Pasal 1
1. Kebijakan Pelayanan Rumah Sakit Umum Bunga Bangsa Medika sebagaimana
tercantum dalam lampiran peraturan;
2. Pembinaan dan pengawasan terhadap kebijakan Pelayanan ini dilaksanakan oleh
Kepala Divisi Pelayanan Medis, Kepala Divisi Keperawatan dan Kebidanan, Kepala
Divisi Penunjang Medis;
3. Peraturan ini ditetapkan sejak diterbitkan.
Ditetapkan di : Sleman
Pada tanggal : 30 Juli 2023
Direktur
RS Bunga Bangsa Medika
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya telah tersusun
Panduan Budaya Keselamatan Rumah Sakit Umum Bunga Bangsa Medika. Dalam rangka
memberikan pelayanan secara berkesinambungan maka sangat dibutuhkan Panduan
Budaya Keselamatan supaya dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama
pasien secara maksimal.
Didasari bahwa masih banyak kekurangan dalam buku panduan ini, oleh karena itu
saran dan kritik untuk perbaikan sangat kami harapkan. Semoga Panduan Budaya
Keselamatan ini dapat bermanfaat.
Penyusun
i
BAB I
MANAJEMEN DI DIVISI/UNIT/UNIT
Pasal 1
Sumber Daya Manusia (SDM)
1. Seluruh staf di rumah sakit wajib memiliki ijin legalitas kerja sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2. Penyediaan tenaga harus mengacu kepada pola ketenagaan dengan memperhatikan
kebutuhan tenaga sesuai jenis kelamin.
3. Seluruh staf rumah sakit wajib mengikuti pelatihan yang sudah diprogramkan oleh
rumah sakit dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kompetensi staf baik
dari aspek professional,
4. Seluruh staf rumah sakit wajib menerapkan prinsip profesional dalam memberikan
pelayanan di rumah sakit sesuai dengan ketentuan yang berlaku di rumah sakit.
5. Seluruh staf rumah sakit wajib mengikuti dan berperan aktif dalam program layanan di
rumah sakit.
6. Seluruh staf rumah sakit dalam melaksanakan pekerjaannya harus selalu sesuai
dengan ketentuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3) termasuk
kepatuhan dalam penggunaan alat pelindung diri (APD).
7. Seluruh staf rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, regulasi rumah
sakit meliputi kebijakan, pedoman/panduan, standar prosedur operasional dan lain-
lain yang berlaku serta sesuai dengan etika rumah sakit, etika profesi dan etika umum
karyawan yang berlaku di rumah sakit.
Pasal 2
Proses Pelayanan
1. Kepuasan pelanggan merupakan salah satu target utama pelayanan setiap bagian yang
harus dicapai dan dipertahankan serta ditingkatkan.
2. Setiap divisi/unit/unit memiliki standar kepuasan pelayanan di unitnya masing-masing
yang diukur secara berkala oleh pihak yang berkompeten sesuai ketetapan direktur.
Pasal 4
Keuangan dan uang muka pelayanan
1. Setiap divisi/unit/unit menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) tahunan dan
bulanan sebagai acuan pembiayaan operasional di bagiannya.
2. Setiap divisi/unit/unit wajib menerapkan prinsip efisiensi dan efektifitas biaya dalam
melaksanakan pelayanan kegiatan di bagiannya.
3. Setiap divisi/unit/unit harus menyusun unit cost setiap pelayanan yang dilakukannya
dengan mengedepankan aspek keadilan dan kewajaran.
4. Setiap divisi/unit/unit tidak diperbolehkan mengenakan uang muka pada semua jenis
pelayanan baik pasien gawat darurat maupun non gawat darurat, baik rawat jalan
maupun rawat inap termasuk pada pelayanan home visite dan home care.
BAB II
PELAYANAN DI DIVISI/UNIT/UNIT
Pasal 5
Jenis dan jam pelayanan
1. Pelayanan di divisi/unit/unit harus sesuai dengan visi dan misi serta sumber daya yang
tersedia.
2. Jenis pelayanan yang wajib ada adalah pelayanan gawat darurat, poliklinik umum,
poliklinik spesialis, persalinan, operasi, rawat inap, perawatan intensif (intensive care),
kerohanian, komplementer, fisioterapi, gizi, laboratorium, radiologi, farmasi, rekam
medis, Home Care dan Home Visite, rukti jenazah, pemeliharaan sarana prasarana
rumah sakit, sanitasi dan administrasi perkantoran,
3. Pelayanan yang dilaksanakan selama 24 jam dan berlangsung terus – menerus adalah
pelayanan gawat darurat, persalinan, rawat inap, perawatan intensif (intensive care),
kerohanian, gizi, laboratorium, radiologi, farmasi, rekam medis, pemeliharaan sarana
prasarana rumah sakit dan sanitasi.
4. Pelayanan yang dilaksanakan dalam jam kerja dan dapat ditambah sistem on call
(panggilan)/ perjanjian adalah pelayanan poliklinik umum, poliklinik spesialis,
hemodialisis, operasi, komplementer, fisioterapi, Home Care dan Home Visite, rukti
jenazah dan administrasi perkantoran.
5. Ketentuan jenis pelayanan dan jam pelayanan diatur lebih lanjut dalam keputusan
direktur dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
kebutuhan masyarakat, ketersediaan Sumber Daya Manusia dan sumber daya modal
serta pendukung lainnya.
Pasal 6
Pelayanan yang seragam
Pasal 7
Akses dan Kontinuitas Pelayanan
1. Rumah Sakit Bunga Bangsa Medika membangun sistem informasi pelayanan yang
terintegrasi dengan para profesional di bidang pelayanan kesehatan dalam semua
tingkat pelayanan baik internal maupun eksternal untuk menjamin akses dan
membangun kontinuitas pelayanan dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan
pasien dan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit.
2. Sistem informasi pelayanan harus mampu memberikan gambaran jelas untuk membuat
keputusan yang benar tentang:
a. Kebutuhan pasien yang mana yang dapat dilayani rumah sakit.
b. Pemberian pelayanan yang efisien kepada pasien.
c. Transfer dan pemulangan pasien yang tepat ke rumah atau ke pelayanan lain.
3. Sistem informasi mengatur jaminan terhadap akses dan kontinuitas pelayanan minimal
meliputi:
a. Informasi yang harus diberikan saat admisi.
b. Skrining dan tes diagnosis.
c. Kriteria masuk dan keluar dari sebuah pelayanan.
d. Pemberian pelayanan oleh Profesional Pemberi Asuhan (PPA).
e. Transfer internal dan eksternal.
f. Penundaan pelayanan.
g. Pemulangan pasien.
Pasal 8
Pelayanan yang dilarang dilakukan
BAB III
Pasal 9
Komunikasi efektif pada pasien dan keluarga
1. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) harus menjalankan komunikasi yang efektif pada
pasien dan keluarganya.
2. Komuniksi yang efektif dari Profesional Pemberi Asuhan (PPA) kepada pasien dan
keluarganya termasuk dalam mengkomunikasikan informasi kesehatan pasien kepada
pasien dan keluarganya.
3. Komunikasi pada pasien dan keluarga harus mempertimbangkan kejelasan informasi,
keakuratan, kelengkapan, ketepatan waktu penyampaian, ketepatan media yang
digunakan dan mudah dipahami oleh pasien dan keluarganya.
4. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) harus menggunakan metode komunikasi yang lain
ketika komunikasi secara tertulis tidak efektif yaitu pada hambatan bahasa maka
komunikasi dijalankan dengan menggunakan penterjemah bahasa yang dipahami
pasien; hambatan buta huruf dan kebutaan maka disampaikan secara verbal; hambatan
karena bisu atau tuli maka disampaikan dalam bentuk tulisan, gambar atau isyarat
dengan ketentuan penterjemah dari pihak pasien yang masih berusia anak-anak
merupakan pilihan terakhir.
Pasal 10
Komunikasi efektif antar pemberi pelayanan
1. Setiap Profesional Pemberi Asuhan (PPA) kepada pasien yang sama harus saling
berkomunikasi, berkoordinasi dan bersinergi.
2. Komunikasi antar pemberi pelayanan di rumah sakit harus dilakukan secara efektif
dengan mempertimbangkan kejelasan informasi, keakuratan, kelengkapan, ketepatan
waktu penyampaian, ketepatan media yang digunakan dan mudah dipahami oleh
penerima informasi.
3. Setiap komunikasi/perintah terkait perkembangan pasien, pengobatan, tindakan dan
hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan melalui lisan dan telepon harus dipastikan
tidak terjadi kesalahan di mana antisipasi terhadap kesalahan ini dilakukan dengan
menerapkan metode TULIS, BACA, KONFIRMASI (TBK) oleh petugas penerima
informasi dan KONFIRMASI ULANG (KU) oleh petugas pemberi informasi dengan cara
dibaca dan ditandatangani/paraf oleh pemberi perintah selambat-lambatnya 1x24 jam
(METODE TBK-KU).
4. TBK-KU dilakukan oleh penerima informasi/perintah dengan menuliskan isi
informasi/perintah secara lengkap (T), kemudian membacakan ulang (B) dan meminta
konfirmasi untuk memastikan keakuratan penulisan (K) sedangkan pemberi perintah
memeriksa catatan penerima perintah untuk konfirmasi ulang kebenaran penulisan
perintahnya (KU).
5. Pemberi perintah yang menolak mendengarkan penerima perintah membaca (B) atau
tidak bersedia melakukan konfirmasi (K) dan konfirmasi ulang (KU) tetap
bertanggungjawab terhadap tulisan (T) dari penerima informasi/perintah.
6. Semua perintah lisan dan laporan hasil pemeriksaan kritis harus didokumentasikan
dalam rekam medis pada catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) dengan
mencantumkan tanggal dan jam perintah atau informasi diterima, isi perintah atau hasil
pemeriksaan kritis, nama terang dan paraf atau tanda tangan penerima perintah serta
pemberi perintah.
7. Sistem pelaporan perkembangan pasien dilakukan menggunakan teknik SBAR
(Situation, Background, Assesment, Recommendation) yang meliputi penyampaian
informasi terkini terkait masalah, informasi latar belakang masalah, informasi tindakan
yang sudah dilakukan, dan rekomendasi atau usulan tindak lanjut untuk mengatasi
masalah.
Pasal 11
Identitas
1. Tiga jenis identitas dalam proses identifikasi adalah nama pasien, tanggal lahir dan
nomor rekam medis yang berlaku seragam dan konsisten di semua divisi/unit/unit
pelayanan.
2. Gelang identitas digunakan pada pasien rawat inap untuk memudahkan dan
menyeragamkan proses identifikasi.
3. Gelang identitas pasien laki-laki berupa gelang berwarna biru, perempuan gelang
berwarna pink, identitas do not resuscitate (DNR) adalah gelang warna ungu, identitas
alergi adalah kancing warna merah yang dipasang pada gelang identitas, identitas
resiko jatuh adalah kancing warna kuning yang dipasang pada gelang identitas.
4. Pemasangan gelang identitas pasien dilakukan oleh perawat atau bidan jaga setelah
pasien dan atau keluarganya menandatangani lembar persetujuan rawat inap.
5. Petugas yang memasang gelang identitas harus menjelaskan kepada pasien dan atau
keluarganya tentang manfaat pemasangan gelang identitas yaitu agar tidak terjadi salah
pasien dan kapan saat-saat petugas akan menanyakan identitas pasien.
6. Gelang identitas dapat tidak digunakan karena penolakan, alergi atau karena tidak
dapat dilakukan pemasangan namun harus dilakukan penandaan dengan metode lain
yaitu menggunakan papan/media berbentuk segitiga dengan warna sesuai gelang dan
kancing identitas yang diletakkan pada bed pasien.
7. Setiap pasien meninggal atau jenazah harus diberi identitas KARTU JENAZAH yang
dipasang pada jempol kaki diutamakan yang kanan atau bagian tubuh jenazah yang
masih utuh.
Pasal 12
Identifikasi
1. Setiap pasien diidentifikasi menggunakan minimal dua dari tiga jenis identitas yang
ditetapkan yaitu nama pasien, tanggal lahir dan nomor rekam medis serta tidak boleh
menggunakan nomor ruangan atau lokasi pasien untuk identifikasi.
2. Identifikasi harus dilakukan pada saat akan melakukan pemberian obat, darah atau
produk darah, pengambilan darah atau spesimen lain untuk pemeriksaan klinis,
pemberian pengobatan atau tindakan lain, dan pemberian diet pasien.
3. Setiap petugas melakukan proses identifikasi untuk memastikan identitas pasien
dengan cara:
a. Pada pasien dengan gelang identitas dengan bertanya nama dan tanggal lahir pasien
atau dengan menyapa nama pasien dan mencocokkan nomor rekam medis yang
tertulis pada gelang identitas.
b. Pada pasien tanpa gelang identitas dengan bertanya nama dan tanggal lahir pasien
langsung atau dengan menyapa nama pasien dan mencocokkan nomor rekam medis
yang tertulis pada rekam medis atau kartu periksa pasien.
c. Pada pasien dengan kondisi gawat darurat dilakukan dengan bertanya pada dokter
atau petugas yang ada di tempat penanganan atau pada keluarga atau pengantar
pasien.
Pasal 13
Pengelolaan Alur Pelayanan Pasien
1. Setiap unit atau unit memiliki regulasi pengaturan alur pasien guna menghindari
penumpukan pasien.
2. Unit Gawat Darurat melaksanakan pengelolaan alur pasien ketika terjadi penumpukan
pasien UGD dan pasien dengan triase hijau sejumlah 5 pasien, maka dokter dari unit
lain yang sedang berjaga saat itu membantu pelayanan UGD.
3. Unit Rawat Inap dan VK melaksanakan pengelolaan alur pasien dengan cara pasien
pemberian batas waktu selama 2 jam setelah administrasi selesai dilakukan.
4. Unit Rawat Jalan melaksanakan pengelolaan alur pasien dengan pengaturan jam
praktek dokter spesialis.
BAB IV
Pasal 14
Ketentuan umum pelayanan DPJP, Dokter Bangsal dan Case Manajer
Pasal 15
Pelayanan DPJP
1. Dokter penanggungjawab Pasien (DPJP) adalah seorang dokter atau dokter spesialis
sesuai dengan kewenangan klinisnya terkait penyakit pasien, memberikan asuhan
medis lengkap kepada satu pasien dengan satu patologi/ penyakit dari awal sampai
dengan akhir perawatan di rumah sakit, baik pada pelayanan rawat jalan, gawat
darurat dan rawat inap.
2. DPJP pada rawat bersama terdapat DPJP utama yaitu DPJP dari spesialisasi yang paling
terkait dengan penyakit pasien sedangkan DPJP lainnya menjadi DPJP pendamping.
3. DPJP merupakan ketua (team leader) dari tim terdiri dari para Profesional Pemberi
Asuhan (PPA) yaitu dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli gizi, apoteker, fisioterapis,
analis kesehatan, radiographer dan rohaniawan yang bekerja secara kolaboratif untuk
melakukan sintesa, integrasi dan kolaborasi asuhan pasien dengan pola pelayanan
berfokus pada pasien (patient centered care).
4. DPJP bertugas untuk:
a. Melakukan asesmen awal dan asesmen ulang, menegakkan diagnosis
awal/diagnosis kerja, menentukan tatalaksana awal dan tatalaksana definitif
meliputi aspek medis dan psikospiritual pasien.
b. Melakukan review asuhan bersama PPA lainnya terhadap pasien dengan kriteria
resiko tinggi (high risk), berbiaya tinggi (high cost), waktu perawatan yang lama dan
kriteria lain yang ditentukan.
c. Memberikan penjelasan atau pendidikan kepada pasien dan keluarganya tentang
kondisi medis hasil pemeriksaan, diagnosis (diagnosis awal dan diagnosis kerja),
tata laksana, rencana dan hasil pelayanan dan pengobatan dan keberlanjutan
pelayanan serta memenuhi kebutuhan pendidikan pasien terkait medis lainnya.
d. Memberikan informasi tentang hak pasien untuk berkompromi, mencari second
opinion, menyetujui atau menolak tindakan yang akan diberikandengan bahasa yang
mudah dipahami oleh pasien dan atau keluarga.
e. Memutuskan penitipan pasien di ruang perawatan lain baik lain jenis maupun lain
kelompok penyakit selama pasien tidak terdiagnosis penyakit menular, diatur
sesuai kebutuhan dengan memperhatikan kondisi pasien dan menginformasikan
kepada pasien di sekitarnya.
f. Memutuskan pasien untuk boleh pulang (BLPL) ataupun dirujuk baik saat berada di
tempat pelayanan maupun ketika tidak berada di tempat pelayanan melalui media
komunikasi.
g. Mendokumentasikan seluruh hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, hasil
pemeriksaan penunjang, tatalaksana medikamentosa/non medikamentosa yang
diberikan, tindakan yang dilakukan, hasil monitoring perkembangan pasien serta
kegiatan lain terkait pelayanan pasien dalam rekam medis pasien.
h. Menulis resume medis sebelum pasien dipulangkan atau selambat-lambatnya 24
jam setelah pasien dipulangkan dengan isi minimal yaitu alasan masuk rumah sakit,
penemuan kelainan fisik dan lainnya yang penting, prosedur diagnosis dan
pengobatan yang telah dilakukan, pemberian medikamentosa dan pemberian obat
waktu pulang, status/kondisi pasien, instruksi follow-up / tindak lanjut.
5. Pengalihan tanggungjawab pelayanan pasien dari satu DPJP kepada DPJP lainnya dapat
dilakukan atas keputusan DPJP berdasarkan hasil pemeriksaannya atau atas permintaan
pasien dan atau keluarga di mana pengalihan ini dikomunikasikan dengan pasien dan
keluarganya serta didokumentasikan dalam rekam medis.
6. DPJP dapat mendelegasikan sebagian pekerjaannya kepada dokter UGD/bangsal atau
paramedis dengan tanggungjawab tetap berada pada DPJP.
Pasal 16
Pelayanan Dokter UGD/Bangsal
Pasal 17
Manajer Pelayanan Pasien / Case Manager
1. Manager Pelayanan Pasien (MPP) atau Case Manager adalah Profesional di RS yang
melaksanakan manajemen Pelayanan Pasien yang diangkat oleh Direktur.
2. Manager Pelayanan Pasien (MPP) melakukan skrining pasien yang membutuhkan
manajemen pelayanan pasien pada waktu admisi atau bila dibutuhkan pada waktu di
ruang rawat inap berdasarkan pasien yang meliputi : risiko tinggi (high risk), biaya
tinggi (high cost), potensi komplain tinggi (risk of complain), kasus dengan penyakit
kronis, kemungkinan sistem pembiayaan yang kompleks, kasus yang melebihi rata-rata
lama dirawat, kasus yang diidentifikasi rencana pemulangannya kritis atau yang
membutuhkan kontinuitas pelayanan, dan kasus kompleks/rumit.
3. Manager Pelayanan Pasien (MPP) atau Case Manager berfungsi untuk
mengkolaborasikan pelayanan pasien sehingga tercipta pelayanan pasien yang
kontinyu dan terkoordinasi antar profesional pemberi asuhan (PPA) melalui assesmen
perencanaan fasilitas pelayanan, koordinasi asuhan, evaluasi dan advokasi untuk opsi
pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan pasien dan keluarganya yang komprehensif
melalui komunikasi dan sumber daya yang tersedia sehingga memberi hasil/outcome
yang bermutu dengan biaya yang efektif
4. Melakukan koordinasi dan integrasi serta menjaga kesinambungan pelayanan kepada
pasien dan keluarganya antara PPA yaitu DPJP, perawat, bidan, fisioterapi,
radiographer, analis kesehatan, ahli gizi, apoteker, rohaniawan, dan lain-lain serta
dengan pihak diluar pelayanan meliputi pemberi pelayanan lainnya termasuk RS lain,
dokter keluarga, asuransi perusahaan, bpjs, asuransi umum, termasuk bagian keuangan
(billing) RS.
5. Melakukan dokumentasi kegiatan MPP pada formulir yang telah ditetapkan termasuk
rekam medis seperti pencatatan dalam formular edukasi-informasi.
BAB V
Bagian Kesatu
SKRINING DAN TRIASE
Pasal 18
Skrining
1. Skrining dilakukan pada saat kontak pertama untuk menentukan apakah kebutuhan
pasien akan pelayanan medis dan pelayanan psikospiritual mampu dilayani oleh RS.
2. Skrining meliputi:
a. Skrining oleh petugas yang kontak pertama dengan pasien yaitu bagian parkir,
satpam, skrining, dan customer service melalui evaluasi visual atau pengamatan dan
pemeriksaan fisik awam
b. Skrining oleh bagian pendaftaran berdasarkan kebutuhan pasien dari aspek medis
maupun psikospiritual dan hasil skrining dari bagian pelayanan.
c. Skrining oleh bagian pelayanan medis yaitu UGD dan rawat jalan melalui anamnesis,
kriteria triase, evaluasi visual atau pengamatan, pemeriksaan fisik atau hasil dari
pemeriksaan fisik, psikospiritual, laboratorium klinik atau hasil diagnostik
sebelumnya sesuai kebutuhan.
d. Skrining oleh bagian penunjang medis yaitu laboratorium, radiologi dan farmasi
berdasarkan kebutuhan pasien dan kebutuhan bagian pelayanan medis.
3. Pasien dapat didaftar untuk pelayanan rawat jalan atau diterima sebagai pasien rawat
inap didasarkan pada hasil identifikasi kebutuhan pelayanan kesehatannya melalui
skrining dan tes diagnostik yang sesuai di mana hasil skrining dan tes diagnostic
tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan pasien mampu dilayani dan sesuai sumber
daya dan misi Rumah Sakit Bunga Bangsa Medika
4. Dokter melalui skrining medis bertanggungjawab untuk memutuskan pasien akan
diterima, dipindah antar bagian/unit atau dirujuk berdasarkan hasil skrining medis
5. Dokter melalui skrining psikospiritual bertanggungjawab untuk memutuskan
intervensi kebutuhan psikospiritual pasien dilakukan tata laksana medis, psikospiritual
oleh petugas bina rohani atau kombinasi keduanya.
6. Keputusan dokter bahwa pasien tidak bisa dirawat di RS dan akan dilakukan rujukan
diambil setelah memperoleh hasil skrining dan tes diagnostik yang dibutuhkan di mana
hasil skrining dan tes diagnostic tersebut menunjukkan bahwa RS tidak dapat
memberikan layanan yang diperlukan.
Pasal 19
Triase
1. Triase merupakan proses identifikasi pasien dengan kebutuhan layanan yang bersifat
darurat, mendesak atau segera
2. Triase dilakukan oleh staf medis, paramedis dan non medis yang kompeten
3. Triase dilakukan melalui evaluasi visual/pengamatan dan pemeriksaan fisik untuk
menggolongkan pasien menjadi 4 kriteria yaitu merah, kuning, hijau dan hitam.
4. Pasien yang teridentifikasi dengan kebutuhan darurat, mendesak, atau segera
(termasuk infeksi melalui udara/airborne), maka didahulukan diperiksa oleh dokter
sebelum pasien yang lain, mendapat pelayanan diagnostik sesegera mungkin dan
diberikan pengobatan serta asuhan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
5. Pada pasien gawat darurat yang tidak dapat dilayani oleh rumah sakit maka rujukan
dilakukan setelah pemeriksaan dan tindakan stabilisasi sesuai kemampuan rumah
sakit.
Bagian kedua
ASESMEN INFORMASI MINIMAL DAN TAMBAHAN/KHUSUS
Pasal 20
Proses Asesmen
1. Asesmen adalah proses mengumpulkan informasi dari data keadaan fisik,
psikospiritual, sosial, riwayat kesehatan pasien, analisis informasi dari data
sebelumnya termasuk hasil laboratorium dan diagnostik imaging (radiologi).
2. Asesmen bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan pasien dan
membuat rencana pelayanan pemenuhan semua kebutuhan pasien tersebut.
3. Ruang lingkup asesmen meliput unit gawat darurat, rawat jalan, dan rawat inap.
4. Asesmen dilakukan secara komprehensif terhadap kondisi medis-psikospiritual dengan
melakukan asesmen informasi secara umum diikuti dengan asesmen informasi
khusus/tambahan jika diperlukan.
5. Asesmen psiko-spiritual yang meliputi penilaian psikologis, kegiatan keagamaan dan
ibadah di mana setiap data dan informasi asesmen pasien dianalisis dan diintegrasikan
dalam asesmen.
6. Asesmen awal dilakukan pada saat pasien baru pertama kali dilakukan asesmen baik di
bagian UGD, rawat jalan, atau rawat inap sedangkan asesmen ulang dilakukan setelah
asesmen awal dilakukan.
7. Hasil asesmen dan informasi tentang rencana pelayanan dan pengobatan disampaikan
kepada pasien dan dapat kepada keluarganya jika diperlukan dengan seijin pasien.
Pasal 21
Kompetensi staf untuk Asesmen Pasien
Pasal 22
Asesmen Informasi Minimal
1. Asesmen informasi minimal dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data medis
pasien baik melalui pasien langsung maupun melalui keluarganya .
2. Asesmen informasi yang harus diperoleh dari pasien rawat jalan minimal data meliputi
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, obat yang masih dikonsumsi, riwayat
penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, vital sign,
psikospiritual (gangguan emosional yang tampak dan kemampuan thaharah serta
shalat), keadaan sosial dan ekonomi sesuai indikasi, asesmen nutrisi awal, asesmen
resiko jatuh, asesmen nyeri dan informasi data hasil laboratorium dan “imaging
diagnostic” (radiologi).
3. Asesmen informasi yang harus diperoleh pasien rawat inap minimal meliputi informasi
kondisi pasien, umur, kebutuhan kesehatan dan permintaan atau preferensinya,
rujukan dari mana, bangsal yang akan ditempati, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, obat yang masih dikonsumsi, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit
keluarga, pemeriksaan fisik, vital sign, psikospiritual (gangguan emosional yang
tampak), kebutuhan, kemampuan, dan kemauan penerimaan pendidikan, kebutuhan
pendidikan kolaboratif, keadaan sosial dan ekonomi sesuai indikasi, asesmen awal
nutrisi, asesmen resiko jatuh, asesmen nyeri dan informasi data hasil laboratorium dan
“imaging diagnostic” (radiologi) serta pemeriksaan fisik pasien secara per sistem di
mana pengkajian tersebut lebih mendalam dibandingkan rawat jalan.
4. Asesmen informasi yang harus diperoleh pasien gawat darurat minimal meliputi
informasi kondisi pasien, umur, kebutuhan kesehatan dan permintaan atau
preferensinya, keadaan airway, breathing, serta circulation, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, obat yang masih dikonsumsi, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, vital sign, psikospiritual (gangguan psikospiritual
yang mengancam), kebutuhan, kemampuan, dan kemauan penerimaan pendidikan,
keadaan sosial dan ekonomi sesuai indikasi, asesmen awal nutrisi, asesmen resiko
jatuh, asesmen nyeri dan informasi data hasil laboratorium dan “imaging diagnostic”
(radiologi) di mana pengkajian tersebut dapat dibatasi dengan kebutuhan dan kondisi
yang nyata.
Pasal 23
Asesmen Informasi Tambahan dan Khusus
Bagian Ketiga
ASESMEN AWAL DAN ASESMEN ULANG
Pasal 24
Asesmen awal
Pasal 25
Asesmen Ulang
1. Asesmen ulang adalah pengkajian kembali terhadap seluruh hasil asesmen awal atau
sebelumnya meliputi medis dan psikospiritual.
2. Semua pasien dilakukan asesmen ulang pada interval tertentu atas dasar kondisi dan
pengobatan untuk menetapkan respons terhadap pengobatan dan untuk merencanakan
pengobatan atau untuk pemulangan pasien.
3. Asesmen ulang medis untuk pasien rawat inap dilakukan setiap 24 jam sekali
(termasuk akhir minggu selama fase akut) atau lebih cepat apabila ada perubahan atau
temuan penting sesuai dengan kompleksitas, rencana pelayanan dan pengobatan
pasien.
4. Asesmen ulang medis dilakukan oleh DPJP, apabila DPJP berhalangan hadir maka dapat
diwakilkan kepada dokter spesialis lain dengan spesialisasi yang sama atau
didelegasikan kepada dokter bangsal dan dilaporkan segera ke DPJP.
5. Asesmen ulang keperawatan untuk pasien rawat inap dilakukan setiap 8 jam sekali
atau lebih cepat apabila ada perubahan atau temuan penting sesuai dengan
kompleksitas, rencana pelayanan dan pengobatan pasien
6. Asesmen ulang dilaksanakan secara individual untuk memenuhi kebutuhan pasien dan
keluarga apabila pasien mendekati kematian.
7. Pasien dilakukan asesmen ulang dalam interval sesuai dengan kondisi pasien dan
bilamana terjadi perubahan yang signifikan pada kondisi pasien, rencana asuhan, dan
kebutuhan individual.
8. Asesmen ulang pasien rawat inap dilakukan selama proses pelayanan sesuai dengan
kebutuhan dan rencana pelayanan.
9. Asesmen ulang dilaksanakan pada : interval reguler selama pelayanan seperti mencatat
tanda-tanda vital sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi pasien, setiap hari oleh dokter
penanggung jawab pelayanan, bila ada perubahan kondisi pasien yang signifikan, bila
diagnosis pasien telah berubah dan kebutuhan asuhan pasien memerlukan,
menetapkan apakah obat-obatan dan pengobatan lain telah berhasil dan pasien dapat
dipindahkan atau dipulangkan.
10. Hasil asesmen ulang pasien didokumentasi pada rekam medis.
Bagian Keempat
ASESMEN KHUSUS
Pasal 26
Asesmen nyeri dan Skrining Nyeri
1. Setiap pasien dilakukan asesmen dan skrining untuk rasa sakit sejak awal perawatan
sampai akhir perawatan dan hasil penilaiannya dituliskan di rekam medis pasien.
2. Pasien yang teridentifikasi nyeri dilakukan asesmen lebih dalam mengenai rasa
nyerinya sesuai dengan umur, pasien, pengukuran intensitas dan kualitas nyeri,
frekuensi nyeri, lokasi nyeri, lamanya nyeri dan diberikan pelayanan penanggulangan
nyeri sesuai dengan kebutuhannya.
3. Nyeri diasesmen menggunakan metode skala nyeri atau raut wajah atau metode lain
yang terpercaya yang diwujudkan dalam skala nyeri.
4. Pengkajian atau asesmen nyeri dilakukan oleh staf medis dan paramedik yang
kompeten dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan umur dan tingkat
kesadaran pasien.
5. Pengkajian ulang nyeri dilakukan setiap pengkajian tanda vital pasien dan pada pasien
yang mengeluh nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun) atau sesuai
jenis dan onset masing-masing jenis obat, pasien yang menjalani prosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
Pasal 27
Asesmen resiko jatuh
1. Setiap pasien baik rawat jalan maupun rawat inap dilakukan asesmen resiko jatuh.
2. Asesmen resiko jatuh pasien rawat jalan dilakukan oleh petugas pendaftaran, customer
service dan satpam serta dapat meminta bantuan paramedis rawat jalan atau UGD jika
diperlukan.
3. Asesmen resiko jatuh di rawat jalan menggunakan metode GET UP AND GO.
4. Asesmen resiko jatuh pasien rawat inap dilakukan oleh petugas yang kompeten yaitu
dokter, perawat dan bidan.
5. Asessmen risiko jatuh rawat inap dilakukan di awal ketika pasien masuk rawat inap
atau ketika ditemukan hasil pemeriksaan yang menunjukkan kelemahan fisik atau
mental yang bisa menyebabkan pasien jatuh.
6. Asesmen resiko jatuh rawat inap meliputi riwayat jatuh, pengobatan dan konsumsi
alkohol, pengamatan terhadap gaya/cara berjalan dan keseimbangan, serta alat bantu
berjalan yang digunakan pasien.
7. Asesmen resiko jatuh di rawat inap pada pasien dewasa menggunakan metode fall
morse scale, pasien anak menggunakan metode Humpty Dumpty Scale dan semua pasien
bayi atau neonatus otomatis dikategorikan sebagai pasien risiko jatuh.
8. Asesmen ulang resiko jatuh pasien rawat inap dilakukan setiap delapan (8) jam sekali
pada setiap pasien yang berisiko jatuh atau pada pasien tidak beresiko jatuh bila ada
perubahan kondisi atau pengobatan.
Pasal 28
Skrining dan asesmen nutrisi
1. Skrining nutrisi / gizi dilakukan sesegera mungkin maksimal 1 x 24 jam oleh petugas
medis yang berkompeten (qualified) yaitu perawat dan atau bidan
2. Pasien dengan hasil skrining nutrisi / gizi terindikasi mengalami resiko masalah nutrisi
(masalah gizi) dan memerlukan penanganan lebih lanjut akan dirujuk pada staf yang
berkompeten yaitu ahli gizi.
3. Pasien dengan hasil skrining nutrisi beresiko masalah nutrisi akan dilakukan asesmen
gizi lebih lanjut oleh ahli gizi menggunakan form asesmen gizi pada RM pasien.
4. Pasien poli gizi yang terindikasi memerlukan penanganan lebih lanjut ke pelayanan lain
akan dirujuk dari poli gizi ke bagian pelayanan lain di dalam maupun luar rumah sakit.
5. Pengembangan kriteria untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan asesmen
nutrisional lebih lanjut dilakukan oleh tim terapi gizi.
Pasal 29
Asesmen Pasien Tahap Terminal
Pasal 30
Asesmen kebutuhan pendidikan pasien dan keluarga
1. Setiap pasien dan atau keluarga pasien yang dirawat di rumah sakit dilakukan asesmen
kemampuan dan kemauan belajar, kebutuhan akan pengetahuan dan pendidikan baik
tentang medis maupun psikospiritual.
2. Asesmen yang harus dilakukan untuk merencanakan pendidikan adalah terhadap:
a. Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga
b. Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan
c. Hambatan emosional dan motivasi
d. Keterbatasan fisik dan kognitif
e. Kesediaan pasien untuk menerima informasi
3. Hasil asesmen kebutuhan pendidikan digunakan untuk membuat dan menentukan
rencana pendidikan baik dari cara penyampaian, pemilihan metode, tata bahasa, materi
pendidikan yang sesuai maupun menentukan staf yang akan memberikan pendidikan.
4. Hasil asesmen kebutuhan pendidikan, pemberian pengetahuan dan pendidikan dicatat
seragam pada rekam medis pasien secara benar, jelas, lengkap dan jujur.
BAB VI
Bagian kesatu
PELAYANAN ASUHAN PASIEN
Pasal 31
Asuhan pasien oleh individual PPA
1. Asuhan pelayanan pasien direncanakan secara individual oleh profesional pemberi
asuhan (PPA) terkait yaitu DPJP, perawat dan pemberi pelayanan lain maksimal dalam
waktu 1 x 24 jam sesudah pasien masuk rawat inap.
2. Asesmen awal, rencana asuhan, kemajuan asuhan dan hasil asuhan termasuk asesmen
ulang pada setiap pasien didokumentasikan dalam RM oleh pemberi pelayanan.
3. Review dan verifikasi asuhan pasien harus dilakukan oleh DPJP dan terdokumentasi
dalam RM.
4. Perintah yang harus tertulis dalam pelayanan adalah rekonsiliasi obat, pelayanan
pemberian obat, tindakan medis, konsultasi medis, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan diagnostik imaging, pelayanan keperawatan, pelayanan fisioterapi dan
terapi nutrisi. Dalam kondisi kegawatdaruratan di mana penulisan perintah dapat
menghambat petugas dalam memberikan pertolongan kepada pasien, maka petugas
dapat menuliskan perintah setelah menolong kegawatdaruratan pasien.
5. Perintah tertulis ini harus ditulis pada RM pasien dengan mencantumkan tanggal
perintah dibuat, nama pemberi perintah dan tanda tangan pemberi perintah.
6. Perintah yang tidak harus tertulis adalah perintah dalam kondisi kegawatdaruratan
sesuai panduan praktek klinis yang berlaku di RS.
7. Permintaan pemeriksaan diagnostik imaging dan laboratorium klinis harus
menyertakan indikasi klinis dan alasan pemeriksaan yang rasional.
8. Petugas yang berwenang menuliskan perintah termasuk pemeriksaan diagnostik
imaging dan laboratorium klinis adalah DPJP. Dokter jaga dapat memberikan perintah
pemeriksaan diagnostik imaging dan laboratorium klinis apabila ditemukan indikasi
kegawatan pada pasien, namun setelah tindakan dilakukan petugas harus melaporkan
ke DPJP.
9. Semua tindakan dan hasil tindakan yang telah dilakukan pada pasien, baik tindakan
invasif maupun tindakan diagnosik non invasif termasuk prosedur terapi harus tertulis
pada rekam medis pasien.
10. Pasien dan keluarga diberi informasi tentang hasil asuhan dan pengobatan termasuk
kejadian tidak diharapkan.
Pasal 32
Asuhan pasien terintegrasi dan lembar CPPT
Bagian kedua
PELAYANAN RISIKO TINGGI dan PASIEN RISIKO TINGGI
Pasal 33
Jenis – jenis kasus resiko tinggi
1. Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan regulasi untuk risiko tinggi dan pelayanan
risiko tinggi serta mengatur regulasi yang digunakan di pelayanan dalam memberikan
asuhan.
2. Rumah sakit mengidentifikasi pasien risiko tinggi antara lain meliputi pasien
emergensi, pasien dengan penyakit menular, pasien koma, pasien dengan alat bantuan
hidup dasar, pasien “immuno-compromised dan suppressed”, pasien dialysis, pasien
dengan restrain, pasien dengan risiko bunuh diri, pasien yang menerima kemoterapi,
populasi pasien rentan, lansia, anak-anak, dan pasien berisiko tindak kekerasan atau
diterlantarkan dan pasien risiko tinggi lainnya
3. Rumah sakit mengidentifikasi pelayanan risiko tinggi meliputi pelayanan pasien
dengan penyakit menular, pelayanan pasien yang menerima dialysis, pelayanan pasien
yang menerima kemoterapi, pelayanan pasien yang menerima radioterapi, dan
pelayanan pasien risiko tinggi lainnya (misalnya terapi hiperbarik dan pelayanan
radiologi intervensi)
4. Pelayanan yang dilakukan pada pasien harus menghindari terjadinya resiko – resiko
tidak diinginkan seperti trombosis vena dalam, luka dekubitus, infeksi terkait
penggunaan ventilator pada pasien, cedera neurologis dan pembuluh darah pada
pasien restrain, infeksi melalui pembuluh darah pada pasien dialisis, infeksi
saluran/slang sentral, dan pasien jatuh.
5. Setiap pasien emergensi harus dilakukan asesmen sistem sirkulasi, pernafasan dan
jalan nafas untuk memastikan kebutuhan tindakan resusitasi.
6. Pelayanan resusitasi diberikan kepada pasien yang sesuai indikasi dan dilakukan oleh
petugas yang kompeten. Resusitasi tidak dilakukan jika ada penolakan dari pasien atau
keluarga pasien setelah diberikan informed consent
7. Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan tranfusi darah atau produk darah bagi
pasien yang membutuhkan.
8. Pelayanan pasien dengan penyakit menular dan pasien yang daya tahannya
direndahkan dikelola di ruang isolasi.
9. Penilaian pada pasien beresiko bunuh diri dilakukan dengan cara skrining pasien
beresiko bunuh diri pada assessmen awal gawat darurat yang ditunjukkan pada elemen
gangguan perilaku dan psikospiritual. Pada pengkajian rawat inap keperawatan juga
dilakukan penilaian tentang asesmen psikospiritual pasien yang beresiko bunuh diri.
Pasal 34
Restraint dan asuhan resiko tinggi
Pasal 35
Pelayanan Tuberculosis (TB)
Pasal 36
Pelayanan HIV/AIDS
1. Rumah Sakit Bunga Bangsa Medika bukan rumah sakit rujukan bagi penderita ODHA.
2. Rumah sakit mendukung penanggulangan HIV-AIDS dengan menyelenggarakan
pelayanan yang memenuhi kaidah penanggulangan HIV-AIDS.
3. Proses pelayanan penanggulangan HIV-AIDS disusun oleh tim HIV-AIDS dan ditetapkan
oleh direktur.
4. Pelayanan konseling dan screening test HIV/AIDS dapat dilakukan di rumah sakit
Bunga Bangsa Medika sesuai kemampuan rumah sakit.
5. Tim HIV-AIDS mendokumentasikan dan melaporkan kegiatan yang dilakukan kepada
direkturmaupun pihak eksternal kepada Dinas Kesehatan Sleman
6. Tatalaksana pendampingan pasien HIV/AIDS dengan memberikan pelayanan
pendampingan berupa edukasi terkait aspek medis sesuai standar.
7. Tatalaksana pendampingan pasien HIV/AIDS dengan memberikan edukasi mengenai
pencegahan, penularan penyakit, pengobatan, perilaku hidup sehat, pentingnya
komitmen dalam pengobatan.
8. Pemberian edukasi tentang HIV-AIDS kepada pasien/keluarga pasien dilakukan oleh
dokter dan atau tim HIV-AIDS.
9. Apabila rumah sakit Bunga Bangsa Medika mendapatkan pasien dengan HIV/AIDS,
maka harus merujuk ke rumah sakit yang telah ditetapkan
10. Apabila pasien HIV-AIDS menolak dirujuk, maka perawatan dilakukan di ruang isolasi
dengan perawatan khusus dan harus mendapatkan pendampingan psikospiritual.
11. Tim HIV-AIDS dapat digabung dengan tim TB-DOTS menjadi Tim TB-HIV sesuai
kebutuhan.
Bagian ketiga
PELAYANAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH
Pasal 37
Pelayanan transfusi
1. Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan transfusi darah atau produk darah bagi
pasien yang membutuhkan.
2. Pelayanan transfusi diberikan atas perintah DPJP pada kasus perdarahan hebat,
penyakit-penyakit darah, malnutrisi dan lain-lain.
3. Pengelolaan darah dibawah tanggungjawab bagian laboratorium.
4. Setiap pelayanan transfusi darah dan atau produk darah dilakukan setelah
mendapatkan persetujuan tindakan oleh pasien dan keluarga (informed consent).
5. Pasien dan keluarga harus mendapatkan penjelasan yang cukup dari dokter yang
merawat (penjelasan medis) mengenai perlunya transfusi, risiko yang mungkin terjadi
dan bolehnya transfusi dalam pandangan agama Islam serta dapat melibatkan petugas
bina rohani untuk memberikan penjelasan lebih lanjut sesuai kebutuhan.
Pasal 38
Penyediaan darah atau produk darah
1. Rumah sakit bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) dalam hal penyediaan
darah atau produk darah bagi pasien sehingga darah atau produk darah yang diberikan
ke pasien harus berasal dari PMI.
2. Penyimpanan darah dan produk darah bekerjasama dengan PMI selama RSBBM belum
memiliki bank darah.
3. Permintaan darah ke PMI dilakukan oleh DPJP dan dapat didelegasikan kepada dokter
jaga.
4. Pengambilan darah dari PMI dilakukan oleh petugas rumah sakit.
5. Tindakan medis pemberian darah dan atau komponennya dilaksanakan oleh dokter
yang memiliki kompetensi atau kewenangan sesuai peraturan perundangan.
6. Tindakan medis pemberian darah dan atau komponennya dapat didelegasikan kepada
perawat dan bidan yang sudah memiliki kemampuan dan keterampilan dalam
pelayanan tersebut dengan pengawasan dari dokter.
7. Darah donor harus berupa darah sehat dan cocok (dapat diterima) dengan darah
pasien.
BAB VII
PELAYANAN EARLY WARNING SYSTEM (EWS), CODE BLUE, HCU, TERMINAL, NYERI
DAN RISIKO JATUH
Bagian kesatu
PELAYANAN EARLY WARNING SYSTEM (EWS) DAN KODE BIRU (CODE BLUE)
Pasal 39
Ketentuan Umum Early Warning System (EWS) dan Code Blue
1. Early Warning System (EWS) adalah sistem peringatan dini yang diawali dengan deteksi
awal gambaran dan isyarat terjadinya gangguan fungsi tubuh yang buruk atau
ketidakstabilan fisik pasien sehingga dapat menjadi kode atau mempersiapkan kejadian
buruk dan meminimalkan dampaknya menggunakan Early Warning Score yang dapat
dilakukan oleh perawat atau bidan jaga di ruang rawat inap perinatal (Neonatal Early
Warning System (NEWS)), anak (Pediatric Early Warning System (PEWS)), maternal
(Modified Early Obstetric Warning System (MEOWS), maupun dewasa (Early Warning
System (EWS)).
2. Early Warning System (EWS) digunakan staf di area non-intensif untuk mengidentifikasi
keadaan pasien yang memperlihatkan tanda bahaya dini sebelum kondisinya
memburuk berdasarkan parameter pernapasan, saturasi oksigen, penggunaan alat
bantu oksigen, suhu, tekanan darah sistolik, denyut jantung, dan tingkat kesadaran.
3. Penerapan Early Warning System (EWS) membuat staf mampu mengidentifikasi
keadaan pasien memburuk sedini-dininya dan bila perlu mencari bantuan staf yang
kompeten, terhubung pada system code blue Rumah Sakit, sehingga asuhan pasien
menjadi lebih baik dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien serta dilakukan
pemantauan secara berkala terhadap perubahan pasien.
4. Dokumentasi Early Warning System (EWS) dilakukan pada rekam medis yang telah
ditetapkan oleh rumah sakit.
5. Code blue atau kode biru adalah kode isyarat yang menandakan adanya seorang pasien
atau bukan pasiendi seluruh area bangunan dan halaman yang ada di tanah rumah
sakityang sedang mengalami serangan jantung (Cardiac Arrest) atau mengalami situasi
gagal nafas akut (Respiratory Arrest) dan situasi darurat lainnya yang menyangkut
dengan nyawa. Code blue atau kode biru digunakan untuk memanggil tenaga kesehatan
yang berada di ruang pelayanan tempat kejadian atau memanggil tim respon cepat
kode biru (tim kode biru)
6. Code blue atau kode biru harus didukung sistem komunikasi yang baik dan efektif
sehingga panggilan darurat dapat dilakukan dengan beberapa cara sekaligus secara
cepat, tepat, bersamaan dalam waktu yang singkat.
7. Fasilitas panggilan Code blue atau kode biru terdiri atas alat komunikasi gelombang
radio (handy talky/HT), unit telepon internal (PABX), telepon selular, tombol panggilan
darurat dan dapat ditambahkan sarana lain yang dapat menjamin panggilan yang lebih
efektif dan efisien.
8. Pelayanan code blue atau kode biru harus mengintegrasikan secara harmonis antara
aspek medis dan aspek psikospiritual.
Pasal 40
1. Tim kode biru selalu siaga 24 jam terdiri atas 1 dokter, 3 perawat setiap shifnya dan
melekat pada petugas jaga bagian tertentu sesuai kebijakan direktur.
2. Tim kode biru yaitu dokter dan perawat memiliki kompetensi penatalaksanaan
kegawatdaruratan medis.
3. Tim kode biru dilengkapi dengan sarana dan prasarana untuk komunikasi dan
penatalaksanaan medis yang memadai sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Panggilan kode biru jalur utama ditujukan ke bagian tim kode biru dan apabila terdapat
gangguan jalur komunikasi maka panggilan dapat dilakukan menggunakan alat
komunikasi lainnya.
5. Tim kode biru diaktifkan petugas primer setelah mendapatkan informasi adanya
kejadian kode biru.
6. Tim kode biru berkoordinasi dengan bagian pelayanan lain untuk menentukan
tindaklanjut terhadap penanganan pasien.
7. Tim kode biru mendokumentasikan seluruh kegiatannya dalam merespon panggilan
kode biru pada rekam medis pasien.
Bagian kedua
PELAYANAN INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
Pasal 41
Kriteria masuk HCU
1. Pasien dinyatakan masuk ke high care unit (HCU) jika memenuhi kriteria fisiologi
tertentu dimana fasilitas perawatan di bangsal perawatan biasa tidak dapat memenuhi
kebutuhannya dan belum masuk dalam kriteria perawatan intensif.
2. Indikasi masukhigh care unit(HCU) adalah pasien dengan gagal organ tunggal yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi, pasien yang memerlukan perawatan
perioperatif, dan atau pasien dengan keadaan kritis non stabil sementara menunggu
tempat rujukan.
3. Pasien tidak perlu masuk HCU jika merupakan pasien dengan fase terminal suatu
penyakit, atau pasien / keluarga menolak untuk dirawat di HCU (atas dasar informed
consent).
Pasal 42
Kriteria keluar HCU
1. Pasien dinyatakan keluar dari high care unit(HCU) jika kondisinya telah mampu
dilakukan perawatan di bangsal perawatan biasa atau justru karena telah masuk ke
dalam kriteria intensif.
2. Indikasi keluar dari HCU jika pasien sudah stabil yang tidak lagi membutuhkan
pemantauan yang ketat, dan atau pasien yang memburuk sehingga perlu perawatan di
ICU.
Pasal 43
1. Pengembangan kriteria masuk dan keluar HCU dilakukan olehtim yang dibentuk oleh
direktur.
2. Tim pengembang kriteria HCU terdiri atas SDM yang kompeten yaitu dokter, dokter
spesialis anestesi dan dokter spesialis terkait lainnya.
Bagian ketiga
PELAYANAN PASIEN TAHAP TERMINAL
Pasal 44
Pelayanan pasien pada tahap terminal
Pasal 45
Pelayanan akhir kehidupan pada pasien tahap terminal
1. Pasien tahap terminal yang beragama Islam dan sedang mengalami fase sakaratul maut
harus mendapatkan pendampingan agama secara intensif kapanpun dan dimanapun
pasien berada dari petugas, keluarga atau orang lain yang berada dilokasi kejadian.
Untuk pendampingan pasien tahap terminal yang beragama non islam dilakukan sesuai
dengan keyakinan agama pasien
2. Petugas medis mengusahakan pertolongan medis semaksimal mungkin dengan
melibatkan petugas lain, keluarga pasien maupun orang lain yang berada di lokasi.
3. Keluarga pasien meninggal mendapatkan pendampingan psikospiritual sesuai
kebutuhannya dari petugas yang kompeten dibagian tersebut dengan lebih
mengutamakan pendampingan oleh petugas bina rohani. \
4. Pasien dan keluarga dilibatkan dalam keputusan asuhan termasuk keputusan do not
resuscitate / DNR.
Bagian keempat
PELAYANAN PASIEN DENGAN NYERI
Pasal 46
Pelayanan nyeri
1. Semua pasien yang dirawat di RS Bunga Bangsa Medika dibantu dalam penanggulangan
rasa nyeri
2. Penanggulangan nyeri secara medis diupayakan dilakukan secara terpadu.
3. Penanggulangan nyeri meliputi identifikasi pasien yang nyeri pada waktu asesmen
awal dan asesmen ulang, menyediakan pengelolaan nyeri sesuai pedoman pengelolaan
nyeri, komunikasi dan mendidik pasien dan keluarga tentang pengelolaan nyeri dan
gejalanya dalam konteks pribadi, budaya dan kepercayaan agama masing-masing.
Rumah sakit menyelenggarakan pelatihan tentang asesmen dan pengelolaan nyeri
kepada petugas terkait secara berkala.
4. Penanggulangan nyeri diberikan dalam bentuk terapi farmakologis, terapi non
farmakologis serta pemberian edukasi tentang nyeri kepada pasien dan keluarga.
5. Penanggulangan nyeri skala 1-3 mengutamakan terapi non farmakologis oleh perawat,
bidan, fisioterapis dan dokter umum, skala 4-6 dapat menggunakan terapi
farmakologis dan adjuvant oleh dokter bangsal dan atau DPJP, skala ≥ 7 menggunakan
terapi farmakologi dan adjuvant oleh DPJP dan dokter spesialis anestesi.
Bagian kelima
PELAYANAN PASIEN BERISIKO JATUH
Pasal 47
Pelayanan pasien resiko jatuh di rawat jalan
1. Setiap pasien rawat jalan yang beresiko jatuh dilakukan tata laksana sesuai hasil
penilaian metode GET UP AND GO atau metode lain yang setara atau lebih baik.
2. Setiap pasien yang beresiko jatuh menurut metode GET UP AND GO dipasang penanda
warna kuning berupa pita atau pin atau penanda lain yang setara atau lebih baik.
3. Pemberi tanda resiko jatuh dengan metode GET UP AND GO adalah petugas
pendaftaran, customer service dan satpam.
4. Setiappetugas garda depan dan petugas rawat jalan serta UGD melakukan pengawasan
pada pasien rawat jalan berisiko jatuh dan membantu pasien ketika dilakukan
mobilisasi untuk mencegah terjadinya kejadian jatuh.
Pasal 48
Pelayanan pasien resiko jatuh di rawat inap
1. Setiap pasien rawat inap yang beresiko jatuh dilakukan tata laksana sesuai hasil
penilaianmetode fall morse scale, Ontorio Scale atau Humpty Dumpty Scale.
2. Setiap pasien rawat inap yang beresiko jatuh dipasang penanda kancing warna kuning
atau penanda lain yang setara atau lebih baik.
3. Pemberi tanda resiko jatuh pasien rawat inap adalah paramedis di bagian resiko jatuh
ditentukan.
4. Setiappetugas rawat inap melakukan pengawasan pada pasien rawat jalan berisiko
jatuh dan membantu pasien ketika dilakukan mobilisasi untuk mencegah terjadinya
kejadian jatuh.
5. Setiap pasien resiko jatuh ditempatkan di ruang perawatan yang memenuhi ketentuan
pencegahan resiko jatuh serta dekat dengan ruang jaga petugas.
BAB VIII
Bagian Kesatu
KETENTUAN UMUM PELAYANAN BEDAH DAN ANESTESI
Pasal 49
Kepatuhan pada standar dan jam pelayanan
1. RSBBM menyelenggarakan pelayanan bedah dan anestesi termasuk sedasi moderat dan
dalam yang memenuhi standar rumah sakit, standar nasional, undang-undang dan
peraturan yang berlaku.
2. Pelayananbedah dan anestesi termasuk sedasi moderat dan dalam disediakan 24 jam.
3. Pelayanan bedah dan anestesi termasuk sedasi moderat dan dalam dilakukan di dalam
jam kerja dan diluar jam kerja dilakukan dengan sistem on call (panggilan).
Pasal 50
Pemberian informasi dan informed consent
1. Setiap pasien dan atau keluarganya yang akan dilakukan tindakan operasi, anestesi dan
sedasi harus diberikan informasimengenai tindakan yang akan dilakukan baik aspek
pembedahan maupun aspek anestesi.
2. Setiap pelayanan pembedahan dan anestesi (termasuk sedasi moderat dan dalam serta
anestesi lokal) wajib mendapatkan persetujuan (informed consent) sebelum dilakukan
tindakan.
3. Setiap pemberian obat dengan kandungan unsur yang diharamkan harus diberikan
informasi yang cukup terlebih dahulu dan disetujui oleh pasien dan atau keluarga
dibuktikan dengan informed consent.
Pasal 51
Penjagaan privasi dan aurat pasien dan petugas selama tindakan operasi
1. Setiap pasien yang dilakukan tindakan harus dijaga auratnya dengan busana operasi
yang menutup aurat sehingga hanya terlihat area operasinya.
2. Setiap petugas harus menjaga auratnya dengan busana operasi yang menutup aurat
dengan tetap memperhatikan standar busana kamar operasi.
3. Pelaksanaan pembiusan dan tindakan operasi dilakukan oleh petugas yang berjenis
kelamin sama dengan pasien meliputi operator, anestesiolog, asisten dan onloop
kecuali dalam karena keterbatasan SDM atau keadaan gawat darurat / pasien anak
balita.
Pasal 52
1. Laporan operasi dan anestesi di tulis dan ditandatangani oleh dokter dan paramedis
sesuai wewenang masing-masing setelah selesai tindakan operasi.
2. Laporan tindakan operasi dan anestesi ditulis lengkap dan jelas meliputi sekurang-
kurangnya :
a. Rencana tindakan bedah dan jenis anestesi termasuk identifkasi perbedaan
populasi dewasa dan anak atau pertimbangan khusus lainnya
b. Catatan pelaksanaan tindakan pembedahan termasuk jenis pembedahan dan
tehniknya dan anestesi termasuk jenis anestesi dan tehniknya.
c. Persetujuan tindakan medik (informed consent)
d. Frekuensi dan jenis monitoring
e. Daftar staf yang terlibat dengan kualifikasi atau keterampilan khususnya
f. Ketersediaan dan penggunaan peralatan spesialistik.
3. Dokter bedah dan dokter anestesi menulis secara lengkap tindak lanjut pelayanan
pasien pada lembar catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) dalam format
subyektif, obyektif, asesmen, planning (SOAP).
4. Sebelum pasien meninggalkan lokasi pemulihan paska anestesi / pemulihan harus ada
catatan laporan operasi tentang diagnosis pasca operasi, nama dokter bedah, asisten,
prosedur, speciment bedah untuk pemeriksaan, catatan specifik komplikasi, termasuk
jumlah kehilangan darah, menulis dan menempelkan barcode alat yang dipasang
(implan), dan tanggal, waktu, tanda tangan dokter yang bertanggungjawab.
5. Dokumentasipada rekam medis baik oleh dokter bedah, dokter anestesi dan petugas
kamar operasi lainnya harus dilengkapi sebelum pasien keluar ruang pulih dan
maksimal 24 jam setelah operasi.
6. Laporan tindakan operasi dan anestesi di dokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Bagian kedua
PELAYANAN BEDAH
Pasal 53
Operator
Pasal 54
Asisten operator
1. Asisten operator adalah karyawan rumah sakit BUNGA BANGSA MEDIKA atau tenaga
dari luar rumah sakit BUNGA BANGSA MEDIKA yang diberi wewenang sesuai SPK dan
RKK oleh direktur.
2. Asisten operator melaksanakan tugas sesuai tugas dan fungsi masing-masing pada saat
tindakan operasi.
3. Asisten operator dapat diberikan pendelegasian tindakan oleh operator dengan
tanggungjawab tetap berada pada operator.
Pasal 55
Penandaan area operasi
1. Area operasi dilakukan penandaan dengan suatu tanda centang (√) untuk identifikasi
lokasi operasi.
2. Penandaan area operasi dilakukan oleh operator dan melibatkan pasien dan keluarga
dalam proses penandaannya.
3. Penandaan area operasi dapat di delegasikan kepada dokter jaga atau asisten operator.
4. Penandaan luka operasi dilakukan semua kasus tindakan pembedahan.
Pasal 56
Upaya keselamatan bedah
Bagian Ketiga
PELAYANAN ANESTESI DAN SEDASI
Pasal 57
Pelayanan anestesi dan sedasi di seluruh rumah sakit
1. RSBBM menyediakan pelayanan anestesi dan sedasi moderat dan dalam untuk
memenuhi kebutuhan pasien yang adekuat, reguler dan nyaman.
2. Pelayanan anestesi dan sedasi meliputi tindakan anestesi dan sedasi yang dilakukan di
kamar operasi, kamar bersalin, UGD, rawat jalan, HCU dan rawat inap.
3. Pelayanan anestesi dan sedasi untuk melayani kebutuhan pasien atas layanan anestesi
dan sedasi termasuk tata laksana terhadap nyeri.
4. Anestesi dan sedasi moderat dan dalam hanya dilakukan atas perintah DPJP anestesi.
5. Pelayanan Anestesi dan sedasi dibawah kepemimpinan Ketua Staf Medis
Fungsional Anestesi dan Terapi Intensif, seragam di seluruh tempat pelayanan Anestesi
di rumah sakit, dalam keadaan darurat tersedia selama 24 jam
Pasal 58
Dokter anestesi
1. Dokter spesialis anestesi harus melakukan pengkajian terhadap pasien sebelum, saat
dan setelah pemberian anestesi dan sedasi termasuk melakukan visite kepada pasien
sebelum melakukan tindakan anestesi.
2. Pengkajian atau asesmen pra sedasi dapat didelegasikan kepada dokter umum atau
petugas yang kompeten (penata anestesi) dan dilaporkan kepada dokter spesialis
anestesi untuk memastikan bahwa perencanaan sedasi dan tingkatannya adalah tepat
bagi pasien.
3. Dokter spesialis anestesi adalah dokter spesialis yang memiliki legalitas berupa SIP dan
memiliki kompetensi sebagai anestesiolog dibuktikan dengan SPK dan RKK di RSBBM
4. Dokter spesialis anestesi pengganti harus memiliki SIP di Indonesia dan
bertanggungjawab kepada dokter spesialis anestesi yang digantikan.
5. Dokter spesialis anestesi dapat mendelegasikan sebagian tanggungjawabnya kepada
piñ ata anestesi.
6. Dokter spesialis anestesi bertanggungjawab atas seluruh tindakan anestesi dan sedasi
pada pasien.
7. Dokter spesialis anestesi dapat mendelegasikan tanggungjawabnya kepada penata
anestesi tentang pengawasan pasien di ruang pulih.
8. Dokter spesialis anestesi dilibatkan dalam pemilihan penata anestesi dengan
memberikan rekomendasi baik piñ ata anestesi dari dalam maupun dari luar rumah
sakit.
9. Dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi berperan
dalam masalah etika untuk melakukan komunikasi dengan pasien dan keluarganya
dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan tentang pengobatan dan hak pasien
untuk menentukan nasibnya terutama pada kondisi akhir kehidupan.
10. Dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi
mempunyai peran penting dalam manajemen unit terapi intensif, membuat
kebijakan administratif, kriteria pasien masuk dan keluar, menentukan standar
prosedur operasional dan pengembangan pelayanan intens
11. Dokter anestesi melakukan kunjungan untuk evaluasi 24 jam paska anestesi dan sedasi
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien
12. Dokter spesialis anestesiologi dibantu perawat anestesi harus tetap berada di kamar
operasi selama tindakan anestesia dan sedasi.
13. Selama pemberian anesthesia dan sedasi harus dilakukan pemantauan dan evaluasi
secara kontinual terhadap oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan perfusi jaringan, serta
didokumentasikan pada catatan anestesi
14. Selama pemberian anestesia dan sedasi harus dilakukan pemantauan dan evaluasi
secara kontinual terhadap oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan perfusi jaringan, serta
didokumentasikan pada catatan anestesi
15. Pengakhiran anestesia harus memperhatikan oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, suhu dan
perfusi jaringan dalam keadaan stabil.
Pasal 59
Perawat anestesi
1. Perawat anestesi adalah karyawan rumah sakit bunga bangsa medika atau tenaga dari
luar rumah sakit Bunga Bangsa Medika yang diberi wewenang sesuai SPK dan RKK oleh
direktur.
2. Perawat (Penata) anestesi adalah perawat yang telah mendapatkan pendidikan
anestesi atau pelatihan anestesi dan terapi intensif sesuai dengan kopentensi yang
dikeluarkan oleh Pengelola Pendidikan setelah melaui uji kompetensi.
3. Perawat anestesi melaksanakan tugas sesuai tugas dan fungsi masing-masing pada saat
tindakan anestesi dan sedasi.
4. Perawat anestesi dapat diberikan pendelegasian tindakan oleh dokter spesialis anestesi
dengan tanggungjawab tetap berada pada dokter spesialis anestesi.
5. Pendelegasian tugas kepada penata anestesi yang berasal dari luar rumah sakit hanya
boleh dilakukan setelah dilakukan seleksi yang didasarkan atas rekomendasi direktur
dan dokter spesialis anestesi, suatu rekor/catatan kinerja yang akseptabel serta dapat
memenuhi undang-undang serta peraturan yang berlaku.
Pasal 60
Monitoring dan evaluasi saat pemberian anestesi dan sedasi
1. Setiap pasien yang dilakukan tindakan anestesi dan sedasi wajib dilakukan monitoring
selama prosedur pembedahan dan selama periode pemulihan pasca anestesi.
Monitoring dilakukan dengan pola yang seragam bagi pasien yang serupa dan
menerima tindakan anestesi dan sedasi yang sama, dilakukan terus menerus dan
hasilnya dituliskan dalam rekam medis pasien.
2. Monitoring tindakan anestesi dan sedasi dilakukan terhadap status fisiologis pasien
untuk mendapatkan informasi yang dapat diandalkan tentang status pasien selama
pemberian anestesi (umum, spinal dan regional) dan periode pemulihan.
3. Metode monitoring anestesi dan sedasi dipilih berdasarkan pada status pra anestesi
pasien, anestesi yang dipilih dan kompleksitas dari pembedahan atau prosedur lain
yang dikerjakan selama anestesi.
4. Setiap pasien pasca tindakan anestesi harus dipindahkan ke ruang pulih, kecuali atas
perintah khusus dokter anestesi atau dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien
tersebut, pasien juga dapat dipindahkan langsung ke unit perawatan kritis ( ICU/HCU).
5. Pemindahan pasien ke ruang pulih harus didampingi oleh dokter anestesi atau anggota
tim penggelola anestesi, selama pemindahan pasien harus dipantau/dinilai secara
berkesinambungan dan diberikan bantuan sesuai kondisi pasien.
Pasal 61
BAB IX
Pasal 62
Respon terhadap kebutuhan pelayanan kerohanian
Pasal 63
Pengelolaan pelayanan kerohanian
1. Pelayanan kerohanian diberikan oleh tenaga medis, paramedis dan rohaniawan sesuai
peran masing-masing.
2. Pelayanan kerohanian dikelola oleh bagian Bina rohani berkolaborasi dengan seluruh
profesional pemberi asuhan (PPA) dalam pelaksanaannya.
3. Setiap pelayanan kerohanian baik rawat jalan maupun rawat inap didokumentasikan
dalam rekam medis pasien.
Pasal 64
Pasal 65
Pelayanan kerohanian bagi pasien beragama selain Islam
1. Setiap pasien beragama selain Islam harus mendapatkan pelayanan kerohanian sesuai
kemampuan dan kesediaannya.
2. Pasien beragama selain Islam berhak menolak bimbingan dari rohaniawan Rumah Sakit
Bunga Bangsa Medika
3. Rumah sakit memberikan kesempatan pasien non muslim untuk beribadah sesuai
agamanya sejauh tidak mengganggu pasien lain, ketertiban umum atau peraturan
rumah sakit.
4. Petugas bina rohani Bunga Bangsa Medika melakukan pelayanan kerohanian terhadap
pasien beragama selain Islam sebatas mengingatkan pasien untuk selalu berdoa,
mendoakan kesembuhan dengan cara Islam jika diminta, dan mempersilahkan pasien
atau keluarganya memanggil rohaniawan sesuai agama pasien jika dibutuhkan.
5. Rumah sakit memperbolehkan rohaniawan agama lain memberikan pendampingan
kerohanian didalam rumah sakit selama tidak mengganggu pasien lain, ketertiban
umum atau peraturan rumah sakit.
Bagian kedua
PELAYANAN KOMPLEMENTER
Pasal 66
Pelayanan komplementer
BAB X
Pasal 67
Perencanaan pendidikan pasien dan keluarga
Pasal 68
Informasi dan edukasi minimal dan tambahan pada pendidikan pasien dan keluarga
1. Pemberian informasi dan edukasi minimal meliputi aspek medis dan non medis
dilakukan di seluruh area rumah sakit termasuk area risiko tinggi yaitu :
a. Penjelasan tentang penyakit dan tatalaksananya
b. Penjelasan tentang keperawatan dan kebidanan sesuai penyakitnya
c. Penggunaan peralatan medis yang didapatkan
d. Penggunaan obat-obatan yang didapat secara efektif dan aman
e. Potensi interaksi antara obat yang diresepkan dengan obat lain
f. Potensi efek samping obat
g. Pencegahan terhadap potensi interaksi obat dengan obat out the counter (OTC) dan
atau makanan.
h. Diet nutrisi
i. Manajemen nyeri
j. Teknik-teknik rehabilitasi
2. Pemberian informasi dan edukasi tambahan meliputi medis dan non medis dilakukan
di seluruh area rumah sakit termasuk area risiko tinggi sesuai kebutuhannya yaitu
tentang:
a. Pelayanan tahap terminal
b. Donor organ
c. Penelitian klinis
3. Pemberian edukasi di rawat jalan dilengkapi dengan leaflet sesuai kebutuhan.
4. Pemberian edukasi di rawat inap diawali dengan orientasi pasien baru tentang hak dan
kewajiban, tata tertib, fasilitas
Pasal 69
Pasal 70
Verifikasi terhadap penerimaan pendidikan yang diberikan
1. Setiap PPA harus melakukan verfikasi terhadap materi pendidikan yang telah
diberikan.
2. Verifikasi hasil pemberian pendidikan kepada pasien dan keluarga dilakukan untuk
memastikan pemahaman atas pendidikan yang diberikan serta didokumentasikan pada
lembar catatan edukasi multidisiplin.
Pasal 71
Kerjasama dengan pihak eksternal untuk pendidikan pasien
1. Rumah sakit menyelenggarakan kerja sama dengan pihak lain apabila kebutuhan
pendidikan pasien di rumah sakit tidak dapat dipenuhi oleh petugas rumah sakit.
2. RSBBM melakukan identifikasi organisasi dan individu penyedia pelayanan kesehatan
seperti rumah sakit lain, klinik, puskesmas, praktek pribadi dan komunitas kesehatan di
lingkungan rumah sakit dan digunakan oleh petugas dalam memberikan pendidikan
tentang keberlangsungan pelayanan pasien.
3. Rumah sakit menyelenggarakan kerja sama (MoU) dengan komunitas kesehatan untuk
menciptakan mekanisme sistem rujukan yang efektif dalam mendukung promosi
kesehatan berkelanjutan.
4. Seluruh SDM yang terkait rujukan ke komunitas diberikan sosialisasi tentang adanya
MoU dengan sumber-sumber rujukan komunitas tersebut.
5. PPA memberikan saran serta rujukan ke komunitas yang bekerjasama sesuai dengan
penyakit yang diderita atau sesuai dengan kebutuhan pasien.
BAB XI
Bagian kesatu
PERPINDAHAN PASIEN DIDALAM RUMAH SAKIT (PINDAH)
Pasal 72
Ketentuan umum perpindahan pasien di dalam rumah sakit
1. Perpindahan atau transfer pasien antar bagian didalam rumah sakit dilakukan sesuai
standar yang berlaku termasuk kompetensi petugas, memenuhi standar keselamatan
dan standar keamanan pasien serta memenuhi nilai-nilai penjagaan hak privasi pasien.
2. Perencanaan untuk perpindahan pasien di dalam rumah sakit dapat diproses lebih awal
dan sedapat mungkin mengikutsertakan keluarga pasien dalam pengambilan keputusan.
3. Saat perpindahan pasien didalam rumah sakit berlangsung harus memperhatikan aspek
keselamatan pasien
4. Penentu petugas yang mendampingi pasien dalam perpindahan didalam rumah sakit
adalah ketua tim jaga dimana ketua tim jaga dapat meminta bantuan dari bagian lain jika
diperlukan.
Pasal 73
Alasan dilakukan rujukan dan pemberi perintah rujukan
1. Perpindahan pasien didalam rumah sakit harus berdasarkan atas status kesehatannya
dan kebutuhan pelayanan selanjutnyaatau atas permintaan sendiri (APS).
2. Perpindahan pasien antar bagian didalam rumah sakit harus berdasarkan atas perintah
DPJP yang diberikan secara langsung ketika berada di tempat maupun melalui media
komunikasiketika tidak berada di tempat pelayanan atau atas permintaan sendiri
(APS).
Pasal 74
Petugas pemindah pasien dan jumlahnya
1. Petugas pendamping pasien saat dilakukan pemindahan pasien di dalam rumah sakit
harus merupakan SDM yang kompeten seperti dokter spesialis, dokter umum atau
perawat/bidan dengan jumlah minimal 1 (satu) orang sesuai kebutuhan kesehatan
pasien.
2. Petugas pemindah pasien harus memperhatikan aspek medis, aspek medis dilakukan
dengan tata laksana medis sesuai standar
Pasal 75
1. Jumlah pasien dalam satu kali perpindahan didalam rumah sakit adalah satu orang
pasien.
2. Pada setiap proses perpindahan pasien didalam rumah sakit minimal terdapat satu
saksi dari pihak pasien.
Bagian kedua
PERPINDAHAN PASIEN KELUAR RUMAH SAKIT (RUJUKAN)
Pasal 76
Ketentuan umum rujukan
Pasal 77
Alasan dilakukan rujukan dan pemberi perintah rujukan
1. Perpindahan pasien keluar rumah sakit karena dirujuk harus berdasarkan atas status
kesehatannya dan kebutuhan pelayanan selanjutnya yang tidak tersedia atau pelayanan
sedang tidak siap di RSBBM atau atas permintaan sendiri (rujukan APS).
2. Perpindahan atau transfer pasien keluar rumah sakit harus berdasarkan atas perintah
DPJPyang diberikan secara langsung ketika berada di tempat maupun melalui media
komunikasiketika tidak berada di tempat pelayanan atau atas permintaan sendiri
(APS).
Pasal 78
Pemilihan fasilitas kesehatan rujukan
1. Pemilihan fasilitas kesehatan yang di tuju untuk rujukan pasien harus sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan (kriteria medis) dan sesuai kebutuhan agamanya
(kriteria psikospiritual).
2. Pemilihan fasilitas kesehatan seyogyanya sesuai urutan yaitu berbasis agama islam,
rumah sakit umum dan rumah sakit berbasis agama selain islam jika terdapat beberapa
rumah sakit yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan pasien.
Pasal 79
Petugas perujuk dan jumlahnya
1. Petugas pendamping pasien saat dilakukan rujukan harus merupakan SDM yang
kompeten seperti dokter spesialis, dokter umum atau perawat/bidan sesuai kebutuhan
kesehatan pasien.
2. Petugas perujuk harus memperhatikan aspek medis dimana aspek medis dilakukan
dengan tata laksana medis sesuai standar
3. Pada setiap proses transportasi rujukan dengan menggunakan ambulans minimal
terdiri dari 1 orang paramedis/medis sesuai kebutuhan kesehatan pasien dan satu
pengemudi ambulan.
4. Pengemudi ambulan harus mengemudi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
lalu lintas yang berlaku
Pasal 80
Jumlah pasien saat rujukan dan pendamping dari pihak pasien
1. Jumlah pasien dalam satu kali rujukan adalah satu orang pasien dimana jika dalam
keadaan tertentu harus membawa lebih dari satu pasien dalam satu waktu maka pasien
tambahan haruslah pasien stabil, tidak menggunakan alat bantu hidup dan bukan kasus
gawat darurat.
2. Pada setiap proses transportasi rujukan dengan menggunakan ambulans minimal
terdapat satu saksi dari pihak pasien.
Bagian ketiga
PELEPASAN PASIEN UNTUK PULANG
Pasal 81
Kriteria dan ketentuan pasien dapat dipulangkan
1. Kriteria pasien pulang adalah pasien dinyatakan sembuh atau membaik, perkembangan
keadaan pasien yang lebih baik dari pertama kali, terselesaikannya atau berkurangnya
masalah-masalah yang dialami pasien, dan kemungkinan bisa dilakukan rawat jalan
yang semuanya diputuskan oleh DPJP.
