Anda di halaman 1dari 8

1.

Kasus Triangle Shirtwaist Factory


Sekitar pukul 4 sore pada tanggal 25 Maret 1911 kebakaranmulai terjadi di lokasi
Perusahaan Triangle Shirtwaist Factory di Kota New York. Pabrik tersebut terletak di
lantai delapan, sembilan, dan sepuluh di Gedung Asch dekat Washington Square Park.
Banyaknya sobekan kain yang ada di dalam tempat sampah dan di bawah meja tempat
duduk membuat semuanya menjadi sangat mudah terbakar. Seorang yang berada di
lantai delapan segera menghubungi pekerja di lantai 10 dan memperingatkan mereka
tentang kebakaran. Namun tidak ada alarm kebakaran atau cara untuk menghubungi
pekerja di lantai sembilan. Karyawan di lantai sembilan hanya menyadari adanya api
dengan melihat adanya asap di tempat mereka. Kepanikan pun terjadi, ada dua tangga
yang bisa dilalui karyawan untuk menyelamatkan diri, tetapi salah satunya sudah
dilahap oleh api. Beberapa karyawan nekat melewati asap dan menggunakan tangga
untuk naik ke atap beberapa menit sebelum tangga habis terbakar api. Mereka selamat
tetapi jumlah sedikit. Tangga satunya seharusnya bisa menyelamatkan banyak nyawa
tetapi telah dikunci oleh mandor yang sedang bertugas sebagai pencegahan terhadap
pencurian oleh karyawan. Si Mandor, kebetulan bisa menyelamatkan diri tanpa cedera
dan membawa kunci pintu tangga bersamanya. Lift barang menjadi rute pelarian lain
yang mungkin bisa dijangkau oleh para pekerja yang ketakutan. Terlalu banyak beban
telah membuat lift tersebut makin rusak parah dan tidak bisa digunakan. Jalan lain
untuk menyelamatkan diri hanya menyisakan tangga yang berada di luar, untuk sisa
karyawan yang masih terperangkap. Panasnya api dan banyaknya karyawan di tangga
darurat menyebabkan tangga bergoyang dan roboh. Sekitar 20 karyawan menjemput
ajal dan beberapa lainnya tertinggal di sisa-sisa tangga darurat yang rusak sampai api
membakar mereka. Pemadam kebakaran berada di lokasi dalam beberapa menit tetapi
tidak dapat memadamkan api dengan mudah. Tangga pemadam kebakaran hanya bisa
mencapai lantai tujuh. Tidak ada harapan untuk penyelamatan dan semua rute pelarian
sudah tertutup bagi mereka, banyak pekerja yang tidak punya pilihan, selain
melompat dari jendela gedung. Sebanyak 146 orang tewas akibat kebakaran itu, 123
perempuan dan 23 laki-laki. Sebagian besar korban meninggal disebabkan oleh luka
bakar, menghirup terlalu banyak asap, dan trauma benda tumpul. Segera setelah
kebakaran, pemilik perusahaan Max Blanck dan Isaac Harris, keduanya sempat
menyelamatkan diri dari kebakaran dengan naik ke atap. Mereka berdua didakwa
melakukan pembunuhan secara tidak disengaja. Setelah melalui proses pengadilan
yang panjang, mereka dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan itu, tetapi kemudian
dinyatakan bersalah karena menyebabkan kematian dalam gugatan perdata. Mereka
diharuskan membayar kompensasi sebanyak $75 kepada setiap korban. Selang
beberapa tahun setelah kebakaran, Max Blanck ditangkap karena terbukti mengunci
pintu darurat kebakaran digedung lain selama jam kerja. Dia dikenai denda untuk
pelanggaran tersebut dan tidak satupun dari pemilik pabrik yang pernah menghadapi
konsekuensi lebih lanjut atas kematian yang disebabkan oleh kelalaian mereka.

Kasus di atas termasuk ke dalam masalah etika dalam bisnis yang melibatkan
"Korupsi" (Bribery). Meskipun kasus ini lebih umumnya dikenal sebagai kasus
kebakaran dan pelanggaran keselamatan kerja, namun ada elemen korupsi yang
terkait dengan tindakan pemilik perusahaan, Max Blanck dan Isaac Harris.
Dalam kasus ini, terungkap bahwa tangga darurat yang menjadi rute pelarian terkunci
oleh mandor untuk mencegah pencurian oleh karyawan. Tangga tersebut menjadi
jalan penyelamatan yang tidak dapat diakses oleh para pekerja yang terperangkap
dalam kebakaran. Tindakan mandor tersebut merupakan bentuk suap atau korupsi, di
mana mandor menggunakan kekuasaan dan jabatannya untuk memanipulasi situasi
demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu (mencegah pencurian).
Kasus ini menggambarkan pelanggaran etika bisnis karena melibatkan tindakan
korupsi yang berujung pada dampak yang fatal, yaitu kematian 146 orang. Tindakan
korupsi yang dilakukan oleh mandor merupakan tindakan yang melanggar prinsip
keadilan, integritas, dan tanggung jawab sosial dalam menjalankan bisnis.

2. Kasus Tylenol Johnson and Johnsons


Pada tanggal 30 September 1982, Johnson & Johnson mengumumkan adanya empat
korban tewas setelah mengkonsumsi kapsul Tylenol yang telah dicampur dengan
sianida. Investigasi lebih lanjut dengan cepat menemukan hubungan antara produk
yang saat itu merupakan produk kesehatan terlaris dengan kematian tujuh korban
ini. Kemasan botol produk yang berasal dari pabrik yang berbeda-beda
dan korban tewas yang semuanya berasal dari daerah Chicago menimbulkan
kemungkinan bahwa terjadi sabotase dalam kejadian ini. Tersangka diduga pergi dan
memasuki berbagai supermarket dan Apotik dalam kurun waktu seminggu, membeli
kemudian merusak kemasan produk kemudian memasukan sianida kedalamnya
kemudian mengganti lagi kemasan tersebut dengan kemasan yang baru. Kasus yang
bermula disebut “keracunan”, telah diubah ke “pembunuhan”. Berbagai spekulasi pun
muncul. Mulai dari kelalaian produsen hingga sabotase. Namun, itu semua lambat
laun mengerucut pada dugaan sabotase yang didasari persaingan usaha. Sebab, jika
disebabkan oleh kelalaian Johnson & Johnson, maka kematian korban tidak hanya di
Chicago. Persoalan utama bukan saja terfokus pada dalang pembunuhan, melainkan
keamanan obat. Food and Drug Administration (FDA) menjadikan kasus ini sebagai
bahan evaluasi untuk lebih memerhatikan keamanan kemasan, bukan hanya terfokus
pada keamanan kimiawi obat saja. Saat itu, obat-obatan memang tidak memiliki
sistem keamanan kemasan yang baik, sehingga mudah dibobol orang tidak
bertanggungjawab. Pada tanggal 5 Oktober 1982, pihak Johnson & Johnson menarik
seluruh produk Tylenol dari pasaran dan menghentikan produksi di seluruh pabrik
mereka. Perusahaan juga mengeluarkan iklan di media massa agar masyarakat tidak
membeli lagi semua produk mereka yang mengandung Parasetamol. Ketika sudah
terbukti hanya Tylenol berbentuk tablet saja yang mengandung racun, perusahaan
menawarkan pergantian Tylenol yang telah dibeli konsumen dengan produk yang
sama berbentuk tablet padat.

Kasus Tylenol Johnson and Johnsons termasuk dalam masalah etika dalam bisnis
yang berhubungan dengan "Penipuan" (Deception). Dalam kasus ini, terjadi
tindakan penipuan yang disengaja dengan menyuntikkan sianida ke dalam kemasan
produk Tylenol yang berasal dari berbagai pabrik. Selanjutnya, produk yang sudah
dicampuri sianida tersebut kemudian ditempatkan kembali di berbagai toko dan
apotek di wilayah Chicago. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk merugikan
perusahaan Johnson & Johnson dan menciptakan ketakutan di masyarakat terhadap
produk Tylenol.
Penipuan ini sangat serius karena menyebabkan kematian tujuh orang yang
mengonsumsi Tylenol yang terkontaminasi sianida. Tindakan tersebut juga merugikan
reputasi perusahaan Johnson & Johnson serta mengancam keselamatan konsumen.
Selain itu, tindakan tersebut juga menciptakan kekhawatiran dan ketidakpercayaan
terhadap industri farmasi secara keseluruhan.
Penipuan merupakan pelanggaran etika dalam bisnis karena melibatkan tindakan
menyesatkan dengan tujuan merugikan orang lain, dalam hal ini adalah perusahaan
dan konsumen. Etika bisnis yang baik mengharuskan perusahaan untuk jujur dan
transparan dalam menyajikan informasi produk kepada konsumen, serta bertanggung
jawab atas keselamatan dan kualitas produk yang mereka hasilkan. Kasus ini menjadi
contoh yang penting bagi industri farmasi dan bisnis pada umumnya untuk lebih
memperhatikan keamanan kemasan dan melindungi kepercayaan konsumen.

3. Kasus Patricia Anderson Vs General Motors


Setelah menghadiri misa pada malam natal 1993, Patricia Anderson, empat anaknya
dan seorang teman mengendarai Chevrolet Malibu 1979 buatan General Motor (GM).
Empat anaknya duduk di jok mobil belakang, yang termuda berusia 6 tahun dan yang
tertua berusia 15 tahun. Dia sedang menunggu di lampu merah dan menunggu lampu
hijau menyala. Tibatiba sebuah mobil menabrak dari belakang dan membuat mobil
Patricia terbakar. Tidak ada korban jiwa, tetapi semua mengalami luka bakar yang
serius. Anderson, anak-anaknya dan seorang temannya mengalami luka bakar tingkat
dua dan tiga yang sangat parah sampai menyebabkan kecacatan. Kecelakaan ini
sepintas karena kelalaian sopir truk yang menabrak sedang dalam keadaan mabuk.
Tetapi pengacara Patricia justru menuntut GM, karena meletakkan tangki bahan bakar
yang tidak cukup terlindungi dari dampak tabrakan. Dalam persidangan, Jaksa
Mahkamah Agung Los Angeles, Ernest G William mengajukan bukti bahwa peletakan
tangki bahan bakar tersebut dilakukan dengan alasan untuk efisiensi dan
meningkatkan laba. Seharusnya, tangki diletakkan 20 inci dari bemper belakang, tapi
jenis mobil produksi GM hanya berjarak 11 inci dari bemper belakang. Desain ini
menghemat biaya produksi sebesar US dollar 6,19 per mobil. Dan jika dikalikan
dengan 41.000.000 jumlah mobil produksi GM akan terjadi efisiensi biaya sebesar US
Dollar 253.790.000. Sebuah keuntungan yang menggiurkan tanpa
memperhitungkankan keselamatan publik. Sementara tangki bahan bakar mobil
Malibu keluaran tahun sebelumnya, dengan ukuran yang lebih besar, diletakkan 20
inci dari bemper belakang. Instruksi yang direkomendasikan ke perusahaan pada
tahun 1969 adalah tangki bahan bakar paling sedikit harus berjarak 17 inci dari
bemper belakang. Pada model tahun 1979 juga tidak terdapat penahan logam untuk
memisahkan tangki bahan bakar dengan roda mobil, yang merupakan ciri standar
pada model tahun sebelumnya. Poin penting lainnya yang dibuktikan dalam proses
hukum adalah bahwa ada kegagalan dalam pengujian setidaknya enam belas kali
sebelum produk tersebut tersedia di pasar. Bukti di pengadilan menunjukkan bahwa
General Motors telah menyadari adanya kemungkinan terjadinya kebakaran pada
tangki bahan bakar sejak saat perancangan Malibu dan model-model mobil lainnya.
Juri, sebagaimana disampaikan oleh jaksa, berpendapat bahwa perilaku General
Motors tersebut secara moral sangat tercela dan melanggar hukum yang berlaku
karena menempatkan laba di atas keselamatan masyarakat. Tuntutan itu dimenangkan
oleh Anderson dengan ganti rugi untuk kompensasi kerusakan senilai total 107 juta
dolar dan sanksi hukuman sebesar 4,8 Miliar dolar, ini merupakan jumlah denda
terbesar untuk kasus pertanggungjawaban produk pada masa itu. Putusan itu dicapai
oleh 12 juri di pengadilan setelah persidangan 10 minggu dimana korban kecelakaan
telah menghasilkan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa General Motors tahu
desain mobil itu tidak aman tetapi tidak mengubahnya karena biayanya.

Kasus Patricia Anderson Vs General Motors termasuk ke dalam masalah etika dalam
bisnis yang berhubungan dengan "Penipuan" (Deception).
Dalam kasus ini, General Motors (GM) diduga melakukan penipuan dengan
menempatkan tangki bahan bakar mobil Chevrolet Malibu 1979 dengan jarak yang
tidak cukup terlindungi dari dampak tabrakan. Bukti di persidangan menunjukkan
bahwa GM telah menyadari adanya kemungkinan terjadinya kebakaran pada tangki
bahan bakar sejak perancangan mobil tersebut, namun mereka tetap meluncurkannya
ke pasar tanpa melakukan perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan
keselamatan publik.
Tindakan ini dianggap sebagai penipuan karena GM menyembunyikan informasi
penting tentang risiko keselamatan yang terkait dengan desain mobil tersebut. Mereka
telah mengabaikan instruksi pengujian dan standar keselamatan yang diperlukan, serta
tidak mengungkapkan fakta bahwa tangki bahan bakar pada model mobil sebelumnya
ditempatkan dengan jarak yang lebih aman.
GM mengutamakan efisiensi dan keuntungan finansial dengan menghemat biaya
produksi sebesar US Dollar 6,19 per mobil, namun mengabaikan keselamatan publik
yang seharusnya menjadi prioritas. Tindakan ini melibatkan penipuan karena GM
dengan sengaja menyajikan informasi yang menyesatkan tentang desain mobil
mereka, yang mengakibatkan luka bakar serius pada Patricia Anderson, anak-anaknya,
dan temannya. Penipuan dalam konteks ini terjadi karena GM dengan sengaja
menyembunyikan fakta penting tentang risiko keselamatan yang berkaitan dengan
produk mereka, dengan tujuan untuk meningkatkan laba dan menghindari biaya
tambahan yang terkait dengan perubahan desain. Tindakan ini melanggar etika bisnis
karena mengutamakan kepentingan finansial perusahaan daripada keselamatan dan
kesejahteraan konsumen.
Sebagai hasilnya, kasus ini berakhir dengan putusan yang menghukum GM secara
finansial sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Hal ini
menegaskan bahwa penipuan dalam bisnis tidak hanya melanggar etika, tetapi juga
dapat memiliki konsekuensi hukum yang serius.

4. Kasus pencemaran logam berat salah satunya terjadi di Teluk Buyat, Kabupaten
Minahasa, Sulawesi Utara. Lokasi tersebut adalah pembuangan
limbah tailing (lumpur sisa penghancuran batu tambang) milik PT. Newmont
Minahasa Raya (NMR). Sejak tahun 1996, PT.NMR membuang sebanyak 2000 ton
limbah tailing ke dasar perairan Teluk Buyat setiap harinya. Dari lokasi tambang
tailing dialirkan melalui pipa baja sepanjang 10 km menuju perairan Teluk Buyat di
kedalaman 82 meter. Mulut pipa pembuangan tersebut berjarak 900 meter dari bibir
pantai Buyat. Bersamaan dengan pembuangan limbah tailing di perairan Teluk Buyat,
nelayan yang bermukim di sekitar Teluk Buyat mulai mendapatkan puluhan ikan mati
di wilayah perairan tempat mereka mencari nafkah. Sejumlah ikan ditemui memiliki
benjolan semacam tumor dan mengandung cairan kental berwarna hitam dan lendir
berwarna kuning keemasan. Fenomena serupa ditemukan pula pada sejumlah
penduduk Buyat, dimana mereka memiliki benjol-benjol di leher, payudara, betis,
pergelangan, pantat dan kepala. Sejumlah laporan penelitian telah dikeluarkan oleh
berbagai pihak sejak 1999 hingga 2004. Dari laporan-laporan penelitian tersebut,
ditemukan kesamaan pola penyebaran logam-logam berat seperti Arsen (As), Antimon
(Sb), dan Merkuri (Hg) dan Mangan (Mn), dimana konsentrasi tertinggi logam
berbahaya tersebut ditemukan di sekitar lokasi pembuangan tailing Newmont. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembuangan tailing Newmont di Teluk Buyat merupakan
sumber pencemaran sejumlah logam berbahaya. Jika dibandingkan pada konsentrasi
logam berat sebelum pembuangan tailing (data dari studi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan/ AMDAL tahun 1994), konsentrasi arsen di daerah dekat mulut
pipa tailing di Teluk Buyat meningkat hingga 5-70 kali lipat (data WALHI dan KLH
2004). Kasus Buyat mendapatkan rating tertinggi dalam kasus pencemaran
lingkungan hidup di dunia di tahun 2004. Kasus pencemaran lingkungan di dunia
yang nyaris mampu menyamakan rekor kasus “Minamata Deases” di Teluk Minamata
Jepang dimasa itu. Bumi Sulawesi Utara (Sulut) yang menjadi lokasi terciptanya
kasus menghebohkan dunia yang sebetulnya sejak tahun 2001 sudah sangat
menghebohkan dunia internasional, sehingga tercipta suatu kerjasama internasional
untuk mengadakan suatu “International Conference” tentang “System Tailing
Displacement (STD)” di Kota Manado (ibukota Sulut). Tak kurang dari 10 negara
hadir di acara tersebut dan sempat menerbitkan “deklarasi Manado”.
Sidang Pengadilan Negeri (PN) Manado yang dipimpin Ketua Majelis Hakim,
Ridwan Damanik, dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, Selasa, memvonis PT
Newmont Minahasa Raya (NMR) dan Presiden Direktur PT NMR, Richard B Ness,
bebas dari dakwaan pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup di Teluk Buyat.
Putusan itu disambut gembira oleh pengunjung sidang yang kebanyakan berasal dari
PT NMR dan keluarga Richard Ness. Dua anak Ness, yaitu Eric dan Brian serta istri
Ness, Nova Ness, turut hadir dalam sidang. Ketika diminta pendapatnya, Eric
menyatakan: "Saya bangga pada ayah saya", sedangkan istri Ness menyatakan:
"Alhamdulillah". Sementara itu, Richard Ness kelihatan matanya berkaca-kaca
menyambut vonis bebas atas dirinya itu. Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang diwakili
Purwanta dan Mutmaina Umaji, ketika diminta komentarnya menyatakan pihak
Kejaksaan akan melakukan upaya hukum perlawanan atas putusan bebas majelis
hakim itu yaitu dengan melakukan kasasi. Di luar ruang sidang, para pengunjuk rasa
yang jumlahnya mencapai ratusan orang meneriaki amar putusan majelis hakim yang
membebaskan terdakwa, dengan menyatakan majelis hakim tidak adil dan berpihak
pada yang berkuasa. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengemukakan bahwa
data pencemaran yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada hasil
pengujian yang dilakukan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri
berbeda dengan sejumlah data pengujian lain yang dilakukan sejumlah instansi
penelitian baik nasional maupun internasional dan menyatakan bahwa konsentrasi
logam di dalam air, biota dan tubuh manusia berada di bawah baku mutu yang
ditetapkan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Selain itu, hasil pengujian
konsentrasi limbah tambang (tailing) yang dibuang ke laut bukan bahan beracun.
Sementara itu, penempatan tailing di laut pada kedalaman 80 meter, tidak
mengganggu termoklin dan selama ini tidak terbawa arus laut sehingga tidak
mencemari perairaan. Soal tuduhan pembuangan limbah tailing tanpa ijin, kata
majelis hakim, PT NMR sebelum beroperasi sudah membuat kajian Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang memuat pembuangan tailing ke laut, dan AMDAL
tersebut telah disetujui pemerintah. "Dengan demikian tidak benar PT NMR
membuang tailing tanpa ijin," kata Ridwan Damanik ketika membacakan amar
putusan. Selain itu, sebelum dibuang taling ke laut, PT NMR telah mengolah tailing
untuk membuang zat-zat beracun (detoksifikasi) sehingga tailing tidak beracun.

Kasus pencemaran logam berat di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara
termasuk ke dalam masalah etika dalam bisnis yang disebut "Pencurian" (Theft).
Alasan untuk memasukkan kasus ini dalam kategori pencurian adalah karena
perusahaan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) telah melakukan pembuangan
limbah tailing secara tidak sah ke perairan Teluk Buyat. Limbah tailing yang dibuang
mengandung logam-logam berat berbahaya, seperti arsen, antimon, merkuri, dan
mangan, yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat
setempat.
Pencurian terjadi karena PT. NMR mengambil sesuatu yang bukan hak mereka, yaitu
lingkungan alam dan kualitas hidup masyarakat yang sehat. Perusahaan tersebut
melanggar prinsip-prinsip etika bisnis dengan tidak memperlakukan lingkungan dan
kesehatan masyarakat sebagai aspek yang penting dalam operasional mereka.
Pencurian dalam bisnis tidak hanya terkait dengan pengambilan properti fisik secara
langsung, tetapi juga dapat melibatkan pengambilan hak-hak orang lain, seperti hak
atas lingkungan yang bersih dan sehat. Dalam kasus ini, PT. NMR melakukan
pencurian terhadap hak masyarakat untuk hidup dalam lingkungan yang bebas dari
pencemaran dan dampak negatif yang membahayakan kesehatan. Artinya, kasus
pencemaran logam berat di Teluk Buyat masuk dalam kategori masalah etika bisnis
yang berhubungan dengan pencurian, karena perusahaan telah mengambil sesuatu
yang bukan hak mereka dan merugikan masyarakat setempat dengan merusak
lingkungan dan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai