Semester 7
Tahun Ajaran 2023
1
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
FAKULTAS KEDOKTERAN
Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta Tel/Fax (0271) 664178
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Buku ini telah disahkan sebagai buku panduan untuk kegiatan pembelajaran di Program Studi Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Pada tanggal :
Yang mengesahkan,
Dekan
iii
TIM PENYUSUN
iv
ABSTRAK
Kompetensi dokter dalam hal penanganan kegawatdaruratan dan trauma dapat dicapai
melalui berbagai metode pembelajaran, salah satunya melalui pembelajaran keterampilan klinik.
Buku panduan keterampilan klinik ini merupakan pedoman pelatihan keterampilan klinik mengenai
bantuan hidup lanjut.
Bantuan hidup lanjut merupakan salah satu keterampilan klinis yang harus dikuasai oleh
seorang dokter umum. Bantuan hidup lanjut berisi materi tentang advanced life support and triage,
dan accident emergency.
Tujuan pembelajaran topik advance life support antara lain mahasiswa diharapkan mampu
melakukan penilaian kesadaran menggunakan AVPU, melakukan pijat jantung luar (external
cardiac massage), melakukan ventilasi mulut, pengelolaan jalan nafas tanpa alat dan menggunakan
alat (orofaring tube , intubasi) pada anak dan dewasa, serta menjelaskan cara pemberian oksigen,
pemberian obat selama bantuan hidup lanjut, penggunaan defibrilator, dan penatalaksanaan syok
anafilaktif. Pada pedoman ini, mahasiswa dilatih penangan kasus-kasus gawat darurat yang
memerlukan tindakan segera dengan prinsip hidup dasar, seperti airway, breathing, dan circulation.
Proses evaluasi mahasiswa akan dilakukan dengan metode OSCE yang ceklis penilaian juga
dilatihkan pada proses pembelajaran.
Pembelajaran mengenai keterampilan klinis bantuan hidup lanjut diajarkan di laboratorium
keterampilan klinis pada saat pertemuan terbimbing, dilanjutkan dengan responsi. Ujian
dilaksanakan dengan OSCE di akhir semester. Melalui buku panduan ini, mahasiswa dilatih
penanganan kasus-kasus kegawatdaruratan, seperti henti nafas/jantung, yang banyak terjadi di
situasi saat ini dan sesuai kompetensi dokter umum yang terkini.
v
KATA PENGANTAR
Puji rofes kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rofes
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat melakukan penyempurnaan dan pembaharuan pada Buku
Manual Keterampilan Klinik Topik Bantuan Hidup Lanjut periode tahun 2023. Penyusun buku
panduan ini ditujukan untuk memberikan pedoman bagi instruktur dan mahasiswa untuk melatih
keterampilan terkait pertolongan sebagai bantuan hidur lanjut.
Dengan adanya buku panduan ini diharapkan:
1. Instruktur mengetahui pembelajaran yang harus dicapai mahasiswa.
2. Memberikan panduan pada mahasiswa tentang keterampilan klinik.
3. Melakukan demonstrasi terkait keterampilan klinik tersebut.
Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret, staf pengelola skills lab serta semua pihak yang tidak dapat
kami sebutkan satu-persatu yang telah membantu proses penyusunan buku manual ini. Semoga
rofessio semua pihak dalam melaksanakan kegiatan keterampilan klinik ini akan lebih
ditingkatkan demi keberhasilan rofession dokter yang rofessional dan berkualitas. Penyusun
juga mengharapkan sumbang saran dari semua pihak demi lebih sempurnanya buku manual ini,
sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pelaksana kegiatan skills lab secara keseluruhan.
Penyusun
vi
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...................................................................................................................... i
Halaman Judul.......................................................................................................................... ii
Halaman Pengesahan................................................................................................................ iii
Tim Penyusun........................................................................................................................... iv
Abstrak..................................................................................................................................... v
Kata Pengantar......................................................................................................................... vi
Daftar Isi................................................................................................................................... vii
Rencana Pembalajaran Semester.............................................................................................. viii
Tujuan Pembelajaran................................................................................................................ x
Daftar Keterampilan Klinis (SKDI 2012)................................................................................ xi
Lesson Plan............................................................................................................................... xii
Materi Sub Topik 1. Advanced life Support............................................................................. 1
Materi Sub Topik 2. Accident emergency................................................................................ 45
vii
Rencana Pembalajaran Semester
viii
ix
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan pembelajaran topik advance life support antara lain mahasiswa diharapkan mampu :
1. Melakukan penilaian kesadaran menggunakan AVPU, melakukan pijat jantung luar
(external cardiac massage), melakukan ventilasi mulut, pengelolaan jalan nafas tanpa alat
dan menggunakan alat (orofaring tube,intubasi) pada anak dan dewasa, serta menjelaskan
cara pemberian oksigen, pemberian obat selama bantuan hidup lanjut, penggunaan
defibrillator/Automated External Defibrillator (AED)
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengidentifikasi keadaan kegawatdaruratan khusus
yang memerlukan pertolongan segera atau sebelum transport pasien.
3. Mempraktikan prinsip tatalaksana awal keadaan gawat darurat pada kasus trauma spinal,
kejang, tersedak, heat stroke, dan syok anafilaktik.
4. Mempraktikan pertolongan tatalaksana kegawatdaruratan di luar fasilitas pelayanan
kesehatan.
5. Menjelaskan prinsip dasar dan mempraktikan tata cara transport pasien
pada kegawatdaruratan
x
DAFTAR KETERAMPILAN KLINIS (SKDI 2012)
Ventilasi masker 4A
Intubasi 3
Manuver Heimlich 4A
Reaksi anafilaktif 4A
xi
LESSON PLAN
1. Sesi Terbimbing
Waktu Aktivitas Mahasiswa Instruktur Materi
xii
2. Sesi Responsi 1 dan 2
Waktu Aktivitas Mahasiswa Instruktur Materi
xiii
SUBTOPIK I
MATERI PEMBELAJARAN
BANTUAN HIDUP LANJUT DAN TRIAGE
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan pembelajaran topik advance life support antara lain mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan penilaian kesadaran menggunakan AVPU
2. Melakukan pijat jantung luar (external cardiac massage)
3. Melakukan ventilasi mulut
4. Pengelolaan jalan nafas tanpa alat dan menggunakan alat (orofaring tube,intubasi) pada anak
dan dewasa,
5. Menjelaskan cara pemberian oksigen
6. Pemberian obat selama bantuan hidup lanjut
7. Menggunakan defibrillator/AED
14
Selain menggunakan skala Glasgow Coma Scale (GCS), penilaian kesadaran secara cepat
bisa menggunakan skor AVPU. Hal ini bisa dipakai pada kondisi yg membutuhkan penilaian
kesadaran segera seperti kasus emergensi di luar rumah sakit, bangsal umum, ataupun di ICU.
Dasar skor AVPU sesuai kriteria di bawah ini :
A (Alert) : Pasien sadar penuh dan dapat berespon terhadap lingkungan sekitar dengan
sendirinya. Pasien juga dapat melakukan perintah dan mengenali objek
disekitarnya dengan baik.
V (verbally responsive) : Pasien tdk dpt membuka mata spontan. Pasien baru membuka mata
hanya ketika ada respon verbal secara langsung.
P (Painfully responsive) : Pasien tidak dapat membuka mata secara spontan. Pasien hanya berespon
terhadap stimulus nyeri yang diberikan oleh pemeriksa. Respon itu bisa hanya
respon suara kesakitan, tangisan, ataupun gerakan tubuh lainnya.
U (unresponsive) : Pasien tidak berespon terhadap simulus apapun.
1. Signifikansi Klinis
Skor AVPU adalah skala skor yang digunakan untuk menilai perubahan status
mental/kesadaran pasien dengan cepat dan sederhana terutama pada kasus emergensi.
Seseorang tidak memerlukan pelatihan khusus untuk melakukan penilaian kesadaran
dengan skor AVPU. Nilai skor di bawah level “A” dianggap abnormal sampai
terbukti ada hal lain yang berkaitan. Skor ini memang kurang detail namun dapat
digunakan sebagai bagian dari survei primer. Perubahan status mental
mengindikasikan bahwa terdapat sirkulasi oksigen otak yang kurang adekuat dan hal
ini mmebutuhkan terapi sesegera mungkin. Jika kondisi emergensi telah tertangani
maka bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan kesadaran yang lebih detail seperti Skor
GCS. Skor AVPU berkorelasi dengan skor GCS sebagai berikut :
GCS 15 : Alert
GCS 12-13 : Verbally responsive
GCS 5-6 : Painfully/Physically responsive
GCS 3 : Unresponsive
15
B. PRINSIP PENANGANAN PASIEN HENTI JANTUNG DENGAN BANTUAN HIDUP
DASAR
Henti jantung dapat terjadi pada kondisi di rumah sakit maupun di luar rumah
sakit. Henti jantung mendadak masih menjadi penyebab kematian paling banyak di
Amerika Serikat. Out-of- hospital cardiac arrest (OHCA) terjadi pada kira-kira
326.000 korban tiap tahunnya di Amerika Serikat. Insidensi OHCA mencapai 132
tiap 100.000 populasi per tahunnya, sehingga masyarakat harus disiapkan untuk
menghadapi terjadinya OHCA. Sebanyak 70% OHCA terjadi di rumah, dan sekitar
50% tidak ada saksi mata. Luaran OHCA masih buruk, hanya 10,8% pasien yang bisa
bertahan hingga keluar rumah sakit. Sedangkan IHCA mempunyai luaran yang lebih
baik, 22,3-25,5% korban dapat bertahan hingga keluar rumah sakit.
Karena adanya perbedaan kondisi tempat terjadinya henti jantung, rantai
ketahanan hidup yang berbeda direkomendasikan untuk pasien yang mengalami henti
jantung di rumah sakit dan di luar rumah sakit. Perawatan pasien paska henti jantung
berpusat di rumah sakit, terutama di unit perawatan intensif, tanpa melihat dimana
16
terjadi kejadian henti jantung, Namun elemen dan proses yang dilakukan sebelum
sampai ke rumah sakit sangat berbeda antara kedua kondisi tersebut. Pasien yang
mengalami OHCA bergantung pada dukungan komunitas. Penyelamat harus mampu
mengenali kondisi henti jantung, memanggil bantuan, memulai melakukan resusitasi
jantung paru (RJP), dan melakukan defibrilasi jika diperlukan hingga tim medis
profesional mengambil alih dan mentransfer pasien ke instalasi gawat darurat dan/atau
unit kateterisasi jantung. Sedangkan pada pasien yang mengalami IHCA, pencegahan
terjadinya henti jantung bergantung pada sistem surveillance yang tepat (yaitu tim
respon cepat atau early warning system).
Rantai ketahanan hidup OHCA terdiri atas lima komponen, yaitu
identifikasi adanya kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat
secepatnya, resusitasi jantung paru (RJP) segera, defibrilasi segera, perawatan
kardiovaskular lanjutan yang efektif, dan penanganan pasca henti jantung yang
terintegrasi. Sedangkan rantai ketahanan hidup IHCA terdiri atas lima komponen
yaitu surveillance dan pencegahan terjadinya henti jantung pada pasien di rumah sakit,
aktivasi sistem gawat darurat, RJP segera, defibrilasi segera, dan penanganan pasca
henti jantung yang terintegrasi.
Bantuan hidup dasar (BHD) merupakan suatu tindakan penyelamatan yang
dilakukan saat terjadi henti jantung. Tindakan bisa dilakukan oleh satu orang penolong
atau lebih. Tujuan awalnya adalah untuk memperbaika sirkulasi sistemik yang hilang
pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan kompresi dada secara
efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi yang efektif hingga didapatkan
kembalinya sirkulasi sistemik yang spontan atau dihentikan karena tidak ada respon
dari korban. Jika berhasil, dilanjutkan dengan bantuan hidup lanjut.
17
Gambar 2. Algoritma Bantuan Hidup Dasar Pada Kasus Henti Jantung Dewasa
18
Gambar 3. Algoritma Henti Jantung pada Dewasa
19
Energi syok yang digunakan untuk defibrilasi dibagi menjadi dua yaitu:
1. Jika bifasik, sesuai rekomendasi pabrik (sebagai contoh, dosis awal 120-200
Joule), jika tidak diketahui, gunakan energi maksimal yang tersedia.
2. Jika monofasik, gunakan 360 Joule.
Dosis obat-obatan yang digunakan pada saat RJP adalah sebagai berikut :
1. Epinefrin IV/IO dengan dosis 1 mg tiap 3-5 menit.
2. Amiodaron IV/IO dengan dosis pertama 300 mg bolus, dosis kedua 150 mg atau
Lidocain 1 – 1,5 mg/kg (dosis pertama) dan 0,5 – 0,75 mg/kg (dosis kedua).
20
Alat AED diletakkan dekat dengan telinga penderita. Protokol defibrilasi dari
sebelah kiri penderita memudahkan akses ke AED dan mempermudah dalam meletakkan
bantalan elektroda. Posisi ini juga memberikan tempat bagi penolong kedua untuk
melakukan RJP dari sisi kanan penderita. Ada beberapa jenis AED yang tersedia, tetapi
pada dasarnya prinsip pengoperasiannya sama. Empat langkah dalam pengoperasian AED
adalah sebagai berikut :
21
Gambar 4. Penempatan Posisi Bantalan Elektroda AED
3. Analisis irama
Sterilkan area sekitar penderita dari penolong dan saksi dan pastikan tidak ada
yang menyentuh penderita. Untuk mencegah adanya artifak, hindari semua pergerakan
yang mempengaruhi penderita saat analisis irama. Pada beberapa alat, operator
menekan tombol “ANALYZE” untuk memulai analisis irama. Alat yang lain dapat
memulai analisis secara otomatis saat bantalan elektroda menempel pada dada. Analisis
irama memerlukan waktu 5 hingga 15 detik, tergantung merek AED. Jika didapatkan
VF, alat akan memberitahukan melalui pesan di layar, alarm visual atau auditori, atau
pernyataan suara yang menyatakan bahwa shock perlu dilakukan.
22
Gambar 5. Ventricular Tachycardia (VT)
3. Posisi lengan lurus dengan siku terkunci sehingga bahu di atas sternum penderita.
24
Pada saat RJP, penolong harus melakukan kompresi dada dengan kedalaman
minimal 2 inci atau 5 cm pada dewasa, dan menghindari kedalaman kompresi yang
berlebihan (lebih dari 6 cm) karena kejadian cedera meningkat.
3. Pastikan terjadinya rekoil dinding dada di antara kompresi yang dilakukan
Penolong harus menghindari untuk bersandar pada dada di antara kompresi
supaya terjadi rekoil sempurna dinding dada korban. Rekoil dinding dada dapat
menyebabkan tekanan intratoraks menjadi relatif negatif sehingga dapat mendorong
aliran balik vena dan aliran darah kardiopulmoner. Rekoil dinding dada yang kurang
sempurna menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks dan mengurangi aliran balik
vena, tekanan perfusi koroner, dan aliran darah miokard.
4. Minimalisasi interupsi pada saat kompresi dada
Untuk korban yang dilakukan RJP tetapi belum terpasang alat bantu jalan nafas
lanjut, kompresi dapat berhenti selama kurang dari 10 detik untuk memberikan dua
kali bantuan nafas. Jika telah terpasang alat bantu jalan nafas lanjut, berikan 1 nafas
tiap 6 detik (10 nafas/menit) dengan kompresi dada tetap berlanjut secara kontinyu.
5. Hindari ventilasi yang berlebihan
Penolong memberikan bantuan dengan rasio kompresi dan ventilasi 30:2 pada
korban dewasa yang mengalami henti jantung (setiap melakukan 30 kali kompresi
yang efektif, berikan 2 nafas bantuan).
6. Lakukan rotasi pemberi kompresi dada tiap 2 menit atau lebih awal jika penolong
kelelahan
25
E. TEKNIK VENTILASI MULUT – MULUT ( MOUTH to MOUTH ) / MULUT –
HIDUNG ( MOUTH to NOSE ) DAN SUNGKUP ( MASK VENTILATION )
Tanpa alat : Triple airway maneuver ( Head tilt - chin lift – Jaw thrust )
Dengan alat : - Alat sederhana :
Oropharingeal airway (OPA) dan Nasopharingal Airway
(NPA).
- Alat lanjutan / advance :
Laryngeal mask airway, combitube, Endotracheal tube (ETT).
c. Coba 5 x nafas buatan
Gambar 10. Triple Airway Maneuver ( head tilt, chin lift, jaw thrust)
Manajemen jalan nafas merupakan salah satu keterampilan yang paling penting yang
harus dimiliki ahli anestesi. Manajemen pasien dengan jalan nafas yang normal adalah
kunci dalam latihan penanganan pasien, sedangkan pada pasien dengan anatomi jalan nafas
yang sulit penting untuk dilakukan penanganan. Ketidakmampuan menjaga jalan nafas
dapat menimbulkan kondisi berbagai macam, dari kerusakan otak sampai kematian. Resiko
tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran
pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum
27
adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta
teratur. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan
ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering
kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti,
pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi
spasme laring. Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan
hipoksemia.
1. Anatomi
Saluran nafas bagian atas terdiri dari hidung, mulut, faring, laring, trakea, dan
percabangan bronkus. Mulut dan faring juga merupakan bagian dari saluran pencernaan
bagian atas. Struktur laring merupakan bagian yang berperan dalam mencegah aspirasi ke
dalam trakea.
Terdapat dua gerbang pintu pernafasan pada manusia, yaitu hidung yang menuju ke
dalam nasofaring dan mulut yang menghubungkan ke dalam orofaring. Hantaran udara
yang masuk melalui kedua pintu pernafasan ini dipisahkan dibagian depan dan bergabung
dalam faring di bagian belakang. Faring dengan struktur fibromuskular yang berbentuk U
memanjang dari dasar tengkorak ke kartilago krikoid di pintu masuk ke
kerongkongan (esofagus). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imajiner yang
membentang dari bagian posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis
memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis juga berfungsi
mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis (gerbang laring) pada saat menelan.
Laring terdiri dari kerangka tulang rawan yang disusun oleh ligamen dan otot. Laring
disusun oleh 9 kartilago: kartilago tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid,
kornikulata dan cuneiforme tiroid diselubungi oleh konus elasticus yang membentuk pita
suara.
28
Gambar 11. Anatomi Jalan Napas Atas
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal superior)
dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal externa (motoris).
Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah
adduktor utama.
29
Gambar 13. Inervasi Jalan Nafas Atas
Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf
motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara. Gangguan persarafan
unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari
saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak
membahayakan kontrol jalan nafas.
Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita
suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf laringeal
superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat menyebabkan
stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari otot krikotiroid. Jarang
terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis saraf laringeal rekuren bilateral
karena adanya mekanisme kompensasi (seperti atropi dari otot laringeal).
Kerusakan bilateral dari nervus vagus mempengaruhi kedua nervus laringeal
rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid dan
midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi terganggu berat
pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.
Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri krikoaritenoid
berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari arteri karotis externa
dan menyilang pada membran krikotiroid bagian atas, yang memanjang dari kartilago
krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior ditemukan sepanjang tepi lateral dari
membran krikotiroid.
30
2. Manajemen jalan napas
Manajemen jalan napas rutin, antara lain
a. Penilaian jalan nafas
b. Persiapan dan pemeriksaan alat – alat
c. Posisi pasien
d. Preoksigenasi
e. Bag and mask ventilation (BMV)
f. Intubasi jika terdapat intubasi
g. Konfirmasi letak endotracheal tube
h. Fiksasi endotracheal tube
i. Managemen pasca intubasi
j. Ekstubasi
31
Tabel 2. Klasifikasi Mallampati
Klasifikasi Mallampati
Mallampati I Tampak seluruh pilar faring, palatum
molle dan uvula
Skor Mallampati
4) Jarak thyromental :
Jarak antara mentum dan superior thyroid notch (sulcus thyroidea
superior)diharapkan lebih dari 3 jari.
5) Ukuran lingkar leher :
Lingkar leher >27 cm mensugestikan kesulitan dalam visualisasi pembukaan
glottis.
b. Peralatan
Persiapan peralatan wajib dilakukan untuk semua pengelolaan jalan nafas.
Peralatan berikut ini secara rutin dibutuhkan dalam manajemen jalan nafas :
32
1) Sumber oksigen
2) Stetoskop
3) Laringoskop (direk dan video)
4) Endotracheal tube , nasotracheal tube dengan ukuran berbeda
5) Perangkat saluran nafas lain (orofaringeal airway, nasofaringeal airway)
6) Plester
7) Introducer / Stylet
8) Bag & Mask Ventilation ( BMV )
9) Suction
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot
genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh
kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust
merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara
lidah dengan dinding faring bagian posterior. Pasien yang sadar atau dalam anestesi
ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial
bila refleks laring masih intak. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi
dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No
3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
33
Gambar 14. A. Orofaringeal Airway Device, B. Nasofaringeal Airway Device
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien
yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan
digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan
melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi.
Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.
c. Posisi Pasien
Posisi pasien yang benar juga diperlukan saat memanipulasi jalan napas. Saat
memanipulasi jalan nafas, diutamakan posisi pasien dalam keadaan yang benar. Garis
lurus dari mulut (oral) dan sumbu pharyngeal (pharyngeal axes) dapat dicapai
dalam posisi pasien (“sniffing”). Ketika dicurigai ada kelainan cervical spine, kepala
harus tetap dalam posisi netral selama proses manipulasi jalan nafas. Stabilisasi leher
pada pasien harus dipertahankan agar leher tetap lurus selama penanganan jalan nafas,
kecuali telah dilakukan foto x-ray dan dinyatakan aman oleh dokter radiologi atau
34
saraf atau bedah neuro. Pasien dengan morbiditas seperti obesitas harus diposisikan
pada alas dengan sudut naik 30 derajat, karena terjadi penurunan kapasitas residu
fungsional pada pasien obesitas saat posisi terlentang yang dapat lebih memperburuk
oksigenasi dan dapat berakhir pada gagal nafas
d. Preoksigenasi
Jika keadaan memungkinkan harus dapat dilakukan terlebih dahulu
preoksigenasi dengan face mask oxygen pada seluruh penanganan jalan nafas,
sehingga pasien sudah mengalami oksigenasi beberapa menit sebelum dilakukan
35
induksi anestesi. Dengan cara tersebut kapasitas residu fungsional (FRC) yaitu
cadangan udara tetap dalam paru dapat dimurnikan dari nitrogen. Setelah dilakukan
preoksigenasi sebanyak 2 L dapat tercapai FRC normal yang terisi O2 murni.
Diperkirakan kebutuhan O2 normal sekitar 200-250 ml/menit, pasien yang telah
dilakukan preoksigenasi akan memiliki cadangan O2 hingga 5-8 menit yang
meningkatkan durasi periode apnea tanpa penurunan saturasi sehingga lebih aman jika
induksi anestesi yang diberikan untuk perbaikan jalan nafas mengalami keterlambatan.
Kondisi2 yang meningkatkan kebutuhan oksigen seperti sepsis, kehamilan dan yang
menurunkan FRC seperti obesitas, kehamilan akan menurunkan durasi periode apnea
tanpa penurunan saturasi.
36
yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas.
Bila sungkup muka dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag.
Sungkup muka dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan sungkup
muka dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk
ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada
jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas.
Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut rahang dan digunakan untuk jaw thrust
manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari
face mask atau efek ball- valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit memasang face
maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan)
atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi
kesulitan ini. Ventilasi tekanan positif normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk
mencegah masuknya udara ke lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral atau
nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan
cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak
adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan, hanya diperlukan
tekanan minimal pada face mask supaya tidak bocor. Bila sungkup muka dan ikatan
masker digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk
menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk
menghindari resiko aberasi kornea.
37
Gambar 17. Sungkup Muka Dewasa
Gambar 18. Teknik Memegang Sungkup dengan Satu Tangan dan Dua Tangan
38
mudah, perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari
balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter
oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi
lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah
fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak
berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik,
kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau
lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan
penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan
secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon
digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti
halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai
reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di
autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai
ukuran.
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA
dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi,
akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam
trakea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih
kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk
trakeal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien
dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi)
disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar
(95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik,
bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).
39
Gambar 19. Teknik Pemasangan LMA
40
Tabel 4. Variasi volume balon dan ukuran LMA
41
suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas
yang sulit.
g. Intubasi Endotrakeal
1) Pipa Trakea/ Tracheal Tube (TT)
Pabrik menentukan standar TT (American National Standards for
Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride.
Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba
untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah
dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu
penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah
lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube
bila menempel dengan carina atau trakea.
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola
dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam skala Prancis
(diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu
hasil kompromi antara memaksimalkan aliran dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
42
Tabel 5. Panduan Ukuran Trakeal Tube Oral
Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama.
Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas
area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit
43
( karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari
kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
2) Laringoskop
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk
fasilitas intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu
pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung
blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.
Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI.
Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan
dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan
karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan
ahli dengan bentuk blade yang beragam.
44
Gambar 22. Laringsokop
46
4) Teknik Laringoskopi dan Intubasi
a) Indikasi Intubasi
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi
umum. Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua
pasien dengan anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang
untuk proteksi, dan untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah
indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk
prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi
dengan sungkup muka atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur
operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan
hernia inguinal dan lain lain.
47
Gambar 25. Trakeal Tube dengan Introducer
48
Gambar 23. Posisi Intubasi
49
c) Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien
terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-
hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar
dari faring dengan pinggir blade. Ujung dari blade melengkung dimasukkan
ke valekula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat
menjauhi pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita
suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan dari
gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya
dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus
berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring. Langingoskop ditarik
dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan
dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama
ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan
pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat
dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.
50
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi
lewat mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu,
dalam kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray
dalam orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi
kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur
kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan
introducer, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau
meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk
ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh
LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi). Petunjuk
yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit,
termasuk algoritma rencana terapi.
d) Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk
lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan
laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang
hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine
(0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan
membran mukosa. Akan tetapi, pemberian tetes hidung phenyleprine yang
berlebihan dapat menimbulkan hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika
pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
h. Teknik Ekstubasi
Menentukan saat yang tepat untuk mencabut TT merupakan sebuah seni pada
anestesiolog, yang berjalan sesuai dengan pengalaman. Hal ini merupakan bagian yang
sangat penting karena komplikasi sering terjadi selama dan segera setelah ekstubasi
dibandingkan dengan intubasi. Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan ketika
pasien sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari
pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan,
pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu
pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelum ekstubasi.
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun)
harus dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi
dalam dan ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya
reaksi pada penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana
jika tidak ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak
yang bertujuan menandakan pasien sudah bangun.
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk
pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah
arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan
dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat
memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan
premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi,
ekstubasi saat anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat
mentolerir hal ini. Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko
aspirasi atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT.
Selain kapan TT dicabut, yakni ketika pasien teranestesi dalam atau sudah
sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk
52
mengurangi risiko aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan
100% oksigen sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk
mengontrol jalan napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari
plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas
pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret
yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang
kemudian dapat disuction. Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi
mungkin tidak terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan
sungkup wajah biasanya digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien
menjadi cukup stabil untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi,
oksigen dengan sungkup wajah dipertahankan selama pengantaran pasien.
53
Skenario:
Anda sedang berada di ruang tunggu keberangkatan Bandara Internasional Adi Sumarmo
untuk melakukan perjalanan ke Jakarta. Tiba-tiba seorang laki-laki berusia 57 tahun yang duduk di
kursi seberang Anda terjatuh tidak sadarkan diri. Apakah tindakan yang Anda lakukan untuk
memberikan pertolongan kepada laki-laki tersebut?
Pada pemeriksaan awal, pasien tidak sadarkan diri dan nadi tidak teraba. Di Bandara
tersedia emergency kit dengan AED. Setelah melakukan pertolongan selama 5 menit , emergency
kit dan AED baru bisa didapatkan. Dari pemeriksaan AED didapatkan gambaran sebagai berikut :
54
PENILAIAN MAHASISWA BANTUAN
HIDUP LANJUT DAN TRIAGE
SKOR
NO ASPEK KETERAMPILAN YANG DINILAI 0 1 2
Memeriksa/menentukan kesadaran pasien, dengan memanggil namanya,
1. menepuk bahu, dll
2. Berteriak minta tolong /aktivasi system emergensi
Posisi pasien harus tidur terlentang, dipertahankan pada posisi horizontal
3. dengan alas yang keras, dengan kedua tangan di samping
4. Posisi penolong, berlutut sejajar di samping kanan atau kiri pasien
Memeriksa ada/tidaknya denyut jantung dengan memeriksa denyut arteri
5. karotis selama 10 detik
6. Jika denyut carotis tidak teraba, segera lakukan RJP
Menentukan titik tumpu, dengan meletakkan tangan pertama pada tengah
7. sternum bagian bawah
Meletakkan telapak tangan yang satunya di atas tangan yang lain dengan jari-
8. jari tidak boleh menempel pada di dada
Melakukan pijat jantung luar dengan :
Kedalaman kompresi 5-6 cm
9.
Memberikan dada kesempatan untuk recoil sempurna
Lakukan resusitasi jantung paru oleh 1 atau 2 penolong dengan frekuensi 30
kompresi : 2 ventilasi selama 5 siklus dengan kecepatan kompresi 100-120 x
10. kompresi / menit (1 siklus = 30 kompresi dan 2 ventilasi)
Memasang EKG monitor atau AED untuk menilai adakah asistol,
11. Pulseless Electrical Activity
12. Mengecek irama shockable / tidak
Jika irama shockable, maka lakukan Defibrilasi
Jika irama non-shockable, maka lanjutkan RJP selama 2 menit (5 siklus)
13.
Memasang akses intravena/intraosseus untuk memasukkan obat-obatan dan
14. cairan infus.
15. Melakukan evaluasi nadi, nafas, dan irama jantung setiap 5 siklus/ 2menit
16. Memberikan injeksi adrenalin tiap 3 – 5 menit.
55
Melakukan pemasangan ventilasi dengan advanced airway device (ETT) =
1 kali nafas tiap 6 detik (10x nafas/menit). Kompresi tetap 100-
17.
120x/menit (hitungan terpisah, tidak ada sinkronisasi antara kompresi dan
Memberikan injeksi amiodarone atau lidocain (injeksi amiodarone hanya
diberikan untuk irama shockable), mengatasi penyebab arrest.
18.
Jika ada tanda return of spontaneous circulation (ROSC) lanjut ke post
19. cardiac arrest care
20. PENILAIAN ASPEK PROFESIONALISME 0 1 2 3 4
JUMLAH SKOR …………….
