SKRIPSI
Oleh:
Oleh:
NI PUTU SERI DIAN PERMANA DEWI
NIM. 155100100111007
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
NIM : 155100100111007
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar saya bersedia dituntut sesuai hukum
yang berlaku.
Topik penelitian ini adalah sebagai salah satu bagian dari penelitian Dr. Siti Narsito
Wulan, S.TP., M.P yang berjudul “ Efek Fisiologi Kombinasi Polisakarida Larut Air
(PLA) dan Senyawa Fenolik dalam Alga Coklat Sargassum sp. pada Tikus Wistar
yang Diinduksi Stress Oksidatif dengan Konsumsi Berlebih Minyak Goreng Sawit
Pemanasan Berulang”.
v
RIWAYAT HIDUP
vi
Ni Putu Seri Dian Permana Dewi. 155100100111007. Pengaruh Suhu Dan
Frekuensi Pemanasan Berulang Terhadap Kualitas Fisik Dan Kimia Minyak
Kelapa Sawit Komersial. Skripsi. Pembimbing: Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP.,
MSc.
RINGKASAN
Kata kunci: Bilangan Asam, Bilangan Peroksida, Bobot Jenis, Minyak Kelapa Sawit,
Pemanasan Berulang
vii
Ni Putu Seri Dian Permana Dewi. 155100100111007. Effect of Temperature and
Heating Frequency on Physical and Chemical Quality of Commercial Palm
Cooking Oil.Thesis. Supervisor: Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., Msc
SUMMARY
The palm oil often used repeatedly with high temperature in household practices.
This will reduce physico-chemical quality of the cooking oil. More importantly it will be
harmfull to be consumed. Deterioration of cooking oil can be measured by assessment
on physical quality (specific gravity, viscosity and color) and chemical quality (acid
value, peroxide value and TBA value). The purpose of this study were the determine
the effect of frying temperature ( i.e.180°C and 200°C) and the heating frequency on
physico-chemical quality of palm cooking oil.
This study used Factorial Randomized Block Design (RBD) with 2 factors : namely
: Temperature (180°C vs 200°C) and Heating Frequency ( 2, 5, and 8 times).
The results showed that the higher the temperature and the more the heating
frequency increased peroxide value ( 5,06 to 5,43 mek O 2/kg), increased TBA value (
1,86 to 2,11 mg malonaldehid/kg sample), increased specific gravity ( 0,93 to 0,95
g/ml), increased viscosity ( 175,67 to 179,67 cP) and decreased brightness, redness,
and yellowness. Whereas, Acid value was only determined by heating frequency.
Keywords: Acid value, Peroxide value, Specific gravity, Palm oil, Heating Frequency
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat dan
anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan proposal Tugas Akhir yang berjudul
“Pengaruh Suhu Dan Frekuensi Pemanasan Berulang Terhadap Kualitas Fisik Dan
Kimia Minyak Kelapa Sawit Komersial” dengan baik. Penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan baik
secara moral maupun materiil
2. Ibu Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP selaku Dosen Pembimbing yang
senantiasa membimbing dan memberi arahan
3. Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Brawijaya
4. Pande Nyoman Aditya atas semangat, dukungan, dan bantuan yang tiada
henti diberikan
5. Sahabat saya Regita Nurcahyani dan Intan Pradinasari atas semangat dan
bantuan yang tiada henti diberikan
6. Teman-temanku tercinta Melisa Soesilo, Atikah Faadhilah, Antonia Maria K.
Dewi, dan Poppy Sahara Kusuma atas semangat dan bantuan yang tiada henti
diberikan
7. Partner seperjuangan dan seperbimbingan Ngesti Eka, Nilla Ditariah, Afida
Nuzula, Kania, Elisa atas bantuan selama penelitian dan semangat yang
diberikan
8. Puri Dewata Squad yang sudah selalu menghibur saya selama pengerjaan
skripsi
9. Seluruh teman yang membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu
Penulis menyadari proposal tugas akhir ini jauh dari sempurna. Semoga tugas
akhir ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi pembaca.
ix
DAFTAR ISI
x
2.3 Minyak Jelantah .............................................................................................. 26
2.3.1 Akibat Penggunaan Minyak Jelantah ........................................................ 28
2.4 Identifikasi Minyak Jelantah ............................................................................ 29
2.4.1 Bilangan Peroksida .................................................................................... 29
2.4.2 Asam Lemak Bebas (ALB) ........................................................................ 34
2.4.3 Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) ........................................................... 35
2.5 Identifikasi Kualitas Fisik Minyak Goreng Pemanasan Berulang................... 35
2.5.1 Bobot Jenis ................................................................................................ 35
2.5.2 Viskositas ................................................................................................... 36
2.5.3 Warna ......................................................................................................... 36
III METODE PENELITIAN .................................................................................... 37
3.1 Tempat dan Waktu .......................................................................................... 37
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................. 37
3.2.1 Alat Penelitian ............................................................................................ 37
3.2.2 Bahan Penelitian ........................................................................................ 37
3.3 Metode Penelitian ........................................................................................... 38
3.4 Pelaksanaan Penelitian .................................................................................. 39
3.4.1 Pemanasan Minyak Pemberian Frekuensi Pemanasan ........................... 39
3.4.2. Pengamatan .............................................................................................. 40
3.5 Diagam Alir Penelitian..................................................................................... 41
3.7 Analisa Data .................................................................................................... 42
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 43
4.1 Parameter Kualitas Awal Minyak Kelapa Sawit ............................................. 43
4.2 Parameter Kualitas Kimia Minyak Kelapa Sawit Akibat Pemanasan ............ 45
4.2.1 Bilangan Asam ........................................................................................... 45
4.2.2 Bilangan Peroksida .................................................................................... 48
4.2.3 Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) ........................................................... 50
4.3 Parameter Kualitas Fisik Minyak Kelapa Sawit Akibat Pemanasan .............. 53
4.3.1 Bobot Jenis ................................................................................................ 54
4.3.2 Viskositas ................................................................................................... 56
4.3.3 Warna ......................................................................................................... 59
4.4 Rekomendasi Pemanasan Minyak Goreng Kelapa Sawit ............................. 66
xi
V PENUTUP .......................................................................................................... 69
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 69
5.2 Saran ............................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 70
Lampiran .............................................................................................................. 82
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
xvi
I PENDAHULUAN
1
menyebabkan nilai gizinya (vitamin dan asam lemak essensial) sangat rendah akibat
oksidasi minyak pada suhu tinggi, sehingga tidak baik dikonsumsi (Rustika, 2012).
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sartika (2009), yang
menghubungkan pengaruh suhu dan lama proses menggoreng (deep frying) terhadap
pembentukan asam lemak trans dengan cara memanaskan minyak goreng sawit
dengan frekuensi sebanyak 1, 2, 3, dan 4 kali dengan suhu 200°C. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa proses menggoreng dengan menggunakan suhu tinggi dan
waktu yang lama (deep frying) adanya hubungan terbalik antara kadar asam lemak
elaidat (trans) dan asam oleat (cis). Pembentukan asam lemak trans terjadi setelah
proses penggorengan minyak pada pengulangan kedua. Menurut Aminah (2010),
yang terkait bilangan peroksida minyak goreng curah kelapa sawit dan sifat
organoleptik tempe pada pengulangan penggorengan yang menggunakan suhu 160-
180°C dengan frekuensi pemanasan sebanyak 1, 5, 10, 15, hingga 20 kali
menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan dilakukan maksimum 5 kali, karena
pengulangan penggorengan berpengaruh nyata terhadap bilangan peroksida dan
mempengaruhi kualitas dan karakteristik dari tempe yang dilakukan penggorengan
dengan menggunakan minyak goreng curah.
Berdasarkan permasalahan pada penelitian tersebut peneliti melakukan uji
untuk mengetahui pengaruh antara suhu pemanasan dan frekuensi pemanasan
terhadap sifat fisik dan kimia minyak kelapa sawit komersial. Penelitian ini
menggunakan frekuensi dengan kelipatan tiga yang dimulai dari 2, yaitu pemanasan
dengan frekuensi 2, 5, 8 kali dan penggunaan suhu 180°C dan 200°C yang ditentukan
berdasarkan hasil dari penelitian Sartika (2009), yang menunjukkan pemanasan lebih
dari 2 kali dan adanya penggunaan suhu yang memiliki pengaruh signifikan, sehingga
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah sifat fisik dan kimia dari minyak
kelapa sawit memiliki pengaruh yang berbeda dari penelitian sebelumnya.
2
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh suhu 180°C dan 200C terhadap kualitas fisik dan
kimia minyak goreng sawit?
2. Bagaimana pengaruh frekuensi pemanasan terhadap kualitas fisik dan
kimia minyak goreng sawit?
3. Bagimana pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan terhadap kualitas fisik
dan kimia minyak goreng sawit?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh suhu 180°C dan 200C terhadap kualitas fisik dan
kimia minyak goreng sawit.
2. Mengetahui pengaruh frekuensi pemanasan terhadap kualitas fisik dan
kimia minyak goreng sawit.
3. Mengetahui pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan terhadap kualitas
fisik dan kimia minyak goreng sawit
1.4. Manfaat Penelitian
1.5. Hipotesa
3
II TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Pada kenyataannya, tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya,
seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Tanaman kelapa sawit
memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu
menciptakan kesempatan kerja dan mengarah kepada kesejahteraan masyarakat,
kelapa sawit merupakan sumber devisa negara dan Indonesia merupakan salah satu
produsen utama minyak kelapa sawit (Fauzi et al., 2008). Menurut Pahan (2008)
klasifikasi buah kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Palmales
Famili : Palmae
Sub Famili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis gueneensis Jacq
4
Kelapa sawit dapat dimanfaatkan di berbagai industri karena memiliki susunan
dan kandungan gizi yang cukup lengkap. Salah satu bagian kelapa sawit yang dapat
digunakan pada industri pangan dan memiliki ekonomis yang tinggi adalah pada
bagian buah kelapa sawit. Pada buah kelapa sawit mengandung kandungan minyak
yang tinggi sehingga dapat diolah menjadi minyak kelapa sawit (Pahan, 2008).
Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan
yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk
menggoreng bahan makanan. Minyak merupakan golongan lipida sederhana yang
berwujud cair pada suhu kamar (25 0C). Minyak adalah trigliserida (TG), yaitu hasil
kondensasi satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang membentuk
satu molekul TG dan tiga molekul air. TG alam mengandung lebih dari satu jenis asam
lemak (Angelina, 2012). Reaksi Hidrolisis Trigliserida dapat digambarkan sebagai
berikut:
Minyak dan lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingan
dengan karbohidrat dan protein. Minyak mengandung asam-asam lemak esensial
seperti asam linoleat, linolenat, dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan
pembuluh plasma akibat penumpukan kolesterol. Minyak atau lemak juga berfungsi
sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin A, D, E, dan K (Ketaren, 2008).
Minyak bisa didapatkan dari tanaman ataupun bersumber dari hewan. Jenis
minyak yang umumnya dipakai untuk menggoreng adalah minyak nabati seperti
5
minyak sawit, minyak kacang tanah, minyak wijen, dan sebagainya. Minyak kelapa
sawit adalah salah satu bahan utama yang digunakan masyarakat Indonesia sebagai
minyak goreng baik skala rumah tangga maupun industri. Pada penelitian minyak
kelapa sawit dikarenakan mengandung vitamin E, tokoferol, dan tokotrienol yang
berperan sebagai antioksidan, yaitu suatu zat yang dapat mencegah terjadinya
oksidasi. Disamping itu minyak kelapa sawit lebih mudah dijumpai dipasaran dan lebih
ekonomis (Budijanto, 2010).
Minyak goreng yang berada di pasaran harus memenuhi standar nasional
Indonesia (SNI), yang dapat dikategorikan dari segi fisik dan kimia minyak goreng.
Jenis minyak goreng yang sering dijumpai adalah minyak goreng kelapa sawit.
Komponen serta reaksi yang menyertai dijelaskan oleh sub bab dibawah ini:
6
Tabel 2.1. Syarat Mutu Minyak untuk Penggorengan
Kriteria Uji Satuan Syarat
Keadaan bau, warna, dan - Normal
rasa
Kadar Air dan Bahan %b/b Maks 0.15
Menguap
Asam Lemak Bebas %b/b Maks 2
(dihitung sebagai asam
laurat)
Bahan Makanan Sesuai SNI.022-M dan Permenkes N0.
Tambahan 722/Menkes/Per/IX/88
Cemaran Logam:
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks 0.2
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0.05
- Timbal (Pb) mg/kg Maks 0.1
- Timah (Sn) mg/kg Maks (40.0/250.0)*
Arsen (As) %b/b Maks 0.1
Angka Peroksida %mg 0.2/g Maks 1
Sumber : Departemen Perindustrian SNI-01-3741-2013
*
) Dalam Kemasan Kaleng
Parameter kualitas minyak meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik minyak
meliputi warna, bau, kelarutan, titik cair, dan polymorphism, titik didih, titik pelunakan,
slipping point, shot melting point, bobot jenis, viskositas, indeks bias, titik kekeruhan
(turbidity point), titik asap, titik nyala dan titik api. Standar mutu merupakan hal yang
penting untuk menentukan minyak yang bermutu baik. Sifat fisik meliputi odor dan
flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena pembentukan
asam-asam yang berantai sangat pendek. Pada kelarutannya, minyak tidak larut
dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil
eter, karbon disulfida, dan pelarut-pelarut halogen (Sutiah, dkk.,2008). Selain warna,
sifat fisik minyak dapat dilihat dari titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair
dengan tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan
dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal. Titik didih (boiling point), titik didih akan
semakin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak
tersebut. Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak tersebut.
Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran
7
komponen-komponennya. Shot melting point, yaitu temperatur pada saat terjadi
tetesan pertama dari minyak atau lemak. Bobot jenis, biasanya ditentukan pada
temperatur 25°C, dan juga perlu dilakukan pengukuran pada temperatur 40°C. Titik
asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak dipanaskan. Merupakan
kriteria mutu yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang akan digunakan
untuk menggoreng. Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara
mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak.
Sifat-sifat kimia minyak terdiri dari atas reaksi hidrolisis, reaksi oksidasi, reaksi
hidrogenasi, reaksi esterfikasi, dan reaksi transesterifikasi. Berikut merupakan sifat-
sifat kimia minyak:
1. Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas
dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau
lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut.
2. Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen
dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada
minyak dan lemak.
3. Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan ikatan rangkap
dari rantai karbon asam lemak pada minyak
4. Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari
trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini
hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak
enak, dapat ditukar dengan rantai panjang yang bersifat tidak menguap.
Minyak kelapa sawit merupakan minyak yang diesktrak dari mesocarp matang
berwarna orange kemerahan dari buah pohon kelapa sawit (elaeis guineensis) dan
biasanya mengandung minyak sebanyak 45 hingga 55% (Tan and Nehdi, 2012). Buah
kelapa sawit yang diekstrak menghasilkan dua jenis minyak yakni crude palm oil
(CPO) dari bagian mesocarp dan palm kernel oil (PKO) dari biji (Gourichon, 2013).
Secara komersial, fraksinasi CPO dilakukan pada skala besar menghasilkan dua jenis
fraksi yakni fraksi cair dengan titik leleh rendah yakni palm olein (65-75%) dan fraksi
padatan dengan titik leleh tinggi yakni palm stearin (30-35%) (Mba et al., 2015). Palm
olein digunakan sebagai minyak untuk menggoreng dan memasak (Barriuso et al.,
8
2013) sementara palm stearin digunakan pada aplikasi makanan yang membutuhkan
kandungan lemak padat yang lebih tinggi seperti shortening dan margarin (Kellens et
al., 2007). Sementara itu, biji buah kelapa sawit untuk pembuatan PKO merupakan
hasil sampingan dari proses pengolahan minyak kelapa sawit dan represents kira-kira
2-4% dari berat tandan buah kelapa sawit yang dipanen (Gascon et al., 1989).
