Anda di halaman 1dari 12

PAPER ILMU PEMERINTAHAN

SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI

Oleh:

Kelompok 3

Ja’far Zhodik 2221609015

Ahmad Mulkan Nur 2221609097

PENDAHULUAN

Pemerintahan daerah, sebagai bagian integral dari struktur pemerintahan suatu negara,
didasarkan pada konsep dasar sentralisasi dan desentralisasi yang memainkan peran kunci
dalam penyelenggaraannya. Sentralisasi, yang mencirikan pemusatan kewenangan
pemerintahan pada Pemerintah Pusat, berbanding terbalik dengan desentralisasi yang
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Desentralisasi menjadi asas utama
dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengingat kondisi geografis, kompleksitas
perkembangan masyarakat, dan tuntutan demokratisasi yang tidak dapat dipenuhi melalui
sentralisasi.

Desentralisasi, sebagai tujuan utama, bertujuan memberikan kewenangan seoptimal mungkin


kepada pemerintah daerah agar dapat merencanakan dan melaksanakan urusan
pemerintahannya sendiri. Meskipun sentralisasi dianggap sebagai instrumen terbaik untuk
pengambilan keputusan terpusat, desentralisasi memberikan kekuasaan untuk membuat
keputusan pada unit-unit yang otonom.

Paper ini akan membahas secara mendalam peran sentralisasi dan desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta implikasinya terhadap pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat. Dengan merinci konsep dasar, tujuan, dan perbandingan antara
sentralisasi dan desentralisasi, paper ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang bagaimana dua konsep ini berinteraksi dalam konteks pemerintahan
daerah.
PEMBAHASAN

A. Sentralisasi
Negara kita berada dalam bentuk negara kesatuan, di mana kedaulatan negara
bersifat tunggal. Ini berarti tidak ada entitas pemerintahan di dalamnya yang memiliki
kedaulatan sendiri. Menurut Penjelasan UUD 1945, Indonesia tidak akan memiliki
daerah yang memiliki status “staat” atau negara di dalam wilayahnya. Dalam konteks
negara kesatuan, kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik
Indonesia tidak akan terbagi di antara unit pemerintahan seperti yang terjadi dalam
negara federal atau serikat. Kesatuan pemerintahan di luar pemerintah tidak memiliki
“pouvoir constituant” atau kekuasaan untuk membentuk UUD/UU dan struktur
organisasinya sendiri, merupakan perbedaan utama dengan negara federal. Sementara
negara federal adalah entitas majemuk di mana setiap negara bagian memiliki
kekuasaan untuk membentuk UUD/UU, negara kesatuan tetap sebagai negara tunggal
Indonesia merupakan negara kesatuan, di mana kedaulatan negara bersifat tunggal.
Dalam konteks negara kesatuan, tidak terdapat kesatuan pemerintahan di dalamnya
yang memiliki kedaulatan. Menurut Penjelasan UUD 1945, Indonesia tidak akan
memiliki daerah di dalam lingkungannya yang bersifat "staat" atau sebagai negara.
Dalam negara kesatuan, kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara
Republik Indonesia tidak terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan seperti
pada negara federal atau serikat.
Dalam negara kesatuan, kesatuan-kesatuan pemerintahan di luar pemerintah
tidak memiliki "pouvoir constituant," yaitu kekuasaan untuk membentuk UUD/UU
dan organisasi mereka sendiri. Ini menjadi perbedaan utama antara negara kesatuan
dengan negara federal. Negara federal, sebagai negara majemuk, memungkinkan
setiap negara bagian (state) memiliki kekuasaan untuk membentuk UUD/UU masing-
masing. Sebaliknya, negara kesatuan adalah negara tunggal, sesuai dengan konsep
yang dijelaskan oleh Bhenyamin Hoessein.
Meskipun demikian, pelaksanaan pemerintah daerah dilakukan melalui
pembentukan organisasi pemerintahan di tingkat lokal, yang dikenal sebagai
pemerintah daerah. Berbeda dengan negara bagian dalam sistem federal atau serikat,
pemerintah daerah berfungsi sebagai subdivisi atau entitas bawahan dari pemerintah
nasional dalam kerangka negara kesatuan. Pemerintah daerah tidak memiliki
kedaulatan independen, melainkan berada dalam hubungan ketergantungan dan
subordinasi dengan pemerintah pusat. Ketergantungan mengindikasikan keterikatan
dengan pemerintah pusat, sementara subordinasi mencerminkan status sebagai
bawahan.
Sebaliknya, dalam konteks negara federal, hubungan antara negara bagian dan
pemerintah federal/pusat bersifat independen dan koordinatif. Independen karena
pada awalnya, negara-negara bagian adalah entitas merdeka yang memiliki
kedaulatan, kemudian mereka secara bersama-sama membentuk perserikatan yang
diatur oleh piagam atau undang-undang dasar. Sifat koordinatif muncul karena setelah
negara bagian menjadi bagian dari sistem federal, masing-masing tunduk pada
pemerintah federal sesuai dengan koridor konstitusi.
Berdasarkan konsep tersebut, dalam negara kesatuan, kewenangan
pemerintahan diatur secara tunggal, terbagi menjadi kewenangan politik dan
administrasi. Kewenangan politik berkaitan dengan pembuatan kebijakan politik,
sementara kewenangan administrasi melibatkan pelaksanaan kebijakan politik
tersebut. Sebagai contoh, penetapan Program Kabinet Nawa Cita oleh Presiden Joko
Widodo merupakan contoh kewenangan politik, sedangkan pelaksanaan program
tersebut oleh para menteri mencerminkan kebijakan administrasi. Kedua kewenangan
ini dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah
memperoleh kewenangan pemerintahan setelah mendapatkan penyerahan urusan
pemerintahan melalui desentralisasi atau devolusi yang diatur dalam undang-undang.
Dalam konteks penyerahan urusan pemerintahan ini, terbentuklah hubungan
pemerintahan antara pusat dan daerah, yang melahirkan konsep sentralisasi dan
desentralisasi. Sentralisasi merujuk pada pemusatan semua kewenangan
pemerintahan, baik politik maupun administrasi, pada pemerintah pusat, yang terdiri
dari presiden dan para menteri. Jika suatu negara mengalokasikan semua kewenangan
pemerintahannya kepada presiden dan para menteri tanpa pembagian kepada pejabat
daerah atau daerah otonom, hal ini disebut sentralisasi. Di sisi lain, desentralisasi
mencakup penyerahan sebagian kewenangan pemerintahan kepada daerah-daerah
otonom yang dibentuk oleh pusat.
Pem.pusat

