Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SOSIOLOGI PERTANIAN

“STRATIFIKASI DAN DIFERENSIASI SOSIAL”

MATA KULIAH : SOSIOLOGI PERTANIAN


AGRI C

KELOMPOK 8
Anggota :
FARHANI MAULANA PASHA
(2310221031)
ABI RAFDI AUFAR
(2310221053)
ARIEF RAHMATULLAH
(2310222022)
TRIE HERMANI
(2310221038)
SHONIA MANETA
(231022)
STRATIFIKASI DAN DIFERENSIASI SOSIAL

STRATIFIKASI SOSIAL

A. Pengertian
Definisi, stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya
pembedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara
bertingkat. Misalnya: dalam komunitas tersebut ada strata tinggi, strata sedang dan strata
rendah. Pembedaan dan/atau pengelompokan ini didasarkan pada adanya suatu simbol-
simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai baik berharga atau bernilai secara
sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya dalam suatu kelompok
sosial (komunitas).

Simbol-simbol tersebut misalnya, kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam


beragama, dan pekerjaan. Dengan kata lain: selama dalam suatu kelompok sosial
(komunitas) ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, dan dalam suatu kelompok
sosial (komunitas) pasti ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, maka selama
itu pula akan ada stratifikasi sosial dalam kelompok sosial (komunitas) tersebut.

Secara sosiologis jika dilacak ke belakang konsep stratifikasi sosial memang kalah
populer dengan istilah kelas sosial, di mana istilah kelas sosial pada awalnya menurut
Ralp Dahrendorf (1986), diperkenalkan pertama kali oleh penguasa Romawi Kuno. Pada
waktu itu, istilah kelas sosial digunakan dalam konteks penggolongan masyarakat
terhadap para pembayar pajak. Ketika ituada dua golongan masyarakat, yaitu golongan
masyarakat kaya dan masyarakat golongan miskin.

B. PEDOMAN TERBENTUKNYA STRATIFIKASI SOSIAL


Beberapa pedoman bagi terbentuknya stratifikasi sosial adalah :
1. Sistem stratifikasi sosial berpokok pada sistem pertentangan yang terjadi di
masyarakat.
2. Sistem pelapisan sosial dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsur-unsur
berikut ini:
 Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti menentukan
penghasilan,tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang.
 Sistem pertanggaan pada strata yang diciptakaan
masyarakat yangmenyangkut prestise dan penghargaan.
 Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas
pribadi, keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, milik, wewenang,
atau kekuasaan.
 Lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti tingkah
laku, caraberpakaian, bentuk rumah, dan keanggotaan dalam suatu
organsisasi formal.
 Mudah sukarnya bertukar kedudukan.
 Solidaritas di antara individu-individu atau kelompok yang menduduki
status sosial yang sama dalam sistem sosial.

C. DASAR-DASAR STRATIFIKASI SOSIAL

Terdapat beberapa ukuran yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam


pembentukan lapisan sosial di suatu masyarakat, antara lai adalah :
1. Ukuran kekayaan, sehingga yang memiliki kekayaan paling banyak akan
menempati kedudukan yang paling tinggi.
2. Ukuran kekuasaan, sehingga yang memiliki kekuasaan dan wewenang
paling besar akan menempati kedudukan yang paling tinggi.
3. Ukuran kehormatan/kebangsawanan, sehingga orang yang paling
diseganidan dihormati akan menempati kedudukan yang paling tinggi.
4. Ukuran ilmu pengetahuan/pendidikan, sehingga semakin tinggi
penguasaan ilmu pengetahuan seseorang, maka akan semakin tinggi
kedudukannya.
5. Ukuran berdasarkan pekerjaan, sehingga semakin bergengsi/dihargainya
pekerjaan yang dimiliki seseorang akan menempatkannya pada kedudukan
yangsemakin tinggi.
6. Ukuran keturunan, sehingga keturunan dari orang-orang yang dihormati dan
dihargai di suatu masyarakat akan menempatkannya pada kedudukan yang
istimewa.

D. FUNGSI STRATIFIKASI SOSIAL

Stratifikasi sosial dapat berfungsi untuk :


1. Memberikan rangsangan agar manusia mau menempati status-status sosial
dan setelah itu bersedia menjalankan perannya sesuai harapan masyarakat
(KingsleyDavis dan Wilbert Moore).
2. Menciptakan persaingan dalam masyarakat untuk memperebutkan kekayaan,
kekuasaan dan prestise yang jumlahnya sangat terbatas (Karl Marx dan Max
Weber).
3. Memberikan fasilitas-fasilitas hidup bagi anggotanya, membentuk gaya hidup
dan tingkah laku (life style) dalam kelas-kelas sosial yang berbeda (Soerjono
Soekanto).
4. Menyediakan keperluan-keperluan yang nyata bagi masyarakat (Joseph
Schumpeter).
5. Menjelaskan kedudukan seseorang pada “tempat-tempatnya” dalam masyarakat,
sehingga diharapkan seseorang mengetahui tugas, serta bagaimana efek dan
sumbangannya dalam kehidupan di masyarakat (Astrid S. Susanto).
6. Menjamin terjadinya distribusi penghargaan, dengan memberikan imbalan
kepada yang melaksanakan tugas dengan baik dan menghukum yang
tidak/kurang baik (Astrid S. Susanto).
7. Menjaga ketertiban dan pelaksanaa penertiban sosial yang terlembagakan dalam
masyarakat (Astrid S. Susanto).
E. SIFAT / SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL

Pada dasarnya, stratifikasi sosial yang terdapat di masyarakat dapat dibedakanke


dalam tiga (3) bagian, yaitu :
1. Stratifikasi sosial tertutup (closed social stratification).
Adalah sistem stratifikasi sosial yang mobilitas vertikal. Mobilitas sosial yang dapat
dilakukan oleh para anggota masyarakat hanya terbatas pada mobilitas horisontal saja.
Dengan demikian stratifikasi sosial ini bersifat diskriminatif, satu- satunya penentu kelas
sosial bagi seseorang adalah status sosial yang diperoleh karena kelahiran.
Contohnya: sistem pembagian kasta pada masyarakat Hindu, status kebangsawanan
pada masyarakat feodal, status warna kulit pada masyarakat rasialis.
2. Stratifikasi sosial terbuka (opened social stratification).
Adalah sistem stratifikasi sosial yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial secara
vertikal dan horisontal bagi para anggota strata sosial. Oleh karena itu, sistem stratifikasi
sosial ini bersifat demokratis.
Sistem stratifikasi sosial terbuka, didorong oleh beberapa faktor, seperti :
a). Perbedaan sistem nilai budaya (adat istiadat).
b). Pembagian tugas yang semakin terspesialisasi.
c). Kelangkaan hak dan kewajiban.

Contohnya: stratifikasi sosial yang terdapat pada masyarakat perkotaan, dimana setiap
anggota masyarakat dapat naik ke lapisan sosial yang lebih tinggi berdasarkan kondisi
ekonominya, keterampilan/kepandaian yang dimiliki, serta status sosial yang berhasil
dicapainya.
3. Stratifikasi sosial campuran
Merupakan kombinasi antara stratifikasi sosial tertutup dan stratifikasi sosial terbuka.
Sebagai contoh, seseorang yang berkasta Brahmana sangat dihargai dan menempati
lapisan sosial yang paling tinggi di suatu komunitas yang menghargai kasta. Ketika ia
pindah ke kota yang menghargai keterampilan dan pendidikan, ia harus menyesuaikan
diri dan menempati kedudukan sosial yang mungkin berbeda dari tempat
asalnya/sebelumnya.

F. BENTUK – BENTUK STRATIFIKASI SOSIAL


1. Sistem Kasta
Kasta adalah suatu kategori di mana para anggotanya ditunjuk dan ditetapkan sebuah status
yang permanen (bersifat tetap) dalam hirarki sosial, serta hubungan-hubungan di antara anggota
kasta dibatasi sesuai dengan statusnya.
Ciri-ciri kasta :
 Diperoleh karena warisan atau kelahiran.
 Berlaku seumur hidup, terkecuali untuk orang-orang yang dikeluarkan dari
kastanya karena melanggar aturan atau melakukan kesalahan fatal.
 Perkawinan bersifat endogami, artinya pasangan perkawinan dipilih dari
kelompok sendiri yang kastanya setingkat (sama).
 Hubungan dengan kasta-kasta lain bersifat terbatas.
 Tingginya kesadaran akan keanggotaan dalam kasta tertentu, yang terwujud
pada penggunaan nama sesuai kasta, mengenal anggota kastanya, dan
penyesuaian pada norma-norma kastanya.

2. Sistem Kelas Sosial


Kelas sosial terdiri atas sejumlah orang yang memiliki status yang sama, di mana
status tersebut bisa didapat sejak lahir atau bisa didapat dengan serangkaian usaha.
Seseorang yang hidup dalam masyarakat dengan sistem kelas sosial terbuka dapat
mengubah dan memperbaiki status sosialnya, atau sebaliknya dapat mengalami
penurunan status ke lapisan yang lebih rendah. Dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat
dengan sistem kelas sosial terbuka, mobilitas sosia lterjadi tanpa hambatan yang berarti.
3. Sistem Feodal
Sistem feodal selalu ditandai dengan pembedaan status seseorang terhadap orang
lain. Posisi-posisi tertentu telah “diberikan” dan tidak mungkin berpindahdari satu
tingkat ke tingkat lain yang lebih tinggi. Dalam masyarakat dengan sistem feodal,
seluruh penduduk akan bersumpah untuk mengabdi kepadaraja, yang kekuasaannya
dipercayai merupakan pemberian Tuhan. Raja memberikan hak pemilikan tanah
kepada para bangsawan. Kaum bangsawan selanjutnya memberikan tanahnya
kepada para ksatria yang mengabdi kepada bangswan tersebut. Sedangkan pada
tingkat terendah, petani diberi hak pengolahan atas tanah, yang harus ditukar dengan
hasil produksi yang mereka hasilkan (sebagai upeti).

4. Sistem Apartheid
Sistem apartheid ini akan menentukan pekerjaan, pendidikan, fasilitas-fasilitas yang
dapat diterima, serta aturan-aturan dalam kontak/relasi sosial. Penjelasan di atas
menunjukkan bahwa status seseorang dalam sistem apartheid merupakan status yang
dibawa sejak lahir, sehingga sangat tertutup kemungkinan untuk berpindah status ke
lapisan yang lebih tinggi.

G. MACAM-MACAM STRATIFIKASI SOSIAL

Pada dasarnya, stratifikasi sosial dapat dibagi ke dalam dua (2) macam status, yaitu :
1. Berdasarkan status yang diperoleh secara alami, terdiri dari :
 Stratifikasi berdasarkan perbedaan usia.
 Stratifikasi berdasarkan senioritas, berkaitan dengan usia dan jenjang
pengalaman akan sesuatu.
 Stratifikasi berdasarkan jenis kelamin.
 Stratifikasi berdasarkan sistem kekerabatan, antara ayah, ibu dan anak-anak.
 Stratifikasi berdasarkan keanggotaan dalam kelompok tertentu, misalnyaras
dan suku bangsa.

2. Berdasarkan status yang diperoleh melalui serangkaian usaha, terbagi atas :


1. Stratifikasi berdasarkan pendidikan.
2. Stratifikasi di bidangekonomi.
3. Stratifikasi di bidang pekerjaan.

H. SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT PERTANIAN


Masyarakat pertanian atau masyarakat agraris merupakan masyarakat yang mata
pencahariannya sebagai petani.
Ciri-ciri masyarakat pertanian adalah sebagai berikut :
 Mengandalkan tanah sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal.
 Ketergantungan pada alam relatif tinggi, karena penguasaan teknologi masih
rendah.
 Hubungan antaranggota relatif erat dan rasa solidaritas antarwarga tinggi.
 Mobilitas sosialnya relatif rendah.
 Cenderung bersikap tertutup dan curiga terhadap budaya luar.
 Jumlah strata yang terdapat di masyarakat relatif sedikit, karena
masyarakatnya relatif homogen.
 Masih percaya pada hal-hal yang bersifat gaib (religius magis).
 Pola kepemimpinan masyarakat bersifat formal.
 Memegang teguh tradisi yang dimiliki dan cenderung kurang rasional.

Stratifikasi yang ditemukan pada masyarkat pertanian, dapat dikelompokkan kedalam


tiga (3) bentuk utama, yaitu :
1. Berdasarkan pada kepemilikan atas tanah, dengan pembagian kelassosialnya
adalah sebagai berikut :
 Petani yang memiliki tanah pertanian dan pekarangan untuk rumah.
 Petani yang memiliki tanah pekarangan beserta rumah, tetapi tidak memilikitanah
pertanian.
 Petani yang tidak memiliki tanah pertanian dan pekarangan untuk rumah.

2. Berdasarkan pola senioritas


artinya pola pelapisan sosial atas dasar kepemilikan tanah yang memperhitungkan
kesenioritasan pemilikan tanah dalam suatu masyarakat. Pembagian kelas
sosialnya terdiri atas :
 Penduduk inti, adalah orang-orang yang pertama-tama datang ke suatu daerah
untuk membangun wilayah desa dengan membuka dan tanah pertanian dan
pekarangan. Golongan ini tentu saja memiliki kesempatan untuk menguasai
dan memiliki hak yang lebih besar dibandingkan orang- orang yang datang
kemudian.
 Penduduk pendatang, adalah orang-orang yang datang kemudian setelah
penduduk inti.

3. Berdasarkan pola identifikasi


yaitu pelapisan sosial yang didasarkan ataspandangan masyarakat bahwa orang-
orang tertentu diidentifikasikan (dipersamakan) dengan golongan-golongan,
kerabat-kerabat, atau yang memiliki jabatan terhormat, baik yang berasal dari
desanya maupun dari luar desa. Dengan demikian, secara umum pelapisan
sosialnya terbagi atas :
 Golongan tertinggi, terdiri dari orang-orang yang memiliki jabatan terpandang
beserta dengan kerabat-kerabatnya, yang diidentifikasi sebagai golongan lapisan
atas.
 Golongan yang tidak memiliki jabatan terhormat atau tidak
diidentifikasikan dengan golongan-golongan dan kerabat-kerabat yang
terpandang.
DIFERENSIASI SOSIAL

A. PENGERTIAN
Kata diferensiasi sosial diadopsi dari bahasa Inggris, yaitu difference yang berarti
perbedaan. Jika diterapkan pada istilah diferensiasi sosial, memang pada kenyataannya
proses pembedaan masyarakat sebagai inti utama dari konsep diferensiasi sosial, akan
memunculkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda satu sama lain. Berbagai sumber
mengungkapkan definisi diferensiasi sosial ini dengan kalimat yang beragam, seperti di
bawah ini :
Diferensiasi sosial terjadi akibat pola interaksi individu yang memiliki ciri-ciri fisik dan non fisik
berbeda-beda, meliputi :

 Ciri fisik seperti bentuk dan tinggi tubuh, raut muka, warna kulit, warna rambut, dan lain-
lain
 Ciri sosial budaya, antara lain kecerdasan, motivasi, dedikasi, minat dan bakat. Dalam
lingkup yang lebih luas meliputi bentuk organisasi, kebiasaan dan sistem nilai budaya
lainnya.

B. BENTUK – BENTUK DIFERENSIASI SOSIAL


1. Ras
Ras merupakan suatu golongan manusia yang menunjukkan perbedaan ciri tubuh tertentu
dengan frekuensi yang besar (Koentjaraningrat). Ras juga dapat diartikan sebagai populasi yang
dapat dibedakan berdasarkan persamaan gen atau kategori individu yang secara turun temurun
memiliki ciri-ciri fisik dan biologis tertentu (Dunn dan Dabzhansky).
Pembedaan ciri-ciri ras dapat didasarkan pada dua (2) ciri, yaitu :
1) Ciri-ciri yang tampak (fenotip). Ciri yang tampak ini selanjutnya dibedakan atas dua (2)
golongan lagi, yaitu : ciri kualitatif (tidak dapat diukur), seperti warna kulit dan bentuk
mata, serta ciri kuantitatif (yang dapat diukur), seperti berat badan dan tinggi tubuh.
2) Ciri yang tidak tampak (genotip), misalnya frekuensi golongan darah.

2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan ciri fisik yang dibawa sejak lahir, diperoleh secara alami, dan tidak
ditentukan oleh seseorang berdasarkan pilihannya. Dapat dikatakan jenis kelamin merupakan ciri-
ciri fisik yang bersifat kodrati. Perbedaan jenis kelamin secara langsung dan tidak langsung akan
mempengaruhi peran gender antara laki-laki dan perempuan. Gender dapat dikatakan sebagai
konstruksi sosial budaya yang membedakan perlakuan dan harapan terhadap laki-laki dan
perempuan, sehingga pada akhirnya akan membedakan pembagian peran dan tanggung jawab di
antara kedua jenis kelamin yang berbeda ini.
3. Umur
Walaupun secara teoritis perbedaan umur tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam
penggolongan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial secara bertingkat, tetapi pada
kenyataannya orang-orang yang memiliki umur/usia lebih tua ditempatkan lebih istimewa dan
memiliki hak yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Baik dalam masyarakat yang masih
tradisional maupun yang sudah lebih modern, golongan tua cenderung lebih dihargai dan dijadikan
panutan dalam berperilaku. Kata-kata yang diucapkan oleh orang tua seringkali menjadi keputusan
yang tidak bisa ditawar lagi, sehingga harus didengarkan dan dilaksanakan oleh anak- anaknya.
Bagi masyarakat tradisional, pemimpin informalnya selalu terdiri dari orang- orang yang berusia
tua, karena dianggap lebih mengerti dan berpengalaman dalam adat istiadat.
4. Intelektualitas
Perbedaan intelektualitas akan mempengaruhi perolehan hak dan kewajiban yang berbeda bagi
setiap anggota masyarakat secara horisontal, sesuai dengan kepandaian atau intelejensinya.
Intelektualitas ini menjadi bagian dari ciri-ciri biologis karena dipercaya dapat diturunkan secara
genetis. Sama halnya dengan perbedaan umur, fakta menunjukkan perbedaan intelektualitas pun
dapat berpengaruh terhadap posisi atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Biasanya, orang-
orang yang intelek akan menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan yang
dianggap memiliki intelektualitas yang rendah. Secara tidak langsung, perbedaan intelektualitas
ini dapat mengarah pada pemberian hak-hak istimewa bagi golongan- golongan tertentu dalam
masyarakat dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan dan kekuasaan, sehingga pada akhirnya
dapat dimaknai sebagai suatu stratifikasi sosial.
5. Etnis
Kelompok etnis atau suku bangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
jati diri mereka akan kesatuan kebudayaan mereka, sehingga kesatuan kebudayaan tidak
ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan. Kriteria yang
menentukan batas- batas kebudayaan suatu suku bangsa, adalah :
(1) kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih.
(2) kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh identitas penduduk sendiri.
(3) kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh wilayah geografis.
(4) kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologis.
(5) kesatuan masyarakat yang memiliki persamaan pengalaman sejarah.
(6) kesatuan penduduk yang berinteraksi secara mendalam.
(7) kesatuan masyarakat dengan sistem sosial yang seragam.
Walaupun di Indonesia terdapat lebih kurang 300 suku bangsa, tetapi di antara suku-suku
bangsa yang berbeda tersebut terdapat dasar-dasar persamaan, yaitu :
(1) Dasar kehidupan sosialnya yang sama berdasarkan asas kekerabatan (kekeluargaan).
(2) Asas-asas yang sama dalam hak atas tanah (hak kepemilikan tanah).
(3) Asas-asas persamaan dalam hukum adat.
(4) Memiliki persamaan dalam kekerabatan, adat istiadat, perkawinan, dan lain sebagainya.
6. Klan
Klan adalah suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua keturunan dari seorang nenek
moyang yang diperhitungkan melalui garis keturunan tertentu, yaitu garis keturunan dari laki-
laki/ayah atau perempuan/ibu. Selain merupakan kesatuan genealogis yang didasarkan pada
kesatuan keturunan tertentu, klan juga merupakan kesatuan religio magis (kesatuan kepercayaan)
dan tradisi (kesatuan adat). Sifat religio magis ini tercermin dalam pandangan mereka terhadap
kesakralan/kesucian hubungan kekeluargaan klan, yang ditandai dengan kesetiaan terhadap tradisi
leluhur.
Terdapat dua (2) bentuk klan utama, yakni :
(1) klan atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal), misalnya pada suku Minangkabau
(2) klan atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal), misalnya pada masyarakat Batak.

7. Agama
Setiap agama akan mengembangkan nilai-nilai, norma-norma, dan ajaran- ajaran agamanya
masing-masing. Dalam hubungannya dengan agama-agama lain, tidak ada suatu agama pun yang
ditempatkan lebih tinggi dibandingkan dengan agama yang lain. Namun fakta menunjukkan,
biasanya agama yang menjadi mayoritas di suatu daerah karena memiliki umat yang paling besar,
akan memperoleh lebih banyak keistimewaan. Keberadaan agama di suatu masyarakat merupakan
pengembangan dari kultur masyarakat tersebut yang selanjutnya disepakati menjadi pedoman
hidup. Agama pun muncul dari keterbatasan manusia yang tidak mampu menangkap seluruh
rahasia alam dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki.
Sistem kepercayaan dan agama yang terdapat di masyarakat memiliki komponen-komponen
yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu :
(1) Emosi keagamaan, yaitu sisi irasionalitas yang dimiliki manusia yang mampu
menggetarkan jiwa dan meyakini adanya “suatu kekuatan lain” yang lebih besar dari dirinya.
(2) Sistem keyakinan yang terwujud dalam bentuk pikiran/gagasan manusia berkaitan dengan
keyakinannya atas sifat-sifat dan wujud dari “kekuatan lain” yang lebih besar tersebut.
(3) Upacara keagamaan merupakan ibadah atau ritus yang terdapat dalam kepercayaan dan
agamanya.
(4) Tempat ibadah dan peralatan ibadah.
(5) Umat yang merupakan kesatuan sosial.

8. Profesi
Profesi adalah jenis pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan teknik atau
keterampilan secara intelektual. Oleh karena itu, diferensiasi profesi mengelompokkan masyarakat
didasarkan pada jenis pekerjaan atau profesi tertentu. Menurut teori, sesungguhnya tidak ada
profesi yang dianggap lebih mulia atau lebih tinggi dari yang lain. Itulah yang menyebabkan
pengelompokkan berdasarkan profesi ini dimasukkan dalam diferensiasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Idianto, M. (2005). Sosiologi Untuk SMA Kelas XI. Bogor: Duta Grafika.
Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar ( Edisi Baru ). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryawati, M. K. (2003). Sosiologi Jilid 1 dan 2 Untuk SMU Kelas 2 dan 3. Jakarta: ESIS.
Sitorus, M. 2003. Berkenalan dengan Sosiologi Jilid 1 dan 2 untuk SMUKelas 2
dan 3. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai