Anda di halaman 1dari 69

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ISLAM

MULTIKULTURAL DI PESANTREN
( Study Kasus Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 )

PROPOSAL TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Seminar Proposal
Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh:
INAYATUL FADILAH
NIM: 2022040202022

PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KENDARI
2023
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI
PASCASARJANA
Jl. Sultan Qaimuddin No. 17 Telp/Fax (0401-3193710).

E-Mail. pascasarjana.iainkendari@gmail.co.id. Website. Iain-kendari.ac.id

PERSETUJUAN PROPOSAL TESIS

Proposal Tesis dengan judul:"Implementasi Pendidikan Islam


Multikultural di Pesantren” yang ditulis oleh saudari Inayatul Fadilah dengan
NIM: 2022040202022, Program Studi : Pendidikan Islam telah diperbaiki
sebagaimana masukkan dan saran-saran pembimbing serta telah memenuhi syarat
ilmiah untuk dilanjutkan pada tahap Seminar Proposal.
Kendari, 10 Oktober 2023

Disetujui Oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Hj. Faizah Binti Awad, M.Pd Dr. Asliah Zainal, M.A
NIP. 196202101992032002 NIP 197403272003122002

Mengetahui,

Ketua Program Studi PAI

Dr. Aris Try Andreas Putra, M.Pd


NIP. 1989110022019031007

i
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PROPOSAL TESIS..................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1.Latar Belakang...............................................................................................1
1.2.Fokus Penelitian...........................................................................................12
1.3.Rumusan Masalah........................................................................................12
1.4.Tujuan Penelitian..........................................................................................13
1.5.Manfaat Penelitian........................................................................................13
1.6.Definisi Operasional.....................................................................................14
BAB II...................................................................................................................16
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................16
2.1.Implementasi Pendidikan Islam...................................................................16
2.1.1.Pengertian Implementasi.......................................................................16
2.1.2.Pengertian Pembelajaran Pendidikan Islam...........................................18
2.1.3.Dasar Pendidikan Islam.........................................................................22
2.1.4.Tujuan Pendidikan Islam.......................................................................22
2.1.5.Kurikulum Pendidikan Islam.................................................................24
2.1.6.Konsep Pendidikan Islam......................................................................26
2.1.7.Ruang Lingkup Pendidikan Islam.........................................................28
2.2.Pendidikan Multikultural..............................................................................33
2.2.1.Pengertian Pendidikan Multikultural.....................................................33
2.2.2.Pendidikan Islam Multikultural.............................................................36
2.2.3.Konsep Pendidikan Islam Multikultural................................................36
2.2.4.Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Multikultural....................................39
2.3.Pendidikan Pesantren...................................................................................40
2.3.1.Pengertian Pesantren..............................................................................40
2.3.2.Pendidikan didalam Pesantren...............................................................43
2.3.3.Pesantren Sebagai Pendidikan Ciri Khas Indonesia..............................45
2.4.Penelitian Terdahulu.....................................................................................46
2.5.Kerangka Fikir..............................................................................................50

ii
BAB III..................................................................................................................52
METODOLOGI PENELITIAN.........................................................................52
3.1.Jenis Penelitian.............................................................................................52
3.2.Waktu dan Tempat Penelitian......................................................................53
3.3.Subjek Penelitian..........................................................................................53
3.4.Informan Penelitian......................................................................................54
3.5.Teknik Pengumpulan Data...........................................................................55
3.6.Teknik Analisis Data....................................................................................57
3.7.Pengecekan Keabsahan Data........................................................................59
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................61

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Manusia diciptakan Allah SWT pada kondisi yang penuh dengan

keberagaman. Keberagaman bagi manusia itu sendiri adalah “pakaian”, yang

fungsinya adalah untuk melindungi diri dan menjadi sebuah perangkat untuk

memberikan kekayaan dan keindahan bagi masyarakat. Kekayaan dan keindahan

dari keberagaman tersebut ditunjukan pada perbedaan dalam berbahasa, bersosial

masyarakat, berpakaian dan perbedaan dalam beragama yang tercakup pada

banyaknya bangsa-bangsa, suku, ras dan agama.

Indonesia, salah satu negara yang multikultural yang terbesar di dunia, yang

dapat dilihat dari aspek sosiokultur dan geografis begitu beragam dan luas. Hal ini

dibuktikan dengan gugusan pulau-pulau yang terbentang di wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berjumlah kurang lebih sekitar 13.000

pulau, baik dalam ukuran besar maupun kecil, dan ditambah dengan populasi

penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 240 juta jiwa, terdiri dari 300

suku bangsa dengan menggunakan 200 bahasa yang berbeda. (Yaqin, 2005)

Keberagaman yang ada di Indonesia, sebenarnya merupakan sebuah potensi

yang sangat besar dan harus dimaksimalkan bagi kemajuan bangsa. Namun, jika

lepas dari kendali maka juga akan berpotensi menimbulkan problem-problem baru

yang didapatkan dari buruknya pengelolaan dan pembinaan dari keberagaman itu

sendiri.

Umat muslim sebagai pemeluk agama yang mayoritas di Indonesia maupun

dunia, harus berperan aktif dalam mengelola dimensi keberagaman bangsa ini

1
sehingga bisa dijadikan contoh dari negara-negara lain yang saat ini cenderung

gagal dalam menyikapi keberagaman yang ada di negaranya. Dengan adanya

keberagaman tersebut kita sebagai manusia bisa saling mengenal satu dengan

yang lainnya. Dalam rangka mengenal satu sama lain kita juga diharapkan bisa

saling menghormati dan mewujudkan silaturahmi dan menguatkan ukhuwah

Islamiyah. Mengenal hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam

firman-Nya :

‫ِا‬ ‫ِل‬ ‫ِا‬ ‫ٰٓي‬


‫َاُّيَه ا الَّناُس َّنا َخ َلْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذَك ٍر َّو ُاْنٰثى َو َجَعْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤإِى َل َتَع اَر ُفْو اۚ َّن َاْك َر َم ُك ْم‬

‫ِا ّٰل ِل ِب‬ ‫ِع ّٰلِه‬


‫ْنَد ال َاْتٰق ىُك ْم ۗ َّن ال َه َع ْيٌم َخ ْيٌر‬

Artinya : Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.

Ayat di atas memperkenalkan doktrin saling mengenal (ta’aruf) dan saling

menolong (ta’awun) untuk membangun sosial yang baik, hidup bersama saling

tolong menolong dalam kebaikan dan kedamaian. Mengenal (ta’aruf) bermakna

sikap mengakui, sikap kebersamaan, sikap menerima, dan sikap menghargai

keberagaman budaya, suku, agama, ras, etnis serta adat istiadat. Manakala sikap

tersebut sudah tertanam dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Setelah

saling ta’aruf muncullah kasih sayang (Rahman dan Rahiim). Jika sudah Rahman

dan Rahiim timbullah ta’awun ( saling tolong menolong) dalam membangun

kehidupan bersosial yang baik.

2
Berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasioanl Pasal 3, diungkapkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan martabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Seiring perkembangan zaman dewasa ini, pendidikan merupakan tonggak

sentral untuk memperbaiki mutu manusia yang dituntut untuk selalu tanggap

dengan setiap hal yang bersifat baru. Tidak hanya pendidikan yang bersifat

umum, pendidikan yang bersifat keagamaan juga dituntut agar selalu bisa

berkembang dengan mengeksplorasi seoptimal mungkin setiap kajian yang ada

didalamnya.

Sejak konflik sosial secara multidimensional bermunculan di Indonesia, telah

banyak kajian dan hasil penelitian baik dalam upaya pemetaan factor-faktor

konflik itu maupun upaya pencarian resolusinya. Kini sudah saatnya upaya serupa

diarahkan kepada pencarian potensi kedamaian yang mungkin dapat

diimplementasikan dalam mengatasi berbagai konflik serta memperkuat bangunan

kesatuan bangsa. Seperti halnya sumber-sumber konflik ditemukan berasal dari

berbagai factor ideologi, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Maka demikian

pula sumber-sumber kedamaian dapat digali dari berbagai ajaran atau prinsip

suatu gerakan sosial, orientasi kelembagaan, model kepemimpinan, dan lain-lain.

3
Dalam hal ini misalnya potensi pesantren sebagai kelembagaan agama dan sub-

kultur di negeri ini.

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang menekankan

pemahaman agama sebagai ruh kehidupan umat manusia, menjanjikan potensi

yang luar biasa. Menurut catatan resmi Kementrian Agama, saat ini terdapat

sekitar 13 ribu pesantren yang terbesar diseluruh Indonesia. Sejak kehadirannya

beberapa abad yang lalu pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan

dakwah, dipijakkan pada misi utamanya untuk menyebarkan agama Islam dan

mengembangkan tata kehidupan masyarakat sekitarnya dengan cara membangun

tradisi kehidupan yang damai, aman dan mandiri. Demikian pula dalam

perkembangan berikutnya pada masa kolonalisme, masa awal kemerdekaan,

hingga era pembangunan nasional dengan segenap system pendidikan yang

dikembangkannya, pondok pesantren secara istiqomah tetap mempertahankan

tradisi kedamaian, keseimbangan, dan keharmonisan lingkungan. Pondok

pesantren secara doktriner tetap mengembangkan prinsip ukhuwah Islamiyah,

ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah dalam upaya memperkuat

bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus ikut serta

membangun tata kehidupan global yang damai.

Karakteristik Islam yang ditampilkan oleh para ulama pemangku pesantren

sebagaimana Nabi SAW mengajarkannya yaitu dengan penanaman dan

pengembangan nilai-nilai infitah (inklusif), tasawuf (moderat), musawah

(persamaan), dan tawazun (seimbang). Karena itu maka pesantren tampil pula

sebagai agen pembudayaan nilai, norma, sekaligus pesan-pesan keagamaan yang

4
sarat dengan harmoni, kerukunan, persatuan dan kedamaian, bahkan para ahli

menilai pesantren mempunyai peran yang cukup signifikan dalam melestarikan

budaya local, termasuk memelihara nilai-nilai dan tatanan sosial yang harmonis

disekelilingnya (an-Nahidil, 2006)

Pesantren sangat menjunjung tinggi sikap menghargai, tanpa

mempersonalkan asal-usul suku , etnis, dan ras. Kurikulum pesantren, baik

pesantren modern maupun tradisional, mengajarkan peningkatan wawasan

kebangsaan pada santri maupun masyarakat lingkungannya agar mereka dapat

hidup bersama dan berdampingan dengan berbagai kelompok masyarakat

Indonesia yang plural serta mampu menebarkan rahmat bagi lingkungan.

(Sholihuddin, 2013)

Pesantren di Indonesia adalah lembaga pendidikan Islam yang biasanya

memiliki berbagai satuan pendidikan, seperti sekolah dan madrasah. Idealnya,

pesantren seharusnya mengintegrasikan prinsip pengembangan kurikulum yang

mengandung nilai-nilai multikultural dalam kegiatan perencanaan, serta

implementasinya. Namun, dalam praktiknya, hal ini tidak mudah dilakukan oleh

pesantren, terutama pesantren tradisional yang mengikuti pendekatan Salafiyah.

Bagi pesantren tradisional, kegiatan implementasi masih kurang populer di

kalangan pengelola pesantren. Pendidikan di pesantren tradisional umumnya

bergantung pada improvisasi yang dilakukan oleh seorang kiai secara intuitif,

yang disesuaikan dengan perkembangan pesantren itu sendiri. Dengan demikian,

pengembangan kurikulum pesantren tradisional sangat ditentukan oleh seorang

5
kiai, sehingga nilai-nilai multikultural, terutama nilai demokrasi dan keadilan,

jarang ditemukan dalam pengembangan kurikulum pesantren tradisional.

Dalam konteks ini, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan

pemahaman tentang pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai multikultural dalam

pengembangan kurikulum pesantren, termasuk pesantren tradisional. Pengelola

pesantren dan para kiai perlu diberikan pemahaman dan pelatihan yang memadai

tentang prinsip-prinsip multikultural serta pentingnya mengembangkan kurikulum

yang inklusif dan menghargai keragaman budaya. Dengan demikian, pesantren

dapat menjadi lembaga pendidikan yang lebih holistik, mempersiapkan siswa

untuk hidup dalam masyarakat yang multikultural dan pluralistik.

Pesantren modern atau pesantren khalafiyah telah sebagian besar mengadopsi

pendekatan yang lebih terstruktur dalam kegiatan pendidikannya. Mereka

merencanakan program pendidikan yang akan dilaksanakan oleh seorang kiai dan

staf pengajar lainnya. Selain itu, implementasi program pendidikan tersebut juga

dievaluasi untuk memperbaiki dan meningkatkannya di masa yang akan datang.

Dalam konteks ini, pengembangan kurikulum pesantren modern ditentukan oleh

kiai dan para ustadz yang ada di pesantren tersebut. Mereka memiliki peran

penting dalam merancang kurikulum yang mencerminkan prinsip multikultural.

Hal ini berarti pengembangan kurikulum pesantren modern diasumsikan

menerapkan nilai-nilai multikultural dalam setiap tahap, seperti perencanaan,

maupun implementasinya.

Pondok Modern Darussalam Gontor yang menggunakan kurikulum

Kulliyatul-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) sejak tahun 1936 yang merupakan hasil

6
ijtihad para pendiri Pondok Modern Gontor; K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin

Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi, yang dilakukan sejak tahun 1926 dalam rangka

melakukan modernisasi terhadap sistem pendidikan pesantren sebagai budaya asli

bangsa Indonesia, sehingga masyarakat kemudian menyebut Pondok Gontor

dengan Pondok Modern. Pada awal berdirinya, Gontor membuka Tarbiyatul

Athfal (TA), suatu program pendidikan tingkat dasar. Materi, sarana, dan

prasarana pendidikannya sangat sederhana. Program TA pada berikutnya tidak

hanya diikuti oleh anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Peserta didiknya juga

tidak terbatas pada masyarakat desa Gontor tetapi juga masyarakat desa sekitar.

Sejak berdirinya Gontor pendidikan multikultiral sudah mulai terbentuk karena

santri yang belajar di sana tidak hanya berasal dari desa Gontor.

Enam tahun TA berdiri. Kehadirannya disambut dengan kegairahan yang

tinggi oleh para pecinta ilmu. Kemudian mulailah dipikirkan upaya

pengembangan TA dengan membuka program lanjutan TA yang diberi nama

Sullamul Muallimin (SM) pada tahun 1932. Pada tingkatan ini santri diajari secara

lebih dalam dan luas pelajaran fikih, hadis, tafsir, terjemah al-Qur’an, cara

berpidato, cara membahas suatu persoalan, juga diberi sedikit bekal untuk menjadi

guru berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler mendapat

perhatian luar biasa dari pengasuh pondok melalui pengadaan klub-klub dan

organisasi-organisasi; keterampilan, kesenian, olahraga, kepanduan, dan lain-lain.

Banyaknya kegiatan yang dilakukan di pondok Gontor menyebabkan pertemuan

antar santri dari berbagai daerah yang membentuk pendidikan multikultural.

7
Perkembangan TA dan SM semakin pesat yang kemudian pada tahun 1936

yang bertepatan dengan 10 tahun Gontor dibuka program pendidikan baru tingkat

menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyatul-Mu’allimin al-

Islamiyah (KMI) atau sekolah guru Islam, yang menandai kebangkitan sistem

pendidikan modern di lingkungan pesantren. Hadirnya KMI boleh dibilang

sebagai oleh-oleh dari K.H. Imam Zarkasyi setelah sebelas tahun merantau dan

menuntut ilmu di Padang Panjang, Sumatera Selatan. Sepanjang hayatnya, KMI

melewati lima kurun waktu (masa penjajahan, masa awal kemerdekaan, masa orde

lama, masa orde baru, dan masa reformasi), Pondok Modern Gontor tetap

bertahan dengan sistem KMI secara konsekuen dan konsisten di tengah-tengah

berbagai perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan bangsa Indonesia.

Kulliyatul-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) tidak sama dengan sekolah atau

madrasah formal, seperti MTs dan MA atau SMP dan SMA atau Madrasah-

Madrasah Diniyah dan Salafiyah, tetapi secara substansial, KMI telah memenuhi

Standar Nasional Pendidikan seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah

No.19 Tahun 2005, bahkan dalam beberapa aspek melebihi standar tersebut.

Sistem KMI telah mendapatkan pengakuan (muadalah) dari berbagai institusi atau

universitas di luar negeri, seperti Al-Azhar University, Kairo; Islamic University;

Madinah Munawarah; International Islamic University Islamabad, Pakistan, dll.

Di dalam negeri, sejak tahun 1998, Pemerintah Republik Indonesia secara

resmi telah mengeluarkan Pengakuan Penyetaraan atau Muadalah Ijazah KMI

dengan ijazah Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kurikulum KMI (Dirasah Islamiyah dengan pola Pendidikan Muallimin) sekarang

8
sudah masuk dalam Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang

Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren yang disahkan oleh DPR-RI pada tanggal

24 September 2019 (Gontor, 2006)

Pondok Modern Darussalam Gontor mempunyai pondok-pondok ”anak”

yang beraneka ragam yang kemudian dikenal dengan istilah Pondok Pesantren

Cabang dan Pondok Pesantren Alumni, Pondok Modern Darussalam Gontor

memilik beberapa Pondok cabang yang tersebar di beberapa daerah baik Gontor

Putra maupun Gontor Putri , Pondok Modern Gontor Putra memiliki 12 cabang

dan Gontor Putri memilik 8 cabang berikut ini adalah perinciannya :

Table 1.1

Nama Daerah
Gontor Putra 1 Ponorogo
Gontor Putra 2 Ponorogo
Gontor Putra 3 Kediri
Gontor Putra 4 Banyuwangi
Gontor Putra 5 Magelang
Gontor Putra 6 Kendari
Gontor Putra 7 Lampung
Gontor Putra 8 Aceh
Gontor Putra 9 Padang
Gontor Putra 10 Jambi
Gontor Putra 11 Poso
Gontor Putra 12 Riau
Gontor Putri 1 Ngawi
Gontor Putri 2 Ngawi
Gontor Putri 3 Ngawi
Gontor Putri 4 Kediri
Gontor Putri 5 Kendari
Gontor Putri 6 Poso
Gontor Putri 7 Riau
Gontor Putri 8 Lampung

9
Gontor Putri kampus 5 sendiri yang terletak di Konawe Selatan Sulawesi

Tenggara merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam Modern dan

merupakan salah satu cabang Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG)

Ponorogo yang usianya baru menginjak 18 tahun, dan masih dalam tahap

pengembangan dari berbagai segi memerlukan partisipasi yang penuh bagi setiap

yang tinggal di dalamnya, baik dari guru ataupun dari siswa.

Pondok Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 5 sebagai salah satu

Lembaga Pendidikan Islam yang didirikan untuk menciptakan perdamaian dan

memberikan wawasan yang lebih luas tentang cakrawala pemikiran, keilmuan dan

pengalaman bagi umat Islam. Lembaga ini adalah wujud dan implementasi dari

cita-cita dan harapan umat Islam untuk mewujudkan sebuah Lembaga Pendidikan

yang mampu mencetak kader-kader umat, khususnya umat islam di daerah

Sulawesi Tenggara yang berkualitas. dengan adanya Lembaga ini juga maka

secara tidak langsung memberikan konstribusi positif dalam menciptakan miliu

Pendidikan dan pengajaran Islam yang progresif aktif. Secara umum keberadaan

lembaga ini turut membantu sumber daya manusia, membangun media

transformasi informasi melalui jalur pendidikan yang Islami.

Pondok Modern Darussalan Gontor Putri Kampus 5 mengacu kepada system

dan manajemen Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur,

dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas Pendidikan khususnya Pendidikan

Islam di Sulawesi Tenggara. Selain itu untuk mewujudkan tujuan dari Pendidikan

Pondok Modern Gontor, yaitu Pendidikan yang diarahkan pada pembentukan

pribadi mukmin muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas

10
dan berpikiran bebas. Empat serangkai konsep inilah yang disebut Motto Pondok

Modern Darussalam Gontor.

Sebagai salah satu pesantren modern di Indonesia, Pondok Modern

Darussalam Gontor Putri kampus 5 dipilih sebagai objek dan penelitian ini.

Dengan alasan bahwa Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 telah

memasukkan nilai-nilai multikultural dalam pengembangan kurikulumnya. Selain

itu Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 memiliki prinsip “Berdiri

di atas semua golongan dan tidak memihak kepada golongan tertentu”. Prinsip ini

dimaksudkan untuk menghindari adanya sikaf fanatisme golongan, dan konflik

antar golongan.

Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 merupakan Lembaga

Pendidikan yang berbasis asrama dan merupakan Lembaga Pendidikan yang

berperan dalan transfer ilmu pengetahuan, transpormasi sosial, budaya dan

multikulturalisme. Perhatian terhadap nilai-nilai multikultural tersebut

diasumsikan terkait dengan fakta bahwa pesantren ini memiliki santri dengan latar

belakang yang beragam. Mulai tahun 2021 Gontor Putri Kampus 5 mendapatkan

kiriman santri dari Pulau Jawa yang di mana ditahun sebelumnya santriwati hanya

berasal dari Indonesia Timur. Jika keragaman latar belakang daerah asal santri

tidak dikelola dengan memperhatikan nilai-nilai multikuktural, maka sangatlah

potensial akan terjadi konflik didalamnya. Dengan memahami perbedaan tafsir

setiap teks yang ada, diharapkan akan menghasilkan pemahaman kebergaman

yang inklusif, toleran, dan terbuka terhadap siapapun.

11
Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, Pondok Modern Darussalam

Gontor Putri Kampus 5 menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka

kultur dan budaya para santrwatinya. Dalam hal ini Gontor Putri Kampus 5

menerepkannya melalu program kegiatan ekstrakulikurel di antaranya Pekan

Pekernalan Khutnatu-L- ‘Arsy, Aneka Ria Nusantara, Darussalam All Star Show,

dan lain-lainya.

Salah satu yang menarik dari para santri yang bersal dari berbagai macam

daerah dan tentunya memiliki berbagai macam budaya yang berbeda, mereka

dapat hidup bersosiali dengan baik didalam kelas, asrama, dan dilingkungan

pesantren. Oleh karena itu dari uraian di atas penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitian “IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ISLAM

MULTIKULTURAL DI PESANTREN ( Study Kasus Pondok Modern

Darussalam Gontor Putri kampus 5 )”

1.2. Fokus Penelitian

Mengingat luasnya ruang lingkup yang diuraikan, maka untuk menghindari

pembiasan dalam memahami pembahasan, penulis membatasi ruang lingkup

permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai Implementasi Pendidikan Islam

Multikultural di Pesantren yang berdasarkan keberagaman etnis suku dan budaya

yang telah dilaksanakan oleh guru dan santriwati di Pondok Modern Darussalam

Gontor Putri kampus 5

1.3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kurikulum dan program Pendidikan Islam multikultural di

Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 ?

12
2. Bagaimana implementasi Pendidikan Islam multikultural di Pondok

Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 ?

3. Apa sajakah faktor penghambat dan pendukung implementasi Pendidikan

Islam multikultural di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus

5?

1.1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan kurikulum dan program Pendidikan Islam multikultural

di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5

2. Mendeskripsikan implementasi Pendidikan Islam multikultural di Pondok

Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5

3. Mendeskripsikan faktor penghambat dan pendukung implementasi

Pendidikan Islam multikultural di Pondok Modern Darussalam Gontor

Putri kampus 5

1.2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang diinginkan dengan diadakannya penelitian ini

diharapkan hasilnya dapat bermanfaat baik teoritis maupun praktis, khususnya

bagi peneliti dan institusi Pendidikan pada umumnya.

1. Kegunaan teoritis

a. Untuk mengembangkan bidang keilmuan dan pengetahuan tentang

Implementasi Pendidikan Islam multikultural di pesantren.

b. Sebagai informasi bagi pihak terkait dengan peningkatan mutu serta

bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut.

13
2. Kegunaan Praktis

a. Sebagaimana pembelajaran kepada para guru Pondok Modern

Darussalam Gontor Putri Kampus 5

b. Bagi Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 sebagai

feedback dan bahan informasi bagi guru secara umum dan khususnya

bagi guru dipesantren yang menjadi tempat penelitian ini.

c. Bagi fakultas Pendikan Agama Islam Institut Agama Islam Negri

(IAIN) Kendari untuk menambah khasanah kepustakaan guna

mengembangkan karya-karya ilmiah lebih lanjut.

1.3. Definisi Oprasional

Untuk mempertegas, memberikan arah, dan menghindari kesalah pahaman,

beberapa istilah kunsi yang penting untuk didefinisikan adalah:

1. Implementasi :

Implementasi merupakan pelaksanaan atau tindakan dari sebuah rencana yang

sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan

setelah perencanaan sudah dianggap benar. Secara sederhana dapat dikatakan,

bahwa implementasi bermuara pada aktivitas, aksi atau tindakan, mekanisme atau

sistem.

2. Pendidikan Multikultural :

Pendidikan multikultural merupakan pendekatan pendidikan yang

mempromosikan pemahaman, toleransi, dan penghargaan terhadap beragam

budaya, agama, latar belakang etnis, dan identitas lainnya dalam konteks

pendidikan.

14
3. Pesantren :

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang memiliki

karakteristik khasnya sendiri. Unsur-unsur utama pesantren, seperti yang

dijelaskan oleh Zamakhsyari Dhofier diantaranya pondok, masjid, santri

pengajaran ktab-kitab Islam klasik dan kiai. Di pesantren, seorang pemimpin

spiritual yang disebut kiai memiliki peran sentral dalam membimbing santri dalam

hal agama dan moralitas. Kurikulum pesantren biasanya bersifat tradisional,

dengan fokus pada pembelajaran agama Islam dan ilmu-ilmu keislaman. Selain

itu, pesantren juga mengutamakan pembentukan karakter dan akhlak yang baik

pada santri.

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Implementasi Pendidikan Islam

1.1.1. Pengertian Implementasi

Implementasi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan

penerapan atau pelaksanaan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu

kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Kamus

Webster, mengartikan implementasi secara pendek bahwa to implement

(mengimplementasikan) berarti to provide the means for carring out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to

(agar menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu). (KBBI, 2023)

Pengertian dari Kamus Webster mempunyai arti bahwa untuk

mengimplementasikan sesuatu harus disertai dengan adanya sarana yang

mendukung yang nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat terhadap

sesuatu. Definisi dari Kamus Webster memperluas makna implementasi dari

KBBI yang berarti untuk melaksanakan atau menerapkan sesuatu membutuhkan

sarana dan prasarana.

Istilah implementasi bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan,

maupun dunia manajemen, setiap guru melakukan sebuah perancangan atau

perencanaan sebuah program yang bertujuan untuk memaksimalkan dalam

mewujudkan rencana agar sukses dan mencapai tujuan yang diharapkan sesuai

dengan kurikulum yang berlaku disekolah.

Susilo mengartikan implementasi sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan

(Susilo, 2007) artinya segala sesuatu yang dilaksanakan dan diterapkan, sesuai

16
dengan kurikulum yang telah dirancang atau didesain untuk kemudian dijalankan

sepenuhnya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Maka, implementasi

kurikulum juga dituntut untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang telah

direncanakan dalam kurikulumnya, permasalahan yang akan terjadi adalah apabila

yang dilaksanakan menyimpang dari yang telah direncanakan dan akan berakibat

kesia-siaan antara perencanaan dengan implementasi.

Menurut Hanafiah yang telah dikutip oleh Harsono mengemukakan

pendapatnya mengenai implementasi, bahwasanya implementasi merupakan suatu

proses untuk melaksanakan sebuah kegiatan yang akan menjadi tindakan

kebijakan dari politik kedalam administrasi. (Harsono, 2002)

Pengembangan suatu kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program

Guntur Setiawan mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi,

bahwasanya implementasi merupakan perluasan aktivitas yang saling

menyesuaikan antara interaksi dan tujuan serta tindakan untuk mencapai sesuatu

secara efektif (Setiawan, 2004). Secara garis besar pengertian implementasi

adalah suatu proses, suatu aktivitas yang digunakan untuk mentransfer ide atau

gagasan, program atau harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk kurikulum

desain agar dilaksanakan sesuai dengan desain tersebut.

Proses implementasi dilakukan dengan mengikuti perkembangan dan

mengadopsi program-program yang sudah direncanakan dan sudah

diorganisasikan dalam bentuk kurikulum desain. Dari pengertian-pengertian di

atas dapat disimpulkan bahwa kata implementasi bermuara pada mekanisme suatu

sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan

17
sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara

sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan

kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri melainkan

dipengaruhi oleh obyek lainnya.

Dari pengertian di atas peneliti dapat menyimpulkan , bahwa implementasi

merupakan pelaksanaan atau tindakan dari sebuah rencana yang sudah disusun

secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah

perencanaan sudah dianggap benar. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa

implementasi bermuara pada aktivitas, aksi atau tindakan, mekanisme atau sistem.

1.1.2. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Islam

Pembelajaran merupakan suatu proses komunikasi dua arah, yang di mana

kegiatan mengajar dilakukan oleh seorang guru yang disebut sebagai pendidik,

sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid. Sedangkan menurut

Corey, pembelajaran adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara

disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu

dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu,

pembelajaran merupakan hubungan khusus dari Pendidikan. (Sagala, 2003)

Pembelajaran pada hakikatnya sangat terkait dengan bagaimana membangun

interaksi yang baik antara dua komponen yaitu seorang guru dan peserta didik.

Interaksi yang baik dapat digambarkan dengan suatu keadaan di mana guru dapat

membuat peserta didik belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauan sendiri

untuk mempelajari apa yang ada dalam kurikulum sebagai kebutuhan mereka.

Karena itu, setiap pembelajaran agama hendaknya terkandung didalam kurikulum

18
dan mengkorelasikannya dengan kenyataan yang ada disekitar peserta didik.

(Munjin, 2009)

Menururt Hasan Langgulung istilah Pendidikan dalam Bahasa Inggris adalah

“education”, berasal dari Bahasa latin yaitu educare, yang berarti memasukkan

sesuatu, yaitu memasukkan ilmu ke kepala seseorang. (Langgulung, 2008)

Istilah Pendidikan adalah “terjemahan dari Yunani paedagogic yang berarti

Pendidikan dan paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak”.

Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam

pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos. Istilah

paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya

membimbing,memimpin). (Arief, 2005)

Pendidikan berasal dari “kata didik, lalu kata ini mendapat awalan me

sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberi Latihan. Dalam

memelihara dan memberi Latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan

pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”. (Purwadarminta, 2007)

Dalam pengertian di atas, dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan

metode-metode tertentu sehingga orang yang memperoleh pengetahuan,

pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Sebagian

orang memahami arti Pendidikan sebagai pengajaran karena Pendidikan pada

umumnya selalu membutuhkan pengajaran. Jika pengertian seperti ini kita

pedomani, setiap orang yang berkewajiban mendidik (seperti guru dan orang tua)

tentu harus melakukan perbuatan mengajar. Padahal, mengajar pada umumnya

diartikan secara sempit dan formal sebagai kegiatan menyampaikan materi

19
pelajaran tersebut, atau dengan kata lain agar siswa tersebut memiliki ilmu

pengetahuan.

Adapun Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah “menyiapkan

generasi muda untuk mengisi peranan memindahkan pengetahuan, dan

memindahkan nilai-nilai yang diselaraskan dan diwarnai dengan beramal di dunia

untuk memetic hasil diakhirat”. (Langgulung, 2008)

Menurut Muazayin Arifin, hakekat Pendidikan Islam adalah Pendidikan

manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan

keterampilannya. (Arief, 2005) Sedangkan Endang Saifuddin Anshari

memberikan pengertian Pendidikan Islam dengan pendekatan teknis, yakni :

Bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap

perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, dan sebagainya) dan raga

obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, dengan metode tertentu dan

dengan alat perlengkapan yang ada kea rah terciptanya pribadi tertentu disertai

evaluasi sesuai dengan ajaran Islam. Dari beberapa pengertiaan di atas terlihat

bahwa penekanan Pendidikan Islam adalah pada askpek bimbingan. Bukan pada

pengajaran, di mana guru sebagai subyek Pendidikan memiliki otoritas penuh

terhadap proses belajar mengajar di kelas. Dalam pengertian Pendidikan sebagai

proses bimbingan disini, guru lebih berfungsi sebagai fasilator atau penunjuk jalan

kea rah penggalian potensi peserta didik. Dengan demikian, guru bukanlah segala-

galanya, melainkan sebagai mitra bagi peserta didik dalam mengaktualisasikan

potensi dirinya. (Arief, 2005)

20
Menurut Hasan Langgulung bahwa Pendidikan dalam konteks Islam lebih

banyak dikenal dengan kalimat ta’lim, tarbiyah, ta’dib, di mana kalimat tersebut

mempunyai makna berbeda. Dari ketiga istilah tersebut telah banyak

menimbulkan perdebatan antara para ahli mengenai istilah mana yang paling tepat

untuk menunjuk kegiatan pendidikan (Langgulung, 2008).

Walaupun ketiga istilah ini bisa dipergunakan dengan pengertian yang sama,

namun menurut Hasan Langgulung berpendapat bahwa kata ta’lim hanya berarti

pengajaran, jadi lebih sempit dari Pendidikan. Dengan kata lain ta’lim hanyalah

Sebagian dari Pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah, yang lebih luas digunakan

sekarang di negara-negara Arab. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk

binatang atau mengembala, berternak dan lain-lain. Sedangkan Pendidikan yang

diambil dari education itu hanya untuk manusia saja. Sedangkan ta’dib

berhubungan erat dengan manusia serta Pendidikan dan isi Pendidikan tersebut.

Pendidikan Islam merupakan pengembangan potensi yang dimiliki anak

sesuai dengan bakat dan minatnya, disamping itu Pendidikan harus mempunyai

tujuan yang jelas yang hendak dicapai dan aspek pengembangan akal pikiran

sehingga potensi dasar anak dikembangkan secara leluasa, sehingga kemampuan

yang dimiliki anak akan tumbuh dan perkembangan jasmani serta rohani sehingga

menjadi manusia yang berguna.

Dari sini dapat disimpulkan juga bahwa Pendidikan Islam adalah

mempersiapkan anak didik atau individu dan menumbuhkan segenap potensi yang

ada, baik jasmani maupun rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar

21
dapat hidup dengan sempurna, sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang

berguna bagi diri dan umatnya didunia hingga akhirat.

1.1.1. Dasar Pendidikan Islam

Agar Pendidikan dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of culture dan

bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka perlu acuan pokok yang mendasarinya.

Karena Pendidikan merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan manusia.

Menurut Samsul Nizar, dasar Pendidikan Islam sebagai berikut : Al Qur’an,

Hadist ( As-Sunnah), Ijtihad (Ijma’ Ulama). (Nizar, 2000)

Berkenaan dengan dasar Pendidikan Islam yang telah penulis paparkan diatas,

berbeda dengan pandangan Hasan Langgulung, yakni mengemukakan dasar

Pendidikan sebagai (Langgulung, 2008) : asas historis, sosial, ekonomi, psikologis

dan asas filsafat. Sedangkan menurut Nur Uhbiyati, dasar-dasar Pendidikan Islam

secara garis besarada 3 yaitu : Al – Qur’an, As-Sunnah dan perundangan-

undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Dengan demikian Pendidikan Islam yang searah dengan bentuk ibadah yang

diyakininya diizinkan dan dijamin oleh Negara. Menurut penulis, bahwa dasar

Pendidikan Islam yang ditawarkan oleh para tokoh Pendidikan Islam,

mendasarkan pada ajaran agama Islam.

1.1.1. Tujuan Pendidikan Islam

Dalam mengemukakan tujuan Pendidikan Islam para tokoh-tokoh praktisi

Pendidikan, berbeda pendapat. Namun, formulasi tujuan Pendidikan Islam selalu

mendasarkan pada nilai-nilai luhur ke-Islaman yang tentunya, bermuara pada

pembentukan insan kamil dalam rangka mengarahkan kepada pengabdian

22
seutuhnya terhadap Allah SWT. Hal ini penulis sadari bahwa tujuan Pendidikan

Islam itu sesuai dengan Q.S Az Zariyat ayat ke 56 yang berbunyi :

‫ا َلْق اِجْلَّن اِاْل ْن ِااَّل ِل ُد ِن‬


‫َو َس َيْع ُب ْو‬ ‫َو َم َخ ُت‬

Artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.”

Secara umum, menurut Samsul Nizar tujuan Pendidikan Islam itu mengacu

pada Q.S Az Zariyat ayat ke 56, yaitu menjadikan manusia sebagai insan

pengabdi kepada KhaliqNya, guna mampu membangun dunia dan mengelola alam

semesta sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Secara garis

besar, tahap-tahap tujuan Pendidikan Islam itu dapat dikelompokkan kepada 3

tahap, yaitu :

1. Tujuan tertinggi

Orientasi tujuan ini bersifat mutlak dan tidak mengalami perubahan

serta berlaku secara umum bagi seluruh umat Islam, tanpa terbatasi oleh

territorial-geografis dan ideologi yang dianut oleh negaranya. Tujuan ini

merupakan final dari hak ikat eksistensi manusia sebagai ciptaan Allah

SWT di muka bumi, yaitu sebagai abs’ dan khalifah fi al-ardh.

2. Tujuan umum

Secara teoritis, baik itu tujuan tertinggi maupun tujuan umum

dalam praktek Pendidikan Islam, hal tersebut merupakan proses yang terus

menerus sepanjang hayat. Sabda Nabi SAW :

‫ُاْطُلِب الِعْل ِم ا ِد ِإىَل الَل ِد‬


‫ْه‬ ‫َم َن َملْه‬

23
Tuntutlah ilmu itu dari buaian sampai ke liang lahat

Disini terletaknya prinsip Pendidikan seumur hidup, atau lebih popular

dengan sebutan long life aducation.

3. Tujuan Khusus

Orientasi tujuan khusus ini merupakan dari tujuan umum dan

tujuan tertinggi Pendidikan Islam. Bentuk operasional dan mudah

dilakukan evaluasi. Sifatnya elastis dan adaptik sesuai dengan tuntutan dan

perkembangan zaman, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai ilahi sebagai

tujuan tertinggi yang harus diraihnya.

1.1.2. Kurikulum Pendidikan Islam

Dalam bahasa Arab, kata kurikulum dapat diterjemahkan dengan istilah

“manhaj” yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai

bidang kehidupan. Secara terminologi, istilah kurikulum digunakan dalam dunia

pendidikan dengan pengertian sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang

harus ditempuh atau diselesaikan siswa agar mencapai suatu tingkatan atau ijazah.

(Arief, 2002) Kurikulum adalah seperangkat perencanaan dan media untuk

mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang

diinginkan.

Kurikulum secara garis besarnya dapat diuraikan dengan seperangkat materi

Pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan

Pendidikan yang akan dicapai. Hal ini tentunya memerlukan suatu perencanaan

dan pengorganisasian yang tersistematis dan terstruktur.

24
Kurikulum merupakan salah satu dari komponen pokok Pendidikan, dan

kurikulum sendiri juga merupakan system yang mempunyai komponen-komponen

tertentu. Komponen kurikulum tersebut paling tidak mencakup tujuan, struktur

program, strategi pelaksanaan yang menyangkut system penyajian pelajaran,

penilaian hasil belajar, bimbingan penyuluhan, administrasi dan supervise

Pendidikan. (Mujib, 2006)

Sedangkan menurut Ahmad Tafsir suatu kurikulum mengandung atau terdiri

atas komponen-komponen sebagai berikut: tujuan, isi, metode atau proses belajar

mengajar dan evaluasi. (Tafsir, 1992)

Kurikulum sebagaimana dikemukakan Crow and Crow adalah pelajaran yang

disusun secara sistematis, sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program

pendidikan tertentu. Sedangkan kurikulum menurut Abdur Rahman Salih

Abdullah adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan rangka mencapai tujuan

pendidikan yang ditetapkan. (Arief, 2002)

Dalam pandangan tradisional disebutkan bahwa kurikulum memang hanya

rencana pelajaran. Dalam pandangan modern kurikulum lebih dari sekedar

rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern adalah

semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Dalam

kalimat lain disebut sebagai semua pengalaman belajar. (Tafsir, 2012)

Menurut pandangan modern, kurikulum lebih dari sekedar rencana pelajaran

atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern adalah semua yang secara

nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Pandangan ini bertolak dari

sesuatu yang aktual atau nyata, yaitu yang aktual terjadi di sekolah dalam proses

25
belajar. Kurikulum adalah pengalaman belajar, pengalaman belajar yang banyak

berpengaruh dalam pendewasaan anak, tidak hanya mempelajari mata pelajaran

interaksi sosial di lingkungan sekolah, kerja sama dalam, interaksi dalam

lingkungan fisik, dan lain-lain, juga merupakan pengalaman belajar. (Umar, 2010)

Berdasarkan pengertian yang sudah diketahui bahwa kurikulum merupakan

landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah

tujuan pendidikan yang di inginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan,

keterampilan, dan sikap mental. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan Islam

bukanlah proses yang dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu

pada konseptualisasi manusia, transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan

dan sikap mental yang harus tersusun. (Nizar, 2013) Kurikulum pendidikan Islam

bisa diartikan penemuan pengalaman dan kegiatan peserta didik dalam proses

belajar-mengajar yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yan islami.

(Hamdani, 2001)

1.1.3. Konsep Pendidikan Islam

Konsep pendidikan Islam bahwa manusia diciptakan dari intisari tanah dan

berkembang dalam kandungan ibu secara evolusi mani, darah, daging, tulang, dan

setelah masa empat bulan perkembangan, diembuskan ke dalam roh atau jiwa.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al Qur’an surat Nuh ayat 14, Yang

berbunyi :

)14 :71/‫َو َقْد َخ َلَق ُك ْم َاْطَو اًر ا ( نوح‬

26
Artinya : “Padahal, sungguh, Dia telah menciptakanmu dalam beberapa tahapan
(penciptaan)”
Dengan demikian, manusia tersusun atas dua unsur, yaitu unsur materi yakni

tubuh yang berasal dari intisari tanah di alam materi bumi ini, dan unsur imateri,

yakni jiwa yang berasal dari alam imateri atau alam gaib. Tubuh akan kembali ke

tanah dan jiwa akan kembali ke alam gaib atau alam rohani sehingga yang

membuat hidup dan berkembang dalam kandungan ibu selama empat bulan

bukanlah jiwa atau roh.

Dalam diri janin yang belum ditiupkan Tuhan jiwa ke dalamnya sudah ada

sesuatu yang membuat janin dapat hidup dan berkembang, yaitu hayat yang

terdapat dalam sperma dan ovum. Hayat inilah yang membuat janin hidup dan

berkembang. Oleh karena itu, jiwa (roh) sebagaimana kata Ibnu Maskawih

bukanlah hayat.

Dari situ dapat dipahami bahwa menurut konsep Islam, manusia itu tersusun

atas tiga unsur, yaitu unsur tubuh, hayat, dan jiwa (roh). Kalau hayat telah tiada,

tubuh pun mati dan jiwa meninggalkan tubuh yang mati itu. Jiwa berpisah dari

tubuh dan pergi kembali ke alam imateri menunggu hari perhitungan di hadapan

Allah Swt. alam rohani tempat jiwa menunggu tersebut bisa disebut alam barzakh.

Pendidikan menuurt konsep Islam antara lain berarti mengembangkan,

melatih, memfungsionalkan, serta mengoptimalkan fungsi-fungsi, macam-macam

alat manusia yang telah dianugrahkan oleh Allah, serta integral sebagai

manifestasi dari rasa syukur kepada Allah Swt.

Adanya ketiga unsur manusia beserta alat-alatnya tersebut, menunjukkan

bahwa penciptaan manusia benar-benar lebih diperhitungkan secara teliti, bukan

27
suatu kebetulan. Oleh karena itu, manusia merupakan makhluk pilihan, dijadikan

dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia

dan martabat dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia mempunyai

kecendrungan dekat kepada Tuhan dan sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar

sanubarinya. Penyimpangan dan keingkaran kepada-Nya muncul ketika ia

menyimpang dari fitnahnya.

1.1.4. Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Ruang lingkup secara etimologi berasal dari dua kata, terdiri dari ruang dan

lingkup yang artinya luar subjek yang tercakup. Ruang lingkup Pendidikan Islam

mengandung pandangan secara ilmiah sangat luas karena di dalamnya terdapat

segi – segi atau pihak – pihak yang ikut, baik secara langsung atau tidak langsung.

Ruang lingkup Pendidikan Islam adalah seluruh aspek yang berkaitan dengan

keberhasilan Pendidikan yang dilaksanakan supaya mendapatkan hasil yang

maksimal. (Mudzakir, 2008) Adapun ruang lingkup Pendidikan Agama Islam

adalah sebagai berikut :

1. Pendidik

Saat ini pendidik diposisikan sebagai fasilitor atau mediator yang bertugas

memfasilitasi atau membantu siswa dalam proses pembelajaran berlangsung.

Pendidik tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi sebab

informasi juga bisa diperoleh dari peserta didik. Penciptaan suasana

menyenangkan dan adanya kesadaran emosional yang tidak dalam keadaan

tertekan akan mengaktifkan potensi otak dan menimbulkan daya berpikir yang

intuitif dan holistik.

28
Dalam konteks Pendidikan Islam, Pendidik sering disebut dengan “murabbi,

mu’alim, dan mu’addib” pengertian tersebut mempunyai semantis masing-masing

sesuai dengan penggunaannya dalam konteks Pendidikan Islam. Istilah lain

pendidik juga disebut dengan “Al-Ustadz” dan “Al-Syaikh”. Pendidik yang

pertama dan utama adalah orang tua. Mereka bertanggung jawab penuh atas

perkembangan anak-anaknya sejak dalam kandungan sampai mereka beranjak

dewasa. Oleh karena itu, kesuksesan anak dalam mewujudkan dirinya sebagai

khalifah Allah juga merupakan kesuksesan orang tua sebagai pendidiknya.

Sama halnya dengan teori barat, pendidikan dalam Islam adalah orang yang

bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya

mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif

(cipta), maupun psikomotorik (karsa). (Tafsir, 1992)

Dapat disimpulkan bahwa pendidik bukan hanya orang dewasa saja (dari segi

usia), melainkan individu dari segi mental, wawasan, pengalaman, keterampilan,

dan sebagainya telah mampu memberikan pertolongan serta bimbingan dan

tanggung jawab kepada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan

rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan

memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri memenuhi tugasnya sebagai

hamba dan khalifah Allah SWT., dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk

sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.

29
2. Peserta Didik

Peserta didik dalam Pendidikan Islam adalah individu yang sedang tumbuh

dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam

mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

Peserta didik cakupannya lebih luas daripada anak didik. Peserta didik tidak

hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Penyebutan peserta didik

juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya sekolah (pendidikan

formal), melainkan juga mencakup lembaga pendidikan nonformal yang ada di

masyarakat, seperti majelis taklim, paguyuban, dan sebagainya. Dengan demikian,

istilah peserta didik ini bukan hanya orang-orang yang belum dewasa dari segi

usia, melainkan juga orang-orang dari segi usia yang sudah dewasa, tetapi dari

segi mental, wawasan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya masih

memerlukan bimbingan. (Nata, 2010)

3. Model Pendidikan Islam

Model Pendidikan Islam adalah kerangka atau pendekatan yang digunakan

dalam pengajaran dan pembelajaran agama Islam. Berikut adalah model-model

pembelajaran dalam Pendiikan Islam :

1) Model pemprosesan informasi guru menjelaskan bagaimana

peserta didik selaku individu memberi respons yang datang dari

lingkungan

2) Model pribadi diorientasikan kepada perkembangan diri peserta

didik selaku individu

30
3) Model interaksi sosial menekankan hubungan peserta didik dengan

lingkungannya di sekolah, terutama di dalam kelas

4) Model perilaku peserta didik diarahkan kepada suatu pola belajar

yang lebih terfokus pada hal-hal yang spesifik.

4. Materi Pendidikan Islam

Materi pendidikan Islam yang harus dipahami oleh peserta didik adalah Al-

Qur’an dan hadis, baik keterampilan membaca, menghafal, menganalisis, dan

sekaligus mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

dimaksudkan agar ajaran yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadis tertanam

dalam jiwa anak didik sejak dini.

5. Alat Pendidikan Islam

Dalam proses pembelajaran dan dalam pembelajaran pendidikan Islam agar

tujuan pendidikan Islam itu lebih tercapai. Maka, untuk mencapai tujuan tersebut

pendidik memerlukan berbagai alat yang dikenal dengan istilah media pendidikan,

audio visual, alat peraga, sarana, dan prasarana pendidikan, dan sebagainya.

Alat bantu atau media pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat

membantu proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu pendidikan Islam

mengutamakan pengajaran ilmu dan pembentukan akhlak maka alat untuk

mencapai ilmu adalah alat-alat pendidikan ilmu, sedangkan alat untuk

pembentukan akhlak adalah pergaulan.

6. Metode

Metode pendidikan Islam adalah prosedur umum dalam penyampaian materi

untuk mencapai tujuan pendidikan didasarkan atas asumsi tertentu tentang hakikat

31
Islam sebagai suprasistem, sedangkan teknik pendidikan Islam adalah langkah-

langkah konkret pada waktu seorang pendidik melaksanakan pengajaran di kelas.

Muhammad Athiyah Al-Abrasyi mengartikan metode sebagai jalan yang

dilalui untuk memperoleh pemahaman pada peserta didik. Abdul Al-Aziz

mengartikan metode dengan cara-cara memperoleh informasi, pengetahuan,

pandangan, kebiasaan berpikir, serta cinta kepada ilmu, guru, dan sekolah. Metode

merupakan cara penyampaian materi kepada peserta didik guna mencapai tujuan

pendidikan Islam.

7. Lingkungan

Lingkungan adalah seluruh yang ada, baik manusia, maupun benda buatan

manusia, atau alam yang bergerak atau tidak, kejadian-kejadian, atau hal-hal yang

berhubungan dengan seseorang. Sejauh mana seseorang berhubungan dengan

lingkungannya, sejauh itu pula keterbukaan atau peluang masuknya pengaruh

pendidikan kepadanya.

Secara harfiah lingkungandapat diartikan sebagai segala sesuatu yang

mengitari kehidupan, baik berupa fisik seperti alam jagat raya dengan segala

isinya maupun berupa nonfisik, seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai,

dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan

yang berkembang, serta teknologi.

8. Evaluasi

Evaluasi merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran pada

khususnya, dan sistem pendidikan pada umumnya. Artinya evaluasi merupakan

suatu kegiatan yang tidak mungkin dilepaskan dalam setiap proses pembelajaran.

32
Dengan kata lain, kegiatan evalusi, baik evaluasi hasil belajar maupun evaluasi

pembelajaran merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari kegiatan

pendidikan.

Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf

kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam. Program evaluasi ini

diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seseorang pendidik

dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang

dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas, dan sebagainya.

Evaluasi dapat diartikan sebagai proses membandingkan situasi yang ada

dengan kriteria tertentu dalam rangka mendapatkan informasi dan

menggunakannya untuk menyusun penelitian dalam rangka membuat keputusan.

(Rusyan, 1992)

1.2. Pendidikan Multikultural

1.2.1. Pengertian Pendidikan Multikultural

Dalam sebuah jurnal pendidikan menjelaskan bahwa pendidikan multikultural

merupakan sebuah pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai toleransi

ditengah-tengah keberagaman budaya dan agama (Fathurrahman, 2012). Sejalan

dnegan pendapat tersebut, Sanada dalam jurnal pendidikan multikultural

menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berusaha

memutus rantai perbedaan antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya

dalam segala aspek.

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan (Suparlan, 2002). Secara

etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya)

33
dan isme (aliran/paham) (Tilaar H. , 2004). Secara hakiki, dalam kata itu

terkandung pengakuan akan maetabat manusia yang hidup dalam komunitasnya

dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. (Mahfud, 2006) Dengan

demikian multikulturalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham yang mengakui

adanya banyak kultur.

Pendidikan Multikultural merupakan ikatan sebuah keyakinan dan penjelasan

yang memberikan pengakuan dan penilaian terhada peksistensi keragaman budaya

dan etnis yang meliputigaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,

kesempatan pendidikan individu, kelompok, maupun negara (Banks, 1993). Lebih

lanjut Banks memaknai pendidikan multikultural sebagai sebuah ide gerakan

pembaharuan pendidikan (educational reform movement)dengan tujuan utama

mengubah struktur lembaga pendidikan kearah pemberian kesempatan yang sama

kepada seluruh golongan untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.

Secara sederhana multikulturalisme adalah sebuah paham yang membenarkan

dan meyakini adanya relativisme kultur disebabkan adanya keagamaan budaya,

keragaman suku dengan kebudayaan khasnya. Sehingga dasar kemunculan

multikulturalisme bermuara pada studi atas kebudayaan. Dari doktrin tersebut

diharapkan akan munculnya semangat penghargaan terhadap perbedaan budaya

dan selanjutnya melahirkan perilaku toleransi dalam kehidupan di tengah

keanekaragaman budaya.

Maslikhah (2007) mengemukakan bahwa pendidikan multikultural sebagai

sebuah proses pengembangan seluruh potensi peserta didik dalam hal

penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan sebagai konsekuensi dari

34
keragamanbudaya, etnis, suku dan agama, dan proses tersebut adalah proses tanpa

akhir. Menurut pendapat Maksum (2011), mengistilahkan pendidikan

multikultural sebagai education forpeople of color, yaitu pendidikan yang

ditujukan pada masyarakat yang pluralis (Maksum, 2011). Adapun Banks dalam

Slavin (2011) memaknai pendidikan multikultural sebagai sebuah gagasan tentang

kesetaraan pendidikan tanpa memandang kelompok, gender, suku, bangsa, ras,

budaya, tingkat sosial, dan agama (Slavin, 2004).

Dalam kehidupan bangsa yang multikultural ditunut adanya kearifan,

multikulturalisme sesungguhnya merupakan buah dari perjalanan intelektual yang

panjang. Multikulturalisme merupakan sebuah wacana bagi para akademisi

maupun praktis dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini.

Sebagai sebuah wacana baru, pendidikan multikultural sesungguhnya hingga

saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang

memperdebatkannya. Menurut Andesen dan Cusher dalam Choirul Mahfud

mengatakan bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan

mengenai keragaman kebudayaan. Menurut James Bank dalam Choirul

mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of

color artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan

sebagaimana keniscayaan (anugrah tuhan/sunnatullah). Kemudian bagaimana kita

menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleransi dan semangat egaliter.

(Mahfud, 2006)

Dari pengertian yang telah diuraikan di atas maka peneliti mengambil

kesimpulan bahwasanya pendidikan multikultural merupakan pendekatan

35
pendidikan yang mempromosikan pemahaman, toleransi, dan penghargaan

terhadap beragam budaya, agama, latar belakang etnis, dan identitas lainnya

dalam konteks pendidikan.

1.2.2. Pendidikan Islam Multikultural

Secara sederhana, multikuktural dapat berarti keberagaman budaya.

(Featherstone, 2002) Istilah multikultural dibentuk dari kata multi yang berarti

plural,banyak,atau beragam, dan kultural yang berarti budaya. (Amin, 2005)

Kultur atau budaya merupakan ciri-ciri dari tingkah laku manusia yang dipelajari,

tidak diturunkan secara genetis dan bersifat khusus, sehingga kultur pada

masyarakat tertentu bisa berbeda dengan kultur masyarakat lainnya. (Yaqin, 2005)

Dengan kata lain, kultur merupakan sifat yang khas bagi setiap individu (person)

atau suatu kelompok (comunitee) yang sangat mungkin untuk berbeda antara satu

dengan lainnya. Semakin banyak komunitas yang muncul, maka semakin beragam

masing-masing kultural yang akan dibawa.

1.2.3. Konsep Pendidikan Islam Multikultural

Pendidikan Islam Multikultural merupakan sebuah pendekatan pengajaran

dan pembelajaran yang didasarkan atas nilai-nilai, kepercayaan demokratis dan

keberagaman sosial serta interpendensi dunia sebagai bagian dari pluralitas

budaya yang sejalan dengan nilai-nilai keagamaan (Iswanto, 2009). Menurut

H.A.R. Tilaar, pendidikan multikultural merupakan suatu wacana lintas batas.

Para pakar pendidikan mengidentifikasikan tiga lapis diskursus yang berkaitan

dalam Pendidikan Islam Multikultur :

36
1. Masalah Kebudayaan, dalam hal ini terkait masalah-masalah mengenai

identitas budaya suatu kelompok masyarakat atau suku. Bagaimanakah

hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan dalam masyarakat

sehubungan dengan konsep kesetaraan di masyarakat.

2. Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan pola-pola kelakuan yang hidup di

dalam suatu masyarakat.

3. Kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok

dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada

kelompok tersebut baik berupa kelompok kebudayaan, keagamaan, dan

lain-lainnya. (Tilaar H. , 2002)

Multikultural dan Pendidikan Islam merupakan rangkaian kata yang berisikan

essensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan. Pada Multikultural terdapat

banyak materi kajian yang dijadikan dasar pijakan pelaksanaan pendidikan, yang

keduanya sama-sama penting. Kemudian, dalam Pendidikan Islam itu sendiri

terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari kultur-kultur

masyarakat.

Keragaman dan perbedaan dalam kehidupan manusia merupakan sunnatullah.

Al Qur’an sebagai representasi pesan-pesan Allah untuk menjadi panduan umat

manusia, sesungguhnya telah memberikan beberapa isyarat penting, baik secara

eksplisit maupun implisit tentang eksistensi keragaman dan perbedaan tersebut. Di

antaranya dapat dilihat dalam QS. Al Hujurat ayat 13 :

37
‫ِا‬ ‫ِل‬ ‫ِا‬ ‫ٰٓي‬
‫َاُّيَه ا الَّناُس َّنا َخ َلْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذَك ٍر َّو ُاْنٰثى َو َجَعْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤإِى َل َتَع اَر ُفْو اۚ َّن َاْك َر َم ُك ْم‬

)13 :49/‫ِعْنَد الّٰلِه َاْتٰق ىُك ْم ۗ ِاَّن الّٰل َه َعِلْيٌم َخ ِبْيٌر ( احلجٰر ت‬

Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Al-Hujurat/49:13)
Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 secara konteks turun sebagai respon atas

pemikiran sempit sebagian sahabat terhadap fenomena perbedaan kulit serta

kedudukan, dan menyebabkan mereka memiliki pandangan yang diskriminatif

terhadap orang lain (Dahlan, 2001), merupakan salah satu persoalan yang masih

terus terjadi hingga saat ini. Sikap memandang rendah orang lain, primodialisme

(ashabiyah), tidak siap berbeda dan memperlakukan orang lain dengan tidak adil,

adalah di antara sikap-sikap yang mengindikasikan masih lemahnya semangat

Multikulturisme dalam kehidupan baik secara konsep maupun praktek.

Sebagai sebuah konsep, kemunculan Multikulturisme tidak terlepas dari

pengaruh filsafat post-modernisme, yang berangkat dari pemikiran tentang ketidak

percayaan terhadap segala bentuk narasi besar dan penolakan terhadap segala

bentuk pemikiran yang mentotalitasi atau menjeneralisasi. Selin menolak

pemikiran yang totaliter, filsafat post-modernisme juga menghaluskan sensitifitas

manusia terhadap perbadaan dan memperkuat kamampuan toleransi terhadap

realitas yang terukur. Post-modernisme menolak kebenaran tunggal atau yang

bersifat absolut dan menghindari sikap klain kebenaran. Kebenaran diyakini

38
bersifat jamak dan hakikat dari semua, termasuk kehidupan manusia itu dlam

semua aspeknya adalah berbeda (all is difference).

1.2.4. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Multikultural

Sebuah pendidikan Islam Multikultural diperlukan sebuah prinsip yang

dijadikan sebuah landasan untuk bergerak, karena mengingat pentingnya akan

nuansa pendidikan multikultur untuk menjawab persoalan-persoalan dewasa ini,

oleh karena itu, perlu kita ketahui prinsip-prinsip pendidikan Islam multikultural

yang bisa kita jadikan acuan dalam mengimplementasikannya, adapun prinsip-

prinsip tersebut adalah :

1. Pendidikan Islam Multikultural didasarkan pada pedagogik kesetaraan

manuisa (equity pedagogy)

2. Pendidikan Islam Multikultural ditunjukkan kepada terwujudnya manusia

Indonesia yang cerdas dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia

yang menguasai ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya.

3. Prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti apabila bangsa ini mengetahui arah

serta nilai-nilai baik dan buruk yang dibawahnya. (Tilaar H. , 2005)

Bentuk pendidikan Islam multikultural ini menekankan hubungan dalam

semua bentuknya dan menggabungkan beberapa karakteristik. Dua bentuk

program lainnya, yaitu program yang menuntut perbaikan kurikulum dalam

rangka menekankan kontribusi sosial yang positif dari kelompok etnis dan

budaya, sambil menggunakan riset tentang model belajar untuk meningkatkan

prestasi peserta didik dan mengurangi ketegangan dalam ruang kelas.

39
Melalui pendidikan Islam multikultural diharapkan akan tercapai suatu

kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam beragama maupun

dalam undang-undang dasar yang menjadi landasan bernegara. Dalam memahami

paradigma dan implementasi pendidikan Islam multikultural, kita perlu mengenal

hakekat atau nilai-nilai dasar yang tercakup di dalamnya yaitu :

1. Al-Ukhwah, yakni rasa persaudaraan yang terbangun antara masyarakat

2. Al-Hurriyah, merupakan kebebasan dalam berpikir dan bertindak

3. Al-Musawah, merupakan persamaan semua manusia dalam konteks hak

dan kewajiban. Kehidupan bersama yang harmonis, toleran dan saling

menghargai satu sama lain atas perbedaan masyarakat, dalam pendidikan

Islam multikultural juga sangat membutuhkan dialog consensus yang

berdasarkan pada tiga hal sangat penting, yaotu negoisiasi, kompromi, dan

konsesus. (Abdullah, 2005)

1.3. Pendidikan Pesantren

1.3.1. Pengertian Pesantren

Istilah pondok berasal dari pengertian asrama para santri yang dibangun

sebagai tempat tinggal, atau berasal dari bahasa arab funduq, yang berarti hotel

atau asrama. Baru setelah itu, istilah pondok disertai dengan kata pesantren yang

mencakup secara keseluruhan mengenai tempat belajar ilmu agama yang tersebar

luas diseluruh nusantra. (Mulyasa, 2011). Istilah pesantren sesungguhnya berasal

dari kata santri, yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” sebagai tempaat

tinggal para santri dalam menimba ilmu agama. Bawani mendifinisikan pesantren

40
sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran ilmu agama islam. Untuk

mempermudah pendalaman ilmu agama, para santri biasanya tinggal di asrama

dalam lingkungan pesantren yang disertai dengan adanya peraturan-peraturan

yang ketat, demi memantau perkembangan moral dan akhlak seorang santri.

(Bawani, 1993)

Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk

membina dan mendalami agama Islam sehingga di harapkan nantinya menjadi

orang yang baik. Sedangkan asal usul kata “santri” dalam pandangan Nurcholish

Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, “santri” berasal dari perkataan

“sastri”, bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf. Di sisi lain, Zamkhsyari

Dhofier berpendapat bahwa kata “santri” dalam bahasa India secara umum dapat

diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu

pengetahuan. Kedua, yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari bahasa Jawa,

yaitu “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana

guru itu pergi menetap. (Madjid, 1977)

Pesantren kemudian lebih dikenal dengan sebutan yang lebih lengkap, yaitu

“pondok pesantren”. Pesantren disebut dengan pondok karena sebelum tahun

1960 pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan

nama pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat

kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai

yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya. Zamakhsyari menyatakan bahwa,

penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren

menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Menurutnya,

41
pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh

serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-

santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang

sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership para ustadz dengan ciri-

ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal. (Dhofier,

1994)

Secara historis-antropologis, lembaga pendidikan pesantren tidak dapat

dipisahkan dari kultur masyarakt indonesia yang sangat majemuk. Pesantren dari

sudut historis kultural dapat dikatakan sebagaai pusat pelatihan dan bimbingan

bagi generasi bangsa yang senantiasa mewarnai dinamika kebudayaan

masyarakat. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki

karakteristik yang khas, di mana pola pendidikan berjalan selama 24 jam dalam

sehari. Pesantren dapat dipandang sebagai lembaga pembinaan moral dan karakter

karena kegiatan yang mengacu kepada pembentukan akhlaq dilakukan secara

inten dengan pola system pendidikan yang berjalan selama 24 jam dalam sehari.

Pesantren juga dipandang sebagai lembaga dakwah karena didalamnya para santri

dididik dan dibekali ilmu-ilmu serta tata cara dakwah di masyarakat. Pesantren

selain sebagai lembaga pendidikan juga sebagai lembaga sosial kemasyarakatan

karena telah memberikan warna dan corak yang khas dalam masyarakat

Indonesia.

Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Karena keunikan dan kekhasannya,

lembaga pendidikan ini mampu menunjukkan kapabilitasnya dalam melewati

42
berbagai episode zaman dengan berbagai macam masalah yang dihadapinya.

Eksistensi pesantren tersebut telah diakui memiliki andil yang besar dalam sejarah

perjuangan bangsa Indonesia. model pendidikan pondok pesantren telah ada

sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Pesantren telah ada sebelum masa

penjajahan, ketika masa penjajahan, dan setelah kemerdekaan bahkan sampai saat

ini dengan segala dinamikanya. Pada masa sebelum penjajahan pondok pesantren

digunakan sebagai tempat untuk menyebarkan agama Islam. Saat masa penjajahan

pondok pesantren menjadi tempat strategis untuk mencetak pejuang-pejuang

kemerdekaan. Dan pasca kemerdekaan, pondok pesantren menjadi penyokong

utama sistem pendidikan nasional.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Pesantren memiliki ciri-ciri unik yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga

pendidikan lain. Secara sosiologis munculnya pesantren merupakan hasil dari

rekayasa individual yang berkompeten untuk menularkan ajaran Islam, sehingga

wajar jika pekembangan pesantren sangat diwarnai oleh kyai yang mengasuhnya.

Dari beberapa uraian diatas maka peneliti dapat menyimpulkan pesantren

merupakan lembaga pendidikan Islam yang di mana seorang Kyai sebagai sentral

figur , asrama sebagai tempat tinggal dan masjid sebagai pusat aktifitas atau titik

pusat yang menjiwainya.

1.1.1. Pendidikan didalam Pesantren

Pendidikan di dalam pesantren adalah sebuah pengalaman belajar yang

mendalam dan intensif dalam budaya Islam Indonesia. Di sini, santri tidak hanya

diberikan pelajaran agama, tetapi juga mendapatkan pembelajaran dalam disiplin,

43
etika, moral, dan nilai-nilai Islam yang diintegrasikan dalam kehidupan sehari-

hari. Pelajaran meliputi tafsir Al-Quran, hadis, fiqh, aqidah, dan pelajaran-

pelajaran agama lainnya. Pesantren juga memberikan pentingnya pada

pengamalan agama dengan mengajarkan santri cara menjalankan ibadah sehari-

hari seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. (Suryadinata, 2008)

Pesantren juga mendorong santri untuk menjalani gaya hidup yang sederhana

dan penuh disiplin. Ini sering melibatkan kegiatan seperti pertanian, kerajinan

tangan, dan keterampilan lainnya, yang membantu santri menjadi lebih mandiri

dan bertanggung jawab. Santri juga diajarkan untuk menjaga adab (tata krama)

dan etika Islam dalam hubungan sosial, termasuk cara berbicara dan berinteraksi

dengan orang lain dengan sopan santun.

Salah satu aspek yang paling mencolok dari pendidikan di dalam pesantren

adalah hubungan yang kuat antara santri dan guru (Kyai). Guru adalah figur

sentral dalam pendidikan pesantren, dan hubungan ini sering kali bersifat

personal, mendalam, dan berkelanjutan. Santri tidak hanya belajar dari guru dalam

hal akademis, tetapi juga mencari nasihat dan bimbingan dalam kehidupan pribadi

dan spiritual mereka.

Pendidikan di dalam pesantren bukan hanya tentang teori, tetapi juga tentang

praktik agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian peneliti dapat

menyimpulkan , pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang

menciptakan individu yang memiliki pemahaman agama yang kuat, nilai-nilai

moral yang tinggi, dan kemampuan untuk mengamalkan ajaran Islam dalam

kehidupan mereka. Ini adalah bagian integral dari budaya pendidikan Indonesia

44
dan berkontribusi dalam membentuk karakter yang religius dan etis pada generasi

muda Muslim di negara ini. (Azra, 2004)

1.1.2. Pesantren Sebagai Pendidikan Ciri Khas Indonesia

Pesantren secara terminologi didefinisikan sebagai lembaga pendidikan

tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan

mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan

sebagai pedoman perilaku sehari-hari (Mastuhu, 1994). Menurut Syukri Zarkasyi,

pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asramadan di

dalamnya ada yang bentindak sebagai pendidik dan sentral figurnya kiai, ajengan

atau tuan guru, dan ada santri, asrama, ruang belajar, dan masjid sebagai

sentralnya (Zarkasyi, 1990).

Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, pondok

pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam fungsinya sebagai institusi

pendidikan, lembaga dakwah, bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan

perjuangan. Beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional diidentifikasikan

sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang akrab antara kiai dan santri

2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kiai

3. Pola hidup sederhana

4. Kemandirian atau independensi

5. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong dan suasana

persaudaraan

6. Disiplin ketat

45
7. Berani menderita untuk mencapai tujuan

8. Kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi

Ciri khas pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional

adalah pemberian pelajaran agama versi kitab Islam klasik berbahasa Arab,

mempunyai teknik pengajaran yang dikenal dengan metode sorogan dan

bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan serta menggunakan sistem

halaqah.

Pesantren merupakan ciri khas pendidikan Indonesia yang unik dan khas. Ini

adalah lembaga pendidikan tradisional yang mengkombinasikan pengajaran

agama Islam dengan budaya lokal. Pesantren telah ada sejak abad ke-14 dan telah

menjadi pusat pembelajaran agama Islam serta ilmu-ilmu keislaman lainnya. Para

santri mengikuti kurikulum yang mencakup pembelajaran Al-Quran, hadis, fiqih,

dan berbagai aspek keagamaan Islam lainnya di bawah bimbingan seorang Kyai

atau Ustadz. Mereka juga hidup dalam lingkungan pendidikan yang tertutup di

pesantren, yang memungkinkan mereka untuk fokus pada pendidikan agama tanpa

gangguan dari dunia luar. Pesantren juga memiliki peran dalam menjaga budaya

lokal dan tradisi di Indonesia, serta dalam membentuk karakter dan nilai-nilai

masyarakat. (Azra, 2004)

1.4. Penelitian Terdahulu

Dalam tela’ah pustaka ini penulis akan mendeskripsikan beberapa penelitian

yang ada relevansinya dengan judul penulis :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Fatimah Ahmad (Tesis 2019), dengan

judul Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Multikultural

46
di SMK Nengeri 1 Tanung Pura. Penelitian ini mendeskripsikan

penanaman nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Multikultural,

mengetahui metode yang digunakan dan dampak dari penanaman

nilai-nilai Multikultural terhadap siswa. Berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan didapatkan hasil bahwa : nilai-nilai pendidikan

Multikultural yang terdapat pada Pendidikan Agama Islam meliputi

nilai toleransi, nilai persamaan, nilai persatuan, nilai kekerabatan, nilai

keadilan. Pada penerapannya Pendidikan Agama Islam disekolah

tersebut menggunakan dua metode yakni metode keteladanan dan

pembiasaan. Dampak dari penanaman nilai-nilai Multikultural

tersebut tumbuh dan berkembangnya sikap saling toleransi,

menghormati, kerjasama, tidak adanya konflik yang muncul karena

ditimbulkan oleh perbedaan budaya, suku, dan agama. Hal tersebut

tercermin dari sekolah yang telah menerapkan metode pembelajaran

yang tepat.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat Rifky Septian (Tesis, 2019),

dengan judul tesis yakni Implementasi Model Pembelajaran

Cooperative Learning Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama

Islam Berbasis Multikultural di SMKN 1 Kota Bengkulu. Tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai dalam

pelaksanaan pendidikan multikultural apa saja di SMKN 1 Kota

Bengkulu, mengetahui strategi dan model apa saja yang dilakukan

oleh guru pendidikan agama Islam dalam menanamkan nilai-nilai

47
multikultural di SMKN 1 Kota Bengkuulu. Hasil peneitian

menunjukkan bahwa implementasi Pendidikan Agama Islam

berwawasan Multikultural di SMK Negri 1 Kota Bengkulu merupakan

sekolah yang bernuansa multikultural. SMK ini mewadahi siswa dan

guru yang memiliki latar belakang yang heterogen baik dari agama

yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, dan khususnya

dalam perbedaan aliran atau kepercayaan yang ada dalam agama

Islam itu sendiri, maka dalam mengimplementasikan PAI berwawasan

Multikultural di SMK Negri 1 Kota Bengkulu dilakukan melalui

kegiatan pembelajaran dikelas dan melalui kegiatan diluar kelas.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Khuzaimah (Tesis, 2018), dengan

judul tesis yakni Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural

Dalam Pembelajaran (Telaah Terhadap Hidden Curriculum di SMAN

1 dan SMAN 2 Grabag Tahun 2018). Hasil penelitiannya

menyimpulkan bahwa; pertama, terdapat beberapa muatan nilai

pendidikan multikultural dalam pembelajaran PAI di SMAN 1dan

SMAN 2 Grabag seperti saling menghargai antara beda agama dan

kepada yang lebih tua, dan memahami karakter antar teman dan

memahami perbedaan waktu dan cara beribadah dari masing-masing

agama. Kedua, penerapan atau implementasi dari muatan nilai-nilai

pendidikan multikultural dalam pembelajaran PAI di SMAN 1 dan

SMAN 2 diterapkan dnegan cara pembiasaan dan teladan yang baik.

48
4. Penelitian yang dilakukan oleh Karyanto (Tesis, 2021) yang berjudul

Implementasi Pendidikan Islam Multikultural ( Study Praktik

Pembelajaran Pendidikan Islam Berbasis Multikultural di MA

Miftahul Ulum Desa Tegalsari Kecamatan Megang Sakti Kabupaten

Musirawas Sumatera Selatan) hasil penelitiannya menyimpulkan

bahwa; 1) Pembelajaran pendidikan Islam berbasis multikultural MA

Miftahul Ulum Desa Tegalsari diawali dengan membuat perencanaan

pembelajaran yakni Rencana Program Pembelajaran (RPP) maupun

dalam silabus, 2) Implementasi Pembelajaran Pendidikan Islam

berbasis multikultural di MA Miftahul Ulum Desa Tegalsari

Kecamatan Megang Sakti Kabupaten Musai Tawas, dilakukan melalui

kegiatan pembelajaran di kelas dan melalui kegiatan di luar kelas.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Hukmah (Tesis, 2021) yang berjudul

Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Penanaman Nilai

Pendidikan Karakter Toleransi Siswa SD Smart School Kendari.

Hasil dari penelitiannya menyimpulkan bahwasanya ; 1) Siskap

toleransi dan keadilan sosial antar siswa telah tumbuh dan

berkembang dalam interaksi sosial antar siswa di SD Smart School

Kendari sebagai akibat dari diimplementasikannya muatan nilai-nilai

pendidikan multikultural yang dimulai dari kebijakan visi dan misi,

kurikulum sekolah, implementasi dalam kelas, aktivitas siswa, budaya

sekolah maupun kepemimpinan sekolah. 2) Pendidikan multikultural

telah diimplementasikan di SD Smart School Kendari dan terbukti

49
telah mampu menanamkan nilai pendidikan karakter toleransi pada

para siswa. Keberhasilan tersebut mengacu pada tiga indikator utama

yaitu keadaan siswa yang multireligius dan multietnik, kebijakan

pendidikan nasional dan pemahaman dari para pelaku pendidikan.

Dari beberapa karya tersebut terdapat titik sambung yang saling berkaitan

dalam pembahasan, yaitu sama-sama membahasa mengenai Implementasi

Pendidikan Islam Multikultural. Namun, yang membedakan antara penelitian

terdahulu dengan penelitian yang akan dipaparkan penulis adalah dalam penelitian

ini akan lebih memfokuskan bagaimana Pondok Modern Gontor Putri Kampus 5

dapat mengimplementasikan Pendidikan Islam Multikultural yang di mana

santriwati dan gurunya berasal dari daerah yang berbeda, diantaranya Jawa Timur,

Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Indonesia Timur. Sehingga tidak terjadi konflik

walaupun mereka mempunyati latar belakang dan budaya yang berbeda.

1.5. Kerangka Fikir

Implementasi pendidikan Islam multikultural dalam pesantren merupakan

landasan konseptual yang sangat penting untuk memahami, merencanakan, dan

menjalankan pendidikan Islam yang menghargai keberagaman budaya dan

pandangan dalam lingkungan pesantren. Implementasi pendidikan Islam

multikultural di pesantren dimulai dengan pemahaman mendalam tentang esensi

multikulturalisme. Pesantren harus memahami bahwa Islam memiliki keragaman

budaya yang kaya dari berbagai belahan dunia, dan ini harus diakui serta dipahami

oleh semua pemangku kepentingan dalam pesantren, termasuk pimpinan

pesantren, guru, santri, dan orang tua.

50
Adapun kerangka pikir dari penelitian ini adalah mengetahui dampak atau

hasil dari implementasi pendidikan Islam multikultural di pesantren terumatama

di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 Konawe Selatan

Gambar 1.1

Kerangka Berpikir

Kurikulum

Intrakurikuler Ekstrakulikuler Kokurikuler

Implementasi
Pendidikan Islam
Multikultural

Faktor
Pendukung

Faktor
Penghambat

51
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

kasu. Bodgan dan Taylor ,mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang

atau perilaku yang diamati. Definisi tersebut menitik beratkan pada jenis data

yang dikumpulkan dalam penelitian yakni data deskriptif kualitatif. Penelitian

kualitatif merupakan satu kegiatan untuk melakukan eksplorasi atas teori fakta

dunia nyata, bukan untuk menguji teori atau hipotesis (Rukajat, 2018). Alasan

menggunakan penelitian kualitatif karena data yang didapat akan lebih lengkap,

lebih mendalam sehingga tujuan penelitian dapat tercapai.

Studi kasus merupakan sebuah uraian serta penjelasan kompehensir mengenai

beberapa aspek yang dimiliki seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi,

atau suatu program, maupun suatu situasi sosial (Mulyana, 2018). Pengumpulan

52
data dalam studi kasus dapat diambil dari berbagai sumber informasi, kerena studi

kasus melibatkan pengumpulan data yang “kaya” untuk membangun gambaran

yang mendalam dari suatu kasus. Peneliti berupaya mengumpulkan data-data yang

berkaitan dengan implementasi pendidikan Islam multikultural di pesantren ini

berasal dari Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5.

Data diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi yang ada di

Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5. Penelitian ini merupakan

penelitian survei yang berfungsi untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan

Islam multikultural di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 serta meneliti

faktor penghambat dan pendukung dalam pelaksanaannya.

1.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri

kampus 5 Lamoea, Koda, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Pondok Modern

Darussalam Gontor Putri kampus 5 merupakan Lembaga Pendidikan yang

berbasis asrama dan merupakan Lembaga Pendidikan yang berperan dalan

transfer ilmu pengetahuan, transpormasi sosial, budaya dan multikulturalisme.

Mulai tahun 2021 Gontor Putri Kampus 5 mendapatkan kiriman santriwati dari

Pulau Jawa yang di mana ditahun-tahun sebelumnya santriwati hanya berasal dari

Indonesia Timur. Jika keragaman latar belakang daerah asal santriwati tidak

dikelola dengan memperhatikan nilai-nilai multikuktural, maka sangatlah

potensial akan terjadi konflik didalamnya. Dengan memahami perbedaan tafsir

setiap teks yang ada, diharapkan akan menghasilkan pemahaman kebergaman

yang inklusif, toleran, dan terbuka terhadap siapapun. Maka dari itu Peneliti

53
memilih Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 sebagai lokasi dalam

penelitiannya dan penelitian ini akan dilakukan selama kurang lebih 3 bulan.

1.3. Subjek Penelitian

Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah beberapa santriwati

Pondok Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 5, Wakil Pengasuh, Wakil

Direktur dan Guru Pondok Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 5

1.4. Informan Penelitian

Penentuan jumlah informan dalam penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling, yaitu penentuan sumber data dengan petimbangan tetentu.

Pertimbangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang

dijadikan sebagai sumber data priemer adalah orang-orang yang dianggap tahu

dan faham tentang implementasi Pendidikan Islam multikultural di pesantren.

Adapun yang akan dijadikan sebagai informan penelitian ini terdiri dari wakil

pengasuh, wakil direktur, guru dan santriwati di Pondok Modern Darussalam

Gontor Putri kampus 5.

Tabel 1.2

JUMLAH SANTRIWATI DAN GURU KMI PONDOK MODERN DARUSSALAM


GONTOR PUTRI KAMPUS 5

Kelas B C D E F G Jumlah Jumlah Kelas


I 12 12 1

I Int - - -

II 29 29 1

III 27 26 25 25 21 22 146 6

54
III Int 4 5 1

IV 21 22 43 2

V 27 28 26 81 3

Jumlah 121 76 51 25 21 22 316 14


Jumlah Santriwati KMI Pondok Modern
315
Darussalam Gontor Putri Kampus 5
Jumlah Guru KMI Pondok Modern Darussalam
87
Gontor Putri Kampus 5
Jumlah Santriwati dan Guru KMI Pondok
402
Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 5

Dari jumlah diatas peneliti akan melakukan wawancara mendalam untuk

mendapatkan data dengan jumlah 28 orang yang di mana diantaranya 18 orang

santriwati yang dimana peneliti akan mewawancara 2 orang dari daerah Jawa

Timur, 2 orang dari daerah Jawa Tengah, 2 orang dari konsulat Jawa Barat, 2

orang dari daerah Kalimantan Barat, 2 orang dari konsulat Kalimantan Timur, 2

orang dari Kalimantan Selatan, 2 orang dari Sulawesi Tenggara, 2 orang dari

Sulawesi Selatan, dan 2 orang dari Sulawesi Barat . 10 orang dari dewan guru

diantaranya 1 orang wakil pengasuh, 1 orang wakil direktur, dan 8 orang guru .

1.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.

1. Wawancara

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini maka peneliti

menggunakan teknik wawancara tidak testruktur yaitu wawancara yang

tidak dilakukan secara sistematis tentang apa yang akan ditanyakan dengan

tujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, pihak yang di

55
ajak wawancara akan diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

dengan disertai pendapat dan ide-idenya secara terbuka (Sugiono, 2008).

Jadi dapat peneliti simpulkan bahwa wawancara adalah proses tanya jawab

yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang terdiri dari narasumber dan

pewawancara. Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan

informasi lebih yang mungkin tidak peneliti dapatkan ketika observasi.

Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber adalah guru dan santriwati

yang berasal dari daerah Jawa dan daerah Indonesia Timur.

Menurut Sugiyono (2008) ada beberapa langkah-langkah dalam

pengumpulan data, antara lain :

1. Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan

2. Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menjadi bahan

wawancara yang berhubungan dengan implementasi pendidikan

Islam multikulturan di pesantren serta faktor-faktor pendukung dan

penghambatnya

3. Mengawali atau membuka alur wawancara

4. Melangsungkan alur wawancara

5. Mengkonfirmasi kesimpulan hasil wawancara dan mengakhirinya

6. Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan

7. Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah

diperoleh. Untuk mempermudah mendapatkan dan mengumpulkan

data dalam wawancara, peneliti menggunakan handphone untuk

56
merekam proses wawancara selama penelitian dan alat tulis untuk

mencatat hal-hal penting lainnya.

Dalam melakukan wawancara mendalam untuk mendapatkan data

wawancara tersebut maka peneliti akan mengambil bebrapa dari

santriwati, wakil pengasuh, wakil direktur, dan guru dengan jumlah 20

orang yang di mana diantaranya 10 orang santriwati , 1 orang wakil

pengasuh, 1 orang wakil direktur, dan 8 orang guru .

2. Observasi

Observasi adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang

harus dikumpulkan dalam penelitian. Selama observasi dilakukan peneliti

melakukan pencatatan terhadap semua fenomena yang ditemui dengan

menggunakan catatan lapangan. (Satori, 2013)

Observasi secara langsung, yaitu dengan cara menyaksikan secara

langsung subyek yang akan diteliti dapat mempercayai apa yang

sesungguhnya terjadi, karena peneliti melihat secara langsung kegiatan

belajar mengajar yang dilakukan di Pondok Modern Darussalam Gontor

Putri Kampus 5

3. Studi Dokumentasi

Adapun dokumentasi yang dimaksud dalam penelian ini adalah

gambar-gambar hasil dokumentasi melalui Kamera Hand Phone, dan juga

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil

57
dokumentasi dalam penelitian ini hanyalah sebagai data skunder atau

pendukung dalam penelitian.

1.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang telah digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan langkah-langkah analisis data mengalir seperti yang dikemukakan

oleh Bungin dalam Sugiyono (2008), yaitu sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Langkah ini dapat dimaknai sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data mentah yang berasal

dari catatan- catatan tertulis di lapangan. Langkah ini akan dilakukan sejak

pengumpulan data dimulai dalam bentuk ringkasan, menelusur tema, membuat

gugus-gugus, memberikan pernyataan, dan sebagainya dengan maksud

melakukan penyeleksian data/informasi sehingga ditemukan data yang

relevan.

2. Presentasi Data (Presentation of data)

Pada tahap ini dilakukan pengelompokan data yang dianggap valid dan

akan dideskripsikan secara teoritisdalam bentuk teks naratif, matrik, diagram,

tabel dan bagan.

3. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and

Verification)

Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. ferifikasi dilakukan guna

menetapkan keabsahan data yang disajikan dalam bentuk penjelasan yang

dikaitkan dengan teori serta penarikan kesimpulan (Sugiono, 2008)

58
Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam proses tersebut

dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang

ada dari berbagai sumber yang telah didapatkan baik di lapangan, dokumen

pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara

dan studi dokumentasi.

1.7. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data penelitian dalah kegiatan penting bagi penelitian dalam upaya

jaminan dan meyakinkan pihak lain bahwa temuan penelitian tersebut benar-benar

valid. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan.

Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada

empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan

(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).

(Moleong, 2018)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengecekan keabsahan data

dengan menggunakan triangulasi, menurut Wiliam wiersma (1986) dalam Lexy J.

Moleong (2018) menjelaskan: Triangulation is qualitative cross-validation. It

assesses the suf iciency of the data according to the convergence of multiple data

sources or multiple data collection procedures. (Moleong 2018). Trianggulasi

dalam pengujian kredibilitas penelitian ini sebagai pengecekan data dari berbagai

sumber dengan trianggulasi sumber. yaitu:

1. Triangulasi Sumber Informasi

59
Triangulasi sumber informasi yaitu dengan cara membandingkan data

hasil pengamatan dengan hasil wawancara, data hasil wawancara dengan

dokumentasi, dan data hasil pengamatan dengan dokumentasi. Hasil

perbandingan ini diharapkan dapat menyatukan persepsi atas data yang

diperoleh. Disamping itu perbandingan ini akan memperjelas bagi peneliti

tentang latar belakang perbedaan persepsi tersebut.

2. Triangulasi Tehnik

Triangulasi tehnik dilakukan dengan dua cara: (1) mengecek derajat

kepercayaan temuan penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data,

(2) mengecek derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan teknik yang

sama. Dua jenis triangulasi tehnik ini dimaksudkan untuk memverifikasi dan

memvalidasi analisis data kualitatif serta tertuju pada kesesuaian antara data

yang diperoleh dengan teknik yang digunakan.

3. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpul

dengan dengan tehnik wawancara di pagi hari pada saat nara sumber masih

segar, belum banyak masalah akan memberikan data yang lebih valid

sehingga lebih kredibel. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data

dapat dilakukan dengan cara melakukan dengan wawancara, observasi, atau

tehnik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda bila hasil uji menghasilkan

data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga

ditemukan kepastian datanya.

4. Perpanjangan Waktu Penelitian

60
Perpanjangan waktu penelitian dilakukan peneliti untuk meningkatkan

kredibilitas data, karena data yang didapat sebelumnya dianggap masih

kurang, sehingga peneliti perlu melakukan observasi di Pondok Modern

Darussalam Gontor Putri kampus 5 dan melakukan wawancara lagi dengan

informan lainnya untuk melengkapi data yang masih kurang. Perpanjangan

waktu yang dibutuhkan peneliti kurang lebih 15 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. A. (2005). Pendidikan Agama Era Multikultur-Multireligius.


Jakarta: PSAP.
Agama, K. (n.d.). Q.S Al Hujurat 49:13.
Amin, A. M. (2005). Pendidikan Agama Era Multi Kultural Multi Religius.
Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
an-Nahidil, N. A. (2006). pesantren dan dinamika pesan damai. jakarta:
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Arief, A. (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Pers.
Arief, A. (2005). Refomulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press.
Arikunto, S. (1999). Prosedur Penelitian. jakarta: Rineka Cipta.
Azra, A. (2004). The Origins Of Islam Reformism In Southeast Asia. New York:
University Of Hawaii Press.
Azra, A. (2004). The Origins of Islamic reformism in Southeast Asia : networks of
Malay-Indonesian and Middle Eastern ulama in the seventeenth and
eighteenth centuries. Honololu: University of Hawai'i Press.
Banks, J. (1993). Multicultural Education : issues and perspectives.
Bawani, I. (1993). Tradisionalisme dalam pendidikan islam. surabaya: al ikhlas.
Dahlan, K. S. (2001). Asbabun Nuzul ; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
ayat Al Qur'an. Bandung: DiPonegoro.
Danim, S. (2000). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

61
Dhofier, Z. (1994). Tradisi Pesantren: Studi tentang pandangan hidup Kiai.
Jakarta: LP3ES.
Fathurrahman. (2012). Aswaja NU dan Toleransi Umat Beragama. Jurnal Review
Politik, 02.
Featherstone, S. L. (2002). Recognition And Difference:Politics, identity,
Multiculture. London: Sage Publication.
Gontor. (2006). Manajemen KMI Pondok Modern Darussalam Gontor. Ponorogo:
Darussalam Press.
Hamdani, I. (2001). Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Setia.
Harsono. (2002). Implementasi Kebijakan dan Politik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Iswanto, A. (2009). Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturisme.
Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta.
KBBI. (2023, Juli Senin). Pengertian Implementasi.
Langgulung, H. (2008). Beberapa pemikiran tentang pendidikan islam. Bandung:
PT. Al Ma'rifat.
Madjid, N. (1977). Bilik-bilik pesantren ; sebuah potret kehidupan. jakarta:
paramadina.
Mahfud, C. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahfud, C. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maksum, A. (2011). Pluralisme dan Multikulturalisme ; Paradigma Baru
Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Malang: Aditya Media Publishing.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang
Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Meleong, L. J. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mudzakir, A. M. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Mujib, A. (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana.
Mulyana, D. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, H. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Munjin, A. (2009). Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Bandung: PT. Reftika Aditama.

62
Nata, A. (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nizar, S. (2000). Filsafat Pendidikan Islam Pendektan Historis, dan Praktis.
jakarta: Ciputat Press.
Nizar, S. (2013). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Purwadarminta, W. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Rukajat, A. (2018). Pendekatan Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Deepublish.
Rusyan, A. T. (1992). Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta:
Kalam Mulia.
Sagala, S. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Satori, D. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Setiawan, G. (2004). 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sholihuddin, A. (2013). pesantren dan budaya damai. http://www.gp-ansor.org/?
p=13308.
Slavin, R. E. (2004). Psikologi Pendidikan ; Teori dan Praktik, Terjemahan
Marianto Samosir. Jakarta: Indeks.
Sugiono. (2008). Metode Penelitian ( Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta.
Suparlan, P. (2002). Menuju Masyarakat Multikultural. Jurnal Antropologi
Indonesia.
Suryadinata. (2008). Pendidikan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susilo, M. J. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tafsir, A. (1992). Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tafsir, A. (1992). Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Tafsir, A. (2012). Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tilaar, H. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik
Tarnsformatif untuk Indonesia. Jakarta: Gramadia.
Tilaar, H. (2004). Multikulturalisme, Tantangan Global Masa Depan. Jakarta:
Grasindo.
Tilaar, H. (2005). Manifesto Pendidikan Nasional:Tinjauan dari Perspektif Post-
Modernisme. Jakarta: Kompas.

63
Umar, B. (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Yaqin, M. A. (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media.
Yaqin, M. A. (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media.
Zarkasyi, A. S. (1990). Pondo Pesantren sebagai Alternatif Kelembagaan
Pendidikan Untuk Program Pengembangan Studi Islam Asia Tenggara.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah.

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimanakah visi dan misi Pondok Modern Darussalam Gontor Putri

kampus 5 dalam mengimplementasikan Pendidikan Islam Multikultural ?

2. Bagaimanakah proses perencanaan dan pengembangan Implementasi

Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren dilakukan ?

3. Apakah yang mendorong Pondok Modern Darussalam Gontor Putri

kampus 5 untuk memulai upaya Implementasi Pendidikan Islam

multikultural ?

4. Bagaimanakah pendidikan Islam multikultural telah memengaruhi

pandangan dan perilaku santriwati di Pondok Modern Darussalam Gontor

Putri kampus 5 ?

5. Apakah guru Pondok Modern Darussalam Gontor Putri kampus 5 selalu

memperhatikan perinsip – prinsip Multikultural dalam kegiatan belajar

mengajar didalam kelas ?

6. Apakah kegiatan – kegiatan santriwati Pondok Modern Darussalam

Gontor Putri kampus 5 diluar kurikulum formal bepotensi sebagai wadah

pembelajaran multikultural ?

64
7. Apasajakah faktor - faktor penghambat dan pendorong dalam

Implementasi Pendidikan Islam Multikultural di Pesanten ?

8. Apasajakah pengaruh yang didapatkan oleh santriwati Pondok Modern

Darussalam Gontor Putri kampus 5 dalam pengimplementasian

Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren ?

65

Anda mungkin juga menyukai