Tabel 1.
Bentuk perilaku tantrum berdasarkan kecenderungan bentuk perilaku yang
dimunculkan anak berdasarkan usia
USIA
< 3 TAHUN 3– 4 TAHUN >5 TAHUN
(A) (B)
Menangis Selain perilaku Selain Perilaku A
Menggigit A: dan B Juga:
Memukul Perilaku-perilaku Memaki
Menendang tersebut diatas Menyumpah
Menjerit Menghentak- Memukul
Memekik- hentakan kaki kakak/adik atau temannya
mekik Berteriak-teriak Mengkritik diri
Melengkungka Meninju sendiri
n punggung Membanting Memecahkan barang
Melempar pintu dengan sengaja
badan ke lantai Mengkritik Mengancam
Memukul- Merengek
mukulkan tangan
Menahan nafas
Membentur-
benturkan kepala
Melempar-
lempar barang
Dryden (2007) melihat perilaku tantrum berdasarkan arah agresivitasnya, yakni
diarahkan keluar dan agresivitas yang diarahkan ke dalam dirinya. Perilaku agresivitas yang
diarahkan keluar, misalnya anak menampilkan agresi dengan merusak objek disekitarnya
seperti mainan, perabot rumah tangga, bendabenda elektronik dan lain-lain. Selain pada
benda, agresivitas juga ditunjukan dalam bentuk kekerasan kepada orangtua, saudara, kawan
maupun orang lain dengan cara mengumpat, meludahi, memukul, mencakar, menendang
serta tindakan lainnya yang bermaksud menyakiti orang lain. Perilaku agresif yang
diarahkan kedalam diri, misalnya menggaruk kulit sampai berdarah, membenturkan kepala
ke tembok atau ke lantai, membantingkan badan ke lantai, mencakar muka atau memaksa
diri untuk muntah atau batuk dan sebagainya.
7. Pencegahan
Tasmin (2002) mengemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya tantrum dapat
dilakukan dengan mengenali kebiasaankebiasaan anak dan mengetahui secara pasti pada
kondisi-kondisi seperti apa tantrum terjadi pada anak. Misalnya, pada anak yang aktif
bergerak dan gampang stres maka orangtua perlu mengatur kondisi agar anak tidak dibuat
bosan agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk
memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil. Mendampingi anak mengerjakan
tugas-tugas sekolah dan mengajarkan halhal yang dianggap sulit, akan membantu
mengurangi stres. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi
juga pada permainan-permainan, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat
membantu dengan memberikan petunjuk. Hal lain yang bisa dilakukan adalah orangtua perlu
memperlakukan anak secara tepat dengan tidak terlalu memanjakan dan tidak pula terlalu
menelantarkan anak, hubungan anak adalah hubungan kasih sayang dan perhatian yang
proposional.
Mah (2008) menambahkan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah
tantrum, yakni perlunya mengidentiM kasi konsekuensi dari tantrum, maksudnya bahwa
orang tua perlu mengetahui adakah perilaku dari orangtua atau orang lain disekitar anak yang
justru mendorong dan memberi penguatan terhadap terjadinya tantrum. Jika ada maka perlu
dihilangkan. Selain itu, perlu juga diwujudkan atau dibangun sebuah sistem reward
(penghargaan) untuk menjaga anak tetap berperilaku terkontrol. Memberikan penghargaan
atau hadiah pada saat tantrum terjadi adalah tidak tepat sebab akan mengkondisikan anak
untuk selalu mengulanginya. Untuk anak yang usianya lebih tua perlu diajarkan dan dilatih
dengan coping skill dalam menghadapi situasi yang dapat membuat dia tantrum.
Lorenz (2010) juga memberikan pandangan tentang bagaimana mencegah
terjadinya tantrum ketika akan melakukan perjalanan atau mengunjungi suatu tempat.
Sebelum berangkat penting sekali membangun kesepahaman dengan anak. Orangtua perlu
menjelaskan apa yang akan dilakukan, di mana, dan berapa lama kegiatan tersebut, lalu
minta persetujuan anak. Ceritakan perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan oleh
orangtua. Tentu saja disampaikan dengan kalimat positif, lembut, dan menggunakan kata-
kata yang meminta (mengharap) dan menggunakan ungkapan yang dapat dirasakan oleh
anak. Jika sudah sampai di tempat yang dikunjungi dan anak melanggar kesepakatan
tersebut, maka tugas orangtua untuk mengingatkan. Ini juga merupakan cara untuk
mengajar nilai konsistensi pada anak. Jika anak tetap menuntut, maka ada satu cara yang
dapat dilakukan orangtua, yang disebut making a game out of the child’s demand, yakni
keterampilan berbahasa untuk keluar dari tuntutan anak, sebagai contoh dapat dilihat pada
percakapan di bawah ini:
Anak : “Saya mau permen!
