Anda di halaman 1dari 1

Luluh

Usiaku sudah tidak muda saat mengetahui semua yang dipendam Ibu keluar merebak
seperti asap tungku perapian. Terlepas dari warnanya yang hitam atau putih, rasanya pedih,
membuat sesak di dadaku. Pantaslah jika selama ini Ibuku hanya mengharap kasih sayang
dari anak sebab tiada lagi harapan tersisa dari lubuk hatinya yang lebur. Semua ini hanya
kamuflase tapi lebih dari cukup untuk membuatku trauma dengan lelaki.

Saat itu, matahari sudah temaram. Ibu menangis di depan kulkas seraya mengutuk
semua anaknya yang asyik masyuk bercanda terbahak-bahak. Maksud kami bukan
menertawakan pernikahan yang terombang ambing nasibnya. Ibu tidak peduli itu. Hatinya
terlanjur sakit. Dihibur ke Mall pun minta lekas pulang ingin kerja lalu istirahat.

Rekreasi penghilang penat bisa berubah menjadi kenangan pilu saat bersama Ibu.
Bermain bersama anak cucu ke pantai lalu makan ikan bakar sambal mendengar deburan
ombak rusak oleh undangan. Janji temu teman. Wajah Ibu sedih, bibir mengomel tak jelas
namun semua yang menyaksikan terpaksa membisu. Sepakat. Pasrah sama supir di depan
kemudi. Memang lebih baik diam saja. Semua telinga sudah lelah mendengar keluhan dan
cemooh beradu.

Sikap Ibu seperti ini membuatku sempat mencari sosok keibuan dari wanita lain.
Utamanya wanita milik pasangan hidupku.

Anda mungkin juga menyukai