Penjelasan :
56
SUMBER PUSTAKA
American Heart Association. 2020. AHA Guidelines Update for CPR and ECC.
Circulation 132(18)
Butterworth, et al. Morgan And Mikhail Clinical Anesthesiology 5th Ed. McGrawHill
2013:1183.
Kosasih A., Hakim AA., Harsoyo A., et al. 2018. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup
Jantung Dasar. Jakarta: Penerbit PP PERKI.
Stroobandt RX., Barold SS., Sinnaeve AF. 2016. ECG From Basics to Essentials Step by
Step. Sussex: Wiley Blackwell.
57
FORMULIR UMPAN BALIK (FEEDBACK)
KETERAMPILAN BANTUAN HIDUP LANJUT DAN TRIAGE
Nama : .............................................................................
NIM : ..............................................................................
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai 0 1 2 Feedback
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
ASPEK PROFESIONALISME
58
SUBTOPIK II
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari topik keterampilan ini mahasiswa diharapkan mampu :
A. PENDAHULUAN
Pertolongan pertama adalah prosedur tindakan terbatas yang dilakukan untuk
menangani keadaan sakit atau cedera yang biasanya dilakukan oleh orang awam terhadap
penderita sakit atau cedera sampai penanganan definitif dapat diberikan, atau sampai
sakit atau cedera tersebut tertangani (tidak semua sakit atau cedera memerlukan tingkat
penanganan yang lebih lanjut).
Pada umumnya ini meliputi suatu rangkaian teknik medis sederhana atau tindakan
penyelamatan hidup, yang dapat dilatihkan kepada individu dengan kemampuan atau
tanpa kemampuan medis, dan dengan peralatan yang minimal. Keadaan-keadaan
emergency yang memerlukan pertolongan pertama misalnya penanganan pada kasus :
1. Kejang
2. Perdarahan
3. Syok Anafilaktik
2. Tersedak
59
1. KEJANG
Kejang merupakan manifestasi klinis lepas muatan listrik berlebihan dari sel
neuron di otak yang terganggu fungsinya. Fungsi otak normal dapat terganggu karena
kejang. Kejang dapat disebabkan oleh :
Munculnya tiba-tiba
Penurunan atau kehilangan kesadaran
Gerakan ekstremitas yang sinkron: kaku seluruh tubuh (tonik), kelojotan (klonik),
tiba-tiba terjatuh (atonik), bengong (absent)
Stereotipi gerakan
Gerakan abnormal bola mata: mendelik ke atas, melirik ke kanan atau ke kiri
Sianosis (kebiruan) di sekitar mulut
60
Sesudah kejang otot penderita lemas, kadang kehilangan kontrol dalam BAB/BAK
dan bingung, mengantuk dan nyeri kepala. Sebagian besar kejang berlangsung <5 menit.
Penatalaksanaan kejang
2. PERDARAHAN
Jika terjadi trauma sangat mungkin terjadi perdarahan, maka tindakan mengontrol
perdarahan merupakan prioritas pada pertolongan pertama. Tipe perdarahan dapat kita
kelompokkan sebagai berikut :
Perdarahan yang bertitik-titik dan menyebar merupakan perdarahan kapiler.
Darah yang mengalir berwarna merah gelap merupakan perdarahan vena.
Darah yang memancar atau mengalir deras, berwarna merah segar merupakan
perdarahan arteri.
61
a. Baringkan penderita, perhatikan jika ada darah yang mengalir ke jalan nafas jangan
sampai menyumbat jalan nafas, amankan airway dan breathing terlebih dahulu.
Gambar 1. Posisi Penderita Tidak Sadar untuk Mencegah Obstruksi Jalan Nafas
62
Gambar 2. Cara Pemasangan Balut Tekan
3. SYOK ANAFILAKTIK
Anafilaktik adalah keadaan reaksi alergi yang berat, muncul mendadak, dengan
cepat memburuk dan dapat mematikan. Anafilaktik terjadi setelah tubuh terpapar oleh
suatu zat yang menyebabkan reaksi tubuh mengeluarkan mediator inflamasi seperti
histamine yang menyebabkan gejala alergi. Anafilaktik merupakan suatu respon
hipersensitivitas tipe cepat (tipe I).
Gejala
Gejala dapat sangat berbeda dari tiap orang. Gejala awal mungkin ringan seperti
keluar cairan ingus dari hidung, ruam kulit atau perasaan aneh. Gejala ini dengan cepat
menjadi berat menjadi :
Kesulitan bernafas
Merah gatal atau bengkak
Penyempitan tenggorokan o Serak
Mual
Muntah
Nyeri perut
Diare
Pusing
Penurunan tekanan darah
Peningkatan frekuensi nadi
Henti jantung
Penatalaksanaan
Pemberian adrenalin atau epinefrin adalah terapi yang umum dikerjakan pada
keadaan gawat. Epinefrin dapat menaikan tekanan darah dan memudahkan pernafasan.
Paling baik epinefrin diberikan begitu masalah timbul. Beberapa obat biasanya digunakan
seperti antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obat ini tidak dapat menghentikan terjadinya
anafilaksis, tetapi dapat menghilangkan gejala alergi yang lain seperti gatal dan bengkak.
a. Hubungi unit gawat darurat terdekat.
b. Letakkan penderita dengan posisi kepala lebih rendah.
63
c. Buka pakaian yang ketat, jangan memberikan minum.
d. Bila penderita muntah segera dimiringkan agar tidak terjadi aspirasi.
e. Bila tidak ada nadi dan nafas segera lakukan RJP.
f. Mempertahankan jalan nafas pasien : bebaskan jalan nafas, berikan oksigen,
pernafasan buatan, kateter transtrakeal / krikotirotomi / trakeotomi)
g. Medikamentosa
Epinefrin / Adrenalin adalah obat pilihan untuk pengobatan awal anafilaksi
dengan dosis 0.3 – 0.5 mg ( 0.3 – 0.5 ml larutan 1:1000 ) diberikan IM dan
diulangi sampai 2 kali setiap 20 menit kalau perlu. Pasien dengan gangguan
pernafasan berat / hipotensi dapat diberikan epinefrin secara sublingual ( 0,5 mL
larutan 1:1000 ) atau disuntikkan ke dalam vena jugularis interna atau melalui
pipa endotrakeal (3 - 5 ml larutan 1 :10.000 ). Untuk reaksi berat yang
tidak segera berrespon terhadap terapi awal, diberikan infus epinefrin 0,05 –
0,2 mcg/kg/menit titrasi sampai hemodinamik membaik.
Peningkatan volume intravaskuler
Diberikan 500 - 1000 ml larutan kristaloid atau koloid yang kemudian
jumlah dan kecepatan pemberiannya disesuaikan dengan tekanan darah dan
produksi urin.
Aminophylin digunakan untuk mengatasi bronkospasme pada reaksi anafilaksi
dengan dosis 6 mg/kgBB diberikan IV perlahan-lahan selama 20 menit.
Antihistamin kurang bermanfaat pada tahap akut. Bertujuan untuk mengeblok
histamin lebih lanjut ke organ target sehingga memperpendek reaksi dan
mencegah kekambuhan. Difenhidramin HCl (Delladryl) dengan dosis 25 - 50
mg IV (IM / oral) tiap 6 jam.
Glucocorticoid tidak mempunyai pengaruh yang berarti dalam waktu 6 - 12 jam,
namun dapat mencegah kekambuhan reaksi yang lebih parah. Dosis yang
adekuat adalah hidrokortison 125 mg IV tiap 6 jam.
h. Observasi
Pasien dengan anafilaksi ringan - sedang (gatal atau sesak nafas ringan) agar
diobservasi setidaknya selama 6 jam. Pasien dengan reaksi berat dan cenderung
64
mengalami kekambuhan sebaiknya dilakukan rawat inap (dilakukan pengawasan ketat
bila terdapat sesak nafas yang parah, hipotensi atau gangguan irama jantung)
4. TERSEDAK
Tersedak adalah sumbatan mekanik di jalan napas menuju paru. Tersedak
menyebabkan terganggunya pernapasan yang dapat terjadi sebagian atau total. Bila
sumbatan sebagian, penderita masih dapat bernafas walaupun tidak mencukupi
aliran udara ke paru. Tersedak yang terlalu lama atau obstruksi total akan menyebabkan
asfiksia, hipoksia dan berakibat fatal.
Tersedak secara umum diketahui karena adanya benda asing yang tersangkut pada
jalan nafas. Ini sering dialami oleh anak kecil yang belum mengerti bahaya memasukkan
benda kecil kedalam mulut atau hidung. Pada orang dewasa ini sering terjadi pada saat
penderita makan.
Gejala :
Penderita tidak dapat bicara atau menangis.
Penderita menjadi biru karena kekurangan oxigen.
Penderita memegangi tenggorokannya.
Penderita batuk-batuk lemah, dan nafas sulit menyebabkan suara nafas brisik dengan
nada yang tinggi.
Penderita akhirnya tidak sadar.
Penatalaksaan
Tersedak dapat ditolong dengan beberapa prosedur, yang dapat dilakukan baik
oleh orang awam atau petugas kesehatan. Banyak organisasi menyatakan tekanan pada
abdomen atau "Heimlich Manoeuvre" adalah prosedur yarig tepat untuk keadaan tersedak.
Hampir semua protokol terbaru (termasuk American Heart Association dan
American Red Cross tahun 2006) menambahkan beberapa tahap dari hanya menekan
abdomen saja, dengan tujuan untuk meningkatkan tekanan.
65
Gambar 3. Kiri : Heimlich Maneuver pada Orang Dewasa, Kanan : pada Anak
66
Gambar 5.Heimlich Maneuver Oleh Pasien Sendiri
Menepuk Punggung
Kebanyakan dari protokol sekarang menganjurkan dengan memukul punggung
penderita bagian atas menggunakan tumit tangan secara keras. Berapa kali ini dilakukan
tergantung dari organisasi pelatihan. Tetapi biasanya antara 5 sampai 20 kali pukulan.
Tepukan pada punggung ini dirancang dengan menggunakan pukulan
dibelakang sumbatan, yang akan membantu pasien untuk melepaskan benda asing tersebut.
Pada beberapa kasus getaran mekanik dari gerakan ini bisa menggerakan benda asing
yang menyumbat jalan nafas tersebut sehingga cukup untuk membuka jalan nafas.
Kebanyakan protokol memberikan pukulan punggung sebagai teknik yang pertama
digunakan sebelum teknik penekanan pada abdomen yang dipertimbangkan dapat
mencederai saat penolong melakukan penekanan pada abdomen pada penderita yang
tersedak.
Dorongan Abdomen
Dorongan Abdomen juga dikenal sebagai Heimlich Maneuver. Melakukan
dorongan abdomen melibatkan penolong berdiri dibelakang penderita dengan
menggunakan tangan mereka untuk menekan dasar dari diafragma. Raihlah melingkar
pinggang penderita, letakkan kepalan tangan pertama diatas pusar dan di bawah rongga
iga. Genggam kepalan tangan pertama menggunakan tangan yang lain. Tarik kepalan
tangan tadi ke belakang atas di bawah rongga dada. Ini akan menekan paru dan dapat
mendorong benda yang menyangkut di trakea yang akan membantu penderita
mengeluarkan benda asing. Ini serupa dengan batuk buatan.
67
Karena sifat dari prosedur ini yang memberikan daya dorong yang kuat, walaupun
dilakukan dengan benar ini dapat mencederai penderita. Memar pada abdomen sering
terjadi dan cedera yang lebih berat dapat terjadi seperti termasuk fraktur pada prosesus
xiphoideus atau fraktur pada tulang iga.
Pada kasus dengan penderita yang gemuk atau hamil gunakan tekanan pada dada.
Penolong berdiri di belakang penderita, letakkan ibu jari dari kepalan tangan kiri di depan
sternum. Genggam kepalan tangan kiri dengan tangan kanan. Remaslah dada 4 kali secara
cepat.
Melepas Benda Asing (Hanya Bila Penolong Dapat Melihat Benda Asing Tersebut)
Bila penderita tidak sadar cobalah untuk meraih benda asing di tenggorokan
dengan menggunakan jari. Bila tidak berhasil cobalah dorongan abdomen kembali.
68
Prosedur Transport Pasien :
a. Lakukan pemeriksaan menyeluruh. Terdiri dari pemeriksaan Airway (jalan nafasnya
harus bebas), Breathing ( pasien harus bisa bernafas spontan, dan bila tidak bisa
bernafas spontan dapat dilakukan pernafasan buatan), Circulation ( nadi teraba dan
tensi terukur).
b. Amankan posisi tandu di dalam ambulans. Pastikan selalu bahwa pasien dalam posisi
amam selama perjalanan ke rumah sakit.
c. Posisikan dan amankan pasien. Selama pemindahan ke ambulans, pasien harus
diamankan dengan kuat ke usungan.
d. Pastikan pasien terikat dengan baik dengan tandu. Tali ikat keamanan digunakan
ketika pasien siap untuk dipindahkan ke ambulans, sesuaikan kekencangan tali
pengikat sehingga dapat menahan pasien dengan aman.
e. Persiapkan jika timbul komplikasi pernafasan dan jantung. Jika kondisi pasien
cenderung berkembnag ke arah heti jantung, letakkan spinal board pendek atau papan
RJP di bawah matras sebelum ambulans dijalankan.
f. Melonggarkan pakaian yang ketat.
g. Periksa perbannya.
h. Periksa bidainya.
i. Naikkan keluarga atau teman dekat yang harus menemani pasien.
j. Naikkan barang-barang pribadi.
k. Tenangkan pasien.
69
6. TRANSPORTASI PASIEN KRITIS
Transportasi pasien-pasien kritis ini berisiko tinggi sehingga diperlukan
komunikasi yang baik perencanaan dan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai. Pasien harus
distabilisasi lebih dulu sebelum diberangkatkan. Prinsipnya pasien hanya ditranspotasi
untuk mendapat fasilitas yang lebih baik dan lebih tinggi di tempat tujuan.
70
a. Setelah teridentifikasi adanya kecurigaan cedera spinal, segera lakukan restriksi
gerakan tulang punggung.
b. Lakukan pemasangan neck collar.
c. Lakukan gerakan pemindahan pasien secara log roll, lalu selipkan board dibawahnya.
d. Jika pasien masih menggunakan helm, lakukan pertolongan dengan meminta bantuan
penolong lainnya. Satu penolong melepas helm, penolong lainnya menjaga leher
korban agar tidak bergerak.
71
Mekanisme Cedera (MoI :
Mechanism of Injury) Ya
Tidak
Nyeri spinal Ya
Tidak
Normal
73
Skenario
Seorang wanita 25 th sedang dalam perawatan untuk observasi nyeri perut kanan bawah. Setelah
dilaporkan ke DPJP, pasien mendapatkan terapi Ceftazidim 1 g/8 jam, Ketorolac 30 mg/8 jam, dan
Ranitidin 50 mg/12 jam. Kira-kira 15 menit setelah diinjeksikan obat, pasien mengeluh pusing, lemas,
dan kemudian hilang kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tanda vital tekanan darah 82/35
mmHg, frekuensi nadi 145 kali/menit, lemah, frekuensi nafas 30 kali/menit, dan akral dingin.
Bagaimana Tindakan Anda untuk memberikan pertolongan pertama pada kasus di atas?
Peralatan yang dibutuhkan : suntik, ampul, infus set, probandus bisa manusia atau boneka
74
CEKLIS PENILAIAN KETERAMPILAN
PERTOLONGAN PERTAMA PADA KEJANG
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai 0 1 2
1 Memastikan penderita mengalami kejang
2 Menjaga jalan nafas tetap terbuka
3 Melakukan evaluasi nafas dan melonggarkan pakaian penderita
4 Memberikan suplementasi oksigen
5 Memastikan sirkulasi aman
6 Menempatkan penderita pada posisi aman (mencegah terjadinya
cedera)
7 Memberikan antikonvulsan
JUMLAH SKOR
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa
karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario
yang sedang dilaksanakan).
75
76
CEKLIS PENILAIAN KETERAMPILAN
PERTOLONGAN PERTAMA PADA PERDARAHAN
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai 0 1 2
1 Baringkan penderita (pada pasien tidak sadar posisi mantap
sehingga darah tidak akan masuk jalan nafas)
2 Angkat bagian yang mengalami perdarahan
3 Menyingkirkan pakaian yang menghalangi darah
4 Melindungi luka dengan perban tekan yang bersih
5 Mengatasi syok (bila ada)
6 Melakukan bebat tekan untuk perdarahan arteri
JUMLAH SKOR
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa
karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario
yang sedang dilaksanakan).
77
CEKLIS PENILAIAN KETERAMPILAN
PERTOLONGAN PERTAMA PADA TERSEDAK
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai 0 1 2
1 Memastikan penderita benar tersedak (mengetahui gejala
korban tersedak)
2 Melakukan terpukan pada punggung minimal 5 kali dengan
tumit tangan
3 Melakukan Heimlich maneuver sampai 4 kali dengan cepat
4 Dapat melakukan Heimlich maneuver pada orang hamil
5 Bila terjadi henti nafas dan atau henti jantung, lakukan RJPO
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa
karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario
yang sedang dilaksanakan).
Nilai Mahasiswa =Jumlah Skor x 100%
12
78
CEKLIS PENILAIAN KETERAMPILAN
PERTOLONGAN PERTAMA PADA SYOK ANAFILAKTIK
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai 0 1 2
1 Mengaktifkan sistem gawat darurat
2 Melakukan posisi head down
3 Membuka pakaian yang ketat
4 Mengamankan jalan nafas dan sirkulasi
5 Memberikan suntikan adrenalin 0,3 mg secara IM
6 Melakukan RJP bila penderita mengalami arrest
7 Observasi gejala
JUMLAH SKOR
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa
karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario
yang sedang dilaksanakan).
79
DAFTAR PUSTAKA
Schwartz, Shires & Spencer. 1994. Principles of Surgery, VI edition, Mc Graw Hill Inc. London.
Stead, L.G., Stead, S.M. and Kaufman, M.S, 2006, First Aid for The Emergency Medicine
Clerkship, Mc. Graw Hill Company, New York, USA
Alson RL, Han KH & Campbell JE. 2021. International Trauma Life Support for Emergency Care
Provider Ninth edition. Pearson Education Limited. USA.
80
FORMULIR UMPAN BALIK (FEEDBACK)
KETERAMPILAN ---------------
Nama : .............................................................................
NIM : ..............................................................................
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai 0 1 2 Feedback
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
ASPEK PROFESIONALISME
81