Orangtua : “Mama mau roket untuk pergi ke
bulan.”
Anak : “beri saya permen!”
Orangt : “beri mama roket untuk
ua pergi ke
bulan.”
Anak : “beri saya permen!”
Orangt : “mama akan memberi
ua permen
jika ade memberi
roket .”
Anak : “ini.” (seolah-olah
memberi
roket.)
Orangt :“ini.” (seolah-olah
ua memberi
permen.)
Anak : “tapi ini Cuma
boongan.”
Orangt : “ade juga memberi mama
ua roket
boongan.”
Anak : “tapi saya tidak punya roket
beneran!”
Orangtua : “mama juga tidak punya permen beneran!”
Saya punya contoh salah satu kasus yang pernah saya tangani, ada seorang ibu
separuh baya yang mengeluhkan perilaku anak ke empatnya (bungsu) sering marah –
marah jika ada sesuatu yang tak berhasil ia dapatkan. Si anak akan mengamuk, berteriak,
menangis dengan suara yang melengking, berguling – guling bahkan memukul dirinya
sendiri. Tak peduli waktu dan tempat, tiap kali keinginannya tidak dipenuhi maka si anak
akan menunjukkan perilaku yang sama berulang kali. Hal tersebut seringkali membuat
sang ibu, ayah dan kakak – kakaknya mengalah dan selalu memberikan apa yang
diinginkan anaknya tersebut. Alasan ibu dan semua anggota keluarga pada akhirnya
mengalah adalah karena malu dengan pandangan orang-orang sekitar yang memperhatikan
kejadian itu.
Suatu hari mereka sekeluarga pergi ke salah satu pusat perbelanjaan, anak
bungsunya meminta ice cream, tapi dilarang oleh sang ibu dengan alasan anaknya sedang
batuk pilek, kemudian si anak langsung menangis, berteriak, berguling-guling di lantai,
bahkan saat digendong, anaknya memukul secara bertubi-tubi. Sang ibu merasa orang-
orang di sekitar memperhatikan dan seolah-olah menyalahkannya karena tidak
membelikan ice cream untuk anaknya. Akhirnya untuk kesekian kalinya sang ibu
mengalah dan membelikan anaknya ice cream supaya diam. Hal ini berlangsung sejak
lama, awalnya sang ibu berpikir perilaku tersebut akan hilang dengan sendirinya jika
keinginan anaknya dipenuhi, tapi kenyataannya perilaku tersebut semakin menjadi bahkan
frekuensi munculnya semakin meningkat.
Itulah uniknya, semakin dipenuhi keinginan anaknya maka perilaku tantrum akan
semakin berkembang bahkan levelnya bisa semakin meningkat. Dalam hal ini bisa jadi
anak berpikir dengan perilaku tantrum ia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Oleh
karena itu, orang tua perlu belajar untuk mengatasi perilaku tantrum pada anak agar tidak
menjadi kebiasaan dan pembesaran sifat pada anak. Dalam hal ini orang tua harus mampu
membimbing dan mengajarkan cara yang baik agar anak mampu bersikap positif dan
mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang tua dan lingkungannya. Ada beberapa
cara untuk mengatasi perilaku tantrum pada anak, diantaranya adalah orang tua harus tetap
tenang, jangan terpancing dengan kemarahan anak, jangan pula balas berteriak, memaksa
anak atau adu kekuatan dengan anak. Hal tersebut memang tidak mudah dilakukan, tapi
jika anda terpancing justru membuat perilaku tantrum anak semakin menjadi. Penyebab
tantrum pada anak bermacam – macam, ada yang tidak mampu mengekspresikan
emosinya, ada yang karena gagal mengambil mainan atau barang yang diinginkan, ada
pula karena tidak dapat mengkomunikasikan kebutuhan, dan lain – lain. Dengan
mengetahui penyebabnya, tantrum bisa dicegah dan dapat memperpendek rentang
waktunya.
Saat perilaku tantrum muncul, cobalah alihkan perhatian anak pada hal lain yang
lebih menarik, misalnya mengajaknya bermain ke halaman rumah, mengambil mainan
yang sudah lama tidak disentuhnya, bermain bersama saudaranya, mengambil jajanan
kesukaannya atau aktivitas – aktivitas lain yang dapat mengganti suasana menjadi lebih
baik. Bila tantrum terjadi di tempat umum atau keramaian, tinggalkan anak di tempat yang
aman, awasi dia dari kejauhan, tapi jangan memberikan respon apapun, pasang wajah datar
atau wajah tembok sampai anak lelah dan perilaku tantrumnya mereda. Abaikan tatapan
mata dari orang – orang sekitar karena mereka tidak memahami kondisi anak anda
sebenarnya. Jika Anda mencoba menghentikan tantrum anak dengan memenuhi
keinginannya justru akan membuat anak anda belajar memanfaatkan tantrum sebagai cara
untuk memanipulasi anda dan hal tersebut bisa terjadi terus menerus hingga ia dewasa.
Tunjukkan padanya bahwa anda mencintai mereka tapi tidak dengan perilaku tantrum yang
mereka tampilkan. Anda harus bertahan untuk tidak memenuhi keinginannya. Selain itu,
jangan pernah berteriak, mencubit, memukul atau memberikan hukuman secara fisik
kepada anak saat memunculkan perilaku tantrum. Reaksi negatif seperti ini akan
memperburuk perilaku tantrum dan akan menimbulkan kemarahan mendalam pada anak.
Jika tantrum sudah mereda, peluklah anak dengan pijatan lembut di sekitar
punggungnya sambil katakan dengan tegas dan jelas bahwa Ia tidak akan mendapatkan apa
yang ia inginkan dengan cara demikian dan sampaikan alasan dengan jelas mengapa
keinginannya tidak dapat segera dipenuhi saat ini.
a. Arahan
Baca dan lakukan analisa terhadap studi kasus secara perorangan. Bila yang lain
dalam kelompok sudah selesai membaca, jawab pertanyaan dari studi kasus. Gunakan
langkah dalam pengambilan keputusan klinik pada saat memberikan jawaban. Kelompok
yang lain dalam ruangan bekerja dengan kasus yang sama atau serupa. Setelah semua
kelompok selesai, dilakukan diskusi tentang studi kasus dan jawaban yang dikerjakan oleh
masing-masing kelompok.
b. Studi Kasus
Seorang ibu membawa anak perempuannya berusia 5 tahun. Ibunya mengeluh dan
bingung, sejak
3 bulan terakhir anaknya sering marah-marah, berteriak dan menangis tanpa sebab yang
jelas.Sampai saat ini, kemampuan bicara anak baru dapat merangkai kalimat dengan 2-3
kata. Anak belum dapat bercerita. Selama ini, ibu selalu berusaha memenuhi keinginan
anaknya. Ibu tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
c. Penilaian :
1. Apa tindakan yang harus dilakukan untuk mendiagnosis kasus di atas ?
Jawaban:
Lengkapi data anak: Selama ini anak sehat, jarang sakit. Perkembangan anak
sebelumnya terlambat, jalan usia 2 tahun, bicara kata tunggal usia 2,5 tahun. Anak
merupakan anak tunggal. Diagnosis (identifikasi masalah dan kebutuhan)
2. Berdasarkan anamnesis, wawancara dan pemeriksaan fisik, diagnosis apa yang dapat
ditegakkan ?
Jawaban:
Anak sudah berusia 5 tahun, kemampuan berbicara terlambat. Anak sudah 3 bulan
sering marah-marah, ibu merasa bingung. Kasus ini merupakan temper tantrum yang
bermasalah.Pemeriksaan fisis normal. Pelayanan (perencanaan dan intervensi)
3. Bagaimana rencana tatalaksana kasus tersebut di atas ?
Jawaban:
Tatalaksana:
Penegakkan diagnosis, atasi masalah yang ada, edukasi orangtua.
Strategi khusus:
1. Mengurangi ketidaknyamanan.
2. Berikan anak pilihan.
3. Buatlah rutinitas. Jika anak dapat memprediksi yang akan dilaluinya ia akan
memiliki pengontrolan diri.
4. Pahami temperamen anak.
5. Adanya peraturan yang konsisten.
6. Jika memungkinkan, tantrum ‘diacuhkan’.
7. Cegah bahaya.
8. Gunakan kata-kata yang menenangkan.
9. Penghargaan bila anak berhasil atasi tantrum.
Kriteria merujuk:
10. Keterlambatan/ gangguan perkembangan.
11. Gangguan emosi.
12. Kegagalan untuk perbaikan.
TEMPER TANTRUM
Disusun oleh :
Anissa Febriyanti Dewi
Avica Ully Pratiwi
Farizah Tia Avinka