Anggota kelompok :
1. Iqlima A1C222006
2. Renisa Aldian A1C222074
Dengan puji syukur ke hadapan Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah
tugas makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu dan berjalan dengan lancar. Penulisan makalah
yang berjudul “”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas
mata kuliah “Kimia Fisik 1”.
Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan kepada pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan masukan demi kelancaran dan kelengkapan makalah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Dra. Wilda Syahri., M.Pd Selaku dosen pengampu
mata kuliah Kimia Fisik 1. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis sangat menerima semua kritikan dan saran dari pembaca. Hal ini
bertujuan untuk membuat makalah ini agar menjadi lebih baik. Akhir kata penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 2
1.3. Tujuan ................................................................................................................................. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HUKUM KETIGA TERMODINAMIK ............................................................................... 3
2.2 PERUBAHAN ENTALPI PADA REAKSI KIMIA ............................................................ 7
2.3 ENTROPI DAN PROBABILITAS ....................................................................................... 9
2.4 BENTUK UMUM UNTUK OMEGA .................................................................................. 9
2.5 ENTROPI PENCAMPURAN DAN PENGECUALIAN UNTUK HUKUM KETIGA
TERMODINAMIKA ................................................................................................................ 14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUTASKA
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum kedua termodinamika mengatakan bahwa aliran kalor memiliki arah. Dengan
kata lain, tidak semua proses di alam ini adalah reversible (arahnya dapat dibalik). Satu aplikasi
penting dari hukum kedua adalah studi tentang mesin kalor, seperti mesin bensin pada mobil dan
prinsip-prinsip yang membatasi efisiensinya.
Pada T = 0 semua energi gerakan termal sudah diredam. Pada kristal sempurna, pada T =
0, semua partikel ada dalam susunan biasa seragam. Tidak adanya ketakteraturan dan gerakan
termal menunjukkan bahwa material itu juga mempunyai entropi nol. Kesimpulan ini dinyatakan
dalam Hukum Tiga Termodinamika.
1
Hukum Ketiga termodinamika mengatakan jika entropi semua unsur dalam keadaan
stabilnya pada T = 0 diambil sama dengan nol, semua zat mempunyai entropi positif yang pada T
= 0 dapat menjadi nol, dan untuk semua zat kristal sempurna termasuk senyawa-senyawa
entropinya menjadi nol.
Oleh karena itu, dengan adanya makalah yang berjudul “Hukum Ketiga Termodinamika“
semoga dapat menambah kasanah pengetahuan kita tentang termodinamika, khususnya tentang
hukum kedua dan ketiga termodinamika.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Unutuk mengetahui bagaimana hukum ketiga termodinamika itu
2. Unutuk mengetahui bagaimana perubahan eltalpi pada reaksi kimia
3. Unutuk mengetahui apa itu entropi dan probabilitas
4. Unutuk mengetahui bagaimana bentuk umum untuk omega
5. Unutuk mengetahui Apakah distribusi energy
6. Unutuk mengetahui Bagaimana entropi pencampuran dan pengecualian untuk hukum ketiga
termodinamika
2
BAB II
PEMBAHASAN
T Cp
S S T S 0 dT
0 T (9.54)
T Cp
ST S 0 .
0 dT
Karena Cp positif, integral dalam pers. (9.54) juga bernilai positif; oleh karenanya entropi hanya
dapat ditingkatkan dengan temperatur. Sehingga pada 0 K memiliki nilai aljabar terkecil yang
mungkin S0. Pada 1913 Planck menyarankan bahwa nilai S0 untuk semua zat murni, yang kristal
sempurna adalah nol. Hal ini merupakan hukum ketiga dari termodinamika: Entropi dari zat
murni yang krisatal sempurna bernilai nol pada temperatur nol mutlak.
Ketika kita mempergunakan hukum ketiga termodinamika pada pers. (9.54), pers. Ini tereduksi
menjadi
T Cp
ST dT (9.55)
0 T
dimana ST disebut sebagai entropi hukum ketiga, atau sederhananya entropi, dari padatan pada
temperatur T dan tekanan p. Jika tekanan adalah 1 atm, entropinya merupakan entropi standar
S To .
Karena perubahan besar pada keadaan agregasi (pelelehan atau penguapan) menyangkut
peningkatan entropi, kontribusi ini harus dimasukkan untuk perhitungan entropi dari suatu cairan
atau gas. Untuk entropi standar dari suatu cairan di atas titik lelehnya, kita mendapatkan
3
Tm C po ( s ) H ofus T C po (l )
S To
o T
dT
Tm
Tm T
dT . (9.56)
Tm C po ( s ) H ofus T C po (l ) H vap
o
T C po ( g )
S To
o T
dT
Tm
Tm T
dT
Tb
Tb T
dT . (9.57)
Jika padatan mengalami sebarang transisi antara satu modifikasi kristal dengan yang lainnya,
maka entropi dari transisi tersebut harus diikutkan juga. Untuk memperhitungkan entropi,
kapasitas panas dari zat dalam beragam keadaan agregasi harus diukur secara akurat pada
rentang temperatur nol mutlak hingga temperatur yang bersangkutan. Nilai panas transisi dan
temperatur trasnsisi juga harus diukur. Semu pengukuran ini dapat dilakukan secara kalorimetrik.
Pengukuran kapasitas panas dari beberapa padatan telah dilakukan hingga temperatur
sekitar seratus diatas nol mutlak. Akan tetapi, hal ini merupakan hal yang tidak biasa. Biasanya,
pengukuran kapasitas panas dilakukan dengan menurunkan temperatur hingga T’, yang biasanya
bervariasi pada rentang 10 hingga 15 K. Pada temeratur serendah ini, kapasitas panas dari
padatan mematuhi dengan akurat hukum “T-kubik(pangkat tiga)” Debye; dimana
4
Cv aT 3 , (9.58)
dimana a merupakan konstanta untuk masing-masing zat. Pada temperatur ini Cp dan Cv tidak
dapat dibedakan , sehingga hukum Debye dipergunakan untuk mengevaluasi integral dari Cp/T
pada rentang 0 K hingga temperatur terendah pada pengukuran T’. Konstanta a ditentukan dari
nilai Cp(=Cv) yang diukur pada T’. Dari hukum Debye, a = (Cp)T/T3.
T Cp T T
T' T
dT C p d (ln T ) 2,303 C p d (log T )
T' T'
dievaluasi secara grafis dengan memplot Cp/T versus T, atau Cp versus log T. Daerah dibawah
kurva merupakan nilai dari integral. Gambar 9.3 menunjukan plot C p versus log T untuk padatan
dari 12 K hinga 298 K. Keseluruhan daerah dibawah kurva ketika dikalikan dengan 2,303
o
menghasilkan nilai S 298 = 32,6 J/Kmol.
Dalam kesimpulannya, kita harus mengingat penyataan pertama mengenai hukum ketiga
termodinamika yang dibuat oleh Nernst pada 1906, terorema panas Nernst, yang menyatakan
bahwa dalam sebarang reaksi kimia yang hanya melibatkan padatan kristalin yang murni,
perubahannya entropinya dalah nol pada 0 K. Pernyataan punya batasan yang sedikit lebih
longgar dibandingkan pernyataan Planck.
Hukum ketiga termodinamik ini menutupi celah generalisasi dari hukum lain, karena
hukum ini hanya berlaku untuk kelas tertentu dari zat, yaitu zat kristalin yang murni, dan tidak
untuk semua zat. Dengan adanya pembatasan ini hukum ini menjadi sangat berguna. Alasan
untuk pengecualian terhadap hukum ini dapat dimengerti setelah kita membahas interpretasi
statistik dari entropi.
Komentar umum berikut ini dapat dibuat mengenai nilai entropi yang ada pada Tabel 9.1
5
6
1. Entropi pada gas lebih besar dari entropi cairan, dan keduanya lebih besar dari padatan. Hal
ini merupakan konsekuensi dari pers. (9.57)
2. Entropi dari gas meningkat secara logaritmik sesuai dengan massa; hal ini diperlihatkan oleh
gas monoatomik, atau diatomik, HF, HCl, HBr, HI.
3. Dengan membandingkan gas yang memiliki massa yang sama-Ne, HF, H2O-kita melihat dari
kapasitas panas rotasional. Dua derajat kebebasan rotasional ditambahkan 3,202R = 27,45
J/K mol dari Ne ke HF; satu rotasi tambahan pada H2O dibandingkan HF menambahkan
1,811R = 15,06 J/K mol. Sama halnya H2O dan NH3 memiliki entropi yang hampir sama.
(Keduanya memiliki 3 derajat kebebasan rotasional.) Untuk molekul dengan massa dan
kapasitas panas yang sama tetapi memiliki bentuk yang berbeda, molekul yang lebih simetris
akan memiliki nilai entropi yang lebih rendah; contohnya tidak banyak, tetapi bandingkanlah
N2 dengan Co dan NH3 dan CH4.
4. Pada kasus padatan yang terdiri dari satu unit struktural sederhana, kapasitas panasnya
merupakan kapasitas panas vibrasional. Suatu padatan yang sangat rapat (energi kohesif
tinggi) memiliki frekuensi karakteristik yang tinggi (Bagian 4.13), sehingga memiliki
kapsitas panas yang lebih rendah dan entropi yang rendah; sebagai contoh, intan memiliki
energi kohesif yang sangat tinggi, entropi yang sangat rendah; silikon memiliki energi
kohesif yang lebih rendah (juga frekuensi vibrasional yang lebih tinggi sebagai akibat massa
yang lebih besar), sehinga memiliki entropi yang lebih besar.
5. Padatan yang terdiri dari dua, tiga,…, unit sederhana memiliki entropi yang secara kasar dua,
tiga, …, kali lebih besar dibandingkan yang tersusun dari satu unit sederhana
6. Jika terdapat satu unit kompleks, gaya van der Waals (gaya kohesif yang sangat lemah)
mengikat padata tersebut. Entaropinya akan tinggi. Ingatlah massa ynag diberikan pada tabel
cukup besar.
7. Jika terdapat unit yang kompleks pada kristal, entropi menjadi lebih besar karena kapasitas
panas yang lebih besar karena adanya tambahan derajat kebebasan yang berhubungan dengan
unit ini.
7
perbedaan penting: Nilai entropi standar untuk unsur tidak diberikan sebagai nol. Nilai
karakteristik untuk entropi untuk setiap unsur pada 25oC dan tekanan 1 atm diketahui dari hukum
ketiga. Sebagai contoh, pada reaksi
S o S awal
o
S akhir
o
. (9.59)
Karena entropi gas jauh lebih besar jika dibandingkan dengan fase terkondensasi, akan terjadi
penurunan entropi yang besar jika gas dipergunakan bereaksi untuk membentuk fase
terkondensasi. Sebaliknya juga akan terjadi peningkatan entropi jika fase terkondensasi bereaksi
dan berubah menjadi gas.
Dengan menurunkan persamaan ini terhadap temperatur pada tekanan konstan, kita mendapatkan
Menuliskan pers. (9.61) dalam bentuk diferensial dan mengintegrasikannya antara temperatur T0
dan T, kita dapatkan
T T C po
d (S )
o
dT ;
To To T
8
T C po
S To S To dT , (9.62)
To T
persamaan ini berlaku untuk sebarang reaksi kini yang mengalami perubahan keadaan agregasi
pada rentang temperatur T0 hingga T.
9
Jika jumlah sel jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah partikel, hal ini mereduksi
tiga partikel menjadi
N ( N 1)( N 2)
. (9.67
3!
N3
.
3!
Dari bentuk pendekatan ini kita dapat segera menyimpulkan bahwa untuk Na partikel , jika N
jauh lebih besar dari Na, maka, pendekatannya adalah
N Na
. (9.68)
Na!
Sebaliknya, jika kita memerlukan bentuk eksak dari Ω, pers. (9.67) dapat digeneralisasi untuk Na
partikel menjadi
Jika kita mengalikan persamaan terkahir dengan (N-Na) pada pembilang dan penyebut,
persamaan ini tereduksi menjadi
( N !)
. (9.69)
N a !( N N a )!
Entropi yang terjadi untuk ekspansi dari N menjadi N’ sel dapat dengan mudah dihitung dengan
pers. (9.68). Untuk N sel,
S k[ln N Na ln(N!)],
10
N'
S = S’ – S = N a k ln .
N
Sebagaimana sebelumnya, kta mengambil rasio N’/N = V’/V; maka jika Na = NA, persamaan
berubah menjadi
V '
S R ln ,
V
S k ln(1) 0.
Anggaplah bahwa kita menyusun atom A dan B yang berbeda pada N sisi dari kristal. Jika Na
merupakan jumlah dari atom A, dan Nb merupakan jumlah dari atom B, maka Na + Nb =
N, jumlah keseluruhan sisi. Jumlah cara yang dapat dipilih untuk menyusun atom A dalam Na
sisi dan atom B dalam Nb sisi adalah
N!
k ln . (9.71)
Na!Nb!
11
N!
S k ln . (9.72)
N a!Nb!
Untuk mengevaluasi ungakapan ini kita mempergunakan pendekatan Stirling: ketika N sangat
besar, maka
ln N ! N ln N N . (9.73)
S k ( N ln N N N a ln N a N a N b ln N b N b ).
S k ( N a ln N a N b ln N b N ln N ).
Tetapi, Na = xaN, dan Nb = xbN, dimana xa merupakan fraksi mol dari A dan xb merupakan fraksi
mol dari B. Ungkapan untuk entropi direduksi menjadi
S mix Nk ( xa ln xa xb ln xb ). (9.74)
Karena suku dalam kurung dalam pers. (9.74) bernilai negatif (logaritma dari fraksinya negatif),
emtropi dari kristal yang dicampur adalah positif. Jika kita membayangkan kristal campuran
terbentuk dari kristal murni A dan B, maka untuk proses pencampuran
Entropi untuk kristal murni adalah nol, sehingga ∆S pencampuran disederhanakan menjadi
S mix Nk ( xa ln xa xb ln xb ), (9.75)
12
Karena setiap kristal tidak murni memiliki setidaknya entropi pencampuran pada nol
mutlak, entropinya tidak boleh nol; zat seperti itu tidak mengikuti hukum ketiga termodinamika.
Beberapa zat yang murni secara kimia tidak memenuhi persyaratan bahwa kristal akan tertata
sempurna pada suhu nol mutlak. Karbon monoksida, CO, dan oksida nitrat, NO, adalah contoh
klasik. Dalam kristal CO dan NO, beberapa molekul memiliki orientasi yang berbeda dari yang
lain. Dalam kristal CO yang sempurna, semua molekul harus sejajar dengan oksigen mengarah
ke utara dan karbon mengarah ke selatan, misalnya. Dalam kristal sebenarnya, kedua ujung
molekul diorientasikan secara acak; seolah-olah dua jenis karbon monoksida dicampur, setengah
dan setengah. Entropi molar pencampuran adalah
Nilai aktual entropi sisa kristal karbon monoksida adalah 0,55R = 4,6 J/K mol;
pencampurannya ternyata tidak setengah-setengah. Dalam kasus NO, entropi sisa adalah 0,33R =
28 J/K mol, yaitu sekitar setengah dari 5,76 J/K mol; hal ini dijelaskan oleh pengamatan bahwa
molekul dalam kristal NO adalah dimer, (NO). Jadi satu mol NO hanya mengandung N, molekul
ganda; ini mengurangi entropi sisa dengan faktor dua.
Dalam es, entropi sisa tetap pada nol mutlak karena adanya keacakan ikatan hidrogen
molekul air dalam kristal. Besarnya sisa entropi telah dihitung dan sesuai dengan yang diamati.
Telah ditemukan bahwa kristal hidrogen memiliki entropi sisa 0,750R = 6,23 J/K mol
pada suhu nol mutlak. Entropi ini bukanlah akibat dari ketidakteraturan dalam kristal, tetapi
terdistribusi pada beberapa keadaan kuantum. Hidrogen biasa adalah campuran orto- dan para-
hidrogen, yang memiliki nilai putaran inti total yang berbeda momentum sudut. Sebagai
konsekuensi dari perbedaan ini, energi rotasi orto-hidrogen pada suhu rendah tidak mendekati
nol seperti halnya para-hidrogen, tetapi mencapai nilai yang terbatas. Orto-hidrogen dapat berada
di salah satu dari sembilan negara bagian, semuanya memiliki energi yang sama, sedangkan
para-hidrogen ada dalam satu keadaan. Akibat pencampuran dua jenis hidrogen dan distribusi
orto-hidrogen dalam sembilan keadaan energi yang berbeda, sistem memiliki keacakan dan oleh
karena itu merupakan entropi sisa. Parahidrogen murni, karena berada dalam keadaan tunggal
pada suhu rendah, tidak memiliki sisa entropi dan akan mengikuti hukum ketiga. Orto-hidrogen
murni akan didistribusikan ke sembilan keadaan pada nol mutlak dan akan memiliki entropi sisa.
Dari apa yang telah dikatakan jelas bahwa zat kaca atau amorf akan memiliki susunan
partikel penyusunnya yang acak sehingga akan memiliki entropi sisa pada nol mutlak. Oleh
karena itu, hukum ketiga terbatas pada zat kristal murni. Pembatasan terakhir harus dibuat dalam
penerapan hukum ketiga: Substansi harus berada dalam keadaan kuantum tunggal. Persyaratan
terakhir ini akan mengatasi kesulitan yang timbul dalam kasus hidrogen.
13
Contoh Soal :
1. Dalam labu berinsulasi (labu Dewar) 20 g es pada suhu -5 °C ditambahkan ke dalam 30 g air
pada suhu 25°C. Jika kapasitas kalornya adalah Cp (H2O, 1) = 4,18J / Kg dan Cp(H2O, s) =
2.09J / K g Berapakah keadaan akhir sistem? (Tekanannya konstan.) Delta H fusion = 334J/g
Hitung AS dan AH untuk transformasinya.
(castellan soal no 9.27)
Jawab :
Langkah pertama adalah menghitung energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu es dari -
5°C ke suhu awal air yaitu +25°C
Qes=mes×Cp(H2O, s)×ΔT
Qes=20 g×2.09 J/K g×(25 °C−(−5 °C))
Qes=20 g×2.09 J/K g×30 °C
Qes=20g×2.09J/K g×30°C
Qes=1254 J
Selanjutnya, kita akan menghitung energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu air :
Qair=mair×Cp(H2O)×ΔT
Qair=30 g×4.18 J/K g×(25 °C−(−5 °C)
Qair=30 g×4.18 J/K g×30 °C
Qair=3762 J
Seiring dengan perubahan suhu, es akan meleleh menjadi air. Untuk itu, kita dapat
menghitung jumlah energi yang diperlukan untuk transformasi fase ini:
ΔH fusion=334 J/g
Total massa es yang meleleh:
mtotal=mes=20g
14
Total energi yang diperlukan untuk transformasi:
Qfusion=mtotal×ΔHfusion
fusion=20g×334J/g
Qfusion=6680J
Karena energi yang dibutuhkan untuk transformasi fase lebih besar daripada total energi yang
dibutuhkan untuk menaikkan suhu, maka seluruh es akan meleleh.
Jadi, keadaan akhir sistem akan berupa air pada suhu +25°C dengan total energi yang
digunakan sebesar 5016 J untuk menaikkan suhu dan 6680 J untuk transformasi fase.
Untuk menghitung perubahan entropi (ΔS), kita bisa menggunakan rumus:
ΔS=Qtotal/ T
Pada saat transformasi fase (meleleh), suhu tetap pada titik lebur, yaitu 0°C atau 273 K. Oleh
karena itu, untuk menghitung perubahan entropi dari sistem, kita akan menggunakan suhu
pada saat transformasi fase terjadi, yaitu 273 K.
ΔS=Qtotal/T
ΔS=5016 J / 273K
ΔS≈18.36J/K
Jadi, perubahan entropi (ΔS) dari sistem adalah sekitar 18.36 J/K saat es meleleh dan
mencapai keseimbangan pada suhu +25°C.
Untuk menghitung perubahan entalpi (ΔH) dari transformasi fase (melelehnya es), kita sudah
memiliki energi yang terlibat dalam transformasi fase, yaitu 6680 J.
Jadi, perubahan entalpi (ΔH) dari transformasi fase es menjadi air adalah 6680 J.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Termodinamika adalah cabang ilmu yang mempelajari perubahan energi dalam suatu sistem.
Hukum termodinamika tercermin dalam prinsip-prinsip dasar yang mengatur aliran energi dan
transformasi energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Salah satu teori penting dalam
termodinamika adalah Hukum Ketiga Termodinamika, yang telah disusun oleh Castellan dan
membahas perilaku sistem ketika suhu mendekati nol absolut. Berikut adalah beberapa
kesimpulan dari materi hukum ketiga termodinamika menurut buku Castellan:
1. Nol Absolut: Hukum Ketiga Termodinamika menetapkan bahwa tidak mungkin mencapai
suhu mutlak nol (0 K), tetapi dapat mencapai suhu yang sangat dekat dengan nol absolut. Pada
suhu ini, energi dan entropi suatu sistem akan mencapai nilai minimum yang disebut dengan nol
absolut.
2. Entropi: Ketika suhu mendekati nol absolut, entropi suatu sistem mendekati nilai
minimumnya. Entropi adalah ukuran ketidakteraturan atau ketidakpastian dalam sistem, dan
hukum ini menyatakan bahwa semakin mendekati nol K, entropi sistem akan mendekati nilai
minimumnya.
3. Kristal Sempurna: Teori ini berkaitan dengan sistem kristal sempurna yang berada pada suhu
mendekati nol absolut. Ketika mencapai suhu tersebut, kristal sempurna akan memiliki entropi
yang mendekati nol, yang mengindikasikan bahwa ketidakteraturan dalam kristal telah minimal.
16
DAFTAR PUTASKA
Castellan, G.W. (1982). Physical Chemistry. Third Edition. General Graphic Service. New York