Anda di halaman 1dari 50

KONSEP PERENCANAAN GREEN BUILDING DALAM

MENERAPKAN KE 6 PRINSIP DI AREA PERKOTAAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Arsitektur Hijau

KELOMPOK 6:

SARIF E1B120049
SETHYA PUSPITA SARI E1B120050
SHASKIA AMALIAH E1B120051
SINTYA NURPADILA E1B120052
WA ODE DZULISTIA S.F. E1B120054
ABDUL RAHMAT E1B120055
ADZAN FAHRI E1B120056
AKBAR E1B120059
ANDI MUHAMMAD E.M. E1B120063
ANDRI E1B120064
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini
yang berjudul “Konsep Perencanaan Green Building Dalam Menerapkan
Ke 6 Prinsip Di Area Perkotaan”. Adapun penyusunan Makalah ini dibuat
sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah Arsitektur Hijau, di Jurusan
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Haluoleo.
Dalam penyusunan proposal ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang telah ikut membantu. Untuk itu iringan doa dan ucapan terima kasih yang
sebesar- besarnya penulis ucapakan kepada :
1. Kepada Bapak Dr. M. Husni Kotta, ST., M.Si yang tehormat selaku
dosen pengampuh mata kuliah Arsitektur Hijau ini yang telah banyak
membimbing kami.
2. Kepada seluruh dosen pengampuh mata kuliah pada Program Studi
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo yang telah
mengajarkan ilmunya dan membimbing kami khususnya penulis
sehingga dapat seperti sekarang ini.
3. Kepada keluarga penulis yang senantiasa mendoakan, memberi
semangat dan dukungannya dalam menyelesaikan penulisan tugas
ini.
4. Serta ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berperan
langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Terima kasih atas dukungan, bantuan, semangat,
inspirasi dan mungkin luka yang membentuk tekad penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan, baik dalam hal penyajian maupun dalam pembahasan materi.
Penulis sangat mengharapkan masukan, bimbingan, petunjuk serta kritik dan saran
yang bersifat membangun guna menyempurnakan hasil ini.

Kendari, 26 September 2022

i
Kelompok 6

ii
DAFTAR IS

KATA PENGANTAR.....................................................................................................1

DAFTAR ISI....................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2

1.3 Tujuan.................................................................................................................2

BAB II...............................................................................................................................3

PEMBAHASAN...............................................................................................................3

2.1 Pengertian Green Building...........................................................................3

2.2 Pengertian Kota dan Pekotaan....................................................................3

2.3 Tujuan Penerapan Green Building.............................................................4

2.3 Standar Penilaian Kriteria Green Building.....................................................6


2.3.1 Rating Menurut Green Building Council Indonesia (GBCI)............................................6

2.3.2 Sistem Rating Greenship (Greenship Rating Tools)...........................................................6

2.4 Enam Prinsip Green Building......................................................................7


2.4.5 Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan kenyamanan
udara 7

2.4.1 Tepat Guna Lahan.................................................................................................................9

2.4.2 Efisiensi dan konservasi energi...........................................................................................10

2.4.3 Konservasi Air......................................................................................................................13

2.4.3.1 WAC1, Water Use Reductionatau Pengurangan Penggunaan Air..............................14

2.4.3.2 WAC2, Water Fixturesatau Fitur Air............................................................................14

ii
2.4.3.3. WAC3, Water Recyclingatau Daur Ulang Air....................................................15

2.4.4 Siklus dan sumber material....................................................................................................16

2.4.4.1 Pentingnya Memenuhi Mrc Prasyarat.................................................................................17

2.4.4.1.1 MRC 1 Building And Material Reuse atau Penggunaan Gedung dan Material Bekas....18

2.4.4.1.2 MRC 2 Environmentally Friendly Processed Material atau Material Melalui Proses
Ramah Lingkungan.........................................................................................................................20

2.4.4.1.3 MRC 3 Non-ODS Usage atau Penggunaan Bahan yang Tidak Mengandung BPO........21

2.4.4.1.4 MRC 4 Certified Wood atau Kayu Bersertifikat.............................................................22

2.4.4.1.5 MRC 5 Prefab Material atau Material Pra Fabrikasi.......................................................23

2.4.4.1.6 MRC 6 Regional Material atau Material Lokal...............................................................24

2.4.5 Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan kenyamanan udara.25

2.4.6 manajemen lingkungan bangunan / building and environment management (BEM)...........27

2.4.6.1 Pentingnya memenuhi BEM prasyarat...............................................................................28

2.4.6.2 BEM 1 GP as a Member of Project Team atau GP Sebagai Anggota Tim Proyek............29

2.4.6.3 BEM 2 Pollution Of Construction Activity atau Polusi Dari Aktivitas Konstruksi...........30

2.4.6.4 BEM 3 Advanced Waste Management atau Pengelolaan Sampah Tingkat Lanjut............31

2.4.6.5 BEM 4 Proper Commissioning atau Sistem Komisioning yang Baik dan Benar...............32

2.5 Tantangan Penerapan 6 prinsip Green Building di Area Perkotaan.....................................33

2.6 Studi kasus................................................................................................................34


2.7 Konsep Perencanaan Green Building Dalam Menerapkan Ke 6 Prinsip.............................37

BAB III...........................................................................................................................37

PENUTUP......................................................................................................................37

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................37

3.2 Saran...................................................................................................................38

ii
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................39

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Green Building adalah bangunan dimana sejak dimulai dalam tahap perencanaan,
pembangunan, pengoperasian hingga dalam operasional pemeliharaannya memperhatikan
aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi penggunaan sumber daya alam,
menjaga mutu dari kualitas udara di dalam ruangan, dan memperhatikan kesehatan
penghuninya yang semuanya berpegang kepada kaidah bersinambungan. Istilah Green
building merupakan upaya untuk menghasilkan bangunan dengan menggunakan proses-
proses yang ramah lingkungan, penggunaan sumber daya secara efisien selama daur hidup
bangunan sejak perencanaan, pembangunan, operasional, pemeliharaan, renovasi bahkan
hingga pembongkaran.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah penduduk di bumi kian bertambah
sementara lahan untuk tempat tinggal tidak bertambah. Hal tersebut diperparah dengan
masalah proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan semakian bertambah.
Berdasarkan data dari PBB pada tahun 2014, sebanyak 54% dari 7,324 miliar penduduk dunia
tinggal di daerah perkotaan bahkan diperkirakan pada tahun 2050 angka tersebut mencapai
66% dan sebagian besar terjadi di negara-negara Asia. Fenomena ini sejalan dengan lahirnya
"mega cities" yaitu kota dengan jumlah penduduk melebihi 10 juta jiwa. Pada tahun 2014,
telah tercatat 28 kota dunia merupakan mega cities dan 16 diantaranya berada di Asia
termasuk di Indonesia. Jakarta telah menduduki posisi kedua sebagi kota dengan jumlah
penduduk terbanyak yaitu mencapai 35 juta jiwa pada tahun 2015. Angka-angka tersebut
bukannya tanpa arti, banyak tantangan dan masalah yang akan ditimbulkan dari fenomena ini
yaitu penyediaan infrastruktur perkotaan seperti rumah, air bersih, dan transportasi ;
penyediaan energi; penyediaan pangan; dan tantangan pada pemerliharaan ligkungan hidup
dan perubahan iklim.
Lingkungan, yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya. yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya,
bagaimanapun juga akan tercemar, dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan atau komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan

1
lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Banyaknya pembangunan pabrik dan konstruksi memberikan pengaruh besar pada
perubahan keseimbangan ekosistem lingkungan yang ditandai dengan berkurangnya area
hijau, hilangnya daerah rambah satwa liar dan tergerusnya populasi berbagai jenis tanaman.
Perubahan-perubahan merugikan tersebut masih ditambah dengan berubahnya siklus udara
dan hidrologi yang dipengaruhi oleh hilangnya area resapan air, dan area hijau. Mengingat
bahwa pembangunan merupakan aktifitas utama dari setiap negara dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan warganya, dapat dikatakan bahwa kerusakan lingkungan sudah
merupakan bagian yang tidak dapat dihindarkan dari kegiatan pembangunan Olch karena
itu,perlu adanya perencanaan dan pembangunan berbasis Green building untuk meminimalisir
masalah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Green Building ?
2. Apa tujuan dari penerapan Green Building ?
3. Bagaimana analisis 6 prinsip Green Building ?
4. Apa saja contoh-contoh penerapan 6 prinsip Green Building pada bangunan?
5. Bagaimana tantangan penerapan 6 prinsip Green Building di area perkotaan?

1.3 Tujuan

Berikut merupakan beberapa poin tujuan dari permasalahan yang telah dikemukakan,
antara lain :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Green Building.
2. Untuk mengetahui tujuan dari penerapan Green Building.
3. Untuk mengetahui bagaimana analisis 6 prinsip Green Building.
4. Untuk mengetahui apa saja contoh-contoh penerapan 6 prinsip Green Building
pada bangunan.
5. Untuk mengetahui bagaimana tantangan penerapan 6 prinsip Green Building
diarea perkotaan..

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Green Building

Secara umum, green building dapat diartikan sebagai sebuah konsep untuk
meningkatkan efisiensi sumber daya yang dibutuhkan bagi sebuah gedung, rumah, atau
kawasan. Sumber daya yang dimaksud yaitu energi, air, maupun material-material
pembentuknya. Dengan diterapkannya konsep green building ini, diharapkan dampak
negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungannya dapat berkurang (Sulistiyanto
dalam Fatih, 2012).
Menurut Ir. Rana Yusuf Nasir pada Persatuan Insinyur Indonesia (2016) green
building adalah bangunan yang sejak perencanaan, pembangunan dalam masa
konstruksi dan dalam pengoperasian serta pemeliharaan selama masa pemanfaatannya
menggunakan sumberdaya alam seminimal mungkin, pemanfaatan lahan dengan bijak,
mengurangi dampak lingkungan serta menciptakan kualitas udara di dalam ruangan
yang sehat dan nyaman.
Perkembangan bangunan hijau didasari suatu penelitian yang menunjukkan
bahwa bangunan mengkonsumsi 40% bahan bangunan di dunia, menggunakan 55%
kayu untuk penggunaan di luar bahan bakar, 12,2% dari total konsumsi air, 40% dari
total penggunaan listrik, menghasilkan 36% dari emisi gas karbon dioksida (Hoffman &
Henn, 2008). Karena pengaruh yang besar pada lingkungan, lahirlah gerakan bangunan
hijau yang pada intinya adalah peningkatan efisiensi pada proyek konstruksi dalam
menggunakan sumber daya dan meminimalkan dampak negatif yang dihasilkan dari
proyek itu terhadap lingkungan (Retzlaff, 2008).

2.2 Pengertian Kota dan Pekotaan

3
Menurut Branch (1996: 2) Kota diartikan sebagai tempat tinggal dari beberapa
ribu atau lebih penduduk, sedangkan perkotaan diartikan sebagai area terbangun
dengan struktur dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman terpusat pada suatu area
dengan kepadatan tertentu (Branch, 1996:2). Dalam pengertian lain kota adalah
wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, yang sebagian besar lahannya terbangun
dan perekonomiannya bersifat non pertanian.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota, kota adalah permukiman dan kegiatan penduduk yang
mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundangan
serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kekotaan.
Sedangkan perkotaan adalah satuan kumpulan pusat-pusat permukiman yang berperan
di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau Wilayah Nasional sebagai simpul
jasa.

2.3 Tujuan Penerapan Green Building


Tujuan utama diterapkannya konsep green building yaitu untuk meminimalkan
dampak yang akan disebabkan oleh sebuah bangunan, baik dalam masa pelaksanaan
pembangunan maupun masa penggunaan.
Konsep green building akan mengurangi konsumsi energi secara signifikan
melalui beberapa metode desain pasif dan desain aktif. Menggunakan konsep green
building tidak perlu mengorbankan kenyamanan dan produktivitas akibat penghematan
energi. Green building tidak hanya hemat energi tapi juga hemat air, melestarikan
sumberdaya alam, dan meningkatkan kualitas udara serta pengelolaan sampah yang
baik. Dalam mengantisipasi krisis air bersih, dikembangkan konsep pengurangan
pemakaian air (reduce) dengan produksi alat saniter yang hemat air, penggunaan
kembali air untuk berbagai keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air
bersih (recycle), dan pemanfaatan air hujan yang jatuh di atap bangunan (rain water
harvesting).
Dengan konsep green building diharapkan bisa mengurangi penggunaan energi
serta dampak polusi sekaligus juga desain bangunan menjadi ramah lingkungan. Dalam
Bulan Mutu Nasional dan Hari Standar Dunia, 2008 dijelaskan bahwa dalam
merancang dan mendesain ”Intelligent dan Green building” harus memperhatikan:

4
1. Pemanfaatan material yang berkelanjutan
2. Keterkaitan dengan ekologi lokal
3. Konservasi energi
4. Efisiensi penggunaan air
5. Penanganan limbah
6. Memperkuat keterkaitan dengan alam
7. Pemakaian kembali/renovasi bangunan

Menurut Brenda dan Robert Vale dalam bukunya “Green Architecture : Design
for A Sustainable Future” ada 6 prinsip dasar dalam perencanaan Green Architecture,
yaitu :
- Conserving energy, pengoperasian bangunan harus meminimalkan
penggunaan bahan bakar atau energi listrik dengan memaksimalkan energi
alam sekitar lokasi bangunan.
- Working with climate, mendesain bangunan harus berdasarkan iklim yang
berlaku di lokasi tapak bangunan itu berada.
- Minimizing new resources, mendesain dengan meminima lisir kebutuhan
sumberdaya alam, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat
digunakan di masa mendatang.
- Respect for site, bangunan yang dibangun jangan sampai merusak kondisi
tapak aslinya, dengan perubahan tapak seminimal mungkin.
- Respect for user, memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi
semua kebutuhannya.
Dalam “Design for Environmental Sustainability” oleh Vezolli dan Manzini
disebutkan beberapa kriteria perancangan bangunan dan lingkungan yang mendukung
perwujudan lingkungan yang berkelanjutan, yaitu:
- Minimise Materials Consumption, meminimalisasi konsumsi terhadap
material seperti efisiensi penggunaan, mengurangi sampah/sisa,
menghindari kemasan serta perancangan yang hemat energi.
- Minimising Energy Consumption, meminimalisasi penggunaan energi pada
proses produksi, transportasi dan penyimpanan
- Minimising Toxic Emissions, pemilihan bahan/material dan sumer daya
energi yang tidak beracun - Renewable and Bio-compatible Resources,

5
pemilihan material dan sumber daya energi terbarukan
- Optimisation of Product Lifespan, optimalisasi usia/umur produk melalui
perancangan yang handal dan adaptif.
- Improve Lifespan of Materials, memilih material yang efisien dan
terbarukan dan kompatibel
- Design for Disassembly

2.3 Standar Penilaian Kriteria Green Building

2.3.1 Rating Menurut Green Building Council Indonesia (GBCI)

sistem rating di Indonesia adalah Greenship, sistem rating adalah suatu standard
penilaian berisi butir-butir yang mempunyai nilai. Jika dari suatu bangunan telah
berhasil memenuhi indikator-indikator maka akan mendapat poin dari indikator tersebut
dan jika semua poin bisa berhasil sampai jumlah tertentu, maka bangunan tersebut
dapat disertifikasi untuk tingkatan tertentu (GBCI, 2012).
Menurut (GBCI, 2012) terdapat tiga kriteria berbeda yang ada dalam greenship,
yaitu:
1. Kriteria prasyarat adalah kriteria yang ada di setiap kategori dan harus dipenuhi
sebelum dilakukannya penilaian lebih lanjut berdasarkan kriteria kredit dan
kriteria bonus. Apabila salah satu prasyarat tidak dipenuhi, maka kriteria kredit
dan kriteria bonus dalam kategori yang sama dari gedung tersebut tidak dapat
dinilai.
2. Kriteria kredit adalah kriteria yang ada di setiap kategori dan tidak harus
dipenuhi. Pemenuhan kriteria ini tentunya disesuaikan dengan kondisi eksisting
gedung tersebut. Bila kriteria ini dipenuhi maka gedung yang bersangkutan
mendapat nilai dan apabila tidak dipenuhi maka gedung yang bersangkutan
tidak akan mendapat nilai.
3. Kriteria bonus adalah kriteria hanya ada pada kategori tertentu yang
memungkinkan pemberian nilai tambahan. Hal ini dikarenakan selain kriteria ini
tidak harus dipenuhi, pencapaiannya dinilai cukup sulit dan jarang terjadi di

6
lapangan.

2.3.2 Sistem Rating Greenship (Greenship Rating Tools)


Greenship adalah standar pembangunan hijau berkelanjutan di Indonesia sebagai
peringkat penilaian yang disusun oleh GBCI terdiri dari :
1. Greenship untuk rumah hunian
2. Greenship untuk gedung baru
3. Greenship untuk gedung terbangun
4. Greenship untuk interioir ruangan
Green Building Council Indonesia (GBCI) sedang dalam tahap penyusunan
sistem rating yaitu Greenship, kegunaannya adalah untuk menentukan suatu bangunan
dapat dinyatakan layak bersertifikat green building atau belum. Adapun sistem penilain
dibagi menjadi 6 kategori penilaian/prinsip green building (GBCI, 2012), yaitu meliputi :
1. Tepat Guna Lahan (Approtiate Site Development / ASD) :
2. Efisiensi dan Konservasi Energi (Energi Eficiency and Conservation/ EEC)
3. Konservasi Air (Water Conservation/ WAC)
4. Sumber dan Siklus Material (Water Resource dan Cycle/ WRC)
5. Kualitas Udara dan Kenyamanan Ruang (Indoor Air Healt and Comfort/ IHC)
6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building and Environment Management/ BEM)

2.4 Enam Prinsip Green Building


Pelaksanaan green construction dimulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan sebuah proyek. Dalam implementasinya, green construction tidak
hanya digunakanuntuk green building saja, namun juga untuk bangunan
konvensional.Berdasarkan Greenship versi 1.2 oleh Green Building Council
Indonesia (GBCI)terdapat enam kriteria yang digunakan dalam penilaian
pelaksanaan greenconstruction. Secara spesifik kriteria tersebut akan dijabarkan
sebagai berikut:

2.4.5 Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan
kenyamanan udara
Melakukan introduksi dengan udara luar merupakan kriteria prasyarat.
Tujuannya
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan dengan
melakukan introduksi udara luar sesuai dengan kebutuhan laju ventilasi untuk

7
kesehatan pengguna gedung. Menurut buku Panduan Penerapan GREENSHIP
versi 1.0 yang diterbitkan Green Building Council Indonesia, aspek IHC sendiri
memiliki satu pra-syarat dan tujuh variabel, yaitu :
1. Outdoor Air Introduction
Suatu kantor membutuhkan kebutuhan udara luar sebesar 0,15 m3
/menit/orang sampai 0,6 m3 /menit/orang. Menurut ASHRAE std. 62.1 – 2007
kebutuhan udara luar di kantor sebesar 5 cfm/orang. Untuk mencapai kebutuhan
yang ditetapkan, diharuskan ada bukaan atau sistem ventilasi yang baik. Ventilasi,
terutama ventilasi alami merupakan berupa jendela, kisi-kisi, atau bukaan lain
yang dapat mengalirkan udara.
2. CO2 monitoring
Sumber utama karbon dioksida (CO2) di gedung perkantoran berasal dari
respirasi penghuni bangunan. Konsentrasi CO2 yang tinggi dapat membuat
konsentrasi O2 berkurang sehingga menyebabkan kesulitan bernapas hingga
keracunan pada penggunanya. Peningkatan kadar CO2 dalam ruangan juga
berdampak terhadap peningkatan prevalensi dari satu atau lebih gejala sick
building syndrome (SBS), berupa sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung dan
gangguan saluran pernapasan (Seppanen et, al, 1999).
3. Environmental Tobacco Smoke Control
Menurut First, lingkungan berasap rokok atau Environmental Tobacco
Smokes (ETS) adalah campuran asap side stream dan asap mainstream.
Berdasarkan perkiraan sekitar 50% asap mainstream perokok dikeluarkan.
Lingkungan berasap rokok ini telah diketahui menimbulkan pengaruh terhadap
kenyamanan dan kesehatan manusia yang berada di dalamnya.
4. Chemical Pollutant
Penggunaan material-material seperti cat, coating, olahan kayu, styrofoam,
mercury dan asbes mempunyai dampak terhadap kesehatan penghuni bangunan
tersebut.Sebagian besar material-material yang digunakan dalam suatu bangunan
mempunyai zat-zat kimia yang berbahaya bagi manusia. Sebagian besar
mempunyai VOCs (volatile Organic Compounds) yang berbahaya bagi kesehatan.
Sejumlah penelitian menunjukkan kadar VOCs di dalam ruang lebih tinggi 40%
dibanding VOCs diluar ruangan.
5. Outside View

8
Kontinuitas visual antara ruang dalam dan ruang luar sangat dibutuhkan
oleh penghuni gedung. Secara psikologis, penghuni gedung memerlukan rasa
aman dengan sesekali melihat cuaca, kondisi lalu lintas dan akitivitas lain yang
ada di luar gedung tersebut. Secara fisiologis, pemandangan luar gedung dapat
memberikan relaksasi mata yang kelelahan akibat aktivitas di dalam
ruangan.Selain itu, terdapat hubungan antara kurangnya jendela di tempat kerja
dengan penghuni yang mengalami ketidakpuasan, perasaan isolasi, depresi,
klaustrofobia, pembatasan, dan ketegangan.
6. Visual Comfort
Menurut Suma’mur dan Manuaba, penerangan merupakan faktor
lingkungan yang sangat perlu diperhatikan karena banyak pengaruhnya terhadap
kelelahan mata dalam bekerja. Kelelahan otot dan saraf mata sebagai akibat dari
tegangan yang terus-menerus pada mata memang tidak menyebabkan kerusakan
permanen pada mata, namun menambah beban kerja dan mempercepat kelelahan.
Kondisi tersebut mengakibatkan produktivitas penghuni gedung terganggu,
ditunjukkan oleh meningkatnya frekuensi kesalahan dan gangguan konsentrasi.
Oleh karena itu, penerangan yang baik sangat penting agar pekerjaan dapat
dilakukan dengan benar dan dalam situasi yang nyaman.
7. Thermal Comfort
Penelitian Karyono mengatakan bahwa, Indonesia, terutama Jakarta,
mempunyai suhu rata-rata minimum sebesar 23°C dan maksimum sebesar 33°C
serta kelembaban rata-rata relatif sekitar 69 sampai 90%. Berdasarkan penelitian
oleh Ellis tahun 1953 di Singapura, suhu yang efektif dan nyaman bagi orang-
orang yang tinggal di Asia Tenggara adalah tak lebih dari 78°F (25,53°C) dan tak
kurang dari 73°F (22,76°C) dan kelembaban menurut penelitian Webb tahun 1950
di Singapura adalah 70%. Oleh karena itu diambil rat-rata bahwa suhu yang
nyaman adalah 25°C dan kelembaban 60%.
8. Acoustic Level
Menurut Hodgson tingkat kebisingan yang tinggi dapat menyebabkan
kekesalan, elelahan, stress dan mengganggu efisiensi dan produktivitas kerja.
Tingkat kebisingan yang pas dapat membuat penghuni banguan nyaman, bebas
dari gangguan dan bagus dalam berkomunikasi.

9
2.4.1 Tepat Guna Lahan
Hal ini berkaitan dengan cara membangun suatu gedung yang sesuai, baik
dari segi fungsi dan penggunaan lahan yang kan digunakan. Kriteria Green
Building yang pertama adalah tentang “Tepat Guna Lahan (Approtiate Site
Development/ASD)”, selanjutnya nanti ada lagi yaitu Efisiensi dan Konservasi
Energi (Energy Efficiency & Conservation / EEC), Konservasi Air (Water
Conservation / WAC), Sumber dan Siklus Material (Material Resource and
Cycle / MRC), Kualitas Udara & Kenyamanan Ruang (Indoor Air Health and
Comfort / IHC) dan Manajemen Lingkungan Bangunan (Building and
Environment Management / BEM).
Aspek tepat guna lahan membahas tentang kebijakan perusahaan terhadap
pengelolaan tata guna lahan. Tata guna laham yang dimaksud ialah semua lahan
yang terbangun ataupun tidak terbangun yang dapat dimanfaatkan sesuai
kebutuhan perusahaan. Hal ini tercakup dalam pembangunan infrastruktur,
tersedianya ruang terbuka hijau (RTH), dan fasilitas pelengkap lainnya, seperti
jaringan dan moda transportasi, utilitas, komunikasi, serta berbagai fasilitas
umum lainnya. Keterhubungan dengan semua fasilitas dan infrastruktur ini dapat
memberikan kemudahan sehingga efisiensi energi dan biaya tercapai.
Aspek tepat guna lahan diharapkan mampu mengurangi pengaruh negatif
dari perubahan guna lahan oleh pembanguna terhadap lingkungan.

2.4.2 Efisiensi dan konservasi energi


EEC adalah singkatan dari Energy Efficiency and Conservation atau
Efisiensi dan Konservasi Energi. EEC lahir dan menjadi penting karena
kebutuhan penggunaan energi pada bangunan baru berbeda-beda sejak tahap
konstruksi dimulai sampai operasional dan pemeliharaan.
Pengoperasian AC, fasilitas eskalator/elevator dan penerangan buatan
merupakan konsumsi energi yang paling besar diantara fasilitas lainnya. Tidak
hanya berdampak pada pemborosan biaya akibat konsumsi energi listrik yang
berlebihan, pengoperasian sistem tersebut yang tidak efisien bisa menimbulkan
dampak besar terhadap perubahan iklim dan pemanasan global karena besarnya
emisi karbon dioksida CO2 pada pembangkit listrik yang sehingga muncul efek
rumah kaca. Untuk meningkatkan efisiensi konsumsi energi dalam melawan

10
perubahan iklim, perlu diterapkan praktik-praktik baru sejak tahap desain sampai
operasional gedung. Pendekatan praktik-praktik baru ini diharapkan akan
mereduksi jejak karbon, potensi pemanasan global, serta potensi penipisan lapisan
ozon.
Misalnya, pada tahap desain, perencanaan dipusatkan pada penggunaan
teknologi dengan efisiensi energi yang tinggi. Maksudnya adalah kita bisa
memilih prasarana, sarana, peralatan, bahan dan proses yang secara langsung atau
tidak langsung tidak membuang terlalu banyak energi saat merancang
pembangunan sebuah gedung. Sedangkan pada tahapan pengoperasian gedung,
suatu bangunan diharapkan menggunakan pengoperasian fasilitas dalam gedung
secara efisien, contohnya menghemat penggunaan AC dengan cara mengurangi
intensitas penggunaannya jika tidak diperlukan.
EEC ini tidak hanya fokus kepada pengalihan penggunaan teknologi,
namun juga sebagai sarana sosialisasi untuk pemasangan beberapa fasilitas
pendukung prosedur pemantauan dan pencatatan konsumsi listrik seperti
submeter untuk kebutuhan usaha penghematan listrik. Dengan fakta bahwa sistem
penyediaan dan pemanfaatan energi nasional di Indonesia masih didominasi oleh
energi fosil, maka kriteria ini juga memberikan apresiasi terhadap bangunan yang
menerapkan penggunaan energi terbarukan.
Pada dasarnya, penerapan konsep konservasi energi bukanlah merupakan
perkara yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi. Dengan adanya kriteria
EEC ini, diharapkan akan terjadi peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan
pentingnya efisiensi energi, khususnya dalam keseluruhan fasa pembangunan
sebuah bangunan baru.
EEC pada bangunan baru dibagi menjadi 5 kriteria penilaian dengan 2
penilaian prasyarat sebagai berikut:
1. EEC P1, Electrical Submetering atau Pemasangan Sub-meter
2. EEC P2, OTTV Calculation atau Perhitungan OTTV
3. EEC1, Energy Efficiency Measures atau Langkah Penghematan Energi
4. EEC2, Natural Lighting atau Pencahayaan Alami
5. EEC3, Ventilation atau Ventilasi
6. EEC4, Climate Change Impact atau Pengaruh Perubahan Iklim
7. EEC5, On-Site Renewable Energy atau Energi Terbarukan dalam Tapak

11
EEC prasyarat pada bangunan baru merupakan hal yang wajib dilakukan
jika ingin lanjut ke tahapan penilaian kriteria utama dari EEC. Ada 2 kriteria
prasyarat dalam EEC.
Pertama adalah EEC prasyarat 1 yang dilatarbelakangi oleh borosnya
penggunaan energi listrik di dalam gedung. Dikatakan boros karena sepertiga dari
total konsumsi energi dunia dikonsumsi oleh bangunan gedung, itupun tidak
semua energi yang dikonsumsi dipakai dengan efisien. Faktanya, sekitar 30%
energi yang dikonsumsi oleh bangunan gedung, khususnya gedung perkantoran
komersial, terbuang begitu saja.
Langkah awal yang dapat dilakukan untuk menghemat energi adalah
pengendalian konsumsi energi. Hal yang paling umum dan praktis dilakukan
untuk mengendalikan konsumsi energi adalah dengan menggunakan submeter
listrik. Dengan menggunakan submeter listrik, kita bisa memantau konsumsi
listrik yang biasanya ditunjukkan dalam satuan kilowatt hour. Satuan ini setara
dengan jumlah energi yang dikonsumsi oleh beban satu kilowatt selama satu jam
atau sebesar 3.600.000 Joule.
Selain untuk memantau konsumsi listrik agar tidak terjadi penggunaan
energi yang berlebihan pada area teertentu, submeter listrik pada kriteria EEC
prasyarat 1 ini juga berguna untuk menghitung biaya untuk energi yang
digunakan serta mengidentifikasi waktu dan musim terjadinya periode puncak
penggunaan listrik. Dengan begitu, pihak pengelola gedung bisa
mempertimbangkan peluang untuk menghemat energi.
Jika kriteria EEC prasyarat 1 sudah terpenuhi, Anda bisa lanjut untuk
memenuhi kriteria EEC prasyarat 2. Dalam kriteria EEC prasyarat 2, hal yang
ditekankan adalah fungsi gedung untuk memberikan pembelajaran kepada
penggunanya mengenai kepeduliannya terhadap lingkungan. Maksudnya adalah
gedung harus di desain responsive terhadap kondisi iklim dan lahan setempat
agar pengguna gedung dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada sesuai
dengan kebutuhannya. Contohnya dalam penggunaan energi dan air, pengguna
gedung akan menggunakan energi dan air yang berlebihan jika sejak awal desain
gedung tidak di desain dengan tepat. Bayangkan jika pemborosan itu terjadi
terus-menerus pada fasa operasional dan pemeliharaan gedung yang merupakan
fasa terpanjang dalam daur hidup gedung, pasti akan memberikan dampak yang

12
signifikan terhadap lingkungan.
Untuk mengatasinya, kita bisa menggunakan desain pasif untuk
membangun sebuah gedung. Desain pasif adalah desain yang memanfaatkan
sumber daya alam secara langsung tanpa bergantung pada peralatan mekanik dan
elektrik dengan memanfaatkan selimut bangunan gedung. Selimut bangunan
gedung berfungsi sebagai pengendali kontak antara kondisi luar dengan kondisi
di dalam gedung dengan cara mencegah elemen eksternal yang tidak diinginkan
masuk ke dalam gedung. Dalam hal ini, proporsi jenis material transparan dan
masif berdasarkan orientasi, luas permukaan, serta kemampuan konduksi dan
radiasi bangunan harus tepat untuk menghindari panas yang masuk namun tetap
menghasilkan penerangan alami ke dalam ruang secara optimal.
Perhitungan proporsi berdasarkan orientasi, luasan, kemampuan konduksi
dan radiasi serta ini bisa diukur dengan menghitung nilai perpindahan panas atau
Overall Thermal Transfer Value (OTTV). Pihak desainer atau arsitek harus lebih
memperhatikan mengenai hal ini sehingga desain yang dihasilkan tidak hanya
indah secara estetika, namun juga ramah lingkungan dan dapat memaksimalkan
penggunaan sumber daya alam yang ada.
Begitulah kira-kira kriteria EEC prasyarat 2 ini yang diharapkan bisa
mengurangi ketergantungan gedung terhadap penggunaan alat mekanik dan
elektrik seperti sistem AC dan penerangan buatan. Dengan begitu, kita bisa
menghemat penggunaan listrik yang juga akan berdampak pada pengurangan
emisi karbon dari pembangkit listrik yang umumnya masih menggunakan
batubara.
Untuk memenuhi kriteria EEC prasyarat 2 ini, perlu dilakukan
penghitungan OTTV berdasarkan SNI 03-6389-2011 atau SNI edisi terbaru
tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung.
2.4.3 Konservasi Air
WAC adalah singkatan dari Water Conservation atau Konservasi Air. Tidak
seperti energi fosil, air adalah sumber daya yang tersedia dalam jumlah banyak
dan bisa diperbarui.
Air bersih diperlukan oleh manusia untuk kebutuhan sehari-hari, baik yang
diminum langsung maupun untuk aktivitas lain seperti mandi, mencuci pakaian,
memasak, bersih-bersih, sampai dengan aktivitas pemeliharaan seperti

13
penyiraman tanaman dalam ruang atau pun irigasi untuk lansekap. Pada dasarnya,
kualitas dan kuantitas air bisa diperbarui secara alami melalui siklus hidrologi.
Namun, akibat ulah manusia yang menggunakan air bersih secara berlebihan dan
pencemaran yang dilakukannya, kualitas air menjadi lebih cepat rusak daripada
kemampuan alam untuk memulihkan kualitas air.
Dalam penilaian green building untuk bangunan baru, kategori konservasi
air atau WAC ini menjadi bagian yang penting karena ditujukan untuk
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penghematan air dan langkah
penghematan air untuk penggunaan air di gedung sejak dari tahap perencanaan
desain.
Kategori WAC untuk bangunan baru dibagi menjadi 6 kriteria penilaian
dengan 2 kriteria prasyarat sebagai berikut:

2.4.3.1 WAC1, Water Use Reductionatau Pengurangan Penggunaan Air


Prinsipnya yaitu berfokus pada pengurangan penggunaan air
untuk mencegah terjadinya krisis air bersih. Krisis air bersih disebabkan
oleh lemahnya pengelolaan air seperti penggunaan air bersih yang yang
tidak efisien. Laju kebutuhan penggunaan sumber daya air tidak lagi
sebanding dengan ketersediaannya sehingga secara kuantitatif,
ketersediaan air akan semakin terbatas. Tidak hanya secara kuantitatif,
dengan lemahnya pengelolaan air, kualitas air pun semakin lama akan
semakin menurun. Hal yang sangat disayangkan adalah kejadian seperti
ini terjadi di gedung-gedung besar yang sudah jelas konsumsi airnya
sangat banyak dan beragam. Penghematan air dapat.
Dilakukan dengan mengurangi penggunaan air dari sumber air
baku yang berasal dari badan air permukaan dan dari bawah tanah.
Penghematan air juga akan memberikan dampak positif terhadap
penggunaan energi dan bahan kimia yang biasanya digunakan untuk
mengolah air bersih yang juga akan berdampak pada berkurangnya biaya
operasional dan pemeliharaan gedung. Tidak berhenti sampai disitu,
dengan menghemat penggunaan air, kita bisa menjaga kelestarian siklus
air alami dan menjaga ketersediaan sumber air bersih.

14
2.4.3.2 WAC2, Water Fixturesatau Fitur Air

Prinsip ini, menekankan pada pemasangan fitur air. Fitur air yang
dimaksud adalah seperti WC flush valve, keran wudhu dan keran
wastafel dengan efisien yang tinggi. Fitur air seperti itu biasanya ditemui
di gedung-gedung besar di mana dalam operasionalnya, gedung secara
umum dirancang untuk memberikan kemudahan dalam aktivitas
penggunanya. Aktivitas yang dimaksud meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan penggunaan air seperti minum, masak, aktivitas
kebersihan dan sebagainya. Utamanya adalah penggunaan air untuk
aktivitas kebersihan yang setelah dihitung ternyata menghabiskan sekitar
sepertiga dari total konsumsi air gedung. Maka dari itu, WAC 1 ini
dititikberatkan pada pemasangan fitur air karena penggunaan air untuk
aktivitas pengguna gedung dipengaruhi oleh faktor pribadi masing-
masing sehingga tidak mudah untuk dikendalikan oleh pengelola gedung,
apalagi dikurangi atau dihindari. Oleh karena itu, solusi terbaiknya
adalah dengan memasang fitur air di dalam gedung. Contoh fitur air yang
dapat digunakan adalah keran air yang menggunakan sensor motorik
pada wastafel. Air akan mengalir saat penggunanya meletakkan tangan
di bawah lubang keran air selama waktu tertentu. Ini adalah contoh
pemasangan fitur air yang sangat efektif karena salah satu kebiasaan
buruk masyarakat kita adalah membiarkan keran air terus-menerus
terbuka padahal tidak digunakan sehingga air terbuang sia-sia. Kebijakan
pemasangan fitur air ini setidaknya dapat membantu mengendalikan
jumlah air yang dikeluarkan oleh pengguna.

2.4.3.3. WAC3, Water Recyclingatau Daur Ulang Air

15
Salah satu permasalahan pada sistem air di sebuah bangunan
adalah banyaknya air kotor (greywater) yang berasal dari aktivitas
manusia serta penggunaan air bersih yang berlebihan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Hal ini tentunya membuat kita mengeluarkan
biaya yang lebih besar dan juga merusak lingkungan. WAC 3 ini muncul
karena masih sedikit gedung yang menerapkan adanya instalasi
pengolahan air kotor menjadi air daur ulang. Padahal air daur ulang bisa
dimanfaatkan untuk banyak hal, seperti irigasi dan suplai air untuk
keperluan flushing. Salah satu faktor yang membuat pengelola gedung
tidak meakukan daur ulang air adalah mereka tidak kesulitan untuk
mendapatkan air bersih dan merasa sumber air seperti air tanah masih
bisa memenuhi kebutuhan air untuk gedung. Sementara tanpa disadari,
ketersediaan air semakin hari semakin menipis karena kebiasaan manusia
yang menggunakan air secara berlebihan. Ada banyak sekali keuntungan
yang bisa diperoleh dengan melakukan instalasi daur ulang air,
diantaranya adalah menjaga kestabilan kualitas dan kuantitas suplai air
bersih, terutama yang berasal dari air tanah. Selain itu, dengan
diterapkannya daur ulang air, maka kebutuhan infrastruktur tambahan
untuk menunjang distribusi dan pengumpulan air dapat dikurangi. Cara
ini sangat menguntungkan baik dari segi lingkungan maupun ekonomi,
tetapi cara ini masih kurang populer di masyarakat.
Maka dari itu, dengan kriteria WAC 3 pada bangunan baru ini,
diharapkan dapat membuka mata masyarakat, minimal pihak pengelola
gedung, untuk memanfaatkan air dari sumber daur ulang air limbah

16
gedung yang dapat digunakan untuk kebutuhan flushing dan cooling
water.

2.4.4 Siklus dan sumber material


Material Resources and Cycle atau Sumber dan Siklus Material yang
selanjutnya disingkat menjadi MRC merupakan salah satu kategori penilaian
dalam green building. Kategori MRC untuk bangunan baru dinilai penting karena
material merupakan bagian dari desain pasif dalam membangun gedung yang
ramah lingkungan. Dalam desain pasif, karakteristik material berperan penting
untuk mendukung efektivitas dan efisiensi kinerja gedung. Hal ini karena untuk
membangun gedung yang ramah lingkungan dibutuhkan material penyusun
dengan sifat dan karakteristik yang juga ramah lingkungan.
Pada dasarnya, material adalah sumber daya yang diolah dan dibentuk
sesuai dengan kebutuhan manusia atau dengan kata lain, kita bisa mengendalikan
proses pembentukan material. Proses pembentukan material harus diperhatikan
karena proses ini, baik selama prosesnya berlangsung maupun saat akhir masa
penggunaan, akan berdampak terhadap kesehatan lingkungan. Tidak hanya itu,
bagaimana cara proses itu berlangsung juga akan menentukan keberlangsungan
ekonomi dan kesejahteraan sosial karena perkembangan industri pembuatan
material mempengaruhi kesejahteraan pekerja dan masyarakat di sekitarnya.
Semua ini merupakan dampak global yang ditimbulkan dari pembuatan material.
Dalam kategori MRC ini, isu yang akan diangkat bukan hanya mengenai
material ramah lingkungan, tetapi juga dampak global yang berkaitan dengan
material. Dengan dibuatnya kategori ini, perkembangan industri material
bangunan gedung di Indonesia diharapkan bisa mendukung pembangunan gedung
ramah lingkungan secara mikro serta ikut berpartisipasi dalam menciptakan
pembangunan berkelanjutan secara makro. Ada 1 kriteria prasyarat dan 6 kriteria
penilaian dalam kategori MRC ini yang kemudian akan dibahas lebih rinci satu
per satu, yaitu:
1. MRC P, Fundamental Refrigerant atau Refrigeran Fundamental
2. MRC 1, Building and Material Reuse atau Penggunaan Gedung dan Material
Bekas
3. MRC 2, Environmentally Friendly Processed Material atau Material melalui

17
Proses Ramah Lingkungan
4. MRC 3, Non-ODS Usage atau Penggunaan Bahan yang tidak Mengandung
BPO
5. MRC 4, Certified Wood atau Kayu Bersertifikat
6. MRC 5, Prefab Material atau Material Pra Fabrikasi
7. MRC 6, Regional Material atau Material Lokal

2.4.4.1 Pentingnya Memenuhi Mrc Prasyarat


MRC prasyarat merupakan kajian yang muncul sebagai akibat dari masih
digunakannya refrigeran dan bahan pemadam kebakaran yang berpotensi merusak
lapisan ozon, yaitu chloro fluoro carbon (CFC) dan halon. Sejak masih duduk di
bangku sekolah dasar kita sudah diberitahu bahwa lapisan ozon berfungsi sebagai
pelindung bumi dari radiasi sinar UV B yang dapat menimbulkan kerusakan mata,
kulit dan bahkan sistem kekebalan tubuh. Sinar UV B juga berpotensi
mengganggu ekosistem hewan ternak dan biota laut.
CFC memiliki karakteristik yang stabil, tidak beracun, tidak mudah
terbakar dan dapat diproduksi dalam skala besar. Sedangkan halon memiliki
karakteristik yang aman untuk manusia, instalasi yang mudah dan mampu bekerja
secara efektif dalam rentang suhu yang panjang serta harganya yang ekonomis.
Dengan karakteristik tersebut, CFC dan halon digunakan sebagai bahan utama
dalam industri refrigeran/kimia dan alat pemadam kebakaran selama bertahun-
tahun sampai akhirnya pada tahun 1970-an ditemukan bahwa CFC dan halon
berpotensi merusak lapisan ozon.
Hasil temuan itu kemudian ditindaklanjuti pada tahun 1981 dalam
Konvensi Vienna dan diperoleh kesepakatan untuk membuat sebuah protokol
(yang kemudian diberi nama Protokol Montreal) yang mengatur produksi dan
konsumsi bahan perusak ozon di setiap negara. Target dari protokol ini adalah
ditiadakannya CFC dan Halon pada tahun 2010 atau 29 tahun sejak diadakannya
Konvensi Vienna.
Di Indonesia sendiri, Protokol Montreal sudah diratifikasi melalui
Keputusan Presiden No. 23 tahun 1992 Pengesahan Vienna Convention for
Protection of The Ozon Layer dan Montreal Protocol on Substances That Deplete
The Ozon Layer as Adjusted and Amended by The Second Meeting of The

18
Parties London, 27-29 June 1990.
Dengan begitu, poin utama dari kriteria MRC prasyarat adalah mencegah
penggunaan CFC sebagai refrigerant dan halon sebagai bahan pemadan
kebakaran. MRC prasyarat ini wajib dipenuhi agar Anda dapat melanjutkan ke
tahap penilaian kriteria utama MRC untuk bangunan baru.

2.4.4.1.1 MRC 1 Building And Material Reuse atau Penggunaan Gedung dan
Material Bekas

Sebagaimana makhluk hidup, gedung pun memiliki batas usia


dan daur hidup yang meliputi tahap konstruki, operasi dan pemeliharaan
serta pembongkaran. Dalam tahap kontruksi dan pembongkaran, gedung
menghasilkan banyak limbah yang berkaitan dengan material bangunan.
Limbah material bangunan tersebut bisa digunakan kembali sebagai
material untuk pembangunan gedung baru jika sejak awal materialnya
dirancang ramah terhadap lingkungan. Isu inilah yang akan diangkat
dalam kriteria MRC 1.
Pemanfaatan material bekas ini bisa meringankan beban
lingkungan dan ekonomi dalam pembongkaran gedung lama dan
pembangunan gedung baru. Dari segi lingkungan, penggunaan material
bekas berdampak pada penghematan sumber daya yang digunakan untuk
produki material baru. Sedangkan dari segi ekonomi, pihak pembangun
bisa menurunkan biaya konstruksi karena biaya yang dikeluarkan untuk
membeli material bekas lebih rendah daripada material baru, bahkan ada
material bekas yang bisa diperoleh secara cuma-cuma. Tidak hanya itu,
jika kesempatan ini bisa dimanfaatkan lebih baik, perekonomian
masyarakat pun akan menjadi lebih baik karena terbukanya peluang
bisnis jual beli material bekas.

19
Sumber utama dari material bekas adalah gedung lama yang
usianya sudah habis atau memang sengaja dibongkar. Jika proyek
pembangunan baru berada di lahan yang telah memiliki gedung lama,
dibutuhkan selektivitas yang tinggi dalam mengindentifikasi material
bekas yang dapat digunakan kembali. Apalagi jika lahan yang akan
dibangun adalah lahan yang harus dilestarikan seperti gedung bersejarah.
Dalam gedung bersejarah, banyak aspek yang harus dipertahankan dan
tujuan dibangun kembali adalah untuk mengubah beberapa komponen
dalam gedung bersejarah tersebut lebih efektif dengan fungsi yang
berbeda. Untuk iti, proses pembongkaran yang terlalu besar harus
dihindari guna menjaga nilai historis yang sengaja dipertahankan sebagai
identitas kawasan tersebut. Selain itu, pembongkaran yang terlalu besar
memang harus dihindari untuk meringankan beban material sisa
pembongkaran ke tempat pembuangan akhir yang dapat mencemari
lingkungan.
Penilaian dalam MRC 1 ini adalah penggunaan material bekas
baik dari bangunan lama maupun tempat lain diharapkan setara atau
minimal 10% dari total biaya material. Material bekas tersebt dapat
berupa bahan struktur utama, fasad, plafon, lantai, partisi, kusen dan
dinding.

2.4.4.1.2 MRC 2 Environmentally Friendly Processed Material atau


Material Melalui Proses Ramah Lingkungan

Munculnya MRC 2 dilatarbelakangi oleh maraknya kasus


ekploitasi sumber daya untuk membuat material yang dinilai tidak
seimbang dengan pemulihan sumber daya dalam daur hidup material.
Disebut ekploitasi karena dalam pembuatan material, terdapat proses

20
ekstraksi bahan mentah yang membutuhkan bahan mentah serta
penggunaan energi dalam jumlah yang banyak. Hal yang dapat dilakukan
untuk menghindari proses ekstraksi ini adalah mengganti material baru
dengan material bekas sehingga tidak perlu melakukan ekstraksi bahan
mentah untuk membuat material baru. Jika memang harus menggunakan
material baru, maka langkah yang dapat dilakukan untuk penghematan
adalah menggunakan sumber daya seminimal mungkin dalam proses
ekstraksi. Opsi lain adalah menggunakan sumber daya terbarukan dalam
proses ektraksi karena sumber daya terbarukan memiliki kemampuan
pemulihan secara alami dan relatif cepat.
Dampak terhadap lingkungan yang signifikan juga dapat terlihat
dari proses produksi karena sama seperti proses ekstraksi, proses industri
membutuhkan sumber daya yang besar juga terutama energi dan air.
Selain isu penggunaan sumber daya berlebihan, proses produksi juga
akan menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan sekitar.
Pencemaran itu akan berdampak buruk terhadap kesehatan dan
kesejahteraan pekerja dan masyarakat sekitar. Untuk mencegahnya, perlu
diberlakukan sebuah Sistem Manajemen Lingkungan atau SML, yaitu
sebuah sistem untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan
efisiensi operasional. Penerapan ini fokus kepada pembuatan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan aksi korektif serta evaluasi
kebijakan sebelumnya.
Untuk itulah disusun MRC 2 agar jejak ekologi dari proses
ekstraksi bahan mentah dan proses produksi material dapat dikurangi.
Dalam penilaian MRC 2, material yang digunakan untuk bangunan baru
setidaknya harus memiliki sertifikat SML, hasil proses daur ulang serta
bahan baku utamanya berasal dari sumber daya terbarukan dengan masa
pemulihan yang cepat

2.4.4.1.3 MRC 3 Non-ODS Usage atau Penggunaan Bahan yang Tidak


Mengandung BPO
Dalam MRC prasyarat telah ditekankan bahwa penggunaan
refrigeran CFC dan bahan pemadam kebakaran halon harus dihindari.

21
Menghindari CFC dan halon yang berpotensi merusak lapisan ozon
dinilai belum cukup untuk melindungi lapisan ozon. Oleh karena itu
muncul MRC 3 merupakan kelanjutan dari MRC prasyarat. MRC 3 akan
fokus pada penggunaan bahan yang tidak mengandung Bahan Perusak
Ozon (BPO).
Bahan refrigerasi sistem pendingin HCFC dinilai berpotensi
merusak ozon, meskipun dampaknya tidak sebesar CFC. Potensi
kerusakan yang ditimbulkannya pun hanya sebesar 4% untuk HCFC-22
dan 2% untuk HCFC-123. Namun, Protokol Montreal sebelumnya telah
menyatakan akan melindungi lapisan ozon dari kerusakan sekecil apapun
sehingga HCFC tetap menjadi target substansi yang harus dihapus (phase
out) seperti CFC. Proses penghapusan HCFC secara menyeluruh
ditargetkan selesai pada tahun 2030.
Di Indonesia, proses penghapusan HCFC ini tertuang dalam
program HCFC Phase Out Management Plan (HPMP). Indonesia tidak
temasuk ke dalam daftar negara produsen HCFC, tapi hanya sebagai
konsumen sehingga regulasi penghapusan HCFC yang disusun oleh
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI difokuskan pada industri
yang menggunakan HCFC.
Dalam hal ini, kebijakan yang diberikan pemerintah kepada
industri lokal pengguna HCFC dalam sistem pendinginnya adalah dana
insentif dari Montreal Protocol Fun untuk menyesuaikan produknya
dengan refrigeran substitusi (non HCFC). Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi untuk refrigeran substitusi, yaitu tidak memiliki potensi
merusak ozon sama sekali (potensi merusak ozon = 0), aman, dapat
meningkatkan efisiensi energi dan potensi mengakibatkan pemanasan
global kecil. Sedangkan untuk industri asing, kebijakan yang diberikan
oleh pemerintah adalah memberi disentif berupa larangan dan sangsi
jikan aktivitas impor sistem refrigeran masih menggunakan HCFC.
Penilaian dalam kriteria MRC 3 ini adalah refrigeran yang
digunakan pada seluruh sistem pendingin gedung baru harus memiliki
nilai potensi perusakan ozon sama dengan nol atau tidak merusak sama
sekali.

22
2.4.4.1.4 MRC 4 Certified Wood atau Kayu Bersertifikat

Dalam membangun bangunan baru, salah satu material yang


digunakan adalah bahan baku kayu. Namun, seringkali ditemukan bahan
baku kayu yang didapatkan secara ilegal, yaitu kayu yang diperoleh
tanpa izin dan merusak hutan. Hutan sejatinya adalah habitat alami bagi
hewan dan tumbuhan yang hidup di sekitarnya. Banyak hewan dan
tumbuhan langka di dalam hutan yang perlu dilestarikan untuk menjaga
keanekaragaman hayati. Hutan juga berperan sebagai paru-paru kawasan
dan menjaga air tanah. Apa jadinya jika hutan dirusak oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggungjawab? Dampaknya akan sangat buruk
bagi lingkungan dan lebih luasnya lagi bagi keberlangsungan hidup
manusia. Atas dasar itulah muncul MRC 4 yang menekankan pada
pentingnya menggunakan kayu bersertifikat sebagai bahan baku dalam
pembangunan bangunan baru.
Industri bangunan gedung saat ini masih belum bisa terlepas dari
bahan baku kayu karena kayu memiliki nilai estetika dan sifatnya yang
ramah lingkungan. Kayu termasuk dalam material dari sumber daya
terbarukan dan mudah diuraikan pada akhir masa pakainya. Namun,
selama cara mendapatkan kayu itu tidak baik, yaitu dengan cara
ekstraksi, maka aspek ramah lingkungan tersebut tidak bisa dicapai.
Eksploitasi dan konversi hutan masih lebih banyak terjadi
dibandingkan konservasi hutan. Hal ini karena ekspoloitasi dan konversi
pepohonan menjadi kayu memiliki pasar yang menggiurkan sehingga
dapat memberi nilai ekonomis, berbeda dengan konservasi hutan yang
dianggap tidak menghasilkan banyak rupiah dan dinilai merepotkan.
Padahal, jika konservasi hutan diabaikan, kesejahteraan manusia di masa
sekarang dan masa mendatang akan menurun yang akan berdampak juga

23
pada kehancuran ekonomi masyarakat. Jadi, konservasi hutan lah yang
justru harus lebih diutamakan demi menjaga keseimbangan lingkungan,
ekonomi dan sosial masyarakat secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, MRC 4 ini dibuat dengan harapan kayu yang
digunakan dalam pembangunan bangun baru memiliki sertifikat yang
legal sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang asal kayu dan sah
terbebas dari perdagangan kayu ilegal.

2.4.4.1.5 MRC 5 Prefab Material atau Material Pra Fabrikasi

Sektor konstruksi berperan sebagai salah satu barometer


pertumbuhan ekonomi yang cukup penting dalam pembangunan
nasional. Sektor konstruksi harus bisa mengakomodasi pembangunan
berkelanjutan sebagai tantangannya. Inovasi di berbagai aspek dapat
dilakukan untuk mendukung perkembangan perkembangan sektor
konstruksi, diantaranya keahlian tenaga kerja, jenis material dan
manajemen. Hal yang akan ditekankan dalam MRC 5 ini adalah aspek
material, khusunya material pra fabrikasi untuk mengembangkan sektor
konstruksi ke arah yang lebih baik.
Material pra fabrikasi adalah material yang sebagian besar proses
konstruksinya dilakukan di pabrik dengan desain ryang dibuat secara
rinci sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan desain yang dibuat secara
rinci, proses pemasangan di lapangan akan lebih cepat karena hanya
dibutuhkan proses instalasi per komponen serta tidak akan menghasilkan
sampah konstruksi. Hal ini akan berdampak positif pada penghematan
biaya katena terjadi efisiensi sumber daya dan waktu. Konstruksi dengan
menggunakan metode pra fabrikasi telah terbukti bisa menghemat hingga
10% tenaga kerja dan 25% waktu kerja.

24
Untuk mendukung kelancaran penggunaan material fabrikasi,
diperlukan desain yang terintegrasi atau holistik dalam pekaksanaannya.
Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya ketidaksesuaian di
lapangan yang mungkin terjadi antara arsitektur dan material struktur
dengan komponen mekanikal dan elektrikal. Dengan begitu, material pra
fabrikasi bisa dimanfaatkan secara optimal dan menghasilkan konstruksi
yang berkelanjutan.
Syarat untuk memenuhi penilaian MRC 5 adalah desain yang
menggunakan material modular atau pra fabrikasi minimal sebesar 30%
dari total biaya material. Diharapkan dengan adanya kriteria MRC 5 ini
bisa meningkatkan efisiensi dalam penggunaan material serta
mengurangi sampah konstruksi dalam perancangan dan pembangunan
bangunan baru.

2.4.4.1.6 MRC 6 Regional Material atau Material Lokal

Moda transportasi yang digunakan dalam proses pembangunan


bangunan baru masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
bahan bakar fosil. Dampak yang ditimbulkan dari ketergantungan ini
adalah meningkatnya polusi udara yang berasal dari emisi gas karbon.
Jika dibiarkan terus menerus, kualitas kesehatan akan menurun dan juga
menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. MRC 6 hadir sebagai respon
atas isu ini.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas karbon
yang dihasilkan oleh moda transportasi adalah mengganti bahan bakar
fosil dengan bahan bakar yang lebih bersih. Selain itu, dapat dilakukan
juga upaya manajemen mobilitas (mobility management). Melalui
manajamen mobilitas, aktivitas konstruksi bangunan gedung dapat turut

25
memberikan kontribusi dalam menekan emisi karbon dari moda
transportasi.
Dalam manajemen mobilitas, salah satu yang bisa dikendalikan
adalah jarak. Hal ini bisa diterapkan dalam proses pengadaan material
bangunan dengan menjadikan jarak sebagai salah satu aspek
pertimbangan yang dianggap cukup penting. Semakin pendek jarak yang
ditempuh, maka moda transportasi akan mengonsumsi bahan bakar yang
lebih rendah sehingga emisi gas karbon yang dihasilkannya pun akan
lebih sedikit. Dampak positif lain yang juga dapat dirasakan secara
langsung adalah penghematan biaya angkut material.
Untuk itu, pada kriteria MRC 6 ini targetnya adalah penggunaan
material yang lokasi asal bahan baku utama dan pabrikasinya berada
dalam radius 1000km dari lokasi proyek minimal 50% dari total biaya
material. Selain itu, material yang berasal dari wilayah Indonesia
minimal 80% dari total biaya material. Dengan begitu, jejak karbon dari
moda transportasi untuk distribusi pada bangunan baru tersebut dapat
dikurangi.

2.4.5 Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan
kenyamanan udara
Melakukan introduksi dengan udara luar merupakan kriteria prasyarat.
Tujuannya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan
dengan melakukan introduksi udara luar sesuai dengan kebutuhan laju ventilasi
untuk kesehatan pengguna gedung. Menurut buku Panduan Penerapan
GREENSHIP versi 1.0 yang diterbitkan Green Building Council Indonesia, aspek
IHC sendiri memiliki satu pra-syarat dan tujuh variabel, yaitu :
1. Outdoor Air Introduction
Suatu kantor membutuhkan kebutuhan udara luar sebesar 0,15 m3
/menit/orang sampai 0,6 m3 /menit/orang. Menurut ASHRAE std. 62.1 – 2007
kebutuhan udara luar di kantor sebesar 5 cfm/orang. Untuk mencapai kebutuhan
yang ditetapkan, diharuskan ada bukaan atau sistem ventilasi yang baik. Ventilasi,
terutama ventilasi alami merupakan berupa jendela, kisi-kisi, atau bukaan lain
yang dapat mengalirkan udara.

26
2. CO2 monitoring
Sumber utama karbon dioksida (CO2) di gedung perkantoran berasal dari
respirasi penghuni bangunan. Konsentrasi CO2 yang tinggi dapat membuat
konsentrasi O2 berkurang sehingga menyebabkan kesulitan bernapas hingga
keracunan pada penggunanya. Peningkatan kadar CO2 dalam ruangan juga
berdampak terhadap peningkatan prevalensi dari satu atau lebih gejala sick
building syndrome (SBS), berupa sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung dan
gangguan saluran pernapasan (Seppanen et, al, 1999).
3. Environmental Tobacco Smoke Control
Menurut First, lingkungan berasap rokok atau Environmental Tobacco
Smokes (ETS) adalah campuran asap side stream dan asap mainstream.
Berdasarkan perkiraan sekitar 50% asap mainstream perokok dikeluarkan.
Lingkungan berasap rokok ini telah diketahui menimbulkan pengaruh terhadap
kenyamanan dan kesehatan manusia yang berada di dalamnya.
4. Chemical Pollutant
Penggunaan material-material seperti cat, coating, olahan kayu, styrofoam,
mercury dan asbes mempunyai dampak terhadap kesehatan penghuni bangunan
tersebut.Sebagian besar material-material yang digunakan dalam suatu bangunan
mempunyai zat-zat kimia yang berbahaya bagi manusia. Sebagian besar
mempunyai VOCs (volatile Organic Compounds) yang berbahaya bagi kesehatan.
Sejumlah penelitian menunjukkan kadar VOCs di dalam ruang lebih tinggi 40%
dibanding VOCs diluar ruangan.
5. Outside View
Kontinuitas visual antara ruang dalam dan ruang luar sangat dibutuhkan
oleh penghuni gedung. Secara psikologis, penghuni gedung memerlukan rasa
aman dengan sesekali melihat cuaca, kondisi lalu lintas dan akitivitas lain yang
ada di luar gedung tersebut. Secara fisiologis, pemandangan luar gedung dapat
memberikan relaksasi mata yang kelelahan akibat aktivitas di dalam
ruangan.Selain itu, terdapat hubungan antara kurangnya jendela di tempat kerja
dengan penghuni yang mengalami ketidakpuasan, perasaan isolasi, depresi,
klaustrofobia, pembatasan, dan ketegangan.
6. Visual Comfort
Menurut Suma’mur dan Manuaba, penerangan merupakan faktor

27
lingkungan yang sangat perlu diperhatikan karena banyak pengaruhnya terhadap
kelelahan mata dalam bekerja. Kelelahan otot dan saraf mata sebagai akibat dari
tegangan yang terus-menerus pada mata memang tidak menyebabkan kerusakan
permanen pada mata, namun menambah beban kerja dan mempercepat kelelahan.
Kondisi tersebut mengakibatkan produktivitas penghuni gedung terganggu,
ditunjukkan oleh meningkatnya frekuensi kesalahan dan gangguan konsentrasi.
Oleh karena itu, penerangan yang baik sangat penting agar pekerjaan dapat
dilakukan dengan benar dan dalam situasi yang nyaman.
7. Thermal Comfort
Penelitian Karyono mengatakan bahwa, Indonesia, terutama Jakarta,
mempunyai suhu rata-rata minimum sebesar 23°C dan maksimum sebesar 33°C
serta kelembaban rata-rata relatif sekitar 69 sampai 90%. Berdasarkan penelitian
oleh Ellis tahun 1953 di Singapura, suhu yang efektif dan nyaman bagi orang-
orang yang tinggal di Asia Tenggara adalah tak lebih dari 78°F (25,53°C) dan tak
kurang dari 73°F (22,76°C) dan kelembaban menurut penelitian Webb tahun 1950
di Singapura adalah 70%. Oleh karena itu diambil rat-rata bahwa suhu yang
nyaman adalah 25°C dan kelembaban 60%.
8. Acoustic Level
Menurut Hodgson tingkat kebisingan yang tinggi dapat menyebabkan
kekesalan, elelahan, stress dan mengganggu efisiensi dan produktivitas kerja.
Tingkat kebisingan yang pas dapat membuat penghuni banguan nyaman, bebas
dari gangguan dan bagus dalam berkomunikasi.

2.4.6 Manajemen lingkungan bangunan / building and environment


management (BEM)
Ruang lingkup manajemen lingkungan bangunan mencakup pengelolaan
sumber daya melalui rencana operasional konsep yang berkelanjutan, kejelasan
data dan penanganan sejak dini untuk membantu pemecahan masalah, termasuk
manajemen sumber daya manusia dalam penerapan konsep bangunan hijau.
Pihak-pihak ahli bangunan yang terlibat dalam perencanaan teknis serta
pelaksanaan dan pengawasan konstruksi harus mampu untuk menjaga koordinasi
dan sinergi agar keberhasilan konsep bangunan hijau terwujud. Kerjasama tim
yang solid dalam proyek ini diperlukan sejak tahap perencanaan teknis hingga

28
penyusunan petunjuk pemanfaatan bangunan gedung.
Pentingnya sumber daya manusia juga ditekankan dalam kategori ini
karena tiap manusia memiliki perbedaan dalam cara dan standar kerja, apalagi di
Indonesia yang standar pendidikannya belum merata. Oleh karena itu, diperlukan
standar atau kriteria khusus dalam memilih sumber daya manusia untuk proyek
keberlangsungan bangunan hijau. Selain itu, dalam pengoperasian bangunan
hijau, diperlukan standar manajemen yang terencana dan baku agar tercipta
praktik ramah lingkungan (green performance) selama masa operasional gedung.
Selain itu, dalam pengoperasian bangunan hijau, diperlukan standar manajemen
yang terencana dan baku agar tercipta praktik ramah lingkungan (green
performance) selama masa operasional gedung. Kategori BEM untuk bangunan
baru terbagi menjadi 1 kriteria prasyarat dan 7 kriteria penilaian utama, yaitu:

1. BEM P, Basic Waste Management atau Manajemen Dasar Sampah

2. BEM 1, GP as a Member of Project Team atau GP Sebagai Anggota Tim


Proyek

3. BEM 2, Pollution Of Construction Activity atau Polusi dari Aktivitas


Konstruksi

4. BEM 3, Advanced Waste Management atau Pengelolaan Sampah Tingkat


Lanjut

5. BEM 4, Proper Commissioning atau Sistem Kommisioning yang Baik dan


Benar

6. BEM 5, Submission Green Building Data atau Penyerahan Data Bangunan


Hijau

7. BEM 6, Fit Out Agreement atau Kesepakatan dalam Melakukan Aktivitas Fit
Out

8. BEM 7, Occupant Survey atau Survei Pengguna Gedung

29
2.4.6.1 Pentingnya memenuhi BEM prasyarat
Sama seperti kategori lainnya, kriteria prasyarat dalam kategori BEM
diperlukan sebagai syarat untuk masuk ke dalam kriteria utama BEM. BEM
prasyarat hadir sebagai akibat dari bentuk sampah yang semakin beragam dan
rendahnya kesadaran pengguna gedung untuk melakukan pemilahan sampah
yang menyebabkan sampah dalam berbagai bentuk menjadi tercampur,
ditambah dengan lahan tempat pembuangan akhir atau TPA yang semakin
sempit.
Sampah yang berasal dari kawasan komersial, fasilitas umum dan
sebagainya termasuk ke dalam jenis sampah rumah tangga. Sampah jenis ini
dihasilkan dari aktivitas sehari-hari manusia, maka hal yang dapat kita lakukan
adalah mengurangi sampah yang dihasilkan dari aktivitas kita sehari-hari. Hal
lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi penumpukan sampah di TPA
salah satunya adalah dengan cara melakukan daur ulang sampah.
Untuk mempermudah proses daur ulang sampah, langkah pertama
yang bisa kita lakukan adalah melakukan pemilahan sampah. Pemilahan
sampah merupakan cara yang sangat mudah dilakukan, hanya saja butuh
kesadaran setiap orang untuk disiplin melakukan pemilahan sampah. Di dalam
bangunan gedung, pengelola gedung dapat memfasilitasi pengguna gedung
untuk memilah sampah dengan cara menyediakan tempat sampah terpisah
antara tempat sampah organik dan anorganik. Penyediaan tempat sampah
terpisah ini mengacu pada konsep 3R (Reuse, Reduce, Recycle).
Dengan melakukan pemilahan sampah, maka proses identifikasi
sampah yang dapat didaur ulang maupun yang dapat digunakan kembali dapat
dilakukan. Pihak pengelola gedung sebagai bagian dari pemilik gedung juga
bisa menjadikan sampah sebagai sumber daya, misalnya menekan biaya
pembelian bahan baru dengan menggunakan sampah yang masih dapat
digunakan kembali atau hasil daur ulang; ataupun dapat menjual sampah
tersebut kepada pihak yang membutuhkan sehingga menghasilkan pendapatan
tambahan. Selain itu, penghuni gedung akan terhindar dari penyakit yang
berpotensi ditimbulkan dari pengelolaan sampah yang buruk.
Dalam penilaian green building, syarat yang harus dipenuhi dalam
kriteria BEM prasyarat ini adalah mengadakan instalasi pemilahan dan

30
pengumpulan sampah rumah tangga berdasarkan jenis organik, anorganik, dan
B3.

2.4.6.2 BEM 1 GP as a Member of Project Team atau GP Sebagai Anggota


Tim Proyek
Lahirnya BEM 1 didasari oleh kesadaran terhadap proses desain
bangunan hijau yang sebaiknya mengintegrasikan keenam aspek yang mulai
dari tapak, energi, konservasi air, kondisi udara dalam ruang, material ramah
lingkungan, dan manajemen lingkungan gedung. Maka dari itu, GP atau
GREENSHIP Professional bisa membantu tim desain dalam proses desain dan
konstruksi agar mencapai target kriteria GREENSHIP. Sehingga
mempermudah pelaksanaan proses sertifikasi bangunan baru.
GP adalah seseorang yang sudah mengikuti pelatihan GREENSHIP dan
memperoleh sertifikasi GREENSHIP, sehingga seorang GP memiliki ilmul
yang cukup untuk menjelaskan kepada tim proyek mengenai buku panduan
perangkat penilaian GREENSHIP NB (New Building). Sejak pertemuan
pertama dengan tim proyek, GP akan menyampaikan konsep perencanaan
bangunan baru dengan menggunakan pendekatan kriteria yang ada pada
GREENSHIP, yaitu konsep yang ramah lingkungan. Dengan begitu, efisiensi
penggunaan material dan sumber daya alam lainnya dapat tercapai sesuai
dengan prinsip keberlanjutan dalam GREENSHIP yang dibuat dengan tujuan
untuk menjaga kualitas lingkungan selama proses perolehan sertifikasi. GP
juga berperan untuk memberikan konsultasi, masukan dan usulan teknologi
atau pelaksanaan yang dapat diimplementasikan untuk mengetahui seberapa
banyak kriteria yang bisa dicapai. Selain itu, dengan kualifikasinya yang sudah
sangat paham mengenai perangkat penilaian GREENSHIP, seorang GP juga
bisa membantu memberikan cara yang tepat untuk memenuhi target yang ingin
dicapai dari perangkat penilaian tersebut. Dengan adanya GP, tindakan dalam
memenuhi kategori yang ingin dicapai bisa dianalisis sejak tahap awal,
sehingga biaya tambahan untuk konstruksi maupun operasional dapat ditekan
seminimum mungkin.
Untuk memperoleh penilaian kriteria BEM 1, sebuah proyek
pembangunan bangunan baru harus melibatkan setidaknya seorang tenaga ahli

31
yang sudah bersertifikasi GREENSHIP Professional (GP) yang berperan
sebagai pemandu proyek hingga bangunan baru mendapatkan sertifikat
GREENSHIP.

2.4.6.3 BEM 2 Pollution Of Construction Activity atau Polusi Dari


Aktivitas Konstruksi

Penerapan konsep ramah lingkungan tidak hanya fokus pada desain


atau perencanaan untuk bangunan baru, tetapi dalam tahap prosesnya juga
harus diterapkan konsep ramah lingkungan. Selama ini, banyak proses
konstruksi yang berjalan tanpa memperhatikan konsep ramah lingkungan yang
menyebabkan timbulnya dampak negatif seperti kebisingan, menurunnya
kualitas udara bersih, menurunnya kuantitas dan kualitas air dan sebagainya.
Selain itu, aktivitas konstruksi juga akan menghasilkan banyak sampah yang
akan membebani TPA karena jumlah limbah yang dihasilkannya tidak
diminimalisasi sejak awal. Oleh karena itu, BEM 2 untuk bangunan baru ini
dibuat agar polusi yang dihasilkan dari aktivitas konstruksi bisa dikurangi.
Sebaik dan se-akurat apapun sebuah desain bangunan hijau, jika
anggota tim pelaksana yang bekerja tidak menerapkan prinsip ramah
lingkungan dalam melakukan segala kegiatannya, maka dampak negatif
terhadap lingkungan yang akan ditimbulkan masih akan tetap terjadi. Oleh
karena itu, kesadaran masing-masing individu pun diperlukan untuk mencapai
target terbangunnya bangunan ramah lingkungan.
Penerapan konsep konstruksi hijau atau green construction akan
meningkat seiring dengan pergerakan bangunan hijau. Green contruction
merupakan sebuah gerakan konstruksi ramah lingkungan untuk mencapai
pembangunan gedung yang berkelanjutan. Semua pihak dapat berpartisipasi

32
dalam green construction ini, baik itu perusahaan konstruksi, arsitek, sampai
industri, terlepas dari ukuran proyek. Tantangan yang akan dihadapi adalah
perkembangan yang terus berubah sehingga kita harus pandai menyesuaikan
diri dengan perkembangan yang terjadi (adapt to sustain).
Untuk memenuh kriteria BEM 2, penilaian akan dikakukan dengan cara
menghitung dan memperkirakan hasil buangan dari aktivitas konstruksi, yaitu
limbah cair dan limbah padat. Kriteria BEM 2 ini diharapkan memiliki rencana
manajemen sampah konstruksi untuk limbah padat dan cair, sehingga dapat
mendorong pengurangan sampah yang dibawa ke TPA dan polusi dari proses
konstruksi.

2.4.6.4 BEM 3 Advanced Waste Management atau Pengelolaan Sampah


Tingkat Lanjut

Pengelolaan sampah tingkat lanjut diperlukan untuk mengurangi beban


pembuangan ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Peran berbagai pihak dalam mengurangi volume
sampah sangat penting dalam hal ini, baik pemerintah maupun masyarakat.
Dalam sebuah gedung, langkah awal yang dapat dilakukan oleh pengelola
gedung untuk mengurangi volume sampah adalah menyediakan pengolahan
terpadu mulai dari pemilahan sampah organik dan anorganik sampai mendaur
ulang sampah.

Sampah organik dapat didaur ulang menjadi kompos yang memiliki


nilai ekonomis dan manfaat untuk lingkungan. Dari segi lingkungan, proses

33
pengomposan mendorong produksi mikro-organisme (terutama bakteri dan
jamur) yang dapat menghasilkan humus melalui bahan organik, yang juga
membantu untuk mempertahankan kelembaban tanah. Kompos juga telah
terbukti dapat mengurangi penyakit tanaman sehingga kebutuhan penggunaan
pupuk kimia dapat berkurang. Kebutuhan akan penggunaan air, pupuk, dan
pestisida dapat berkurang jika menggunakan kompos hasil pengolahan limbah
tersebut. Sementara dari segi ekonomi, biaya untuk pembuangan sampah ke
TPA akan berkurang secara signifikan dan tidak hanya itu, jika pemilik
memutuskan untuk juga menjual kompos tersebut ke pihak lain, tentu saja akan
menghasilkan pemasukan tambahan untuk pemilik. Sampah anorganik pun
yang notabenenya sulit untuk diuraikan bisa dimanfaatkan dengan cara didaur
ulang. Sama halnya dengan sampah organik, daur ulang sampah anorganik pun
memiliki nilai ekonomis dan manfaat untuk lingkungan. Sampah anorganik
seperti plastik bisa didaur ulang menjadi bijih plastik untuk digunakan kembali
sebagai bahan baku pembuatan plastik. Selain itu, dengan sentuhan tangan
yang kreatif, limbah plastik dapat dijadikan produk kerajinan dengan nilai jual
yang cukup tinggi. Dengan begitu, beban lingkungan untuk menguraikan
sampah anorganik pun akan berkurang dan menghasilkan juga nilai ekonomis.
Untuk memenuhi penilaian BEM 3 ini, diperlukan desain untuk
pengolahan limbah organik maupun anorganik bangunan baru yang dilakukan
secara mandiri maupun bekerjasama dengan pihak ketiga sehingga menambah
nilai manfaat dan dapat mengurangi dampak lingkungan.

2.4.6.5 BEM 4 Proper Commissioning atau Sistem Komisioning yang


Baik dan Benar

Gedung pada dasarnya merupakan sebuah produk yang berasal dari


perakitan berbagai material yang belum tentu cocok satu sama lain. Oleh

34
karena itu, untuk memastikan semua sistem berjalan dengan baik, perlu
diadakan proses komisioning gedung baru. Menurut ASHRAE, komisioning
merupakan proses yang berorientasi pada kualitas untuk mencapai,
memverifikasi, dan mendokumentasikan bahwa kinerja fasilitas, sistem, dan
rakitan memenuhi tujuan dan kriteria sesuai dengan perencanaan pada design
intent (tujuan desain) atau owner’s project requirement (keinginan pemilik
gedung) sehingga komisioning dapat membantu pemilik gedung untuk
memulai siklus hidup bangunan pada produktivitas optimal. Kriteria BEM 4
ini dibuat agar proses komisioning pada bangunan baru dilakukan dengan baik
dan benar.
Dalam pelaksanaannya, jika sesuai dengan proper test &
commissioning (TC), kegiatan komisioning berpotensi besar untuk melakukan
penghematan, mulai dari pengurangan biaya operasional dan efisiensi energi.
Keterlibatan tim komisioning sejak tahap desain dan perencanaan dan pada
tahap konstruksi, secara tidak langsung menjadikan peluang terjadinya
perubahan desain berkurang, sehingga biaya tambahan akibat perubahan
desain bisa dihindari. Selain itu, hal-hal seperti kesalahan terkait dengan
pemesanan peralatan HVAC, maupun kesalahan proses instalasi alat atau
sistem dapat dihindari.
Komisioning merupakan awal dari serangkaian kegiatan pemeliharaan
yang dapat mencegah terjadinya kerusakan alat, memperpanjang umur alat,
dan juga mengupayakan optimasi kinerja alat. Pelaksanaan komisioning yang
baik dan benar juga akan meningkatkan produktivitas pengguna gedung,
misalnya karyawan, melalui peningkatan kualitas dari kesehatan udara dalam
gedung (indoor air quality) sebagai hasil dari komisioning yang dilaksanakan
dengan baik. Kriteria BEM 4 untuk bangunan baru ini memerlukan proses
komisioning yang sesuai dengan petunjuk GBC Indonesia dan memastikan
seluruh measuring adjusting instrument telah terpasang pada saat konstruksi
dan sesuai dengan desain yang telah ada.

2.5 Tantangan Penerapan 6 prinsip Green Building di Area Perkotaan


Menurut Chau dkk (2013), tantangan bangunan hijau dapat dibagi dalam 3
kategori yaitu:

35
1. Tantangan Terkait Komoditas
 Kurangnya perhatian publik terhadap bangunan hijau
 Kesenjangan pengetahuan pada perhitungan pengembangan bangunan hijau
 Resiko dan ketidakpastian dalam membangun bangunan hijau
 Kurangnya pendanaan dalam membangun bangunan hijau
 Ketidakpastian manfaat yang dapat diukur dalam mewujudkan bangunan hijau
2. Tantangan Perilaku Organisasi dan Pribadi
 Kurangnya insentif bagi para investor untuk berinvestasi pada bangunan hijau
 Kurangnya pengetahuan teknis dari anggota tim proyek tentang bangunan
hijau
 Kurangnya komitmen dari pimpinan administrasi untuk melindungi
lingkungan
 Kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan dan administrator
 Resistensi terhadap perubahan untuk membangun bangunan hijau
3. Tantangan Terkait Proses
 Kurangnya penetapan persyaratan yang dapat diukur pada bangunan hijau
 Kurangnya komunikasi antar anggota tim proyek dalam membangun bangunan
hijau
 Keraguan informasi tentang metode bangunan berkelanjutan
 Ketidak tersediaan produk yang bersifat hijau di area sekitar

2.6 Studi kasus


Contoh Penerapan 6 Prinsip Green Building Pada Bangunan di Kota Kendari
Private Medical Care Center (PMCC) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Kendari.

Gambar, Private Medical Care Center (PMCC)

36
Sumber: google maps

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari ini di dirikan sejak tahun 1927 dan gedung
PMCC RSUD Kota Kendari dibangun sejak tahun 2014, merupakan rumah sakit umum
daerah yang berlokasi di Jl. Z.A. Sugianto No. 39., Kambu, Kec. Kendari, Kota Kendari,
Sulawesi Tenggara dengan jam operasional 24 jam. RSUD Kota Kendari awalnya terletak di
kota Kendari, tepatnya di Kelurahan Kandai Kecamatan Kendari dengan luas lahan 3.527
M2 dan luas bangunan 1.800 M2. Dilansir dari Sultra Antara News, Pemerintah Kota Kendari
akan menjadikan bangunan PMCC RSUD Kota Kendari sebagai percontohan gedung ramah
lingkungan atau bangunan hijau (green building).
Greenship merupakan sistem rating bangunan hijau di Indonesia yang disusun oleh
Green Building Council Indonesia (GBCI). Pada identifikasi ini menggunakan greenship
gedung terbangun versi 1.1. sebagai dasar penilaian pada Gedung PMCC RSUD Kota
Kendari. Terdapat enam kriteria utama yang akan dibahas yakni tepat guna lahan, efisiensi
dan konservasi energi, konservasi air, sumber material dan daur ulang, kesehatan dan
kenyamanan ruang, serta manajemen lingkungan dan bangunan.
a. Tepat Guna Lahan
Community Accessibility
Di sekitar Gedung PMCC RSUD Kota Kendari terdapat 11 fasilitas umum dalam
jarak pencapaian jalan utama sejauh 500 m dari tapak. Belum ada fasilitas halte/stasiun
transportasi umum. Halte terdekat dengan PMCC RSUD Kota Kendari yakni halte
Rumah Sakit yang berada di bagian depan bangunan dengan jarak sekitar 300 meter
dari gedung VIP nya
Motor Vehicle Reduction
PMCC RSUD Kota Kendari memberlakukan diskriminasi tarif parkir bagi
pengguna kendaraan bermotor sebagai bentuk pengurangan jumlah kendaraan bermotor
dan telah memiliki fasilitas parkir sepeda yang diletakan di area Terrace lantai ground
floor, namun jumlahnya belum memenuhi standar kebutuhan yang telah ditentukan.
Site Landscaping
Luas total lahan Gedung PMCC RSUD Kota Kendari yakni 4,7 hektar, luas area
softscape dalam yang terdiri dari ruangan VIP berjumlah 12 kamar dengan luas 652
meter persegi, ruang VVIP berjumlah 10 kamar dengan luas 315 meter persegi, dan
ruang eksekulif berjumlah 3 kamar dengan luas 325 meter persegi. Ditambah dengan

37
fasilitas penunjang yang meliputi ruang dokter dengan luas 69,8 meter persegi, ruang
dokter dengan luas 58,9 meter persegi serta apotik dengan luas 75,48 meter persegi.
Site Management
Rumah sakit ini memiliki kebijakan tersendiri (SPO) dalam melakukan perawatan
lingkungan tapak.
Building Neighbourhood
PMCC RSUD Kota Kendari menyediakan beberapa unit toilet umum yang
tersebar di ground floor & lantai satu, selain itu terdapat mushola di lantai satu. Pada
lantai tersebut merupakan area publik sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.
b. Efisiensi dan Konservasi Energi
Pada Gedung PMCC RSUD Kota Kendari terdapat KWh meter yang dipasang di
tiap unit ruang untuk mengontrol jumlah pemakaian listrik setiap unitnya. Maintenance
perangkat utilitas AC pada gedung juga rutin dilakukan. Gedung rumah sakit ini
memiliki prosedur cek rutin terhadap semua utilitas bangunan, mulai dari mekanikal,
elektrikal, dan plumbing.
c. Konservasi Air
Gedung PMCC RSUD Kota Kendari belum menggunakan sistem filtrasi yang
menghasilkan air minum (Portable Water), tidak mengkonsumsi air deep well untuk
konsumsi air secara keseluruhan (Deep Well Reduction), dan belum menggunakan
perangkat sanitair yang memiliki fitur auto stop (Water Tap Efficiency). Sehingga pada
kriteria ini, Gedung PMCC RSUD Kota Kendari belum sepenuhnya mengoptimalkan 6
prinsip Green Building pada bangunannya.
d. Sumber Material dan Daur Ulang
Pihak manajemen PMCC RSUD Kota Kendari telah memiliki standar prosedur
operasi, pelatihan dan laporan untuk mengumpulkan dan memilah sampah berdasarkan
jenis organik dan anorganik (Waste Management Practice). Untuk standar prosedur
operasi, pelatihan mengenai pengelolaan limbah B3 (Hazardous Waste Management),
PMCC RSUD Kota Kendari mengikuti peraturan PLH setempat serta tidak ada
penyaluran barang bekas berupa furniture, elektronik dan suku cadang melalui donasi
atau pasar barang bekas oleh pihak PMCC RSUD Kota Kendari (Management of Used
Good).
e. Kesehatan dan Kenyamanan Ruang
Gedung PMCC RSUD Kota Kendari telah menerapkan larangan merokok di dalam

38
bangunan dengan memberikan peringatan serta pemasangan kampanye tertulis berupa
stiker dan edukasi kepada pengguna bangunan (Environmental Tobacco Smoke
Control). Apabila ditemukan adanya pelanggaran pihak rumah sakit akan memberikan
surat teguran ataupun peringatan secara lisan. Pada ruang ballroom, serta ruangan-
ruangan dengan kepadatan tinggi masih belum dilengkapi instalasi sensor CO2 (CO2
and CO Monitoring)
f. Manajemen Lingkungan Bangunan
BEM (Manajemen Lingkungan Bangunan) pada bangunan hijau hanya memiliki 1
persyaratan. Persyaratannya adalah operation & maintenance policy atau kebijakan
operasi dan maintenansi gedung. Pihak manajemen Gedung rumah sakit sudah tentu
memiliki spesifikasi teknis dan manual untuk operasional dan pemeliharaan peralatan
(genset, transportasi dalam gedung, AC dan cooling tower). Contoh rencana operasi dan
maintenansi yang berhubungan dengan pemeliharaan eksterior dan interior adalah
adanya SOP dan rencana perbaikan pemeliharaan gedung secara rutin.

2.7 Konsep Perencanaan Green Building Dalam Menerapkan Ke 6 Prinsip


2.7.1 Tepat Guna Lahan
2.7.2 Efisiensi dan Konservasi Energi
2.7.3 Sumber Material dan Daur Ulang
2.7.4 Sumber Material dan Daur Ulang
2.7.5 Kesehatan dan Kenyamanan Ruang
2.7.6 Manajemen Lingkungan Bangunan

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menggunakan konsep green building tidak perlu mengorbankan kenyamanan dan


produktivitas akibat penghematan energi, green building tidak hanya hemat energi tapi juga
hemat air, melestarikan sumberdaya alam, dan meningkatkan kualitas udara serta pengelolaan
sampah yang baik.
Berdasarkan hasil analisis dan diskusi kami, terdapat enam kriteria utama green

39
building yakni tepat guna lahan, efisiensi dan konservasi energi, konservasi air, sumber
material dan daur ulang, kesehatan dan kenyamanan ruang, serta manajemen lingkungan dan
bangunan. Pertama, aspek tepat guna lahan membahas tentang kebijakan terhadap
pengelolaan tata guna lahan. Kedua, aspek efisiensi konservasi energi juga lahir dan menjadi
penting karena kebutuhan penggunaan energi pada bangunan baru berbeda-beda sejak tahap
konstruksi dimulai sampai operasional dan pemeliharaan. Ketiga, aspek konservasi air atau
WAC menjadi bagian yang penting karena ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya penghematan air dan langkah penghematan air untuk penggunaan air di gedung
sejak dari tahap perencanaan desain. Keempat, aspek siklus dan sumber material merupakan
bagian dari desain pasif dalam membangun gedung yang ramah lingkungan yang dimana
karakteristik material berperan penting untuk mendukung efektivitas dan efisiensi kinerja
gedung. Kelima, aspek kualitas udara yaitu aspek yang berfungsi untuk menciptakan
kenyamanan saat berada di dalam ruang dengan mengatur temperature udara sehingga
ruangan berada pada suhu yang normal. Dan aspek terakhir yaitu aspek keenam, aspek
manajemen lingkungan bangunan berguna untuk melindunggi sekitar bangunan yang
didirikan agar kedepannya tidak tercemar.

3.2 Saran

Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak kesalahan serta masih jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan
segera melakukan perbaikan susunan makalah dengan menggunakan pedoman dari beberapa
sumber dan kritik yang membangun dari pembaca.

40
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional Indonesia. (2011). SNI03-6389-2011 tentang Konservasi Energi


Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung. Diakses pada 20 September, pukul
17.40 WITA.

Fatih, Muhammad. (2012). Pengaruh Aspek Building Environmental Management Terhadap


Biaya Konstruksi Green Building Dibandingkan dengan Conventional Building.
Universitas Indonesia, Depok. Diakses pada 20 September, pukul 17.52 WITA.

Retzlaff, R.C. (2008). “The Use of LEED in Planning and Development Regulation: An
Explanatory Analysis.” Journal of Planning Education and Research. Vol. 3, No. 29,
66-67. Diakses pada 20 September, pukul 17.56 WITA.

Vezolli dan Manzini, 2008, Design for Environmental Sustainability, Springer, London.
Diakses pada 20 September, pukul 19.10 WITA.

Karyono, Tri Harso, 2010, Green Architecture : Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di
Indonesia, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta FuturArc, Green Issues 2009 : Discourse, rd
Application, Imagination, 3 Quarter 2009, Vol 14, PT. Indonesia Printer. Diakses
pada 20 September, pukul 19.32 WITA.

41
Muhtadi, Ridho. 2022. MRC for New Building. https://bangunanhijau.com/gb/new-
building2-0-green-building/mrc nb/#:~:text=Material%20Resources%20and%20Cycle
%20atau, membangun%20gedung%20yang%20ramah%20lingkungan. Diakses pada
24 September 2022 pukul 18.10 WITA.

Muhtadi,2018, 7 “Kriteria BEM (Manajemen Lingkungan Bangunan) untuk New Building”,


https://bangunanhijau.com/gb/new-building2-0-green-building/bem, diakses pada
tanggal 20 september 2022 pukul 18.49 WITA.

Darmanto, Dedy. 2013. Penilaian Kriteria Green Building Pada Gedung Rektorat ITS.
Surabaya: Jurnal Teknik Pomits.

EPA. 2016. Differrent Shades of Green. US: Green Infrastructure Research. Green Building
Council Indonesia. 2016. Greenship Existing Building Version 1.1. Jakarta: GBCI.

Karyono, Tri Harso. 2010. Green Architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di
Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada.

Surahmin, Ilham. 2017. Melihat Kemegahan Gedung PMCC RSUD Kota Kendari.
https://zonasultra.id/melihat-kemegahan-gedung-pmcc-rsud-kota-kendari.html .
Diakses pada 27 September 2022 pukul 16.30 WITA.

Surahmin, Ilham. 2016. Demi Pelayanan Prima, RSUD Kendari Bangun Gedung VIP.
https://zonasultra.id/demi-pelayanan-prima-rsud-kendari-bangun-gedung-vip.html.
Diakses pada 27 September 2022 pukul 16.43 WITA.

Lelemuku. 2019. RSUD Kendari Layani Private Medical Care Center (PMCC).
https://www.lelemuku.com/2019/01/rsud-kendari-layani-private-medical.html .
Diakses pada 27 September 2022 pukul 20.18 WITA.

Green Building Council Indonesia. (2010). Panduan Penerapan Perangkat Penilaian

42
Bangunan Hijau GREENSHIP Versi 1.0. Jakarta: Green Building Council Indonesia.
Wisconsin Department of Health Service. 2011
Pudjiastuti. Kualitas Udara Dalam Ruang. Dirjen PT Depdikbud. 1998 [10] Minnesota
Department of Health. 2010
Green Building Council Indonesia. (2010). Panduan Penerapan Perangkat Penilaian
Bangunan Hijau GREENSHIP Versi 1.0 (hal. 56). Jakarta: Green Building Council
Indonesia.
Green Building Council Indonesia. (2010). Panduan Penerapan Perangkat Penilaian
Bangunan Hijau GREENSHIP Versi 1.0 (hal. 57). Jakarta: Green Building Council
Indonesia.
Karyono, Tri Harso. 1998. Report on Thermal Comfort and Building Energy Studies in
Jakarta-Indonesia. Journal of Elsevier Science, Building Environment.

43

Anda mungkin juga menyukai