2. Pasien rawat jalan diperbolehkan pulang meninggalkan rumah sakit dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. DPJP menyatakan pasien bisa dilakukan perawatan rawat jalan.
b. Pasien dan atau keluarganya menyatakan pulang atas permintaan sendiri (APS) dan
telah menandatangani surat pernyataan tertulis.
c. Telah mendapatkan edukasi minimal dan tambahan sesuai kebutuhannya baik
medis maupun psikospiritual termasuk mendapatkan leaflet sesuai kebutuhkan.
d. Pasien sudah menyelesaikan administrasi pembayaran atau melengkapi berkas
administrasi jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan lainnya atau telah
menyelesaikan proses perjanjian untuk melunasi atau melengkapi persyaratan.
3. Pasien rawat inap diperbolehkan pulang meninggalkan rumah sakit dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. DPJP menyatakan boleh pulang (BLPL) dengan ketentuan bahwa pernyataan BLPL
dapat diberikan secara langsung ketika berada di tempat maupun melalui media
komunikasiketika tidak berada di tempat pelayanan.
b. Pasien dan atau keluarganya menyatakan pulang atas permintaan sendiri (APS)
termasuk APS untuk cuti sakit (meninggalkan rawat inap sementara) dan telah
menandatangani surat pernyataan tertulis.
c. Telah mendapatkan edukasi minimal dan tambahan sesuai kebutuhannya baik
medis maupun non medis termasuk mendapatkan buku kerohanian dan leaflet jika
materi yang dibutuhkan tidak tercantum dalam buku kerohanian.
d. Pasien sudah menyelesaikan administrasi pembayaran atau melengkapi berkas
administrasi jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan lainnya atau telah
menyelesaikan proses perjanjian untuk melunasi atau melengkapi persyaratan.
Pasal 82
Pembuatan rencana pemulangan
1. Perencanaan untuk memulangkan pasien dapat diproses lebih awal jika diperlukan
dan sedapat mungkin mengikutsertakan keluarga pasien dalam pengambilan
keputusan.
2. Pembuatan rencana pemulangan pasien dilakukan dengan mempertimbangkan
pelayanan penunjang yang dibutuhkan dan kelanjutan pelayanan medis dan
psikospiritualnya.
3. Pasien yang membutuhkan penanganan khusus setelah pulang harus direncanakan
pemulangannya sejak pasien masuk rawat inap dalam konsep discharge planning.
4. Kriteria pasien yang dilakukan discharge planning adalah:
a. Usia lebih dari 65 tahun
b. Percobaan bunuh diri
c. Korban dari kasus kriminal
d. Perawatan dan pengobatan lanjutan
e. Bantuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
Pasal 83
Pelepasan pasien untuk dipulangkan
1. Pelepasan pasien dari rawat inap harus dilakukan secepat mungkin setelah diputuskan
BLPL atau APS.
2. Pelepasan pasien harus oleh petugas rawat inap dan dilakukan di area penjemputan /
kendaraan pasien.
BAB XII
PELAYANAN KB, KHITAN, HOME CARE, HOME VISITE, RUKTI JENAZAH, IMUNISASI
DAN TELEMEDICINE
Bagian Kesatu
Pasal 84
KELUARGA BERENCANA
1. Rumah Sakit Bunga Bangsa Medika melakukan pelayanan kontrasepsi dengan alasan
bahwa banyak anak adalah sunah, mendidik anak adalah wajib dan kontrasepsi tidak
untuk membatasi jumlah anak tetapi mengatur jarak kehamilan.
2. Pelayanan KB meliputi Intra Uterin Device (IUD)/Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR), Implan/Susuk, Kondom, Suntik 1 bulan dan 3 bulan, Pil, Vasektomi, Tubektomi,
Metode Amenorea Laktasi (MAL).
3. Pelayanan vasektomi dan tubektomi dapat dilakukan jika terpenuhi :
a. Untuk tujuan yang tidak menyalahi syari’at
b. Tidak menimbulkan kemandulan permanen
c. Ada jaminan dapat dilakukan rekanalisasi yang dapat mengembalikan fungsi
reproduksi seperti semula
d. Tidak menimbulkan bahaya bagi yang bersangkutan
e. Tidak dimasukkan ke dalam program dan metode kontrasepsi mantap.
4. Pelayanan Keluarga Berencana meliputi Vasektomi dan Tubektomi dilakukan oleh
dokter Sp. OG., Sp. B., Sp. U., atau dokter umum terlatih dengan mengutamakan operator
yang sejenis kelamin.
5. Konseling KB mantap (Vasektomi dan Tubektomi)dilakukan oleh dokter SpOG, dokter
bedah, dokter umum atau bidan terlatih.
Bagian Kedua
KHITAN PUTRA
Pasal 85
Pelayanan khitan putra
1. Rumah Sakit Bunga Bangsa Medika menyelenggarakan pelayanan khitan putra pada
semua umur.
2. Rumah Sakit Bunga Bangsa Medika melaksanakan khitan putra sesuai dengan standar
pelayanan dan standar profesi dan ketentuan agama untuk menjamin keamanan dan
keselamatan laki-laki yang disunat berdasarkan prinsip medis.
3. Pelaksanaan khitan putra dilakukan atas permintaan orang yang akan di khitan dan
atau permintaan orang tua/walinya meliputi segala latar belakang untuk
melakukannya seperti alasan kesehatan, alasan agama maupun alasan budaya.
4. Pasien atau keluarga pasien khitan putra harus diberikan edukasi yang cukup tentang
pengaturan makanan, perawatan luka paska khitan, potensi perdarahan, potensi infeksi
dan rasa nyeri serta resiko lainnya.
Pasal 86
1. Pelaksana khitan putra adalah tenaga kesehatan baik seorang laki-laki maupun seorang
perempuan meliputi dokter spesialis, dokter umum, bidan atau perawat yang
terlatih/tersertifikasi dan telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
2. Khitan putra yang dilakukan oleh tenaga kesehatan laki-laki pada semua umur.
3. Khitan putra yang dilakukan oleh perempuan hanya pada bayi dan anak-anak.
Bagian Ketiga
PELAYANAN HOME CARE/HOME VISIT (HC/HV)
Pasal 87
Jam pelayanan dan jenis pelayanan home care / home visit
1. Pelayanan home visit dan home care dilaksanakan 24 jam dimana ketika diluar jam
kerja dilakukan dengan perjanjian.
2. Layanan home care/home visit disesuaikan dengan permintaan dan kesepakatan waktu
kunjungan antara petugas dengan pihak pasien
3. Pelayanan home care/home visit adalah pelayanan medis dan pelayanan psikospiritual
meliputi layanan visite dokter, tindakan keperawatan, pengambilan sampel
laboratorium, fisioterapi, konsultasi gizi, pijat bayi, rujukan pasien, rujukan spesimen
Petugas berkewajiban memotivasi pasien ke rumah sakit atau melakukan pemeriksaan
penunjang terdapat tanda kegawatan atau perlu pemeriksaan lebih lanjut.
4. Pola tarif layanan home care/home sesuai dengan ketentuan tarif rumah sakit.
5. Seluruh kegiatan home care/home visit didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Pasal 88
Penanggungjawab dan pelaksana pelayanan HC/HV
1. Penanggungjawab layanan home care/home visit adalah tim home care/home visit.
2. Penanggung jawab tim home care/home visit bertanggungjawab untuk memastikan
berjalannya pelayanan termasuk kesiapan peralatan, kendaraan dan laporan bulanan.
3. Setiap permintaan home care/home visit dikoordinasikan dengan tim home care/home
visit untuk tindaklanjutnya.
4. Petugas pelaksana home care/home visit adalah sesuai jenis kelamin pasien kecuali
karena keterbatasan SDM dan atau karena pasien anak balita.
5. Apabila tim home care/home visit berhalangan, maka tanggung jawab kunjungan
diserahkan ke ketua tim jaga rawat jalan untuk selanjutnya dilakukan koordinasi
dengan bagian lain untuk memastikan kunjungan terlaksana dan memperhatikan beban
kerja petugas jaga, termasuk melibatkan karyawan diluar jam kerja atau “on call”.
Bag
PELAYANAN JENAZAH
Pasal 89
Ketentuan umum pelayanan jenazah
1. Pelayanan jenazah di RSBBM harus sesuai dengan standard dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta menjalankan prinsip-prinsip kewaspadaan universal
(universal precaution).
2. RSBBM menyediakan pelayanan pemulasaraan jenazah bagi jenazah yang berasal dari
pasien RSBBM maupun bagi jenazah yang berasal dari luar RSBBM dan dapat dilakukan
di dalam maupun di luar rumah sakit
3. Pelayanan pemulasaraan jenazah dijalankan oleh tim yang dipimpin oleh kasubag bina
rohani.
4. Pelayanan pemulasaraan jenazah beragama Islam meliputi pelayanan transit jenazah
sebelum dimakamkan, otopsi luar dan rukti jenazah seperti memandikan, mengkafani,
mensholatkan sampai menguburkan.
5. Pelayanan pemulasaraan jenazah beragama selain Islam meliputi pelayanan transit
jenazah sebelum dimakamkan, otopsi luar dan rukti jenazah sebatas membersihkan
seluruh tubuhuntuk dipersiapkan menuju proses berikutnya sesuai agama dan
kepercayaan masing-masing.
6. Pelayanan rukhti jenazah diberikan atas permintaan dan persetujuan keluarga atau
penanggung jawab jenazah.
Pasal 90
Otopsi Jenazah
Pasal 91
Pengawetan Jenazah
Pasal 92
Petugas pelaksana rukti jenazah
1. Petugas rukti jenazah adalah tim rukti jenazah yang terdiri dari karyawan rumah sakit
dan SDM non karyawan rumah sakit.
2. Petugas pelaksana rukti jenazah harus memiliki kompetensi rukti jenazah umum
maupun rukti pada jenazah dengan penyakit tertentu.
3. Petugas rukhti laki-laki hanya boleh melakukan rukhti pada jenazah laki-laki dan
petugas rukhti perempuan hanya boleh melakukan rukhti pada jenazah perempuan
kecuali pada jenazah anak balita ketika terdapat keterbatasan SDM.
Bagian Kee
IMUNISASI
Pasal 93
Pelayanan Imunisasi
Pasal 94
Pelaksana imunisasi
1. Pelaksana imunisasi adalah tenaga kesehatan baik seorang laki-laki maupun seorang
perempuan meliputi dokter spesialis, dokter umum, bidan atau perawat yang
terlatih/tersertifikasi dan telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
2. Imunisasi dilakukan pada semua umur yang tidak memiliki kontraindikasi.
3. Imunisasi dilaksanakan dengan memperhatikan peraturan internal dan eksternal yang
berlaku.
Pasal 95
Pelayanan Telemedicine