Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Temper Tantrum

2.1.1 Pengertian Temper Tantrum

Ada beberapa definisi yang menjelaskan tentang pengertian temper tantrum,

diantaranya yang dikemukakan dalam kamus lengkap psikologi, Chaplin (2009)

mendefinisikan tantrum sebagai suatu ledakan emosi kuat sekali disertai rasa

marah, serangan agresif, menangis, menjerit-jerit, menghentak-hentakkan kedua

kaki, dan tangan pada lantai atau tanah.

Dari sumber lain juga menyatakan temper tantrum adalah suatu luapan emosi yang

meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper tantrum seringkali muncul pada anak

usia 15 bulan hingga 6 tahun (Zaviera, 2008). Termper tantrum yang terjadi pada

anak usaia tersebut dikarenakan ketidakmampuan anak dalam mengontrol

emosinya dan menyampaikan keinginannya.

11
12

Temper tantrum juga didefinisikan sebagai perilaku tidak terkontrol, termasuk menjerit,

menginjak-injak kaki, memukul, membentur-benturkan kepala, menjatuhkan diri dan

perilaku unjuk frustasi lain yang mengandung kekerasan. Dalam bentuk ekstremnya,

tantrum dapat disertai dengan menahan nafas, muntah dan agresi serius, termasuk

menggigit. Perilaku seperti ini paling sering dijumpai bila anak merasa frustasi, marah,

atau bahkan hanya karena tidak dapat menerima suatu keadaan. Temper tantrum

dianggap normal pada usia 1 sampai 3 tahun, jika periode temper tantrum hanya

berlangsung singkat dan tantrum tidak bersifat manipulatif. (Marcdante, 2013).

Mashar (2011) mengemukakan bahwa Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan

anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negatif atau penolakan.

Perilaku ini sering diikuti tingkah laku seperti menangis dengan keras, berguling-guling

dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai

kegiatan lainnya.

Pendapat lain juga dikatakan oleh Tandry (2010), tantrum adalah perilaku menangis,

berteriak, atau bisa juga dikatakan sebagai luapan frustasi yang ekstrim yang tampak

seperti kehilangan kendali. Perilaku ini dapat dicirikan dengan gerak tubuh yang kasar

atau agresif seperti membuang barang, berguling dilantai, membenturkan kepala dan

menghentakan kaki ke lantai. Pada anak yang lebih kecil (lebih muda) biasanya sampai

muntah, pipis, atau bahkan nafas sesak karena terlalu banyak menangis dan berteriak.
13

Dalam kasus tertentu, ada pula anak yang sampai menendang atau memukul orang tua

atau orang dewasa lainnya misalnya pada baby sitter.

Dari beberapa definisi yang telah djelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan temper

tantrum adalah perilaku ketidakmampuan anak dalam mengontrol emosi yang terjadi

sebagai respon dari keinginan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi.

2.1.2 Etiologi Temper Tantrum

Anak-anak biasanya ingin belajar „lebih‟ dan bersifat individu. Mereka ingin lebih dari

kemampuan dirinya dalam mengatur secara fisik dan emosional. Bila anak tidak

mampu, maka dapat menyebabkan anak frustasi dan diekspresikan dengan berbagai

cara. Tantrum dan tingkah laku agresif dapat berkembang sebagai hasil dari ganjaran

yang tidak sesuai (Inappropriate reinforcement). Perilaku „baik‟ (“constructive

behavior”) tidak dapat mendapatkan ganjaran, tetapi hanya perilaku „nakal‟ (“naughty

behavior”) yang mendapat perhatian dari orangtua atau guru. Anak kemudian belajar

bahwa dia dapat menerima ganjaran berupa perlakuan (treats) dan perhatian kasih

sayang (loving attention) dengan menjadi nakal (by being naughty), dan menjadi

“good” berarti kurang diperhatikan atau diberi ganjaran. Ganjaran yang diberiakan

secara tidak konsisten dapat menyebabkan anak menjadi khawatir atau menarik diri,

karena anak tidak mengetahui apakah ia akan dihukum atau diberi ganjaran untuk

perilakunya. Anak dihadapkan kepada suatu kebingungan (ambiguity).


14

Tantrum sering ditemukan pada anak-anak yang terlampau dimanjakan (overindulgent),

atau orangtua yang terlampau mencemaskannya (oversolicitous), atau orangtua yang

terlampau menlindungi (overprotective). Walaupun tantrum pada mulanya merupakan

perasaan tidak senang pada perlakuan fisik, tantrum juga dimaksudkan sebagai suatu

usaha untuk mendapatkan hadiah-hadiah (gratifications), atau menguasai keluarganya

melalui cetusan marah (outburst), atau merupakan suatu hasil meniru dari orangtua atau

anggota keluarga lainnya. Tantrum biasanya terjadi pada anak umur 18 bulan – 4 tahun.

Tantrum ini disebut otonomi diri, yaitu rasa mampu berbuat sesuai kehendak (autonomy

vs shame and doubt). Pada umur 1-3 tahun, timbul beberapa kebebasan dari

ketergantungan total pada orangtua. Kebebasan fisik berupa mulai belajar dan kemudian

berlari. (Soetjiningsih, 2013).

2.1.3 Tipe – tipe temper tantrum

Pada dasarnya temper tantrum merupakan bagian dari proses pertumbuhan dan

perkembangan anak dalam mengontrol emosi dalam dirinya. Jika perilaku ini tidak

didukung oleh keikutsertaan orangtua dalam mengasuh anak secara tepat, maka anak

akan belajar menjadi orang yang kasar dan agresif dalam menghadapi sebuah

permasalahan. Tantrum juga dapat menjadi masalah yang serius bila orangtua tidak

dapat memahami cara anak dalam mengekspresikan emosinya maupun keinginannya

yang tidak dapat terpenuhi.


15

Ada beberapa jenis tantrum sebagaimana disebutkan oleh Hildayani (2008) :

1. Manipulative Tantrum

Manipulative tantrum terjadi ketika seseorang anak tidak memperoleh apa yang

diinginkan. Perilaku ini akan berhenti saat keinginan anak dituruti.

2. Verbal Frustation Tantrum

Tantrum jenis ini terjadi ketika anak tahu apa yang ia inginkan, tapi tidak tahu

bagaimana cara menyampaikan keinginannya dengan jelas. Anak akan mengalami

frustasi. Tantrum jenis ini akan menghilang sejalan dengan peningkatkan

kemampuan komunikasi anak, dimana anak semakin dapat menjelaskan kesulitan

yang dialaminya.

3. Temperamental Tantrum

Temperamental tantrum terjadi ketika tingkat frustasi anak mencapai tahap yang

sangat tinggi, anak menjadi sangat tidak terkontrol dan sangat emosional. Anak akan

menjadi sangat lelah dan sangat kecewa. Pada tantrum jenis ini anak sulit untuk

berkonsentrasi dan mendapatkan kontrol terhadap dirirnya sendiri. Anak tampak

bingung dan mengalami disorientasi.

Sedangkan menurut Buchalter dalam Rahmah (2012) menyebutkan ada 2 jenis

tantrum, yaitu tantrum aktif dan pasif. Tanrum aktif terdiri atas protes dan sosial,

serta tantrum pasif terdiri atas merengek dan tidak kooperatif. Tantrum aktif adalah

ketika anak tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Biasanya anak akan

melakukan protes dengan cara menangis, menjerit, menendang-nendang bahkan

melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya. Tantrum aktif bisa juga muncul
16

ketika anak marah dengan temannya. Biasanya anak bertindak agresif (dapat

memukul, menendang, mancakar) dan tidak bersahabat saat bermain bersama

temannya. Adapun tantrum pasif yaitu ketika anak merasa tidak puas terhadap suatu

hal. Biasanya anak merengek, ngambek atau terus menerus bertanya dengan cara

menganggu. Tantrum pasif juga terjadi ketika anak tidak suka melakukan sesuatu

yang diperintahkan oleh orangtuanya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis tantrum yang

biasa terjadi pada anak, yakni manipulative tantrum, verbal frustation tantrum,

temperamental tantrum, dan tantrum aktif yang terdiri atas protes dan sosial, serta

tantrum pasif yang terdiri atas merengek dan tidak kooperatif. Jenis-jenis tantrum

tersebut dibedakan berdasarkan penyebab terjadinya tantrum. Setiap jenis tantrum

tersebut membutuhkan penanganan yang berbeda-beda agar perilaku tantrum terebut

tidak terus terjadi dan dapat meminimalisir terjadinya perilaku tantrum dimasa

mendatang.

2.1.4 Gejala-gejala anak temper tantrum

Selain memahami penyebab munculnya perilaku tantrum perlu juga diamati gejala-

gejala yang muncul pada anak tantrum seperti yang disebutkan Mashar (2011) antara

lain:

1. Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur.

2. Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan, dan orang-orang baru.

3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.


17

4. Mood atau suasana hatinya lebih sering negatif. Anak sering merespons sesuatu

dengan penolakan.

5. Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal.

6. Perhatiannya sulit dialihkan.

7. Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-

hentakkan kaki, merengek, membanting pintu, memecahkan benda, memaki, mencela

diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam, dan perilaku-perilaku

negatif lainnya.

2.2 Konsep Pola Asuh orangtua

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan

asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan mendidik anak, sedangkan orangtua

memiliki arti ayah dan ibu, jadi dapat disimpulkan pola asuh orangtua memiliki arti cara

atau sistem ayah dan ibu dalam merawat atau mendidik anak. Pola asuh orangtua adalah

kegiatan atau cara mengasuh orangtua dalam berinteraksi dengan anak (Handayani dkk,

2012).
18

2.2.2 Macam – Macam Pola Asuh

Menurut Baumrind dalam Dariyo (2011) ada tiga jenis pola asuh:

1. Pola asuh otoriter

Dalam pola asuh ini orangtua merupakan sentral. Artinya segala ucapan, perkataan

maupun kehendak orangtua dijadikan patokan (aturan) yang harus ditaati oleh anak-

anak. Supaya taat, orangtua tidak segan-segan menerapkan hukuman yang keras

kepada anak. Orangtua beranggapan agar aturan itu stabil dan tak berubah, maka

seringkali orangtua tak menyukai tindakan anak yang memprotes, mengkritik atau

membantahnya. Kondisi tersebut mempengaruhi perkembangan diri pada anak.

Banyak anak yang dididik dengan pola asuh otoriter ini, cenderung tumbuh

berkembang menjadi pribadi yang suka membantah, membrontak dan berani

melawan arus terhadap lingkungan sosial.

2. Pola asuh permisif

Pola asuh permisif ini, orangtua justru merasa tidak peduli dan cenderung memberi

kesempatan serta kebebasan secara luas kepada anak. Orangtua seringkali menyetujui

terhadap semua keinginan dan kehendak anaknya. Semua kehidupan keluarga seolah-

olah ditentuka oleh kemauan dan keinginan anak. Jadi anak merupakan sentral dan

segala aturan dalam rumah. Dengan demikian orangtua tidak mempunyai

kewibawaan.

3. Pola asuh demokratis

Pola asuh ini adalah gabungan antara pola asuh otoriter dan pola asuh permisif

dengan tujuan menyeimbangkan pemikiran, sikap dan tindakan antara anak dan
19

orangtua. Baik orangtua maupun anak mempunyai kesempatan untuk menyampaikan

suatu gagasan, ide, atau pendapat untuk mencapai suatu keputusan. Dengan demikian

orangtua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat konstruktif, logis,

rasional demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara

orangtua dengan anak dapat berjalan menyenangkan, makan terjadi pengembangan

kepribadian yang mantap pada diri anak. Anak makin mandiri, matang, dan dapat

menghargai diri sendiri dengan baik.

