Anda di halaman 1dari 164

SKRIPSI

“Maria, Bunda Siapa?”


Praktik governmentality dan wacana Indonesianisasi Gereja Katolik di masa
Reformasi dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku di Keuskupan Agung
Jakarta

Heribertus Satrio Wiratsongko


14/367038/SP/26367

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Program Studi S1 Politik dan


Pemerintahan

Dosen Pembimbing:
Evi Lina Sutrisno, S.Psi., M.A., Ph.D.

DEPARTEMEN POLITIK DAN PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
UNDERGRADUATE THESIS
“Maria, Bunda Siapa?”
The Practice of Governmentality and the discourse on Indonesianization of
the Catholic Church during the Reformation Era in the Devosi Maria Bunda
Segala Suku of Archdiocese of Jakarta

Heribertus Satrio Wiratsongko


14/367038/SP/26367

Submitted to fulfill the final requirements to obtain the Bachelor of Political Science

Supervisor:
Evi Lina Sutrisno, S.Psi., M.A., Ph.D.

DEPARTMENT OF POLITICS AND GOVERNMENT


FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan tim penguji


Departemen Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

Nama : Heribertus Satrio W


No. Mahasiswa : 14/367038/SP/26367
Judul Skripsi : "Maria, Bunda Siapa?": Praktik Governmentality dan Wacana
Indonesianisasi Gereja Katolik di Masa Reformasi dalam Devosi
Maria Bunda Segala Suku di Keuskupan Agung Jakarta
Tanggal Ujian : 31 Januari 2022
Tempat : R. Sidang Politik dan Pemerintahan

Tim Penguji
Ketua Tim/ Dosen Pembimbing

Evi Lina Sutrisno, S.Psi., M.A., Ph.D.

Penguji I Penguji II

Joash Elisha Stephen Tapiheru, S. I.P., M.A.,Dr. Wigke Capri Arti Sukmana Putri, S.IP, M.A.
Dipersembahkan untuk:
An. Sri Redjeki Dwianto (1939-2011),
J.M. Isnaeni Suharso (1938-2019)
&
Sdr Rey Heydemans (1997-2021)

iv
Daftar Isi

Daftar Isi ........................................................................................................................................ v


Abstraksi ..................................................................................................................................... viii
Bab I ............................................................................................................................................... 1
Pendahuluan .............................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 11
1.3. Tujuan Penelitian 11
1.4. Tinjauan Pustaka 11
1.4.1. Penelitian Terdahulu 11
1.4.2. Landasan Teori 15
Kekuasaan dan governmentality menurut Michel Foucault 15
Governmentality sebagai rasionalitas kekuasaan 16
Rasionalitas kekuasaan melahirkan hibriditas: Third Space menurut Homi K. Bhabha 20
1.5. Metode Penelitian 23
1.5.1. Jenis Penelitian 23
1.5.2. Sumber dan Proses Pengambilan Data 24
1.5.3. Prosedur Penelitian 25
1.6. Sistematika Penulisan 26
Bab II............................................................................................................................................ 27
Gambaran Umum Proses Indonesianisasi dalam Gereja Katolik ...................................... 27
2.1. “Atas nama rust en orde”: Agama Katolik dan kebijakan beragama di Hindia-
Belanda. 28
2.1.1. Latar belakang sejarah kedatangan agama Katolik di Hindia-Belanda 28
2.1.2. Atas nama rust en orde: Pendisiplinan agama di era kolonialisme Hindia Belanda.
29
2.1.3. “Translation as a process of power”: Akulturasi budaya dalam proses penyebaran
agama Katolik di era Hindia-Belanda 34
2.2. Gereja Katolik di awal kemerdekaan Indonesia 36
2.2.1. “Bangsa mendahului agama”: Sikap dan keberpihakan Gereja Katolik terhadap
agenda kemerdekaan Indonesia. 36

v
2.3. “Indonesianisasi sebagai Dekolonisasi” : Indonesianisasi di era Soekarno (1945-1966)
40
2.3.1. Monotheisme dan nation-building sebagai alat pendisiplinan: Kebijakan beragama
di era Soekarno 40
2.3.2. Indonesianisasi sebagai “dekolonisasi misionaris”: Gereja Katolik dibawah
Soekarno 43
2.4. Indonesianisasi Gereja Katolik di era Soeharto (1966-1998). 49
2.4.1. “Umat beragama yang menyokong harmoni dan pembangunan”: Kebijakan
beragama di era Soeharto 49
2.4.2 “Indonesianisasi dari dalam”: Pengaruh Konsili Vatikan II terhadap agenda
Indonesianisasi Gereja Katolik 53
2.4.3. “Pancasila sebagai asas tunggal yang mendisiplinkan”: Gereja Katolik Indonesia di
era Soeharto 56
2.5. Penutup: Indonesianisasi Gereja Katolik di era Reformasi (1998- ) 62
Bab III .......................................................................................................................................... 65
“Mengindonesiakan Maria” ................................................................................................... 65
3.1. Venerasi Maria: Pengantar mengenai devosi Maria dalam Gereja Katolik 66
3.1.1. Sejarah perkembangan Devosi Maria 66
3.2. Mengindonesiakan Maria: tahap demi tahap 72
3.2.1. Pengindonesiaan Maria sebagai pembuktian identitas seorang Gregorius Gomas 73
3.2.2. “Bangsa mendahului dan di atas agama”: Formasi pikiran Putut Prabantoro sebagai
Konseptor dari tajuk Maria Bunda Segala Suku 76
3.2.3. “Hanya orang mati yang bisa menolong”: Tantangan dan resistensi terhadap
sayembara pencarian representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku 82
3.2.4. “Ruh menemukan tubuhnya”: Robertus Gunawan dan lahirnya representasi
visual dari figur Maria Bunda Segala Suku 88
3.3. Penutup Bab 91
BAB IV ......................................................................................................................................... 94
Maria, Bunda Siapa? Indonesianisasi di balik simbol dan ornamen religius dalam figur
Maria Bunda Segala Suku ...................................................................................................... 94
4.1. Tradisi penggambaran Maria dalam Gereja Katolik 95
4.1.1. Pandangan umum Gereja mengenai penggambaran orang-orang kudus 95
4.1.2. Sejarah akulturasi budaya dalam penggambaran orang-orang kudus di Indonesia 97
4.2. Makna dan wacana dibalik visualisasi figur Maria sebagai Bunda Segala Suku 101
4.2.1. Keindonesiaan dalam paras Maria sebagai Bunda Segala Suku 101

vi
Wajah Maria sebagai Bunda Segala Suku: almost the same but not quite? 101
Gelung rambut Maria 108
4.2.2. Keindonesiaan dalam balutan busana Maria sebagai Bunda Segala Suku 108
Tudung Merah-Putih 109
Maria berbusana kebaya brokat putih gading bermotif Srikandi 112
Balutan kain dengan motif tenunan khas Indonesia Timur 118
Garuda Pancasila di Dada Maria: Kebhinnekaan sebagai Nilai Utama Kekatolikan
Indonesia? 120
4.2.3. Keindonesiaan dalam simbol dan ornamen sebagai objek pendukung 123
Wawasan Nusantara dalam simbol “halo” berbentuk peta Indonesia 123
Maria sang pelindung keragaman?: Curahan berkat kepada delapan figur pendoa
berbusana adat dilatarbelakangi langit mendung kebiruan. 125
4.3. Keindonesiaan yang belum sempurna? Opini umat terhadap penggambaran figur Maria
sebagai Bunda Segala Suku 129
4.3.1. Maria yang “asing”? Reaksi terhadap simbol dan ornamentasi serta nuansa yang
tampak pada representasi visual dari Maria Bunda Segala Suku. 130
4.3.2. Keindonesiaan yang problematik: Problematisasi terhadap konsep keindonesiaan
yang direpresentasikan dalam figur Maria Bunda Segala Suku 132
4.4. Penutup Bab 136
Bab V .......................................................................................................................................... 141
Penutup .................................................................................................................................. 141
5.1. Kesimpulan 141
5.2. Refleksi Penutup 142
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 145

vii
Abstraksi

Penelitian ini berangkat dari fenomena kemunculan praktik devosi kepada Maria di Keuskupan
Agung Jakarta yang terpusat kepada representasi visual dari figur Maria dalam simbol dan
ornamen yang mencerminkan keindonesiaan dengan nama “Maria Bunda Segala Suku” pada tahun
2018. Penulis memandang fenomena ini sebagai pertanda dari adanya upaya sebagian umat
Katolik dalam menampilkan kembali atau mempertahankan keindonesiaan secara mandiri sebagai
reaksi atas dinamika internal dari praktik keagamaan yang umum terjadi pada umat Katolik di
Keuskupan Agung Jakarta serta perkembangan situasi sosial-politik yang terjadi di Indonesia
pasca Reformasi terutama selama beberapa tahun terakhir. Hanya saja, timbul pertanyaan lebih
lanjut tentang pilihan, cara-cara dan seberapa jauh upaya mempertahankan keindonesiaan melalui
representasi visual dari figur Maria sebagai Bunda Segala Suku itu benar-benar dapat diterima oleh
umat Katolik pada umumnya.
Maka dari itu, penulis melalui penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang dinamika
mempertahankan wacana Indonesiansiasi Gereja Katolik dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku
di Keuskupan Agung Jaakrta di masa Reformasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini
mengadopsi dan menggabungkan perspektif teoritik Foucault mengenai governmentality dan
perspektif teoritik Homi K Bhabha mengenai hibriditas dan mimikri ke dalam satu kerangka
teoritik. Perspektif pertama diadopsi untuk menyelidiki rasionalitas dibalik upaya
merepresentasikan keindonesiaan secara visual melalui figur Maria Bunda Segala Suku sebagai
strategi manufakturisasi subjek, sedangkan perspektif kedua diadopsi untuk menganalisis
perubahan makna dan wacana yang terkandung serta penerimaan dan resistensi terhadap
representasi visual dari figur Maria dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku.

Kata kunci: Governmentality, Indonesianisasi, Hibriditas, Mimikri, Devosi, Gereja Katolik.

viii
ABSTRACT
This research departs from the phenomenon of the emergence of the practice of devotion to Mother
Mary in the Archdiocese of Jakarta, which is centered on the visual representation of Mother Mary
in symbols and ornaments that reflect Indonesianess under the name “Maria Bunda Segala Suku”
in 2018. The author views this phenomenon as a sign of an effort by some Catholics to represent
or defend Indonesianness independently, as a reaction to the internal dynamics or religious
practices that are common among Catholics in the Archdiocese of Jakarta and the development of
the socio-political situation that occurred in Indonesia after 1998 Reformation, especially in the
last few years. However, further questions arise about the choices, ways, and how far the efforts
to maintain Indonesianness through visual representation of Mother Mary as “Maria Bunda
Segala Suku” can be well-received by Catholics in general.

Hence, this research aims to explain the dynamics of maintaining the discourse of Catholic
Church’s Indonesianization in the Devosi Maria Bunda Segala Suku of Archdiocese of Jakarta
during the Reformation period. To achieve this goal, this research combines Foucault’s theoretical
perspective on governmentality and Homi K Bhabha’s theoretical perspective on hybridity and
mimicry into one theoretical framework. The first perspective was adopted to investigate the
rationality behind the effort to visually represent Indonesia through the figure of Maria Bunda
Segala Suku as a strategy to manufacturing subject, while the second perspective was adopted to
analyze the changes in meaning and discourse contained as well as acceptance and resistance to
the visual representation of Mother Mary in Devosi Maria Bunda Segala Suku.

Keyword: Governmentaliy, Indonesianization, Hybridity, Mimicry, Devotion, Catholic Church.

ix
Bab I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Topik pembahasan dalam skripsi ini berangkat dari pengalaman yang penulis dapatkan sekitar dua
tahun yang lalu. Pada awal tahun 2019, tepatnya pada bulan Februari, penulis mengunjungi sebuah
gereja Katolik di tengah kota Jakarta bersama beberapa kawan dalam rangka menikmati arsitektur
Neo-Gothik yang menjadi ciri khas dari gereja itu. Seperti yang rutin dilakukan, penulis memasuki
gedung gereja melalui pintu samping sembari mencari deretan bangku yang kosong. Namun, niat
tersebut urung penulis lakukan. Penulis terpaku pada sebuah lukisan pada spanduk berukuran besar
yang menempel di dinding gereja. Penulis mengidentifikasi lukisan tersebut sebagai gambar
Maria, ibunda dari Yesus Kristus.

Gambar 1. Ilustrasi lukisan Maria Bunda Segala Suku karya


Robertus Gunawan. Sumber: Gregorius Gomas.

1
Sosok Maria yang penulis amati memiliki penampilan yang unik dan jarang penulis jumpai.
Kepalanya berselubungkan kerudung berwarna merah dan putih dilengkapi mahkota berbentuk
matahari dengan pola menyerupai peta nusantara. Tubuhnya dibalut kebaya putih dengan bordiran
emas membentuk sosok wayang dewi Kunthi dan dewi Sri. Dadanya ditutupi lambang Garuda
Pancasila layaknya sebuah perisai. Pinggul hingga pergelangan kaki nya ditutupi rok panjang
berpola tenunan khas Toraja, Flores dan Papua. Sosok Maria ini berdiri pada sebuah batu di antara
awan mendung berwarna biru kehitaman dan merentangkan tangan seraya memberkati
sekumpulan manusia berbusana adat yang memandanginya dengan penuh pengharapan (Kunjana
2018)1.

Perjumpaan dengan lukisan bertajuk “Maria, sang Bunda Segala Suku” dua tahun yang
lalu rasanya masih membekas dalam batin penulis. Bagaimana tidak, penulis serasa melihat sosok
Maria yang penulis kenal sejak kecil dalam wujud yang amat berbeda. Jika Maria yang penulis
ketahui sejak kecil memiliki paras perempuan Eropa, dengan rambut berwarna coklat tua dan kulit
putih kemerahan, Maria Bunda Segala Suku tampil dengan paras menyerupai peserta kontes
kecantikan remaja yang diselenggarakan oleh salah satu produsen kosmetik ternama di Indonesia.
Tidak hanya wajah ayu Maria yang menarik perhatian, seluruh simbol yang melekat pada lukisan
tersebut juga mengundang ketertarikan penulis, seperti Garuda Pancasila dan kumpulan orang-
orang berbusana adat yang khidmat berdoa di bawah kakinya. Inilah titik awal pergulatan
keimanan, dimana penulis menemukan sosok Maria yang asing, alien, bukan figur Maria yang
penulis kenali sejak kecil. Penulis pada akhirnya memutuskan untuk menuangkan pergulatan
keimanan tersebut menjadi penelitian akademis.

Lukisan “Maria Bunda Segala Suku” merupakan objek utama dalam kegiatan kerohanian
dengan nama “Devosi2 Maria Bunda Segala Suku”. Devosi ini bermula dari inisiatif Gregorius

1
Deksripsi ini merupakan hasil pengamatan penulis terhadap gambar Maria Bunda Segala Suku yang berlokasi di
Gereja Katedral Jakarta pada Februari 2019, yang digabungkan dengan deskripsi yang dimuat dalam artikel harian
Berita Satu berjudul Kisah di Balik Devosi Kebangsaan “Maria Bunda Segala Suku” . Diakses melalui
https://www.beritasatu.com/lucius‐gora‐kunjana/archive/495035/kisah‐di‐balik‐devosi‐kebangsaan‐mariabunda‐
segala‐suku pada 2 November 2020 pukul 22.40.
2
Devosi berasal dari bahasa Latin devotion, yang bermakna penghormatan. Sedangkan dalam Directory On Popular
Piety and the Liturgy (2001), devosi merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan praktik keagamaan di
luar kerangka peribadatan resmi. Devosi juga dikenal dengan istilah popular piety yang dapat diterjemahkan
sebagai “ekspresi keimanan rakyat” atau “praktek kesalehan populer”.

2
Gomas, seorang Katolik awam yang aktif dalam dunia seni rupa dan arsitektur. Inisiatif Gomas
berawal dari absennya satu bentuk devosi kepada Maria yang dinyatakan dalam ekspresi budaya
Indonesia. Gomas kemudian terdorong untuk mencari sosok Maria versi Indonesia, dan gagasan
tersebut ia sampaikan kepada beberapa rohaniawan maupun awam Katolik yang ia kenal (Gomas
2021)3.

Gagasan Gomas tersebut bukan tanpa penolakan. Gomas (Ibid.) sendiri menuturkan bahwa
gagasannya ditolak mentah-mentah oleh beberapa tokoh yang ia hubungi. Meskipun demikian,
Gomas tetap bersikeras untuk mewujudkan gagasannya itu. Penolakan tersebut mendorong Gomas
untuk menjalin relasi dengan A.M. Putut Prabantoro, seorang jurnalis Katolik, aktivis Ikatan
Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan pendiri Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI)
(Suwarta, 2019)4. Nama “Maria Bunda Segala Suku” sendiri diusulkan oleh A.M. Putut
Prabantoro. Usulan nama “Maria Bunda Segala Suku” berasal dari nama kegiatan peringatan
Sumpah Pemuda yang diinisiasi oleh Putut pada tahun 2010 namun urung terlaksana. Nama
“Maria Bunda Segala Suku” diusulkan oleh Putut sebagai salah satu bentuk persetujuan terhadap
gagasan Gomas (Putut 2021)5.

Dalam rangka mewujudkan gagasan Maria versi Indonesia, Putut memperkenalkan Gomas
kepada dua sosok penting yakni Laksda (Purn) Maria Christina Rantetana dan Antonius Sujata.
Laksda (Purn) Maria Christina Rantetana merupakan tokoh Katolik yang pernah aktif dalam dunia
militer sebagai anggota Korps Wanita Angkatan Laut atau Kowal. Antonius Sujata sendiri adalah
mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) yang terlibat dalam kasus
pengusutan harta kekayaan Soeharto pada tahun 1998 (CNN Indonesia, 24 Januari 2015). Dua
sosok ini turut menyepakati gagasan Gomas mengenai pencarian sosok Maria versi Indonesia dan

Sumber:http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con_ccdds_doc_20020513_vers
‐direttorio_en.html . Penjelasan selanjutnya mengenai devosi tertera pada bagian ketiga dari skripsi ini.
3
Wawancara dengan Gregorius Gomas via zoom meeting pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 17.25.
4
Thomas Harming Suwarta, 2019 (26 Januari). Wartawan Katolik Indonesia Sampaikan Terima Kasih ke Tokoh
Bangsa. Dimuat dalam Media Indonesia kolom “humaniora” dan diakses melalui
https://mediaindonesia.com/humaniora/212951/wartawan‐katolik‐indonesia‐sampaikan‐terima‐kasih‐ke‐tokoh‐
bangsa pada 19 Februari 2021 pukul 17.19.
5
Wawancara empat mata dengan A.M. Putut Prabantoro pada tanggal 13 Januari 2021 pukul 10.05.

3
berkomitmen mewujudkan gagasan tersebut dengan terlibat dalam pembentukan panitia pencarian
sosok Maria versi Indonesia (Sesawi.net, 24 Oktober 2017).

Gagasan mengenai pencarian sosok Maria versi Indonesia yang sudah disepakati oleh
ketiga figur di atas ditindaklanjuti dengan kunjungan kepada tiga uskup Katolik terkemuka di
pulau Jawa. Ketiga uskup tersebut adalah Ignatius Kardinal6 Suharyo, Julius Kardinal
Darmaatmadja, dan Mgr. Johannes Pujasumarta. Ignatius Kardinal Suharyo sendiri adalah Uskup
Agung Jakarta sejak tahun 2010. Julius Kardinal Darmaatmadja sendiri adalah pendahulu dari
Ignatius Kardinal Suharyo. Sedangkan Mgr. Johannes Pujasumarta adalah Uskup Agung
Semarang periode 2011-2015. Menurut Gomas (2021), kunjungan kepada tiga uskup tersebut
ditujukan dalam rangka meminta dukungan dan restu terhadap pelaksaan pencarian sosok Maria
versi Indonesia.

Kunjungan pertama dilakukan Gomas dengan mendatangi kediaman Uskup Agung Jakarta
di Wisma Gereja Katedral pada bulan April 2015. Pada kunjungan tersebut,, Uskup Agung Jakarta
berkenan menindaklanjuti gagasan Gomas dengan mendiskusikannya pada kesempatan Sidang
Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang baru diselenggarakan pada bulan
Desember 2015. Merasa tanggapan Uskup kurang memuaskan, Gomas terdorong untuk menemui
dua uskup lainnya, yakni Julius Kardinal Darmaatmadja, pendahulu Kardinal Suharyo, serta
Johannes Pujasumarta, uskup agung Semarang periode 2010-2015. Keduanya menyetujui dan
merestui gagasan Gomas, dan mendorong Kardinal Suharyo untuk turut mengusahakan agar
gagasan pencarian sosok Maria versi Indonesia dapat segera diwujudkan.

Gagasan mengenai pencarian sosok Maria versi Indonesia pada akhirnya diwujudkan
melalui pembentukan sayembara bertajuk “Cipta Karya Lukis dan Patung Maria Bunda Segala
Suku”. Sayembara tersebut dibuka pada tanggal 30 Mei 2015 di Ganjuran, Bantul, Yogyakarta.
Sayembara tersebut awalnya direncanakan berjalan selama satu tahun dengan mengumpulkan 100

6
Kardinal merupakan gelar kehormatan yang diberikan Paus kepada imam atau uskup yang dianggap punya
keunggulan dalam ajaran, moral, kesalehan dan arif dalam bertindak. Seorang kardinal berkewajiban untuk terlibat
dalam proses pemilihan Paus baru serta menghadap Paus ketika dibutuhkan. Tugas yang diemban bermacam‐
macam, entah memimpin perkantoran (dikasteri) di Vatikan maupun memimpin sebuah keuskupan. Dalam konteks
Indonesia, pengemban gelar ini dapat dilihat sebagai penghubung Tahta Suci dengan gereja lokal. Bandingkan
https://www.dokpenkwi.org/2019/09/05/ini‐yang‐perlu‐diketahui‐tentang‐kardinal‐dalam‐gereja‐katolik/

4
karya lukis dan patung. Meskipun demikian, rencana tersebut berubah di tengah pelaksanaan
sayembara. Buruknya alur informasi ke tataran paroki serta komunitas, kecilnya keterlibatan
peserta, hingga wafatnya dua sosok penting dalam pelaksaan sayembara yakni Laksda (Purn)
Maria Christina Rantetana selaku ketua panitia dan Mgr. Johannes Pujasumarta selaku penyokong,
membuat penutupan sayembara diundur hingga setahun kemudian (Gomas, 2021).

Sayembara “Cipta Karya Lukis dan Patung Maria Bunda Segala Suku” pada akhirnya
ditutup tepatnya pada 22 Mei 2017 melalui sebuah pameran di Aula Katedral Jakarta. Sayembara
berhasil mengumpulkan 54 karya yang terdiri dari 44 karya lukis dan 14 karya patung dalam
berbagai nafas etnik khas daerah asal perupa masing-masing. Tim juri menetapkan lukisan karya
Robert Gunawan, seorang guru lukis anak-anak dari Jakarta Timur, sebagai hasil karya yang
merepresentasikan konsep “Maria Bunda Segala Suku”.

Gagasan mengenai sosok Maria versi Indonesia tidak berhenti pada tahapan sayembara.
Uskup Agung Jakarta pada 3 Januari 2018 menetapkan lukisan karya Robert Gunawan sebagai
objek utama dari praktik devosi kepada Maria Bunda Segala Suku yang berlaku di seluruh wilayah
yuridiksi KAJ (Suharyo, 2018). Keputusan Uskup Agung Jakarta juga ditindaklanjuti dengan
reproduksi lukisan karya Robert Gunawan ke dalam bentuk patung yang berfungsi sebagai objek
devosi. Selain itu, lukisan Maria Bunda Segala Suku juga direproduksi ke dalam media lain seperti
buku doa, spanduk, pamflet. Penyebaran objek devosi Maria Bunda Segala Suku juga diiringi
dengan produksi rosario merah putih yang diprakarsai R.D. Harry Sulistyo. R.D. Harry Sulistyo
merupakan imam Katolik diosesan KAJ yang menjabat sebagai ketua Komisi Komunikasi Sosial
Keuskupan dan sejak awal turut mendukung kelahiran devosi kepada Maria Bunda Segala Suku
(Gomas 2021). Upaya diatas juga dilengkapi dengan pembukaan “Museum Maria Bunda Segala
Suku” yang dibuka pada 20 Oktober 2010 oleh Uskup Agung Jakarta dan bertempat di sekretariat
Marian Centre Indonesia, Kebon Jeruk, Jakarta Barat (Berita Satu, 23 Oktober 2018).

Namun yang menarik dalam khotbah yang disampaikan pada kesempatan misa peresmian
museum tersebut, Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, berujar mengenai devosi
kepada Maria Bunda Segala Suku sebagai devosi yang kontekstual dengan situasi bangsa dan
bertumbuh sebagai cara menjaga dan merawat kesatuan dari bangsa Indonesia yang plural. Senada
dengan pernyataan Uskup Agung Jakarta, Gomas mengemukakan bahwa gagasan mengenai sosok

5
Maria versi Indonesia yang mengejawantah dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku dapat
dipandang sebagai pengingat mengenai Indonesia sebagai anugerah bagi seluruh suku bangsa
yang mana harus dirawat dan dijaga persatuannya.

Dua pendapat di atas mengingatkan penulis pada pemikiran Homi K. Bhabha mengenai
third space. Menurut Bhabha, third space berbicara mengenai produksi pemaknaan kultural baru
yang mendefinisikan ulang batasan-batasan kultural yang mapan. Simbol dan makna budaya selalu
dapat dibaca, ditafsirkan dan dinyatakan secara lentur. Batasan dalam sebuah bentuk pemaknaan
budaya mengalami pelenturan atau malah peleburan, dan melahirkan bentuk baru dengan sifat-
sifat tersendiri tanpa meniadakan sifat-sifat lama dari bentuk budaya lama (Bhabha 1994: 34-9).
Penulis berasumsi bahwa bentuk baru ini hadir dalam devosi Maria Bunda Segala Suku, yang
meleburkan makna keindonesiaan dengan kekatolikan. Maria dalam devosi Maria Bunda Segala
Suku bisa jadi asing bagi penganut agama Katolik dari belahan dunia lain, tidak sepenuhnya Maria
sang bunda Yesus dari Palestina atau Eropa milik umat Katolik juga bukan sepenuhnya Maria
milik orang Jawa. Maria dalam devosi Maria Bunda Segala Suku adalah Maria dari Palestina
dalam rupa puan dari kepulauan Nusantara, yang dimiliki orang Katolik juga Indonesia, sekaligus
pelindung dari nilai-nilai ideal seperti kebhinekkaan, sebagaimana diutarakan oleh Gomas dan
Uskup Agung Jakarta. Maria Bunda Segala Suku dalam pandangan penulis adalah Maria yang
terindonesiakan, hybrid sekaligus ambivalen, dekat namun asing di saat bersamaan.

Berangkat dari asumsi tersebut, penulis menjadi tertarik untuk menggali lebih lanjut asal-
muasal dari hibriditas yang hadir dalam Maria Bunda Segala Suku, yang dinarasikan oleh Gomas
sebagai “Maria-nya orang Indonesia” itu. Dari titik mana kita dapat melacak upaya
pengindonesiaan atau Indonesianisasi Gereja Katolik? Dalam konteks sejarah seperti apakah
upaya tersebut muncul? Dan mengapa upaya serupa timbul ke permukaan dalam rupa devosi
sebagaimana penulis jumpai dua tahun yang lalu? Pertanyaan reflektif tersebut mendorong penulis
untuk melacak kembali akar dari wacana pengindonesiaan ajaran Katolik, atau Indonesianisasi
Gereja Katolik, yang kali ini tampak dalam devosi Maria Bunda Segala Suku.

Wacana Indonesianisasi sejatinya bukan hal baru bagi pihak-pihak yang menggeluti
perkembangan Gereja Katolik di Indonesia. Mgr Albertus Soegijapranata, S.J. (1896-1963), uskup
“bumiputera” pertama, memperkenalkan jargon “100% Katolik, 100% Indonesia” yang menjadi

6
pelopor percakapan mengenai pengintegrasian Gereja Katolik dalam dinamika masyarakat
Indonesia. Dalam literatur yang muncul belakangan, pihak KWI dalam dokumen Indonesianisasi
yang dirumuskan oleh Panitya Indonesianisasi (1974: 10-3) mendefinisikan istilah
‘indonesianisasi’ sebagai pengintegrasian Gereja Katolik secara terus-menerus di Indonesia yang
bertujuan tidak hanya demi nasionalisme, tetapi juga demi universalitas Gereja itu sendiri.
Dokumen Indonesianisasi secara lebih lanjut menjabarkan tujuan dari proses indonesianisasi
sebagai upaya Gereja Katolik untuk tidak menghadirkan diri sebagai corpus alienum atau benda
asing, melainkan minoritas yang menyumbangkan mutu-mutu kristiani-manusiawi untuk
pembangunan bangsa (ibid.: 13)

Satu catatan lain mengenai wacana indonesianisasi Gereja Katolik dapat ditemukan dalam
karya Huub Boelaars (2005: 49) berjudul Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia
menjadi Gereja Katolik Indonesia

‘…Gereja Katolik dalam segala aspeknya mengembangkan diri dalam


masyarakat Indonesia sedemikian rupa, sehingga di samping dimensi
semestanya Gereja juga menampilkan corak Indonesia yang
sepenuhnya…’. (garis miring ditambahkan)

Wacana indonesianisasi atau pengindonesiaan Gereja Katolik sebagaimana dilontarkan oleh


Soegijapranata, Panitya Indonesianisasi maupun Boelaars , mengingatkan penulis terhadap
argumen Rita Smith Kipp (2000) mengenai upaya umat Kristen di Indonesia dalam mendahulukan
bangsa daripada agama. Kipp dalam “Bangsa Goes Above Agama” The Nationalist Credentials
of Christian Indonesians, menjabarkan tentang kecenderungan umat Kristen (Katolik dan
Protestan) menjadikan identitas nasional mereka sebagai dasar keterlibatan politis. Identitas
keagamaan justru tidak begitu tampak dalam perumusan agenda-agenda politis dari kelompok
Kristen Indonesia. Menurut Kipp, meskipun ajaran agama Kristen seringkali menjadi sumber
inspirasi, kelompok Kristen cenderung mengkerangkai langkah-langkah politis dengan narasi
kebaikan bersama dan kepentingan nasional sebagai prioritas yang melampaui kepentingan agama
Kristen itu sendiri.

Meskipun demikian, segenap narasi mulia di atas rasanya perlu dipahami dengan melihat
konteks sosial-politik yang melingkupi komunitas Kristiani di Indonesia pada periode kesejarahan
tertentu. Soegijapranata selaku pencetus jargon “100 % Katolik, 100 % Indonesia” hidup dalam

7
periode sejarah dimana Indonesia sebagai sebuah bangsa baru saja terbentuk, dan kelompok
Kristiani sedang terstigmatisasi sebagai penganut agama penjajah (Boelaars, Op.cit.). Wacana
pengintegrasian Gereja Katolik, sebagaimana dimuat dalam dokumen Indonesianisasi, tidak dapat
dilepaskan sepenuhnya dari agenda pembangunanisasi dan harmonisasi yang dicanangkan rezim
Orde Baru. Menurut Barker (2008: 91-3), apparatus ideologis negara menjadi aktor kunci dalam
menghadirkan konstruksi mengenai kondisi penuh damai, toleran, dan harmonis di antara masing-
masing kelompok agama dalam rangka memperkokoh dominasi Orde Baru yang dibangun atas
nama Pancasila.

Berangkat dari penjabaran di atas, penulis menyadari bahwa upaya mencari akar
pengindonesiaan Gereja Katolik, yang tidak hanya meliputi rupa atau gaya sarana peribadatan
dalam balutan budaya tertentu tetapi juga formasi diskursif yang membentuknya, tidak akan
pernah lepas dari beroperasinya kekuasaan. Hal ini membawa penulis kepada buah pikiran Michel
Foucault, yang memandang kekuasaan bukan hanya sebagai kemampuan melancarkan hukuman
fisik, melakukan represi dan bentuk pendisiplinan melalui jalan kekerasan lainnya. Michel
Foucault (1980: 80) memandang kekuasaan sebagai mekanisme kontrol terhadap masyarakat yang
bekerja seperti jaringan dalam setiap relasi sosial. Mekanisme kontrol ini dibangun melalui
hadirnya wacana dan struktur pengetahuan yang otoritatif dan tanpa disadari membentuk perilaku
suatu kelompok atau masyarakat.

Penulis mengadopsi teori kekuasaan Foucault dalam rangka melihat fenomena devosi
Maria Bunda Segala Suku. Pilihan ini berangkat dari momentum munculnya devosi Maria Bunda
Segala Suku serta keterkaitannya dengan wacana dan perkembangan kontemporer Indonesia
secara lebih luas. Devosi ini lahir pasca keruntuhan rezim Orde Baru tepatnya di era Reformasi.
Era Reformasi, yang sudah berjalan selama kurang lebih 23 tahun, selama ini dianggap membuka
peluang bagi setiap kelompok masyarakat sipil khususnya kelompok agama dalam
mengekspresikan pandangan ideologisnya. Namun patut dicatat bahwa kerunutuhan Orde Baru
juga diikuti dengan periode ketidakpastian dalam bentuk konflik berbasikan identitas agama dan
etnik. Kurang dari sepuluh tahun setelah keruntuhan Orde Baru, konflik identitas dengan cepat
menyebar di Jawa, Ambon dan Kalimantan (Kipp, 2000: 25). Dua puluh tahun sesudah keruntuhan
Orde Baru, publik menyaksikan gelombang Aksi Massa 212 yang menuntut pemenjaraan Ahok
atas kasus dugaan penistaan agama. Selama kurun waktu lima tahun (2014-2019) pemerintahan

8
Joko Widodo, kekerasan atas nama identitas juga belum lekang dalam perbincangan publik. Era
Reformasi ditandai dengan semakin meningkatnya wacana identitas kelompok dalam tatanan
politik masyarakat.