Proses pengolahan CPO (crude palm oil) kelapa sawit menjadi minyak goreng
dilakukan proses refining (pemurnian), dan fractionation (fraksionasi). Proses
pemurnian terdiri dari proses degumming, proses netralisasi, proses bleaching, dan
proses deodorisasi. Minyak yang diperoleh dari proses refining terdiri dari olein
(minyak goreng) dan stearin, dalam proses fraksionasi stearin dipisahkan dari olein
(Gascoen et al., 1989). Alur proses pengolah minyak dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Proses Degumming
Pada proses degumming yang dilakukan pada minyak kelapa sawit CPO (crude
palm oil) bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang terlarut atau zat-zat yang
bersifat fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin serta partikel halus
tersuspensi dalam CPO (crude palm oil). Proses degumming yang paling banyak
digunakan selama ini adalah proses degumming dengan menggunakan asam fosfat.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh asam fosfat tersebut adalah menggumpalkan dan
mengendapkan zat-zat seperti protein, fosfatida, gum, dan resin yang terdapat dalam
minyak mentah.
Proses minyak kelapa sawit mentah CPO yang pertama masuk dipanaskan
pada suhu sekitar 90°C-110°C sebelum ditambahkan asam fosfat. Pada dosis asam
fosfat biasanya digunakan kisaran 0,05-0,1% minyak berat dengan konsentrasi asam
sekitar 80-85% dari kapasitas pengolahan. Hal ini dimaksudkan untuk menguraikan
fosfatida non-hydratable serta mengentalkan fosfatida sehingga mempermudah pada
proses degumming dan pemutihan. Minyak yang diperoleh akan dilakukan
karakterisasi yang meliputi bilangan asam, kadar fosfor, dan beta karoten.
2. Proses Netralisasi
9
minyak mentah. Proses netralisasi yang paling sering digunakan dalam industri kimia
adalah proses netralisasi dengan soda kostik, dengan prinsip reaksi penyabunan
antara asam lemak bebas dengan larutan soda kostik, yang reaksi penyabunannya
sebagai berikut:
R-COOH-NaOH+H2O RCOONa
Kondisi reaksi yang optimum pada tekanan atmosfir adalah pada suhu 70°C,
dimana reaksinya merupakan reaksi kesetimbangan yang akan bergeser ke sebelah
kanan. Soda kostik yang direaksikan biasanya berlebihan, sekitar 5% dari kebutuhan
stoikiometris. Sabun yang terbentuk dipisahkan dengan cara pengendapan, soda
kostik disamping berfungsi sebagai penetralisir asam lemak bebas, juga memiliki sifat
penghilang warna (decolorization).
3. Proses Bleaching
Proses bleaching (pemucatan) bertujuan untuk mengurangi atau
menghilangkan zat-zat warna (pigmen) dalam minyak sawit mentah. Warna minyak
sawit mentah CPO (crude palm oil) dapat berasal dari warna bawaan minyak ataupun
warna yang timbul pada proses pengolahan TBS (Tandan Buah Segar) menjadi
minyak mentah CPO (crude palm oil). Pigmen yang terdapat dalam minyak mentah
adalah karotenoid yang berwarna merah atau kuning. Proses bleaching dengan
absorbsi. Proses ini menggunakan penyerapan (absorben) yang memiliki aktifitas
permukaan yang tinggi untuk menyerap zat warna yang terdapat dalam minyak
mentah.
Proses bleaching biasanya dilakukan dengan cara minyak sawit mentah CPO
(crude palm oil) di masukan kedalam bejana silinder dengan cara di vacuum dan
dipanaskan dengan uap sampai 90°C, dengan demikian terjadi kelembaban dari
minyak sawit mentah CPO (crude palm oil) sehingga menguap dan minyak menjadi
kering. Minyak kering yang telah diproses kemudian disaring melalui piring standar
untuk pemisahan hasil akhir pada proses bleaching.
4. Proses Deodorisasi
10
karbohidrat tak jenuh, asam lemak bebas dengan berat molekul rendah, senyawa-
senyawa aldehid dan keton serta senyawa-senyawa yang mempunyai volatilitas
tinggi. Proses deodorisasi yang banyak dilakukan adalah cara distilasi uap yang
didasarkan pada perbedaann volatilitas gliserida dengan senyawa-senyawa yang
menimbulkan rasa dan bau, dimana senyawa-senyawa tersebut lebih mudah
menguap dari pada gliserida.
Komponen yang bermanfaat pada minyak kelapa sawit antara lain triacylgliserol
(TAG) (lemak netral), vitamin E (tokoferol dan tokotrienol), karotenoid dan fitosterol.
CPO menjadi sumber alami yang kaya akan karotenoid yakni sebesar 500-700 ppm
(Ng et al., 2012). Karoten berkontribusi pada warna orange kemerahan pada CPO
dan bertindak sebagai antioksidan (Gunstone, 2011). Karoten akan melindungi
minyak dari oksidasi dengan cara mengoksidasi dirinya sendiri sebelum oksidasi
menyerang triacylgliserol. Selain itu, CPO juga mengandung tokoferol dan tokotrienol
sebesar 600-1000 ppm dimana keduanya merupakan antioksidan yang bertindak
sebagai penangkap radikal bebas yang berkontribusi pada stabilitas dari minyak
kelapa sawit (Ng et al., 2004). Komponen pengotornya antara lain asam lemak bebas,
fosfolipid atau gum dan produk oksidasi lemak dimana zat pengotor ini dihilangkan
selama proses pemurnian (Sambanthamurthi et al., 2000).
Meskipun CPO memiliki kualitas yang baik, industri makanan membutuhkan
minyak kelapa sawit dengan warna yang jernih dan terang sehingga diperlukan proses
pemurnian. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan metode kimia (perlakuan
asam atau basa) (Dunford, 2012) atau metode fisika (steam refining, inert gas
stripping, molecular distillation, membrane refining, dll) (Dunford, 2012; Gunstone,
2011). Minyak kelapa sawit dengan jumlah asam lemak bebas rendah, kandungan zat
pengotor rendah, dan bleaching yang bagus dianggap sebagai minyak berkualitas
tinggi dan digunakan pada industri minyak nabati, dan kebalikannya, minyak
berkualitas rendah digunakan pada industri selain pangan seperti biofuel, lilin, dan
produksi sabun (Henson, 2012). Minyak kelapa sawit kualitas tinggi akan terdiri dari
95% triacylgliserol (TAG atau trigliserida) dan kurang dari 0,5% asam lemak bebas
(Dunford, 2012; Gunstone, 2011).
Perbandingan minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit dapat dilihat
berdasarkan kandungan asam lemaknya. Minyak kelapa mengandung asam lemak
laurat. Asam Laurat ini didalam tubuh akan di dalam tubuh akan diubah menjadi
11
monolarium yang memiliki anti-virus, anti-bakteri, dan anti-protozoa, dimana zat ini
tidak ditemukan pada minyak kelapa sawit. Minyak kelapa juga merupakan sumber
terkaya asam lemak rantai sedang (MCT). Sedangkan minyak kelapa sawit adalah
satu-satunya minyak nabati dengan komposisi asam lemak yang hampir berimbang
yakni 50% asam lemak jenuh, 40% asam lemak tak jenuh rantai tunggal dan 10%
asam lemak tak jenuh rantai ganda (Tan and Nehdi, 2012). Keunggulan minyak kelapa
sawit jika dibandingkan dengan minyak kelapa adalah minyak kelapa sawit
mengadung senyawa aktif seperti karotenoid (precursor vitamin A), tokoferol dan
tokotrienol (vitamin E) dan asam lemak esensial (oleat, linoleat, dan linolenat) yang
berperan penting sebagai antioksidan dan mencegah beberapa penyakit generatif
pada manusia. Perbedaan utama antara minyak kelapa sawit dengan minyak lainnya
adalah proporsi asam palmitat yang tinggi yakni 45% (O’Brien, 2010). Asam lemak
utama lainnya adalah asam oleat, asam linoleat dan asam stearat. Beberapa sifat
fisika-kimia dari minyak sawit dan minyak inti sawit dapat dilihat dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Nilai Sifat Fisika-Kimia Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit
Sifat Minyak Sawit Minyak Inti Sawit
Bobot Jenis 0,900 0,900-0,903
0
Indeks bias pada 40 C 1,4565-1,4585 1,495-1,415
Bilangan Iod 46-48 14-20
Bilangan Penyabunan 196-206 244-254
Sumber : Ketaren (2005)
Minyak kelapa sawit merupakan lemak semi padat yang komposisi tetap.
Komposisi asam lemak dari minyak kelapa sawit dapat dilihat dalam Tabel 2.3.
12
Tabel 2.3. Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit
Asam Lemak Persentase (%)
Asam Lemak Jenuh
Laurat (C12:0) 0,30
Miristat (C14:0) 1,10
Palmitat (C16:0) 45,20
Stearat (C18:0) 4,70
Arachidat (C20:0) 0,20
Asam Lemak Tak Jenuh
Oleat (Cis C18:1ω:9) 38,80
Linolenat (C18:3ω:3) 0,30
Sumber: O’Brien (2010)
Selain komposisi yang terkandung dalam minyak kelapa sawit. Hal yang harus
diperhatikan sebagai produsen sekaligus konsumen minyak kelapa sawit adalah
syarat mutu kandungan minyak kelapa sawit, Berikut merupakan syarat mutu minyak
kelapa sawit menurut SNI 3741-2013 yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
13
2.2.4. Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit
Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas
trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak
menurut reaksi sebagai berikut :
Bila R, = R2=R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama maka trigliserida
ini disebut trigliserida sederhana, dan apabila salah satu atau lebih asam lemak
penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran.
Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon, dimana setiap atom karbonnya
mengikat satu atau dua atom hydrogen kecuali atom karbon terminal lainnya mengikat
gugus karboksil. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan
rangkap disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap
pada rantai hidrokarbonnya disebut dengan asam lemak jenuh dapat digambarkan
sebagai berikut :
14
Makin jenuh molekul asam lemak dalam molekul trigliserida, makin tinggi titik
beku atau titik cair minyak tersebut. Trigliserida yang terdapat dalam jumlah yang
besar sedangkan komponen minor terdapat dalam jumlah yang relatif kecil, namun
keduanya memegang peranan dalam menentukan kualitas minyak sawit. Trigliserida
merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat
berfase padat atau cair pada suhu ruang tergantung pada komposisi asam lemak
penyusunnya. Berikut merupakan Tabel 2.5 dari komposisi trigliserida yang
terkandung dalam minyak kelapa sawit:
Selain senyawa trigliserida yang terkandung dalam minyak sawit terdapat juga
senyawa non-trigliserida pada minyak kelapa sawit.
Pada minyak kelapa sawit terkandung senyawa non trigliserida dalam jumlah
kecil. Adapun senyawa non trigliserida pada minyak kelapa sawit adalah: digliserida,
fosfatida, karbohidrat, turunan karbohidrat, protein, beberapa bahan-bahan berlendir
atau getah (gum) serta zat-zat berwarna yang memberikan warna serta rasa dan bau
yang tidak diinginkan. Menurut Ketaren (2008), kandungan komponen minor atau non
trigliserida dari minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 2.6. Berikut merupakan tabel
kandungan minor minyak kelapa sawit:
15
Tabel 2.6. Kandungan Komponen Minor Minyak Kelapa Sawit
No Komponen Kadar (ppm)
1. Karotenoida 500-700
2. Tokoferol 400-600
3. Tokoferol dan tocotrienol -
4. Sterol Mendekati 300
5. Phospatida 500
6. Besi (Fe) -
7. Tembaga (Cu) 10
8. Tembaga (Cu) 0,5
9. Air 0,07-0,18
10. Kotoran-kotoran 0,01
11. Triterpen Alkohol -
12. Squalen -
13. Alkohol alifatik -
14. Hidrokarbon alifatik -
Sumber : Ketaren (2008)
16
merupakan sumber makanan bagi pertumbuhan jamur lipolitik yang dapat
mengakibatkan terjadinya hidrolisis.
Air merupakan bahan perangsang tumbuhnya mikroorganisme lipolitik, karena
itu di dalam perdagangan, kadar air menentukan kualitas minyak. Jika kandungan air
dalam minyak tinggi, maka dapat menaikkan kandungan asam lemak bebas selama
penyimpanan. Akan tetapi minyak yang terlalu kering menyebabkan mudah
teroksidasi, sehingga nilai optimum kadar air dan bahan juga harus diuji (Ketaren,
2008).
17
yang besar karena jumlah minyak yang dibutuhkan banyak. Suhu yang digunakan
sekitar 200-205°C.
3. Vacuum Frying yaitu metode penggorengan yang dilakukan dengan menurunkan
tekanan udara pada alat penggoreng. Metode ini biasa digunakan untuk buah-
buahan dan sayuran seperti keripik nangka, keripik apel. Metode ini akan
menghasilkan produk yang lebih baik seperti produk yang lebih renyah dan tahan
lama.
Selama penggorengan terjadi perubahan pada minyak diantaranya perubahan
warna, aroma, viskositas, dan degadasi lemak. Semakin tinggi suhu penggorengan
maka terjadi degadasi minyak dan oksidasi minyak yang mengakibatkan bau tengik
pada minyak. Semakin tidak jenuh minyak maka tingkat oksidasi menjadi semakin
tinggi. Hal ini karena pada minyak yang tidak jenuh terdapat ikatan rangkap.
Sedangkan pada bahan akan terjadi perpindahan panas dan pelepasan uap air.
Perubahan bahan pangan akibat penggorengan antara lain pembentukan crust,
perubahan cita rasa, aroma, tekstur, warna, penurunan kadar air, kerusakan vitamin,
gelatinisasi pati, dan denaturasi protein. Selama penggorengan akan
mengubah bahan pangan menjadi renyah. Selama proses penggorengan akan
terjadi penguapan air dalam bahan pangan. Penguapan air terjadi karena minyak
dipanaskan dengan suhu diatas titik didih air. Sebagian minyak akan terserap dan
mengisi ruang kosong dalam bahan pangan yang semua diisi oleh air (Taufik dan
Seftiono, 2017). Disaat proses penggorengan jika terjadi perubahan bau dan rasa
maka hal tersebut disebabkan karena terjadinya dekomposisi dari minyak goreng.
Dekomposisi minyak goreng dapat disebabkan karena terbentuknya asap pada saat
penggorengan. Untuk menghindari hal tersebut, maka minyak yang digunakan untuk
menggoreng biasanya tidak boleh berbentuk emulsi dan harus mempunyai titik asap
diatas suhu penggorengan.
Didalam proses penggorengan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi,
faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Jenis bahan pangan yang digunakan, ada beberapa jenis bahan pangan yang
mudah rusak akibat panas maka harus dilakukan penggorengan dalam waktu
yang singkat seperti misalnya kerupuk atau telur dengan konduktivitas tinggi
maka waktu penggorengan perlu dikurangi.
18
2. Kondisi minyak, minyak yang digunakan sudah dipanaskan terlebih dahulu atau
belum.
Suhu dan waktu penggorengan, bila terlalu tinggi suhu penggorengan dapat
mendukung terjadinya oksidasi dan hidrolisis. Semakin tinggi suhu penggorengan
maka semakin cepat penggorengan bahan pangan. Jumlah minyak yang terserap
dalam bahan pangan dipengaruhi oleh lama waktu dan suhu penggorengan. Semakin
lama waktu penggorengan maka minyak yang terserap semakin tinggi, semakin tinggi
suhu penggorengan maka bahan pangan lebih cepat matang. Semakin lama
penggorengan dan waktu maka penguapan air semakin tinggi sehingga minyak yang
terserap semakin tinggi dan mengisi ruang kosong pada bahan pangan. Minyak yang
terserap dalam bahan pangan akan melunakkan dan membasahi bahan pangan yang
digoreng sehingga bahan menjadi renyah.
19
Gambar 2.5 Struktur bahan pangan
Sumber : Ketaren (2005)
Kerusakan utama minyak adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan
kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan iodium,
angka peroksida, TBA, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya
busa dan adanya kotoran dari bumbu yang digunakan dan dari bahan yang digoreng.
Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi.
Penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap
atau berbusa dan meningkatkan warna coklat atau flavor yang tidak disukai pada
bahan makanan yang digoreng (Wijana dan Nur, 2005).
Proses pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan
mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam minyak,
seperti asam oleat dan asam linoleat. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat
diamati dari perubahan warna, kekentalan, peningkatan kandungan asam lemak
bebas, kenaikan bilangan peroksida, dan kenaikan kandungan urea adduct forming
esters. Selain itu, dapat pula dilihat terjadinya penurunan bilangan iod dan penurunan
kandungan asam lemak tak jenuh (Febriansyah, 2007).
Ketengikan (rancidity) merupakan kerusakan atau perubahan bau dan flavor
dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Kemungkinan kerusakan atau ketengikan
dalam lemak, dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu: absorpsi bau oleh lemak, aksi oleh
enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aksi mikroba dan oksidasi oleh
oksigen udara. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan
perlakuan yang diberikan sehingga mengakibatkan timbulnya perubahan-perubahan
kimia, contohnya dalam perlakuan pemberian panas (Ketaren, 2008).
Proses penggorengan yang menggunakan panas menghasilkan komponen
flavor. Perubahan sifat fisikokimia akibat pemanasan ini mengakibatkan terjadinya
20
kerusakan pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya. Lebih jauh lagi
penurunan kualitas minyak ini berhubungan dengan masalah keamanan produk
goreng yang dihasilkan (Bluemthal, 1996). Disamping pengaruh pemanasan dengan
suhu tinggi, frekuensi pemanasan yang berulang juga mempengaruhi kualitas minyak
yang dihasilkan yang dapat dilihat dalam Tabel 2.7.
Pada masyarakat terutama pada kalangan ibu rumah tangga minyak kelapa
sawit yang dipakai berulang untuk menggoreng dapat menghasilkan radikal bebas
yang berbahaya bagi kesehatan (Leong et al., 2008). Praktik tersebut dilakukan untuk
memotong biaya memasak tanpa memperhatikan efeknya pada kesehatan.
Peningkatan konsumsi minyak tidak dianggap baik untuk kesehatan. Makanan yang
digoreng dengan minyak yang sudah diberi perlakuan pemanasan berulang umumnya
dianggap aman namun jika dilihat dari segi kualitas fisik maupun kimia akan menjadi
racun jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang (Tony et al., 2007).
Pemanasan berulang minyak mempercepat degradasi oksidatif lipid,
membentuk spesies oksigen reaktif yang berbahaya dan mengurangi kandungan
antioksidan alami dari minyak goreng. Konsumsi makanan jangka panjang yang
menggunakan minyak hasil pemanasan berulang sangat membahayakan sistem
kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan penyakit hipertensi, diabetes dan
peradangan pembuluh darah. Oksidasi lipid menyebabkan risiko tinggi penyakit
jantung koroner (Goswami et al., 2015). Pemanasan berulang pada minyak goreng
menginisiasi beberapa reaksi kimia, mengubah konstituen lemak dari minyak goreng
melalui oksidasi, hidrolisis, polimerasi, dan isomerasi yang akan mengarah ke
peroksidasi lemak dan berujung pada stres oksidatif (Choe and Min, 2007).
Ketika minyak goreng yang sama digunakan kembali secara berlebih, reaksi
kimia akan menghasilkan komponen volatile dan non-volatile yang dapat
meningkatkan viskositas, warna minyak menjadi lebih gelap, meningkatkan foaming
dan off-flavor (Kalogeropoulus et al., 2007).
21
Tabel 2.7. Pengaruh Suhu dan Pemanasan Berulang Terhadap Kualitas Minyak
Referensi Jenis Minyak Suhu Frekuensi Pemanasan Tingkat Kerusakan
Pemanasan
Nita Dwi Minyak Goreng 2000C Menggunakan 21 perlakuan Terdapat hubungan yang signifikan pada antara
Oktaviani Curah yang kemudian dibagi menjadi lama pemanasan dengan kerusakan minyak.
(2009) 7 kelompok. Dimana masing- Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini r=0,908
masing kelompok diberi mendekati 1 yang artinya adanya hubungan kuat
perlakuan durasi waktu yang antara lama pemanasan terhadap kenaikan
berbeda yaitu: kontrol, 15 bilangan peroksida
menit, 20 menit, 25 menit
0
Ratu Ayu Dewi Minyak Kelapa 200 C 1,2,3,4 kali pemanasan Hasil analisa menunjukkan proses menggoreng
Sartika (2009) Sawit dengan cara deep frying (suhu tinggi dan waktu
yang lama) terlihat adanya hubungan terbalik
kadar asam lemak elaidat (trans) dan asam oleat
(cis). Dimana dalam penelitian ini kadar asam
lemak elaidat dan trans (p<0,05).
Andi Reski Minyak Goreng 1800C 5 kali pemanasan Hasil analisa asam lemak bebas terhadap
Ariyani Kelapa Sawit selama 10 kombinasi minyak dari makanan gorengan dan
Paramitha menit durasi penggorengan menunjukkan kadar asam
(2012) lemak bebas semakin meningkat. Persentase
tertinggi yaitu 0,29%. Sedangkan hasil analisa
angka TBA menunjukkan angka TBA pada
minyak semakin meningkat berdasarkan
penggorengan yang berulang
Yusof Kamisah Minyak Kelapa 180°C 1,2,3,4,5 pemanasan Makanan dengan kadar minyak yang tinggi dan
et al Sawit dan selama 10 diberi perlakuan frekuensi pemanasan yang
Minyak Kedelai menit berulang dapat meningkatkan peroksida hingga
mencapai 14,26 mek O2/Kg
22
2.2.8.2. Kadar Asam Lemak Bebas
23
(2004), kerusakan minyak goreng dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: penyerapan bau,
hidrolisis dan oksidasi serta ketengikan.
a. Penyerapan Bau
Lemak memiliki sifat mudah menyerap bau, Apabila bahan pembungkus mudah
menyerap lemak, maka lemak yag terserap akan teroksidasi oleh udara sehingga
rusak dan berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak akan diserap oleh minyak
keseluruhan sehingga mengakibatkan seluruh lemak menjadi rusak.
b. Hidrolisis
Dengan adanya air, dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak yang
dapat dilihat pada Gambar 2.2, Reaksi ini dipercepat oleh asam basa, dan enzim.
Dalam teknologi makanan, hidrolisis oleh enzim lipase sangat penting karena enzim
tersebut terdapat pada semua jaringan yang mengandung minyak. Dengan adanya
lipase, lemak akan diuraikan sehingga kadar asam lemak bebas lebih dari 10%.
Hidrolisis sangat mudah terjadi dalam lemak dengan asam lemak rendah (lebih kecil
dari C14) seperti pada mentega, minyak kelapa sawit, dan minyak kelapa. Hidrolisis
sangat menurunkan mutu minyak goreng. Minyak yang terhidrolisis, smoke point-nya
menurun, bahan-bahan menjadi coklat dan lebih banyak menyerap minyak.
Kerusakan minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh autooksidasi radikal asam lemak
tidak jenuh dalam lemak. Angka TBA menjadi parameter yang menggambarkan tahap
oksidasi sekunder yang menyebabkan ketengikan (Guillén-Sans and Guzmán-
Chozas, 1998). Jumlah aldehid yang tinggi dan komponen karbonil lain sebagai hasil
dari oksidasi sekunder akan menghasilkan dialdehid dengan 3 atom karbon yakni
malonaldehyde MDA (Patton, 1974).
Selama tahap sekunder dari autooksidasi, aldehid lain (alkanals, 2-alkenals,
dienals) akan terbentuk dan bereaksi dengan TBA dan bertanggung jawab dalam
terbentuknya off flavor (Frankel, 1982). Komponen lain seperti keton, ketosteroid,
asam, ester, gula, imida dan amida, asam amino, protein teroksidasi, piridin, pirimidin
dan vitamin juga dapat bereaksi dengan TBA; komponen tersebut disebut sebagai
TBARS (2-thiobarbituric acid reactive substances) (Guillén-Sans and Guzmán-
24
Chozas, 1998). TBARS tersebut terbentuk terutama pada daging dan turunannya
(Hama et al., 1990).
2-Thiobarbituric acid (TBA) adalah komponen yang digunakan pada analisa ini
karena reaktivitasnya dengan senyawa karbonil (aldehid dan keton), asam, ester,
amida, gula dan pirimidin. kereaktifan TBA dengan gugus C=O meningkat sebagai
konsekuensi dari labilitas gugus metilen pada posisi C5 pada molekul. Produk yang
dihasilkan menunjukkan ikatan polar rangkap dan dianggap sebagai asam organik
Lewis. TBA dianggap sebagai reagen untuk aldehid karena fungsi utamanya dalam
pengenalan dari level autooksidasi lemak atau ketengikan lemak khususnya pada
lemak yang mengandung PUFA tinggi (Cheng et al., 2014). Warna merah akan
terbentuk akibat reaksi antara reagen TBA dengan MDA dengan absopsi maksimum
pada panjang gelombang 530-532 nm (Tarladgis et al., 1964). Reaksi pembentukan
MDA dapat dilihat pada Gambar 2.6.
25
kanker atau penyakit jantung. Minyak tengik dapat menghasilkan bahan kimia dan zat
perusak yang berefek buruk apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Bahan kimia
seperti peroksida dan aldehid dapat merusak sel dan berkontribusi terhadap
aterosklerosis. Radikal bebas yang diproduksi oleh minyak tengik juga dapat merusak
DNA dalam sel dan dapat menyebabkan kerusakan pada arteri dan juga bertindak
sebagai karsinogen, zat yang dapat menyebabkan kanker. Jika ketengikan oksidatif
hadir dalam jumlah yang tinggi, potensi bahaya kesehatan mungkin ada.
Malonaldehid tingkat tinggi ditemukan dalam makanan. Mengonsumsi minyak tengik
akan mengalami penuaan yang cepat, peningkatan kadar kolesterol, obesitas, dan
penambahan berat badan. Konsumsi harian meningkatkan risiko penyakit degeneratif
seperti kanker, diabetes, alzheimer, dan aterosklerosis, suatu kondisi di mana dinding
arteri menebal karena penumpukan bahan lemak. Menurut sebuah studi dari
University of Basque Country, tingkat kerusakan dan pembentukan total senyawa
beracun tergantung pada jenis minyak dan suhu. Awalnya, minyak terurai menjadi
hidroperoksida, kemudian menjadi aldehida (Okparanta et al., 2018).
Minyak goreng berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah
adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya
minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. Minyak ini merupakan
minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga yang dapat digunakan kembali
untuk keperluan kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak
jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi
selama proses penggorengan sehingga dapat menyebabkan penyakit kanker dalam
jangka waktu yang panjang (Tamrin, 2013).
Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan rangkap
teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik. Awal dari kerusakan
minyak goreng adalah terbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini
menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang
digoreng menggunakan minyak berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol
yang membetuk aldehida tidak jenuh atau akrolein (Winarno, 2004). Selama
pemanasan, minyak mengalami 3 perubahan kimia yaitu terbentuknya peroksida dan
asam lemak tidak jenuh, peroksida terdekomposisi menjadi persenyawaan karbonil,
26
dan terjadinya polimerisasi. Jika minyak dipanaskan secara berulang-ulang, maka
proses destruksi minyak akan semakin cepat (Ketaren, 2005). Seperti halnya minyak
kelapa sawit, minyak jelantah juga mempunyai kandungan asam lemak diantaranya
adalah asam stearat, asam palmitat, dan asam linoleat. Berikut merupakan struktur
asam lemak penyusun minyak kelapa sawit yang dapat dilihat pada Gambar 2.7.
27
Sub bab berikut akan menjelaskan mengenai proses kimia dari komponen
minyak yang berlangsung akibat penggunaan minyak jelantah berulang, yaitu sebagai
berikut:
Menurut Ketaren (2005), tanda awal dari kerusakan minyak goreng adalah
terbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini menyebabkan rasa gatal pada
tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng menggunakan
minyak goreng berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol yang membentuk
aldehida tidak jenuh atau akrolein. Skema proses terbentuknya akrolein dapat dilihat
pada Gambar 2.8.
28
2.4. Identifikasi Kualitas Kimia Minyak yang Dilakukan Pemanasan Berulang
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi
dan hodrolitik. Diantara kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan
karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang
diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid, dan keton.
Bau tengik disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan
minyak dinyatakan sebagai bilangan peroksida atau angka thiobarbitural (Ketaren,
2012).
Reaksi oksidasi oleh oksigen terhadap asam lemak tidak jenuh akan
menyebabkan terbentuknya peroksida, aldehid, keton serta asam-asam lemak
berantai pendek yang dapat menimbulkan perubahan organoleptik yang tidak disukai
seperti perubahan bau dan flavor (ketengikan). Oksidasi terjadi pada ikatan tidak
jenuh dalam asam lemak. Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan
hidroperoksida dengan pengikat oksigen pada ikatan rangkap pada asam lemak tidak
jenuh. Mekanisme pembentukan peroksida dapat dilihat pada Gambar 2.9.
29
Gambar 2.9 Mekanisme Pembentukan Peroksida
Sumber: Alaya et al. (2014)
Minyak mengalami oksidasi menjadi senyawa peroksida yang tidak stabil ketika
dipanaskan. Pemanasan minyak lebih lanjut akan merubah sebagian peroksida
volatile decomposition products (VDP) dan non volatile decomposition products
(NVDP). Senyawa-senyawa VDP dan NVDP yang dihasilkan oleh senyawa peroksida
seperti aldehid, keton, ester, alkohol, senyawa siklik, dan hidrokarbon, secara
keseluruhan membuat minyak menjadi polar dibandingkan minyak yang belum
dipanaskan (Raharjo, 2007).
Peroksidasi lemak adalah proses dimana oksidan seperti radikal bebas dan
senyawa non radikal menyerang lemak yang mengandung ikatan rangkap karbon-
karbon, terutama asam lemak tak jenuh rantai panjang atau polyunsaturated fatty acid
(PUFA) yang melibatkan abstraksi (pemisahan) hidrogen dari karbon dengan
penyisipan oksigen (Yin et al., 2011). Substrat utama dari peroksidasi lemak adalah
PUFA yang diklasifikasikan menjadi ω3 dan ω6 dimana asam arakidonat merupakan
asam lemak ω6 utamanya. Asam arakidonat berada di membran sel, otak, otot dan
hati serta mengandung ikatan rangkap yang menjadi sumber atom hidrogen untuk
radikal bebas. Produk primer utama dari peroksidasi lemak adalah lipid hydroperoxide
(LOOH) (Ayala et al., 2014). Diantara berbagai macam aldehid yang dibentuk sebagai
produk sekunder selama peroksidasi lemak, malondialdehid (MDA), propanal,
30
hexanal dan 4-hydroxynonenal (4-HNE) telah dipelajari secera intensif (Esterbauer et
al., 1990). MDA menjadi produk yang paling mutagenik sementara 4-HNE menjadi
produk yang paling toksik.