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Dalam memberlakukan pola asuh di lingkungan keluarga, orang tua dipengaruhi oleh

beberapa hal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap

anak menurut Hurlock (2010) adalah:

1. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orang tua.

Jika orang tua merasa memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka tetapkan

juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai maka akan digunakan

cara yang berlawanan.

2. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok.

Semua orang tua lebipenelitianh dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok

mereka dianggap sebagai cara “terbaik”, daripada oleh pendirian mereka sendiri

mengenai apa yang terbaik.


20

3. Usia orang tua.

Orang tua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif dibandingkan dengan

mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali ketika anak beranjak

remaja.

4. Pendidikan untuk menjadi orang tua.

Orang tua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuha anak akan lebih

menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orang tua yang tidak mengerti.

5. Jenis kelamin.

Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibanding pria, dan

mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orang tua maupun pengasuh

lainnya.

6. Status sosial ekonomi.

Orang tua dari kalangan menengah kebawah akan lebih otoriter dan memaksa

daripada mereka yang dari menengah ke atas. Semakin tinggi pendidikan pola asuh

yang digunakan semakin cenderung demokratis.

7. Konsep mengenai peran orang dewasa.

Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua,

cenderung lebih otoriter dibandingkan orang tua yang telah menganut konsep

modern.

8. Jenis kelamin anak.

Orang tua pada umumnya akan lebih keras terhadap anak perempuan daripada

terhadap anak laki-lakinya.

9. Usia anak.
21

Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak tidak mengerti

penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada pengendalian otoriter.

10. Situasi.

Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman sedangkan sikap

menantang, negativisme, dan agresi kemungkinan lebih mendorong pengendalian

yang otoriter.

Moch. Sochib (2010) membagi menajdi 9 hal yang mempengaruhi orangtua dalam

mendisiplinkan anak :

1. Lingkungan fisik

2. Lingkungan sosial internal dan eksternal

3. Pendidikan internak dan eksternal

4. Dialog dengan anak-anaknya

5. Suasana psikologis

6. Sosial budaya

7. Perilaku yang ditampilkan pada saat terjadinya pertemuan dengan anak-anak

8. Control terhadap perilaku anak-anak

9. Menentukan nilai-nilai moral sebagai dasar berperialku dan yang diupayakan kepada

anak-anak
22

2.3 Konsep Pengetahuan

2.3.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia, yakini indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang

(over behaviour) (Notoatmodjo, 2007).

2.3.2 Tingkat Pengetahuan

Enam tingkat pengetahuan menurut Mubarak, dkk (2007), yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,

mengingat kembali termasuk (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan

atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (Comprehesion)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara luas.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi yang nyata.


23

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau objek

2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain yaitu:

1. Faktor Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka aan semakin mudah untuk

menerima informasi tentang obyek atau yang berkaitan dengan pengetahuan.

Pengetahuan umumnya dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh orang

tua, guru, dan media masa. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengetahuan,

pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan

untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat 12 pendidikan seseorang, maka

akan semakin mudah untuk menerima, serta mengembangkan pengetahuan dan

teknologi.
24

2. Faktor Pekerjaan

Pekerjaan seseorang sangat berpengaruh terhadap proses mengakses informasi yang

dibutuhkan terhadap suatu obyek.

3. Faktor Pengalaman

Pengalaman seseorang sangat mempengaruhi pengetahuan, semakin banyak

pengalaman seseorang tentang suatu hal, maka akan semakin bertambah pula

pengetahuan seseorang akan hal tersebut. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan

dengan wawancara atau angket yang menyatakan tantang isi materi yang ingin diukur

dari subjek penelitian atau responden

4. Keyakinan

Keyakinan yang diperoleh oleh seseorang biasanya bisa didapat secara turun-temurun

dan tidak dapat dibuktikan terlebih dahulu, keyakinan positif dan keyakinan negatif

dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.

