Anda di halaman 1dari 25

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Temper Tantrum

1. Pengertian Temper Tantrum

Ada beberapa definisi yang menjelaskan tentang pengertian temper

tantrum, diantaranya yang dikemukakan dalam kamus lengkap psikologi,

Chaplin (2009:502) mendefinisikan tantrum sebagai suatu ledakan emosi

kuat sekali disertai rasa marah, serangan agresif, menangis, menjerit-jerit,

menghentak-hentakkan kedua kaki, dan tangan pada lantai atau tanah.

Hames (2003:2) menjelaskan bahwa Tantrum atau mengamuk

merupakan ledakan emosi yang kuat yang terjadi ketika anak merasa lepas

kendali. Tantrum adalah demonstrasi praktis dari apa yang dirasakan oleh

anak dalam dirinya (kacau, bingung, dan berantakan).

Anak yang temper tantrum dapat menjengkelkan, dan

mempermalukan orang lain, sehingga mengubah suasana psikologis

kepada kemarahan, dan kebencian. Hal ini membuat anak merasa tidak

dicintai, dan tidak diinginkan (Tjandrasa dan Zarkasih, 1978:211). Temper

tantrum sering terjadi pada anak usia dini karena ketidakmampuan mereka

dalam mengontrol emosi, mengungkapkan kemarahan dengan tepat, dan

keadaan internal anak seperti suasana hati anak yang mudah berubah.

Mashar (2011:92) mengemukakan bahwa Temper tantrum adalah

suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak

menunjukkan sikap negativisik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti

tingkah laku seperti menangis dengan keras, berguling-guling dilantai,


menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai

kegiatan lainnya.

Ahli lain seperti Pantley (2006:107) berpendapat bahwa Temper

tantrum merupakan suatu emosi negatif yang tidak terkendali yang

dirasakan oleh anak dalam dirinya. Ledakan emosi anak yang mengalami

temper tantrum diwujudkan dalam bentuk keputusasaan, tidak bergairah,

teriakan, tangisan kencang, bahkan sampai berguling-guling.

Hurlock juga berpendapat (dalam Jati dkk, 2012:234) bahwa

Temper tantrum adalah ledakan emosi yang berhubungan dengan anak-

anak atau mereka yang kesulitan emosional, biasanya ditandai dengan

gejala keras kepala, menangis, menjerit, menentang, dan berteriak-teriak.

Pendapat lain menyebutkan bahwa Tantrum adalah demonstrasi praktis

dari apa yang dirasakan oleh anak dari dalam dirinya. Tantrum yang tidak

diatasi dapat membahayakan fisik anak, selain itu anak tidak akan bisa

mengendalikan emosinya atau anak akan kehilangan kontrol, dan akan

lebih agresif (Kirana, 2013:51).

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan dapat ditarik

kesimpulan bahwa temper tantrum merupakan suatu letupan emosi negatif

yang tidak terkendali yang dirasakan oleh anak dan sering terjadi pada saat

anak menunjukkan sikap penolakan yang diekspresikan dengan menangis,

memukul, menjerit, menentang, menghentakkan kaki, kesal, tidak

bergairah, putus asa, dan berteriak.


2. Tipe Temper Tantrum

Setiap anak berbeda-beda dalam menanggapi stimulus yang

diterima dari lingkungan. Emosi yang umum yang timbul pada masa anak-

anak seperti rasa marah, takut, cemburu, rasa ingin tahu, kesal, dan emosi

yang lain ditampilkan dengan cara yang berbeda juga. Ada anak yang

memperlihatkan secara langsung emosinya seperti langsung berteriak jika

berada dalam keadaan kesal, tetapi ada juga yang diam, dan menjauh dari

orang yang membuat anak tersebut kesal.

Menurut Mah (2008:81-117) ada empat tipe temper tantrum yaitu:

a. Manipulative tantrums

Dari lahir anak secara aktif terlibat dalam membangun

pemahaman mereka sendiri. Pengalaman, dan pemahaman ini

dimediasi terkait oleh konteks sosial budaya. Anak-anak secara aktif

belajar dari mengamati, dan berpartisipasi dengan anak-anak lain serta

dengan orang dewasa, termasuk orang tua, dan guru. Anak-anak

mengamati semua kejadian dalam lingkungan, dan merefleksikan apa

yang mereka pahami dari interaksi sosial, dari mengajukan pertanyaan,

dan merumuskan jawabannya sendiri. Anak akan tantrum ketika orang

dewasa menentang model kerja yang telah mereka bangun. Alasan

anak menjadi tantrum adalah anak merasa apa yang telah mereka

pahami tidak sama dengan apa yang dipahami oleh orang dewasa, dan

saat anak tidak bisa menyatakan keinginannya atau orang dewasa tidak
mau mendengarkan apa yang anak inginkan maka anak akan

mengalami tantrum.

Orang tua memiliki kekuatan, dan kontrol untuk memutuskan

semua hal yang berhubungan dengan anak, baik apa yang harus

mereka lakukan, apa yang mereka pakai, dengan siapa mereka

bermain, dan menentukan hal lainnya. Salah satu alasan utama anak

kehilangan kontrol emosinya karena mereka tidak berdaya, frustrasi,

dan mereka merasa tidak mampu untuk mengkomunikasikan perasaan

mereka, dan anak-anak belum belajar bagaimana mengekspresikan diri

dengan langsung, dan jelas maka saat itulah anak-anak akan

mengamuk.

Anak-anak yang manipulative tantrums ini bersifat passive-

agressive, anak seolah-olah memiliki kekuatan tetapi tidak mampu

untuk mengungkapkan diri secara langsung. Anak akan berlagak

seolah-olah menjadi anak baik-baik, dan dia akan menirukan perilaku

orang yang tidak dia sukai, menarik perhatian dengan cara protes pada

apa yang disampaikan oleh orang dewasa. Misalnya sebelumnya anak

hanya memahami bahwa yang mempunyai kaki empat hanyalah kuda,

tetapi pada saat orang tua mengatakan bahwa yang mereka lihat

sekarang adalah zebra, anak akan menolak apa yang disampaikan oleh

orang tua tersebut, dan ketika anak tetap dipaksa anak tidak berdaya

untuk menolak, anak hanya mengangguk sedangkan dalam hati anak

tetap menolak bahwa itu adalah zebra.


b. Upset temper tantrums (distress)

Anak-anak yang termasuk pada upset temper tantrums adalah

anak-anak yang mengalami distress. Maksudnya anak berada dalam

keadaan yang sukar atau berbahaya. Jadi anak upset temper tantrums

ini menampilkan perilaku yang merusak. Penyebab anak menampilkan

perilaku merusak adalah dikarenakan adanya ketidakcocokan antara

komunikasi verbal dengan komunikasi non verbal yang ditampilkan

oleh orang dewasa, misalkan orang tua membolehkan untuk membeli

mainan tetapi ekspresi wajahnya melotot. Anak mengetahui bagaimana

maksud dari ekpresi wajah yang melotot, dan anak akan mengalami

ketakutan.

Pada saat inilah anak akan mengalami distress dan akan

muncul menjadi tantrum yang parah. Perilaku tantrum yang

ditampilkan adalah perilaku yang merusak. Baik merusak benda, orang

lain ataupun diri sendiri. Hal yang harus diperhatikan pada anak yang

mengalami upset temper tantrums adalah bagaimana orang tua mampu

berbahasa dengan lembut kepada anak, menampilkan ekspresi wajah

yang hangat, dan memberikan sentuhan yang nyaman untuk anak.

c. Helpless temper tantrums (not distress but despair)

Anak yang helpless temper tantrums adalah anak yang merasa

putus asa, tidak berdaya, takut, dan anak tersebut tidak bergairah.

Anak-anak akan mengatakan bahwa orang dewasa tidak adil


kepadanya. Anak merasa bahwa dirinya tidak diperdulikan oleh orang-

orang disekitarnya.

Terkadang perilaku yang ditampilkan oleh anak tidak seperti

tantrum dikarenakan anak lebih banyak putus asa, dan anak memiliki

kecenderungan cemas. Orang tua seharusnya memberikan kebebasan

untuk berpendapat bagi anak, agar anak tidak merasa diabaikan.

d. Stress and the cathartic tantrums

Semua kegiatan anak diatur oleh orang dewasa, mulai dari

berpakaian sampai dengan siapa anak-anak bermain. Anak-anak tidak

memiliki kebebasan untuk memilih apa yang mereka inginkan. Ketika

semuanya telah ditetapkan, anak tidak mampu untuk menolak apa yang

telah ditetapkan, dan anak mengalami stres. Ketika stres yang

dirasakan oleh anak berlebihan, anak tidak bisa mengontrol emosi, dan

anak butuh waktu untuk sendiri.

Respon yang diberikan anak adalah menolak bahwa dia tidak

berada dalam keadaan stres, anak menyendiri, dan tidak mau

mengungkapkan apa yang mereka rasakan kepada orang dewasa, yang

diperlukan anak adalah bimbingan dari orang tua untuk memanajemen

stres tersebut. Ketika orang tua tidak bisa memenuhi keinginan anak

tersebut maka anak akan menjadi tantrum. Tantrum yang ditampilkan

adalah menjauh dari lingkungannya atau anak butuh waktu untuk

sendiri, tetapi anak tetap mangatakan bahwa dia tidak merada dalam

keadaan stres.
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada empat

tipe temper tantrums yaitu, Manipulative tantrums, Upset temper

tantrums (distress), Helpless temper tantrums (not distress but despair),

Stress and the cathartic tantrums.

3. Faktor Penyebab Temper Tantrum

Temper tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan

energi berlimpah. Temper tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-

anak yang dianggap sulit, dengan ciri-ciri memiliki kebiasaan tidur,

makan, dan buang air besar tidak teratur, sulit menyesuaikan diri dengan

situasi, makanan, dan orang-orang baru, lambat beradaptasi terhadap

perubahan, suasana hati (moodnya) lebih sering negatif, mudah

terprovokasi, gampang merasa marah atau kesal, dan sulit dialihkan

perhatiannya (Syamsuddin, 2013:75-76). Anak mengalami temper tantrum

bisa terjadi dimanapun, kapanpun, tetapi akan cenderung terjadi ketika

orang tua tidak bisa memberikan perhatian penuh kepada anak, dan ketika

anak merasa tertekan karena lapar, sakit, lelah atau bosan (Hames,

2003:60).

Menurut Lestari dan Siswanto (2012:75) ada beberapa penyebab

dasar terjadinya tantrum, antara lain karena anak mencari perhatian, lelah,

lapar atau tidak nyaman. Terkadang tantrum terjadi karena anak frustrasi

pada dunia, misalnya tidak mendapatkan barang yang diinginkan.

Beberapa faktor lain yang juga dapat menjadi penyebab timbulnya temper

tantrum. Seperti yang disebutkan oleh Tasmin (dalam Syamsuddin,


2013:76) bahwa, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan temper

tantrum pada anak yaitu:

a. Terhalangnya keinginan anak untuk mendapatkan sesuatu

Maksudnya yaitu, adanya kebutuhan yang dinginkan anak tidak

terpenuhi. Misalkan sedang lapar, anak tidak mampu mengungkapkan

apa keinginannya atau ketidakmampuan anak mengkomunikasikan

dengan jelas keinginan diri, dan keinginan tersebut direspon oleh orang

tua tidak sesuai dengan apa yang diharapkan anak.

b. Pola asuh orang tua yang tidak konsisten

Pola asuh orang yang tidak konsisten juga menjadi salah satu

penyebab anak temper tantrum. Termasuk jika orang tua terlalu

memanjakan anak atau terlalu menelantarkan anak.

c. Suasana hati anak

Suasana hati yang dialami oleh anak juga mempengaruhi

perilaku yang dimunculkan, misalnya saat anak mengalami stres. Anak

mengalami perasaan yang tidak menyenangkan atau anak mengalami

ketidaknyamanan, suasana hati seperti ini bisa menyebabkan anak

temper tantrum.

Penyebab temper tantrum erat kaitannya dengan kondisi

keluarga, seperti anak terlalu banyak mendapatkan kritikan dari

anggota keluarga, gangguan atau campur tangan ketika anak sedang

bermain oleh saudara yang lain, masalah emosional dengan salah satu

orang tua, persaingan dengan saudara, dan masalah komunikasi serta


kurangnya pemahaman orang tua mengenai temper tantrum, dan orang

tua meresponnya sebagai sesuatu yang mengganggu. Cara orang tua

dalam mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan anak menjadi

temper tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan, dan selalu mendapat

apa yang ia inginkan, bisa temper tantrum pada saat keinginannya

ditolak (Syamsuddin, 2013:76).

Berikut ini adalah contoh-contoh kondisi terjadinya temper

tantrum (Mashar, 2011:93) yaitu:

a. Anak merasa tidak mampu melakukan sesuatu untuk mendapatkan

sesuatu yang diinginkan. Contoh saat anak yang sedang asyik

bermain dengan mainanya, tiba-tiba direbut oleh temannya, dan dia

tidak dapat mengambil kembali mainan tersebut.

b. Saat anak terlalu lelah, dan terlalu kesal, maka anak tidak dapat

mengendalikan emosinya. Kondisi ini juga dapat menyebabkan

anak mengalami temper tantrum.

c. Saat anak gagal melakukan sesuatu, sehingga anak marah, dan

anak tidak mampu mengendalikannya. Hal ini akan semakin parah

jika anak merasakan bahwa orang lain atau orang tua selalu

membanding-bandingkannya dengan orang lain atau orang tua

memiliki tuntutan yang lebih tinggi pada anak.

d. Ketika anak menginginkan sesuatu, dan keinginan tersebut selalu

ditolak, dan anak dimarahi. Sementara pendidikan dari orang tua

dirasakan oleh anak sering memaksa anak untuk melakukan


sesuatu disaat anak tidak ingin mengerjakan hal itu. Misalnya

untuk melakukan suatu tugas, mungkin orang tua tidak mengira

bahwa hal ini akan menjadi masalah pada si anak di kemudian hari.