Pemprov

Pemkab/kot

Pemkecam

Pemdes/kel

Gambar tersebut menunjukkan struktur organisasi negara, di mana puncak


struktur organisasi terletak pada pemerintah pusat yang dipimpin oleh presiden.
Pemerintah pusat memimpin pemerintah provinsi yang dikepalai oleh gubernur,
sedangkan gubernur memimpin pemerintah kabupaten/kota yang dipimpin oleh
bupati/wali kota. Dalam konteks sentralisasi, semua kewenangan, baik politik maupun
administratif, terpusat pada presiden dan para menteri (pemerintah pusat) sebagai
pemegang tanggung jawab tertinggi dalam struktur organisasi pemerintahan. Artinya,
semua keputusan dan kewenangan tersebut berada di tingkat tertinggi dalam hierarki
organisasi, dan untuk melaksanakannya, anggarannya dicantumkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam konsep sentralisasi dan desentralisasi, kewenangan yang terpusat di
tangan presiden dan para menteri (pemerintah pusat) terbatas pada aspek
pemerintahan dan eksekutif. Kewenangan lain, seperti legislatif dan yudikatif, tidak
termasuk dalam konteks ini. Dengan kata lain, aspek legislatif dan yudikatif tidak
tercakup dalam kerangka sentralisasi dan desentralisasi ini. Akibatnya, daerah otonom
tidak memiliki kewenangan dalam pembuatan undang-undang (legislatif) dan
pelaksanaan peradilan (yudikatif).

B. Desentralisasi
Desentralisasi dalam bahasa Latin, terdiri dari kata “de” yang berarti lepas dan
“centrum” yang artinya pusat. Secara harfiah, “decentrum” berarti melepaskan dari
pusat. Oleh karena itu, desentralisasi, yang berasal dari sentralisasi dengan awalan
“de”, mengindikasikan konsep melepaskan atau menjauh dari pemusatan. Penting
untuk dicatat bahwa desentralisasi tidak sepenuhnya memutus hubungan dengan
pusat, melainkan hanya menjauh darinya.
Sebagai analogi, perhatikan perilaku anak ayam dan induknya pada malam
hari. Saat itu, semua anak ayam berkumpul di sekitar badan induknya, dilindungi oleh
sayapnya. Itulah suatu contoh konkret dari sentralisasi. Namun, pada siang hari, anak-
anak ayam tersebut menjauh dari induknya untuk mencari makan sendiri, walaupun
tetap diawasi dari jarak tertentu. Analogi ini mencerminkan konsep desentralisasi.
Desentralisasi terkait erat dengan konsep administrasi, yang merupakan sistem
kerja sama antara sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Administrasi,
dalam konteks ini, tidak boleh disamakan dengan kewenangan administratif. Suatu
organisasi, sebagai bagian integral dari administrasi, memiliki struktur hierarki yang
dapat bervariasi dalam tingkatannya.
Sebagai contoh, pada era Orde Lama, struktur organisasi pemerintah daerah
otonom mencakup pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I, pemerintah daerah
tingkat II, dan pemerintah daerah tingkat III. Perubahan struktur terjadi pada era Orde
Baru, di mana panjangnya jenjang organisasi pemerintah wilayah administrasi
bertambah. Meskipun Orde Lama tidak mengenal pemerintah wilayah administrasi,
Orde Baru memperkenalkan struktur yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, pembantu gubernur untuk bekas keresidenan, pemerintah kabupaten/kota
madya, pembantu bupati untuk wilayah bekas kawedanan, pemerintah kota
administratif, pemerintah wilayah kecamatan, dan pemerintah kelurahan. Pada setiap
tingkat hierarki tersebut, terdapat pejabat yang bertanggung jawab atas satuan
organisasi yang dipimpinnya. Sebagai contoh, gubernur, bupati, dan wali kota
masing-masing bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan provinsi,
kabupaten, dan kota.
Negara Indonesia, yang memiliki luas wilayah yang besar, memerlukan suatu
organisasi pemerintahan yang besar untuk dapat efisien dalam penyelenggaraannya.
Jika semua urusan pemerintahan ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, hal
ini akan mengakibatkan organisasi yang kompleks dan tidak efisien karena beban
yang berat. Demikian pula, penerapan dekonsentrasi dianggap kurang efisien karena
rentang kendalinya yang terlalu luas dan panjang. Oleh karena itu, UUD 1945
menetapkan bahwa negara Indonesia akan diselenggarakan melalui desentralisasi, di
mana sebagian kewenangan politik dan administratif diserahkan kepada tingkat
organisasi yang lebih rendah.
Desentralisasi, yang merupakan penyerahan sebagian kewenangan politik dan
administrasi dari puncak hierarki organisasi (pemerintah pusat) kepada tingkat di
bawahnya (pemerintah daerah), diwujudkan melalui daerah otonom. Penting untuk
dicatat bahwa yang mendapat penyerahan adalah daerah otonom, bukan kepala daerah
atau pemerintah daerah itu sendiri. Daerah otonom bukan sekadar pemerintah daerah,
melainkan masyarakat di daerah tersebut yang bersatu sebagai kesatuan masyarakat
hukum, diwakili oleh dewan daerah dan kepala daerah yang dipilih secara langsung.
Perlu dihindari kebingungan antara pemerintah daerah dan daerah otonom. Daerah
otonom menunjuk pada kesatuan masyarakat hukum di daerah, sedangkan pemerintah
daerah berperan sebagai alat dari daerah otonom atau pemerintah pusat untuk
mencapai tujuan tertentu. Jangan pula mencampuradukkan daerah otonom dengan
kantor pemerintah pusat yang ada di daerah, seperti instansi vertikal.
Daerah otonom, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, bukanlah
kantor cabang Kementerian Dalam Negeri. Mereka adalah entitas masyarakat sebagai
kesatuan politik dan administrasi dengan status badan hukum, yang dibentuk oleh
pemerintah pusat melalui undang-undang. Karena menerima penyerahan kebijakan
politik dan administrasi, daerah otonom memiliki otonomi yang memberikan
kebebasan bagi mereka untuk mengatur dan mengurus kebijakan sesuai dengan
kepentingan masyarakat setempat, tanpa intervensi langsung dari pemerintah pusat.
Dengan demikian, desentralisasi berimplikasi pada timbulnya otonomi daerah sebagai
konsekuensi logis dari penerapannya.

Pem.pusat

Daot prov.