5. Sosial budaya

Kebudayaan berserta kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan,

presepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

2.4 Konsep Status Sosial Ekonomi

2.4.1 Pengertian Status Sosial Ekonomi

Orangtua yang berasal dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih

bersifat hangat dibandingkan orangtua yang berasal dari sosial ekonomi rendah. Lebih

menekankan pada perkembangan keingintahuan anak, control dalam diri anak,


25

kemampuan untuk menunda keinginan, bekerja untuk jangka panjang dan kepekaan

anak dalam hubungannya dengan oranglain. Orangtua dari golongan ini lebih bersikap

terbuka terhadap hal-hal yang baru. (Hetherington dan parke dalam prasetyo 2003).

Menurut Priyono dan Budhi (2008), bahwa ekonomi adalah bagaimana manusia dan

masyarakat melakukan pilihan dengan atau tanpa menggunakan uang untuk

memanfaatkan sumber daya yang langka dalam mengahasilkan berbagai barang dan jasa

dan mendistribusikannya diantara mereka bagi keperluan konsumsi, pada saat ini atau

dimasa mendatang, diantara berbagai manusia dan kelompok yang ada di masyarakat.

Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status

sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang

ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti pendidikan, padapatan dan

sebagainya. Status sosial ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya

hidup sesorang. (Soetjiningsih, 2004)


26

2.4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Status Sosial Ekonomi

Menurut Friedman (2004) faktor yang mempengaruhi status sosial ekonomi seseorang

yaitu :

1. Pendidikan

Pendidikan berabrti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi

tingkat pendidikan sesorang maka makin mudah dalam memperoleh pekerjaan,

sehingga semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya pendidikan

yang kurang akan menghambat perkembangan sikap sesorang terhadap nilai-nilai

yang baru dikenal.

2. Pekerjaan

Pekerjaan adalah symbol status seseorang dimasyarakat. Pekerjaan adalah jembatan

untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.

3. Keadaan ekonomi

Kondisi ekonomi keluarga yang rendah mendorong seseorang untuk tidak

melanjutkan pendidikan lebih lanjut

4. Latar belakang budaya

Culture universal adalah unsur kebudayaan yang bersifat universal, adala didalam

semua kebudayaan didunia, seperti pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara

pergaulan sosial, adat-istiadat, penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan telah

menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah

mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi


27

corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat

asuhannya. Hanya kepercayaan individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat

memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan individual.

5. Pendapatan

Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau usaha yang telah dilakukan.

Pendapatan akan memenuhi gaya hidup seseorang. Orang atau keluarga yang

mempunyai status ekonomi atau pendapatan tinggi akan memperaktikan gaya hidup

yang mewah misalnya lebih konsumtif karena mereka mampu untuk membeli semua

yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan keluarga yang kelas ekonominya

kebawah.

Berdasarkan penggolongannya BPS (Badan Pusat Statistik) membedakan pendapatan

penduduk menjadi 4 golongan, yaitu :

1. Golongan Pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp.

3.500.000 per bulan

2. Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp 2.500.000

s/d Rp. 3.500.000 per bulan

3. Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawah antara Rp.

1.500.000 s/d Rp 2.500.000 per bulan

4. Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp. 1.500.000 per

bulan
28

Tabel 2.1 ukuran status sosial ekonomi

Status sosial Ekonomi Klasifikasi

Pendidikan

Rendah Tidak sekolah

Menengah SD

Tinggi SMP

SMA

Perguruan Tinggi

Pekerjaan

Rendah Tenaga tidak terampil

Menengah Tenaga semi terampil

Tinggi Tenaga terampil

Teknisi

Tenaga profesional

Kekayaan

Rendah (miskin) Memiliki harta dan simpanan uang senilai

Menengah (sedang) kurang dari Rp. 5.000.000

Tinggi (kaya) Memiliki harta dan simpanan uang senilai

Rp 5.000.000 – Rp 15.000.000

Memiliki harta dan simpanan uang senilai

diatas Rp. 15.000.000

Sumber : (Adi,2008)

Anda mungkin juga menyukai