Proses peroksidasi lemak tediri dari tiga tahap yakni inisiasi, propagasi dan
terminasi (Yin et al., 2011). Pada tahap inisiasi, prooksidan seperti hydroxyl radical
mengambil allylic hydrogen (atom hidrogen pada gugus metilen rantai asam lemak)
membentuk L• (carbon-centered lipid radical). Pada tahap propagasi, L• (lipid radical)
cepat bereaksi dengan oksigen membentuk LOO• (lipid peroxy radical) yang
mengambil atom hidrogen dari molekul lemak lain menghasilkan L• baru (melanjutkan
reaksi) dan lipid hydroperoxide (LOOH). Pada tahap termisasi, antioksidan seperti
vitamin E mendonorkan atom hidrogen pada senyawa LOO• dan membentuk radikal
vitamin E yang sesuai yang bereaksi dengan LOO• lain membentuk produk non
radikal. Setelah peroksidasi lemak terinisiasi, propagasi dari reaksi akan terjadi hingga
produk terminasi dihasilkan.
Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh adanya cahaya, panas, enzim
peroksida atau hiperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam
porfirim seperti hematin, haemoglobin, myoglobin, clorofil, dan enzim-enzim
lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak mengalami
oksidasi dan menjadi tengik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
bilangan peroksida pada minyak goreng :
1. Oksigen
Oksigen merupakan zat yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan
bersifat netral. Oksigen tidak dapat terbakar hampir semua unsur lain (Sumardjo,
2008). Oksigen adalah suatu diradikal yang stabil yang merupakan pereaksi (agent)
radikal bebas yang selektif. Senyawa yang mengandung ikatan rangkap, hydrogen
benzilik atau tersier, rentan (susceptible) terhadap oksidasi oleh udara juga disebut
autoksidasi. Lemak dan minyak nabati seringkali mengandung ikatan rangkap.
Autooksidasi suatu lemak menghasilkan campuran produk yang mencakup asam
karboksilat berbobot molekul rendah dan berbau (Putri, 2015).
31
2. Cahaya
Ketengikan pada minyak goreng ditimbulkan oleh cahaya yang merupakan
oksidator. Proses oksidasi dipercepat oleh adanya kombinasi dari oksigen dan cahaya.
Misalnya pada lemak yang disimpan tanpa udara (O 2), tetapi lemak tersebut terkena
cahaya yang mengakibatkan ketengikan. Hal ini karena dekomposisi peroksida secara
alamiah telah terdapat dalam lemak atau minyak. Cahaya berpengaruh sebagai
akselerator, sedangkan sinar ultra violet dan sinar-sinar gelombang pendek berfungsi
sebagai fotolisis persenyawaan aldehida, sehingga menghasilkan radikal bebas.
Konstituen tidak jenuh dan jenuh serta molekul trigliserida yang terkena cahaya ultra
violet dalam jangka waktu yang lama akan menghasilkan aldehida dalam jumlah kecil
dan metal keton yang berbau tidak enak. Persenyawaan keton dengan asam-asam
dengan berat molekul rendah lebih cepat terbentuk dari senyawa tidak jenuh, terutama
lemak yang mengandung ikatan tidak jenuh (C 12) atau lebih rendah, misalnya asam
palmitat. Gugus hidroksil bebas pada molekul mono dan digliserida akan teroksidasi
sehingga menghasilkan gugus aldehida (Ketaren, 2012).
3. Suhu Tinggi
Pada saat penggorengan makanan dapat terjadi perubahan-perubahan fisika-
kimiawi pada makanan yang digoreng dan juga minyak gorengnya. Apabila suhu
penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196°C) akan menyebabkan
degadasi minyak goreng dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap
adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa
gatal pada tenggorokan (Devi, 2010).
Pengaruh suhu terhadap kerusakan minyak telah diselidiki dengan menggunakan
contoh minyak jagung yang dipanaskan selama 24 jam pada suhu 120 °C,160°C, dan
200°C. Minyak dialiri udara pada 150 ml/menit Minyak yang dipanaskan pada suhu
160°C dan 200°C, menghasilkan bilangan peroksida lebih rendah dibandingkan dengan
pemanasan pada suhu 120°C. Hal ini merupakan suatu indikasi bahkan persenyawaan
peroksida bersifat tidak stabil terhadap panas. Bilangan iod berpengaruh kecil dalam
contoh yang dipanasi pada suhu 120°C. Penurunan bilangan iod dalam contoh tersebut
hampir sama dengan pemanasan pada suhu 160 °C-200°C. Kenaikan nilai indeks bias
setara dengan pertambahan jumlah senyawa polimer yang dihasilkan akibat
pemanasan lemak atau oksidasi lemak. Kenaikan nilai kekentalan dan indeks bias
32
paling besar pada suhu 200°C, karena pada suhu tersebut senyawa polimer yang
terbentuk relatif cukup besar (Ketaren, 2012).
33
2.4.2. Asam Lemak Bebas (ALB)
Asam lemak bebas diperoleh dari adanya proses hidrolisa, yaitu penguraian
lemak atau trigliserida dengan molekul air yang menghasilkan gliserol dan asam lemak
bebas. Kerusakan minyak atau lemak dapat juga diakibatkan oleh proses oksidasi,
yaitu terjadinya kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak yang
biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Kemudian
asam-asam lemak bebas akan terurai yang disertai dengan hidroperoksida menjadi
aldehid, keton, dan asam-asam lemak (Ketaren, 2005).
Penentuan asam lemak dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari
minyak atau lemak, hal ini dikarenakan bilangan asam dapat dipergunakan untuk
mengukur dan mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam suatu bahan atau
sampel. Semakin besar angka asam maka dapat diartikan kandungan asam lemak
bebas dalam sampel semakin tinggi, besarnya asam lemak bebas yang terkandung
dalam sampel dapat diakibatkan dari proses hidrolisis ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik (Marsigit et al., 2011).
Minyak goreng memiliki kandungan asam lemak bebas yang berbeda-beda.
Hal ini dapat terjadi karena proses dari pembuatan masing-masing minyak tidaklah
sama. Sebagai indikator besar kecilnya kandungan asam lemak bebas yang terdapat
pada minyak adalah berdasarkan jumlah NaOH atau KOH yang diperlukan untuk
titrasi. Sebelum memasuki proses titrasi, minyak dicampur terlebih dahulu dengan
etanol netral. Tujuannya adalah agar asam lemak bebas dapat terikat pada etanol
sehingga lebih mudah terdeteksi oleh NaOH atau KOH saat titrasi. Etanol bersifat
asam dan NaOH atau KOH bersifat basa. Penambahan indikator PP adalah untuk
mengetahui tingkat equivalen larutan tersebut atau larutan menjadi netral (Moigadean
et al., 2013).
Penentuan total asam lemak bebas dapat dilakukan menggunakan analisis
titrasi asam basa. Prinsip dari titrasi asam basa yaitu analisis jumlah asam lemak
bebas dalam suatu sampel ekuivalen dengan jumlah basa (NaOH) yang ditambahkan
dalam titrasi yang ditandai dengan berubahnya warna sampel menjadi warna merah
jambu (Goswami et al., 2015).
34
Asam lemak dan bilangan peroksida yang dihasilkan oleh minyak kelapa sawit
yang telah di panaskan dengan frekuensi pemanasan yang berbeda-beda akan
menghasilkan minyak bekas, yang sering dijumpai pada minyak jelantah.
Bobot jenis merupakan rasio bobot suatu zat terhadap bobot zat baku yang
volume dan suhunya sama dan dinyatakan dalam desimal.bobot jenis minyak dan
lemak ditentukan pada temperatur 25°C ,akan tetapi dalam hal ini dianggap penting
35
juga untuk diukur pada temperatur 40°C atau 60°C untuk lemak yang titik cairnya
tinggi (Mujadin A., et all, 2014).
2.5.2. Viskositas
Viskositas merupakan sifat pokok dari semua jenis fluida. Ketika fluida
mengalir, fluida tersebut memiliki hambatan dalam untuk mengalir. Viskositas
merupakan ukuran hambatan untuk mengalir. Selain itu viskositas juga dapat diartikan
sebagai sebuah gaya geser dan ukuran gaya gesek dari fluida tersebut. Viskositas
dari fluida sangat dipengaruhi oleh suhu fluida tersebut (Mujadin A., et all, 2014).
Menurut Jurnal Internasional (Angaitkar & Shende, 2013), nilai viskositas kinematik
cairan akan menurun terhadap kenaikan suhu, sedangkan nilai viskositas kinematik
gas akan meningkat sebanding dengan kenaikan suhu. Untuk setiap derajat kenaikan
suhu, terdapat pengurangan nilai koefisien viskoitas secara kasar sebesar 2% untuk
hampir semua jenis cairan.
2.5.3. Warna
Terdiri dari 2 golongan, golongan pertama yaitu zat warna alamiah, yaitu
secara alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak
bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain α dan β karoten
(berwarna kuning), xantofil (berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna
kehijauan) dan antosyanin (berwarna kemerahan). Golongan kedua yaitu zat warna
dari hasil degadasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses
oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk
membuat minyak yang telah rusak, warna kuning umumnya terjadi pada minyak tidak
jenuh (Mujadin A., et all, 2014).
36
III METODE PENELITIAN
a. Alat
Alat yang digunakan untuk pemanasan minyak kelapa sawit hot plate stirrer,
erlenmeyer, gelas beker, pengaduk kaca, thermometer, dan gelas ukur.
Alat yang digunakan untuk analisis bilangan peroksida, bilangan asam,
bilangan TBA serta sifat fisik pada minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan
pemanasan yang berulang-ulang adalah erlenmeyer, labu ukur, timbangan analitik,
gelas ukur, pipet tetes, buret, gelas beker, statif, kompor listrik, viskometer, dan
piknometer.
b. Bahan
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa sawit
yang bermerk Sania dengan kemasan berlabel SNI dan memiliki label khusus
terfortifikasi vitamin A dengan expired date 28 Oktober 2020.
Pada pengukuran bilangan peroksida, bahan yang dibutuhkan adalah reagen
asam asetat glasial: kloroform (3:2), larutan KI jenuh, aquades, pati 1%, dan natrium
tiosulfat pentahidrat. Pada pengukuran bilangan asam, bahan yang dibutuhkan
adalah etanol 95%, larutan KOH, dan indikator PP 1%. Pada pengukuran bilangan
TBA, bahan yang dibutuhkan adalah TCA 10%, bubuk TBA, dan asam asetat glasial
90%.
37
3.3. Metode Penelitian
Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan antara Perlakuan Suhu Pemanasan dan Waktu
Pemanasan
Suhu Pemanasan Frekuensi Pemanasan
(B) A1 (2 kali) A2 (5 kali) A3 (8 kali)
B1 (180°C) A1B1 A2B1 A3B1
B2 (200°C) A1B2 A2B2 A3B2
Keterangan :
A1B1: Frekuensi Pemanasan (2 kali) dan Suhu Pemanasan (180°C)
A1B2: Frekuensi Pemanasan (2 kali) dan Suhu Pemanasan (200°C)
A2B1: Frekuensi Pemanasan (5 kali) dan Suhu Pemanasan (180°C)
A2B2: Frekuensi Pemanasan (5 kali) dan Suhu Pemanasan (200°C)
A3B1: Frekuensi Pemanasan (8 kali) dan Suhu Pemanasan (180°C)
A3B2: Frekuensi Pemanasan (8 kali) dan Suhu Pemanasan (2000C)
38
Perlakuan Ulangan Total Rerata
1 2 3
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Total
1. Perlakuan awal pemanasan minyak kelapa sawit dengan suhu 180°C atau
200°C (SNI-013741-2013) selama 30 menit.
2. Setelah dilakukan pemanasan selama 30 menit, kemudian didiamkan
pada suhu ruang selama 60 menit.
3. Perlakuan selanjutnya dilakukan pemanasan minyak kelapa sawit
sebanyak 2, 5 atau 8 kali dengan suhu 180°C atau 200°C (SNI-013741-
2013) selama 30 menit sesuai dengan rancangan percobaan.
4. Pada setiap kali pemanasan minyak goreng sawit dipanaskan hingga 8
kali. Namun jika pemanasan tersebut tidak mencukupi waktu yang
ditentukan dalam satu hari, maka minyak yang telah di berikan perlakuan
didinginkan dengan suhu ruang, setelah itu disimpan didalam freezer
sebelum dilakukan pemanasan selanjutnya.
5. Keesokan harinya, sebelum dilakukan pemanasan minyak goreng
dikeluarkan dari dalam freezer, minyak tersebut di thawing pada suhu
ruang dan diletakkan pada ruangan gelap.
6. Setelah minyak tersebut mencair maka dilakukan pemanasan selanjutnya
hingga mencapai pemanasan 8 kali dengan suhu 180°C atau 200°C.
7. Setelah dilakukannya pemanasan sesuai faktor yang sudah ditentukan
maka sampel minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan
39
berulang dilakukan penyimpanan pada suhu beku sampai waktu analisis
pengujian secara kimia maupun fisik ditentukan.
8. Penyimpanan disuhu beku bertujuan untuk memastikan tidak ada reaksi
yang berkelanjutan setelah dilakukannya pemanasan.
3.4.2. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan sifat kimia dan sifat fisik yang terdiri dari
pengujian minyak goreng sawit yang tidak diberi perlakuan pemanasan, pengujian
minyak goreng sawit yang diberi perlakuan pemanasan berulang, dan analisa
lanjutan.
40
3.5. Diagam Alir Sampel yang Diberi Perlakuan Pemanasan dengan Suhu
180°C dan 200°C dengan Frekuensi Pemanasan Sebanyak 2, 5, 8 kali
Diambiil 50 ml untuk
dilakukan pengujian awal
Dilakukan Analisis
41
3.6. Analisa Data
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada minyak kelapa sawit yang
dilakukan pemanasan berulang didapatkan hasil analisis bilangan asam, bilangan
peroksida, dan Thiobarbituric Acid (TBA). Pengamatan ini dapat dianalisa dengan
menggunakan ANOVA 2 arah dengan metode RAK faktorial pada sampel yang diberi
perlakuan. Dimana pengujian ini akan dianalisis menggunakan SPSS Versi 21. Jika
hasil uji menunjukkan ada pengaruh yang nyata, maka dilaksanakan uji lanjut dengan
uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata 1% dan 5%. Apabila
interaksi yang terjadi tidak berpengaruh nyata, namun pada salah satu faktornya
berpengaruh secara nyata, maka diuji lanjut dengan uji LSD (Least Significance
Different) atau BNT pada taraf nyata 1% dan 5%.
42
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Minyak goreng memiliki sifat fisik dan kimia yang dapat digunakan sebagai
parameter untuk mengetahui terjadinya kerusakan akibat proses penggorengan.
Rerata parameter minyak goreng sawit sebelum dipanaskan dapat dilihat pada Tabel
4.1.
Tabel 4.1. Rerata Parameter Kualitas Awal Minyak Sawit Sebelum Dipanaskan
Parameter Analisa Nilai Literatur
Bilangan Asam (mg KOH/g) 0,63±0,02 0,6a
Bilangan Peroksida (mek O2/kg) 2,13±0,08 Maks 10b
Bilangan (Thiobarbituric Acid)
TBA (mg malonaldehid/kg 0,43±0,03 0,1-02c
sampel)
Bobot Jenis (g/ml) 0,83±0,01 0,90d
Viskositas (cP) 126,50±0,58
Warna
- Kecerahan (L) 31.07±0,30
- Warna Kemerahan (a) 3,57±0,38 Maks 5,0e
- Warna Kekuningan (b) 8,95±0,33 Maks 50f
Keterangan: a. SNI 3741-2013
b. SNI 3742-2013
c. Pkorny dan Dieffenbacher (1989)
d. SNI 3741-1995
e. SNI 3741-2012
Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 4.1 pengujian bilangan asam
dihasilkan nilai sebesar 0,63 mg KOH/g. Menurut SNI 3741-2013 syarat mutu untuk
bilangan asam pada minyak goreng kelapa sawit sebesar 0,6 mg KOH/g, sedangkan
pada penelitian ini bilangan asam yang terkandung dalam minyak goreng sawit yang
masih baru mengalami peningkatan. Menurut Kusnandar (2010) peningkatan bilangan
asam berbanding lurus dengan lamanya penyimpanan. Hal ini dikarenakan adanya
reaksi hidrolisis yang dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas pada minyak
goreng akibat mengalami pemanasan proses pemanasan berulang. Dalam reaksi
hidrolisis minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan glisero.
Hasil bilangan peroksida menunjukkan nilai sebesar 2,13 mek O2/kg. Pada
penelitian ini hasil bilangan peroksida lebih rendah jika dibandingkan dengan SNI
43
3741-2013 yang menyatakan bahwa hasil maksimal bilangan peroksida pada minyak
goreng sawit maksimal sebesar 10 mek O2/kg. Menurut Paramitha (2012), minyak
segar yang didiamkan pada suhu ruang dan terpapar oleh cahaya dalam jangka waktu
yang lama akan mengalami reaksi oksidasi lipid tahap awal. Reaksi oksidasi yang
melibatkan cahaya sering disebut dengan reaksi autooksidasi. Reaksi ini akan
mengakibatkan minyak akan mengalami penurunan kualitas baik secara fisik maupun
secara kimia. Sedangkan hasil yang diperoleh untuk bilangan Thibarbituric Acid (TBA)
menunjukkan nilai bilangan Thibarbituric Acid (TBA) sebesar 0,43 mg
malonaldehid/kg sampel. Pada minyak segar yang didiamkan lebih lama pada suhu
ruang akan mengalami oksidasi lanjut. Menurut Shahidi dan Zhong (2005), MDA
terbentuk pada akhir oksidasi sehingga pada awal penyimpanan bilangan TBA masih
relatif kecil dan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu
penyimpanan.
Pengujian kualitas fisik pada minyak goreng sawit sebelum dilakukan
pemanasan meliputi bobot jenis, viskositas, dan warna dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Dimana hasil bobot jenis yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 0,83 g/ml.
Menurut SNI 3741-1995, bobot jenis pada minyak sawit yang disimpan pada suhu
kamar sebesar 0,90 g/ml. Pada penelitian ini hasil bobot jenis masih sesuai dengan
standar SNI 3741-1995. Sedangkan untuk uji viskositas hasil yang diperoleh sebesar
126,50 cP. Hasil uji warna dari segi kecerahan diperoleh hasil sebesar 31,07.
Sedangkan untuk hasil uji warna kemerahan diperoleh hasil sebesar 3,57 dan hasil uji
warna kekuningan sebesar 8,95. Menurut SNI 3741-2012 menyatakan bahwa syarat
mutu warna merah maksimal 5,0 sedangkan warna kuning maksimal sebesar 50. Hal
ini menunjukkan bahwa, hasil yang diperoleh dari penelitian ini dari segi warna masih
sesuai dengan standar.
44
4.2. Parameter Kualitas Kimia Minyak Kelapa Sawit Komersial Akibat
Pemanasan Berulang
Selama proses penggorengan minyak berada dalam kondisi suhu tinggi,
adanya udara dan air yang terkandung dalam bahan menyebabkan minyak
mengalami kerusakan (Yuniarto & Sukmawaty, 2008). Salah satu kerusakan yang
terjadi adalah kerusakan secara kimia. Sifat kimia lemak adalah mudah mengalami
oksidasi dan hidrogenasi. Hal ini karena asam lemak tak jenuh mudah terhidrogenasi.
Menurut Nuraniza & Lapanporo (2013), proses penggorengan dapat menyebabkan
ikatan rangkap menjadi jenuh dan akan menyebabkan ikatan rangkap teroksidasi,
membentuk gugus peroksida dan monomer siklik. Faktor-faktor seperti suhu, adanya
logam berat, cahaya, tekanan udara, enzim dan adanya senyawa peroksida juga
semakin mempercepat berlangsungnya oksidasi dan dengan demikian semakin cepat
terjadi ketengikan.
Pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kualitas kimia
pada minyak goreng sawit komersial ditentukan berdasarkan hasil pengujian yang
meliputi bilangan asam, bilangan peroksida, dan bilangan theobarbituric acid (TBA).
Dimana minyak goreng kelapa sawit akan diberi perlakuan pemanasan dengan
menggunakan suhu 180°C dan suhu 200°C. Kemudian setelah dilakukan pengujian
secara sekala laboratorium hasil uji akan dianalisis menggunakan Uji Anova dengan
aplikasi SPSS Versi 21. Selain itu hasil analisis akan didukung dengan trend gafik.
Berikut merupakan hasil uji anova dan trend gafik parameter kimia minyak sawit
komersial yang meliputi :
Bilangan Asam merupakan salah satu indikator kualitas kimia. Asam Lemak
bebas dihasilkan melalui proses hidrolisis dan oksidasi yang biasanya bergabung
dengan lemak netral. Tingginya persentase asam lemak bebas biasanya dikarenakan
oleh waktu, frekuensi penggorengan, dan bahan yang digoreng (Nurhasnawati, 2015).
Kadar asam lemak bebas pada sampel minyak goreng yang telah dilakukan
pemanasan berulang dapat diketahui dengan cara melakukan penimbangan 10 gam
sampel minyak goreng kelapa sawit dari masing-masing perlakuan, kemudian
dilakukan penambahan indikator fenolftalein dan dititrasi dengan menggunakan basa
45
KOH hingga terjadi perubahan warna. Data hasil penelitian bilangan asam minyak
kelapa sawit yang diberikan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.1.
1,00
0,90
Bilangan Asam mg KOH/g
0,80
0,70
0,60
0,50
0,40
0,30
0,20 Suhu 180°C
0,10 Suhu 200°C
0,00
2 5 8
Gambar 4.1 Gafik Bilangan Asam Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil
Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu
180°C dan 200°C
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa bilangan asam pada minyak kelapa sawit
komersial ini mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya frekuensi
pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan bilangan asam tertinggi terjadi
pada sampel minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu
180°C dan 200°C.
Peningkatan ini disebabkan adanya proses hidrolisis yang didukung oleh
penelitian Yuarini & Wrasiati (2018) yang menyatakan bahwa proses hidrolisa juga
mempengaruhi peningkatan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng akibat
kerusakan minyak yang terjadi karena terdapatnya jumlah air dalam minyak tersebut.
Dalam reaksi hidrolisa minyak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan
gliserol. Adanya pembentukan senyawa polimer dalam minyak juga mempengaruhi
kadar asam lemak bebas minyak. Polimer merupakan senyawa yang terbentuk di
dalam minyak goreng akibat pemanasan yang terus menerus.
Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa frekuensi pemanasan
berpengaruh nyata terhadap bilangan asam. Hasil uji lanjut terhadap frekuensi
pemanasan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
46
Tabel 4.2. Bilangan Asam Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan
Berulang
Frekuensi Pemanasan Bilangan Asam (mg KOH/g)*
2 kali 0,68±0,02 a
5 kali 0,72±0,04b
8 kali 0,83±0,02c
Sebelum dipanaskan 0,63±0,02
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)
Hasil pengukuran rerata nilai bilangan asam menunjukan nilai tertinggi pada
frekuensi pemanasan 8 kali dengan nilai sebesar 0,83 mg KOH/g, sedangkan nilai
terendah pada frekuensi pemanasan 2 kali dengan nilai sebesar 0,68 mg KOH/g.
Hal ini didukung oleh penelitian Manurung & Suaniti (2018) yang menunjukkan
bahwa semakin lama proses pemanasan menyebabkan jumlah kandungan asam
dalam minyak meningkat. Hal ini dikarenakan terjadinya reaksi hidolisis minyak
membentuk asam lemak bebas bertambah. Penggorengan minyak secara berulang
mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh dalam minyak sehingga
kualitas minyak telah menurun (Ilmi, et al., 2015). Peningkatan bilangan asam erat
kaitannya dengan bertambahnya asam-asam lemak bebas (FFA) akibat hidrolisis
minyak menjadi asam lemak dan gliserol.
Berdasarkan penelitian ini, suhu tidak mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap pembentukan bilangan asam. Hal ini dikarenakan asam lemak bebas yang
terbentuk dari proses penggorengan bahan pangan, dimana suhu penggorengan
berada pada kisaran suhu penggorengan yang rendah lebih cenderung disebabkan
oleh reaksi hidrolisis akibat air masih ada pada bahan pangan yang digoreng. Menurut
Serena (2013) yang menyatakan bahwa reaksi hidrolisis lebih cenderung terjadi bila
suhu penggorengan rendah, sehingga akibat dari reaksi tersebut akan dihasilkan
asam lemak bebas, mono dan digliserida serta gliserin yang terjadi karena adanya air
dalam bahan pangan yang digoreng.
Pembentukan asam lemak bebas yang terjadi pada suhu yang lebih tinggi
diduga lebih cenderung disebabkan oleh reaksi oksidasi, karena pada suhu yang lebih
tinggi air yang ada pada bahan pangan yang digoreng akan menguap lebih cepat,
minyak terkena panas berlebihan akibat suhu penggorengan yang tinggi dan minyak
banyak mengalami kontak dengan oskigen (Ilmi, et al. 2015).
47
Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak adanya interaksi antar suhu dan
frekuensi pemanasan terhadap bilangan asam. Hal ini juga didukung oleh penelitian
dari Salamah (2007) yang menunjukkan bahwa minyak goreng sawit yang digunakan
pada frekuensi pemanasan (1, 2, 4, 6 kali) dan suhu (160-180°C) tidak berpengaruh
nyata terhadap %FFA. Selain itu didukung adanya faktor lain yaitu jarak antar suhu
perlakuan dan frekuensi pemanasan yang terlalu dekat sehingga menyebabkan
peningkatan bilangan asam yang kurang signifikan.
8,00
Bilangan Peroksida (Mek
7,00
6,00
5,00
O2/kg)
4,00
3,00
2,00 Suhu 180°C
1,00 Suhu 200 °C
0,00
2 5 8
Frekuensi Pemanasan (Kali)
Gambar 4.2 Gafik Bilangan Peroksida Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil
Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 180°C
dan 200°C
48
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa bilangan peroksida pada minyak kelapa
sawit komersial mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya frekuensi
pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan bilangan peroksida tertinggi
terjadi pada sampel minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada
suhu 180°C dan 200°C.
Menurut penelitian Suroso (2013) menyatakan bahwa bilangan peroksida
akan terus meningkat akibat bertambahnya suhu dan frekuensi penggorengan.
Seiring dengan suhu, frekuensi dan lamanya penggorengan, minyak akan teroksidasi
membentuk senyawa peroksida. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan
lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi. Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi
secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan
kecepatan proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi
penyimpanannya.
Hasil analisis ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan
berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya
berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan peroksida. Uji lanjut DMRT dapat dilihat
pada Lampiran 4. Hasil bilangan peroksida yang diperoleh dari pemanasan yang
berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Bilangan Peroksida Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi
Pemanasan Berulang
Suhu Frekuensi Pemanasan Bilangan Peroksida
(Mek O2/kg)*
180°C 2 kali 2,60±0,20a
5 kali 3,16±0,15b
8 kali 5,06±0,12c
200°C 2 kali 3,16±0,10b
5 kali 5,43±0,25d
8 kali 6,89±0,10e
Sebelum dipanaskan 2,13±0,08
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)
49
frekuensi pemanasan 8 kali sebesar 6,89 mek O2/kg lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil rerata angka peroksida suhu 180°C dengan frekuensi pemanasan 8 kali sebesar
5,06 mek O2/kg. Hal ini berarti trend grafik sesuai dengan hasil analisis ragam.
Minyak goreng kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan berulang
mengalami peningkatan nilai bilangan peroksida diduga pada minyak yang dilakukan
pemanasan berulang merupakan hasil oksidasi lipid primer yang sebagian besar
mengalami oksidasi lanjut sehingga menghasilkan oksidasi lipid sekunder. Hal ini
disebabkan pembentukan hidroperoksida (hasil oksidasi primer) tidak stabil, sehingga
pengukuran bilangan peroksida tahap awal oksidasi mengalami kenaikan (Pignitter
dan Somoza, 2012).
Oksidasi pada minyak disebabkan oleh reaksi pemanasan antara lemak
dengan oksigen (oksidasi termal). Proses ini terjadi pada waktu pemanasan, dimana
lapisan permukaan lemak panas yang kontak dengan oksigen di udara. Reaksi
oksidasi ini mendorong terbentuknya asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam
molekul trigliserid yaitu asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Asam tidak
jenuh ini jika dioksidasi masing-masing akan membentuk oleat hidroperoksida, linoleat
hidroperoksida, dan linolenat hidroperoksida yang bersifat reaktif (Ketaren, 2008).
Hasil penelitian ini juga dipengaruhi oleh jumlah asam lemak tak jenuh pada
minyak kelapa sawit jumlah asam lemak tidak jenuh tinggi sebesar 38,50% (Oleat),
dimana asam lemak tak jenuh yang tinggi akan mudah mengalami proses oksidasi
(Darlean, 2009). Selain itu, semakin banyaknya frekuensi pemanasan mengakibatkan
peroksida yang terbentuk semakin banyak karena pemanasan menyebabkan molekul
menjadi tidak stabil sehingga mengalami dekomposisi membentuk asam-asam rantai
pendek, aldehid, keton (Darlean, 2009).
50
dari dua buah ikatan rangkap. Malonaldehida tersebut dapat bereaksi dengan
pereaksi TBA membentuk persenyawaan berwarna merah. Bilangan TBA ini dapat
meningkat seiring dengan pengaruh suhu dan pemberian perlakuan pemanasan yang
berulang. Data hasil bilangan thiobarbituric acid (TBA) minyak kelapa sawit yang telah
diberikan perlakuan pemanasan berulang dapat dilihat pada Gambar 4.3.
2,50
Malonaldehid/kg Sampel
2,00
Bilngan TBA mg
1,50
1,00
0,50
Suhu 180°C
0,00
2 5 8
Gambar 4.3. Gafik Bilangan TBA Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil
Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu
180°C dan 200°C
51
Tabel 4.4. Bilangan TBA Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi
Pemanasan Berulang
Suhu Frekuensi Pemanasan Bilangan TBA (mg
malonaldehid/kg
sampel)*
180°C 2 kali 1,20±0,04b
5 kali 1,52±0,02c
8 kali 1,86±0,05d
200°C 2 kali 1,09±0,06a
5 kali 1,60±0,01c
8 kali 2,11±0,08e
Sebelum dipanaskan 0,43±0,03
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)
52
Peningkatan nilai bilangan TBA pada minyak kelapa sawit yang diberi
perlakuan pemanasan berulang diakibatkan minyak kelapa sawit kandungan asam
lemak tidak jenuh yang cukup tinggi yaitu sekitar 49,2% (oleat dan linoleat) (Rival,
2010). Adanya kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit dan juga proses
oksidasi termal terus menerus menyebabkan terbentuknya malonaldehida sehingga
terjadi peningkatan bilangan TBA selama pemanasan (Pricilia,2013).
Angka TBA merupakan salah satu cara untuk mengukur oksidasi sekunder.
Peningkatan bilangan TBA seiring dengan peningkatan suhu dan frekuensi
pemanasan (Indrawanto, 2015). Menurut Pkorny dan Dieffenbacher (1989)
menyatakan bahwa TBA biasanya berada dalam jumlah yang sangat kecil yaitu
sekitar 0,1-0,2 mg malonadehid/ kg sampel dapat menyebabkan ketengikan.
53
4.3.1. Bobot Jenis
Bobot jenis merupakan salah satu parameter kualitas fisik. Menurut SNI 3741-
1995 bobot jenis maksimal sebesar 0,921 g/ml. Bobot jenis ialah besarnya massa per-
satuan volume (Edwar, dkk, 2011). Pengujian bobot jenis dilakukan secara manual
dengan menggunakan piknometer dengan volume piknometer sebesar 25 ml yang
kemudian akan ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bobot jenis ini dapat
meningkat seiring dengan pengaruh suhu dan pemberian perlakuan pemanasan yang
berulang. Data hasil penelitian bobot jenis yang telah diberikan perlakuan pemanasan
berulang dapat dilihat pada Gambar 4.4.
1,00
0,90
0,80
Bobot Jenis g/ml
0,70
0,60
0,50
0,40
0,30
0,20 Suhu 180°C
0,10 Suhu 200°C
0,00
2 5 8
Frekuensi Pemanasan (Kali)
Gambar 4.4 Gafik Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil
Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu
180°C dan 200°C
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa bobot jenis pada minyak kelapa sawit
komersial ini mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya frekuensi
pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan bobot jenis tertinggi terjadi
pada sampel minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu
180°C dan 200°C.
Menurut penelitian Herlina, dkk (2017) massa zat akan mempengaruhi massa
yang besar sehingga bobot jenisnya menjadi lebih besar. Proses pemanasan minyak
yang berulang pada suhu tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya
54
dimerisasi dan polimerisasi yang dapat menimbulkan peningkatan berat molekul
(Mahmudan dkk, 2014).
Hasil analisis ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan
berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya
berpengaruh sangat nyata terhadap bobot jenis. Uji lanjut DMRT dapat dilihat pada
Lampiran 4. Hasil bobot jenis yang diperoleh dari pemanasan yang berulang dapat
disajikan dalam Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi Pemanasan
Berulang
Suhu Frekuensi Pemanasan Bobot jenis (g/ml)*
180°C 2 kali 0,87±0,01a
5 kali 0,88±0,01b
8 kali 0,93±0,01c
200°C 2 kali 0,88±0,01ab
5 kali 0,92±0,01c
8 kali 0,95±0,01d
Sebelum dipanaskan 0,83±0,01
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,05)
Tabel 4.5 secara umum menunjukkan suhu 200°C meningkatkan bobot jenis
lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8 kali
meningkatkan bobot jenis paling tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemanasan 2
kali dan 5 kali. Hasil rerata bobot jenis suhu 200°C dengan frekuensi pemanasan 8
kali sebesar 0,95 g/ml lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rerata bobot jenis suhu
180°C dengan frekuensi pemanasan 8 kali sebesar 0,93 g/ml. Hal ini berarti trend
grafik sesuai dengan hasil analisis ragam.
Pemanasan berlebih pada minyak selama proses penggorengan akan
menghasilkan komponen volatil dan non-volatil. Reaksi polimerisasi yang terjadi pada
minyak dalam proses penggorengan menghasilkan komponen polar non-volatil dimer
dan polimer. Polimer dapat terbentuk dari radikal bebas atau trigliserida.
Penggorengan berulang dan suhu yang tinggi dapat meningkatkan komponen polimer
(Wang & Schuman, 2013).
Sifat kimia polimer berhubungan dengan bobot jenis. Umumnya polimer
dengan bobot jenis tinggi memiliki sifat yang lebih kuat (Cowd, 1991). Asam lemak tak
55
jenuh dengan bentuk isomer trans mempunyai bobot jenis yang relatif tinggi dibanding
asam lemak cis (Nayak, et al., 2015). Hal ini menyebabkan asam lemak cis dapat
berubah menjadi asam lemak tak jenuh (trans). Menurut Tuminah (2009) menjelaskan
bahwa pemanasan dengan temperatur tinggi dapat memicu perubahan asam lemak
cis menjadi asam lemak trans. Perubahan asam lemak menjadi trans terjadi setelah
pemanasan hingga 280°C. Jika dibawah suhu tersebut, lemak trans yang terbentuk
sebesar 3 – 6%.
Faktor yang mempengaruhi tingginya berat jenis: 1). Pada suhu yang tinggi
senyawa yang diukur berat jenisnya dapat menguap sehingga dapat mempengaruhi
berat jenisnya, demikian pula suhu yang rendah menyebabkan senyawa membeku
sehingga bobot jenis sulit untuk dihitung, 2). Massa zat, jika zat mempunyai massa
yang besar maka berat jenis juga semakin besar, 3). Volume zat, jika volume zat besar
maka berat jenisnya akan mempengaruhi ukuran partikel dari zat, berat molekulnya
serta kekentalan dari suatu zat dapat mempengaruhi berat jenisnya, 4). Kekentalan
atau viskositas suatu zat dapat mempengaruhi berat jenisnya, semakin besar
viskositas suatu zat maka makin besar pula berat jenisnya (Juniarti, 2009).
Berdasarkan penelitian Noedjeng & Fatimah (2005) menunjukkan bahwa
bobot jenis akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Hal ini dikarenakan
komponen asam lemak bebas yang meningkat yang dapat menaikan nilai bobot jenis.
Penelitian Noedjeng & Fatimah (2005) didukung secara statistik dimana nilai koefisien
korelasi (r) hubungan asam lemak bebas dengan bobot jenis sebesar 0,902. Jika
dikuadratkan maka didapatkan hasil berupa koefisien determinasi (𝑅 2 ) sebesar 0,814
atau 81,4% (p-value 0,00). Hal ini berarti bahwa sebesar 81,4% bobot jenis dapat
berhubungan dengan asam lemak bebas dan sisanya sebesar 18,6% disebabkan
oleh faktor lain dari penelitian ini. Nilai koefisien korelasi dalam penelitian ini
menunjukkan angka positif yang berarti bahwa asam lemak bebas dengan bobot jenis
memiliki hubungan searah atau saling meningkatkan.
4.3.2. Viskositas
56
viskometer. Data hasil penelitian viskositas minyak kelapa sawit yang diberikan
perlakuan pemanasan berulang dapat dilihat pada Gambar 4.5.
200,00
180,00
160,00
140,00
Viskositas Cp
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00 Suhu 180°C
20,00 Suhu 200°C
0,00
2 5 8
Frekuensi Pemanasan (Kali)
57
Lampiran 4. Hasil viskositas yang diperoleh dari pemanasan yang berulang dapat
disajikan dalam Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Viskositas Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi Pemanasan
Berulang
Suhu Frekuensi Pemanasan Viskositas (cP)*
180°C 2 kali 142,33±0,58a
5 kali 151,33±0,58c
8 kali 175,67±0,58e
200°C 2 kali 145,33±0,58b
5 kali 167,33±0,58d
8 kali 179,67±0,58f
Sebelum dipanaskan 126,50±0,58
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)
58
penelitian ini. Nilai koefisien korelasi dalam penelitian ini menunjukkan angka positif
yang berarti bahwa viskositas dengan bobot jenis memiliki hubungan searah. Semakin
tinggi viskositas maka dapat meningkatkan bobot jenis.
4.3.3. Warna
1. Kecerahan (L)
59
35,00
30,00
25,00
Kecerahan (L) 20,00
15,00
10,00
Suhu 180°C
5,00 Suhu 200°C
0,00
2 5 8
Frekuensi Pemanasan (Kali)
Gambar 4.6. Gafik Kecerahan (L) Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil
Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 1800C
dan 2000C
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa kecerahan (L) pada minyak kelapa sawit
komersial ini mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya frekuensi
pemanasan dan suhu pemanasan. Trend penurunan terendah terjadi pada sampel
minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C dan 200°C.
Hal ini diakibatkan karena adanya faktor suhu yang meningkat dan faktor pemanasan
yang berulang sehingga mengakibatkan warna minyak kelapa sawit semakin gelap.
Menurut penelitian Yulia (2012) yang menyatakan bahwa semakin
meningkatnya suhu pemanasan dan frekuensi pemanasan yang berulang
menyebabkan warna minyak semakin gelap. Hal ini terjadi karena vitamin yang
terkandung pada minyak teroksidasi baik karotenoid yang bersifat larut dalam minyak
akibat oksidasi maupun oksidasi tokoferol (vitamin E), selain itu semakin tinggi suhu
asam lemak, sterol, hidrokarbon yang dihasilkan dari hidrolisa trigliserid dapat terurai
dan larut atau tercampur dalam minyak sehingga warna minyak merah dan
kecoklatan.
Hasil analisa ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan
berulang menunjukkan bahwa, faktor suhu dan frekuensi pemanasan serta
interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap kecerahan (L). Uji lanjut DMRT
dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil kecerahan (L) yang diperoleh dari pemanasan
yang berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.7.
60
Tabel 4.7. Kecerahan (L) Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan
Berulang
Suhu Frekuensi Pemanasan Kecerahan (L)*
180°C 2 kali 27,47±0,42b
5 kali 27,17±0,06ab
8 kali 26,73±0,15a
200°C 2 kali 28,53±0,32c
5 kali 28,60±0,10c
8 kali 27,30±0,26b
Sebelum dipanaskan 31.07±0,30
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,05)
61
(ROO•) dapat disusun kembali melalui reaksi siklikasi menjadi endoperoxide
(precursor MDA) dengan MDA sebagai produk akhir dari proses peroksidasi (Marnett,
1999).
Oksidasi sekunder ini menunjukkan bahwa kecerahan (L) berhubungan
dengan bilangan TBA. Nilai koefisien korelasi (r) hubungan TBA dengan kecerahan
(L) sebesar - 0,499 dan nilai koefisien determinasi (𝑅 2 ) sebesar 0,249 atau 24,9% (p-
value 0,03). Hal ini berarti bahwa sebesar 24,9% TBA dapat berhubungan dengan
kecerahan (L) dan sisanya sebesar 75,1% disebabkan oleh faktor lain dari penelitian
ini. Nilai koefisien korelasi bilangan TBA dengan kecerahan (L) memiliki hubungan
berkebalikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi bilangan TBA maka
dapat menurunkan kecerahan minyak atau sebaliknya.
Pengukuran faktor lain selain kecerahan (L) adalah pengukuran intensitas
warna kemerahan (a) pada minyak kelapa sawit yang telah diberi perlakuan
pemanasan berulang.
2. Kemerahan (a)
1,00
0,50
Kemerahan (a)
0,00
2 5 8
-0,50 Frekuensi Pemanasan (Kali)
-1,00
-1,50
-2,00
Suhu 200°C Suhu 180°C
Gambar 4.7. Gafik Kemerahan (a) Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil
Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 180°C
dan 200°C
62
Gambar 4.7 menunjukkan bahwa warna kemerahan (a) pada minyak kelapa
sawit komersial ini mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya frekuensi
pemanasan dan suhu pemanasan. Trend penurunan terendah terjadi pada sampel
minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C dan 200°C.
Hal ini diakibatkan karena adanya faktor suhu yang meningkat dan faktor pemanasan
yang berulang sehingga mengakibatkan warna kemerahan minyak kelapa sawit
semakin menurun. Nilai negatif pada hasil uji menunjukkan warna hijau, sedangkan
nilai positif menunjukkan warna merah jika warna hijau semakin meningkat maka
warna kemerahan yang dihasilkan semakin kusam. Begitu pula sebaliknya, jika nilai
positif semakin tinggi, warna kemerahan semakin gelap (Febriansyah, 2007).
Perubahan warna kemerahan pada minyak goreng kelapa sawit disebabkan
adanya reaksi oksidasi dan degadasi warna menjadi coklap dan gelap. Suhu dan lama
pemanasan menyebabkan terjadinya dekomposisi dan perubahan struktur pigmen
sehingga warna yang dihasilkan semakin gelap.
Hasil analisis ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan
berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya
berpengaruh sangat nyata terhadap warna kemerahan (a). Uji lanjut DMRT dapat
dilihat pada Lampiran 4. Hasil warna kemerahan (a) yang diperoleh dari pemanasan
yang berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Warna Kemerahan (a) Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan
Berulang
Suhu Frekuensi Pemanasan Kemerahan (a)*
180°C 2 kali -1,43 ±0,12a
5 kali -1,34±0,07a
8 kali -1,40±0,10a
200°C 2 kali 0,65±0,05c
5 kali 0,55±0,05c
8 kali -0,32±0,03b
Sebelum dipanaskan 3,57±0,38
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)
63
Perubahan warna kemerahan disebabkan adanya karotenoid yang dapat
menghasilkan warna merah pada minyak. Senyawa karotenoid pada minyak dapat
terdegadasi pada suhu dan frekuensi pemanasan yang tinggi. Suhu dan lama
pemanasan menyebabkan terjadinya dekomposisi dan perubahan struktur pigmen
sehingga terjadi perubahan warna menjadi merah gelap. Kerusakan karotenoid tidak
akan terjadi selama produk tidak mengalami oksidasi lemak, karena karotenoid
merupakan pigmen yang terikat pada lemak sebagai ester asam lemak (Mahmudan,
dkk, 2014).
Pengukuran faktor lain selain intensitas warna kemerahan (a) adalah
pengukuran intensitas warna kekuningan (b) pada minyak kelapa sawit yang telah
diberi perlakuan pemanasan berulang.
3. Kekuningan (b)
10,00
8,00
Kekuningan (b)
6,00
4,00
Gambar 4.8. Gafik Kekuningan (b) Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil
Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 180°C
dan 200°C
64
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa warna kekuningan (b) pada minyak kelapa
sawit komersial ini mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya frekuensi
pemanasan dan suhu pemanasan. Trend penurunan terendah terjadi pada sampel
minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C dan 200°C.
Hal ini diakibatkan karena adanya faktor suhu yang meningkat dan faktor pemanasan
yang berulang sehingga mengakibatkan warna kekuningan minyak kelapa sawit
semakin menurun. Perubahan warna dari kuning ke merah terjadi karena reaksi dari
sisa reaktan dengan pembuatan crude glycerol seperti asam fosfat dan adanya
pigmen karoten yang membuat warna kuning berubah menjadi warna merah (Aufari,
2013).
Hasil analisa ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan
berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya
berpengaruh sangat nyata terhadap warna kekuningan (b). Uji lanjut DMRT dapat
dilihat pada Lampiran 4. Hasil warna kekuningan (b) yang diperoleh dari pemanasan
yang berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Warna Kekuningan (b) Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan
Berulang
Suhu Frekuensi Pemanasan Kekuningan (b)*
180°C 2 kali 5,60±0,35b
5 kali 5,03±0,21a
8 kali 4,83±0,15a
200°C 2 kali 8,77±0,15e
5 kali 7,47±0,40d
8 kali 6,47±0,21c
Sebelum dipanaskan 8,95±0,33
*
) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)
Tabel 4.9 secara umum menunjukkan suhu 200°C dapat menurunkan warna
kekuningan (b) lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8
kali dapat menurunkan warna kekuningan (b) lebih rendah dibandingkan dengan
frekuensi pemanasan 2 kali dan 5 kali. Hal ini berarti trend grafik sesuai dengan hasil
analisis ragam.