Daot kab/kot

Dalam konteks desentralisasi, entitas yang bertanggung jawab atas pelaksanaan


urusan pemerintahan yang didesentralisasikan adalah council atau raad, yang diterjemahkan
sebagai DPRD. Council atau raad ini merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah otonom
yang menjadi penerima tanggung jawab pemerintahan yang telah didesentralisasikan ke
dalam kesatuan masyarakat hukum yang bersangkutan. Anggota council atau raad dipilih
oleh masyarakat di daerah otonom tersebut.

Dalam prinsip desentralisasi, penanggung jawab urusan pemerintahan bukanlah


pejabat pusat yang ditempatkan di daerah, melainkan lembaga perwakilan masyarakat daerah
yang disebut council atau raad. Posisi mayor (kepala daerah) dalam sistem desentralisasi
adalah sebagai kepala dari council atau raad, sehingga yang menerima urusan pemerintahan
yang didesentralisasikan bukanlah mayor sebagai individu, tetapi council atau raad sebagai
lembaga yang dipimpin oleh mayor.

Untuk memperkuat pemahaman tentang konsep desentralisasi, dapat merujuk pada


beberapa definisi dari ahli. Henry Maddick (1963) menjelaskan bahwa desentralisasi
merupakan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang atau
fungsi-fungsi tertentu pada daerah otonom. Rondinelli, Nellis, dan Chema (1983)
menyatakan bahwa desentralisasi adalah penciptaan atau penguatan, baik dari segi keuangan
maupun hukum, pada unit-unit pemerintahan subnasional yang secara substansial berada di
luar kendali langsung pemerintah pusat. UNDP (1999) memberikan definisi desentralisasi
sebagai pemindahan kekuasaan pada basis geografis, baik melalui dekonsentrasi (delegasi)
administrasi pada satuan-satuan administrasi lapangan atau melalui devolusi politik ke
satuan-satuan pemerintah lokal atau badan-badan khusus berdasarkan undang-undang.

Menurut J.H.A. Logeman, yang dikutip oleh Tjahya Supriatna (1993: 1),
desentralisasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama adalah dekonsentrasi atau
desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie), di mana kekuasaan dipindahkan dari
tingkat perlengkapan negara yang lebih tinggi kepada bawahannya untuk memperlancar
pelaksanaan tugas pemerintahan. Contohnya adalah pelimpahan wewenang dari menteri
kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/wali kotamadya, dan seterusnya secara
bertingkat. Dalam jenis desentralisasi ini, partisipasi rakyat atau lembaga perwakilan rakyat
daerah tidak terlibat atau diikutsertakan.

Kedua adalah desentralisasi ketatanegaraan atau staatkundige decentralisatie, yang


sering disebut sebagai desentralisasi politik. Ini melibatkan pelimpahan kekuasaan
perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoegdheid) kepada daerah-
daerah otonom di dalam wilayahnya. Dalam desentralisasi politik ini, rakyat berpartisipasi
dalam pemerintahan melalui saluran-saluran tertentu, seperti perwakilan, dengan batas
wilayah daerah masing-masing. Desentralisasi politik ini dapat dibedakan menjadi dua
subkategori, sebagai berikut:

1. Desentralisasi teritorial, yang disebut juga decentralisatie teritorial, merujuk pada


penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengelola urusan lokal (autonomie).
Fokus pengaturannya terletak pada tingkat daerah, dan implementasi desentralisasi
teritorial menghasilkan otonomi bagi daerah yang menerima penyerahan tersebut.
2. Desentralisasi fungsional, atau decentralisatie fungsional, merujuk pada delegasi
kekuasaan untuk mengelola fungsi-fungsi tertentu. Batasan pengaturannya terletak
pada jenis fungsi yang diamanahkan.

Bayu Surianingrat (1980: 28—29) menguraikan bahwa desentralisasi dapat dibagi menjadi
dua bentuk berikut:
1. Desentralisasi Jabatan (Amtekijke Decentralisatie):
Merupakan pemudaran kekuasaan atau pelimpahan kekuasaan dari atasan kepada
bawahannya dalam konteks kepegawaian, bertujuan untuk meningkatkan kelancaran
pekerjaan. Desentralisasi ini sering disebut juga sebagai dekonsentrasi. Dengan kata
lain, dekonsentrasi dapat dianggap sebagai salah satu jenis desentralisasi. Penting
untuk dicatat bahwa dekonsentrasi pasti termasuk dalam kategori desentralisasi, tetapi
tidak semua bentuk desentralisasi dapat diidentifikasi sebagai dekonsentrasi.
2. Desentralisasi Kenegaraan (Statkundige Decentralisatie):
Melibatkan penyerahan kekuasaan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya,
bertujuan untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.
Memberikan rakyat kesempatan langsung untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerahnya.

Rondinelli (1983: 18) juga menjelaskan konsep desentralisasi sebagai berikut:


“Desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau
kewenangan administrasi dari pemerintah pusat pada organisasi wilayah, satuan
administrasi daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, atau organisasi non
pemerintah/ lembaga swadaya masyarakat.”
Dalam kerangka negara kesatuan, penggunaan prinsip sentralisasi dan
desentralisasi dalam struktur organisasi negara bukanlah suatu perbedaan yang tegas,
melainkan bersifat sebagai kontinum. Ini berarti, pemerintah pusat tidak mungkin
mengelola semua urusan pemerintahan secara penuh dengan sentralisasi, begitu pula
sebaliknya di mana pemerintah daerah tidak akan sepenuhnya mengurus seluruh
urusan pemerintahan yang didelegasikan. Yang dapat diwujudkan adalah selalu ada
sejumlah urusan pemerintahan yang diatur dengan sentralisasi dan
pendekonsentrasian (dekonsentrasi). Namun, tidak pernah ada suatu urusan
pemerintahan pun yang diatur sepenuhnya dengan desentralisasi. Urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan dan kelangsungan hidup bangsa
umumnya diatur dengan sentralisasi dan dekonsentrasi, sementara urusan yang terkait
dengan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diatur dengan desentralisasi
(Bhenyamin Hoessein pada Sarasehan Nasional Administrasi Negara III, 2002).
Dengan demikian, beberapa urusan pemerintahan di Indonesia
diselenggarakan secara sentralisasi dengan proporsi 100%, seperti pertahanan, politik
luar negeri, dan kebijakan moneter. Namun, tidak pernah ada urusan pemerintahan
yang sepenuhnya (100%) diserahkan kepada daerah otonom. Meskipun sebagian
urusan pemerintahan didelegasikan kepada daerah, ini tidak berarti bahwa pemerintah
pusat melepaskan sepenuhnya tanggung jawabnya, karena tanggung jawab akhir
penyelenggaraan pemerintahan tetap berada di tangan pemerintah pusat. Oleh karena
itu, pemerintah pusat tidak menyerahkan seluruh urusan pemerintahan kepada daerah.
Urusan-urusan yang bersifat lokal, seperti irigasi, pendidikan, kesehatan, koperasi,
industri kecil, pertamanan, dan perpustakaan umum, memang diserahkan kepada
daerah, namun dengan proporsi yang tidak mencapai 100%. Pemerintah pusat tetap
mengelola sebagian urusan yang diserahkan kepada daerah, termasuk pengawasan,
penentuan standar, kriteria, dan prosedur (Bhenyamin Hoessein, 2001). Sementara itu,
urusan yang memiliki cakupan nasional, seperti politik luar negeri, keamanan,
pertahanan, keuangan, regulasi hukum, keagamaan, kebijakan ekonomi makro, dan
kebijakan politik makro, sepenuhnya (100%) berada di bawah kewenangan
pemerintah pusat.

