
Inspeksi : Simetris kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = fremitus raba kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler
bunyi tambahan ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea mid clavicularis
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I, II regular murni, murmur end-
diastolik (+) ICS 5 linea midclavicular sinistra,
gallop (-), friction rub (+)

Abdomen
Inspeksi : Datar, striae (-), caput medusae (-),

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Hepar : Tidak teraba

Limpa : Tidak teraba

Ginjal : Tidak teraba

Lain-lain : Massa (-), Tumor (-)

Columna vertebra
Inspeksi : Kesan simetris, tidak tampak kelainan
Palpasi : Kesan simetris, tidak tampak kelainan

Ekstremitas
L. Lengan atas : 16 cm
Tonus otot : menurun /menurun
Kekuatan otot :3 3 ROM terbatas karena nyeri
3 3
Gerakan involunter : tidak ada
Palpasi : nyeri tekan (+/+/+/+), kemerahan (-)

Genitalia : TDP
3.5 Gambaran klinis pasien
3.6 Pemeriksaan Penunjang

3.6.1 Hasil pemeriksaan laboratorium RSUD Jailolo

Darah Rutin 18/12/22


Hb 9.3 ()
Leu 10.700
Eri 3.71juta
Ht 28.0
Tromb 327.000
MCV 75.4
MCH 25.0
MCH 33.1
C
Mxd% 8.2
Neu% 76.6
Limf % 15.2
GDS 100

Elektrolit 18/12/22
Na 138.3
K 3.69
Cl -

Urinalisa 19/12/22
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
BJ 1.020
pH 5.0
Keton +
Protein-Alb -
Glukosa -
Bilirubin -
Darah Samar +
Nitrit -
Urobilinogen -
Leu 3-7
Erit 20-30
Epitel 10-15
Kristal -
Silinder -
Bakteri -

LED 19/12/22
95 mm/jam ()
Thorax : 18/12/22

Cor : besar dan bentuk kesan normal


Pulmo : tak tampak infiltrat
Trachea ditengah
Hemidiafragma kanan kiri tampak baik
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Tulang-tulang tampak baik
Soft tissue tampak baik
Kesan :
Secara radiologis saat ini cor dan pulmo tak tampak kelainan

EKG
19/12/2022 :
Kesan : P-R interval memanjang

Ekokardiografi di RS Chasan Boesoerie Ternate (18/01/2023)


- Situs solitis
- AV VA Dilatasi
- IAS dan IVS Intak
- Tidak tampak PDA maupun koarktasio aorta
- Fungsi sistolik LV dan RV baik
- Katup-katup :
o Mitral : prolaps AML dengan mitral regurgitasi berat, sesuai
gambaran PJR
o Aorta : 3 cuspis, kalsifikasi (-)
o Tricuspid : TR moderate, TVG 60 mmHG
o Pulmonal : fungsi & gerakan baik
- Tampak efusi pericard moderate di area basal dan bilateral kanan, tanpa
tanda tamponade
Kesan :
 Prolaps AML dengan MR severe ec PJR
 Efusi pericard sedang tanpa-tanda tamponade
 High probability of pulmonary hypertension

3.7 Diagnosis
Diagnosis Fungsional : Gagal jantung NYHA I-II
Diagnosis Etiologi : Penyakit Jantung Rematik
Diagnosis Anatomi : Prolapse AML dengan severe MR + Efusi Pericard
Sedang + Pulmonary Hypertension
Gizi Kurang
Anemia mikrositik hipokromik
3.8 Follow Up
Follow Up Tanggal Perawatan
Rawat Inap
19/12/2022 20/12/2022
Nyeri sendi (+) sejak 4 hari, Berkurang
memberat sejak
3 hari yang lalu
S
Demam + -
Lemah badan + +
Kesan sakit sedang ringan
Kesadaran CM CM
TD (mmHg)
HR (x/m) 103 94
RR (x/m) 40 21

O Suhu (OC) 36,2

SpO2 (%) 99% 99%

Cardio Murmur end- Murmur end-


diastolik (+) diastolik (+)
Pulmo VBS +/+, Rh +/+, VBS +/+, Rh
Wh -/- +/+, Wh -/-
Abdomen Soepel Soepel

Medis Susp. Penyakit Susp. Penyakit


A Jantung Rematik Jantung Rematik

IVFD D5 1/2NS IVFD D5 1/2NS


500cc/24 jam 500cc/24 jam
PO Eritromisin PO Eritromisin
3x250mg 3x250mg
PO Prednison 3- PO Prednison 3-
1-1 1-1
PO Captopril PO Captopril
P
2x7mg 2x7mg
PO Furosemide PO Furosemide
2x12mg 2x12mg
PO Ibuprofen PO Ibuprofen
100mg KP 100mg KP
Cek UL, LED, Sucralfat sirup
EKG 3x1/2 cth
Follow Up Tanggal Perawatan
Rawat Jalan
25/01/2023 4/02/2023
Nyeri sendi - -

S
Demam - -
Keluhan lain Nyeri ulu hati (+) Batuk (+)
Kesan sakit ringan ringan
Kesadaran CM CM
BB/TB/Lila 21kg/125cm/16cm 21,5kg/125cm/16cm
HR (x/m) 103 90
RR (x/m) 20 22

O Suhu (OC) 36,5 36,2

SpO2 (%) 99% 99%

Cardio Murmur holosistolik Murmur holosistolik


(+) (+)
Pulmo VBS +/+, Rh +/+, VBS +/+, Rh
Wh -/- +/+, Wh -/-
Abdomen NTE (+) Soepel

Medis MR severe ec MR severe ec


A Penyakit Jantung Penyakit Jantung
Rematik + Efusi Rematik + Efusi
Pericard sedang Pericard sedang
PO Eritromisin PO Eritromisin
3x250mg 3x250mg
PO Aspirin PO Aspirin
2x500mg 2x500mg
PO Prednison 3- PO Prednison
1-1 dosis tapering-off
PO Captopril PO Captopril
2x6.25mg 2x6.25mg
P PO Furosemide PO Furosemide
KP sesak KP sesak
PO Bisoprolol PO Bisoprolol
1x2.5mg 1x2.5mg
PO PO
Spironolakton Spironolakton
2x12.5mg 2x12.5mg
PO Sucralfat PO Ambroxol
sirup 3x1/2cth 3x1/2 cth
3.9 Resume

An. A, 7 tahun 3 bulan datang ke IGD dengan keluhan polyathralgia sejak 3

hari SMRS. Keluhan muncul tiba-tiba, makin memberat hingga pasien sulit

berjalan dan beraktifitas. Keluhan terutama dirasakan di sendi kedua siku,

pergelangan tangan, lutut, dan pergelangan kaki. Keluhan nyeri disertai rasa

kaku dan lemah anggota gerak. Keluhan disertai demam sejak 10 hari yang

lalu, muncul mendadak, naik turun. Riwayat sering batuk, pilek, radang

tenggorokan (+). Makan sedikit-sedikit, minum baik. BAB terakhir 4 hari

yang lalu, BAK dalam batas normal. Riwayat diurut di rumah (+). Tidak ada

keluhan sesak, kemerahan pada kulit, benjolan di bawah kulit, gerakan tangan

dan kaki yang tiba-tiba dan tidak terkendali.

Pada pemeriksaan fisik terdapat adanya febris. Status gizi pasien

normoheight dan gizi kurang. Pada pemeriksaan Cor didapatkan murmur end-

diastolik pada linea MCS ICS V yang diinterpretasikan sebagai regurgitasi

katup mitral dan friction rub yang menandakan adanya efusi pericardium.

Pemeriksaan extremitas didapatkan polyatralgia.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit yang sedikit meningkat

yaitu 10.700, selain itu juga didapatkan peningkatan laju endapan darah (LED)

yaitu 95 mm/jam. Rongent Thorax didapatkan kesan normal. Pada

pemeriksaan EKG pemanjangan PR interval. Pada pemeriksaan

ekookardiogram didapatkan kesan prolaps AML dengan MR severe ec PJR,

efusi pericard sedang tanpa tanda tamponade, dan hipertensi pulmonal.


Pasien didagnosis akhir dengan penyakit jantung rematik eksaserbasi akut

dan mendapat pengobatan serta antibiotik profilaksis jangka panjang. Selama

perawatan di bangsal anak, pasien mendapatkan terapi medikamentosa berupa

eritromisin 2x250mg PO, furosemide tab 2x12mg PO, dan captopril tab

2x6.25mg PO.

Pasien diperbolehkan pulang pada tanggal 21 Desember 2022. Kemudian

dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan ekokardiografi di Ternate tanggal 18

Januari 2023. Pasien kembali dengan membawa hasil ke poliklinik anak

tanggal 25 Januari 2022. Pasien diedukasi untuk kontrol rutin di poliklinik

anak. Obat yang diberikan pada pasien saat rawat jalan antara lain eritromisin

2x250mg PO, prednisone 3-1-1 PO yang dilanjutkan dengan dosis tapering-

off, aspirin 2x500mg, bisoprolol 1x2,5mg PO, furosemide tab 2x12mg PO jika

sesak, captopril tab 2x6,25mg PO.

Pada kunjungan regular ke polklinik Anak RSUD Jailolo didapatkan bahwa

keadaan pasien membaik, tanpa keluhan nyeri sendi atau tanda kelainan

jantung lainnya.
BAB IV

PEMBAHASAN

Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi yang sangat sering

terjadi akibat infeksi Streptococus  hemoliticus grup A, dengan gejala

paling sering berupa radang tenggorokan. Hubungan demam rematik akut,

penyakit jantung rematik, dan radang tenggorokan sudah banyak dibuktikan

dengan bukti yang kuat dan riwayat penyakit yang mendukung.

Epidemiologi demam rematik akut tertinggi didapatakan pada negara

berkembang dengan sosioekonomi rendah dan lingkungan yang padat

penduduk.

Pasien yang dirawat bernama An. A usia 7 tahun 3 bulan dengan

penyakit jantung rematik dengan eksaserbasi akut. Penyakit jantung rematik

yang diderita pasien diduga sebagai gejala komplikasi dari demam rematik

akut yang didahului oleh gejala radang tenggorokan berulang yang

merupakan etiologi terjadinya penyakit jantung rematik.

Gejala pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis demam rematik

akut antara lain 2 dari 5 kriteria mayor berdasarkan kriteria Jones yaitu

karditis dan polyathralgia. Pada pasien juga ditemukan kriteria minor yaitu

demam, athralgia, peningkatan laju endapan darah, dan PR interval yang

memanjang. Hasil pemeriksaan ekokardiogram pada pasien didapatkan

mitral regurgitasi berat akibat penyakit jantung rematik. Dengan

didapatkannya 2 kriteria mayor 4 kriteria minor pada populasi risiko sedang-


berat, maka mendukung tegaknya diagnosis penyakit jantung rematik

eksaserbasi akut pada pasien.

Pada sebuah studi tentang keparahan penyakit jantung rematik pada anak,

didapatkan bahwa pasien dengan PJR berat, 50% akan memerlukan operasi

katup dua tahun setelah terdiagnosis PJR, sementara 10% meninggal dalam

waktu enam tahun.26 Kondisi mitral regurgitasi pada pasien dapat

mengalami progresifitas akibat terbentuknya jaringan ikat pada jantung.

Beratnya manifestasi klinis dan kelainan jantung yang terjadi pada pasien

menjadikan prognosis pasien dubia ad malam. Selain itu, faktor lain yang

berpengaruh terhadap DRA berulang yaitu kepadatan rumah, dimana jumlah

anggota keluarga lebih dari 5 orang juga ditemukan pada pasien. Faktor

lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap infeksi GAS diantaranya

kelembapan dan material konstruksi rumah dan kebersihan rumah

meningkatkan penularan melalui droplet.27 Beberapa studi menemukan

bahwa walaupun jarang terjadi, infeksi streptococcus dapat juga ditularkan

melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi atau yang tidak dikelola

dengan higenis, seperti susu, produk susu, atau telur, dimana faktor risiko

tersbeut juga terdapat pada pasien. 28, 29

Anak dengan PJR memiliki risiko lebih tinggi terjadinya gangguan

kualitas hidup dibandingkan anak sehat. Faktor lain selain penyakit yang

dapat mempengaruhi kualitas hidup anak yaitu keterbatasan kemampuan

fisik pada anak dengan penyakit jantung, yang dimana dapat disebabkan
oleh rendahnya tingkat energi pada pasien akibat rendahnya asupan nutrisi,

atau memang aktifitas pasien dibatasi secara sengaja.30

Kondisi ini berkaitan erat dengan kepatuhan untuk mengonsumsi

kemoprofilaksis dalam jangka waktu yang lama. Pada suatu penelitian

didapatkan bahwa anak dengan DRA dan PJR yang mendapat antibiotik

intramusukuler lebih mungkin untuk memiliki kualitas hidup yang lebih

baik dibandingkan dengan anak yang mendapat antibiotik oral. 30 Oleh

karena itu, pentingnya diberikan edukasi kepada orang tua tentang

pentingnya kepatuhan mengonsumsi kemoprofilaksis jangka panjang pada

pasien.

Usaha pencegahan baik primer maupun sekunder menjadi kunci dalam

meningkatkan kualitas hidup pasien, sehingga dibutuhkan kerjasama yang

baik antara orang tua, anak, dan tenaga medis yang merawat. Peran orang

tua antara lain dalam pemantauan dan motivasi pada anak untuk

mengonsumsi kemoprofilaksis jangka panjang, eliminasi faktor risiko

seperti kondisi rumah dan lingkungan yang lebih sehat, serta memastikan

bahwa nutrisi anak tercukupi. Peran tenaga medis selain mencari etiologi,

menegakkan diagnosis, memberikan tatalaksana yang tepat, hal lain yang

sangat penting yaitu mengenai pencegahan primer maupun sekunder seperti

memastikan anak mendapat kemoprofilaksis jangka panjang. Hal lain yang

menjadi fokus tenaga medis yaitu follow-up keparahan gejala pasien

terutama manifestasi gagal jantung dan pemberian edukasi mengenai

kemungkinan tatalaksana operatif di masa yang akan datang.


Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas

hidup anak dengan penyakit jantung antara lain pemberian nutrisi yang

mencukupi, pencegahan anemia, vaksinasi lengkap sebagai pencegahan

penyakit yang dapat mengeksaserbasi gagal jantung.

Dengan kerja sama yang baik antara orang tua, anak, dan tenaga medis,

diharapkan akan meberikan hasil yang baik dan peningkatan kualitas hidup

pasien.
Daftar Pustaka

1. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic


fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011 Feb 22;3:67-84.
doi: 10.2147/CLEP.S12977. PMID: 21386976; PMCID: PMC3046187. 22
Feb 2011.
2. Nandra TK, Wilson NJ, Artrip J, Pagis B. Rheumatic fever with severe
carditis: still prevalent in the South West Pacific. BMJ Case Rep. 2017 Mar
10;2017:bcr2016218954. doi: 10.1136/bcr-2016-218954. PMID: 28283470;
PMCID: PMC5353531. Mar. 2017.
3. Hursts. Manual of Cardiology, 11th Edition. 2005.
4. Sobotta. Atlas of Human Anatomy. 2011.
5. Richard L. Drake, et al. Gray’s Basic Anatomy. International Edition.
Chruchill Livingstone. Elseiver. 2012.
6. Dass C, Kanmanthareddy A. Rheumatic Heart Disease. [Updated 2022 Jul
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538286/#
7. Peters F, Karthikeyan G, Abrams J, Muhwava L, Zühlke L. Rheumatic
heart disease: current status of diagnosis and therapy. Cardiovasc Diagn
Ther. 2020 Apr;10(2):305-315. doi: 10.21037/cdt.2019.10.07. PMID:
32420113; PMCID: PMC7225445. 2019.
8. Sika-Paotonu D, Beaton A, Raghu A, et al. Acute Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease. 2017 Mar 10 [Updated 2017 Apr 3]. In: Ferretti
JJ, Stevens DL, Fischetti VA, editors. Streptococcus pyogenes : Basic
Biology to Clinical Manifestations [Internet]. Oklahoma City (OK):
University of Oklahoma Health Sciences Center; 2016-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK425394/
9. Subhrajit Lahiri MD, Amy Sanyahumbi MD. Acute Rheumatic Fever.
Pediatr Rev (2021) 42 (5): 221–232. https://doi.org/10.1542/pir.2019-0288.
May 01 2021.
10. Robert M. Kliegman MD et al. Nelson Textbook of Pediatrics. Acute
Rheumatic Fever. 21st Edition. 2011.
11. Bocchi EA, Guimarães G, Tarasoutshi F, Spina G, Mangini S, Bacal F.
Cardiomyopathy, adult valve disease and heart failure in South America.
Heart. 2009 Mar;95(3):181-9. doi: 10.1136/hrt.2008.151225. Epub 2008 Oct
31. PMID: 18977804. 2008.
12. Rothenbühler M, O'Sullivan CJ, Stortecky S, Stefanini GG, Spitzer E, Estill
J, Shrestha NR, Keiser O, Jüni P, Pilgrim T. Active surveillance for
rheumatic heart disease in endemic regions: a systematic review and meta-
analysis of prevalence among children and adolescents. Lancet Glob Health.
2014 Dec;2(12):e717-26. doi: 10.1016/S2214-109X(14)70310-9. PMID:
25433627. Dec 2014.
13. Weinberg J, Beaton A, Aliku T, Lwabi P, Sable C. Prevalence of rheumatic
heart disease in African school-aged population: Extrapolation from
echocardiography screening using the 2012 World Heart Federation
Guidelines. Int J Cardiol. 2016 Jan 1;202:238-9. doi:
10.1016/j.ijcard.2015.08.128. Epub 2015 Sep 12. PMID: 26402451. Sep
2015.
14. Watkins DA, Johnson CO, Colquhoun SM, et al. Global, Regional, and
National Burden of Rheumatic Heart Disease, 1990-2015. N Engl J Med
2017; 377:713. https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa1603693.
2017.
15. Leal MTBC, Passos, LSA, Guarçoni FV, Aguiar JM, Silva RBR, et al.
Rheumatic heart disease in the modern era: recent developments and current
challenges. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical, 52,
e20180041. Epub March 14, 2019.https://doi.org/10.1590/0037-8682-0041-
2019. Mar 2019.
16. Alit Utamayasa, I.K., Indriastari, A., Hidayat, T., Prihaningtyas, R.A., Rahman, M.
and Ontoseno, T., 2021. Clinical profile of children with rheumatic heart disease in
Indonesia. Sri Lanka Journal of Child Health, 50(2), pp.200–202.
DOI: http://doi.org/10.4038/sljch.v50i2.9554 . 2021.
17. Carapetis,J.R. 2010:Harrison’s Infectious Disease.MacGrawHill, p.412-18.
2010.
18. Gerber,M.A.,Baltomore,R.S.,Eaten,C.B.et.al.2009.Prevention of Rheumatic
Fever and Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal
Pharyngitis.AHA Scientific Statement. 2009.
19. Calgary Guide. Acute Rheumatic Fever. June 21, 2016.
20. Robert M. Kliegman MD et al. Nelson Textbook of Pediatrics. Rheumatic
Heart Disease. 21st Edition. 2011.
21. Schachner LA, Hansen RC, editors: Pediatric dermatology, ed 3,
Philadelphia, 2003, Mosby, p 808. 2003.
22. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, et al: Revision of the Jones Criteria for
the diagnosis of acute rheumatic fever in the era of Doppler
echocardiography: a scientific statement from the American Heart
Association, Circulation 131(20):1806–1818, 2015.
23. WHO. Rheumatic fever and rheumatic hear disease.-report of a WHO expert
Consultation (Online). Diunduh tanggal 15 Juni 2009.
http://www.who.int/cardiovaskular_diseases/resources/ trs
923/en/index.html. 2009.
24. Pedoman Pelayanan Media Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
25. Milne RJ, Lennon DR, et al. Incidence of acute rheumatic fever in New
Zealand children and youth. J Paediatr Child Health. 2012;48:685–691.
2012.
26. Cannon J, Roberts K, Milne C, Carapetis JR. Rheumatic heart disease
severity, progression and outcomes: A multi-state model. J Am Heart Assoc.
2017; 6 (3).
27. CoffeyPM, Ralph AP, Krause VL. The role of social determinants of health
in the risk and prevention of group A streptococcal infection, acute
rheumatic fever and rheumatic heart disease: A systemic review. PLoS Negl
Trop Dis. 2018;12(6):1-22.
28. Kuusi M., Lahti E., Virolainen A., et al. An outbreak of Streptococcus equi
subspecies zooepidemicus associated with consumption of fresh goat
cheese. BMC Infect Dis. 2006;6:36. doi: 10.1186/1471-2334-6-36.
29. Gray BM., Rodriguez Arnavielhe S. Streptococcus spp, in: In: Bier J., MD
Miliotis., editors. International Handbook of Food Pathogens, ( New York:
Marcel Dekker; 2003. pp. 375–405.
30. Marino BS, Tomlinson RS, Drotar D, Claybon ES, Aguirre A, Ittenbach R,
et al. Quality-of-life concerns differ among patients, parents, and medical
providers in children and adolescents with congenital and acquired heart
disease. Pediatrics. 2009;123(4):2-5.

Anda mungkin juga menyukai