Anak akan merasa bahwa ia tidak akan mampu, dan tidak berani

melawan kehendak orang tuanya, sementara ia sendiri harus selalu

menuruti perintah orang tua. Konflik tersebut akan merusak emosi

anak, sehingga mengakibatkan emosi anak meledak.

e. Ketika seorang anak mencontoh tindakan penyaluran amarah yang

salah dari ayah atau ibunya atau dari media elektronik. Anak

memahami bahwa jika ia marah, ia dapat berlaku seperti yang ia

lihat, misalnya dengan mengamuk, melempar barang, dan

menendang.

Dari paparan yang telah disebutkan banyak hal yang dapat

menyebabkan anak menjadi tantrum. Temper Tantrum bisa disebabkan

oleh keadaan internal anak, seperti suasana hati yang sedang dirasakan

oleh anak, dan faktor dari luar diri anak, yaitu tuntutan lingkungan yang

menyebabkan anak menjadi tantrum.

4. Cara Mengatasi Temper Tantrum

Anak-anak yang selalu mengalami temper tantrum akan terus

mengulangi pola ledakan emosi sambil berharap bahwa suatu saat

seseorang akan mampu menanganinya. Cara terbaik untuk mengelola

amukan adalah terus bersikap dewasa, peduli, positif, dan konsisten.

Tetapi ini tidak pernah menjadi tugas yang mudah, dan akan semakin sulit
ketika anak bertambah usia. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk

menangani amukan anak (Hames, 2003:89-96) yaitu:

a. Menetapkan batas

Anak membutuhkan batasan untuk perilakunya dari orang tua.

Jika orang tua tidak mengatakan apa yang boleh, dan apa yang tidak

boleh dengan jelas dan tegas, maka anak akan terus menekan. Akan

lebih mudah untuk menetapkan batasan segera setelah muncul

amukan yang pertama.

b. Tetap tegas

Tetap tegas berarti berkata tidak, dan tenang. Jika orang tua

berteriak atau menjerit untuk menyampaikan maksudnya, mungkin itu

akan menakuti anak tetapi anak tidak akan tahu apa yang diteriakkan.

Kadang-kadang, sebagian besar orang tua telah berkata tidak tetapi

kemudian menyesalinya. Jika orang tua telah memutuskan bahwa dia

keliru berkata tidak, tetapi amukan sudah dimulai janganlah menyerah

tetaplah minta agar anak menerima keputusan tersebut.

c. Menjauhkan diri

Banyak orang tua yang menjauh dari anaknya ketika anak

mengamuk. Ini memang berhasil, tetapi akan lebih berhasil jika orang

tua melakukannya dengan tenang, dan tidak memperdulikan nasihat

terbaik untuk melakukan hal yang sebaliknya.

d. Memegangi dengan kuat


Orang tua yang lain memilih untuk memegangi anaknya

dengan kuat selama mengamuk, dan ini juga berhasil. Sebenarnya,

ketika orang tua berada di luar rumah, sering kali ini merupakan satu-

satunya pilihan. Pegangi anak hanya jika anda merasa bisa

melakukannya tanpa mencederainya. Pegangi anak agar anak merasa

aman, bukan merasa tidak berdaya.

Hal yang paling penting dalam menghadapi anak yang tantrum adalah

apapun penyebabnya, tetaplah tenang. Jangan perumit masalah dengan

frustrasi karena anak akan merasakan emosi orang tua yang naik. Hal itu

bisa menyebabkan emosi anak ikut meningkat sehingga tantrum semakin

menjadi. Seorang anak yang mengalami tantrum tidak dapat menerima

bujukan. Anak justru akan merespon negatif tindakan tersebut, namun

jangan mengacuhkan anak, tetaplah berada disamping anak. Jika tantrum

terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman agar anak

bisa melampiaskan emosinya. Jauhkan anak dari benda-benda yang dapat

membahayakan dirinya, dan jika selama tantrum anak menyakiti teman

maupun orang tuanya, maka jauhkan anak dari temannya, dan jauhkan diri

dari anak (Lestari dan Siswanto, 2012:76).

Menurut Mah (2008:72-76) ada beberapa hal umum yang dilakukan

untuk menghadapi anak temper tantrum yaitu:

a. Menuruti keinginan anak

Anak semata-mata fokus untuk mendapatkan sesuatu yang

diinginkannya, dan anak butuh untuk memuaskan keinginan tersebut.


Anak akan emosi jika keinginan tersebut tidak ia dapatkan, dan untuk

meredakan emosi anak, salah satu caranya adalah dengan menurutkan

keinginan anak.

b. Mengajarkan anak

Pada masa ini orang tua harus bisa mengajarkan anak

bagaimana menghentikan atau mengontrol emosi. Orang tua sangat

berperan dalam mengajarkan anak agar nantinya anak mampu

mengontrol emosi sendiri.

c. Menyadarkan anak

Anak lebih mementingkan dirinya sendiri atau lebih bersifat

egosentrisme. Untuk menghindari hal yang dapat membahayakan bagi

diri anak ataupun orang lain, maka orang tua harus mampu

menyadarkan anak atau memberikan pemahaman kepada anak

mengenai rasa malu, dan menjelaskan agar anak bisa menghentikan

temper tantrumnya.

d. Menghukum anak

Keinginan anak untuk menghindari hukuman lebih kuat dari

pada kebutuhannya. Untuk menghindari hukuman anak mengeluarkan

temper tantrum sebagai ekspresi emosinya yang merupakan energi

yang kuat dari dalam diri anak. Jika tantrum merupakan ekspresi dari

proses emosi internal anak, maka hukuman merupakan motivasi alami

untuk menyangkal atau mengatasi kekuatan dasar tersebut.

e. Mengabaikan anak
Anak selalu mencari perhatian, tidak tepat jika selalu

memberikan perhatian. Selalu memberi perhatian bisa memperkuat

temper tantrum. Sebenarnya tanpa memberikan perhatian, dan

penguatan, temper tantrum akan reda sendiri. Sayangnya anak yang

diabaikan dapat menjadi lebih bingung, putus asa, dan mungkin akan

merugikan diri sendiri, dan lingkungannya.

f. Mengalihkan perhatian anak

Jika anak mengalami temper tantrum maka sebaiknya orang tua

bisa mengalihkan perhatian anak dengan cara mengajarkan anak

tentang disiplin, keyakinan, nilai, dan kebiasaan sebagai makhluk

individu, dan hidup bermasyarakat atau dengan cara memberikan

mainan atau memberikan makanan kepada anak, dan lainnya.

Beberapa cara lain yang dapat dilakukan untuk menghadapi

anak temper tantrum (Mashar, 2011:94-95) yaitu:

a. Pencegahan dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak,

mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa

munculnya tantrum serta mengatur pola asuh yang baik untuk

diterapkan pada anak.

b. Ketika tantrum terjadi maka hendaknya dipastikan bahwa

lingkungan disekitar anak aman, orang tua harus tetap tenang, dan

berusaha menjaga emosinya sendiri. Setelah anak menunjukkan

penurunan perilaku tantrum, maka orang tua segera mendekati

anak, memeluk, dan memberikan ketenangan pada anak, dan


setelah anak tenang baru orang tua memberikan pengertian tentang

perilaku anak tanpa menyudutkan anak.

c. Ketika tantrum telah berlalu maka jangan diikuti dengan hukuman,

nasihat-nasihat atau teguran maupun sindiran-sindiran, berikanlah

rasa cinta, dan rasa aman pada anak.

Lorenz (dalam Syamsuddin, 2013:78) memberikan pandangan

tentang bagaimana mencegah terjadinya tantrum saat akan melakukan

perjalanan atau mengunjungi suatu tempat. Orang tua perlu menjelaskan

apa yang akan dilakukan, dimana, dan berapa lama kegiatan tersebut

dilakukan, lalu minta persetujuan anak. Ceritakan perilaku yang

diharapkan, dan perilaku yang tidak diharapkan oleh orang tua, dan

disampaikan dengan kalimat positif, lembut, dan menggunakan kata-kata

yang meminta (mengharap) serta menggunakan ungkapan yang dapat

dirasakan oleh anak. Jika anak melanggar kesepakatan tersebut, maka

tugas orang tua adalah mengingatkan.

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa ada banyak cara yang

dapat dilakukan untuk mengatasi temper tantrum pada anak. Seperti

menurutkan keinginan anak, menghukum anak, membuat batasan untuk

anak, mengalihkan perhatian anak, mengajarkan anak, dan tetap bersikap

tenang saat anak mengalami temper tantrum.


5. Pandangan Islam dalam Membentuk Perilaku Anak

Salah satu peran keluarga dalam pengasuhan anak adalah memberikan

pendidikan yang terbaik kepada anak, terutama pendidikan agama. Orang

tua yang saleh adalah model terbaik untuk memberikan pendidikan agama

kepada anak-anak. Penanaman jiwa agama yang dimulai dari keluarga,

dimulai dari semenjak anak masih kecil dengan cara membiasakan anak

dengan tingkah laku yang baik dengan mencontoh keteladanan Rasulullah

SAW sebagai keteladanan yang terbaik. Salah satu keteladanan Rasulullah

adalah dengan menanamkan akhlakul karimah. Agama yang ditanamkan

pada anak bukan hanya karena agama keturunan tetapi bagaimana anak

mampu mencapai kesadaran pribadi untuk bertuhan, sehingga

melaksanakan semua aturan agama terutama implementasi rukun iman,

rukun islam, dan ihsan dalam kehidupan sehari-hari (Hidayah, 2009:21-

22).

Mempersiapkan segala macam sarana agar anak berbakti kepada

kedua orang tua, dan mentaati perintah Allah SWT dapat membantu anak

untuk berbakti, dan mengajarkan ketaatan serta mendorongnya untuk

selalu menurut, dan mengerjakan perintah. Menciptakan suasana yang

nyaman mendorong si anak untuk berinisiatif menjadi orang terpuji. Selain

itu, kedua orang tua berarti telah memberikan hadiah terbesar bagi anak

untuk membantunya meraih kesuksesan. Dalam rangka menciptakan

suasana yang mendukung anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya,

Rasulullah SAW berdoa untuk segenap orang tua agar Allah SWT
menurunkan rahmat, dan keridaan-Nya kepada orang tua dalam aktivitas

membantu anak-anaknya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban bahwasanya Rasulullah SAW

bersabda (Ghazali, 2010:226). :

ِ‫رَﺣِ ﻢَ ا ﻟﻠَﻪُ وَ ا ﻟِﺪً اﻋَﺎاَ نَ وَ ﻟَﺪَ هُ ﻋَﻞَ ﺑِﺮﱢﻩ‬


Artinya: Semoga Allah memberi rahmat kepada orang tua yang membantu
anaknya berbakti kepadanya (HR. Ibnu hibban).

Diriwayatkan oleh Ath-Tabrani dari Abu Huarairah radhiyallahu ‘anhu:

ُ‫َ ﺪﱠ ﺛَﲏِ أَﺑ أُﻮَﲪَْﺪَﳏَُﻤﱠ ﺪُ ﺑْﻦ‬:‫ ﺛ أﻨﺎَﲪَْﺪُ ﺑْﻦُﳏَُﻤﱠ ﺪِ ﺑْ أﻦَِﰊ ِ ﺑـَﺰﱠةَﻗَﺎلَﺣ‬: َ‫ﺣَ ﺪﱠ ﺛـَﻨَﺎ ﻋَﻠِﻲﱞ ﻗَﺎل‬
ٍ‫ ﺛﺣُﻨﺎﺴَﲔ ْ ُ ﺑْﻦُ ﺻَ ﺪَ ﻗَﺔَ ﺑْﻦِ ﻳَﺴَﺎر‬: َ‫ﳛَْﲕَ ﺑْﻦِ ﻳَﺴَﺎﻣرٍَﻮْﱃَ ﻋَﺒْﺪِ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑْﻦِ ﻣَ ﺴْ ﻌُﻮدٍ ﻗَﺎل‬
ِ‫ ﻗَﺎلَرَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪ‬: َ‫َﻦَْﰊ ِ ﻫُ ﺮَﻳـْﺮَةَ ﻗَﺎل‬ ‫ ﻋ أ‬،‫ ﻋَ اﻦﻟِْﻤَ ﻘْﱪُِيﱢ‬،‫اﻷ ْ َﻧْﺼَﺎرِيﱡ‬
ِ‫ﻣَ ﻦْ ﺷَﺎاءَﺳْ ﺘَﺨْ ﺮَجَاﻟْﻌُﻘُﻮقَ ﻟِﻮَﻟَﺪِﻩ‬،‫َﻰﻟْﱪِﱢ‬
‫َوْﻻَ دَﻛُ ﻢْ ﻋَﻠ ا‬
‫ أَﻋأِﻴﻨُﻮا‬: َ‫وَ ﺳَ ﻠﱠﻢ‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami, Ali berkata telah menceritakan
kepada kami Ali bin Muhammad bin Abi Bazzah, ia berkata telah
menceritakan kepada Abu Ahmad Muhammad bin Yahya bin
Yasar Maulana (pembantu) Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,
telah menceritakan kepadaku Husain bin Shadaqah bin Yasar Al-
Anshari, diriwayatkan dari Muqbir, diriwayatkan dari Abi
Hurairah, Rasulullah saw bersabda, bantulah anak-anak kalian
untuk berbakti. Barang siapa yang menghendaki, dia dapat
mengeluarkan sifat durhaka dari anaknya (Jalaluddin, :237)
Maksud dari hadis di atas dapat dipahami bahwa ada tanggung jawab

yang besar dipundak kedua orang tua dalam membantu anak mereka untuk

berbakti. Disamping itu orang tua juga memiliki kemampuan untuk

melenyapkan sifat durhaka dari anak mereka, yaitu dengan nasihat yang baik,

dan pada waktu yang tepat. Sikap sabar, dan ketulusan hati orang tua dapat

mengantarkan kesuksesan anak. Begitu juga memupuk kesabaran anak sangat

diperlukan sebagai upaya pengendalian diri. Kesabaran menjadi hal yang


penting dalam hidup manusia sebab bila kesabaran tertanam dalam diri

seseorang dengan baik maka seseorang akan mampu mengendalikan diri, dan

berbuat yang terbaik untuk kehidupannya. Secara psikologis dapat ditelusuri

bahwa bila anak dilatih untuk memiliki sifat sabar dengan bekal agama yang

dimiliki akan berimplikasi positif bagi kehidupan anak secara pribadi, dan

bagi orang lain atau masyarakat secara luas (Hidayah, 2009:22).

Selain melatih kesabaran pembentukan kepribadian, mental, dan fisik

anak perlu disiapkan sejak dini, begitu juga dengan berbuat baik kepada

sesama manusia perlu ditanamkan sejak awal, sebab ada kewajiban bagi

manusia untuk selalu berbuat baik kepada manusia lain. Orang tua wajib

mengusahakan kebahagiaan bagi anak, dan menerima keadaan anak apa

adanya, mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT, serta

mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak (Hidayah, 2009:23-24).

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa orang tua memiliki

kewajiban, dan tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak agar anak

dapat tumbuh, dan berkembang menjadi pribadi yang saleh yang berimplikasi

positif bagi kehidupan pribadi anak, dan kehidupan sosial anak dalam

masyarakat secara luas.


B. Penelitian yang Relevan

Beberapa peneliti sebelumnya sudah pernah melakukan penelitian

mengenai temper tantrum, berikut ini adalah lima hasil penelitian tentang

temper tantrum, yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningrum dengan judul penelitian

“Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Dini ditinjau dari Teori

Ekologi Brofenbrenner”. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan

gambaran mengenai perilaku tantrum pada anak usia dini yang ditinjau

dari teori ekologi Brofenbrenner. Hasil penelitian ini memberikan

gambaran adanya masalah pada masing-masing sistem di lingkungan

sosial anak.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Asih, Dewi, Mahmudah dan Shinta dengan

judul penelitian “Studi Kasus Pengelolaan Emosi pada Anak Tantrum di

Taman Kanak-Kanak”. Tujuan dari penelitian mereka adalah untuk

mengetahui cara menangani perilaku tantrum pada anak usia taman kanak-

kanak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif yang

konsisten dari orang tua, dan guru serta orang lain di luar keluarga inti

seperti nenek, dan kakek mampu membantu pengelolaan emosi pada anak

sehingga dapat menjadi salah satu cara dalam mengatasi temper tantrum.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari dengan judul penelitian

“Identifikasi Perilaku Manipulasi Tantrum (Studi Deskriptif pada Anak di

KB-TK Islami Hidayatullah Semarang”. Tujuan penelitian yang dilakukan

oleh Puspitasari adalah yang pertama untuk mengetahui faktor penyebab


anak mengalami tantrum di KB-TK Hidayatullah Semarang, yang kedua

untuk mengetahui bentuk atau gaya manipulasi tantrum yang dilakukan

oleh anak di KB-TK Hidayatullah Semarang. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa perilaku manipulasi tantrum terjadi karena masalah

yang sedang dihadapi oleh orang tua, seperti pola asuh orang tua yang

terlalu memanjakan atau terlalu mengekang anak, dan pola asuh yang

berbeda antara dua orang yang berbeda. Bentuk dari perilaku manipulasi

tantrum tersebut adalah marah, menangis, berteriak, dan memukul.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dengan judul penelitian

“Dinamika Perilaku Nakal Anak Berambut Gimbal di Dataran Tinggi

Dieng”, dalam penelitian Damayanti ini perilaku nakal disebut juga

dengan temper tantrum. Tujuan penelitiannya adalah untuk menjelaskan

fenomena perilaku nakal yang melekat pada anak berambut gimbal (titisan

Ki Kolodete) di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah. Hasil penelitian

Damayanti menyatakan bahwa secara umum penyebab munculnya

perilaku nakal anak berambut gimbal ini diklasifikasikan menjadi dua

faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri

dari kondisi kesehatan fisik, dan usia anak berambut gimbal. Sedangkan

faktor eksternal terdiri dari pengasuhan, sugesti kolektif, kepercayaan

tentang anak rambut gimbal, persepsi terhadap kepercayaan tentang anak

berambut gimbal, dan latar belakang demografi.

5. Penelitian kelima dilakukan oleh Efastri, Filtri dan Sembiring dengan

judul penelitian “Persepsi Orang Tua terhadap Pemecahan Masalah


Temper Tantrum Anak Usia Dini di Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru”.

Tujuan penelitian mereka adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk

perilaku pada anak temper tantrum, dan untuk mengetahui pola asuh yang

tepat pada anak temper tantrum. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan

pertama, persepsi orang tua terhadap kemampuan seseorang dalam

melihat, dan menanggapi realitas nyata. Kedua, temper tantrum adalah

perilaku destruktif buruk dalam bentuk luapan yang bisa bersifat fisik

(memukul, menggigit, dan mendorong), maupun verbal (menangis,

berteriak, dan merengek) atau terus menerus merajuk disebabkan faktor

fisiologis, yaitu lelah, lapar atau sakit sedangkan faktor psikologisnya

antara lain, anak mengalami kegagalan dalam memenuhi tuntutan orang

tua yang terlalu menuntut anak sesuai harapan orang tua. Faktor orang tua

yaitu penerapan pola asuh, dan yang ketiga ada perbedaan antara pola asuh

demokratis dengan temper tantrum pada anak pra-sekolah.

Hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki keterkaitan

dengan penelitian yang peneliti lakukan yang mana pada penelitian di atas

semuanya terkait tentang temper tantrum dengan metodologi penelitian

kualitatif. Penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian kualitatif

dengan judul Temper Tantrum Pada Anak di Nagari Bukik Kanduang

Kecamatan X Koto di Atas Kabupaten Solok. Tujuan peneliti melakukan

penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana tipe temper tantrum

pada anak, mengungkap faktor apa saja yang menyebabkan anak

mengalami temper tantrum, dan mengungkap bagaimana sikap orang tua


pada anak temper tantrum di Nagari Bukik Kanduang Kecamatan X Koto

di Atas Kabupaten Solok. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian di

atas.
C. Kerangka konseptual

Anak

Mengalami temper tantrum

1. 2. 3. 4.
Manipulative Upset Helpless Stress and
tantrum temper temper tantrum the
tantrum (not distress cathartic
(distress) but despair) tantrum

Sikap orang tua pada anak


temper tantrum

1. Menuruti keinginan anak

2. Mengajarkan anak

3. Menyadarkan anak

4. Menghukum anak

5. Mengabaikan anak

6. Mengalihkan perhatian anak

Gambar 1.

Kerangka Konseptual
Anak yang terlahir ke dunia ini membutuhkan kasih sayang dari orang

tua, dan orang-orang di sekitar mereka untuk tumbuh, dan berkembang

mencapai pribadi yang baik, dan menyenangkan. Saat anak berada pada usia

dini atau pada masa golden age perkembangan emosi pada setiap anak tentu

berbeda-beda. Menurut Froebel (dalam Budisetyani dan Pratiwi, 2013:161)

tahap ini merupakan tahap awal yang menentukan bagaimana sikap, perilaku,

dan kepribadian di masa yang akan datang. Jika dahulu banyak anak yang

menunjukkan karakter yang penurut, dan lebih menerima, sekarang anak lebih

banyak menunjukkan karakter penuntut sebagai akibat dari banyaknya

stimulus dari lingkungan.

Anak mulai mengetahui, dan belajar menghadapi rasa kecewa saat apa

yang dikehendaki tidak dapat terpenuhi. Rasa kecewa, marah, sedih, dan

sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar, dan natural. Namun sering kali,

tanpa disadari orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak.

Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orang tua dengan berbagai cara

berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, dan memarahi anak demi

menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tidak

tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka akan

mengakibatkan timbulnya tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang

nantinya dapat meledak, dan muncul sebagai temper tantrum (Kirana,

2013:51).

Temper tantrum pada anak ada empat tipe, yaitu pertama manipulative

tantrum dimana anak-anak yang manipulative tantrum ini bersifat passive-


agressive, anak seolah-olah memiliki kekuatan tetapi tidak mampu untuk

mengungkapkan diri secara langsung. Anak akan berlagak solah-olah menjadi

anak baik-baik, dan dia akan menirukan perilaku orang yang tidak dia sukai,

menarik perhatian dengan cara protes pada apa yang disampaikan oleh orang

dewasa. Kedua upset temper tantrum dimana anak-anak yang termasuk pada

upset temper tantrums adalah anak-anak yang mengalami distress. Maksudnya

anak berada dalam keadaan yang sukar atau berbahaya. Jadi anak upset temper

tantrums ini menampilkan perilaku yang merusak. Ketiga helpless temper

tantrum (not distress but despair), anak yang helpless temper tantrums adalah

anak yang merasa putus asa, tidak berdaya, takut, dan anak tersebut tidak

bergairah. Anak-anak akan mengatakan bahwa orang dewasa tidak adil

kepadanya. Anak merasa bahwa dirinya tidak diperdulikan oleh orang-orang

disekitarnya. Terakhir adalah stress and the chatric tantrum dimana Respon

yang diberikan anak adalah menolak bahwa dia tidak berada dalam keadaan

stres, anak menyendiri, dan tidak mau mengungkapkan apa yang mereka

rasakan kepada orang dewasa.

Dari empat tipe temper tantrum tersebut tentu orang tua berbeda-beda

dalam menyikapi temper tantrum pada anak. Ada orang tua yang menurutkan

semua keinginan anak, ada orang tua yang mengajarkan anak mereka, ada

orang tua yang menyadarkan bahwa perilaku tersebut tidak baik, ada orang tua

yang menghukum anak pada saat anak temper tantrum, ada orang tua yang

mengabaikan anak mereka, dan ada orang tua yang mengalihkan perhatian

anak kepada hal lain.

Anda mungkin juga menyukai