Minyak kelapa sawit yang mengalami perubahan warna kekuningan pada
minyak biasanya terjadi karena adanya kandungan karotenoid pada minyak yang
terhidrogenasi dan dapat terjadi akibat proses absorbsi dalam minyak tidak jenuh
65
sehingga minyak dapat terdegadasi menghasilkan senyawa keton, aldehid, polimer,
dan terjadinya dekomposisi asam lemak. Warna kekuningan yang timbul akibat
degadasi zat warna alamiah amat sulit dihilangkan, timbulnya warna ini dapat
diidentifikasikan bahwa telah terjadi kerusakan pada minyak. Karotenoid bersifat tidak
stabil pada suhu tinggi, sehingga apabila senyawa karotenoid terkena panas secara
terus menerus maka warna kuning akan hilang (Mahmudan, dkk, 2014). Reaksi
oksidasi lemak akan membentuk senyawa peroksida. Hubungan yang erat tantara
proses absorpsi dan timbulnya warna kuning dalam minyak terutama terjadi pada
lemak tak jenuh. Warna ini timbul diakibatkan karena penyimpanan dan pemanasan
berulang.
66
dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat
mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Aminah, 2010).
Pada nilai TBA yang dihasilkan pada penelitian ini tidak sesuai dengan
standar. Menurut Pkorny dan Dieffenbacter (1989) nilai TBA untuk minyak kelapa
sawit sebesar 0,1-0,2 mg. Ketidak sesuaian ini dikarenakan pada pemanasan yang
berulang, minyak kelapa sawit sudah mengalami reaksi oksidasi lebih lanjut yang
mengakibatkan terbentuknya senyawa malonaldehida, jika ketengikan oksidatif hadir
dalam jumlah yang tinggi, potensi bahaya kesehatan mungkin ada. Malonaldehid
tinggi ditemukan dalam makanan tengik. Malonaldehid adalah produk penguraian
asam lemak tak jenuh ganda yang bersifat karsinogenik. Minyak tengik yang
dikonsumsi dalam jangka panjang akan mempercepat penuaan, meningkatkan kadar
kolesterol, dan obesitas. Konsumsi harian meningkatkan risiko penyakit degenerasi
seperti kanker, diabetes, alzheimer, dan aterosklerosis yaitu suatu kondisi di mana
dinding arteri menebal karena penumpukan bahan lemak. Menurut sebuah studi dari
University of Basque Country, tingkat kerusakan dan pembentukan total senyawa
beracun tergantung pada jenis minyak dan suhu. Awalnya, minyak terurai menjadi
hidroperoksida, kemudian menjadi aldehida (Okpranta, 2018).
Pada penelitian ini suhu yang direkomendasikan untuk proses penggorengan
dengan menggunakan minyak kelapa sawit adalah pada suhu 180°C, dikarenakan
jika penggorengan yang dilakukan melebihi dari suhu 180°C akan menyebabkan
kerusakan minyak lebih cepat dan akan menyebabkan penurunan nilai gizi pada
bahan pangan yang digoreng akibat bahan tersebut tidak tahan panas dan suhu
terlalu tinggi. Menurut penelitian Ahmad (2013) pada perlakuan penggorengan
dengan suhu terendah 180°C terjadi dekomposisi senyawa dengan berat molekul
rendah seperti FFA dan senyawa volatil diminyak berkontribusi pada pembentukan
asap (Azmil & Razali 2008). Titik asap didefinisikan sebagai yang suhu terendah
minyak atau lemak yang dipanaskan di mana asap terus-menerus dan tampak
berkembang di permukaan bisa jadi karena adanya jumlah tinggi asam lemak tak
jenuh ganda. Semakin besar derajat tidak jenuh, semakin cepat minyak cenderung
teroksidasi terutama selama penggorengan lemak dalam (Azmil & Lin 2008).
Berdasarkan penelitian ini kualitas fisik minyak yang telah dipanaskan pada
suhu 180°C dengan frekuensi 2 kali pemanasan menunjukan sesuai dengan standar
SNI 3741-2012 dari segi warna yang meliputi kecerahan (L), kemerahan (a), dan
67
kekuningan (b). Rekomendasi penggunaan minyak goreng kelapa sawit pada proses
penggorengan sebaiknya dilakukan pemanasan tidak lebih dari suhu 180°C dengan
frekuensi 2 kali pemanasan. Hal ini dikarenakan jika minyak dilakukan pemanasan
lebih dari suhu 180°C dengan frekuensi 2 kali maka minyak tersebut sudah mengalami
reaksi oksidasi lebih lanjut yang akan berdampak negatif bagi kesehatan.
68
V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
69
DAFTAR PUSTAKA
Aufari, M. A., Robianto, S., dan Manurung, R. 2013. Pemurnian Crude Glycerine
melalui Proses Bleaching dengan Menggunakan Karbon Aktif. Jurnal
Teknik Kimia Vol 02 No. 01
Ayala, A., Muñoz, M. F,, and Argüelles, S. 2014. Lipid Peroxidation: Production,
Metabolism, and Signaling Mechanisms of Malondialdehid and 4-Hydroxy-
2-Nonenal. Oxidative Medicine and Cellular Longevity 14:1-31
Azizah, Z., Rasyid, R. dan D. Kartina. 2016. Pengaruh Minyak Goreng Curah dan
Sifat Organoleptik Tempe Pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal
Pangan dan Gizi 1(1): 7-14
70
Azmil, Hat& Lin, SW. 2008. Quality Assessment of Palm Products Upon
Prolonged Heat Treatment. Japan Oil Chemists’Society. Vol. 57. No. 12, pp.
639-48
Badan Pusat Statistik. 2017. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu Beberapa
Macam Bahan Makanan Penting. https://www.bps.go.id
Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology. Di dalam: Bailey’s Industrial Oil and
Fat Technology; Edible Oil and Fat Product: Product and Application
Technology (4th ed., Vol 3). Wiley-Interscience Publication. New York
Barriuso, B., Astiasaran, I., and Ansorena, D. 2013. A review of analytical methods
measuring lipid oxidation status in foods: A challenging task. European
Food Research and Technology, 236 (1), 1–15
Budiyanto, Silsia, D., Efendi, Z., Rasie. 2010. Perubahan Kandungan β-Karoten,
Asam Lemak Bebas dan Bilangan Peroksida Minyak Sawit Merah Selama
Pemanasan. Jurnal Teknologi Pertanian Vol.20, No.2. Bengkulu. Universitas
Bengkulu
Choe, E., And Min, B.D. 2007. Chemistry of Deep-Fat Frying Oils. Journal Of Food
Science Vol.72, Nr.5, 2007. Institute Of Food Technologists
Devi, N. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. PT Kompas Media
Nusantara. Jakarta
71
Dunford, N.T. 2012. Advancements in oil and oilseed processing. In
FoodandIndustrial Bioproducts and Bioprocessing. John Wiley and Sons
Inc.: Ames, IA, USA; pp. 115–143
Edwar Zulkarnain, Heldrian Suyuthie, Ety Yerizal dan Delmi Sulatri, 2011. Pengaruh
Pemanasan Terhadap Kejenuhan Asam Lemak Minyak Goreng Sawit dan
Minyak Goreng Jagung. Journal Med Assoc Vol. 61 No. 6. hal. 248 – 252
Esterbauer H, Koller E, Slee RG, Koster JF. 1984. Possible involvement of the lipid-
peroxidation product 4- hydroxynonenal in the formation of fluorescent
chromolipids. Biochem. J. 239:405–409
Fauzi, Y., Yustina, EW., Satyawibawa, I., Paeru, RH., 2008. Kelapa Sawit Budidaya
dan Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasara.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Jakarta
Frankel, E. N. 1982. Volatile lipid oxidation products, Prog. Lipid Res., 22, 1
Gascon, J.P., Noiret, J. M., Meunier, J. 1989. Oil palm. In Oil Crops of the World,
Robbelen, G., Downey, R.K., Ashri, A., Eds.; McGraw-Hill: New York; pp. 475–
495
Goswami, G., Bora Rajni, Rathore, M.S. 2015. Oxidation of Cooking Oil Due To
Repeated Frying and Human Health. Conference Center, University of Delhi
(DU). India
72
Henson, I.E. A brief history of the palm oil. In Palm Oil: Production, Processing,
Characterization and Uses; Lai, O.-M., Tan, C.-P., Akoh, C.C., Eds.; AOCS
Press: Urbana, IL, USA, 2012
Herlina, H., Astiyaningsih, E., Windarti, W. 2017. Tingkat Kerusakan Minyak Kelapa
Selama Penggorengan pada Pembuatan Ripe Banana Chips (RBC). Jurnal
Agoteknologi. Vol.11.No.02
Ilmi, I. M. B., Khomsan, A., Marliyati, S. A., 2015, Kualitas Minyak Goreng dan
Produk Gorengan Selama Penggorengan di Rumah Tangga Indonesia.
Jurnal Aplikasi Pangan, 4 (2): 61-65
Indriwanto, S. 2015. Perubahan Mutu Minyak Kelapa dan Minyak Sawit Selama
Penggorengan Pattern of Cononut Oil dan Palm Oil Quality During
Frying. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol .16. No.1
Kalogeropoulos, N., Salta, F.N., Chiou, A. And Andrikopoulos, N.K. 2007. Formation
and distribution of oxidized fatty acids during deep- and pan-frying of
potatoes. Eur. J. Lipid Sci. Technol. 109, 1111–1123
Kellens, M., Gibon, V., Hendrix, M., and DeGreyt, W. 2007. Palm oil fractionation.
European Journal of Lipid Science and Technology, 109(4), 336–349
Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Edisi Pertama Jakarta : Penerbit UI
Universitas Indonesia. Jakarta
73
Lai, O., Tan-Chin, Akoh. 2012. Palm Oil Production, Processimg,
Characterization, and uses. AOCS-Press.United States of America
Liang, T. 2009. Seluk Beluk Kelapa Sawit- Bab VIII. Produk dan Standarisasi. PT.
Harapan Sawit Lestari, Kab. Ketapang. Kalimantan Barat. 15 hlm
Mancini, A., Imperlini, Nigor, E., Montagnese, C. 2015. Biological and Nutritional
Properties of Palm Oil and Palmitic Acid : Effects on Health. Journal
Molecules, Vol. 20
Marsigit, W., Budiyanto, dan Mukhsin. 2011. Analisis Penurunan Kualitas Minyak
Goreng Curah Selama Penggorengan Kerupuk Jalin. Jurnal Agoindustri
Vol.1 Nomor 2
Mariod A, Matthaus B, Eichner K, Hussein IH. 2006. Frying Quality and Oxidative
Stability of Two Unconventional Oils. Journal of the American Oils
Chemists’ Society 83(6): 529-538
Moigadean, D., Mariana-Atena Polana, Alda, Maria L., Gogoasa. 2013. Quantitative
Identification of Fatty Acids from Walnut nd Coconut Oil Using GC-MS
Method. Journal of Agoallmentary Process and Technologies. 19(4): 459-463
Mujadin, A., Syafitri, J., Puspitasari. 2014. Pengujian Kualitas Minyak Goreng
Berulang Menggunakan Metoda Uji Viskositas dan Perubahan Fisis.
74
Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi. Vol.2. No.4. Halm: 229-
233
Mulasari, S., dan Utami, R. 2012. Kandungan Peroksida pada Minyak Goreng.
Jurnal Biomedika 1 (2): 121
Ng, T. K. W., Low, C. X., Kong, J. P., and Cho, Y. L. 2012. Use of red palm oil in
local snacks can increase intake of pro vitamin A carotenoids in young
aborigines children: A Malaysian experience. Malaysian Journal of
Nutrition, 18(3), 393–397
Nodjeng, M.,& Fatimah, F.2015. kUalitas Virgin Coconut Oil (VCO) yang Dibuat
pada Metode Pemanasan Bertahap Sebagai Minyak Goreng dengan
Penambahan Wortel (Daucus carrota L.). Jurnal Ilmiah Sains Vol.13. No.2
Nuraniza., B.P. Lapanporo., dan A. Yudha. 2013. Uji Kualitas Minyak Goreng
Berdasarkan Perubahan Sudut Polaritas Cahaya Menggunakan Alat
Semiautomatic Polarymeter. Prisma Fisika Vol.1 No.2
O’Brien, R. D. 2010. Fats and oils: Formulating and processing for applications
(3rd ed.). Boca Raton, Florida: CRC Press
Oeji, Adhika A., Atmadja W.L., Achamd T.A. 2012. Gambaran Anatomi
Miksroskopik dan Kadar Malondialdehida pada Hati Mencit Setelah
Pemberian Minyak Kelapa Sawit Bekas Menggoreng. JKM. 7 (1):15-25
75
Okparanta, S., Daminabo, V., Leera. 2018. Assessment of Rancidity and Other
Physicochemical Properties of Edible Oils (Mustard and Corn Oils)
Stores at Room Temperature. Journal of Food and Nutrition Sciences. 6(3).
70-75
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agibisnis dari Hulu
Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta
Paramitha, A., Reski. 2012. Studi Kualitas Minyak Makanan Gorengan Pada
Penggunaan Minyak Goreng Berulang. Skripsi. Universitas Hasanuddin
Makasar. Makasar
76
Rival, A. 2010. Oil Palm. Biotechnology in Agricultural and Forestry: Transgenic Crops
VI. [e-book] Berlin: Springer Berlin Heidelberg
Rohman, Abdul dan Soemantri. 2007. Analisis Makanan. UGM Press. Yogyakarta
Rustika. 2012. Asupan Asam Lemak Jenuh dari Makanan Gorengan dan
Resikonya Terhadap Kadar Profil Lipid Plasma padaa Kelompok Usia
Dewasa. FKM UI: Disertasi
Sartika, Ratu A.D. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep
Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara Sains 13 (1)
: 23-28
Sheyla, N., Raga., Herianus, J. 2016. Studi Penggorengan dan Mutu Minyak
Goreng Pada Usaha Jajan Gorengan di Kota Kupang. Seminar Nasional
Laboratorium Riset Terpadu. Universitas Nusa Cendana. Kupang
77
Standar Nasional Indonesia. 2002. SNI-01-3741-2002. Minyak Goreng. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta
Sunarko, 2009. Budidaya dan Pengolahan Kebun Kelapa Sawit Dengan Sistem
Kemitraan. Jakarta. Agomedia Pustaka
Suroso, A. S. 2013. Kualitas Minyak Goreng Habis Pakai Ditinjau dari Bilangan
Peroksida, Bilangan Asam dan Kadar Air. Jurnal Kefarmasian Indonesia.
Vol. 3.2.2013: 77-88
Tan, Chin-Ping and Nehdi, Imededdine Arbi. 2012. Palm Oil: Production,
Processing, Characterization, and Uses: The Physicochemical Properties
of Palm Oil and Its Components. Urbana: AOCS Press
Taufik. M, Seftiono, H. 2017. Karakteristik Fisik dan Kimia Minyak Goreng Sawit
Hasil Proses Penggorengan Dengan Meode Deep Fat-Frying. Jurnal
Teknologi Muhammadiyah Jakarta. Vol. 10 No. 2
Takeoka G, Full GH, Dao LT. 2011. Effect of Heating On The Characteristics and
Chemical Composition of Selected Frying Oil adan Fat. Journal of
Agiculture Food Chemistry. 45:3244-9
Tamrin. 2013. Gasifikasi Minyak Jelantah Pada Kompor Bertekanan. Jurnal Teknik
Pertanian Universitas Lampung Vol. 2 No. 2: 115-122
Tony, N. 2007. Local Repeatedly-Used Deep Frying Oils Are Generally Safe.
International Journal Science 1(2): 55-60
78
Tuminah, S. 2009. Efek Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh "Trans"
Terhadap Kesehatan. Media Peneliti dan Pengembang Kesehatan, S13-S19
Verbunt RJ, Egas JM, Van der Laarse A. Risk of overestimation of free
malondialdehyde in perfused rat hearts due to homogenization artifacts.
Cardiovasc Res 1996; 31: 603-6
Wadhwa,N., Mathew, B.B. Jatawa, S.K., dan Archana Tiwari. 2012. Lipid
Peroxidation: Mechanism, Models and Significance. Int. Curr. Sci. 3:29-38
Wang, R., Schuman, T.P. 2013. Vegetable Oil-Derived Epoxy Monomers and
Polymer Blends: A Comperative Study With Review. Express Polymers
Letters Vol.7 No.3: 272-292
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama. Jakarta
Winarno, F.G. 2012. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. IPB Press. Bogor
Yin, H., L. Xu, and N. A. Porter. Free radical lipid peroxidation: mechanisms and
analysis. Chemical Reviews, vol. 111, no. 10, pp. 5944–5972, 2011
Yuarini. A., & Wrasiasti. Pt. 2018. Karakteristik Minyak Goreng Bekas yang
dihasilkan Dikota Denpasar. Scientific Journal of Food Technology. Vol.5,
No.1, Hal. 49-55
Yuniarto, Kurniawan & Sukmawaty. 2008. Penentuan Susut Mutu Fisik Minyak
Goreng Dalam Operasi Penggorengan Hampa. Seminar Nasional Pulang
Kampus Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram . Mataram
Yusibani, E., Nagahama, Y., Shinzato, K., Fujii, M., Kohno, M., Takata, T., Woodfield,
P.L. 2017. A Capillary Tube Viscometer Designed For Measurements Of
Hydrogen Gas Viscosity At High Pressure And High Temperature.
International Journal of Thermophys. Vol. 32, no. 6. pp. 1111-1124
Yulia E, Mulyati AH, Farida N (2012). Kualitas Minyak Goreng Curah yang Berada
di Pasar Tradisional di Daerah Jabodetabek pada Berbagai
Penyimpanan. Jurnal Ilmiah Vol. 24
79
Yusibani, Elin, dkk.2017. Pengukran Viskositas Beberapa Produk Minyak Goreng
Sawit Setelah Pemanasan. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia
Yusof, K., Shamil, S., Nabillah, M., Kong, S., Hamizah, A. 2012. Deep-Fried Keropok
Lekors Increase Oxidative Instability in Cooking Oils. Malays Journal
Medical Science 19 (4).57-62
Zappi, M., Hernandez, M., Spark, D., Home, J., Brough, M., 2003. A Review of The
Engineering Aspects of the Biodiesel Industry. Msu Environmental
Technology Research and Applications Laboratory Dave C. Swalm Scholl of
Chemical Engineering Mississippi State University. Mississippi
80
Lampiran 1. Prosedur Analisa
Keterangan :
81
Keterangan :
3 𝑥 𝐴 x 7.8
Biilangan TBA =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
82
Lampiran 2. Data Hasil Analisis Kimia Minyak Goreng Sawit
𝑚𝑔 𝐾𝑂𝐻 56,1 𝑥 𝑉 𝑥 𝑁
Rumus Perhitungan Bilangan Asam = =
𝑔 𝑊
83
6. Data Hasil Bilangan Asam Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C
Perlakuan Minyak Berat Volume Titrasi
Ulangan
Kelapa Sawit Sampel (g) (ml)
I 10,0094 1,1
Kontrol II 10,0085 1,15
III 10,0074 1,15
I 10,0039 1,2
2 Kali Pemanasan II 10,0069 1,15
III 10,0068 1,2
I 10,0060 1,25
5 Kali Pemanasan II 10,0079 1,3
III 10,0074 1,4
I 10,0019 1,55
8 Kali Pemanasan II 10,0019 1,5
III 10,0076 1,5
𝑚𝑔 𝐾𝑂𝐻 56,1 𝑥 𝑉 𝑥 𝑁
Rumus Perhitungan Bilangan Asam = =
𝑔 𝑊
84
8. Data Hasil Bilangan Peroksida Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C
Perlakuan Minyak Berat Volume Titrasi
Ulangan
Kelapa Sawit Sampel (g) (ml)
I 5,0036 0,8
Kontrol II 5,0078 0,7
III 5,0041 0,9
I 5,0069 1,2
2 Kali Pemanasan II 5,0037 1,4
III 5,0077 1,3
I 5,0072 1,5
5 Kali Pemanasan II 5,0073 1,6
III 5,0066 1,65
I 5,0062 2,5
8 Kali Pemanasan II 5,0083 2,5
III 5,0025 2,6
85
10. Data Hasil Bilangan Peroksida Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C
Perlakuan Minyak Berat Volume Titrasi
Ulangan
Kelapa Sawit Sampel (g) (ml)
I 5,0069 1,4
Kontrol II 5,0040 1,4
III 5,0074 1,35
I 5,0064 1,5
2 Kali Pemanasan II 5,0040 1,55
III 5,0040 1,60
I 5,0067 2,6
5 Kali Pemanasan II 5,0029 2,7
III 5,0047 2,85
I 5,0057 3,45
8 Kali Pemanasan II 5,0061 3,5
III 5,0062 3,4
86
12. Data Hasil Bilangan TBA Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C
Perlakuan Minyak Berat Absorbansi
Ulangan
Kelapa Sawit Sampel (g) (nm)
I 10,042 0,128
Kontrol II 10,050 0,119
III 10,051 0,140
I 10,019 0,528
2 Kali Pemanasan II 10,016 0,517
III 10,011 0,497
I 10,026 0,641
5 Kali Pemanasan II 10,026 0,660
III 10,036 0,659
I 10,024 0,807
8 Kali Pemanasan II 10,023 0,773
III 10,021 0,809
3 𝑥 𝐴 x 7.8
Biilangan TBA =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
87
14. Data Hasil Bilangan TBA Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C
Perlakuan Minyak Absorbansi
Ulangan Berat Sampel (g)
Kelapa Sawit (nm)
I 10,038 0,225
Kontrol II 10,055 0,246
III 10,057 0,275
I 10,089 0,492
2 Kali Pemanasan II 10,090 0,458
III 10,058 0,446
I 10,011 0,678
5 Kali Pemanasan II 10,052 0,686
III 10,072 0,690
I 10,062 0,846
8 Kali Pemanasan II 10,069 0,890
III 10,056 0,940
3 𝑥 𝐴 x 7.8
Biilangan TBA =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
88
Lampiran 3. Data Analisis Fisik Minyak Goreng Kelapa Sawit Komersial
1. Data Hasil Uji Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Suhu 180°C
Perlakuan Minyak Berat Piknometer
Ulangan Berat Sampel (g)
Kelapa Sawit Awal
I 42,9416
Kontrol II 42,9635 22,1834
III 42,9720
I 43,4605
2 Kali Pemanasan II 43,4718 21,9728
III 43,4712
I 42,6066
5 Kali Pemanasan II 42,7019 20,3869
III 42,6014
I 43,8303
8 Kali Pemanasan II 43,2388 20,4880
III 43,8308
89
3. Data Hasil Uji Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Suhu 200°C
Perlakuan Minyak Berat Piknometer
Ulangan Berat Sampel (g)
Kelapa Sawit Awal
I 41,7259
Kontrol II 41,7205 20,9508
III 41,7134
I 43,6764
2 Kali Pemanasan II 43,6764 21,6200
III 43,6748
I 43,6801
5 Kali Pemanasan II 43,6896 20,8400
III 43,6804
I 44,0492
8 Kali Pemanasan II 44,0494 20,4383
III 44,0491
90
5. Data Hasil Perhitungan Viskositas Pada Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C
Perlakuan Ulangan Hasil Rata-Rata Standar CV
Minyak (cP) Deviasi
Kelapa
Sawit
Kontrol I 134,00 133,33 0,58 0,43
II 133,00
III 133,00
2 Kali I 143,00 142,33 0,58 0,41
Pemanasan II 142,00
III 142,00
5 Kali I 152,00 151,33 0,58 0,38
Pemanasan II 151,00
III 151,00
8 Kali I 176,00 175,67 0,58 0,33
Pemanasan II 176,00
III 175,00
6. Data Hasil Perhitungan Viskositas Pada Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C
Perlakuan
Minyak Rata- Standar
Ulangan Hasil (cP) CV
Kelapa Rata Deviasi
Sawit
I 120,00
Kontrol II 120,00 119,67 0,58 0,48
III 119,00
I 146,00
2 Kali
II 145,00 145,33 0,58 0,40
Pemanasan
III 145,00
I 168,00
5 Kali
II 167,00 167,33 0,58 0,35
Pemanasan
III 167,00
8 Kali I 180,00
179,67 0,58 0,32
Pemanasan II 180,00
III 179,00
91
7. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkat Kecerahan (L) Pada Minyak Goreng
Sawit Suhu 180°C
Perlakuan
Minyak Rata- Standar
Ulangan Kecerahan (L) CV
Kelapa Rata Deviasi
Sawit
I 32,80
Kontrol II 32,60 32,53 0,31 0,94
III 32,20
I 27,80
2 Kali
II 27,60 27,47 0,42 1,52
Pemanasan
III 27,00
I 27,20
5 Kali
II 27,20 27,17 0,06 0,21
Pemanasan
III 27,10
8 Kali I 26,90
26,73 0,15 0,57
Pemanasan II 26,70
III 26,60
8. Data Hasil Perhitungan Warna Kemerahan (a) Pada Minyak Goreng Sawit
Suhu 180°C
Perlakuan
Minyak Kemerahan Rata- Standar
Ulangan CV
Kelapa (a) Rata Deviasi
Sawit
I 3,20
Kontrol II 3,70 3,57 0,32 9,01
III 3,80
I -1,50
2 Kali
II -1,30 -1,43 0,12 -8,06
Pemanasan
III -1,50
I -1,42
5 Kali
II -1,30 -1,34 0,07 -5,17
Pemanasan
III -1,30
8 Kali I -1,30
-1,40 0,10 -7,14
Pemanasan II -1,40
III -1,50
92
9. Data Hasil Perhitungan Warna Kekuningan (b) Pada Minyak Goreng Sawit
Suhu 180°C
Perlakuan
Minyak Kekuningan Rata- Standar
Ulangan CV
Kelapa (b) Rata Deviasi
Sawit
I 8,80
Kontrol II 8,30 8,53 0,25 2,95
III 8,50
I 5,40
2 Kali
II 6,00 5,60 0,35 6,19
Pemanasan
III 5,40
I 5,20
5 Kali
II 5,10 5,03 0,21 4,14
Pemanasan
III 4,80
8 Kali I 5,00
4,83 0,15 3,16
Pemanasan II 4,80
III 4,70
10. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkah Kecerahan (L) Pada Minyak Goreng
Sawit Suhu 200°C
Perlakuan
Minyak Rata- Standar
Ulangan Kecerahan (L) CV
Kelapa Rata Deviasi
Sawit
I 29,30
Kontrol II 29,90 29,60 0,30 1,01
III 29,60
I 28,40
2 Kali
II 28,90 28,53 0,32 1,13
Pemanasan
III 28,30
I 28,50
5 Kali
II 28,70 28,60 0,10 0,35
Pemanasan
III 28,60
8 Kali I 27,20
27,30 0,26 0,97
Pemanasan II 27,60
III 27,30
93
11. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkah Kemerahan (a) Pada Minyak Goreng
Sawit Suhu 200°C
Perlakuan
Minyak Kemerahan Rata- Standar
Ulangan CV
Kelapa (a) Rata Deviasi
Sawit
I 4,70
Kontrol II 4,80 4,50 0,44 9,69
III 4,00
I 0,60
2 Kali
II 0,70 0,65 0,05 7,69
Pemanasan
III 0,65
I 0,50
5 Kali
II 0,59 0,55 0,05 8,25
Pemanasan
III 0,55
8 Kali I -0,35
-0,32 0,03 -7,78
Pemanasan II -0,30
III -,032
12. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkah Kekuningan (b) Pada Minyak Goreng
Sawit Suhu 200°C
Perlakuan
Minyak Kekuningan Rata- Standar
Ulangan CV
Kelapa (b) Rata Deviasi
Sawit
I 9,00
Kontrol II 9,80 9,37 0,40 4,31
III 9,30
I 8,60
2 Kali
II 8,90 8,77 0,15 1,74
Pemanasan
III 8,80
I 7,10
5 Kali
II 7,40 7,47 0,40 5,41
Pemanasan
III 7,90
8 Kali I 6,70
6,47 0,21 3,22
Pemanasan II 6,40
III 6,30
94
Lampiran 4. Hasil Analisis ANOVA Menggunakan Progam SPSS Versi 21
95
3. Tabel Hasil Analisis ANOVA Bilangan TBA Menggunakan Progam SPSS
Versi 21
Type III
Mean
Source Sum of df F Sig.
Square
Squares
Corrected Model 2.246a 5 .449 201.662 .000
Intercept 44.023 1 44.023 19761.160 .000
Suhu .022 1 .022 9.898 .000
Frekuensi_pemanasan 2.125 2 1.063 479.980 .000
Suhu*frekuensi_pemanasan .099 2 .050 22.227 .000
Error .027 12 .002
Total 46.297 18
Corrected Total 2.273 17
Keterangan : R Squared=.988 (Adjusted R Squared= .983)
96
5. Tabel Hasil Analisis ANOVA Viskositas Menggunakan Progam SPSS Versi
21
Type III
Mean
Source Sum of df F Sig.
Square
Squares
Corrected Model .3863.611a 5 772.772 2318.167 .000
Intercept 462401.389 1 462401.389 1387204.167 .000
Suhu 264.500 1 264.500 793.500 .000
Frekuensi_pemanasan 3442.111 2 1721.056 5163.167 .000
Suhu*frekuensi_pemanasan 157.000 2 78.500 235.500 .000
Error 4.000 12 .333
Total 466269.000 18
Corrected Total 3867.661 17
Keterangan : R Squared=.999 (Adjusted R Squared= .999)
97
7. Tabel Hasil Analisis ANOVA Warna Kemerahan (a) Menggunakan Progam
SPSS Versi 21
Type III
Mean
Source Sum of df F Sig.
Square
Squares
Corrected Model 14.463a 5 2.893 521.182 .000
Intercept 5.445 1 5.445 981.081 .000
Suhu 12.734 1 12.734 2294.490 .000
Frekuensi_pemanasan .874 2 .437 78.766 .000
Suhu*frekuensi_pemanasan .854 2 .427 76.944 .000
Error .067 12 .006
Total 19.974 18
Corrected Total 14.529 17
Keterangan : R Squared=.995 (Adjusted R Squared= .994)
98
Lampiran 5. Uji Lanjut BNT atau DMRT Menggunakan Progam SPSS Versi 21
99
2. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap
Bilangan Peroksida
4,32 0,40
4,55 0,42
12 0,027
4,68 0,43
4,76 0,44
4,84 0,45
100
3. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap
Bilangan TBA
101
4. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap
Bobot Jenis
102
5. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap
Viskositas
103
6. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap
Warna Tingkat Kecerahan (L)
104
7. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap
Warna Kemerahan (a)
105
8. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap
Warna Kekuningan (b)
106
Lampiran 6. Dokumentasi
107
Pengujian Viskositas Minyak
Bobot Jenis Minyak Goreng Kelapa
Goreng Kelapa Sawit yang Sudah
Sawit yang Sudah Diberi Perlakuan
Diberi Perlakuan
108