KESIMPULAN
Negara Indonesia memiliki karakteristik sebagai negara kesatuan, di mana
kedaulatan negara bersifat tunggal. Hal ini berarti tidak ada entitas pemerintahan di
dalamnya yang memiliki kedaulatan sendiri, dan penjelasan UUD 1945 menegaskan
bahwa Indonesia tidak akan memiliki daerah yang memiliki status "staat" di dalam
wilayahnya. Dalam negara kesatuan, kedaulatan melekat pada rakyat, bangsa, dan
negara Republik Indonesia tanpa terbagi di antara unit pemerintahan, seperti yang
terjadi dalam negara federal.
Meskipun demikian, implementasi pemerintahan daerah tetap terjadi melalui
pembentukan organisasi pemerintahan di tingkat lokal, yang dikenal sebagai
pemerintah daerah. Namun, pemerintah daerah berfungsi sebagai subdivisi atau
entitas bawahan dari pemerintah nasional dalam kerangka negara kesatuan. Berbeda
dengan negara federal, pemerintah daerah tidak memiliki kedaulatan independen,
melainkan berada dalam hubungan ketergantungan dan subordinasi dengan
pemerintah pusat.
Dalam konteks penyerahan urusan pemerintahan, hubungan antara pusat dan
daerah menciptakan konsep sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi mengacu pada
pemusatan semua kewenangan pemerintahan pada pemerintah pusat, sementara
desentralisasi melibatkan penyerahan sebagian kewenangan kepada daerah-daerah
otonom yang dibentuk oleh pusat. Struktur organisasi negara menggambarkan hierarki
dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota.
Penting untuk dicatat bahwa konsep sentralisasi dan desentralisasi hanya
mencakup aspek pemerintahan dan eksekutif, sementara aspek legislatif dan yudikatif
tidak tercakup dalam kerangka ini. Oleh karena itu, daerah otonom tidak memiliki
kewenangan dalam pembuatan undang-undang (legislatif) dan pelaksanaan peradilan
(yudikatif). Kesimpulannya, negara kesatuan Indonesia menunjukkan adanya
kesatuan pemerintahan yang berada di bawah otoritas pemerintah pusat tanpa
membagi kedaulatan di antara entitas pemerintahan.
Desentralisasi berasal dari bahasa Latin yang berarti melepaskan atau menjauh dari
pusat. Dalam konteks administratif, desentralisasi membawa konsep penyerahan
sebagian kewenangan politik dan administratif dari pemerintah pusat ke tingkat
organisasi yang lebih rendah, seperti pemerintah daerah. Analogi anak ayam yang
mencari makan sendiri pada siang hari mencerminkan konsep desentralisasi.
Desentralisasi memiliki kaitan erat dengan konsep administrasi, di mana
struktur hierarki organisasi dapat bervariasi. Dalam sejarah Indonesia, struktur
pemerintahan daerah mengalami perubahan, mencerminkan evolusi konsep
desentralisasi. UUD 1945 menetapkan desentralisasi sebagai solusi untuk
menghindari kompleksitas dan ketidakefisienan yang mungkin terjadi jika semua
urusan pemerintahan ditangani secara sentral. Pentingnya memahami perbedaan
antara pemerintah daerah dan daerah otonom, serta menghindari kebingungan dengan
instansi vertikal, ditekankan. Daerah otonom diwakili oleh dewan daerah dan kepala
daerah yang dipilih langsung, bukan sekadar kantor cabang kementerian dalam negeri.
Dalam konsep desentralisasi, council atau raad bertanggung jawab atas
pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan, dan mayor (kepala
daerah) merupakan kepala dari council atau raad. Desentralisasi dapat diartikan
sebagai pemindahan kekuasaan pada basis geografis atau delegasi kekuasaan untuk
mengelola fungsi-fungsi tertentu. Beberapa ahli memberikan definisi yang mendalam
tentang desentralisasi, termasuk pembagian desentralisasi menjadi desentralisasi
jabatan dan desentralisasi kenegaraan. Desentralisasi di Indonesia tidak bersifat
absolut, melainkan bersifat kontinum, di mana terdapat sejumlah urusan pemerintahan
yang diatur dengan sentralisasi dan dekonsentrasi.
Dengan demikian, desentralisasi tidak berarti melepaskan sepenuhnya
tanggung jawab pemerintah pusat, karena tanggung jawab akhir tetap berada di tangan
pemerintah pusat. Beberapa urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah otonom,
namun proporsinya tidak mencapai 100%. Urusan yang bersifat lokal diserahkan
kepada daerah, sementara pemerintah pusat tetap mengelola sebagian urusan tersebut.
Urusan nasional sepenuhnya berada di bawah kewenangan pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA

Chema G, Shabir, dan Dennis Rondinelly, ed. 1983. Decentralization and Development,
Policy Implementation in Development Countries. London: Sage.

Hoessein, Bhenjamin. 2000. “Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan


Pemerintahan Daerah,” Jurnal Bisnis dan Birokrasi, No. 1/I/ Juli 2000.

Hoessein, Bhenjamin. 2001. “Transparansi Pemerintahan,” Jurnal Forum Inovasi, November


2001a.

Hoessein, Bhenjamin. 2002. “Kebijakan Desentralisasi,” Jurnal Administrasi Negara Vol.


II/2 Maret 2002.

Supriatna, Tjahya. 1993. Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Bumi Aksara.

Surianingrat, Bayu. 1980. Organisasi Pemerintahan Wilayah/Daerah. Jakarta: Bina Aksara.

UNDP. 1999. Decentralization Governance Programme. New York: UN Publisher.

Situs:

Nurcholis, Hanif. “MODUL 1.” MODUL 1, http://repository.ut.ac.id/4002/1/ADPU4440-


M1.pdf. Accessed 18 November 2023.

Anda mungkin juga menyukai