Hadirnya beberapa simbol dan ornamen seperti Garuda Pancasila, mahkota nusantara,
busana adat, dan lain sebagainya itu, sempat membuat penulis berasumsi bahwa Devosi kepada
Maria Bunda Segala Suku tak lebih dari sekedar reaksi terhadap politik identitas yang intensitasnya
semakin meningkat terutama sejak gelombang aksi massa bertajuk 212 itu terselenggara. Hanya
saja, mengapa reaksi tersebut menampakkan diri melalui representasi visual mengenai figur Maria
sebagai Bunda Segala Suku dengan simbol dan ornamentasinya rasanya masih belum terjelaskan.
Fenomena tersebut barangkali bukan sekedar reaksi. Ia menampakkan jejak-jejak hegemoni
ideologi politik dalam benak pikiran umat Katolik di Indonesia khususnya Keuskupan Agung
Jakarta yang kali ini dipertahankan dan ditampilkan kembali melalui figur Maria yang
“diindonesiakan” secara mandiri tanpa kehadiran aktif negara.

Oleh karena itu, penulis mengadopsi teori governmentality dari Michel Foucault yang
secara garis besar menyoroti strategi pendisiplinan kontemporer berupa kapasitas otonom subjek
dalam memproduksi dan menyesuaikan perilaku dengan wacana populer yang mendisiplinkan
(Foucault, 1991). Teori tersebut mengandaikan absennya negara dalam proses manufakturisasi
subjek. Berbeda dengan konsepsi Foucault sebelumnya, subjek dalam teori governmentality
berkemampuan untuk memposisikan diri sebagai agensi yang mereproduksi pengetahuan yang
dominan bagi diri sendiri dan sesamanya. Hal ini kiranya relevan dengan fenomena Devosi kepada
Maria Bunda Segala Suku yang muncul sebagai hasil dari kerja kolaborasi para aktor pemrakarsa
dalam meresimbolisasi figur Maria sebagai Bunda Segala Suku. Segala upaya mereka disorot
sebagai petunjuk terkait kapasitas otonom dalam mereproduksi wacana Indonesianisasi melalui
proses translasi dan mimikri yang nantinya melahirkan representasi visual yang hybrid dari figur
Maria Bunda Segala Suku.

Sejalan dengan kerangka teoritik yang diadopsi, kekuasaan disini merupakan sesuatu yang
produktif dan niscaya adanya. Ia produktif dalam artian bahwa ia hadir sebagai daya atau kekuatan
yang mampu menghasilkan sesuatu. Ia niscaya dalam artian bahwa segala yang berkaitan dengan
pemaknaan kita terhadap objek materiil dan diskursif dibentuk oleh kekuasaan. Demikian halnya

9
dengan pemaknaan umat Katolik terhadap figur Maria. Hal tersebut tidak lepas dari kerja
kekuasaan membentuk dan menetapkan sekaligus meruntuhkan pengetahuan tentangNya dalam
periode historis tertentu.

Proposisi teoritik tersebut merupakan landasan sekaligus batasan bagi penulis selaku
peneliti. Adapun penulis terlahir dari keluarga campuran dan mengikuti keyakinan ibu sebagai
penganut agama Katolik dan menempuh pendidikan dasar hingga menengah di lembaga
pendidikan bernafaskan Katolik asuhan tarekat biarawati/suster. Figur Maria dalam rupa Barat-
Eropa begitu familiar sebab penggambaran itulah yang penulis kenal sejak kecil. Lantas, penulis
di awal sempat keberatan dengan gambaran Maria sebagai Bunda Segala Suku yang tak ubahnya
figur lain yang asing dan terjamah ideologi politik yang hegemonik. Namun demikian, belakangan
disadari bahwa pandangan awal penulis mengenai figur Maria ala Barat sebagai “Maria yang
sejati” pun tidak lepas dari kerja kekuasaan yang terus menerus membentuk persepsi kita terhadap
sesuatu. “Yang Barat” itu menjadi “Yang Sejati” bukan karena benar-benar sesuai dengan sejarah,
melainkan karena itulah yang ditanamkan kepada umat Katolik di Indonesia sejak dini. “Yang
Sejati” itu barangkali tidak akan pernah bisa digapai dan oleh karena itu lahirnya berbagai macam
pemaknaan terhadap figur Maria dengan segala simbolisasinya merupakan sesuatu yang lumrah
adanya.

Maka dari itu, penulis tidak bermaksud menilai apakah representasi visual dari figur Maria
dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku tergolong benar atau tidak menurut kacamata agama
Katolik. Penulis bukan teolog, pastor atau bahkan uskup yang barangkali lebih cocok untuk
menjatuhkan penilaian semacam itu. Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Politik dan
Pemerintahan yang berupaya berkontribusi terhadap khazanah ilmu yang dipelajari. Salah satunya
dengan menelusuri bekerjanya pengetahuan yang mendominasi atau lebih tepatnya kekuasaan
pada tataran alam bawah sadar (subconscious) sebagaimana tampak pada fenomena Devosi Maria
Bunda Segala Suku. Tujuan ini yang kiranya membuat penelitian ini menjadi penting untuk
dilakukan.

10
1.2.Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang sudah dijabarkan pada bagian latar belakang, pertanyaan yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana praktik governmentality dalam fenomena mempertahankan wacana


Indonesianisasi Gereja Katolik melalui Devosi Maria Bunda Segala Suku di Keuskupan
Agung Jakarta di masa Reformasi?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tentang bagaimana praktik governmentality dalam
fenomena mempertahankan wacana Indonesianisasi Gereja Katolik melalui Devosi Maria Bunda
Segala Suku di Keuskupan Agung Jakarta di masa Reformasi. Selama ini, percakapan tentang
gereja (Katolik) dengan politik di Indonesia berulangkali mengulas keterlibatan gereja sebagai
masyarakat sipil melalui praktik politik seperti aktivisme, perumusan kebijakan, maupun
sosialisasi pemilu. Selain itu, praktik politik dalam tubuh gereja itu sendiri berulangkali
diasumsikan sebagai praktik yang terpusat pada pimpinan gerejawi dan melupakan posisi penting
umat awam sebagai penyusun terbesar dari populasi umat Katolik di Indonesia. Skripsi ini
berupaya melihat praktik politik dalam gereja Katolik dengan sedikit berbeda, yakni dengan
melihat bekerjanya praktik governmentality di kalangan umat Katolik yang berupaya
mereproduksi keindonesiaan melalui penciptaan figur Maria versi Indonesia secara mandiri.

1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian mengenai devosi Maria maupun praktik governmentality dalam
komunitas beragama yang sebelumnya pernah dilakukan. Penulis pada bagian ini menjabarkan
beberapa publikasi penelitian terdahulu dari berbagai macam sumber yang menambah dan
memperluas wawasan penulis terhadap topik yang diteliti.

Salah satu penelitian mengenai devosi Maria terdapat dalam karya Dragos Boicu (2014:
102-20), mengenai keterlibatan negara dalam pembentukan devosi Maria di Konstantinopel pada

11
abad ke-5. Hal menarik dari jurnal berjudul Marian Devotion as a Form of Legitimization of
Imperial Authority ini adalah ulasan mendalam mengenai peran negara atau kekaisaran dalam
membentuk kultus rakyat kepada Maria. Peran negara/kekaisaran Byzantin diperlihatkan melalui
dukungan terhadap penyelenggaraan ritual maupun pengembangan dogma teologis Maria yang
dilaksanakan oleh institusi Gereja. Karya Boicu tentu memiliki perbedaan lokus dan konteks
periode yang amat sangat jauh dari apa yang diangkat dalam tulisan skripsi ini. Meskipun
demikian, karya Boicu menyediakan pijakan bagi penulis mengenai pentingnya mengamati peta
aktor serta keterlibatan apparatus negara baik langsung maupun tidak langsung dalam
perkembangan suatu doktrin, ritual maupun praktik keagamaan.

Sumbangsih penelitian lain terdapat dalam karya Roberto di Stefano dan Diego Mauro
(2016: 279-307) mengenai devosi Maria di kota Lujan, Argentina. Secara khusus tulisan berjudul
Our Lady of Lujan: National Identity and Mass Mobilization in Argentina ini menyoroti hubungan
antara praktik religiositas umat Katolik dengan perubahan politik di Argentina. Stefano dan Mauro
juga menjabarkan hubungan antara beberapa aktor, yakni gereja, negara, dan gerakan politik, yang
berperan dalam pengembangan devosi Maria di kota Lujan sebagai kultus nasional. Karya Stefano
dan Mauro, terlepas dari perbedaan lokus dan konteks waktu, menumbuhkan inspirasi bagi penulis
dalam melihat praktik devosi kepada Maria sebagai upaya merekonstruksi identitas nasional.

Adapun publikasi penelitian mengenai devosi Maria di Indonesia terdapat dalam karya
Herman Beck dalam Back to Sendangsono: A Marian Pilgrimage Site as a Lens on Central
Javanese Cultural Value (2018: 244-63). Dalam publikasi tersebut, Beck mengulas proses
konstruksi wacana budaya Jawa yang terdapat pada kasus devosi Maria di Sendangsono,
Yogyakarta. Catatan Beck sendiri tidak membahas dinamika praktek devosi Maria di Indonesia
secara luas. Beck secara khusus mengulas arsip-arsip sejarah mengenai kehadiran agama Katolik
di Jawa Tengah, khususnya peranan devosi Maria dan misionaris Yesuit dalam proses penyebaran
agama Katolik di wilayah Sendangsono.

Dalam penelitiannya, Beck menjabarkan strategi misionaris Yesuit melalui adopsi budaya
Jawa dalam praktik devosi Maria dengan tujuan penyebaran agama Katolik. Beck juga
menyertakan dinamika pembentukan elite umat lokal sebagai penyokong dari proses penyebaran
agama Katolik melalui jalur adopsi budaya. Argumentasi Beck diperkuat dengan perbandingan

12
mengenai dinamika misi Katolik di Sendangsono mulai dari masa kolonial hingga kemerdekaan.
Penelitian Beck menunjukkan bahwa syiar agama Katolik melalui kebudayaan, sebagaimana
diamati dalam kasus Sendangsono, turut membentuk pemaknaan terhadap situs Sendangsono
sebagai situs peziarahan Maria dengan nilai “kejawaan” yang otentik. Nilai “kejawaan” yang
dimaksud dalam penelitian Beck tidak mengacu pada bentuk fisik patung Maria maupun
penggunaan instrumen musik tradisional. Nilai “kejawaan” dalam pandangan Beck mengacu pada
kebudayaan Jawa sebagai wacana dalam pemaknaan Maria, sebagaimana ia narasikan tentang rasa
takjubnya terhadap umat Katolik yang menyalakan dupa sembari memanjatkan doa dalam posisi
lotus selayaknya meditasi seorang pertapa.

Kedua penelitian tersebut berupaya memperlihatkan dimensi politis dari sebuah praktik
devosi Maria. Penelitian Boicu secara spesifik mengulas adanya kepentingan negara di balik
dukungan terhadap perkembangan devosi Maria pada era Byzantin. Negara berkepentingan dalam
memperkuat basis legitimasi melalui rekonstruksi Maria sebagai “mitos” resmi kekaisaran
Byzantin yang diperlihatkan Boicu melalui ulasan tentang sokongan negara terhadap ritual dan
diskusi-diskusi teologis. Senada dengan penelitian Stefano dan Mauro, dimana praktik devosi
Maria menjadi instrumen negara dalam merekonstruksi identitas nasional. Negara dalam
penelitian Stefano dan Mauro menempatkan devosi Maria di Lujan sebagai simbol yang
merepresentasikan identitas Argentina, dan konsekuensi logis dari praktik diskursif tersebut adalah
perubahan pemaknaan devosi Maria dari praktik keagamaan non-formal menjadi simbol sekaligus
ruang publik episentris bagi masyarakat Argentina. Bagi penulis, kedua karya tersebut sama-sama
menempatkan devosi Maria sebagai praktik keagamaan yang tidak netral, melainkan politis dan
lekat dengan kehadiran wacana dan struktur pengetahuan menurut negara, dan oleh karenanya
merupakan sumber inspirasi penulis dalam pemilihan topik skripsi ini.

Perbedaan antara skripsi ini dengan karya Boicu maupun Stefano dan Mauro terletak pada
lokus penelitian serta sedikit pada fokus penelitian. Lokus penelitian ini adalah devosi kepada
Maria Bunda Segala Suku yang berkembang di Keuskupan Agung Jakarta. Devosi kepada Maria
Bunda Segala Suku merupakan lokasi dimana penulis berupaya melihat bekerjanya praktik
governmentality dalam mempertahankan wacana Indonesianisasi Gereja Katolik di era Reformasi.
Sebagaimana sudah dijabarkan pada bagian latar belakang, proses pengindonesiaan Gereja Katolik
juga pernah dilakukan di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto dimana loyalitas umat Katolik

13
terhadap agenda kebangsaan dibentuk melalui cara-cara yang otoritarian. Penulis memandang
bahwasanya di era Reformasi dimana negara tidak lagi menekankan loyalitas warganegara
terhadap wacana kebangsaan melalui cara-cara yang terbilang represif, sebagian kecil dari umat
Katolik justru meneruskan wacana kebangsaan melalui representasi simbolik figur Maria sebagai
Bunda Segala Suku. Apabila penelitian Boicu serta Stefano dan Mauro melihat peran aktif negara
dalam pembentukan loyalitas di tataran kewacanaan melalui peranan Gereja sebagai apparatus
ideologis yang mendayagunakan ritus dan otoritas ajaran, penulis melalui skripsi ini lebih
menyoroti kapasitas mandiri umat awam Katolik dalam mempertahankan wacana Indonesianisasi
melalui devosi Maria Bunda Segala Suku, yang mana penulis perlihatkan dengan mengadopsi teori
kekuasaan Foucault mengenai governmentality.

Adapun penelitian yang mengadopsi konsep governmentality untuk menjelaskan fenomena


gerakan politik berbasiskan agama dapat ditemui dalam artikel berjudul Religious
Governmentality: The Case of Hizbuth Tahrir (2020: 95-117) karya Dietrich Jung dan Kirstine
Sinclair. Mereka mengeksplorasi praktik pendisiplinan yang dilakukan Hizbuth Tahrir dengan
mengadopsi governmentality untuk menjelaskan bekerjanya pendisiplinan melalui penggunaan
ajaran eskatologis Islam yang ditujukan untuk mengembangkan kesadaran pribadi dari anggotanya
dalam mengikuti kerangka pikir yang telah disediakan oleh Hizbuth Tahrir. Jung dan Sinclair
menutup karyanya dengan berkesimpulan bahwa aktor non-pemerintah seperti organisasi politik
keagamaan semacam Hizbuth Tahrir juga memanfaatkan strategi dan teknik dominasi sekaligus
membentuk kesadaran pribadi anggotanya dalam melanggengkan agenda politik mereka.

Penelitian Jung dan Sinclair memiliki kesinambungan dalam hal cakupan teoritik dengan
skripsi karya penulis. Kami sama-sama mengadopsi governmentality untuk menelaah suatu
fenomena kontrol sosial yang terselubung. Hanya saja, Jung dan Sinclair melihat Hizbuth Tahrir
sebagai satu-satunya produsen wacana dan struktur pengetahuan mengenai modernitas yang
ditujukan untuk mengontrol perilaku populasi melalui teknologi dominasi (penyisipan wacana)
dan teknologi diri (kesadaran anggota untuk berperilaku seturut dengan doktrin Hizbuth Tahrir).
Penulis dalam skripsi ini tetap memperhitungkan negara sebagai produsen wacana mengenai
Indonesianisasi sembari memperlihatkan kapasitas umat Katolik sebagai agensi yang
mereproduksi dan mendisipilinkan perilaku mereka seturut dengan wacana Indonesianisasi
melalui devosi kepada Maria Bunda Segala Suku.

14
Tinjauan terhadap penelitian terdahulu ini kiranya mampu memperlihatkan letak
perbedaan dan batasan yang menegaskan sifat-sifat kebaruan dari skripsi yang berupaya membaca
secara kritis sebuah konstruksi realitas bernama Devosi Maria Bunda Segala Suku melalui
kacamata ilmu politik ini.

1.4.2. Landasan Teori

Kekuasaan dan governmentality menurut Michel Foucault

Kekuasaan dalam kacamata populer seringkali dilihat sebagai sebuah kemampuan atau kekuatan
dari suatu pihak untuk mewujudkan kehendak sembari memaksa seseorang melakukan sesuatu
yang tidak dikehendaki. Kekuasaan dibayangkan sebagai hubungan vertikal dan antagonistik, serta
lekat dengan kekerasan dan penindasan.

Foucault melalui teori kekuasaannya menawarkan cara pandang berbeda. Secara garis
besar, ia memandang kekuasaan sebagai relasi yang menyebar luas dalam masyarakat,
sebagaimana dinyatakan sebagai berikut;

“…kekuasaan digunakan dan dijalankan seperti layaknya


jaringan…Individu merupakan wahana bagi kekuasaan, bukan titik
penerapan dari kekuasaan7” (1980: 80 - terjemahan oleh penulis)

Oleh sebab itu, kekuasaan dalam pandangan Foucault terdistribusi pada semua relasi sosial dan
tidak dapat direduksi menjadi bentuk atau determinasi ekonomis yang terpusat. Implikasi argumen
ini adalah pengamatan terhadap kerja kekuasaan tidak melulu terpaut dengan ranah perumusan
kebijakan ataupun sistem politik dan pemerintah. Setiap aspek kehidupan manusia merupakan
arena berlangsungnya kekuasaan, dan oleh karenanya, lembaga-lembaga seperti keluarga, sekolah,
organisasi, rumah sakit, penjara maupun agama (Gereja Katolik) menjadi tempat dimana kita dapat
mengamati bagaimana kekuasaan itu bekerja.

Penelitian ini mengadopsi salah satu cabang dari teori kekuasaan Foucault, yakni teori
governmentality. Menurut Lemke (2001), teori governmentality secara semantik merupakan

7
Teks asli: “…Power is employed and exercised through netlike organisation…Individuals are the vehicles of power,
not its points of application”

15
hubungan antara “praktik memerintah” (gouverneur) dengan “cara berpikir” (mentalite), atau
dengan kata lain, merujuk pada rasionalitas politik yang mendasari kerja kekuasaan. Dalam
pandangan Ghatak dan Abel (2013: 220), teori governmentality merupakan titik pusat dari
perkembangan buah pikiran Foucault mengenai kekuasaan, pengetahuan, dan kontrol sosial. Teori
ini berkembang dari argumen mengenai kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar dalam relasi
sosial dalam masyarakat, komunitas, dan institusi sosial, dan merupakan teknologi yang berkaitan
dengan produksi, reproduksi, dan regularisasi terhadap cara (customs), norma, dan tradisi dari
sebuah masyarakat

Teori governmentality secara garis besar berbicara tentang “cara atau sistem berpikir
tentang sifat-sifat praktik memerintah (practice of government) yang mencakup siapa yang bisa
mengatur, apa yang mau diatur, dan apa serta siapa yang menjadi sasaran aturan, dalam rangka
membuat sebagian dari kegiatan itu dipikirkan dan dilaksanakan baik oleh mereka yang mengatur
maupun mereka yang diatur”8 (Gordon, ibid.). Fokus utama penelitian dalam kerangka teoritik
governmentality menyangkut strategi dalam pembentukan, pengelolaan dan pengaturan subjek
yang dijumpai sepanjang rentang historis tertentu (Gordon, 1991: 7). Strategi pembentukan subjek
sendiri melibatkan peran apparatus pengetahuan sekaligus memperhitungkan kapasitas individu
dan kelompok dalam mengendalikan perilaku secara otonom (Pelayo, 2018: 7; Lemke, 2000: 4).

Governmentality sebagai rasionalitas kekuasaan

Teori governmentality sendiri menyingkap keberadaaan bentuk-bentuk kontrol sosial


dibalik selubung kebebasan individu atau conduct of conduct. Adapun conduct of conduct
merupakan gambaran mengenai sejauh mana kontrol sosial terhadap perilaku masyarakat
dibangun melalui konstruksi pengetahuan hingga menghasilkan situasi dimana masyarakat mampu
memproyeksikan kembali kontrol tersebut dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehadiran langsung
dari apparatus disiplin (Burchell et.al., 1996: 19).

Secara teoritik, mekanisme kontrol dalam kerangka conduct of conduct dapat dipahami
dengan menelisik dua tipe atau model relasi kekuasaan yang terdapat dalam relasi sosial. Dua tipe

8
Teks asli: ” …a rationality of government will thus mean a way or system of thinking about the nature of the
practice of government (who can govern; what governing is; what or who is goverend) capable of making some
form of that activity thinkable and practisable both to its practitiones and those upon whom it was practised...”

16
relasi kekuasaan tersebut mencakup relasi kekuasaan yang “datang dari atas” atau dapat disebut
sebagai “teknologi dominasi” (downward directions atau technology of domination) sekaligus
“datang dari bawah” atau juga disebut sebagai “teknologi diri” (upward directions atau technology
of the self) (Foucault, 1988: 19).

Teknologi dominasi merupakan sebuah konsep dalam pemikiran Foucault yang berbicara
mengenai mekanisme kontrol yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan wacana. Menurut
Foucault, wacana merupakan aturan-aturan, praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-
pernyataan tertentu yang bermakna pada suatu rentang historis tertentu. Wacana tidak hanya
meliputi sekumpulan pernyataan berisi sekumpulan ide dari individu atau kelompok tertentu.
Wacana dalam sudut pandang Foucault adalah sesuatu yang membentuk cara pandang individu
terhadap realitas (Mills, 2003: 56).

Foucault melihat adanya dua objek penyusun realitas yang terdiri dari objek
diskursif/wacana dan objek non-diskursif atau benda material seperti batu, pohon dan tubuh
manusia. Menurut Foucault, wacana berfungsi sebagai pemberi makna bagi objek-objek tersebut.
Manusia hanya dapat memberi makna terhadap segala yang ia rasakan seperti sakit, sehat, lemas,
segar, melalui wacana yang disampaikan dalam penggunaan bahasa. Wacana dapat disebut sebagai
“pemberi” makna bagi objek materiil, maupun objek non materiil seperti praktik sosial, melalui
bahasa. Wacana merupakan jalan bagi individu dalam memahami realitas dalam dan di luar dirinya
(Barker, 2018: 21).

Wacana tidak hanya berfungsi sebagai pemberi makna bagi realita melainkan juga
merupakan bukti lekatnya pengetahuan dengan kekuasaan. Analisis Foucauldian terhadap wacana
berupaya menelisik sejauh mana makna itu sendiri dikonstruksikan, siapa pembentuk wacana, apa
dan siapa saja yang menjadi sasarannya, apa saja yang diatur oleh wacana, bagaimana wacana
membentuk struktur pengetahuan tertentu, dan bagaimana pengetahuan tersebut lestari dalam
kurun historis tertentu (Mills, 2003: 54). Peran wacana dalam mengkonstruksi objek pengetahuan
sebagai klaim kebenaran yang didasarkan pada ketetapan definisi yang mengesampingkan
alternatif penalaran lain menjadi bukti tentang pertautan antara pengetahuan dengan kekuasaan
(Barker, 2018: 83).

17
Wacana sebagai klaim kebenaran tidak hanya dibangun berdasarkan definisi ilmiah namun
juga mengenai politik-ekonomi9. Wacana juga berfungsi membentuk struktur pengetahuan yang
menyasar tubuh sosial atau populasi, atau umum dikenali sebagai masyarakat. Populasi atau
masyarakat merupakan kumpulan dari tubuh individu sebagai objek kontrol yang mana menjadi
sasaran pendisiplinan pada tataran wacana dengan tujuan melanggengkan situasi yang dipandang
mampu membawa kebaikan bagi semua pihak (Powell, 2015: 409). Konstruksi mengenai situasi
yang membawa kebaikan umum itu dibangun melalui problematisasi realitas sebagai masalah yang
perlu dikelola dan diselesaikan tanpa sepenuhnya disadari oleh masyarakat itu sendiri (Foucault,
1991: 151).

Melalui serangkaian praktis birokratik, otoritas pengetahuan dan moral yang diproyeksikan
kepada masyarakat, negara memperluas cakupan kontrol terhadap masyarakat. Religiositas
masyarakat juga tidak dapat lepas dari cakupan kontrol negara pada tataran wacana. Lantas
rasionalitas seperti bagaimana yang berada di balik upaya masyarakat dalam menjaga
kelanggengan kontrol tersebut? Hal ini dapat dijelaskan dengan mengadopsi konsep teknologi diri
yang dikembangkan Foucault (Powell, 2015: 408).

Teknologi diri merupakan “teknik yang memungkinkan individu untuk mempengaruhi,


dengan caranya sendiri, sejumlah operasi pada tubuh, jiwa, diri mereka sendiri, dan modifikasi
terhadap kedirian mereka sendiri, dan mencapai kondisi tertentu dari kesempurnaan, kebahagiaan,
kemurnian, dan kekuatan superanatural”10 (Foucault, 1983: 10). Adapun konsepsi Foucault
mengenai teknologi diri berangkat dari refleksi Foucault terhadap metode penyembuhan pasien

9
Foucault dalam pengembangan teori governmentality menggunakan istilah “ekonomi” yang ia rujuk secara
etimologis dari bahasa aslinya (Yunani) yakni “ilmu kerumahtanggan” (oikos‐nomos). Dalam penjelasannya
mengenai peran wacana politik‐ekonomi dalam membentuk klaim kebenaran, Foucault menggambarkan bagaimana
negara atau masyarakat dapat digambarkan sebagai sebuah keluarga, dengan peranan kepala rumah tangga dalam
mengelola kesejahteraan seluruh penghuni rumah tangga (household). Pengelolaan ini melibatkan pengawasan
terhadap perilaku penghuni rumah tangga dan pengawasan terhadap harta benda (property), dan pengelolaan ini
dijalankan dengan mengetahui apa yang baik, benar dan menguntungkan bagi semua penghuni. Berangkat dari
analogi tersebut, wacana “politik‐ekonomi” yang dimaksud Foucault dalam governmentality merupakan struktur
pengetahuan mengenai apa yang baik dan benar bagi masyarakat, yang menjadi dasarnegara dalam mengontrol
warganya. Hal ini pertama‐tama menyangkut aktivitas produksi, distribusi kesejahteraan ataupun standar
kesehatan, namun juga dapat meluas melingkupi hal‐hal seperti budaya, iman, ataupun konstruksi mengenai
identitas nasional. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dlihat: Foucault 1991: 92, 99.
10
Teks asli: “techniques that permit individuals to affect by their own means, a certain number of operations on
their own bodies, their own souls, their own selves, modifiy themselves, and attain a certain state of perfection,
happiness, purity, supernatural power”

18
rumah sakit jiwa yang menekankan pada pengobatan secara mandiri dan relevansi antara
perkembangan ilmu kejiwaan dengan penegakan tertib sosial yang dilakukan negara melalui apa
yang digarisbawahi Foucault sebagai police11(Hutton, 1988: 125).

Konsep teknologi diri secara garis besar berbicara mengenai rasionalitas yang berada di
balik mekanisme sosial yang menghasilkan subjek modern. Menurut Foucault (1983: 41), subjek
modern merupakan hasil dari formasi individu yang dilaksanakan secara mandiri sekaligus
dipengaruhi struktur pengetahuan yang menentukan subjek macam apa yang dapat dikenali dan
diterima secara sosial. Dengan kata lain, pembentukan subjektivitas individu tidak hanya
melibatkan keberadaan wacana dominan yang dibentuk oleh apparatus pengetahuan (baik itu
negara maupun institusi lain seperti gereja dan keluarga) melainkan juga peran subjek sendiri
dalam mengolah dan memproyeksikan wacana tersebut sebagai sebuah kebenaran.

Patut dicatat bahwa subjek menurut konsep governmentality tidak berperan pasif dalam
menanggapi mekanisme kontrol yang terbangun melalui wacana. Subjek justru berperan penting
dalam memproyeksikan kembali wacana yang terintenalisasi kepada dirinya sendiri maupun
sesamanya. Konsep governmentality berupaya menimbang dan menempatkan subjek sebagai
pihak yang aktif dengan melihat titik di mana teknologi dominasi dari individu terhadap sesamanya
berdampak pada proses dimana individu bertindak terhadap dirinya sendiri, dan sebaliknya, titik
di mana teknologi diri diintegrasikan ke dalam sebuah struktur koersi (Foucault, 1993: 203).

Dengan kata lain, kapasitas otonom subjek dalam mengelola dan melanjutkan mekanisme
kontrol kepada diri sendiri dan terutama kepada orang lain merupakan titik pusat perhatian utama
bagi siapa saja yang hendak mengadopsi konsepsi Foucault mengenai governmentality. Di balik
absennya negara secara fisik justru masyarakat berpotensi melanjutkan kembali mekanisme

11
Dewasa ini istilah police lekat dengan lembaga kepolisian. Namun dalam pengembangan teori governmentality
Foucault menggunakan istilah ini dengan merujuk pada makna aslinya, yakni proses pembentukan tertib sosial atau
policing process oleh institusi publik melalui penetapan kepantasan perilaku manusia dihadapan publik. Hal ini
berawal dari pengamatannya terhadap situasi penjara, dimana ia menyadari bahwa para napi tidak lagi dihadapkan
dengan setumpuk hukuman dan siksaan mengerikan. Hukuman yang diberikan rupanya bersifat korektif, yani dalam
bentuk kerja fisik dengan agenda rehabilitasi yang ditujukan agar napi melakukan introspeksi diri dan menemukan
kepribadian baru yang lebih baik sebagai bekal mereka beradaptasi dengan lingkungan masyarakat setelah
dibebaskan dari penjara. Oleh karena itu, istilah police ditekankan Foucault untuk menggambarkan pembentukan
subjek yang secara sadar berpartisipasi menunjang tertib sosial.
Penjelasan lebih lanjut dapat ditemukan dalam Martin, Gutman dan Hutton (eds.). 1988. Technologies of the Self: A
Seminar with Michel Foucault: 121‐40.

19
kontrol yang ada dengan berpatokan kepada wacana yang terinternalisasi sebagai pengetahuan
dominan. Sebagaimana Foucault sendiri sampaikan dalam pandangannya mengenai rasionalitas
politik yang memperlihatkan luasnya jangkauan kekuasaan dalam tubuh masyarakat;

“…karakteristik utama dari rasionalitas politik kita dewasa ini


(governmentality) memperlihatkan adanya fakta bahwa integrasi individu-
individu dalam komunitas, atau dalam totalitas ini, dihasilkan dari korelasi
konstan antara peningkatan individualitas dan serta penguatan dari
totalitas ini”12. (Foucault, 1988: 161, terjemahan oleh penulis).

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis mengadopsi konsepsi Foucault mengenai


govermentality untuk menjawab pertanyaan terkait dinamika mempertahankan wacana
Indonesianisasi Gereja Katolik dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku di Keuskupan Agung
Jakarta di masa Reformasi. Menurut hemat penulis, konsepsi governmentality sangat relevan
dengan fokus pembahasan dalam skripsi ini sebab berkaitan dengan konteks kelahiran Devosi
Maria Bunda Segala Suku di masa Reformasi yang ditandai dengan absennya peran aktif negara
dalam mekanisme kontrol yang menyasar masyarakat khususnya kelompok agama. Konsepsi
Foucault mengenai governmentality menjadi perangkat teoritik yang dirasa mampu untuk
menjelaskan praktik pengindonesiaan yang terjadi secara otonom dan mandiri tanpa partisipasi
aktif institusi pendisiplinan lain seperti negara dan aktor-aktor lainnya.

Rasionalitas kekuasaan melahirkan hibriditas: Third Space menurut Homi K. Bhabha

Seperti sudah dibahas sebelumnya, fenomena yang diamati berkisar pada munculnya
Devosi Maria Bunda Segala Suku yang terpusat pada representasi visual berupa gambar Maria
dalam balutan simbol dan ornamen khas Indonesia. Penulis dalam hal ini memandang representasi
visual tersebut sebagai bukti objektif dari adanya praktik governmentality. Maka dari itu, penulis
merasa perlu untuk menjabarkan secara detail terkait strategi dan teknik yang digunakan oleh para
aktor dalam rangka mempertahankan Indonesianisasi.

Dalam rangka mempertajam analisis, penelitian ini mengadopsi pemikiran Homi K Bhabha
mengenai interaksi antar kebudayaan serta bagaimana interaksi tersebut menghasilkan sesuatu

12
Teks asli: “…the main characteristic of our political rationality is the fact that this integration of the individuals in
a community or in a totality results from a constant correlation between an increasing individualization and the
reinforcement of this totality”.

20
yang telah mengalami penerjemahan, penyepadanan, dan pemaknaan ulang. Dengan demikian,
penulis menyepakati Bhabha mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak bersifat tunggal
dan tidak berdiri sendiri, serta tidak bersifat dualistik dalam relasi dengan budaya lain (Bhabha,
1994: 36)13.

Kebudayaan itu sendiri tidak bersifat murni, otentik, dan berdiri sendiri. Interaksi berbagai
macam budaya merupakan sesuatu yang niscaya dan menghasilkan pencampuran-pencampuran,
hal mana yang dikonseptualisasikan sebagai “hibriditas”. Adapun hibriditas dimengerti sebagai
“ruang antara” (in-between space) dimana penanda-penanda material dan non material dari suatu
budaya bertemu dan melebur. Hibriditas dalam pengertiannya sebagai proyeksi kultural juga
dikenal sebagai “ruang ketiga pengucapan” (third space of enunciation), yakni ruang dimana
seluruh pernyataan-pernyataan kultural dan sistem-sistem kultural dikonstruksikan ke dalam
representasi atas suatu kondisi umum dari sebuah bahasa dan implikasi spesifik dari sebuah
pengungkapan budaya dalam strategi performatif dan institusional yang dengan sendirinya tidak
disadari14 (Bhabha, 1994: 34).

Konsepsi Bhabha mengenai hibriditas itu sendiri tidak berlaku khusus kepada satu atau dua
kebudayaan tertentu. Setiap kebudayaan sejatinya merupakan hibriditas, sebab suatu budaya lahir
dari interaksi yang terus-menerus terjalin sepanjang adanya peradaban manusia. Hanya saja,
konsepsi Bhabha mengenai hibriditas banyak berbicara tentang fenomena kultural yang lahir dari
masyarakat pasca-kolonial. Kolonialisme begitu akrab dengan klaim-klaim superioritas dan
orisinalitas budaya yang dikembangkan oleh bangsa penjajah untuk menegaskan relasi kuasa yang
timpang.

Melalui hibriditas, Bhabha hendak meruntuhkan klaim-klaim semacam itu dengan


menyoroti fenomena tertentu dimana masyarakat terjajah mampu memproduksi secara mandiri
penanda kultural yang mencampuradukkan berbagai elemen-elemen budaya termasuk budaya
penjajah, meski tidak pernah mencapai keserupaan yang sempurna. Dalam perspektif ini,
masyarakat terjajah tidak serta merta tertindas secara budaya. Mereka memiliki agensi atau

13
Teks asli: “…cultures are never unitary in themselves, nor simply dualistic in the relation of Self to Other”
14
Teks asli: “…represents both the general conditions of language and the specific implication of the utterance in a
performative and institutional strategy of which it cannot ‘in itself’ be conscious”.

21
kemampuan untuk memproduksi hibriditas melalui inovasi, negosiasi, kontestasi, resistensi dan
pendefinisian mandiri (self-definition) (Sutrisno, 2018: 30).

Salah satu taktik yang digunakan dalam memproduksi “ruang ketiga” antara budaya
penjajah dengan rakyat terjajah adalah melalui apa yang disebut sebagai “mimikri”. Menurut
Bhabha (1994: 86), mimikri merupakan keinginan terhadap “yang lain”, yang direformasi dan
dikenali, sebagai subjek perbedaan dengan keserupaan yang tidak benar-benar sama (almost the
same but not quite). Mimikri juga dimengerti sebagai strategi perubahan, peraturan dan disiplin,
yang diterapkan suatu kelompok dalam menyesuaiakan diri dengan entitas yang liyan (Huddart,
2006: 41).

Penting untuk dicatat bahwa mimikri tidak berarti penyelarasan diri dalam rangka
mengurangi perbedaan antara si peniru dengan subjek yang ditiru. Peniru melakukan imitasi
semata-mata untuk kepentingan dan tujuannya sendiri. Dalam konteks masyarakat kolonial,
imitasi menjadi sarana dalam melakukan resistensi simbolik terhadap wacana kultural yang
diproduksi oleh penjajah. Contoh-contoh seperti cara berbusana leluhur-leluhur kita yang
menggunakan jas tutup ala Eropa sembari berkain dan berikat kepala dapat dipandang sebagai
bentuk resistensi simbolik melalui kerangka mimikri. Melalui pernyataan kultural tersebut, klaim
superioritas dan kemurnian dari budaya kolonial menjadi tidak relevan, sebab mimikri telah
mengubah dan melakukan modifikasi terhadap elemen-elemen yang ditiru sehingga ia tidak lagi
mendapatkan tempatnya dalam nalar orisinalitas budaya penjajah.

Dalam skripsi ini, penulis mengadopsi pemikiran Bhabha untuk melengkapi analisis
terhadap praktik governmentality yang terdapat dalam fenomena kemunculan Devosi Maria Bunda
Segala Suku di Keuskupan Agung Jakarta. Tujuan penulis dalam mengadopsi konsep hibriditas
dan mimikri adalah untuk menjelaskan temuan-temuan yang berkaitan dengan representasi visual
dari figur Maria Bunda Segala Suku dan sejauh mana praktik governmentality yang ada mampu
melahirkan proyeksi kultural tertentu dalam praktik devosional umat Katolik di Keuskupan Agung
Jakarta.

22
1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Jenis Penelitian

Dalam rangka melacak dinamika mempertahankan wacana Indonesianisasi Gereja Katolik dalam
Devosi kepada Maria Bunda Segala Suku, penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif
dengan menggadopsi dua pendekatan yakni fenomenologi dan analisis wacana kritis pendekatan
sejarah.

Penelitian ini mengadopsi fenomenologi untuk menggali esensi universal atau gambaran
besar dari persepsi dan pengalaman para aktor yang terlibat dalam proses perumusan dan
penetapan Devosi Maria Bunda Segala Suku. Adapun pendekatan fenomenologi menitikberatkan
pada partisipasi aktor dalam mengkonstruksi kehidupan sosial. Aktor bukanlah objek yang pasif
mematuhi seperangkat aturan-aturan sosial melainkan agen aktif yang mampu menafsirkan
pengalaman dan memproduksi tataran sosial seturut pengalaman tersebut. Sejalan dengan postulat
tersebut fenomenologi berupaya menggali dan mengungkap kesamaan makna dari sebuah konsep
atau fenomena menurut sudut pandang subjek. Persepsi dan pengalaman hidup mereka yang paling
murni, mendasar dan unik merupakan sumber-sumber yang kredibel dan valid untuk digunakakan
oleh peneliti yang mengadopsi pendekatan fenomenologi (Descombe, 2014: 96-7).

Selain itu, penelitian ini turut mengadopsi pendekatan analisis wacana kritis pendekatan
sejarah atau Discourse-historical Approach menurut Ruth Wodak. Analisis wacana kritis
bertujuan menangkap dan menelaah ideologi yang tersembunyi di balik teks dan keterkaitannya
dengan proses politik di luar teks. Teks dalam analisis wacana juga mencakup peristiwa-peristiwa
sosial yang menyangkut cara-cara manusia dalam berinteraksi melalui visual, lisan, objek, serta
bentuk-bentuk lainnya (Piliang dan Jaelani, 2018: 151). Menurut Ruth Wodak (2001: 3), analisis
wacana kritis mewajibkan peneliti untuk mendeskripsikan secara teoritik proses sosial dan struktur
yang mendukung kelahiran teks, serta struktus sosial dan proses pembangunan makna teks yang
dilakukan individu atau kelompok dalam posisinya sebagai subjek sosial-historis. Dengan kata
lain, analisis wacana kritis menelaah konsep kekuasaan, sejarah, dan ideologi di balik struktur
pengetahuan yang mengendap dalam persepsi dan pengalaman hidup para aktor dan narasumber
lainnya.

23
Perpaduan antara fenomenologi dengan analisis wacana kritis pendekatan sejarah ini
ditujukan untuk menelusuri cara-cara yang digunakan dalam mempertahankan wacana
Indonesianisasi Gereja Katolik di masa Reformasi, yang mana tampak dalam Devosi kepada Maria
Bunda Segala Suku di Keuskupan Agung Jakarta.

1.5.2. Sumber dan Proses Pengambilan Data

Data penelitian berasal dari dua macam sumber yakni primer dan sekunder. Data primer
diambil melalui teknik wawancara. Teknik wawancara digunakan dalam rangka menggali data
yang bersumber dari aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan Devosi kepada Maria Bunda
Segala Suku. Narasumber utama dalam penelitian ini mencakup Gregorius Gomas dan A.M. Putut
Prabantoro selaku inisiator dan konseptor tema Maria Bunda Segala Suku, Robertus Gunawan
selaku seniman pembuat representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku dalam bentuk
lukisan, dan R.D. Harry Sulistyo, Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta
(Komsos KAJ) selaku perwakilan pihak keuskupan yang mendampingi dan bertanggungjawab
dalam penyebaran representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku sebagai objek devosi
resmi. Wawancara juga melibatkan umat Katolik yang dahulu terlibat dalam kepanitiaan
sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda Segala Suku” maupun staff keuskupan
yang membantu penyebaran objek devosi serta umat Katolik yang diketahui pernah mengikuti dan
mempraktikkan devosi kepada figur Maria Bunda Segala Suku ataupun pernag mengetahui
keberadaan devosi kepada Maria Bunda Segala Suku. Pencarian narasumber dari kategori terakhir
ini dilakukan dengan sistem snowball secara terbatas.

Mengingat keterbatasan lapangan imbas dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam upaya
penanggulangan pandemi Covid-19, wawancara dilakukan baik secara online/daring maupun
offline/tatap muka dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan narasumber. Baik wawancara
tatap muka maupun pengamatan langsung dilakukan dengan mempertimbangkan dan mengikuti
protokol kesehatan yang berlaku.

Data sekunder dilakukan melalui studi literatur yang bersumber dari buku, dokumen
gerejawi, artikel jurnal, essay, serta literatur-literatur pendukung lain. Selain itu data sekunder juga
bersumber dari liputan media baik luring maupun daring, publikasi internal seperti booklet dan

24
buku doa, hingga dokumentasi dalam bentuk foto, video, maupun catatan temuan lapangan. Data
sekunder sendiri berfungsi memperkuat dan memperkaya argumen yang disampaikan oleh
narasumber dalam proses wawancara. Baik data primer maupun sekunder dielaborasi dan disajikan
dalam bentuk narasi yang sistematis.

1.5.3. Prosedur Penelitian

Data utama dan pendukung yang diperoleh dalam observasi lapangan maupun studi
pustaka kemudian diolah melalui analisis data. Analisis data menyediakan jalan bagi penulis untuk
mengetahui teknik dan model kekuasaan yang digunakan dalam mempertahankan wacana
Indonesianisasi Gereja Katolik.

Langkah pertama yang dilakukan penulis adalah menelusuri teknik kekuasaan yang
digunakan negara dalam menginternalisasikan wacana Indonesianisasi. Langkah ini mewajibkan
penulis untuk menelusuri literatur-literatur yang berfokus pada peran, aturan dan mekanisme yang
digunakan dalam kurun waktu historis terhitung sejak era awal Kemerdekaan, pemerintahan
Soekarno, Soeharto dan Reformasi. Analisis dilakukan terhadap literatur-literatur yang secara
khusus membahas relasi agama dan negara di Indonesia terutama terkait dengan kebijakan
beragama yang terdapat dalam buku-buku, dokumen resmi gerejawi, publikasi internal, serta
literatur-literatur lain yang relevan. Analisis wacana pendekatan sejarah (DHA) digunakan sebagai
alat bantu memahami substansi dan mengolah data-data dalam literatur bersangkutan.

Penulis selanjutnya menelusuri formasi aktor dari para penggagas yang berperan dalam
memunculkan representasi visual dari figur Maria dalam devosi Maria Bunda Segala Suku.
Penelusuran tersebut dilakukan dengan melakukan wawancara yang mendalam (indepth
interview) dan berfokus kepada pandangan para aktor terkait devosi Maria Bunda Segala Suku
beserta pengalaman-pengalaman yang melatarbelakangi pandangan tersebut. Melalui pendekatan
fenomenologi yang turut menyertakan analisis wacana kritis dapat dipahami formasi subjek dan
praktik sosial dalam interaksi antar-subjek pemrakarsa dan penghayat devosi kepada Maria Bunda
Segala Suku.

Langkah ketiga yang dilakukan penulis adalah menganalisis representasi visual dari figur
Maria Bunda Segala Suku. Temuan-temuan yang berkaitan alasan, referensi, dan pendapat umat

25
dianalisis menggunakan pisau analisis wacana pendekatan sejarah (DHA), yang mewajibkan
penulis untuk mengaitkan temuan lapangan dengan landasan teoritik yang diadopsi.

Kombinasi dari ketiga langkah tersebut digunakan penulis untuk menjawab pertanyaan
penelitian terkait dinamika semacam apa yang tampak pada upaya mempertahankan wacana
Indonesianisasi Gereja Katolik di era Reformasi dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku di
Keuskupan Agung Jakarta.

1.6. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima, bab dengan susunan sebagai berikut:

Bab I atau bab pertama merupakan bagian pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah
serta tujuan penelitian. Bagian pendahuluan juga berisi tinjauan terhadap penelitian, teori, konsep
dan metode penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan dan analisis data serta ditutup dengan
sistematika penulisan.

Bab II atau bab kedua merupakan gambaran umum mengenai praktik governmentality dalam
Gereja Katolik, terutama memuat proses indonesianisasi Gereja Katolik dalam beberapa kurun
waktu tertentu.

Bab III atau bab ketiga mengeksplorasi formasi aktor-aktor dalam melahirkan Devosi Maria
Bunda Segala Suku. Bab ketiga juga mengeksplorasi proses pengendapan wacana Indonesianisasi
di antara para aktor, serta bagaimana wacana tersebut diterima sebagai kebenaran.

Bab IV atau bab keempat memuat tentang bagaimana kekuasaan dijalankan oleh para aktor,
terutama mengenai wacana Indonesianisasi di balik simbol dan ornamen religius dalam
penggambaran figur Maria Bunda Segala Suku dan implikasinya terhadap praktik sosial umat.

Bab V atau bab kelima merupakan bagian kesimpulan yang memuat refleksi teoritik terhadap
temuan-temuan yang disajikan dalam skripsi ini, serta memuat refleksi penulis terhadap proses
penulisan skripsi ini.

26
Bab II
Gambaran Umum Proses Indonesianisasi dalam Gereja Katolik
(1945-1998)
Pengantar

Bab kedua dari skripsi ini merupakan gambaran umum proses Indonesianisasi dalam Gereja
Katolik. Gambaran umum proses Indonesianisasi yang dimaksud dalam bab ini berkaitan dengan
kerja kekuasaan negara dalam menetapkan bentuk-bentuk pengetahuan otoritatif mengenai
identitas nasional, yang berubah-ubah dalam rentang sejarah tertentu. Maka dari itu, bab kedua
dari skripsi ini hendak memperlihatkan bagaimana wacana Indonesianisasi itu sendiri memiliki
kontinuitas sekaligus diskontinuitas, sebab setiap konteks waktu dan peristiwa memiliki dinamika
relasi kuasanya tersendiri, yang mempengaruhi dan memantapkan wacana tersebut dalam rentang
sejarah tertentu. Apa yang dibayangkan oleh orang-orang Katolik beberapa puluh tahun yang lalu
mengenai “Indonesianisasi”, bisa jadi sama sekaligus berbeda dengan bayangan orang Katolik
dewasa ini, karena perbedaan konteks ideologi dan politik pada tiap zamannya. Pembahasan dalam
bab ini dibagi secara periodik ke dalam beberapa sub bab yang dimulai dari era pra-kemerdekaan
atau kolonialisme Hindia Belanda (1806-1945), lalu dilanjutkan dengan era kemerdekaan atau
Revolusi Indonesia (1945-1949), dan diikuti baik oleh era pemerintahan Soekarno atau Orde Lama
(1945-1966) dan era pemerintahan Soeharto atau Orde Baru (1966-1998), serta ditutup dengan
pembahasan mengenai Indonesianisasi Gereja Katolik pada era Reformasi (1998).

Adanya periodesasi dalam bab ini dimaksudkan untuk memperlihatkan konteks politik dan
ideologi dari masing-masing zaman yang secara partikular membentuk wacana Indonesianisasi.
Periodesasi digunakan untuk memperlihatkan Indonesianisasi sebagai proses yang jauh lebih
kompleks dan melibatkan kuasa wacana, baik negara, gereja, maupun inisiatif penganutnya, dalam
mentransformasikan aspek ajaran dan praksis agama Katolik hingga mencapai bentuk-bentuk yang
dikenali saaat ini.

27
2.1. “Atas nama rust en orde”: Agama Katolik dan kebijakan beragama di Hindia-Belanda.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak semua pembaca familiar
dengan topik yang secara khusus mengangkat governmentality dalam penganut agama Katolik di
Indonesia. Penulis merasa wajib untuk menyertakan informasi mengenai agama Katolik dengan
porsi secukupnya dalam skripsi ini. Bagian di bawah ini akan menjabarkan sedikit latar belakang
sejarah kehadiran agama Katolik di Indonesia. Walaupun demikian, bagian ini secara khusus
mengulas peran pemerintah kolonial Hindia-Belanda dalam mengontrol aktivitas misi Katolik,
serta problem adaptasi budaya yang turut menyertai aktivitas misi. Informasi lain seputar agama
Katolik akan dipaparkan pada bagian-bagian berikutnya, baik melalui paragraf singkat maupun
catatan kaki.

2.1.1. Latar belakang sejarah kedatangan agama Katolik di Hindia-Belanda

Agama Katolik di Indonesia sendiri dapat dilacak kehadirannya hingga awal abad ke-16,
tepatnya pada momen pembaptisan sangaji (kepala kampung) di Halmahera Utara oleh para pastor
dalam armada dagang Portugis pada tahun 1534 (Heuken, 2009: 47). Dalam beberapa dekade
berikutnya, agama Katolik mulai menyebar hingga seluruh kepulauan Maluku, Flores, dan
sebagian pantai-pantai Sulawesi berkat kerja misi yang diselenggarakan oleh Ordo Yesuit dan
Dominikan (ibid.: 52-63). Pasca kedatangan VOC di Ambon pada tahun 1605, pertumbuhan
populasi Katolik di sebagian timur Indonesia berhenti sepenuhnya, sebab VOC melarang aktivitas
agama Katolik di dalam wilayah kerjanya. Dalam penulisan sejarah agama Katolik di Indonesia,
kedatangan VOC dipandang sebagai awal dari “abad-abad yang suram dan gelap”, sebab selama
dua ratus tahun kendali VOC di kepulauan Hindia, aktivitas agama Katolik praktis tidak dapat
dilaksanakan sama sekali secara terbuka (Muskens, 1971: 36). Ulasan mengenai periode
pembekuan ini dapat ditemukan dalam Sejarah Gereja-Gereja Tua di Jakarta karya Adolf
Heuken, S.J. (2002) yang membahas tentang dinamika umat Katolik di Batavia pada era VOC.
Selama dua ratus tahun kekuasaan VOC terjadi konversi massal jemaat Katolik pribumi ke dalam
Kalvinisme dan pembunuhan misionaris Katolik yang dilakukan baik oleh aparat kolonial maupun

28
penguasa lokal setempat15. Praktis aktivitas agama Katolik berjalan secara klandestin dengan
Larantuka dan pulau Timor bagian timur sebagai pengecualian.

Memasuki abad ke-19, kebijakan beragama di Hindia berubah seiring dengan gelombang
perubahan politik yang melanda benua Eropa. Beberapa peristiwa besar yang dimulai dari
Revolusi Prancis di tahun 1789 dan berdirinya Republik Batavia pada 1795 yang diikuti dengan
bangkrutnya VOC pada 1799 dan ditutup dengan aneksasi Belanda oleh imperium Prancis di
bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte pada 1806, melatarbelakangi perubahan nasib umat
Katolik bawah-tanah di Hindia. Semangat liberte, egalite, dan fraternite, yang sinonim dengan
sekularisme dan melanda Eropa saat itu, turut dibawa ke tanah Hindia dan ditegakkan oleh
pemerintah kolonial Belanda-Prancis saat itu. Adalah H.W Daendels, Gubernur Jenderal untuk
Hindia Belanda dari tahun 1808 hingga 1811, yang menjadi pelopor dari kebijakan kebebasan
beragama bagi setiap rakyat koloni. Figur pemrakarsa jalan pos Anyer-Panarukan yang ditunjuk
oleh Raja Louis Bonaparte untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris itu juga ditugaskan
untuk mengaplikasikan kebijakan kebebasan beragama yang sudah diterapkan di Belanda dengan
mengizinkan masuknya misionaris Katolik. Lantas, pada 4 April 1808, dua imam Katolik dari
Keuskupan Utrecht menjejakkan kaki di Batavia dalam rangka menunaikan tugas pelayanan rohani
bagi orang-orang Katolik di tanah koloni. Atas kehendak Daendels, dua imam Katolik bernama
Jacobus Nellisen dan Lambertus Prinsen itu menempati rumah di bilangan Gang Kenanga, Pasar
Senen, Jakarta Pusat. Rumah bekas gereja Protestan itu menjadi saksi dari kembalinya agama
Katolik di Hindia-Belanda, sebelum nantinya terbakar pada tahun 1830 dan berpindah ke lokasi
yang sekarang menjadi Gereja Katedral Jakarta dan sekretariat Keuskupan Agung Jakarta
(Boelaars, 2005: 70-2).

2.1.2. Atas nama rust en orde: Pendisiplinan agama di era kolonialisme Hindia Belanda.

Perubahan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda terhadap keberadaan agama Katolik yang


terjadi pada awal abad ke-19 sendiri tidak dapat dilepaskan dari dominasi ekonomi dan eksploitasi
sumber daya alam demi kesejahteraan negara induk sebagai logika dasar berjalannya tata kelola

15
Upaya penyebaran agama Kristen ini dilakukan di bawah beberapa zendingsvereeniging atau asosiasi pemuka
agama Kristen atau pendeta sehingga untuk membedakannya dari gerakan penyebaran agama Katolik, penulis
memilih istilah zending untuk penyebaran agama Kristen Protestan dan missie (misi) untuk penyebaran agama
Katolik.

29
politik dan pemerintahan dari suatu negara kolonial. Menurut Ropi (2017: 48), kebijakan beragama
negara kolonial beserta regulasi turunannya selalu didasarkan pada akomodasi sekaligus
pengawasan menyeluruh terhadap suatu agama yang bertujuan untuk mencegah potensi konflik
yang merugikan keberlangsungan tatanan sosial-politik-ekonomi negara kolonial. Kita dapat
menjumpai wacana tersebut dalam Reglement op het Beleid der Regeering van Nederlandsch Indie
art. 97 tahun 1830. Dalam naskah konstitusi Hindia-Belanda itu dinyatakan bahwa kebebasan
beragama dijamin pemerintah kolonial selama “tidak menimbulkan bahaya bagi rust en orde”
(Boelaars 2005: 76).

Prinsip rust en orde menjadi suatu kata kunci bagi pemerintah kolonial dalam mengelola
dan mendisiplinkan suatu kelompok agama. Istilah yang secara harafiah berarti “keamanan dan
ketertiban umum” ini dapat kita mengerti sebagai prinsip utama pemerintah kolonial dalam
menjaga stabilitas politik negara koloni dengan sesedikit mungkin konsensus politik (Sulistyo,
2015: 325).

Pada praktiknya, prinsip rust en orde diterapkan untuk mengawasi aktivitas-aktivitas


kelompok agama secara menyeluruh. Agama Kristen Protestan dan Katolik yang notabene dianut
mayoritas bangsa Eropa pun tidak luput dari pengawasan menyeluruh aparatus kolonial. Aturan-
aturan mengenai penyelenggaraan agama Kristen diatur dalam Regeering van Nederlandsch Indie,
art. 123 tahun 1854. Dalam naskah perundang-undangan itu dimuat beberapa ranah yang wajib
diawasi negara seperti pengangkatan pastor, bantuan finansial bagi kegiatan misi, dan penyelidikan
terhadap sikap politik misionaris melalui penerbitan surat izin berkelakuan baik yang dikenal
dengan istilah radikaal (Boelaars, 2005: 79).

Seperangkat regulasi yang diterapkan pemerintah kolonial dalam rangka menegakkan rust
en orde sempat menyebabkan para penyebar agama khususnya misionaris Katolik menganggap
kerja misi kepada rakyat pribumi sebagai sebuah kemustahilan. Pemerintah kolonial menganggap
penginjilan kepada rakyat pribumi terutama umat Muslim sebagai langkah berbahaya yang
berpotensi melahirkan konflik bersenjata. Pertimbangan tersebut nampaknya berangkat dari
pengalaman pahit Perang Jawa (1825-1830), Perang Paderi (1803-1837), dan perang Aceh (1873-
1904). Menurut Ricklefs (2001[1981]), tiga peristiwa perang yang memakan biaya dan korban
begitu besar mendorong pemerintah kolonial untuk lebih berhati-hati terhadap gerakan politik

30
berbasis keagamaan yang hidup di tengah-tengah rakyat pribumi. Pengalaman tersebut mendorong
pemerintah kolonial untuk lebih berhati-hati dan melakukan mitigasi terhadap ketegangan antar
agama sejak dini dengan membatasi aktivitas penyebaran agama yang dilakukan lembaga zending
dan missie terhadap rakyat pribumi.

Pendapat lain dikemukakan oleh Jan Bakker (1956) yang menerangai larangan penyebaran
agama Kristen di tengah rakyat pribumi sebagai upaya menahan aspirasi politik bersifat
emansipatoris dampak dari modernisasi yang dibawa oleh lembaga missie dan zending. Lembaga
missie dan zending kerapkali mempelopori penyelenggaran pendidikan yang bersifat universal
dengan membuka sekolah bagi anak-anak pribumi. Lantas, Bakker berpendapat bahwa pemerintah
kolonial merasa perlu untuk memperkecil peluang resistensi dengan melarang misionaris
beraktivitas di tengah-tengah rakyat pribumi. Ia mengutip pernyataan Gubernur Jenderal Baud
pada tahun 1836 mengenai modernisasi ala misionaris sebagai pintu perlawanan rakyat.
Menurutnya ‘semakin maju propaganda agama Kristen di kawasan-kawasan ini (teritori negara
kolonial), semakin kuatlah kemandirian rakyat pribumi. Semoga anda yakin bahwa memang demi
perkara kepentingan Belanda, misi sedapat mungkin dirintangi…’(ibid.: 217). Tentunya, pendapat
Bakker mengenai kerja misi sebagai pintu pembuka aspirasi politik yang bersifat emansipatoris
dapat dipertanyakan secara lebih lanjut.

Pembatasan aktivitas penyebaran agama yang begitu ketat diterapkan lantas sempat
mendorong lembaga missie dan zending untuk tidak mengutamakan agenda pekabaran Injil
terhadap rakyat pribumi. Aktivitas penyebaran agama kepada rakyat pribumi belum menjadi
prioritas setidaknya sampai kurun pertengahan abad ke-19. Lembaga missie dan zending
cenderung lebih mengutamakan penyelenggaraan karya karitatif atau sosial bagi Kristen Eropa
dan Eurasia atau Indo. Aparat sipil negara koloni pun turut berperan dalam mengarahkan misionais
agar lebih mengutamakan kelompok masyarakat diatas sebagai sasaran karya misi. Menurut
Heuken (2009: 51), ketika Lambertus Prinsen dan Jacobus Nellisen tiba untuk menginisiasi
pembentukan Gereja Katolik di Batavia, pemerintah kolonial secara khusus menugaskan mereka
untuk membekali kebutuhan rohani ekspatriat Belanda dan Eurasia bersama seluruh keluarga-
keluarga Katolik dengan wilayah kerja meliputi seluruh penjuru Hindia-Belanda. Jemaat asuhan
misionaris Katolik dari Utrecht itu kebanyakan merupakan keluarga-keluarga tentara, aparatus
sipil, pemilik perkebunan, dan anak-anak yatim piatu hasil praktik pergundikan yang umum di

31
kalangan Eropa saat itu. Pemerintah kolonial melarang kedua imam tersebut untuk menyebarkan
agama di tengah-tengah orang Jawa, Sunda, dan Tionghoa.

Upaya penyebaran agama Katolik di tengah rakyat pribumi mulai terbuka sejak Lambertus
Prinsen, yang pada tahun 1832 menjabat sebagai prefek apostolik16, melakukan korepondensi
dengan beberapa pihak seperti Gubernur Jenderal, Kementerian Urusan Jajahan, dewan uskup
Belanda, dan terutama kepada Kongregasi Propaganda Fide di Vatikan, agar supaya pihak-pihak
terkait mengusahakan kedatangan misionaris dari ordo dan tarekat spiritual ke tanah Hindia
(Boelaars, 2005: 54). Pada era penggembalaan Mgr Vrancken, uskup Batavia kelima, misionaris
asing berkebangsaan Belanda dari Ordo Yesuit dan Ursulin mulai berdatangan ke Hindia Belanda
dan menjadi pelopor dari kegiatan penyebaran agama Katolik di tengah-tengah rakyat pribumi
(Heuken, 2009).

Namun demikian, agenda penyebaran agama yang menyasar rakyat pribumi juga tidak
lepas dari cengkeraman pendisiplinan ala pemerintah kolonial yang dilakukan dalam kerangka rust
en orde. Baik zending Protestan maupun missie Katolik tidak lepas dari perangkat regulasi
pemerintah kolonial yang mengikat. Kegiatan penyebaran agama yang dilakukan oleh kedua
denominasi tersebut diatur melalui Regeering art 123 tahun 1854 dan belakangan direvisi melalui
ayat 177 dalam Staatsblad tahun 1923. Melalui regulasi diatas, pemerintah kolonial mengatur
akivitas penyebaran agama di wilayah-wilayah dengan populasi penganut Islam yang signifikan
dan pelaksanaan missie dan zending dalam satu wilayah yang sama (double-zending).

Larangan pemerintah kolonial terhadap aktivitas penyebaran agama di wilayah Muslim


berlaku untuk Aceh, Minangkabau, Banten, sebagian Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan
(Steenbrink, 2007). Wilayah Vorstenlanden atau kerajaan dengan pemerintahan otonom (zelf-

16
Dalam tata administrasi Gereja Katolik, prefek apostolik merupakan jabatan yang dipegang oleh seorang imam
dengan kedudukan di bawah uskup dan biasanya ditugaskan memimpin umat Katolik di sebuah wilayah missie. Prefek
sendiri berasal dari istilah Latin Praefectus yang berarti “bertugas” atau “bertanggungjawab atas sesuatu”. Sejalan
dengan arti tersebut, seorang prefek apostolik bertanggungjawab dalam mengawasi jalannya proses administrasi,
pastoral, dan diplomasi seperti penunjukan pastor, mengunjungi umat, dan berhubungan dengan otoritas sekuler
setempat. Prefek apostolik juga berhak memutuskan perkara hukum agama seperti dispensasi perkawinan Katolik.
Hanya saja, cakupan otoritas yang dimiliki seorang prefek apostolik sangat terbatas. Oleh karena itu, segala urusan
yang sifatnya melibatkan pengambilan keputusan yang berdampak pada otoritas lain seperti negara harus disetujui
oleh uskup selaku superiornya dalam tata hierarki gereja. Pada praktiknya, seorang prefek apostolik dapat diangkat
menjadi uskup apabila komunitas Katolik dalam wilayah penggembalaannya berkembang dengan pesat dan pantas
untuk disebut sebagai gereja mandiri. Keterangan ini dikutip dari https://www.newadvent.org/cathen/12386a.htm

32
bestuurlandschappen) seperti Yogyakarta dan Surakata juga tertutup dari aktivitas missie dan
zending setidaknya sampai akhir abad ke-19 (Heuken dalam Banawiratma, eds., 1995: 18).

Wilayah non-Muslim seperti Bali dan Tapanuli juga pernah tertutup dari jangkauan missie
dan zending. Ada beberapa pertimbangan pragmatis dibalik keluarnya larangan di wilayah-wilayah
ini. Menurut Picard (dalam Ramstedt, 2004: 59), keuntungan ekonomi dari pariwisata menjadi
pertimbangan pemerintah kolonial dalam membatasi masuknya pendeta dan pastor ke pulau Bali.
Sebaliknya dalam kasus Tapanuli, tradisi pengorbanan manusia yang masih dipraktikkan
setidaknya pada masa pemerintahan Sisingamangaraja XI membuat pemerintah kolonial menutup
aktivitas penyebaran agama bagi misionaris sampai masuknya Nommensen, misionaris Jerman
aliran Lutheran pendiri Gereja HKBP, ke tanah Batak (Ginting, 2014: 171). Nampaknya cara
pandang pemerintah kolonial yang cenderung ambivalen terhadap adat dan budaya setempat turut
mempengaruhi kebijakan terkait agama di era Hindia-Belanda.

Staatsblad ayat 177 tahun 1923 juga mencegah potensi munculnya gesekan antara zending
Protestan dengan missie Katolik. Naskah regulasi tersebut secara rigid melarang penyelenggaraan
aktivitas penginjilan zending dan missie yang dilakukan bersamaan dalam satu wilayah
administrasi, bahasa, dan kultural tertentu. Larangan yang juga dikenal dengan istilah double-
zending ini diterapkan secara khusus di Ambon, Minahasa, Flores, dan Tapanuli. Wilayah-wilayah
yang disebutkan di atas merupakan wilayah dengan populasi rakyat pribumi penganut agama
Kristen Protestan dan Katolik yang signifikan (Muskens, 1974: 479).

Namun demikian, Steenbrink (2007: 264) mencatat bahwa regulasi double-zending justru
melahirkan ketegangan baru antara pendeta Protestan dengan misionaris Katolik. Konflik
denominasional dapat terjadi karena adanya campur tangan aparatus sipil negara koloni dalam
pelaksaanaan kerja misi. Hal ini pernah terjadi pada kasus aktivitas misi di wilayah Minahasa
dimana terjadi pertentangan antara misionaris Katolik dengan pejabat pemerintah kolonial
setempat yang juga merupakan anggota dari dewan Gereja Protestan Hindia Belanda (Indische
Kerk). Pejabat kolonial setempat justru menggunakan regulasi double-zending untuk menghalangi
pendirian sekolah misi Katolik yang sebelumnya telah disetujui oleh pemerintah kolonial di
Batavia. Dengan kata lain, terbitnya regulasi pemerintah kolonial yang mendisiplinkan keberadaan

33
agama-agama dalam rangka mengelola potensi konflik pada praktiknya rawan disalahgunakan dan
tidak lepas dari kepentingan kelompok dominan.

2.1.3. “Translation as a process of power”: Akulturasi budaya dalam proses penyebaran


agama Katolik di era Hindia-Belanda

Memasuki pertengahan abad ke-19, misi Katolik di Hindia-Belanda, di bawah pengelolaan


Ordo Yesuit, mulai dilaksanakan dengan secara khusus menyasar rakyat pribumi. Aktivitas misi
terhadap rakyat pribumi dilakukan melalui pendirian pos-pos misi di beberapa wilayah tertentu
dengan populasi penganut agama lokal maupun orang Tionghoa yang cukup signifikan, seperti di
Flores (1863), Minahasa (1873), Bangka (Sungai Selan, 1877), Singkawang (1885), Pagaralam
(Tanjung Sakti, 1887), dan Kepulauan Kei (Langgur,1888) (Heuken, 2009: 57-94).

Dalam rangka mensukseskan agenda penyebaran agama, misionaris mulai berupaya


mempelajari bahasa dan tradisi setempat dan mengadopsi sebagian untuk kegiatan pengajaran dan
ibadat-ibadat harian. Salah satu contoh mengenai upaya misionaris dalam mengadopsi budaya
lokal dalam penyebaran agama Katolik dapat ditemukan dalam kasus Jawa, tepatnya dalam upaya
penginjilan yang dilakukan oleh Fransiscus Van Lith, S.J. di wilayah Muntilan dan lereng
pegunungan Menoreh sejak tahun 1904 (Heuken, 2007). Van Lith mengamati dan mengadopsi
praktik-praktik yang berangkat dari tradisi spiritual Jawa dengan akar Hindu, Buddha, dan sedikit
referensi Islam, seperti ritual selametan, sedekah bumi, pemberkatan mata air, dan menyembuhkan
orang sakit (Picard & Madinier, 2011: 32). Van Lith juga mengusulkan kepada Vatikan agar
memperbolehkan praktik sunat bagi remaja Katolik atas dasar pertimbangan budaya. Van Lith juga
turut menginisiasi penggunaan gamelan Jawa dalam arak-arakan misa, penerjemahan teks misa ke
dalam bahasa Jawa, membentuk tim peneliti untuk mempelajari adaptasi kesenian Jawa dalam
liturgi, dan mengonversi situs petirtaan Buddha di lereng pegunungan Menoreh menjadi situs
peziarahan Maria yang sekarang dikenali sebagai situs Sendangsono (Steenbrink, 2007: 402).

Agenda penyebaran agama melalui pendekatan kebudayaan merupakan sesuatu yang


sebenarnya sudah lama dilakukan dalam Gereja Katolik. Adapun satu contoh mengenai
pendekatan budaya dirintis oleh seorang misionaris Yesuit bernama Matteo Ricci (1552-1610)
yang mengadopsi ritual-ritual tradisional Tionghoa untuk memperlancar karya misi di Cina era

34
dinasti Qing (Rule, 2004: 2). Beberapa abad sesudahnya, Paus Benediktus XV melalui ensiklik
Maximum Illud (1919) mendorong misionarisn untuk sebisa mungkin mempelajari bahasa dan
budaya lokal secara akademis demi mendukung kelancaran agenda penyebaran agama Katolik
(Doyle, 2012: 2-4).

Metode penyebaran agama Katolik ala Van Lith terbilang unik sebab menarik kesepadanan
antara ajaran-ajaran agama Katolik dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang memiliki akar dari
tradisi Hindu dan Buddha, sembari mengaburkan nilai-nilai keislaman yang sebelumnya telah
merasuk sejak zaman Walisongo (Steenbrink, 2007: 400). Akan tetapi, metode tersebut juga tidak
lepas dari kritik. Dedy Kristanto (1990) dalam Misi dan Pembentukan Identitas Katolik Jawa
berpendapat bahwa misi Katolik menurut metode Van Lith di Jawa memiliki wajah ganda dimana
proses pelaksanaan misi dengan tujuan memuat pribumi Jawa memeluk agama Katolik sebenarnya
mengandung unsur pembedaan secara ‘disengaja’ antara agama dan kebiasaan pribumi yang
berwajah ‘buruk’ dan agama yang dibawa oleh kolonial sebagai patokan yang ideal. Meskipun
misi Katolik mengadopsi aspek-aspek kebudayaan lokal pada tataran permukaan, sejatinya proses
internalisasi agama Katolik tidak sepenuhnya lepas dari kerangka berpikir dan berperilaku Barat
yang diyakini sebagai kebenaran oleh para misionaris yang berasal dari Belanda itu. Para baptisan
baru kemudian tidak benar-benar dapat digolongkan sebagai “orang Jawa” atau pribumi. Mereka
memang berbusana dengan mengindahkan norma-norma yang berangkat dari leluhur mereka. Pun,
mereka juga berbahasa dan melaksanakan ritual-ritual yang sesuai dengan identitas mereka sebagai
orang Jawa. Namun pada hakikatnya, kesadaran dan seluruh ‘skema mental’ umat Katolik pribumi
sudah sedemikian terpengaruh dengan nilai-nilai Barat yang dipandang ideal seperti disiplin,
ketegasan dan keteraturan. Dengan kata lain, proses penyebaran agama Katolik melalui jalan
budaya yang diinisiasi oleh Van Lith dan dilanjutkan oleh para penerusnya dapat dipandang
sebagai sesuatu yang tidak lepas dari relasi kuasa yang timpang antara Belanda ‘superior’ dan
pemuda lugu Jawa pribumi yang ‘inlander’, yang ditandai dengan fetisisasi Jawa Kuno era Hindu-
Buddha sebagai wajah budaya yang disepadankan dengan peradaban Eropa sebagai patokan yang
superior dibandingkan dengan kebudayaan Jawa Islam yang dipandang kurang disiplin, teratur,
dan tidak emansipatoris (ibid.: 16). Diskriminasi kultural yang tersamar ini nantinya melahirkan
identitas Katolik pribumi yang ambivalen dan mencapai titik problematisasinya ketika memasuki
era perjuangan kemerdekaan, hal mana yang dijelaskan pada sub-bab selanjutnya.

35
2.2. Gereja Katolik di awal kemerdekaan Indonesia

2.2.1. “Bangsa mendahului agama”: Sikap dan keberpihakan Gereja Katolik terhadap
agenda kemerdekaan Indonesia.

Pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta
di Jakarta. Berita mengenai kemerdekaan dengan segera terdengar oleh seluruh masyarakat dan
mendapat dukungan dari berbagai tokoh agama. Salah satunya berasal dari Mgr Albertus
Soegijapranata, S.J. (1896-1963), Uskup Semarang sekaligus uskup kelahiran suku Jawa pertama.
Bentuk riil dari dukungan Soegijapranata adalah dengan memindahkan pusat administrasi
keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta sejak Februari 1947 sampai Agustus 1949 (Boelaars,
2005: 122). Dari kalangan misionaris berkebangsaan Belanda, adalah Mgr. P.J. Willekens, S.J.,
Uskup Batavia (sejak 1950 berganti nama menjadi Jakarta), yang menyatakan keberpihakan
terhadap pendirian Republik dengan menolak penganugerahaan tanda jasa dari pemerintah
Belanda, atas kontribusinya selama pendudukan Jepang. Dari pihak Vatikan, dukungan dinyatakan
melalui pelantikan pastor de Jonghe d’Ardoye sebagai “delegatus apostolik” bagi Gereja Katolik
di Indonesia per 6 Juni 1947 (Steenbrink, 2018: 65).

Menurut narasi yang cukup populer di kalangan orang Katolik, dukungan Gereja Katolik
terhadap berdirinya pemerintah republik merupakan ekspresi dari patriotisme dan nasionalisme
yang terkandung dalam ajaran agama tersebut. Uskup Soegijapranata sendiri berulangkali
menekankan tentang pentingnya umat Katolik dalam mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan
nasionalisme. Dalam pidato yang disampaikan oleh Soegijapranata pada pembukaan Kongres
Umat Katolik seluruh Indonesia (KUKSI) di Semarang, 27 Desember 1954, ia berujar mengenai
patriotisme sebagai salah satu jalan mengaktualisasikan keimanan, yang disampaikan sebagai
berikut;

‘…jika kita merasa sebagai orang Katolik yang baik, kita semestinya juga
menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya kita merasa bahwa kita
100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut
perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam
Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian
juga mengasihi negara, dengan segenap hati’

36
(Soegijapranata, 1953 dalam Subanar, 2005: 82).

Menurut Widharsana (2018: 134), pernyataan Soegijapranata dapat diartikan sebagai


pernyataan sikap seorang pemimpin Gereja terhadap posisi penting negara dan bangsa Indonesia.
Meskipun ajaran agama Katolik bersifat universal dan disokong oleh institusi agama yang
supranasional, keberadaan negara-bangsa sebagai entitas politik tetap diterima oleh Gereja. Dasar
biblikal dari pernyataan tersebut adalah perintah keempat dalam Sepuluh Perintah Allah kepada
Musa yang tercantum dalam Kitab Keluaran 20 ayat 12. Ayat itu berbunyi “hormati ayahmu dan
ibumu”. Gereja Katolik menginterpretasikan ayat ini sebagai perintah untuk menjaga keluarga
sebagai jantung kehidupan (Benediktus XVI, 2007: 113). Istilah keluarga sendiri seringkali juga
digunakan untuk menggambarkan sebuah tatanan sosial yang terintegrasi seperti masyarakat,
bangsa, gereja, dan negara (Kreeft, 2001: ). Pandangan Gereja mengenai tatanan sosial yang
organik dan integral melalui gambaran keluarga diadopsi oleh Soegijapranata untuk menegaskan
posisi orang Katolik sebagai anggota yang tak terpisahkan dari sebuah keluarga besar bernama
bangsa Indonesia.

Apakah alasan utama yang melaterbelakangi kemunculan sikap akomodatif dan integratif
dari seorang Soegijapranata itu? Menurut Steenbrink (2007), pemikiran Soegijapranata mengenai
patriotisme orang Katolik Indonesia besar kemungkinan banyak dipengaruhi oleh kurikulum anti-
kolonial yang diterapkan oleh sekolah guru Katolik asuhan pastor Yesuit di Muntilan, tempat
Soegijapranata menempuh pendidikan guru sebelum memutuskan untuk memasuki Serikat Yesus.
Namun demikian, rasanya kita perlu memikirkan alasan lain yang menyangkut relasi orang
Indonesia beragama Kristen dengan anggota masyarakat lain, terutama dengan kelompok Islam.
Menurut Anhar Gonggong (1993: 65), Soegijapranata sendiri mengakui bahwa keterlibatan umat
Katolik sangatlah penting demi menjawab kecurigaan kelompok-kelompok masyarakat pengusung
agenda kemerdekaan terhadap orang Indonesia beragama Kristen yang dipersepsikan sebagai
kroni kekuasaan kolonial dan murid imperialis serta kapitalis Barat. Pernyataan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari adanya stigmatisasi terhadap orang Kristen sebagai penganut agama warisan
kolonial sekaligus sekutu loyal penjajah yang menghinggapi publik di dekade pertama berdirinya
Republik Indonesia (Mujiburrahman, 2010: 43). Lantas, kita dapat berspekulasi bahwa sikap
akomodatif yang ditunjukkan Soegijapranata sejatinya ditujukan untuk memperlihatkan loyalitas

37
penuh orang Katolik terhadap wacana dan tatanan politik baru yang dibawa oleh gelombang
kemerdekaan nasional.

Stigmatisasi terhadap orang Indonesia beragama Kristen agaknya dilatarbelakangi oleh


perubahan politik yang terjadi pasca jatuhnya Belanda di tangan Jepang tahun 1942. Selama
otoritas Hindia-Belanda masih diakui sebagai pemerintahan yang sah, lembaga-lembaga
pendidikan milik missie dan zending menikmati banyak subsidi dan kemudahan akses. Sekolah-
sekolah yang dikelola pun menjadi tempat idaman masyarakat untuk menempuh pendidikan saat
itu karena membuka kemungkinan bagi mereka untuk melakukan mobilitas sosial ke atas. Melalui
pendidikan gaya Barat ala sekolah-sekolah misi, alumni memiliki peluang lebih dalam
melanjutkan karier sebagai guru, pegawai pemerintah, dan perwira militer. Mereka banyak yang
telah dibaptis ketika masih menempuh pendikan. Faktor agama dan pilihan profesi tersebut
mendatangkan kepastian finansial dan membuka jejaring sosial yang lebih luas dengan elite Eropa
dan Tionghoa di kota-kota besar di Hindia Belanda (Boelaars, 2005: 38). Bahkan jauh sebelum
kebijakan politik Etis mengakomodir berdirinya sekolah-sekolah missie dan zending untuk rakyat
pribumi, pemerintah kolonial pun sudah merekrut banyak pemuda pribumi untuk mengisi kesatuan
militer yang diberdayakan untuk menumpas perlawanan anti-kolonial (Schroter, 2010: 5).

Pasca kapitulasi Belanda di Kalijati tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang mulai
memperketat pengawasan terhadap kelompok masyarakat yang berpotensi mengganggu
kelancaran agenda peperangan. Kelompok Kristen yang terkenal dekat dengan bangsa Eropa
menjadi sasaran utama dari propaganda perang ala Jepang. Jepang mencap umat Kristen sebagai
abdi kolonial, sekutu penjajah Eropa, dan musuh orang Asia pada umumnya (Heuken, 2009: 140).
Semua misionaris asing berkebangsaan Belanda ditangkap dan ditahan dalam kamp-kamp
interniran Jepang. Misionaris pribumi yang tersisa pun tidak dapat menjalankan aktivitas secara
leluasa sebab aset-aset yang dahulu ada telah disita oleh Jepang atas nama kepentingan perang
(Bakker, 1974: 290; Boelaars, 2005: 109). Jepang sebaliknya mendukung agama Islam agar
mengekspresikan diri secara terbuka dalam ranah publik. Jepang menginisiasi pendirian organisasi
politik Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dan membentuk organisasi paramiliter
Hizbullah (Effendy, 2003: 27-9). Meskipun Jepang waktu itu cenderung melahirkan kebijakan
yang oportunistik karena semata-mata memobilisasi rakyat beragama Islam demi kesuksesan
agenda perang, umat Islam praktis mengalami perubahan besar-besaran dalam perannya terhadap

38
kehidupan sosial-politik masyarakat (Kurosawa, 2016: 187). Lantas, hal tersebut berdampak pada
lahirnya gesekan dengan umat Kristen yang tercermin dari adanya aksi kekerasan seperti dalam
pembunuhan para misionaris di Magelang oleh Hizbullah tahun 1947; Boelaars, 2005: 124).

Stigmatisasi terhadap orang Indonesia beragama Kristen sebagai loyalis kolonial


sebenarnya bukan satu-satunya alasan bagi Gereja Katolik dalam menyatakan loyalitas dan
mengintegrasikan diri dengan tatanan politik yang baru. Pengalaman terhadap rasisme rupanya
juga mempengaruhi pilihan politik yang diambil penganut Katolik. Menurut Kipp (2000), rasisme
mewarnai hubungan interpersonal yang terjalin antara misionaris dengan umat dari kalangan
pribumi. Stratifikasi sosial berdasarkan ras dan warna kulit tetap bercokol dalam komunitas-
komunitas Kristen betapapun samarnya. Hal itu diperkuat oleh adanya persepsi terhadap
misionaris sebagai figur juruselamat, yang membimbing umat pribumi “keluar dari kegelapan”
dan membawa mereka kepada “terang” berupa peradaban Eropa. Sistem pendidikan yang dikelola
oleh lembaga misi juga turut melanggengkan praktik-praktik rasisme.

Arus migrasi bangsa Eropa ke Hindia yang dimulai sejak permulaan abad ke-20 semakin
mempertebal jurang pemisah antara orang-orang kulit putih dengan pribumi. Mereka datang
sebagai ekspatriat yang bekerja bagi pemerintah kolonial dan perusahaan-perusahaan milik Eropa,
sembari tinggal di kompleks perumahan-perumahan baru dengan segala ketersedian fasilitas yang
wah pada zamannya. Pemerintah Hindia-Belanda pun memilih untuk mengurangi formasi pegawai
pribumi berpendidikan secara bertahap. Tak pelak, kesempatan orang-orang pribumi untuk bekerja
di lembaga-lembaga tersebut semakin kecil adanya. Menebalnya stratifikasi sosial di era akhir
Hindia-Belanda rupanya sangat berdampak pada ketahanan orang Indonesia beragama Kristen.
Sebagian diantara mereka yang tersisihkan itu memilih untuk mengedepankan narasi nasionalistik
dan mendukung agenda kemerdekaan nasional. Dukungan terhadap Belanda atas dasar kesamaan
agama merupakan satu hal yang dihindari demi keselamatan diri dan kelompok (Kipp, 2000: 13-
4).

39
2.3. “Indonesianisasi sebagai Dekolonisasi” : Indonesianisasi di era Soekarno (1945-1966)

2.3.1. Monotheisme dan nation-building sebagai alat pendisiplinan: Kebijakan beragama di


era Soekarno

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang diikuti oleh
pembentukan nomenklatur kelembagaan negara, elite politik dihadapkan pada pertanyaan
mengenai bagaimana mereka mendefinisikan relasi antara negara dengan agama. Seperti diketahui
bahwa kebebasan beragama telah dijamin melalui pasal ke-29 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang
Dasar 1945 (Mu’ti & Burhani, 2011: 117; Boelaars, 2005). Hanya saja, elit-elit politik belum
sempat merumuskan secara mendetail perihal posisi agama dalam kehidupan sosial serta tipologi
agama seperti apa yang sejalan dengan konsepsi negara mengenai identitas nasional. Pada
perjalanannya, monotheisme dipandang sebagai konsep beragama yang sejalan dengan pandangan
ideologis negara. Hal tersebut nantinya semakin diperkuat melalui seperangkat kebijakan yang
melahirkan praktik-praktik diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu.

Munculnya monotheisme sebagai konsepsi resmi agama menurut kacamata negara tidak
dapat dilepaskan dari pandangan para elit politik terkait pentingnya konstruksi identitas nasional
Indonesia sebagai bangsa yang modern. Mereka memandang Indonesia sebagai bangsa yang
modern sekaligus beragama. Agama dilihat sebagai penanda dari karakter luhur bangsa (Ropi,
2017: 94). Kelompok beragama juga diposisikan sebagai pihak yang berperan besar dalam
pembentukan kesadaran nasional melalui resistensi terhadap otoritas kolonial maupun sumbangsih
terhadap perkembangan masyarakat (Boelaars, 2005: 300; Yamin, 1960: 90).

Umumnya publik melihat fenomena formalisasi monotheisme di era awal kemerdekaan


sebagai hasil kerja-kerja politik kelompok Islam. Elit politik Islam memang turut beperan besar
dalam proses pendirian republik. Mereka juga tercatat pernah mengupayakan agar tatanan politik
pasca-kolonial memberikan ruang yang lebih luas bagi eksistensi agama Islam di ranah publik
melalui penetapan Piagam Jakarta, meskipun rumusan yang ada gagal diadopsi sebagai dasar
negara karena kuatnya resistensi dari elit politik Kristen asal Indonesia Timur (Ropi, 2017: 57).
Aspirasi politik kelompok Islam pun diakomodasi melalui pendirian Kementerian Agama yang
berwewenang mengelola urusan internal umat Islam seperti pernikahan, penetapan hari raya dan

40
haji (Mu’ti & Burhani, 2011: 117; Boelaars, 2005: 88). Namun demikian, catatan-catatan sejarah
di atas belum sepenuhnya memperkuat argumen bahwa elit politik Islam bertanggungjawab
terhadap penetapan monotheisme sebagai konsepsi beragama menurut negara.

Tampaknya elit politik berhaluan nasionalis juga turut berperan besar dalam tahapan awal
formalisasi monotheisme. Hal itu dikarenakan perspektif mereka dalam memaknai monotheisme
sebagai konsep beragama modern yang sejalan dengan identitas nasional yang hendak dibentuk.
Monotheisme sendiri memang dikonseptualisasikan sebagai konsep beragama modern yang
paralel dengan kemajuan suatu peradaban (Tylor dalam Pals, 2005 [1996]: 27). Salah satu tokoh
nasionalis yang berpendapat mengenai kesesuaian monotheisme dengan konstruksi Indonesia
sebagai bangsa modern adalah Mohammad Yamin. Yamin berpendapat bahwa monotheisme
adalah konsep beragama mutakhir yang relevan dengan situasi Indonesia sebagai negara-bangsa
modern yang berhaluan republikanisme (1960: 544).

Secara garis besar, formalisasi monotheisme tidak dapat dilepaskan dari upaya negara dan
elit-elit politik dalam mengkonstruksi Indonesia sebagai negara-bangsa dalam cara pandang
modern. Logika evolusionis begitu dikedepankan dalam proyek besar pembentukan identitas
tersebut. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan dari
peradaban Barat “imperialis” yang rasional dan modern. Identitas dan karakter nasional harus
dibentuk sedemikian rupa agar bangsa Indonesia berdiri sejajar dengan bangsa lainnya meskipun
tetap berpijak pada kekhasan masing-masing. Maka dari itu, monotheisme menjadi relevan dengan
identitas baru yang terbentuk itu, karena konsep tersebut dianut secara massif di negara-negara
modern. Aspek-aspek spiritual yang diwariskan oleh para pendahulu pun direkayasa sedemikian
rupa sehingga menampilkan kesan bahwa monotheisme sudah mengakar jauh di masa lampau.

Secara institusional, Kementerian Agama menjadi instrumen penting dalam penegakan


konsepsi negara mengenai agama. Hanya saja, peran serta perspektif Islam juga tidak dapat
dipungkiri mempengaruhi formalisasi monotheisme. Ajaran pokok Islam yang berasal dari Al-
Qur’an dan Hadits tetap menginspirasi pengambilan kebijakan yang berlaku. Salah satu pengaruh
perspektif Islam dalam kebijakan beragama negara dapat kita amati dalam Kementerian Agama
no.9 pasal 6 tahun 1952 yang ditandatangani oleh Menteri Agama saat itu, K.H. Wahid Hasyim.
Melalui ketetapan tersebut, Kementerian Agama sebagai lembaga negara yang memiliki

41
wewenang dalam pengelolaan urusan beragama warganegara, secara resmi menetapkan kriteria-
kriteria resmi dari sebuah agama. Dalam pandangan Kementerian Agama, suatu kepercayaan iman
dapat digolongkan sebagai agama apabila memercayai keberadaan Tuhan yang satu, memiliki
sistem hukum yang terkodifikasi bagi penganutnya, memiliki kitab suci yang berasal dari
pewahyuan kepada seorang nabi, mendapatkan pengakuan internasional, dan secara demografis
tidak hanya didominasi oleh satu kelompok etnis saja (Picard, 2011: 56).

Ketetapan Kementerian Agama mengenai prasyarat pengakuan agama sarat bias teologis
karana kriteria-kriteria yang dirancang terlalu mendekati konsepsi beragama menurut tradisi
monotheisme Ibrahimik. Agama dengan basis teologis berbeda dituntut untuk menyesuaikan diri
dengan segera. Menariknya, proses adaptasi dilakukan dengan merekonstruksi peranan agama-
agama tersebut dalam sejarah nasional, sembari memperlihatkan relevansinya dengan aspek sosial
dan budaya masyarakat. Ramstedt (2004: 10) mencatat proses tersebut dalam komunitas Hindu
dan Buddha yang mengkombinasikan tradisi India dan Jawa dalam ajaran serta praktik devosional
untuk membangun klaim historis yang mendukung eksistensi mereka. Keduanya juga
merumuskan konsep Tuhan dalam narasi monotheisme Ibrahimik dan mengklaimnya sebagai
warisan dari proses indigenisasi di masa lampau (Brown dalam Ramstedt, 2004: 52; Steenbrink,
2013: 10). Berbeda halnya dengan Konfusianisme yang menghadapi kesulitan karena dianggap
tidak berperan dalam perkembangan budaya Indonesia (Sutrisno, 2018: 92). Proses adaptasi
terhadap kebijakan negara ditempuh dengan mengadopsi aspek-aspek yang berkembang dari
gerakan Neo-Konfusianisme sekaligus melakukan penataan nomenklatur terhadap kitab-kitab,
hierarki kependetaan dan tentu saja rekonseptualisasi konsep Tuhan dalam nama Tian (ibid.: 95;
Suryadinata, 1997). Upaya-upaya di atas dapat dimaknai sebagai strategi pertahanan diri
(resilience) yang diterapkan dalam rangka menghadapi pendisplinan negara.

Jika agama-agama di atas mampu mempertahankan diri dari agenda formalisasi


monotheisme, agama-agama lokal seperti Parmalim, Sunda Wiwitan, dan Kaharingan menghadapi
konsekuensi yang lebih besar karena absennya aspek-aspek teologis yang sepadan. Agenda nation-
building yang diproyeksikan Soekarno tidak dapat serta-merta menempatkan mereka sebagai basis
pembentuk identitas nasonal karena persepsi mengenai agama lokal sebagai adat-istiadat yang
primitif dan jelas bertentangan dengan modernisme (Schefold, 1998: 272). Hak-hak penganut
agama lokal sebagai warganegara benar-benar tidak terakomodasi apabila mereka tidak segera

42
menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Oleh karena itu, agama lokal tidak memiliki pilihan
selain mengintegrasikan diri ke dalam agama-agama yang sebelumnya sudah diakui oleh negara.
Hal ini terjadi pada kasus penganut Aluk To Dolo dan Kaharingan yang memilih untuk bernaung
di bawah PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) yang notabene merupakan lembaga
pengelola agama Hindu di Indonesia (Ramstedt, 2005: 200

2.3.2. Indonesianisasi sebagai “dekolonisasi misionaris”: Gereja Katolik dibawah Soekarno

Konsepsi beragama menurut negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila, Undang-


Undang Dasar 1945, dan terutama Ketetapan Kementerian Agama no.9 tahun 1952 tidak
berdampak secara signifikan terhadap aktivitas keagamaan umat Katolik. Agama Katolik dirasa
telah memenuhi “prasyarat” pengakuan negara karena mengakui keberadaan Tuhan yang satu
dalam konsep Allah Tritunggal Mahakudus, memiliki sosok Yesus Kristus sebagai pendiri agama,
kitab suci yang terangkum dalam Perjanjian Lama dan Baru, sistem hukum yang terkodifikasi
dalam Kitab Hukum Kanonik, dan pengakuan serta jejaring internasional melalui persekutuan
dengan Paus di Roma.

Hanya saja, porsi kepemimpinan agama Katolik di Indonesia justru tidak diisi oleh mereka
yang dipandang sebagai “pribumi” ataupun berkewarganegaraan Indonesia. Gereja Katolik di
Indonesia masihlah berstatus “misi” atau berada dalam pengelolaan dan pengawasan hierarki
Gereja Katolik Belanda, dengan Uskup Agung Utrecht sebagai pemimpin utama. Situasi tersebut
bertahan kurang lebih sampai dekade’50an. Formasi pendidikan misionaris masih dilakukan di
Belanda atau Roma. Urusan personalia pun masih dikelola dengan koordinasi antara pejabat uskup
di Indonesia dengan pimpinan tarekat dan dewan uskup Belanda, setelah diperantarai oleh Biro
Misi Pusat di Jakarta.

Terpusatnya manajerial Gerejawi di Belanda jelas merupakan ironi bagi umat Katolik di
Indonesia yang telah menjadi bagian dari bangsa merdeka yang berdaulat. Keterpusatan tersebut
berdampak pada masih kurangnya jumlah imam berkewarganegaraan Indonesia. Pada tahun 1950,
KWI memperkirakan ada sekitar 90% tenaga gerejawi berkebangsaan Belanda di Indonesia yang
sebagian besar sudah menetap di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan.Jumlah tenaga gerejawi
berkebangsaan Indonesia belumlah bertambah karena beberapa faktor seperti fasilitas pendidikan

43
imam di Indonesia yang belum memadai, biaya besar, serta alur informasi yang membingungkan
bagi umat awam di daerah (Observationes KWI, 1959: 13-14).

Situasi Gereja Katolik yang masih bergantung dengan tenaga gerejawi dan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Belanda jelas menimbulkan masalah bagi hubungan antara para pemuka agama
Katolik dengan pemerintah Republik Indonesia. Sebagaimana sudah dibahas, pemerintahan
Soekarno tengah berupaya menghadirkan sebuah konstruksi mengenai identitas nasional Indonesia
sebagai bangsa modern dengan segala otentisitas dan independensi yang melekat padanya.
Kecenderungan pemerintah dalam membangun citra yang mandiri itu semakin meningkat dengan
adanya permasalahan status kedaulatan Papua. Kegagalan Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam
menyelesaikan sengketa kedaulatan Papua mendorong pemerintah Indonesia untuk segera
mengajukan pembahasan mengenai sengketa tersebut dalam Sidang Umum PBB yang
terselenggara tahun 1954. Sebagai reaksi atas absennya tanggapan internasional, pemerintah
Indonesia mulai menetapkan status kewarganegarana bagi siapa saja yang belum menjadi
warganegara Indonesia terhitung sejak tahun 1950 sebagai orang asing atau bukan warga negara
(Boelaars, 2005: 122).

Di sisi lain, para uskup yang tergabung dalam Majelis Agung Waligereja Indonesia
(MAWI) khawatir dengan manuver kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama
terhadap keberadaan misionaris asing berkebangsaan Belanda di Indonesia. Kekhawatiran tersebut
disebabkan oleh posisi penting Kementerian Agama dalam proses mutasi misionaris asing.
Kementerian Agama berwewenang menerbitkan surat rekomendasi yang dibutuhkan dalam
penerbitan izin tinggal, menetap dan bekerja bagi misionaris oleh Dinas Imigrasi dibawah
Kementerian Kehakiman. Surat rekomendasi tersebut terbit dengan mempertimbangkan kuota
tenaga gerejawi yang dibutuhkan umat Katolik. Hanya saja, Biro Misi Pusat merasa tidak pernah
diberitahu perihal surat rekomendasi beserta prasyarat yang dibutuhkan. Maka tidak heran apabila
para uskup cukup terganggu dengan manuver Kementerian Agama yang menyatakan bahwa kuota
misionaris Belanda telah terpenuhi terhitung sejak 14 Juni 1952 dan menutup kuota tersebut pada
tahun berikutnya (Muskens, 1969: 400).

Adapun MAWI sangat terganggu dengan proses pengambilan kebijakan yang dilakukan
oleh Kementerian Agama secara sepihak. MAWI menuduh bahwa Kementerian Agama didorong

44
oleh kepentingan satu agama tertentu. Uskup Soegijapranata sendiri berujar bahwa Kementerian
Agama selalu berupaya membangun dominasi Islam melalui regulasi negara karena lahir dari
kompromi Soekarno-Hatta terhadap kelompok pengusung Piagam Jakarta (Boelaars, 2005: 128).

Kecurigaan para uskup terhadap peran serta Kementerian Agama dalam mendelegitimasi
agama Katolik di Indonesia tampaknya tidak begitu berdasar. Hal itu dikarenakan aturan-aturan
yang telah ditetapkan juga berlaku bagi banyak bidang atau kelompok yang dipandang “asing”
menurut kacamata negara. Meminjam Taufik Abdullah (2005), semangat nasionalisme radikal
yang semakin menyeruak berkat sengketa Belanda dan Indonesia mengenai status kedaulatan
Papua menjadi semacam penyemangat ideologis yang memunculkan sentimen anti asing (11-2).
Pada bulan Januari 1957, pemerintah Indonesia mulai mendepak warga negara Belanda yang
bermukim di Indonesia. Hal itu diikuti dengan agenda nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda yang sebagian telah beroperasi sejak era Tanam Paksa. Sejak terbitnya UU no. 62 tahun
1958 tentang Kewarganegaraan, ekspatriat Belanda dituntut agar mengajukan klausul naturalisasi
apabila tetap ingin bertahan di Indonesia. Dalam ranah pendidikan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan terhitung sejak 1 Agustus 1959 secara resmi melarang tenaga didik non-Indonesia
untuk mengajar di sekolah-sekolah Indonesia sekaligus membatasi subsidi bagi sekolah-sekolah
berbahasa asing ataupun lembaga pendidikan lain milik lembaga luar negeri (ibid.: 11-2; Boelaars,
2005: 123). Singkatnya, Indonesianisasi di masa itu tidak hanya berlaku dalam bidang agama,
namun juga melanda bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, hingga ketenagakerjaan.

Ganasnya gelombang Indonesianisasi yang dilatarbelakangi persengketaan kedua negara


rupanya mendorong Gereja Katolik untuk melihat permasalahan secara lebih holistik. Gereja
Katolik Indonesia mulai menempatkan Belanda sebagai pihak yang bertanggungjawab atas segala
kesulitan yang terjadi. Uskup Soegijapranata mulai menuding Partai Katolik Belanda sebagai
biang kerok dari permasalahan yang menimpa orang-orang Belanda di Indonesia pada umumnya,
dan misionaris Katolik Belanda di Indonesia pada khususnya. Dalam sebuah wawancara dengan
jurnalis Katolik Belanda, Soegijapranata mengungkapkan bahwa Partai Katolik Belanda selaku
anggota kabinet pemerintahan yang selalu bersikeras mengenai klaim Belanda terhadap Papua
sebagai pihak yang bertanggungjawab atas buruknya hubungan pemerintah Indonesia dengan
Gereja Katolik (Katholieke Archief , 1958: 715). Pendapat Soegijapranata sendiri turut diafirmasi
oleh J. Bank melalui disertasi berjudul Katolik di Masa Revolusi Indonesia dengan kesimpulan

45
bahwa keterlibatan elite Katolik Belanda dalam pertentangan politik melawan pemerintah
Republik berperan besar dalam merintangi emansipasi Gereja Katolik di Indonesia (1999: 493).

Di sisi lain, ikatan historis umat Katolik di Indonesia dengan Gereja Katolik di Belanda
tidak dapat dinafikan begitu saja. Para uskup dan pastor dari kalangan Belanda masih aktif
memimpin umat di Indonesia. Mereka juga masih berkerabat dan berhubungan dengan sirkulasi
elite Katolik di Belanda, baik hierarki maupun awam. Maka dari itu, dalam sidang MAWI yang
diselenggarakan pada bulan Mei 1960 di Ungaran, muncul opsi negosiasi perihal status kedaulatan
Papua, dengan perwakilan uskup dari kalangan Belanda sebagai jurubicara nya. Setelah mencapai
mufakat perihal kedaulatan Indonesia di Papua, MAWI mengutus mantan pimpinan Gereja Katolik
untuk wilayah Kalimantan Barat bernama Tarcisius Valenberg, OFM Cap, sebagai perwakilan
Gereja Indonesia dalam proses perundingan dengan elite Katolik Belanda. Adapun pemerintah
Indonesia dan Vatikan membantu mengurus dokumen-dokumen keimigrasian, mengingat
putusnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda. Berbekal paspor Vatikan, Valenberg
melakukan kunjungan ke Belanda selama tujuh hari, terhitung sejak 28 Agustus sampai 4
September 1960. Dalam kesempatan tersebut, Valenberg berhasil menemui Perdana Menteri
Belanda Jan De Quay, ketua fraksi Partai Katolik Belanda di Parlemen, serta Kardinal Bernardus
Alfrink selaku pemimpin Gereja Katolik di Belanda (Boelaars, 2005: 128).

Upaya MAWI dalam mengintervensi konflik bilateral yang ada rupanya tidak
membuahkan hasil. Pada akhirnya Belanda tetap melaksanakan aksi militer di Papua. MAWI
lantas menunjuk Frans Seda selaku Ketua Partai Katolik Indonesia sebagai utusan yang melobi
Partai Katolik Belanda agar menerima rencana penyerahan kedaulatan Papua ke tangan pemerintah
Republik. Pada akhirnya pemerintah Belanda menyepakati usulan tersebut dengan
memenyerahkan otoritas Papua kepada PBB terhitung sejak 22 April 1963, sebelum akhirnya
diserahkan ke Indonesia melalui mekanisme referendum pada tahun 1969 (Muskens, 1969: 407).

Terlepas dari selesainya permasalahan Papua, Gereja Katolik barangkali menyadari


tuntutan negara agar proses Indonesianisasi terhadap formasi misionaris segera dilaksanakan.
Soekarno tampaknya tidak akan pernah mengurungkan niatnya dalam mensukseskan agenda besar
pembentukan identitas nasional yang selalu digadang-gadang sebagai “nation-building”.
Kalaupun status Papua tidak diperdebatkan oleh kedua negara, cepat atau lambat regenerasi

46
terhadap seluruh personil tenaga gerejawi berkebangsaan Belanda di Indonesia harus dilaksanakan
(Boelaars, 2005: 125).

Kenyataan bahwa proses pergantian kepemimpinan ke tangan uskup dan pastor Indonesia
harus segera mungkin dilaksanakan rupanya juga menjadi perhatian Takhta Suci Roma atau
Vatikan. Pada 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII melalui dekrit Quod Christus Adorandus
menyatakan secara resmi berdirinya hierarki Gereja Katolik di Indonesia (Katholieke Archief,
1961: 297). Dalam sudut pandang hukum Kanonik, terbitnya dekrit kepausan tersebut menandakan
berdirinya struktur pemerintahan gerejawi di Indonesia. Dengan demikian, status penggembalaan
misi Katolik Indonesia dibawah hierarki Katolik Belanda secara resmi berakhir. Urusan-urusan
terkait aktivitas keagamaan maupun sosial yang dijalankan oleh umat Katolik sepenuhnya berada
dibawah wewenang uskup dan pastor yang berdomisili di Indonesia (Steenbrink, 2017: 82).

Hanya saja, proses pendirian hierarki keuskupan pribumi di Indonesia tentu membutuhkan
waktu yang tidak singkat. Apabila formasi uskup sepenuhnya diberikan kepada imam-imam
pribumi, seluruh pekerjaan sosial-keagamaan yang dikerjakan Gereja tentu akan menemukan
hambatan yang sangat serius. Hal ini disebabkan oleh penafsiran terhadap makna “pendirian
hierarki” itu sendiri. Apabila mosi pendirian hierarki diimplementasikan melalui peralihan
kepemimpinan secara cepat dan massif, kekosongan kursi pimpinan gerejawi tidak dapat
terhindarkan. Sebab, uskup-uskup dari kalangan Belanda yang masih mendominasi kepempiminan
akan mengundurkan diri tanpa pengganti yang memadai. Tentunya masalah ini akan berdampak
bagi perkembangan agama Katolik di kemudian hari. Maka dari itu, Vatikan mengutus Kardinal
Agagianian, prefek atau ketua Kongregasi Propaganda Fide, untuk datang ke Jakarta dan menemui
pemerintah Indonesia beserta para uskup dalam rangka menyelidiki kemungkinan pendirian
hierarki pribumi di Indonesia.

Pada 25 September 1959, Kardinal Agagianian mengadakan pertemuan tertutup dengan


MAWI dan perwakilan pemerintah Indonesia. Agagianian menekankan tentang pentingnya umat
Katolik di Indonesia untuk dipimpin oleh uskup dari tanah airnya sendiri. Agagianian
membandingkan proses pendirian hierarki Indonesia dengan Jepang yang mempunyai hierarki
mandiri sejak dimulainya Perang Dunia ke-II (Valenberg dalam Boelaars, 2005: 140).

47
Tindakan tersebut patut disoroti sebab memperlihatkan tentang pola-pola pengambilan
kebijakan yang ditunjukkan Vatikan dalam menangani persoalan relasi gereja-negara di suatu
wilayah tertentu. Vatikan tampak begitu mengedepankan prinsip kompromi dalam menyikapi
sikap pemerintah Indonesia. Hal itu muncul dari pertimbangan terhadap kentalnya aspirasi politik
anti-kolonial sebagai faktor utama dari munculnya kebijakan yang terkesan menghalangi
kebebasan beragama umat Kristen. Maka dari itu, tiada pilihan selain melakukan “dekolonisasi”
atau “de-Belanda-isasi” terhadap Gereja Katolik di Indonesia.

Agenda “dekolonisasi” atau “de-Belanda-isasi” dilakukan dengan pertama-tama


mendorong ordo dan tarekat untuk mengirim misionaris asing non-Belanda ke Indonesia. Adapun
langkah tersebut menjadi prioritas Vatikan sebab mereka menyadari bahwa formasi imam pribumi
belum mampu melahirkan figur-figur pemimpin yang pantas untuk menduduki jabatan uskup
maupun memimpin umat dan lembaga-lembaga sosial-karitatif yang dikelola misi. Melalui surat
Kongregasi Propaganda Fide kepada para pemimpin umum ordo dan tarekat di Belanda yang terbit
pada tahun 1954, Vatikan menyampaikan pertimbangan agar supaya ordo dan tarekat yang
bersangkutan sedapat mungkin mengutus misionaris yang tidak berkebangsaan Belanda ke
Indonesia (MAWI, 1954: 3). Keputusan tersebut tentu tidak lepas dari kontroversi. Para pemimpin
ordo dan tarekat di Belanda melayangkan pernyataan sikap yang menyayangkan keputusan
Vatikan sebagai ‘keputusan yang tidak menguntungkan sehubungan dengan pengutusan
misionaris di Indonesia’. Keputusan tersebut juga dikritik oleh para uskup yang merasa bahwa
kebijakan Propaganda Fide insensitif terhadap nasib misionaris Belanda di Indonesia (Boelaars,
2005: 151).

Kontroversi yang tumbuh tetap saja tidak dapat mengubah segala ketetapan Vatikan terkait
agenda Indonesianisasi Gereja Katolik di level kepemimpinan. Hanya saja, rencana penahbisan
uskup-uskup pribumi belum bisa dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Vatikan menyadari
bahwa desain tata kelola pendidikan imam yang ada belum mampu menghasilkan barisan imam
yang memiliki kapabilitas untuk menduduki jabatan uskup. Pendidikan imam-imam di pribumi
juga masih dikelola oleh misionaris dari ordo dan tarekat. Dengan kata lain, pilihan paling rasional
adalah mengubah kewarganegaraan misionaris Belanda dan menaikkan status mereka sebagai
uskup berkuasa penuh (Boelaars, 2005: 154).

48
Pada tahun 1960, formasi jabatan uskup berkewarganegaraan Indonesia hanya diisi oleh 3
orang uskup dari 25 keuskupan. Tiga uskup tersebut diantaranya merupakan Uskup Agung
Semarang, Mgr. Soegijapranata S.J., Uskup Agung Ende, Mgr. Gabriel Manek, dan Uskup Agung
Jakarta, Mgr. Adrianus Djajaseputra, S.J. Daerah gerejawi lainnya dipimpin oleh 21 uskup
berkewarganegaraan Belanda dan 1 pejabat uskup berkebangsaan Italia yang berkedudukan di
Padang (ibid.: 145). Dengan demikian, satu-satunya solusi yang bisa ditempuh adalah mengajukan
naturalisasi kewarganegaraan Indonesia untuk barisan uskup tersebut.

2.4. Indonesianisasi Gereja Katolik di era Soeharto (1966-1998).

2.4.1. “Umat beragama yang menyokong harmoni dan pembangunan”: Kebijakan


beragama di era Soeharto

Pada malam 1 Oktober 1965, terjadi pembunuhan enam jenderal dan satu perwira tinggi
Angkatan Darat di Lubang Buaya, Jakarta Timur. PKI dan sayap kiri dalam tubuh Angkatan Darat
dengan segera dituding sebagai pelaku utama dari aksi pembunuhan yang belakangan ditengarai
sebagai bagian dari upaya kudeta terhadap Presiden Soekarno. Sentimen anti-komunis dengan
segera menyebar cepat ke berbagai kelompok masyarakat dan membantu terbentuknya sebuah
aliansi politik beranggotakan faksi-faksi dalam tubuh militer dan elemen masyarakat sipil, seperti
organisasi keagamaan, pemuda, dan gerakan mahasiswa, yang turut serta dalam agenda
penumpasan terhadap kekuatan PKI dengan korban jiwa mencapai kisaran 500.000 sampai 3 juta
jiwa (Cribb, 1990: 11-14; McGregor et.al., 2017: 14). Pada 11 Maret 1966, Soekarno melalui Surat
Perintah Sebelas Maret menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden dengan wewenang untuk
mengembalikan keamanan dan ketertiban. Beberapa bulan berikutnya, tepatnya pada 5 Juli 1966,
terbit Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) no XXV yang membubarkan
PKI berserta organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan ideologi Marxisme-Leninisme
sekaligus melarang aktivitas pengajaran dan pengembangan ideologi Marxisme-Leninisme di
level universitas dan publik secara luas. Terbitlah sebuah rezim kuasa baru yang berkuasa lebih
dari tiga dekade dan populer dengan nama “Orde Baru”.

Pada awalnya para uskup selaku pemuka agama Katolik di Indonesia belum mengetahui
sepenuhnya tentang perubahan politik yang timbul akibat peristiwa pembunuhan petinggi militer

49
yang populer sebagai peristiwa G30S PKI itu. Para uskup sedang berada di Roma dalam rangka
mengikuti sesi terakhir Konsili Vatikan ke II yang diselenggarakan hingga bulan Desember 1965.
Ketika kabar mengenai peristiwa G30S sampai di Roma, hanya Uskup Agung Jakarta, Mgr.
Adrianus Djajaseputra, S.J., yang diizinkan pulang ke Jakarta untuk melakukan koordinasi dengan
pemerintah dan Nunsius untuk mengawal perkembangan situasi politik yang ada. Gereja Katolik
melalui Dewan Harian MAWI sendiri baru mengeluarkan pernyataan resmi terhadap peristiwa
G30S pada 11 Juni 1966, dengan menyatakan penyesalan terhadap jatuhnya korban sekaligus
mengapresiasi kembalinya Pancasila sebagai asas-asas yang suci (Bakker, 1974: 456).

Selama beberapa waktu di awal masa kepresidenannya, Soeharto melancarkan dan


menyokong agenda penumpasan kader dan simpatisan PKI yang telah dijalankan oleh aliansi
politik mahasiswa, militer dan paramiliter, serta kelompok beragama. Pada tahun 1966, pemerintah
Soeharto mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan setiap warganegara untuk menganut salah
satu agama yang telah diakui oleh negara. Kebijakan tersebut berimbas pada meningkatnya
populasi penganut agama Katolik dan Protestan di Indonesia. Sebagai contoh, Keuskupan Agung
Semarang mengalami peningkatan jumlah umat sebesar 126% dari tahun 1964 hingga 1973
(Aritonang & Steenbrink, 2008: 709). Hal serupa juga terjadi pada umat Katolik dan Protestan dari
etnis Tionghoa. Coppel (1983: 108) mencatat bahwa terjadi peningkatan umat Kristen Tionghoa
di Jawa Timur, dari 16,7% pada tahun 1966 menjadi 26,7% pada tahun 1969.

Setelah Soeharto resmi menjabat sebagai presiden pada tahun 1967, agenda modernisasi,
yang dahulu hampir kandas oleh krisis yang melanda Indonesia pada penghujung era
kepemimpinan Soekarno, dilanjutkan kembali oleh rezim Orde Baru17. Agenda modernisasi ala
Orde Baru sendiri dikenal dengan istilah “pembangunan”. Dengan mengadopsi model
pembangunan per lima-tahun yang diterapkan oleh Uni Soviet, pemerintah menyusun suatu
rencana pembangunan yang berlaku hingga turunnya Soeharto pada Mei 1998. Melalui Tap
M.P.R.S. No. XLI dan Keppres No. 319 tahun 1968, pemerintah meresmikan Rencana

17
Cikal bakal dari wacana “pembangunan” sejatinya dapat dilacak hingga masa pemerintahan Soekarno. Pada
tahun 1958, Soekarno membentuk Dewan Perancang Nasional (Deparnas), dengan tugas melaksanakan
modernisasi dalam ranah sosial‐ekonomi. Agenda modernisasi tersebut semakin kukuh dengan adanya Ketetapan
MPRS No II mengenai Garis‐Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta yang berlaku dari tahun 1961 sampai
1969. Hanya saja, agenda pembangunan di era Soekarno terkendala oleh adanya krisis ekonomi dan politik yang
mencapai puncaknya pada peristiwa 1 Oktober 1965. Sumber: Kansil, 1970: 10

50
Pembangunan Lima Tahun ke-I atau Repelita I, yang berlaku sejak 1 April 1969 hingga 1973
(Boelaars, 2005; Kansil, 1970: 12). Peresmian Repelita I sendiri tidak dapat dilepaskan dari
orientasi baru dari kebijakan ekonomi Indonesia yang berlandaskan sistem ekonomi pasar. Pada
tahun 1970, terbit UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengatur dan membuka kesempatan
bagi masuknya modal asing di Indonesia. Melalui ketetapan hukum dalam naskah Undang-Undang
yang lahir berkat tangan dingin ekonom dan teknokrat lulusan Amerika Serikat itu, Orde Baru di
awal periode kekuasaanya mampu meningkatkan arus modal, pendapatan per-kapita, dan kapasitas
produksi dalam sektor industri dan pertanian (Ropi, 2017: 129). Dalam konteks iklim ekonomi
kapitalistik yang coba dikembangkan oleh Orde Baru inilah, wacana modernisasi atau
pembangunan mengemuka dalam pembicaraan publik dan berkembang menjadi wacana dominan
yang meregularisasi masyarakat.

Satu hal penting dari wacana pembangunan dan keterkaitannya dengan kebijakan
beragama di era pemerintahan Soeharto terletak pada instrumentalisasi pembangunan dalam
rangka pendisiplinan terhadap kelompok beragama di Indonesia. Pemerintah Soeharto
memproyeksikan cara pandang yang dominan terhadap pembangunan sebagai sesuatu yang tidak
hanya berkisar pada hal-hal material, seperti pembangunan infrastruktur transportasi dan fasilitas-
fasilitas yang mempermudah masuknya modal asing, melainkan juga untuk mengembangkan dan
meningkatkan sisi imateriil seperti kehidupan spiritual dan keagamaan. Pernyataan resmi yang
tertuang dalam naskah resmi pembangunan pun mengafirmasi keberadaan pandangan ini. Dalam
naskah Repelita I ditegaskan mengenai tujuan pembangunan yakni mencapai pembangunan
manusia seutuhnya secara lahir dan batin. Bahkan, Soeharto sendiri secara terang-terangan
mengungkapkan pandangannya mengenai pembangunan sebagai sesuatu yang bukan hanya
sekedar instrument untuk mencapai kesejahteraan lahir, melainkan tujuan utama dari kehidupan
manusia Indonesia itu sendiri (Moertopo, 1978: 44).

Pada akhirnya, interpretasi resmi Orde Baru terhadap pembangunan sebagai proses
transformasi dalam ranah material maupun non material tersebut menjadi basis ideologis yang
sesungguhnya dari tatanan politik Indonesia dan mempengaruhi proses pembentukan tertib sosial
masyarakat. Atas nama pembangunan, negara mempunyai dalih untuk mengintervensi kehidupan
beragama dengan menetapkan standarisasi, mengatur bantuan-bantuan finansial luar negeri

51
terhadap lembaga agama, dan mengelola potensi konflik antar kelompok beragama (Ropi, 2017:
134-5).

Salah satu bentuk intervensi negara terhadap relasi antar umat beragama dapat dilihat
melalui munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) no 1 tahun 1969. Dokumen yang dikenal
sebagai SKB itu dibuat untuk memperkuat kekuatan pemerintah lokal dalam mengendalikan
aktivitas keagamaan secara khusus di wilayah otoritas mereka dengan menaruh perhatian kepada
substansi dan perilaku dari pendakwah agama sekaligus mengatur proses pendirian rumah ibadah
baru di daerah. Dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa agenda penyebaran agama atau dakwah
harus memperhatikan tiga kaidah. Pertama, substansi yang ada tidak boleh menjurus kepada
konflik antar keagamaan. Kedua, penyebaran agama dilakukan tanpa intimidasi dan paksaan.
Ketiga, penyebaran agama tidak boleh merusak keamanan dan ketertiban masyarakat (Gultom
et.al., 2006: 10).

Munculnya SKB no 1 tahun 1969 sendiri lahir sebagai reaksi negara terhadap peristiwa
kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung gereja di kota Makassar pada Oktober 1967 yang
melibatkan kelompok pemuda Muslim dengan Kristen. Meskipun sebab musabab dari munculnya
peristiwa tersebut sampai saat ini belum mencapai titik terang, peristiwa Makassar menyediakan
semacam dalih bagi negara untuk benar-benar memastikan kerukunan antar kelompok agama di
tengah-tengah masyarakat (Ropi, 2017: 163). Peristiwa tersebut memberikan gambaran tentang
betapa pentingnya intervensi negara terhadap relasi kelompok agama dengan segala potensi
konflik yang dapat membahayakan agenda-agenda pembangunan negara. Agama dipandang perlu
didudukkan kembali pada posisinya sebagai pandangan hidup tiap-tiap rakyat yang menyokong
keberlangsungan agenda pembangunan dalam kerangka ideologi negara. Melalui SKB no. 1 tahun
1969, negara Orde Baru mulai melakukan penataan kembali pada relasi antar agama dengan
memperkecil potensi konflik dan menempatkan mereka sebagai penyokong agenda-agenda negara
yang ditunjang oleh relasi harmonis yang terbangun di antara mereka (ibid.: 165).

Sejalan dengan agenda pembangunan dan reharmonisasi antar agama, pada pertengahan
tahun 1978, Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara menerbitkan Keputusan Menteri
Agama Nomor 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. Keputusan tersebut mengatur
etika dalam penyebaran agama dan sanksi bagi pihak-pihak mana saja yang melanggar. Keputusan

52
tersebut juga menggarisbawahi beberapa poin penting seperti; penyebaran agama tidak boleh
menyasar masyarakat yang telah memeluk agama yang diakui, bahwa bantuan-bantuan finansial,
kebutuhan pokok dan obat-obatan tidak boleh menjadi sarana penyebaran agama, bahwa bahan-
bahan seperti pamflet dan buletin yang disebarkan di daerah tertentu dilarang untuk digunakan
sebagai media penyebaran agama, dan bahwa penyebaran agama melalui visitasi dari pintu ke
pintu merupakan sesuatu yang terlarang (Boelaars, 2005: 200).

Selain itu, Menteri Agama juga menerbitkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 77
tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Keputusan
tersebut bersinggungan dengan prosedur administrasi dalam penyaluran bantuan asing bagi
lembaga agama di Indonesia. Keputusan tersebut mewajibkan agar bantuan asing dalam bentuk
keahlian, materi dan keuangan disalurkan melalui lembaga negara dalam rangka meminimalisir
dampak negatif bagi persatuan nasional, kerukunan beragama dan stabilitas masyarakat.
Keputusan tersebut juga mengatur agar keberadaan misionaris asing di Indonesia semakin
dikurangi dan kerja-kerja mereka harus disertai dengan surat izin yang diterbitkan oleh
Kementerian Agama (Ropi, 2017: 168). Munculnya aturan semacam ini jelas menjadi masalah
yang besar bagi Gereja Katolik di Indonesia sebagai lembaga yang masih mengandalkan bantuan
asing untuk operasional aktivitas keagamaan dan kegiatan-kegiatan sosial yang dijalankan atas
nama agama. Sebagai tanggapan atas kebijakan baru tersebut, Gereja Katolik di Indonesia mulai
mendorong lembaga-lembaga sosial karitatif untuk melakukan pembaharuan dalam hal organisasi
dan finansial, meskipun banyak di antara lembaga-lembaga tersebut yang terpaksa dibubarkan
(Boelaars, 2005: 220).

2.4.2 “Indonesianisasi dari dalam”: Pengaruh Konsili Vatikan II terhadap agenda


Indonesianisasi Gereja Katolik

Satu faktor yang penting untuk dibahas terkait Indonesianisasi Gereja Katolik adalah
Konsili Vatikan II dan pengaruhnya terhadap proses pengindonesiaan umat Katolik. Perubahan
orientasi Gereja Katolik dalam memandang kelokalan sebagai suatu elemen yang penting dalam
kehidupan beragama umatnya merupakan intisari dari apa yang dirumuskan dalam Konsili Vatikan
II bagi umat Katolik di Indonesia.

53
Konsili Vatikan II sendiri merupakan perhelatan musyawarah besar yang melibatkan
seluruh uskup Katolik sedunia yang diselenggarakan di Vatikan dan dibuka pada tanggal 11
Oktober 1962 dan ditutup tanggal 8 Desember 1965 atau berlangsung selama 3 tahun. Konsili
tersebut menghasilkan 16 dokumen yang terdiri dari 4 konstitusi dogmatis, 9 dekrit dan 3 deklarasi.
Konsili Vatikan II secara doktrinal berbicara baik tentang Gereja dan beragam permasalahan yang
dihadapi peradaban kontemporer dengan konteks situasi dunia pasca Perang Dunia II, ancaman
Perang Dingin dan revolusi kebudayaan yang melanda Barat pada dekade 60’an (Saeng, 2015:
290).

Konsili Vatikan II membawa perubahan radikal bagi orientasi Gereja Katolik di Indonesia
dalam mengkontekstualisasikan dan mengintegrasikan ajaran-ajaran agama ke dalam situasi
masyarakat Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam konstitusi dogmatis Gaudium et Spes
bahwa Gereja Katolik sejatinya tidak identik dengan satu budaya dan menuntut setiap umatNya
agar menghidupi imannya sesuai dengan latar belakang budaya setempat (Riberu, 1983: 543).Dari
sudut doktrin, Konsili Vatikan II merumuskan paradigma Gereja yang lebih terbuka dan menerima
agama-agama lain sebagai sesama pembawa kebenaran illahi terlepas dari perbedaan konsepsi
teologis di antara mereka. Paradigma baru tersebut membuka peluang dialog antara Gereja Katolik
dengan agama-agama lain dalam situasi yang lebih bersahabat. Terkait relasi agama Katolik
dengan kebudayaan lokal, Konsili Vatikan II melahirkan pendekatan-pendekatan yang lebih
menghargai kebudayaan di luar Barat dengan menempatkannya sebagai nalar budaya yang setara
dan mampu menjadi sarana umat dalam menghidupi iman Katolik mereka.

Inkulturasi menjadi salah satu istilah yang populer digunakan oleh para teolog dan pastor
untuk menggambarkan proses pengadopsian budaya lokal dalam praktik beragama Gereja Katolik
pasca penyelenggaraan Konsili Vatikan II. Menurut Rukiyanto (2019: 58), inkulturasi dapat
diartikan sebagai upaya Gereja dalam mengkonteksualisasikan pesan dan nilai Injil atau Kitab Suci
dengan menubuhkannya kedalam ekspresi yang sesuai dengan masing-masing budaya, dimana
iman dan pengalaman Kristiani dari setiap Gereja lokal tertanam betul didalam konteks
kebudayaan yang bersangkutan. Adapun Yohanes Paulus II (Slavorum Apostolii, 1988)
memandang inkulturasi sebagai “inkarnasi Injil dalam kebudayaan lokal dan pengenalannya

54
kedalam hidup menggereja”18. Dengan kata lain, inkulturasi secara normatif dapat dimaknai
sebagai proses penanaman ajaran agama Katolik melalui dialog resiprokal antara ajaran tersebut
dengan kebudayaan setempat.

Pada tataran praktis, prinsip inkulturasi diterapkan dengan aspek yang begitu luas dan
meliputi banyak bidang seperti arsitektur, bahasa, seni tradisi, kebijakan pastoral, dan bahkan juga
dalam doktrin serta mempengaruhi pilihan politik Gereja. Adapun dalam konteks Gereja Katolik
di Indonesia pasca Konsili Vatikan II, inkulturasi sudah diterapkan dalam beberapa hal seperti
penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa lokal dalam peribadatan yang dimulai sejak tahun 1970,
pembangunan gedung-gedung gereja dalam langgam arsitektur lokal yang diinisiasi oleh Romo
Mangunwidjadja, pengadopsian melodi-melodi lokal untuk kidung-kidung pujian yang dipelopori
oleh Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, masuknya tari-tarian dan ritual adat yang dapat djumpai
dalam peribadatan misa di beberapa daerah di Indonesia, dan produksi benda-benda yang
merepresentasikan figur orang kudus Katolik dalam langgam budaya lokal, hal mana yang akan
dibahas pada bab III.

Pada tataran yang lebih luas, inkulturasi juga bermakna politis dengan merujuk pada
pengintegrasian agama Katolik ke dalam tatanan politik yang berlaku di Indonesia. Singkatnya,
inkulturasi juga dimaknai secara luas sebagai proses pengakaran Gereja Katolik ke dalam bangsa
Indonesia dengan tujuan untuk menjadi benar-benar Gereja Katolik Indonesia (Rukiyanto, 2019:
73). Inkulturasi menjadi sinonim dari Indonesianisasi Gereja Katolik yang bermakna
pengintegrasian Gereja Katolik ke dalam masyarakat Indonesia pada segala aspeknya agar
menampilkan corak Indonesia sepenuhnya (Boelaars, 2005: 10). Pemaknaan terhadap inkulturasi
sebagai pengintegrasian Gereja Katolik ke dalam masyarakat Indonesia pasca Konsili Vatikan II
salah satunya dapat ditemukan pada dokumen MAWI (Spektrum, 1973 [3]) dengan substansi
sebagaimana berikut:

“Indonesianisasi adalah pengintegrasian Gereja di Indonesia. Gereja


Katolik tidak boleh menjadi ghetto bagi orang-orang Indonesia yang
terasing dari masyarakat Indonesia. Tetapi juga tidak boleh menjadi
Gereja yang begitu khas sehingga tidak Katolik lagi. Orang Katolik
Indonesia harus bisa menjadi Katolik sejati tanpa mengurangi

18
Teks asli berbunyi “the incarnation of the Gospel in native cultures and also the introduction of these cultures
into the life of the church”

55
keindonesiaannya sedikitpun dan begitu asli Indonesia tanpa mengurangi
kekatolikannya sedikitpun. Bahkan lebih dari itu: keindonesiaannya harus
menyempurnakan kekatolikannya dan kekatolikannya harus
menyempurnakan keindonesiaannya. Gereja Katolik di Indonesia harus
merasa seperti dirumah sendiri dan dipandang sebagai salah satu
phenomenon atau unsur kemasyarakatan yang biasa dan sangat berguna
untuk kehidupan di Indonesia” (Spektrum, 1973 [3]: 10. Garis miring oleh
penulis).

Sisi menarik dari subtansi yang terkandung dalam pernyataan di atas adalah tentnag
bagaimana Indonesianisasi dipandang sebagai pengintegrasian yang bertujuan agar Gereja Katolik
tidak menjadi ghetto atau lubang persembunyian bagi umat yang terasing dari masyarakat
Indonesia. Menurut hemat penulis, hal ini dapat dimaknai sebagai refleksi Gereja Katolik terhadap
latar belakang sejarah kedatangan mereka di Indonesia yang lekat dengan kolonialisme dan
peradaban Eropa. Pengalaman stigmatisasi terhadap umat Kristiani di awal kemerdekaan
tampaknya sangat mempengaruhi langkah-langkah kebijakan Gereja Katolik di Indonesia dalam
menghayati perubahan orientasi pasca Konsili Vatikan II dengan sebisa mungkin
mengintegrasikan diri mereka ke dalam alam pikir, budaya, dan tatanan politik masyarakat
Indonesia sehingga mereka tidak dipandang baik sebagai “benda asing” (corpus alienum) maupun
minoritas yang terbuang (negligible minority) melainkan sebagai bagian integral dari konstruksi
Indonesia sebagai negara bangsa (Boelaars, 2005: 53).

2.4.3. “Pancasila sebagai asas tunggal yang mendisiplinkan”: Gereja Katolik Indonesia di
era Soeharto

Berbicara mengenai “Indonesianisasi dari dalam” atau upaya Gereja Katolik Indonesia
dalam menyesuaikan diri dengan perubahan sikap Gereja Katolik dalam memandang relasinya
dengan dunia luar pasca Konsili Vatikan II melalui pengintegrasian agama Katolik ke dalam
tatanan politik Indonesia membawa kita pada pembahasan mengenai penerimaan Gereja Katolik
terhadap Pancasila sebagai ideologi negara yang berlaku sebagai asas tunggal. Pembahasan
mengenai penerimaan Gereja Katolik terhadap Pancasila merupakan satu hal yang penting disini
sebab berkaitan erat dengan pembentukan paradigma Gereja Katolik dalam memaknai
keindonesiaan yang nantinya mempengaruhi langkah-langkah sosial politik mereka.

56
Hanya saja, penerimaan Gereja Katolik terhadap Pancasila di era pemerintahan Soeharto
mengalami guncangan. Pancasila yang sebelumnya diperlakukan lebih sebagai basis ideologis
yang mendasari pengambilan-pengambilan kebijakan negara beralih rupa menjadi instrumen
penegakan disiplin demi mempersempit ruang gerak oposisi terhadap pemerintahan Soeharto.
Melalui serangkaian strategi dan praktik kekuasaan, rezim Soeharto mengintepretasikan ulang
Pancasila sebagai ideologi tunggal yang beroperasi dan terefleksikan dalam kebijakan-kebijakan
yang menyasar tataran individu dan kelompok.

Salah satu jejak upaya pemerintah Soeharto dalam menginstrumentalisasikan Pancasila


sebagai alat pendisiplinan ada di dalam ranah pendidikan tepatnya melalui program-program
indoktrinasi Pancasila yang dikenal dengan istilah “P-4” (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Sejak tahun 1978, program “P-4” itu telah diterapkan melalui berbagai macam kursus
dan masuk ke dalam kurikulum pendidikan di tingkatan sekolah dasar dan menengah. Melalui
program “P-4”, rezim Soeharto menghadirkan satu model demokrasi baru dengan nama
“Demokrasi Pancasila” dan mengkonstruksikannya sebagai budaya politik yang ideal dan sesuai
dengan karakter-karakter bangsa Indonesia yang memperjuangkan harmoni, kohesi dan konsensus
sosial. Individualisme harus menyerah pada kepentingan bersama (common interest) yang
sebelumnya telah dimanufakturisasi oleh negara dengan menekankan pada kesatuan tujuan bangsa
Indonesia dalam aspirasi dan agenda pembangunan nasional (Weatherbee, 1985: 134).

Instrumentalisasi Pancasila sebagai alat pendisiplinan pun semakin meluas ke ranah


ideologis dari kelompok masyarakat dengan melakukan standarisasi atau kewajiban berideologi
Pancasila bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Hal ini tampak pada dua
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan pemerintah kepada DPR pada Mei 1984, yakni
RUU Partai Politik dan RUU Organisasi Kemasyarakatan. Dalam kedua rancangan itu,
dirumuskan bahwa ideologi Pancasila merupakan satu-satunya dasar eksklusif atau asas tunggal
bagi semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Melalui undang-undang
baru yang hendak diajukan itu, pemerintah Soeharto melarang semua ideologi yang dipandang
tidak mewakili keindonesiaan, seperti komunisme, sosialisme, liberalisme, dan fanatisme
keagamaan, dengan tujuan menciptakan kondisi masyarakat yang harmonis dan terintegrasi
(Boelaars, 2005: 336).

57
Penetapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi politik dan kemasyarakatan
menimbulkan problematika tersendiri bagi kelompok beragama. Apabila regulasi baru itu mulai
diberlakukan maka dapat menimbulkan kesan bahwa prinsip-prinsip keagamaan harus disisihkan
supaya Pancasila menjadi satu-satunya landasan utama bagi warganegara Indonesia. Ambiguitas
yang menyertai penetapan Pancasila sebagai asas tunggal berdampak pada reaksi yang beragam
dari setiap kelompok agama namun dengan satu kecemasan mengenai pergeseran posisi agama
dalam masyarakat. Adapun organisasi kemasyarakatan Islam memandang penetapan Pancasila
sebagai asas tunggal sebagai upaya mengaburkan dan menggantikan nilai-nilai Islam dengan
sekulerisme yang terwakili oleh ideologi negara (Weatherbee, 1985: 136). Sedangkan bagi Gereja
Katolik, penetapan Pancasila sebagai asas tunggal sangat berdampak tidak hanya bagi nomenklatur
keorganisasian Gereja tetapi juga dalam penghayatan iman dalam rutinitas keseharian umat
Katolik (Steenbrink, 2017).

Polemik penetapan Pancasila sebagai asas tunggal di dalam hierarki Gereja Katolik di
Indonesia dengan sangat jelas tergambarkan dalam pernyataan Leo Soekoto S.J., Uskup Agung
Jakarta periode 1970-1995 yang juga menjabat sekretaris KWI, mengenai sikap Gereja Katolik
terhadap Pancasila dalam sidang dengar pendapat dengan DPR pada 1 September 1984.

‘Sejak tahun 1945 Gereja Katolik telah menerima Pancasila sepenuhnya.


Gereja sendiri senantiasa menghormati nilai-nilai yang dirumuskan dalam
Pancasila. Akan tetapi, bagaimanakah undang-undang Ormas itu harus
dimengerti? Tidakkah undang-undang harus dijelaskan supaya tidak lagi
muncul salah paham di antara warga negara biasa? Warga negara biasa itu
bertanya-tanya dalam diri mereka: Jika Pancasila merupakan satu-satunya
titik tolak kegiatan sosial saya, manakah arti iman saya lagi?’ (Hidup
Katolik, 16 September 1984 dalam Boelaars, 2005: 340).

Dari pernyataan Soekoto kita dapat menarik beberapa poin penting menyangkut posisi Gereja
Katolik dalam menyikapi Pancasila. Gereja Katolik sendiri tidak asing dengan Pancasila. Di awal
kemerdekaan, Gereja Katolik telah menerima Pancasila sebagai basis ideologis negara karena
kelima sila yang ada dipandang memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama
(Muskens, 1969: 393). Mgr Soegijapranata S.J. selaku uskup Indonesia pertama juga telah
menginisiasi pembentukan organisasi sosial-kemasyarakatan berideologi Pancasila dengan
mendirikan Ikatan Buruh Pancasila dan Ikatan Petani Pancasila sebagai bagian dari agenda kontra-
Komunisme pada dekade 1960an (Steenbrink, 2017: 23). Bagi Gereja Katolik, Pancasila

58
merupakan fondasi ideologis yang sepadan serta relevan dengan ajaran sosial-politik agama
Katolik dan mampu mengkerangkai pilihan-pilihan politik umat Katolik di Indonesia yang karena
pengalaman pahitnya di awal kemerdekaan Indonesia lebih berorientasi pada pengarusutamaan
kepentingan nasional daripada kepentingan agama.

Hanya saja, Gereja Katolik di Indonesia tidak dapat melupakan kenyataan diri sebagai
bagian dari Gereja Katolik yang bersifat universal dan supranasional namun dipersatukan dalam
ikatan keyakinan iman mereka terhadap Tuhan melalui perantaraan Yesus Kristus. Gereja Katolik
yang universal dan supranasional itu tidak dapat serta merta tunduk pada partikularitas melalui
identifikasi diri terhadap salah satu ideologi atau pola pemerintahan tertentu (Gaudium et Spes:
76). Meskipun Pancasila tetap diterima dalam kedudukannya sebagai basis ideologis dari
penyelenggaraan negara, penetapan Pancasila sebagai asas tunggal yang berlaku mutlak bagi
individu dan organisasi masyarakat yang berimplikasi pada intervensi negara dalam perkara
internal sama artinya dengan pelanggaran terhadap kebebasan beragama sekaligus suatu bentuk
pelecehan terhadap ajaran Katolik mengenai universalitas dan ikatan keimanan yang supranasional
itu.

Adanya tarik menarik antara universalitas dan partikularitas yang tercermin dalam polemik
penerimaan Gereja Katolik terhadap penetapan Pancasila sebagai asas tunggal pada akhirnya tetap
harus diselesaikan. Pada 31 Mei 1985, UU Organisasi Kemasyarakatan yang memuat ayat tentang
Pancasila sebagai asas tunggal disahkan oleh DPR. Perubahan naskah dan penambahan keterangan
penjelas dalam naskah sebagaimana dikehendaki oleh banyak kalangan agama tidak juga
dilakukan. Dengan demikian, suka atau tidak, organisasi masyarakat terutama yang
berlatarbelakang keagamaan harus segera menyesuaikan diri dengan mencantumkan Pancasila
sebagai asas tunggal dalam anggaran dasar mereka paling lambat dua tahun setelah UU tersebut
disahkan oleh DPR. Adapun perwakilan agama Kristen yang pertama menerima perubahan tersebu
adalah Dewan-Dewan Gereja Protestan dalam sebuah sidang pada awal bulan Desember 1986.
Sedangkan Gereja Katolik sendiri masih belum menerima perubahan yang ada dikarenakan
beberapa perbedaan definitif antara pihak pemerintah dengan perwakilan MAWI dalam hal
nomenklatur. Akhirnya, pada 7 Januari 1987, Gereja Katolik yang diwakili Ketua dan Sekretaris
MAWI secara resmi menghadap Soeharto untuk menyampaikan persetujuan Gereja Katolik

59
terhadap subtansi UU No. 8 tahun 1985 perihal penetapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi
organisasi politik dan kemasyarakatan (Boelaars, 2005: 342).

Penerimaan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal tentu memiliki konsekuensi yang
harus ditanggung oleh Gereja Katolik di Indonesia itu sendiri. Gereja Katolik pada akhirnya
dituntut untuk menerjemahkan dan menyepadankan segala konsepsi ajaran agama mereka ke
dalam bentuk-bentuk penghayatan iman yang berada pada satu garis yang sama dengan ideologi
Pancasila. Hasil penyandingan konsepsi Katolik dengan Pancasila itu diarsipkan melalui beberapa
pedoman yang diterbitkan oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan (Dokpem) MAWI.
Salah satu dokumen yang dikutip di sini berasal dari buku pedoman mengenai hubungan Gereja
dengan negara bagi umat Katolik dengan tajuk Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat
Pancasila (1985). Dalam buku pedoman tersebut dinyatakan tentang dukungan umat Katolik
terhadap Pancasila yang penulis sertakan kutipannya di bawah ini;

“Sebagai agama universal yang sudah menjelajahi sejarah sejak didirikan


oleh Yesus Kristus dan akan terus mengembara sampai Ia datang kembali
pada hari akhirat (1 Timotius 4: 1), agama Katolik tidak dapat
mengidentifikasi diri dengan salah satu ideologi atau pola pemerintahan
tertentu. Namun demikian, Umat Katolik Indonesia bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bahwa Negara kita memilih Pancasila sebagai
filsafat dan dasarnya. Umat Katolik dengan senang hati menerima dan
mendukung Pancasila dan berdoa supaya pengamalan semua sila semakin
murni dan taat-asas tanpa manipulasi dan penundaan yang tidak sehat”
(Dokpem MAWI, 1985: 24. Dikutip dengan perubahan).

Berdasarkan paragraf yang dikutip di atas, dapat dilihat bahwa Gereja Katolik tetap
berusaha untuk menempatkan Pancasila dalam kedudukannya sebagai fondasi mendasar dari
penyelenggaraan negara yang otoritasnya keduniawiannya diakui oleh Gereja. Gereja Katolik
tidak serta merta menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya basis ideologis mendasar bagi umat.
Pancasila tetap diterima sebagai asas yang mendasari kehidupan bermasyarakat.

Menurut hemat penulis, sikap menerima yang ditunjukkan Gereja Katolik terhadap
penyeragaman ideologis yang dilakukan negara di bawah rezim Soeharto dapat dipandang sebagai
suatu bentuk kepatuhan sekaligus kompromi terhadap situasi yang ada. Gereja Katolik tentu saja
tidak dapat serta merta merekonseptualisasikan ajaran agama mereka ke dalam keindonesiaan yang
dianut oleh negara. Karakter-karakter yang khas dalam agama Katolik seperti jejaring

60
supranasional dan struktur organisasional yang kaku dan menghasilkan sentralisasi tafsir menjadi
penghalang bagi upaya-upaya yang bertujuan memodifikasi ajaran agama agar sesuai dengan
selera otoritas. Adapun modifikasi hanya dapat dilakukan pada tataran praktik atau implementasi
dari ajaran agama Katolik dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Di sisi lain, penerimaan Gereja Katolik terhadap Pancasila sebagai asas tunggal juga
berdampak pada semakin mengerucutnya pemaknaan terhadap keindonesiaan sebagai persatuan
dalam keragaman. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penetapan Pancasila sebagai asas
tunggal merupakan satu tahapan yang terbilang paling mutakhir dari upaya negara di era
pemerintahan Soeharto dalam membangun disiplin warganegara melalui konstruksi mengenai
masyarakat Indonesia yang beragam bahasa, etnis, suku, dan agamanya namun tetap berada dalam
suasana yang harmonis dan penuh gotong royong. Ibarat lilin beku yang menyegel meteran taksi,
Pancasila difungsikan sebagai segel yang mengikat dan melegalkan konstruksi tersebut. Siapapun
yang mempertanyakan intensi di balik konstruksi negara terkait masyarakat yang beragam dan
harmonis itu, maka ia sama saja dengan mempertanyakan Pancasila dan sudah barang tentu
melemparkan dirinya kepada sanksi-sanksi dan hukuman yang berat. Dengan kata lain,
penerimaan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal sama artinya dengan penerimaan terhadap
interpretasi negara sebagai kebenaran yang absolut dan tidak ada satupun kelompok yang dapat
menafikannya.

Penerimaan Gereja Katolik terhadap Pancasila sebagai asas tunggal yang dimaknai sebagai
persatuan dalam keragaman dengan jelas dinyatakan dalam pedoman Umat Katolik dalam
Masyarakat Pancasila terbitan Dokpem KWI dalam pembahasan mengenai salah satu alasan
penerimaan umat Katolik terhadap Pancasila, yakni demi Bhinneka Tunggal Ika

“Gereja yakin bahwa Pancasila yang telah teruji dan terbukti


keampuhannya dalam sejarah Republik kita ini, merupakan wadah
kesatuan dan persatuan nasional, asal tidak digunakan sebagai topeng
untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan tertentu. Dalam menyoroti situasi konkret keberadaannya, Umat
Katolik Indonesia sadar akan kemajemukan masyarakat. Karena itu, umat
Katolik menerima landasan yang sungguh-sungguh dapat menjadi wadah
pemersatu pelbagai golongan di dalam masyarakat, yakni Pancasila. Maka
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Umat Katolik menerima
Pancasila sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945”
(Dokpem MAWI, 1985: 25-6).

61
Adapun substansi dari kutipan tersebut secara tersirat memperlihatkan dasar-dasar yang
melatarbelakangi penerimaan Gereja Katolik terhadap penetapan Pancasila sebagai asas tunggal
yang berlaku dalam konteks kehidupan bermasyarakat, yakni posisi Gereja Katolik sebagai agama
minoritas dengan keterikatan historis dan kultural dengan Barat-Eropa yang kolonialis dan
mengupayakan integrasi secara sepenuhnya dengan keindonesiaan. Pengalaman stigmatisasi dan
ambivalensi identitas yang dialami umat Katolik membawa mereka sampai kepada satu titik
dimana penerimaan terhadap konsepsi negara mengenai persatuan dalam keragaman yang dipatri
dengan Pancasila menjadi sesuatu yang tidak mungkin bisa ditawar lagi. Dengan kata lain,
Indonesianisasi Gereja Katolik di era Soeharto dapat dimaknai sebagai proses pengintegrasian
agama Katolik ke dalam konstruksi mengenai bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka,
membangun, dan terdiri atas keragaman yang saling menyatu di bawah panji Pancasila, yang
sejatinya hanyalah dalih untuk memperkecil peluang resistensi rakyat terhadap cara-cara
memerintah yang diterapkan oleh rezim berkuasa.

2.5. Penutup: Indonesianisasi Gereja Katolik di era Reformasi (1998- )

Indonesianisasi Gereja Katolik dalam ranah ideologis yang tampak pada penerimaan
Gereja terhadap penetapan Pancasila sebagai asas tunggal beserta interpretasi negara secara tidak
langsung memperlihatkan betapa ketat dan konservatifnya interpretasi negara terhadap
keindonesiaan di era Soeharto. Melalui interpretasi tersebut, rezim Soeharto berupaya
membekukan masyarakat Indonesia dalam bayangan mistis yang statis tentang masa lalu Indonesia
dengan menekankan pada konsensus, harmoni, dan tradisi, sembari men-depolitisasi rakyat
dengan menjaga kepatuhan mereka terhadap negara. Visi keindonesiaan yang dikembangakan
berusaha menghapuskan dikotomi konseptual antara negara dan masyarakat dan mengajarkan
kepada individu dan kelompok bahwa kepentingan mereka harus selalu ditundukkan pada
kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar. Iklim ideologis semacam ini barangkali
menormalisasi dan melegitimasi pengaturan politik yang represif di mana rezim didirikan, dan
juga melumpuhkan inisiatif dan kreativitas masyarakat sipil, serta menyediakan ekosistem yang
memperkembangbiakkan korupsi dan penyelewengan kekuasaan dalam pemerintahan.

Betapapun kokoh dan ketatnya praktik pendisiplinan melalui wacana keindonesiaan yang
ada, pemerintahan Soeharto pada akhirnya berada di ujung tanduk. Pada 21 Mei 1998, presiden

62
Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri di tengah-tengah situasi krisis ekonomi dan
gelombang demonstrasi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dengan segera, tatanan
politik di Indonesia beralihrupa secara drastis. Demokrasi dan kebebasan berpendapat menjadi
wacana yang dominan dan diperbincangkan di ruang publik. Interpretasi tunggal dan resmi negara
terhadap ideologi dan wacana keindonesiaan menjadi semakin tidak relevan.

Atmosfer kebebasan yang menyeruak di ruang publik juga melahirkan kesempatan-


kesempatan baru bagi berbagai macam kelompok politik untuk menampilkan diri dan menyalurkan
aspirasi mereka. Panggung politik praktis mulai diisi oleh kelompok-kelompok yang bernafaskan
agama terutama dari kalangan Islam. Partai-partai politik bernafaskan Islam mulai tumbuh diiringi
dengan aspirasi penegakan syariat agama Islam melalui pengintegrasian dengan hukum pidana di
banyak daerah. Organisasi kemasyarakatan di luar partai politik yang sama-sama bernafaskan
semangat identitas agama juga mulai tumbuh dan tampil sebagai kelompok sipil yang dominan di
ruang publik.

Di sisi lain, atmosfer kebebasan yang serupa juga menghantarkan pada situasi masyarakat
yang penuh konflik. Konflik antar kelompok masyarakat secara berturut-turut melanda Indonesia
setidaknya terhitung sejak kerusuhan dan persekusi terhadap etnis Tionghoa di tahun 1998,
dilanjutkan dengan konflik di Maluku (1999-2002), Poso (1998-2000), Tanjungbalai (2016),
Sampang (2011-2012), Tolikara (2015-2016) hingga yang teranyar yakni pemboman tiga gereja
di Surabaya (2018). Pengentalan identitas keagamaan juga semakin tampak nyata dalam beberapa
kasus perusakan ataupun penolakan pembangunan rumah ibadat seperti halnya dalam kasus
pembakaran gereja di Jatiwaringin (1996) dan penolakan pembangunan gedung gereja di Ciledug
(2004), Yasmin Bogor (2012), Bekasi Utara (2017) serta kasus-kasus serupa di berbagai belahan
Indonesia lainnya. Selain itu, kasus penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama yang mana melahirkan gelombang aksi massa yang mengatasnamakan
diri sebagai “Aksi Bela Islam” juga memperlihatkan tentang kentalnya identitas keagamaan dalam
diskursus publik.

Dalam situasi yang penuh atmosfer kebebasan namun rentan itu, Gereja Katolik di
Indonesia justru tidak memiliki saluran aspirasi politik melalui partai politik ataupun medium lain
yang lebih bersifat kewacanaan. Mengutip Mangunwijaya (1999: 207-8), Gereja Katolik di

63
Indonesia justru hidup dalam ghetto atau liang persembunyiannya sendiri dengan hanyut dalam
ritual-ritual yang sejatinya tidak memiliki dampak apapun terhadap masyarakat. Segala
permasalahan sosial yang beririsan dengan umat Katolik ditanggapi dengan doa-doa devosi dan
ritual peribadatan yang megah dan tidak benar-benar menghadirkan daya transformatif di tengah-
tengah umat.

Di sisi lain, praktik beragama yang ada justru tidak banyak menampilkan nuansa
keindonesiaan secara lebih dalam. Unsur-unsur budaya Barat-Eropa yang tampak pada
representasi visual, notasi lagu, bahasa Latin, hingga arsitektur gedung gereja, semakin tampak
dalam aktivitas keseharian umat Katolik di Indonesia khususnya di Keuskupan Agung Jakarta.
Sependek pengamatan penulis, gedung-gedung gereja yang baru didirikan atau menggantikan
gedung gereja lama di Jakarta dan sekitarnya semakin lama semakin kental dengan nuansa
kontemporer yang kental dengan simbolisasi ala Barat-Eropa dalam bentuk bangunan yang megah
dan ber-AC. Representasi visual dari figur-figur penting dalam Kekristenan dalam bentuk patung
dan lukisan-lukisan pun semakin menampilkan karakter Barat-Eropa yang terkadang sedikit
dikaburkan dalam nuansa kontemporer. Begitu pula dengan peribadatan misa yang mulai
diseragamkan tata urutannya agar sesuai dengan aturan-aturan terbaru yang ditetapkan oleh
Vatikan dan diiringi oleh kidung-kidung pujian dalam buku nyanyian Puji Syukur yang sebenarnya
hanya merupakan terjemahan dari kidung-kidung berbahasa Inggris, Belanda, dan tentu saja Latin.

Menurut hemat penulis, situasi tersebut semakin menghadirkan kesan tentang praktik
beragama umat Katolik yang semakin memperlihatkan identitas budaya Barat-Eropa secara
terbuka. Di tengah-tengah perbincangan publik mengenai politik identitas dan kontestasi antara
simbol-simbol keindonesiaan dengan simbol-simbol yang mewakili asing dalam balutan agama
seperti halnya dalam elemen kebudayaan Arab dalam agama Islam maupun India dalam Hindu,
umat Katolik di Indonesia terkesan tidak begitu menampilkan sisi keindonesiaan mereka, terlepas
dari adanya wacana Indonesianisasi terhadap Gereja Katolik yang terinternalisasi sepanjang
rentang sejarah dengan kesinambungan sekaligus keterputusan yang tampak pada tiap-tiap era.
Dalam konteks yang sedemikian rupa itu devosi Maria Bunda Segala Suku muncul ke permukaan,
hal mana yang akan dijabarkan pada bab-bab selanjutnya.

64
Bab III
“Mengindonesiakan Maria”
Formasi subjek aktor dalam melahirkan sosok Maria Bunda Segala Suku

Pengantar

Bab ini membahas formasi aktor dan tentang bagaimana wacana Indonesianisasi terinternalisasi
dalam pikiran para aktor pemrakarsa Devosi Maria Bunda Segala Suku. Pembahasan dibagi dalam
tiga bagian. Pertama, penjelasan singkat mengenai venerasi atau tradisi penghormatan Maria yang
mencakup sejarah, ajaran atau doktrin-doktrin dasar serta beberapa contoh praktik devosi Maria
dalam Gereja Katolik yang relevan dengan topik skripsi ini. Penjelasan tersebut merupakan satu
hal yang penting mengignat bahwa tidak semua pembaca mengenal topik skripsi ini dengan
mendalam. Kedua, membahas tentang sejauh mana Indonesianisasi terinternalisasi dan
mencengkeram pikiran pemrakarsa Devosi Maria Bunda Segala Suku. Bagian tersebut disusun
dalam narasi yang secara kronologis membahas latar belakang yang menginspirasi pemrakarsa
sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung Maria Bunda Segala Suku hingga penetapannya sebagai
objek devosi resmi oleh Keuskupan Agung Jakarta.

Adapun pembahasan berfokus kepada formasi aktor-aktor dengan beragam latar


belakangnya masing-masing. Mereka merupakan para pemrakarsa, panitia sayembara, seniman,
umat awam, serta pihak perwakilan Keuskupan Agung Jakarta. Latar belakang, pandangan dan
interaksi yang terjalin di antara mereka dielaborasi sedemikan rupa agar pembaca mengetahui
sejauh mana Indonesianisasi sebagai wacana dominan mampu terinternalisasi dengan baik dalam
pikiran ketiga kelompok aktor diatas sehingga mereka semua dapat menyelaraskan kepentingan
masing-masing untuk mempertahankan wacana Indonesianisasi melalui lahirnya figur objek
devosi dengan nama Maria Bunda Segala Suku.

65
3.1. Venerasi Maria: Pengantar mengenai devosi Maria dalam Gereja Katolik

3.1.1. Sejarah perkembangan Devosi Maria

Venerasi atau penghormatan umat Katolik kepada Maria merupakan sebuah kebiasaan
religius yang telah berlangsung sejak abad pertama Kekristenan. Tradisi tersebut diperkirakan
telah berkembang sejak abad ke-4 Masehi di Palestina dan Asia Kecil (Shoemaker dalam Peltomaa
eds., 2015: 23). Pada abad ke-5 Masehi, rumusan baku terkait posisi teologis Maria mulai
disepakati melalui terselenggaranya Konsili Efesus (431 M). Pada kesempatan konsili tersebut,
para uskup beserta teolog Gereja bermufakat dalam menetapkan Maria sebagai Theotokos, yang
dalam bahasan Yunani berarti “Bunda Allah”. Maksud dari penetapan gelar tersebut adalah untuk
menegaskan kedudukan teologis Maria dalam relasinya dengan doktrin Trinitas dan sifat-sifat
keillahian dari Yesus Kristus (Albl, 2009: 266).

Pada dasarnya Gereja Katolik memiliki tiga sumber utama sebagai rujukan tetap dalam
pengembangan dan penetapan suatu doktrin. Tiga sumber utama itu juga dikenal dengan istilah
“tiga pilar kebenaran” karena hanya melalui ketiganyalah ajaran agama Katolik ditetapkan menjadi
sebuah doktrin yang berlaku absolut bagi penganut-penganutnya (Suseno, 2017). Tak terkecuali
doktrin Gereja mengenai tradisi penghormatan kepada Maria yang didasarkan kepada tiga sumber
atau rujukan utama. Pertama, Kitab Suci yang mencakup Perjanjian Lama dan Baru. Perjanjian
Lama meliputi kitab-kitab seperti Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, kitab-kitab
sejarah, kidung-kidung, kenabian, serta Deuterokanonika19. Perjanjian Baru meliputi empat kitab
Injil; kitab Matius, Markus, Lukas, Yohanes, serta kitab-kitab lain seperti Kisah Para Rasul, surat-
surat Paulus dan kitab Wahyu karangan Yohanes. Seluruh kitab-kitab yang termuat dalam Kitab
Suci atau Alkitab menyediakan referensi yang memperkuat legitimasi historis-biblikal dari
ketetapan ajaran Gereja Katolik mengenai Maria (Pomplun, 2007: 314). Kedua, Tradisi Suci.
Tradisi Suci dapat diartikan sebagai pewartaan Injil yang diajarkan secara lisan oleh Yesus kepada
murid-muridNya. Menurut Katekismus Gereja Katolik20 (1980), Tradisi Suci berasal dari

19
Deuterokanonika merupakan sembilan kitab yang menjadi bagian dari Perjanjian Lama. Kitab ini berasal dari
naskah‐naskah Yahudi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani pada tahun 250‐125 SM. Dari tiga denominasi
utama Kristen, hanya Gereja Katolik dan Ortodoks yang mengakui keabsahan kitab ini.
20
Katekismus Gereja Katolik atau KGK merupakan compendium dari seluruh ajaran dogmatis gerejawi yang
disusun secara sistematis dan digunakan sebagai referensi utama dalam pengajaran keagamaan.

66
pengajaran Injil secara lisan yang dilakukan oleh para Rasul dan diwariskan secara turun-temurun
kepada para uskup selaku pengganti mereka. Tradisi Suci mencakup kebiasaan-kebiasaan yang
dipraktikkan oleh generasi para rasul maupun umat Kristen awal, yang diyakini berasal dari ucapan
dan tindakan Yesus beserta murid-muridNya. Ketiga, Magisterium atau wewenang resmi Gereja
dalam penafsiran dan pengajaran agama. Agama Katolik meyakini tentang adanya wewenang
istimewa yang diwariskan oleh murid-murid Yesus Kristus kepada Paus dan para uskup melalui
sebuah skema yang dikenal sebagai “suksesi apostolik”21. Posisi wewenang mengajar Gereja
sendiri berada di bawah Kitab Suci dan Tradisi Suci (KGK, 1992: 85-6, 890-1).

Hanya saja, proses interpretasi dan penetapan suatu doktrin sangatlah bergantung kepada
buah-buah pemikiran para teolog yang dalam catatan sejarah telah membentuk kaidah-kaidah
dasar teologi Kristen. Mereka diantaranya adalah Yustinus Martir (100-65), Irenaus (130-200),
Yohanes Kristotomus (347-407), Basil Agung (329-79), dan Sirilus dari Alexandria (375-
444).Mereka adalah cendekiawan, imam dan uskup generasi awal yang dikenal sebagai “Bapa-
Bapa Gereja” karena melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci dan Tradisi Suci yang sudah
terlebih dulu ada sekaligus mengkontekstualisasikannya dengan situasi dan kondisi umat saat itu.
Aliran filsafat Yunani seperti Neo-Platonisme jugs turut berpengaruh terhadap kerja intelektual
dari para Bapa-Bapa Gereja dalam merumuskan doktrin teologis terkait Maria. Buah pikiran
mereka dimuat dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan bagi generasi selanjutnya dalam memaknai
Maria dari sisi teologis dan spiritual. Salah satu jejak pemikiran mereka adalah keyakinan Gereja
Katolik terhadap Maria sebagai figur intercessor atau perantara antara Tuhan dengan manusia
yang masih berziarah di bumi.

Melalui kerja keras para Bapa-Bapa Gereja, keyakinan umat Katolik terhadap ketokohan
Maria terus-menerus dibentuk hingga mencapai bentuk-bentuk yang populer dewasa ini. Namun
demikian, agensi umat awam atau rakyat di level akar rumput dalam mengembangkan praktik
keagamaan berupa ritual sampiran yang tertuju kepada Maria juga tidak dapat diremehkan begitu
saja. Aneka macam ritual sampiran seperti pelafalan doa-doa khusus secara berulang, lantunan

21
Dalam Gereja Katolik, konsep “suksesi apostolik” berbicara mengenai proses pewarisan otoritas mengajar dan
memimpin umat yang secara turun temurun terjalin mulai dari Yesus, berlanjut ke para murid, hingga sampai
kepada para uskup. Secara simbolik, konsep “suksesi apostolik” dapat kita amati pada saat pentahbisan uskup
melalui prosesi penumpangan tangan yang dilakukan oleh uskup pendahulu kepada penggantinya.

67
kidung-kidung pujian, produksi objek-objek devosional, ziarah, seringkali bersumber dari
kreativitas umat dalam mengaktualisasikan keyakinan iman seturut kebudayaan asal dan
pengalaman hidup mereka. Ada kalanya ritual sampiran itu masih membawah pengaruh paganisme
dan Yudaisme akibat penyebaran agama Kristen di pesisir Mediterania pada abad-abad awal
Masehi ataupun terlahir dari proses adopsi dan akulturasi budaya yang diinisiasi misionaris di Asia
dan Afrika (Henn, 1989: 417).

Praktik-praktik keagamaan yang hampir sebagian besar termaterialisasi dalam ritual-ritual


sampiran yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh umat awam inilah yang dikenali sebagai “devosi”.
Menurut Kinsley (dalam Eliade, 1987: 326), istilah devosi dapat diartikan sebagai semangat kasih
sayang, ketaatan, dedikasi, loyalitas, kesalehan, penghormatan, kesetiaan, rasa kagum, dan cinta
kepada beberapa objek seperti roh, dewa atau manusia yang dikuduskan. Devosi dapat pula
diartikan sebagai hasil refleksi teologis yang dipraktikkan, baik di dalam kerangka peribadatan
resmi maupun ritual sampiran yang dilaksanakan oleh umat secara swadaya, atau tidak bergantung
kepada sosok imam sebagai pemimpin ibadat.

Lazimnya, suatu praktik devosional dilaksanakan dengan mengaitkan kegiatan yang ada
dengan figur-figur suci atau orang-orang kudus. Orang-orang kudus adalah mereka yang
divenerasikan atau dihormati sebagai tauladan umat Katolik dalam kehidupan beragama. Sebagian
besar diantaranya diakui oleh Gereja Katolik dan diberi gelar “santo” dan “santa”. Gereja Katolik
sendiri mengakui dan menetapkan lebih dari seribu figur sebagai santo dan santa. Mereka tidak
disembah layaknya dewa dan dewi dalam paganisme, melainkan hanya dipandang sebagai sosok
perantara yang mampu menghantar doa-doa umat kepada Tuhan lantaran derajat kesucian yang
dianggap melekat pada diri santo-santa yang bersangkutan.

Tentunya, derajat penghormatan yang diberikan kepada santo-santa jelas tidak melebihi
Kristus itu sendiri. Hanya saja, kecenderungan umat untuk memperlakukan santo-santa sebagai
sesembahan yang mampu mengabulkan permintaan secara instan merupakan sesuatu yang
tampaknya sudah menjadi rahasia umum di kalangan penganut Katolik. Sejatinya, Gereja Katolik
mengenal tingkatan atau derajat penghormatan umat kepada entitas yang disucikan. Tinggi-
rendahnya derajat itu ditentukan berdasarkan bobot teologisnya. Menurut Santo Agustinus,
sebagaimana disadur oleh White (2013:391), terdapat dua bentuk servitus atau venerasi yang

68
dipraktikkan oleh umat beriman. Pertama, Latria atau pemujaan kepada Allah Tritunggal
Mahakudus selaku Tuhan menurut konsepsi agama Katolik. Kedua, Dulia atau penghormatan
umat kepada orang-orang kudus seperti santo, santa, malaikat, dan objek mitologis yang tercatat
dalam Kitab Suci maupun diyakini keberadaannya menurut Tradisi Gereja. Dulia juga mencakup
penghormatan terhadap benda-benda materiil seperti relik dan patung yang merepresentasikan
entitas kudus tersebut.

Lalu dimanakah posisi Maria? Sebagai perempuan yang mengandung dan melahirkan
Yesus Kristus, Maria mendapat derajat yang cukup istimewa. Penghormatan kepada Maria dikenal
dengan istilah hyperdulia. Singkatnya, Maria menempati derajat yang melampaui santo-santa
namun tidak sederajat atau lebih tinggi dibandingkan Kristus dan Allah itu sendiri. Penerimaan
Maria terhadap perintah Allah untuk mengandung dan melahirkan Yesus membuat derajat yang Ia
tempati begitu istimewa. Karena bagi sebagian teolog, tanpa penerimaan total itu maka Yesus tidak
lahir di dunia (Ott, 1954: 215).

Lantas, Kristiyanto (1987: 79) menerangkan bahwa meskipun devosi kepada Maria
bukanlah ibadat yang bersifat wajib karena hakikat kekhususannya yang tidak melebihi ibadat
yang ditujukan kepada Kristus, Gereja Katolik tetap memandang devosi kepada Maria sebagai
sarana penting untuk memupuk ketakwaan umat kepada Allah. Melalui devosi Maria, umat
diharapkan mampu meneladani contoh-contoh baik yang menyangkut kepatuhan Maria sebagai
hamba Allah. Bagi Gereja Katolik, kepatuhan Maria menjadi faktor penting yang membuatNya
pantas dihormati melalui devosi, bukan semata-mata karena kekuatan ghaib berbuah mukjizat
yang dipercaya melekat pada diri Maria (Pranataseputra, 2001: 8).

Gereja Katolik hanyalah satu diantara banyak denominasi atau Gereja Kristen lain yang
mempraktikan devosi kepada Maria. Denominasi lain yang penulis maksud misalnya mencakup
Gereja-Gereja Timur seperti Gereja Ortodoks ritus Byzantin atau Ortodoks Yunani (berbahasa
Yunani dan Church Slavonic. Contohnya Gereja Ortodoks Yunani dan Russia), ritus Syriac atau
Ortodoks Oriental (berbahasa Aramaik dan juga dikenal sebagai aliran Monophysit), Gereja
Koptik di Mesir, Gereja Ortodoks Tewahedo di Etiopia, serta Gereja Apostolik Armenia. Berbeda
dengan persepsi awam, sebagian Gereja Protestan masih mempertahankan devosi kepada Maria
meskipun tidak sebegitu intens jika dibandingkan Katolik dan Ortodoks. Diantara Gereja-gereja

69
Protestan tersebut adalah mencakup Gereja Inggris (atau juga dikenal sebagai Anglikanisme),
Methodist, Episkopal, serta beberapa Gereja Lutheran yang dianut mayoritas rakyat Jerman, Eropa
Utara (Nordik) dan kawasan Baltik. Sedangkan Gereja Protestan yang tidak mempraktikkan devosi
Maria diantaranya meliptui Kalvinisme, Presbyterian, Advent, Baptist, serta gerakan-gerakan
kebangkitan spiritual yang baru muncul belakangan yakni Evangelist (atau umum dikenal sebagai
kelompok Karismatik).

Sikap Gereja Protestan yang terbagi antara mempraktikkan devosi Maria secara terbatas
atau justru menolaknya dengan mentah-mentah tidak dapat dilepaskan dari perbedaan teologis
yang lahir pasca Reformasi Protestan di pertengahan abad ke-16. Gerakan pembaharuan agama
yang dimotori oleh seorang imam dan rahib dari ordo Agustinian bernama Martin Luther (1483-
1546) itu melahirkan suatu orientasi pembacaan Kitab Suci secara lebih tekstual. Salah satunya
tampak pada pengutamaan prinsip sola scriptura atau penyikapan terhadap Kitab Suci sebagai
sumber kebenaran utama yang tak terbantahkan bagi iman Kristiani (Maarten dalam Eric et.al.,
2017: 32). Dalam kacamata sola scriptura, Kitab Suci dengan segala nas atau petikan ayat di
dalamnya dapat dibuktikan kemurniannya melalui keunggulan teks yang terlihat secara jasmani
serta kesaksian pribadi Roh Kudus dalam hati setiap pembacanya. Dengan kata lain, umat awam
memiliki hak untuk menafsirkan petikan ayat demi ayat Kitab Suci secara tekstual sembari
mengembangkan kemampuan untuk memperkuat subjektivitas diri atas yang melandasi tafsir
tersebut. Hal itu membuat banyak praktik devosional yang bertahan dalam agama Katolik tidak
lagi dipraktikkan oleh penganut Protestan karena dipandang kurang memiliki referensi biblikal
yang kuat (solid biblical basis) (Potgeiter, 2020: 9).

Perbedaan yang cukup mendasar di ranah pengembangan doktrin-doktrin keagamaan


membuat Gereja Katolik tetap mempertahankan tradisi penghormatan atau devosi kepada Maria
dengan berbagai macam praktik devosional yang sudah jarang ditemukan di dalam Gereja
Protestan. Menurut Wuriusadani (2015: 30), praktik devosional di dalam Gereja Katolik terbagi
dalam devosi Gerejawi yang bersifat resmi dan devosi rakyat.

Adapun devosi Gerejawi resmi merupakan praktik devosional yang dilaksanakan dalam
kerangka liturgi atau ibadat resmi, baik yang diselenggarakan sebagai misa maupun ibadat sabda.
Biasanya, devosi Gerejawi resmi masuk dalam kalender liturgi sebagai hari raya atau peringatan

70
khusus bagi Maria serta santo-satnta tertentu. Maria sendiri dirayakan dalam beberapa peringatan
khusus seperti “pesta” St Perawan Maria Bunda Allah setiap 1 Januari, peringatan kelahiran
Perawan Maria setiap 8 September dan hari raya Maria Terkandung Tanpa Noda setiap 8
Desember (KWI, 1996).

Sedangkan devosi rakyat, atau juga dikenal sebagai “praktik kesalehan populer”,
merupakan bentuk penghormatan kepada Maria serta santo-santa tertentu melalui ritual-ritual yang
dilaksanakan secara mandiri. Devosi rakyat mengandalkan simbol-simbol dari kebudayaan serta
khazanah pengetahuan lokal setempat sebagai ekspresi keimanan kolektif (Groenen, 1988: 155).
Adapun devosi rakyat kepada Maria diantaranya meliputi pendarasan doa Salam Maria, Rosario,
Litani Santa Perawan, doa Angelus, Novena, dan lain sebagainya. Devosi rakyat juga kerap
dilaksanakan melalui pembentukan wadah-wadah kolektif berisikan pendoa seperti Legio Maria,
serta perjalanan spiritual atau ziarah (pilgrimage) ke Gua Maria (Wuriusadani, ibid.: 31-5).

Berbeda dengan devosi Gerejawi resmi, devosi rakyat memiliki karakteristik yang unik
sebab mengandalkan pengalaman spiritual umat sebagai fondasi dari praktik devosional yang
dilaksanakan secara rutin. Terkadang hal ini melibatkan pengalaman dan kisah-kisah yang berbau
spiritual-mistis-magis. Salah satu bentuk devosi rakyat kepada Maria yang mengandalkan
pengalaman semacam ini adalah kepercayaan terhadap penampakan Maria secara fisik atau
apparition. Sebagian umat Katolik mempercayai Maria masih melibatkan diri dengan
memperteguh iman melalui penampakan fisik sembari memberi pesan-pesan khusus yang mampu
dihubungkan dengan kegelisahan publik, terutama menyangkut situasi politik yang berdampak
pada eksistensi Gereja Katolik. Peristiwa penampakan Maria di kota Fatima dan Medjugorje
merupakan satu contoh mengenai keterlibatan Maria dalam urusan duniawi yang masih
dibicarakan hingga saat ini (Zimdars-Swartz dalam Stefano & Solans eds., 2016: 169; Bax dalam
Wolf, 1991: 29).

Ditinjau dari segi fungsinya, praktik devosional tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi
keimanan tetapi juga dapat menjadi sumber legitimasi bagi otoritas sekuler seperti negara maupun
sebagai simbol dari suatu gerakan politik. Menurut Boicu (2015: 102-120), devosi Maria pada
abad ke-5 menjadi instrumen bagi keluarga kekaisaran Byzantin dalam mengkonsolidasikan
kekuatan-kekuatan elite sekuler dan keagaman. Devosi kepada Maria juga dapat difungsikan

71
sebagai simbol yang turut memperkuat konstruksi identitas nasional, sebagaimana disampaikan
Halemba terkait devosi Maria di wilayah Transcarpathia Ukraina pasca aneksasi Krimea oleh
Russia di tahun 2014 (Stefano dan Solans, 2016: 201-221). Tidak hanya itu, devosi kepada Maria
juga dapat memperkuat legitimasi dari gerakan anti-kolonial. Hal ini tampak pada praktik
devosional di kota Guadalupe Meksiko. Devosi kepada Maria yang berawal dari kesaksian
penampakan Maria oleh petani keturunan Aztec itu berpusat pada sebuah lukisan yang menjadi
simbol dari nasionalisme Meksiko (L.B. Hall, 2016: 256; Stafford, 1995).

Berkat kolonialisme yang turut ditunggangi oleh agenda ekspansi agama Katolik, devosi
Maria mulai dikenal dan dipraktikkan oleh umat Katolik yang bermukim di wilayah kepulauan
Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Sejarah mencatat bahwa devosi
kepada Maria mulai dipraktikkan seturut dengan munculnya komunitas Katolik pertama di
Halmahera pada abad ke-16. Praktik devosional yang sarat dengan tradisi Katolik ala semenanjung
Iberia (Spanyol dan Portugal) itu masih dapat kita saksikan dalam perarakan patung Santa Maria
Reinha Rosari (Ratu Rosari) atau Tuan Ma di Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Devosi tersebut
mulai dipraktikkan sejak tahun 1510 dengan ritual perarakan menjelang Paskah yang diwariskan
oleh para penjelajah laut Portugis (Ahmad, 2019: 26). Di Jawa, praktik devosional yang barangkali
paling dikenal oleh khayalak ramai dapat disaksikan di Gua Maria Sendangsono, Yogyakarta.
Praktik devosional yang berpusat pada patung Maria ala Lourdes itu dimulai sejak pastor Van Lith
SJ mulai mengajar dan membaptis orang-orang Jawa di lereng pegunungan Menoreh. Dengan
bantuan penginjil lokal bernama Barnabas Sarikrama, Van Lith mengubah sebuah situs petirtan
peninggalan Hindu-Buddha menjadi jujukan peziarahan Katolik yang mengakomodasi tradisi dan
simbol-simbol Jawa (Beck, 2011: 244).

3.2. Mengindonesiakan Maria: tahap demi tahap

Meskipun agama Katolik sudah menghadirkan diri selama dua ratus tahun lebih di Indonesia,
devosi Maria tampaknya belum sepenuhnya terpusat pada objek-objek macam patung dan lukisan
berlanggam seni khas Indonesia. Setidaknya inilah yang muncul dalam pikiran para penggagas
devosi kepada Maria Bunda Segala Suku. Berikut penulis sertakan buah-buah pikiran dan latar
belakang dari munculnya pikiran tersebut yang disertai dengan penjelasan kronologis terkait upaya
mempertahankan Indonesianisasi melalui devosi kepada Maria Bunda Segala Suku.

72
3.2.1. Pengindonesiaan Maria sebagai pembuktian identitas seorang Gregorius Gomas

Gregorius Gomas Harun adalah pencetus ide visualisasi Maria menurut budaya Indonesia.
Pria yang akrab disapa dengan sebutan “Gomas” ini merupakan pengusaha dan konsultan di bidang
bahan-bahan bangunan. Ia juga terdaftar dalam catatan administrasi keuskupan sebagai umat
Katolik di paroki Kristoforus, Grogol, Jakarta Barat.

Meruntut latar belakang etnisnya, Gomas merupakan seorang keturunan Tionghoa. Ia lahir
dari pasangan suami-istri penutur dialek Hokkien di Kota Medan, Sumatera Utara. Nama “Gomas”
sendiri sejatinya bukanlah nama yang ia sandang sejak lahir. Nama itu merupakan alih bahasa dari
marga Tionghoa yang seharusnya ia sandang, yakni marga “Go/Goh” dalam dialek Hokkien atau
”Ng” dalam dialek Hakka. Pada pertengahan dekade 1960-an, keluarga besar Gomas memutuskan
untuk mengadopsi penamaan lokal bagi seluruh anggota keluarganya. Nampaknya, hal tersebut
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di era kepresidenan Soeharto yang mewajibkan orang-
orang Tionghoa melakukan pembauran total ke dalam apa yang dikonstruksi oleh negara sebagai
kebudayaan nasional (Suryadinata, 1988: 121). Gomas sendiri mengakui bahwa sejak saat itu ia
tidak begitu mengingat nama Tionghoanya secara lengkap. Ia lebih mengingat nama kedua
orangtua dan leluhur-leluhurnya yang tersimpan rapi dalam altar leluhur yang ia miliki di rumah.

Berdasarkan penuturan beliau, agama Katolik bukanlah keyakinan iman yang ia kenal
sejak kecil. Sebagaimana keluarga-keluarga Tionghoa lainnya, keluarga besar Gomas sejatinya
merupakan keluarga penganut Konfusianisme atau Khonghucu. Kakeknya merupakan salah satu
pemuka agama di sebuah rumah ibadah Tridharma di Kota Medan. Hanya saja, kedua orangtua
Gomas memutuskan untuk memeluk Protestanisme. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1973,
pemerintahan Soeharto mulai memperdebatkan posisi Khonghucu sebagai agama dengan
menghapus direktorat agama Konghucu dari Kementerian Agama. Nasib Khonghucu sebagai
agama resmi di era Soeharto semakin memburuk setelah pemerintah menurunkan statusnya
menjadi aliran kepercayaan (sekte) pada tahun 1979 dan mengeluarkan kebijakan yang
mewajibkan para penganut Konghucu untuk mengadopsi salah satu agama yang diakui oleh negara
sebagai identitas agama dalam KTP mereka (Sutrisno, 2018: 100-3). Sebelum bergabung ke dalam
Gereja Katolik, Gomas merupakan seorang penganut Protestan yang terdaftar sebagai jemaat di
Gereja Kristen Indonesia (GKI). Pada Januari 1998, Gomas dibaptis secara resmi ke dalam Gereja

73
Katolik di paroki dimana ia tinggal sekarang. Ia menuturkan bahwa alasan utama untuk memeluk
agama Katolik dikarenakan rencana pernikahannya dengan istrinya yang sudah menjadi Katolik
sejak kecil.

Meskipun demikian, Gomas mengakui bahwa ia telah mengenal beberapa aspek penting
dalam ajaran agama Katolik berkat kecintaannya pada seni lukis. Ketertarikannya pada seni lukis
tumbuh sejak Gomas menempuh studi manajemen di sebuah universitas swasta di Jakarta Barat.
Kebutuhan hidup Gomas sebagai mahasiswa turut ditopang dengan mereproduksi lukisan-lukisan
karya seniman lukis Eropa di masa Renaissance, yang didapatkan melalui CD digitalisasi karya
lukis dari bibinya di Amerika Serikat, dan menjualnya kepada koleganya sesama penikmat seni
turut menunjang kebutuhan hidup. Sebagian besar di antara lukisan hasil repro Gomas merupakan
karya seniman besar Eropa seperti Bellini, Fra Angelico, Michaelangelo, dan Raphael, yang
menggambarkan kisah Injil maupun figur Maria dalam agama Katolik. Melalui kegemarannya
terhadap seni lukis, Gomas mulai mengenal dan tertarik untuk mempelajari agama Katolik,
terlebih ajaran Gereja mengenai Maria.

Wisata spiritual dengan mengunjungi situs-situs peziarahan Maria menjadi awal dari
rencana besar Gomas untuk mencari figur Maria versi Indonesia. Perjalanan ziarah mulai
dilakukan Gomas setelah menikah dan mulai membangun bisnisnya dalam bidang bahan-bahan
bangunan. Kepada penulis, Gomas menceritakan tentang visi yang didapatkan dalam kunjungan
ziarah pada tahun 2011 yang lalu di situs peziarahan Maria di kota Lourdes, Prancis. Salah satu
ritual unik yang dilakukan peziarah di Lourdes adalah melakukan pembersihan diri dalam sebuah
kolam yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual tertentu. Gomas pun turut melakukan ritual
tersebut sembari memanjatkan doa-doa permohonan di hadapan patung Maria dan salib yang
tergantung di dinding ruang pemandian. Suasana haru yang tidak dapat dibendung membuat
Gomas menangis sejadi-jadinya sampai salah satu petugas berupaya menenangkan dirinya dengan
menyuruh Gomas menyelesaikan ritual mandinya. Karena didorong oleh rasa penasaran terhadap
pengalaman tersebut, Gomas dan keluarga kembali mendatangi Lourdes pada tahun 2011. Menurut
Gomas, kunjungan kedua ke Lourdes itu membuatnya paham bahwa pengalaman spiritual yang
didapat setahun sebelumnya merupakan perintah untuk kembali ke Indonesia dan mencari
visualisasi Maria menurut budaya Indonesia.

74
Apabila dicermati secara mendalam, “wangsit” yang diterima Gomas sebenarnya lebih
merupakan refleksi terhadap kurangnya unsur keindonesiaan praktik devosi dalam tradisi
beragama umat Katolik di Indonesia. Beliau sendiri mengakui mempunyai kekecewaan pribadi
terhadap sebagian umat Katolik di Indonesia yang diketahui belum pernah menghasilkan sebuah
representasi visual dari figur Maria yang mampu mewakili keindonesiaan secara menyeluruh.

“Pada tahun 2011 saya berpikir, Indonesia ini agak miris. Mirisnya
kenapa, kita boleh bilang Indonesia begitu luas, begitu nusantara, tapi
sehari-hari kalo kita berdevosi, kita berdoa, selalu ada media. Media yang
kita pakai itu biasanya kalo gak lukisan patung. Itu kalo gak maria versi
Lourdes, Maria versi Fatima, dan pada umumnya seperti itu. Jadi kepikiran
sama saya, kenapa sih gak ada bunda Maria versi Indonesia?” ujar Gomas
(Wawancara Gomas, 15 Januari 2021).

Kekecewaan Gomas terhadap absennya representasi visual dari figur Maria versi Indonesia
secara keseluruhan menggerakan dirinya untuk segera mencari representasi visual sebagaimana
yang telah diharapkan. Ia pun mulai mengandalkan segala sumber daya yang dimiliki. Adapun
Gomas memiliki profesi sebagai pengusaha dan konsultan di bidang bahan-bahan bangunan yang
membuatnya menjalin relasi yang luas dengan banyak arsitek muda di berbagai kota di Jawa dan
luar Jawa. Bersama dengan kolega-koleganya, Gomas merancang sayembara untuk mahasiswa
arsitektur dan desain interior dengan nama Arbbi22 Design Award yang telah dimulai sejak tahun
2009 dan mendapatkan pengakuan dari IAI23. Pengalaman tersebut menginspirasi Gomas untuk
memilih format sayembara sebagai cara terbaik untuk mencari representasi visual dari figur Maria
versi Indonesia (Wawancara Gomas, 15 Januari 2021).

Setelah selesai menyusun konsep penyelenggaraan sayembara untuk mencari representasi


visual dari figur Maria versi Indonesia, Gomas mulai berkelana mencari dukungan terhadap
konsep yang beliau susun dari kalangan umat dan pastor Katolik. Kepada penulis, Gomas
menuturkan bahwa di awal beliau begitu yakin bahwa tawaran konsep yang telah disusun akan
mendapatkan reaksi positif dari kolega-kolega sesama aktivis paroki dan pastor-pastor. Pada
pertengahan tahun 2011, tepatnya pada bulan Juni, Gomas mulai menawarkan konsepnya itu.
Hanya saja, Gomas tidak menduga bahwa konsep sayembara yang ditawarkan mendapatkan
penolakan keras dari kolega-kolega sesama umat awam maupun pastor yang telah beliau hubungi.

22
ARRBI merupakan singkatan dari Asosiasi Retail Bahan Bangunan Indonesia
23
IAI merupakan singkatan dari Ikatan Arsitek Indonesia

75
Beliau sendiri tidak merinci berapa jumlah orang yang menolak tawaran konsepnya itu. Beliau
hanya mengilustrasikan penolakan tersebut dengan berseloroh “coba bayangin, saya ketemu 10
orang, ditolak 11 orang!”. Gomas hanya memberikan perkiraan tentang latar belakang dari siapa
saja yang menolak tawaran konsepnya itu. Mereka yang menolak diantaranya merupakan birokrat,
pengusaha, karyawan swasta, serta kaum religius (biarawan dan biarawati) yang beliau kenal dari
berbagai kegiatan yang terselenggara di paroki Kristoforus Grogol. Penolakan juga datang dari
pastor kepala Paroki Kristoforus Grogol. Gomas juga menuturkan bahwa sang pastor
mempertanyakan maksud, tujuan, dan kepentingan dibalik tawaran konsepnya itu. Sang pastor
juga menekankan kepada Gomas bahwa upaya mencari representasi visual dari figur Maria versi
Indonesia merupakan langkah yang sulit, sebab Gomas merupakan umat awam dan permasalahan
terkait tradisi beragama di dalam Gereja Katolik adalah tanggungjawab dari para uskup dan pastor
selaku pakar dalam bidang keagamaan (Wawancara Gomas, 15 Januari 2021).

Terlepas dari kesaksian Gomas mengenai siapa dan alasan di balik penolakan banyak pihak
terhadap visi dan tawaran konsep yang tentu saja membutuhkan klarifikasi lebih lanjut24, besarnya
tekad Gomas dalam melakukan pencarian terhadap representasi visual dari figur Maria versi
Indonesia dapat dipandang sebagai upayanya dalam menegaskan identitas diri sebagai bagian dari
Indonesia. Pengalamannya sebagai orang Tionghoa yang hidup dalam situasi dimana rezim
Soeharto memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap ekspresi budaya Tionghoa sekaligus
mengekslusikan etnis Tionghoa dari wacana besar mengenai budaya nasional barangkali
mempengaruhi formasi pikiran Gomas untuk menampilkan sisi keindonesiaan dirinya sehingga ia
begitu berupaya mewujudkan visinya tentang figur Maria versi Indonesia.

3.2.2. “Bangsa mendahului dan di atas agama”: Formasi pikiran Putut Prabantoro sebagai
Konseptor dari tajuk Maria Bunda Segala Suku

Penolakan yang diterima Gomas sempat berimbas pada kepercayaan dirinya terhadap visi
dan konsep sayembara pencarian figur Maria yang ia ajukan. Kepada penulis, Gomas mengakui

24
Sebenarnya penulis telah berusaha menghubungi pihak‐pihak terkait melalui beberapa kawan yang aktif di
sebuah komunitas rohani Katolik dalam wilayah administrasi paroki Grogol. Hanya saja, pihak paroki tidak
memberikan tanggapan sama sekali terhadap upaya komunikasi yang dilakukan oleh penulis. Bagi penulis, hal
tersebut patut dimaklumi sebab perbincangan mengenai Maria Bunda Segala Suku sangatlah sensitif bagi sebagian
pihak.

76
bahwa dirinya sempat menganggap Maria Bunda Segala Suku sebagai impian pribadi seorang
penikmat seni yang terlampau tinggi. Selama kurun waktu dua tahun, tepatnya dari tahun 2011
hingga 2013, beliau tidak mendiskusikan pandangannya mengenai devosi Maria secara terbuka.
Gomas hanya mendiskusikan pandangannya dengan beberapa kawan dekatnnya. Salah satu kawan
dekat Gomas bernama Hanafi lah yang memperkenalkan Gomas kepada Putut Prabantoro, sosok
penting yang mengusulkan nama “Maria Bunda Segala Suku” sebagai tajuk sayembara sekaligus
nama dari figur Maria versi Indonesia.

Putut Prabantoro sendiri dapat dipandang sebagai “peniup roh” atau konseptor dari tajuk
Maria Bunda Segala Suku. Putut Prabantoro merupakan figur yang meyakinkan Gomas untuk
melakukan framing terhadap ide pencarian representasi visual dari figur Maria versi Indonesia
sebagai pencarian terhadap figur Maria sebagai bunda pelindung segala suku di Indonesia.
Menurut hemat penulis, kehadiran Putut menjadi penting sebab beliau berperan sebagai konseptor
yang menerjemahkan dan mentransformasikan ide Gomas menjadi lebih politis dengan
menjadikan fokus utama sayembara sebagai pencarian representasi visual dari figur Maria yang
mewakili persatuan dan keragaman Indonesia.

Sehari-hari, Putut berprofesi sebagai jurnalis lepas yang menggeluti isu pertahanan dan
keamanan. Beliau sendiri merupakan alumni Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) dari
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan sekarang menjabat sebagai tenaga profesional
bidang ideologi dan sosial budaya di lembaga tersebut. Dalam bidang keorganisasian, Putut
merupakan pendiri dan aktif dalam Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) serta
menjabat sebagai Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) yang
bergerak dalam bidang sosial-politik (Beritasatu.com, 21 Februari 2018).

Berbekal nomor Whataspp dari Gomas, penulis berhasil menghubungi Putut dan
memintanya untuk bersedia mengadakan pertemuan tatap muka dengan penulis pada 13 Februari
2021 yang lalu. Kesan ramah dan supel amat terpancar dari kepribadian seorang Putut Prabantoro.
Berbeda dengan Gomas yang secara gamblang mempertanyakan maksud dan tujuan penulis, Putut
memperlihatkan antusiasme yang tinggi dengan langsung menghantarkan obrolan kepada topik
pembicaraan yang sebelumnya telah dilontarkan penulis. Dengan segera, Putut mempersilahkan

77
penulis duduk dan mulai membabarkan ingatannya mengenai Maria Bunda Segala Suku dengan
lantang dan penuh senda gurau serta dibarengi asap rokok kretek yang mengepul dari mulutnya.

Dalam penuturannya kepada penulis, Putut mengaku bahwa pertemuannya dengan Gomas
diawali oleh seorang kawan yang menyampaikan tentang adanya rencana penyelenggaraan
sayembara dalam rangka mencari representasi visual dari figur Maria versi Indonesia serta
berinisiatif untuk mempertemukan Putut dengan inisiator dari sayembara tersebut. Putut juga
mengakui bahwa setelah pertemuannya dengan Gomas, beliau merasa banyak memiliki kesamaan
opini dalam menanggapi isu keagamaan, budaya dan kebangsaan, serta bagaiman relasi ketiga hal
tersebut patut dihayati kembali oleh umat Katolik melalui representasi visual dari figur Maria
menurut selera budaya Indonesia. Tatkala diskusi di antara mereka sampai kepada topik
pembicaraan seputar tajuk atau tema yang sekiranya mampu mewakili konsep sayembara yang
diajukan Gomas, Putut langsung berinisiatif untuk mengajukan nama “Maria Bunda Segala Suku”
sebagai tajuk yang mampu mewakili ide pencarian representasi visual dari figur Maria versi
Indonesia (Wawancara Putut, 13 Februari 2021).

Usulan Putut sendiri tidak berasal secara spontan. Menurut penuturan Putut, tajuk atau
tema “Maria Bunda Segala Suku” telah dipikirkannya sejak lama. Pada tahun 2010, Putut bersama
beberapa kawan-kawan lintas iman menginisiasi sebuah peringatan Sumpah Pemuda dalam format
forum kebangsaan bertajuk “Maria Bunda Segala Suku”. Awalnya forum kebangsaan tersebut
direncanakan untuk terselenggara pada 28 Oktober 2010 dengan situs peziarahan Maria di
Sendangsono Yogyakarta sebagai lokasi penyelenggaraan acara. Hanya saja, aktivitas vulkanik
Gunung Merapi saat itu membuat Putut selaku ketua panitia membatalkan seluruh rangkaian acara
forum kebangsaan tersebut (Beritasatu.com, 31 Mei 2018).

Menurut Putut, tajuk “Maria Bunda Segala Suku” dirasa sesuai dengan representasi visual
dari figur Maria yang hendak dicari oleh Gomas dan kawan-kawan lainnya. Putut juga
menganggap bahwa tema tersebut sangatlah relevan dengan ajaran agama Katolik mengenai cinta
tanah air, sebagaimana ditelurkan oleh Mgr Soegijapranata S.J., uskup pribumi pertama di
Indonesia dalam slogan “100% Katolik, 100% Indonesia”. Melalui pesan tersirat dalam nama
“Maria Bunda Segala Suku”, Putut berharap agar umat Katolik di Indonesia tidak hanya dapat
berdoa atau berdevosi kepada figur Maria yang sangat khas Indonesia, tetapi juga mengamalkan

78
kecintaan mereka terhadap tanah air melalui keimanan dalam naungan agama Katolik yang
menubuh dalam praktik-praktik devosi kepada figur Maria (Wawancara Putut, 13 Februari 2021).

Kepada penulis, Putut berupaya mengilustrasikan pandangannya itu dengan mengajukan


pertanyaan retoris mengenai pilihan-pilihan yang sepatutnya mendasari langkah politik dari
seorang warganegara Indonesia beragama Katolik. Beliau bertanya kepada penulis tentang
identitas diri sebagai penganut Katolik dan identitas etnis sebagai seorang keturunan Jawa dan
mana diantaranya yang patut didahulukan. Rupanya penulis telah jatuh dalam asumsi dan
prasangka yang keliru. Ketika penulis berusaha menjawab dengan menyatakan bahwa identitas
keagamaan seharusnya jauh lebih didahulukan ketimbang identitas etnis, Putut justru
mempertanyakan kembali jawaban penulis dengan berujar “lha kok gitu, kok agama dulu?”. Beliau
lalu melanjutkan dengan mempertanyakan jawaban penulis sembari menerangkan tentang
mengapa harus mendahulukan agama daripada etnis sedangkan manusia sendiri lahir tanpa bisa
memilih siapa orang tua dan dimana ia dilahirkan (Wawancara Putut, 13 Februari 2021).

Melihat wajah penulis yang terlihat tidak yakin dengan argumen Putut, beliau lantas
menerangkan makna yang berada di balik pertanyaan retoris tersebut. Hal tersebut ia terangkan
dengan menceritakan pengalamannya sebagai putera Jawa kelahiran Palembang, profesi sang
ayahnya sebagai pegawai perusahaan minyak yang membuat dirinya harus berulangkali pindah
domisili seturut tugas dinas orangtuanya, dan ketidaksepakatannya terhadap orientasi politik dari
para pastor pembimbing tatkala dirinya menempuh pendidikan di seminari menengah. Lantas, ia
menekankan bahwa pengalaman-pengalamannya tersebut merupakan dasar dari sikap politiknya
yang menyakini bahwa terlepas dari agama yang ia yakini, kesadaran sebagai bagian dari keluarga,
etnis, dan bangsa Indonesia secara lebih luas, menjadi landasan utama dalam laku hidup khususnya
laku politik yang ia jalani.

“Jadi kalau mau dilihat, struktur bangunan kita sebagai manusia, dalam
diri manusia itu kan tidak sekedar bapakku sopo ibuku sopo, njuk wis,
nggak! Kita tuh dilahirkan dimana, kan kita gak bisa minta. Ya kita
dikasih. Bapakku Yogya, ibuku Solo dengan latar belakang masing-
masing, nikah di Lampung, aku lahir Palembang. Minum air pertama kali
ya pasti air Sumatera. Jadi kowe (orang lain) arep ngomong opo.
Perjalanan hidup itu saya gak pernah gak pindah-pindah. Sehingga bagi
saya, kita harus kembali ke jati diri. Pada permulaan meskipun agamanya
Katolik atau bukan itu gak penting. Tapi kita sebagai bayi yang dikandung
itu haruslah berpikir, sakdurunge aku ki sopo! Dengan pengalaman dan

79
prinsip itu, saya dapat mengenal Indonesia lebih daripada yang lain. Dan
itu pertama filosofi yang sebaiknya kita pegang” (Wawancara Putut
Prabantoro, 13 Februari 2021).

Sepanjang waktu wawancara, poin mengenai “100% Katolik 100% Indonesia”,


nasionalisme, dan keterlibatan Gereja Katolik dalam ranah politik terus dilontarkan Putut tatkala
menjawab pertanyaan penulis mengenai alasan utama dibalik keterlibatan beliau dalam sayembara
“Maria Bunda Segala Suku”. Putut bahkan bertanya kepada penulis tentang hal apa yang
mewajibkan umat Katolik untuk berpolitik. Bagi Putut, penulis harus mempertanggungjawabkan
kedudukan penulis sebagai penganut Katolik yang mempelajari disiplin ilmun politik dengan
menjawab pertanyaan yang diajukan itu. Dan lagi-lagi, Putut merasa kurang puas dengan jawaban
yang diberikan, dengan mengatakan bahwa jawaban penulis “terlalu teoritis”.

Putut kemudian mulai menjabarkan alasan-alasan yang mendasari keterlibatan dirinya


dalam penyelenggaraan sayembara “Maria Bunda Segala Suku”. Beliau memulainya dengan
berargumen mengenai dua dasar hukum yang mewajibkan keterlibatan umat Katolik dalam politik
baik secara formal ataupun informal. Menurutnya, dua dasar hukum yang bersumber dari Kitab
Suci dan Tradisi itu adalah petikan kalimat “…yang menderita pada zaman Pontius Pilatus”
sebagaimana tercantum dalam Kredo atau Syahadat Pengakuan Iman, serta nas Injil mengenai
orang Samaria penolong seorang musafir dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Yerikho.

Bagi Putut, kedua poin diatas sebenarnya mengandung makna tentang kedudukan orang
Katolik di hadapan negara dan struktur kekuasaan, serta spritit semacam apa yang harus mendasari
keterlibatan orang Katolik di tengah-tengah masyarakat. Petikan kalimat dalam Kredo atau
Syahadat Pengakuan Iman yang dimaksud Putut berasal dari salah satu nas Injil mengenai
peristiwa pengadilan Yesus oleh Pontius Pilatus. Dalam nas tersebut dikisahkan tentang
enggannya Pontius Pilatus dalam memutuskan vonis hukuman mati disalib terhadap Yesus
Kristus. Putut berargumen bahwa peristiwa tersebut perlu dipahami sebagai analogi mengenai
situasi ketidakadilan yang menimpa rakyat apabila negara dikelola oleh penguasa yang tidak
bertanggungjawab. Poin kedua yang dijabarkan Putut adalah mengenai kisah orang Samaria. Kisah
mengenai orang Samaria sendiri tercantum dalam Lukas 10 ayat 31-35. Kisah orang Samaria
sendiri dapat dimaknai sebagai ajaran tentang belas kasih sebagai metode berpolitik umat Katolik.
Selanjutnya, Putut menekankan bahwa dua hal di atas merupakan dasar pedoman bagi umat
80
Katolik agar senantiasa memiliki kesadaran berpolitik sebagai dimensi aksiologis yang harus
diamalkan oleh siapapun yang mempelajari agama Katolik. Terlepas dari apakah melalui jalan
politik praktis atau tidak, Putut tidak mempermasalahkan itu. Hanya saja, ia menekankan bahwa
keterlibatan politis umat Katolik sebaiknya diperlihatkan dalam konteks kebangsaan, tanpa
membawa panji-panji agama secara khusus.

“Hal yang paling penting itu apa? Satu, agama itu urusan pribadi, Lalu
kedua, makna agama itu dalam hidup sesama. Itu sing paling penting.
Kebaikan dan apapun itu, tapi nek awakdewe ora melakukan sesuatu sing
koyok kuwi, engko nek dadi saksi “aku ra ngerti og”. Cuci tangan, kayak
gitu. Lalu kredonya ilang, sebenarnya. Itu sebenarnya yang harus
diperhatikan dengan baik.
Menurut saya, kita (umat Katolik) harus bergerak melalui dua pilihan.
Menjadi garam atau menjadi terang. Itu bukan soal bagaimana kita
mempengaruhi, tetapi jalan apa yang harus kita pengaruhi. Kalau dia
sebagai cahaya atau terang, yo kuwi kudu kethok. Disikat yo rapopo, ditiup,
mati, yo urup meneh. Tetapi kalau sebagai garam, kowe kudu ra kethok.
Kowe larut. Lha kowe arep milih sing ndi ? Esensinya itu kalau saya
melihat. Jadi bukan masalah kamu atau kita harus jadi apa. Itu merupakan
jalan yang harus dipilih oleh orang Katolik” (Wawancara Putut
Prabantoro, 13 Februari 2021).

Pemaparan Putut dapat dipahami melalui analisis Rita Smith-Kipp yang mengemukakan
tentang kecenderungan elite politik Indonesia beragama Kristen dan Katolik dalam mengkerangkai
agenda politisnya melalui wacana-wacana nasionalistik ketimbang identitas keagamaan. Adopsi
wacana nasionalistik sebagai dasar dari agenda politik kelompok Kristiani sendiri dipengaruhi oleh
memori kolektif terhadap stigmatisasi penganut Kristen sebagai penganut agama penjajah dan
rasisme dalam relasi dengan misionaris Eropa yang keduanya mendorong elite Kristen dan Katolik
untuk menunjukkan solidaritas mereka terhadap agenda pergerakan nasional dengan memudarkan
identitas keagamaan mereka dalam konteks sosial-politik (Tjahjadi, 2018; Boelaars, 2005; Kipp,
2000; Ngelow, 1994).

Tampaknya, prinsip “bangsa mendahului dan di atas agama” menjadi bagian dari teknologi
diri bagi Putut selaku umat Katolik sekaligus warganegara Indonesia. Sepanjang perbincangan
dengan penulis, Putut berulangkali memberi komentar terkait kericuhan dalam Pilkada DKI yang
terjadi pada 2016 yang lalu. Bagi Putut, prinsip “mendahului dan di atas agama” yang ditekankan
berulangkali dengan menyoroti kedudukan agama sebagai masalah personal dan peran aktif umat
Katolik dalam hidup bermasyarakat, menjadi semakin relevan dengan situasi masyarakat yang

81
terjadi berbarengan dengan proses pencarian figur Maria Bunda Segala Suku. Nama “Maria Bunda
Segala Suku” menjadi pilihan Putut, karena selain nama itu merupakan tajuk dari sebuah acara
yang gagal ia wujudkan, “Bunda Segala Suku” dipandang mampu mewakili pandangan
ideologisnya mengenai masyarakat Indonesia yang penuh kemajemukan tetapi bersatu.

3.2.3. “Hanya orang mati yang bisa menolong”: Tantangan dan resistensi terhadap
sayembara pencarian representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku

Bersama Putut Prabantoro, Gomas mulai mencoba menemui Uskup Agung Jakarta dalam
rangka menyampaikan rencana penyelenggaraan sayembara Maria Bunda Segala Suku yang
konsepnya telah ia rancang sebelumnya. Pertemuan Gomas dengan uskup dilakukan pada April
2015. Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Bandara Soekarno Hatta itu, Uskup Suharyo
menyatakan persetujuan personal terhadap rencana sayembara “Maria Bunda Segala Suku”. Hanya
saja, pada waktu itu Uskup Suharyo belum berkenan untuk menjadikan sayembara Maria Bunda
Segala Suku sebagai agenda keuskupan. Uskup Suharyo beralasan bahwa urusan semacam itu
harus dikomunikasikan terlebih dahulu kepada para uskup, tepatnya dalam Sidang Agung Gereja
Katolik Indonesia (SAGKI) yang akan diselenggarakan pada 14 November 2015 di Jakarta.

Dalam penuturannya kepada penulis, Gomas mengakui bahwa jawaban Uskup Suharyo
saat itu cukup mengecewakan. Beliau merasa tidak sabar untuk segera menghubungi rekan-
rekannya untuk menyiapkan rencana sayembara. Selain itu, Gomas khawatir apabila rencana
tersebut dapat gagal karena harus menunggu persetujuan selama tujuh bulan. Maka tidak ada cara
yang tepat selain menghubungi beberapa tokoh Gereja lain yang dituakan dan mampu meyakinkan
Uskup Suharyo agar segera merealisasikan sayembara “Maria Bunda Segala Suku”.

Atas saran Putut, Gomas dengan segera menghubungi dua tokoh Gereja dari kalangan
hierarki yang dipandang mampu mendorong Uskup Suharyo agar segera merealisasikan
penyelenggaraan sayembara “Maria Bunda Segala Suku”. Dua tokoh tersebut merupakan Uskup
Agung Semarang periode 2010-2015, Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta (1949-2015),
dan Uskup Agung Jakarta periode 1996-2010, Julius Kardinal Darmaatmadja, S.J. Kedua uskup
tersebut merupakan kolega sekaligus senior dari Uskup Agung Jakarta petahana. Ketiganya
bahkan sama-sama pernah menduduki jabatan sebagai Uskup Agung Semarang. Gayung pun

82
bersambut. Baik Mgr Pujasumarta dan Kardinal Darmaatmadja menyatakan dukungan dan
memberi restu terhadap rencana penyelenggaraan Sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung
“Maria Bunda Segala Suku” sekaligus bersedia melobi Kardinal Suharyo agar berkenan
merealisasikan Sayembara tersebut (Wawancara Putut, 13 Februari 2021).

Menurut Gomas, pertemuan dengan Mgr Pujasumarta dan Kardinal Darmaatmadja dapat
terlaksana berkat prakarsa dua tokoh awam, Antonius Sujata dan Christina Maria Rantetana, yang
sama-sama dipercaya sebagai penasihat dalam awal penyelenggaraan sayembara. Kedua tokoh
awam tersebut dipandang oleh Gomas dan Putut sebagai sesepuh yang mampu melakukan
negosiasi terhadap beberapa kalangan elite internal Gereja Katolik berkat pengalaman mereka
dalam dunia professional. Antonius Sujata merupakan Ketua Ombudsman RI periode 2000-2010.
Pak Anton Sujata, sebagaimana akrab disapa demikian, sangat dihormati oleh Gomas dan Putut
berkat perannya di dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi di era pemerintahan Soeharto.
Gomas sendiri mengklaim bahwa pak Anton Sujata, yang dahulu menjabat sebagai Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), merupakan sosok guru hukum yang telah lama ia kenal
baik. Dalam penuturannya kepada penulis, Gomas mendaku bahwa pak Anton Sujata sangat
konsisten dalam mendukung ide pencarian figur Maria versi Indonesia. Tokoh awam kedua yang
begitu dihormati oleh baik Gomas dan Putut adalah Christina Maria Rantetana (1955-2016). Beliau
yang akrab disapa dengan panggilan “ibu laksamana” merupakan seorang Laksamana Muda di
TNI Angkatan Laut yang aktif dalam Paguyuban Devosi Maria Jakarta, perkumpulan para pelaku
devosi Maria se-Keuskupan Agung Jakarta. Menurut Gomas, ibu Christina diminta agar mau
menduduki jabatan sebagai ketua umum panitia karena beliau merupakan figur perempuan dengan
nama tengah Maria yang punya sepak terjang dalam dunia militer dan keagamaan (Wawancara
Gomas, 9 Januari 2021).

Setelah mendapatkan restu dari Mgr Johannes Pujasumarta dan Julius Kardinal
Darmaatmadja, S.J., panitia kecil sayembara “Maria Bunda Segala Suku” yang diketuai oleh ibu
Christina segera kembali menghadap Uskup Agung Jakarta untuk memperbincangkan rencana
penyelenggaraan sayembara. Dalam kesempatan tersebut, Uskup Agung Jakarta menunjuk R.D.
Harry Sulistyo sebagai pastor pendamping panitia sekaligus bertuga mengawasi jalannya
sayembara. Pastor yang akrab disapa sebagai “Romo Harry” ini merupakan Ketua Komisi
Komunikasi Sosial (Komsos) tingkat keuskupan yang bertugas dalam mengkoordinir pemanfaatan

83
teknologi komunikasi dan media massa untuk sosialisasi ajaran agama dan program-program
keuskupan. Dalam penuturannya kepada penulis, Sulistyo mengungkapkan bahwa persetujuannya
dalam menggabungkan diri ke dalam kepanitian merupakan bagian dari kewajibannya sebagai
seorang imam Katolik. Dengan memberikan dukungan kepada pelaksanaan sayembara pencarian
figur Maria Bunda Segala Suku, Sulistyo mengganggap dirinya telah berkontribusi bagi proses
inkulturasi dalam Gereja Katolik (Wawancara Sulistyo, 12 Februari 2021).

Setelah persiapan yang tidak begitu lama, Sayembara Cipta Rupa Karya Lukis dan Patung
“Maria Bunda Segala Suku” secara resmi dibuka pada tanggal 30 Mei 2015 dan diluncurkan di
Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Bantul, DIY. Dalam kesempatan peluncuran sayembara itu
panitia secara khusus mengundang beberapa tokoh nasional lintas agama yang antara lain meliputi
Banthe Brapadaru sebagai perwakilan umat Buddha, Wayan Sumerta selaku perwakilan Hindu,
Pendeta Fu Kwet Khiong selaku perwakilan Protestan, Sr Gemma, OP selaku perwakilan biarawati
Katolik, R.D. Bernardus Saryanto selaku Vikaris Episkopal DIY, Dr Kardi Laksono selaku
akademisi dari ISI Yogyakarta, serta R.D. Agus Ulahayanan selaku sekretaris Komisi Hubungan
antara Agama dan Kepercayaan (HAK) KWI (Suara Merdeka, 1 Juni 2015). Kepada penulis,
Gomas menuturkan bahwa alasan pemilihan Ganjuran sebagai lokasi pembukaan sayembara
didasarkan pada fakta bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu titik awal pengadopsian budaya
lokal dalam agenda missie Katolik di Indonesia (Wawancara Gomas, 21 April 2021).

Pada pelaksanaannya, sayembara Cipta Rupa Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda
Segala Suku banyak menemui hambatan. Menurut rencana, sayembara tersebut akan ditutup pada
21 Mei 2016 dan dilanjutkan dengan pameran karya peserta dalam sebuah acara apresiasi seni.
Hanya saja menjelang tenggat waktu pengumpulan karya pada 28 Februari 2016 tidak satupun
karya peserta sayembara yang masuk dalam daftar yang telah disiapkan. Target Gomas terkait
dengan 100 karya yang masuk rupanya tidak realistis. Maka dari itu, atas saran dan pertimbangan
Uskup Agung Jakarta, panitia memutuskan untuk memundurkan tenggat waktu pengumpulan
karya menjadi setahun, tepatnya pada 21 Mei 2017 (Hidup Katolik, 31 Mei 2018).

Menurut Gomas (2021), mundurnya tenggang waktu penutupan sayembara disebabkan


oleh persebaran informasi yang tidak merata. Beliau juga menyalahkan budaya organisasi dalam
Gereja Katolik yang kurang transparan. “Keuskupan-keuskupan kita informasinya gak netes.

84
Bukannya saya menyalahkan, tapi itu salah satu faktor yang membuat pesertanya gak terlalu
banyak. Kita tau lah, Gereja Katolik ini sedikit tertutup”, ungkap Gomas (Wawancara pribadi 21
April 2021). Salah satu perwakilan panitia yang tidak ingin disebutkan namanya mengkonfirmasi
hal tersebut. Menurutnya, beberapa anggota panitia bahkan sampai harus mendatangi paroki-
paroki dan memintakan tolong kepada petugas paroki setempat agar membacakan pengumuman
sayembara dalam kesempatan misa. Hanya saja, tidak setiap paroki menunjukkan antusiasme
terhadap penyelenggaraan sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung Maria Bunda Segala Suku.
Selain itu, anggota panitia tersebut juga berpendapat bahwa keberadaan figur-figur penting dalam
struktur kepanitiaan tidak membawa dampak yang signifikan. Figur-figur penting tersebut
seringkali tidak begitu dikenal oleh pejabat keuskupan dan petugas paroki di daerah-daerah di luar
Keuskupan Agung Jakarta. Rasa segan panitia untuk menjadikan figur-figur panitia sebagai
pembuka jalan informasi juga menjadi penyebab dari mundurnya tenggang waktu penutupan
sayembara (Wawancara pribadi, 23 April 2021).

R.D. Harry Sulistyo selaku pendamping kepanitiaan dari pihak keuskupan juga turut
berpendapat perihal sebab-sebab dari keterlambatan tenggang waktu sayembara. Menurut
Sulistyo, struktur organisasi yang hierarki dan alur komando yang tegas dalam Gereja Katolik
memiliki kelemahan dari sisi transparansi dan komunikasi. Selain itu, Sulistyo juga mengakui
bahwa di tiap-tiap keuskupan dan paroki terdapat semacam “rezim lokal” seperti tarekat, ordo,
spiritualitas, komposisi etnik dan bahasa umat, serta preferensi elite setempat, cukup
mempengaruhi pola kebijakan dari masing-masing lembaga. Sulistyo lantas menegaskan bahwa
pihak Keuskupan tidak bisa serta merta memerintahkan paroki atau keuskupan lain untuk proaktif
dalam mencari informasi dan berpartisipasi dalam sayembara atas dasar keengganan mereka dalam
mencampuri urusan-urusan yang bukan menjadi tugas dan fungsi pihak keuskupan (Wawancara
Sulistyo, 12 Februari 2021).

Di tengah-tengah situasi pelik tersebut, panitia pelaksanaan sayembara Cipta Karya Lukis
dan Patung “Maria Bunda Segala Suku” juga ditimpa musibah dengan wafatnya ketua panitia
mereka Laksda TNI (Purn) Christina Maria Rantetana pada 31 Juli 2016 akibat sakit kanker yang
diderita (Satu Harapan, Senin 1 Agustus 2016). Kurang dari setahun sebelumnya panitia juga telah
kehilangan sosok pelindung yakni Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta pada

85
tanggal 10 November 2015 juga akibat sakit kanker yang telah lama diderita (Beritasatu.com, 11
November 2015).

Tak pelak, gelombang permasalahan yang dimulai dari mundurnya tenggat waktu
2sayembara hingga wafatnya ketua panitia berdampak pada kondisi mental anggota panitia.
Struktur kepanitian menjadi semakin tidak solid. Satu persatu anggota panitia mengundurkan diri
dengan berbagai macam alasan. Gomas mengklaim bahwa dari 30 anggota panitia, 27 di antaranya
mengundurkan diri dengan berbagai alasan, mulai dari alasan kesehatan, menyelesaikan studi,
tuntutan pekerjaan, hingga menghilang tanpa memberi kabar sama sekali. Terkait hal ini, Putut
menyanggah dengan menegaskan bahwa panitia yang mengundurkan diri tidak sebanyak yang
diklaim oleh Gomas. Hanya saja, beliau tidak mengingat berapa jumlah anggota panitia yang
masih tersisa. Putut dan Gomas pun tidak memiliki catatan mengenai anggota panitia. Sejauh yang
dapat diingat oleh Gomas, struktur kepanitiaan tetap diisi oleh Antonius Sujata selaku penasehat,
Hanafi selaku ketua panitia, beberapa jemaat paroki Kristoforus Grogol, serta anggota Paguyuban
Devosi Maria Jakarta (Wawancara Gomas, 21 April 2021).

Terlepas dari adanya anggota panitia yang tetap konsisten dalam mengusahakan
kesuksesan dari sayembara Maria Bunda Segala Suku, muncul kekhawatiran mengenai halangan-
halangan yang dapat saja muncul di tengah perjalanan penyelenggaraan sayembara. Terlepas dari
konsistensi sebagian kecil anggota panitia dalam mengupayakan kesuksesan sayembara Maria
Bunda Segala Suku, suara-suara sumbang terhadap penyelenggaraan sayembara tetap saja
bermunculan. Menurut Gomas (21 April 2021), muncul tuduhan terkait penyelenggaraan
sayembara sebagai sarana pemenuhan kepentingan pihak-pihak tertentu. Kritik terhadap
pelaksanaan sayembara juga bermunculan dengan menyoroti agenda pencarian figur Maria
sebagai upaya yang membuang waktu dan tenaga umat. Para pastor juga mempertanyakan maksud
dan tujuan dari penyelenggaraan sayembara. Terkait informasi tersebut, Sulistyo hanya
menanggapi dengan menegaskan tentang perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang jamak
dijumpai dalam Gereja Katolik (Wawancara Sulistyo, 12 Februari 2021).

Menanggapi situasi yang semakin menjatuhkan moril anggota panitia, Putut berinisiatif
untuk mengajak Gomas dan beberapa anggota panitia untuk melakukan ziarah ke makam para
uskup dan imam di kompleks pemakaman para imam Keuskupan Agung Semarang yang terletak

86
di Seminari Tinggi Santo Petrus dan Paulus, Kentungan, Sleman, DIY. Kompleks makam yang
terletak persis di belakang gedung Fakultas Kepausan untuk Teologi “Wedabhakti” dibawah
naungan Universitas Sanata Dharma itu menjadi tempat peristirahatan bagi beberapa imam dan
uskup yang cukup populer di kalangan umat Katolik maupun warga masyarakat umum. Salah satu
tujuan utama dari peziarahan panitia adalah makam Uskup Agung Semarang periode 2010-2015,
Mgr Johannes Pujasumarta, yang sebelumnya merupakan pelindung spiritual dari panitia
Sayembara Cipta Karya Seni Lukis dan Patung Maria Bunda Segala Suku. Menurut Putut,
pelaksanaan ziarah tersebut dimaksudkan untuk meminta restu atas kelancaran proses sayembara
Cipta Karya Lukis dan Patung Maria Bunda Segala Suku sekaligus memperkuat moril panitia
(Wawancara Putut, 13 Februari 2021).

Adapun Gomas sendiri memandang perjalanan ziarah yang dilakukan panitia sebagai
ekspresi ketidaksukaan mereka terhadap sebagian besar kolega dan rekan-rekan beragama Katolik
di sekitar mereka yang tidak banyak membantu dalam proses sayembara. Gomas bahkan sampai
berpandangan bahwa apabila rekan-rekan Katolik mereka yang masih hidup tidak dapat
memberikan kontribusi sama sekali, maka hanya kepada rekan-rekan mereka yang sudah
meninggal saja lah yang mampu membantu proses sayembara pencarian representasi visual dari
figur Maria versi Indonesia. “Hanya orang mati yang bisa menolong!” tegas Gomas (Wawancara
9 Januari 2021).

Menurut hemat penulis, cerita mengenai perjalanan ziarah yang dilakukan oleh panitia
sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda Segala Suku” dapat dipandang sebagai
suatu pernyataan protes kepada sesama rekan Katolik yang memperlihatkan tentang betapa
kuatnya dominasi kebudayaan Barat Eropa dalam praktik beragama umat Katolik di Indonesia.
Hal ini tampak pada kencangnya resistensi dan kurangnya dukungan yang konsisten terhadap ide
resimbolisasi figur Maria yang diusung oleh Gomas dan Putut beserta rekan-rekan mereka.
Meskipun dukungan juga telah berdatangan dari beberapa figur penting yang juga telah disebutkan
di atas, hal tersebut tampaknya belum mampu mendorong sebagian umat Katolik untuk
mengekspresikan keindonesiaan atau rasa nasionalisme mereka melalui dukungan terhadap kerja
kolektif dalam bentuk pencarian representasi visual dari figur Maria versi Indonesia.

87
3.2.4. “Ruh menemukan tubuhnya”: Robertus Gunawan dan lahirnya representasi visual
dari figur Maria Bunda Segala Suku

Singkat cerita, sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda Segala Suku” tetap
berjalan meskipun dengan dukungan yang tidak seberapa. Sayembara pun diselenggarakan dengan
batas waktu pengumpulan karya pada 23 April 2017. Hanya saja, sampai dua minggu sebelum
batas waktu yang belum ditentukan hanya ada sekitar 15 karya yang masuk ke dalam katalog kurasi
panitia. Padahal panitia dan keuskupan telah menyepakati bahwa batas waktu pengumpulan karya
sudah tidak bisa lagi ditunda-tunda (Wawancara Gomas, 9 Januari 2021). Di tengah kebimbangan
tersebut, kabar mengenai pelaksanaan sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda
Segala Suku” sampai ke telinga Robertus Gunawan yang nantinya memenangkan sayembara
tersebut.

Robertus Gunawan sendiri merupakan seorang seniman lukis dan guru lukis bagi anak-
anak. Bakat melukis Gunawan telah dimiliki sejak usia dini. Beliau menempuh pendidikan S1
dalam bidang desain grafis di sebuah universitas swasta terkemuka di bilangan Jakarta Barat.
Setelah menyelasaikan pendidikannya, Gunawan memutuskan untuk meneruskan bakat dan
keilmuannya dalam bidang seni dengan mengabdikan diri sebagai guru lukis bagi anak-anak dan
melayani pesanan mural dan lukisan-lukisan sembari menjalankan bisnis kos-kosan peninggalan
orangtuanya di bilangan Matraman, Jakarta Pusat.

Serupa dengan Gomas, Gunawan sendiri berasal dari latar belakang etnis Tionghoa
keturunan di Jakarta. Hanya saja, Gunawan tidak begitu mengingat marga serta nama Tionghoa
yang ia sandang. Gunawan juga tidak lagi mempraktikkan tradisi-tradisi Tionghoa seperti
sembahyang kubur. Menurut Gunawan, identitas dirinya sebagai orang Jakarta dan warganegara
Indonesia jauh lebih penting ketimbang etnisitasya. “Yah, yang penting saya orang Indonesia” ujar
Gunawan (Wawancara Gunawan, 21 April 2021).

88
Informasi terkait sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda Segala Suku”
Gunawan terima dari salah seorang orangtua murid yang juga merupakan rekan separoki di Gereja
Katolik Santo Yoseph, Matraman. Menurut Gunawan, sang orangtua murid mendapatkan
informasi tersebut dari selebaran yang terpasang di papan pengumuman gereja. Lantas, sang
orangtua murid berupaya meyakinkan Gunawan agar mengikuti sayembara tersebut.

Dalam penuturunnya kepada penulis, Gunawan pada awalnya tidak begitu yakin untuk
berpartisipasi dalam proses sayembara tersebut. Gunawan merasa bahwa bakat seni yang beliau
miliki begitu kurang dan tidak layak untuk digunakan dalam sebuah kompetisi yang dipandang
begitu sakral karena mencari representasi visual dari figur Maria versi Indonesia. Hanya saja,
pendirian Gunawan berubah setelah sang orangtua murid berupaya meyakinkan dengan
memperkirakan Gunawan sebagai pemenang dari sayembara tersebut. Gunawan sendiri
menganggap sang orangtua murid sebagai figur yang bijak dan linuwih, sebab beberapa kali sang
orangtua murid memprediksi atau meramalkan peristiwa-peristiwa penting seperti bencana dan
benar-benar terjadi. Maka dari itu, bagi Gunawan, tidak ada pilihan lain selain mengikuti saran
sang orangtua murid dan mulai mencari sumber referensi yang dapat digunakan untuk
merepresentasikan figur Maria Bunda Segala Suku dalam bentuk visual (Wawancara Gunawan,
21 April 2021).

Proses seniman lukisan representasi visual dari figur Maria sebagai Bunda Segala Suku
diawali dengan riset singkat yang dilakukan Gunawan. Riset tersebut dijalankan dengan
melakukan pencarian terkait kebaya, kain, dan simbol serta ornamentasi lain melalui mesin pencari
Google. Waktu yang begitu singkat membuat Gunawan tidak banyak melakukan pencarian melalui
sumber-sumber lain seperti buku, jurnal, majalah-majalah seni, dan lain sebagainya. Proses riset
itu dijalankan selama kurang lebih tiga hari (Wawancara Gunawan, 21 April 2021).

Setelah riset, Gunawan memulai proses melukis dengan menyiapkan peralatan-peralatan


seperti kanvas, cat air, kuas, dan piranti lainnya, lalu mengawalinya dengan doa. Lantunan doa
tersebut berisi rasa syukur sekaligus permohonan Gunawan agar Tuhan menjadikan kreativitasnya
sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan sekaligus memperlihatkan representasi visual dari figur
Maria versi Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh Maria itu sendiri. Doa tersebut ditutup
dengan beberapa doa-doa dasar Katolik seperti Bapa Kami dan Salam Maria yang diucapkan tiga

89
kali. Representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku dalam bentuk lukisan karya Robertus
Gunawan berukuran 40 X 60 cm dengan segera dapat diselesaikan dalam waktu semalam.
Gunawan bersama dengan salah satu orangtua dari anak didiknya menghubungi panitia sayembara
Cipta Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda Segala Suku” dalam rangka memasukkan karyanya
agar segera dikurasi oleh panitia.

Panitia sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung “Maria Bunda Segala Suku” pada
akhirnya berhasil mengumpulkan karya sebanyak 58 karya dengan rincian 44 karya lukis dan 14
karya patung yang merupakan hasil karya dari berbagai macam seniman dari berbagai daerah di
Indonesia. Adapun dewan juri yang bertugas menilai hasil-hasil karya yang masuk antara lain
merupakan R.D. Harry Sulistyo selaku pendamping panitia dan Ketua Komisi Komunikasi Sosial
Keuskupan Agung Jakarta (Komsos-KAJ), Antonius Sujata selaku pembimbing panitia dan
perwakilan umat awam, dan Hari Mulyanto selaku perwakilan seniman Katolik (Sesawi.net, 31
Mei 2017).

Proses penentuan hasil karya yang memenangi sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung
“Maria Bunda Segala Suku” berjalan dengan cukup panjang. Proses kurasi dimulai dengan
menyelisihkan beberapa lukisan yang dipandang kurang pantas mewakili figur Maria dalam
konteks praktik keagamaan. Proses kurasi tersebut berhasil menentukan kurang lebih sekitar 12
karya lukis dan patung yang dipandang pantas untuk dijadikan objek devosi. Penentuan pemenang
sayembara pun berlanjut hingga sampai ke tahapan penentuan pemenang sayembara kategori
patung. Adapun kategori patung dimenangkan oleh A.M. Zacharia, seorang seniman patungasal
Yogyakarta yang berhasil merepresentasikan figur Maria dalam bentuk patung berbahan dasar
keramik dengan berat 6.7 kg dan tinggi sekitar 60 cm (Buku Hasil Karya Lukisan dan Patung
Maria Bunda Segala Suku, 2017: 6). Sedangkan dalam proses penentuan pemenang sayembara
kategori lukisan, dewan juri mengerucut pada dua lukisan. Selain lukisan karya Robertus
Gunawan, salah satu lukisan yang juga dinilai pantas merepresentasikan figur Maria Bunda Segala
Suku secara visual adalah lukisan akrilik dalam kanvas karya Rico berukuran 40 X 60 cm. Menurut
Gomas, para juri saling memperdebatkan tentang mana di antara kedua lukisan tersebut yang
mampu merepresentasikan figur Maria Bunda Segala Suku. Proses penentuan pemenang
sayembara kategori lukisan bahkan sampai melibatkan Gomas dan Putut selaku inisiator dari
sayembara tersebut. Perdebatan pun sampai pada titik dimana penentuan pemenang sayembara

90
dilakukan dengan melakukan perhitungan acak. “Kita semua sampai cap-cip-cup” ujar Gomas
(Wawancara Gomas, 11 Januari 2021).

Mengingat perdebatan yang semakin melebar dan waktu yang semakin sempit, dewan juri
bersama dengan Gomas dan Putut memutuskan untuk menghaturkan doa agar supaya mereka
dapat memilih representasi visual dari figur Maria yang benar-benar pantas mewakili visi mereka
mengenai Maria Bunda Segala Suku. Pada akhirnya, lukisan karya Robertus Gunawan terpilih
sebagai karya yang pantas digunakan sebagai representasi visual dari figur Maria Bunda Segala
Suku dalam kategori lukisan. Berdasarkan penuturan Harry Sulistyo, dewan juri memutuskan
untuk menjadikan lukisan karya Robertus Gunawan sebagai pemenang sayembara karena
dipandang benar-benar merepresentasikan figur Maria sebagai figur pelindung bagi keindonesiaan
yang didalamnya terdapat segala perbedaan.

“Setelah kami bersama mas Gomas dan Putut berdoa, kami kemudian
berdiskusi dan pada akhirnya memutuskan untuk menjadikan lukisannya
mas Robert sebagai pemenang kategori sayembara. Kenapa begitu?
Karena setelah kami amati baik-baik, lukisan tersebut seperti
menggambarkan Bunda Maria yang dipilih secara khusus oleh Allah untuk
menyatukan segala perbedaan. Singkatnya gini ya mas, bunda Maria saja
berBhineka Tunggal Ika” (Wawancara Sulistyo, 12 Februari 2021).

3.3. Penutup Bab

“Maria Bunda Segala Suku menuntut pengakuan”: Proses penetapan lukisan Robert
Gunawan sebagai objek devosi resmi bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta

Setelah dewan juri menetapkan pemenang sayembara Cipta Karya Lukis dan Patung Maria Bunda
Segala Suku, Gomas dan Putut bersama dengan panitia lainnya berdiskusi dan bersepakat untuk
membawa hasil karya Robert Gunawan kepada bapa Uskup Agung Jakarta untuk mendapatkan
pengakuan dari Keuskupan. Hanya saja, muncul kekhawatiran bahwa pihak Keuskupan akan
menolak atau setidaknya mengulur-ngulur waktu penetapan representasi visual dari figur Maria
Bunda Segala Suku sebagai objek devosi resmi bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta.
Oleh karena itu, Gomas melalui bantuan R.D. Agustinus Ulahayanan, berupaya menghubungi
Duta Besar atau Nunsius Vatikan, Mgr Guido Fillipazi untuk memberikan pengakuan terhadap
representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku. Selang beberapa minggu kemudian,

91
tepatnya pada 8 Mei 2017, Mgr Guido Fillipazi mengirimkan surat yang berisi ucapan terimakasih
dan apresiasi terhadap langkah-langkah yang telah diupayakan oleh panitia sayembara dalam
merepresentasikan figur Maria versi Indonesia secara visual melalui figur Maria Bunda Segala
Suku.

Terbitnya surat tersebut menjadi fondasi bagi tahapan terakhir dari kerja panitia, yakni
mengupayakan agar figur Maria Bunda Segala Suku ditetapkan sebagai objek devosi resmi bagi
umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta. Berbekal surat bertandatangan duta besar Vatikan,
Gomas dan Putut beserta anggota panitia yang lain menghadap Uskup Agung Jakarta untuk
melaporkan segala pencapaian yang telah diraih oleh panitia sayembara termasuk memperlihatkan
contoh-contoh karya yang memenangkan sayembara. Upaya tersebut membuahkan hasil.
Berdasarkan penuturan Sulistyo, Kardinal Suharyo selaku Uskup Agung Jakarta memberikan
ucapan selamat dan berjanji kepada panitia bahwa representasi visual dari figur Maria Bunda
Segala Suku karya Robertus Gunawan akan dibicarakan dalam rapat kuria Keuskupan Agung
Jakarta dengan pembahasan seputar penetapan karya tersebut sebagai objek devosi resmi setingkat
keuskupan (Wawancara Sulistyo, 12 Februari 2021).

Sebagaimana telah diagendakan sebelumnya, pada 22 Mei 2017 seluruh hasil karya berupa
44 karya lukisan dan 14 karya patung dipamerkan dalam acara “Malam Apresiasi Seni Maria
Bunda Segala Suku” yang diselenggarakan di aula Gereja Katedral Jakarta. Pada kesempatan
tersebut, panitia juga mengumumkan karya Robertus Gunawan sebagai pemenang dari sayembara
Cipta Karya Lukis dan Patung. Panitia juga turut memfasilitasi acara lelang karya-karya yang
dipandang mampu merepresentasikan figur Maria secara visual dengan sangat sempurna. Adapun
lukisan Maria Bunda Segala Suku karya Robertus Gunawan dilelang dengan mencapai angka
perolehan sebesar dua puluh juta rupiah untuk replika dalam ukuran asli dan satu juta rupiah untuk
karya berukuran kecil (Sesawi.net, 31 Mei 2017).

Sebagaimana telah dijanjikan oleh Kardinal Suharyo kepada panitia, representasi visual
dari figur Maria Bunda Segala Suku karya Robertus Gunawan dengan segera ditetapkan sebagai
objek devosi resmi bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta. Figur Maria Bunda Segala
Suku secara resmi mulai ditetapkan sebagai objek devosi yang menjadi penanda dari kegiatan
tematik Keuskupan Agung Jakarta di tahun 2018 dengan nama “Tahun Persatuan” dan diumumkan

92
kepada umat Katolik melalui surat Uskup Agung Jakarta yang dibacakan sebagai pengganti
khotbah pada perayaan Misa di hari Sabtu dan Minggu, 6-7 Januari 2018.

“…Salah satu penanda gerakan Kita Bhinneka-Kita Indonesia untuk tahun


2018 adalah gambar Maria Bunda Segala Suku. Gambar Maria Bunda
Segala Suku sangat khas Indonesia: ada Garuda Pancasila di dada,
selubung kepalanya berwarna merah putih dan di mahkotanya terdapat
peta Nusantara. Semoga gambar ini membantu devosi kepada Maria
Bunda Segala Suku, yang akan semakin menyadarkan kita bahwa
persaudaraan, kebersamaan, dan persatuan baik di dalam Gereja maupun
di dalam masyarakat luas adalah anugerah Tuhan yang terus menerus
mesti dimohon dalam doa sambil didukung dengan gerakan-gerakan yang
lain” (Surat Gembala Mengawali Tahun Persatuan KAJ, 2018)

Sejak terbitnya surat bapa Uskup Agung Jakarta mengenai penetapan representasi visual
dari figur Maria Bunda Segala Suku sebagai objek devosi resmi, gambar dan lukisan dari figur
tersebut mulai disebarkan secara luas berkat bantuan Gomas dan rekan-rekan panitia. Keuskupan
Agung Jakarta juga menyertakan softfile berisi gambar Maria Bunda Segala Suku dalam laman
resmi nya untuk memfasilitasi paroki-paroki yang hendak mengunduh dan mencetak ulang gambar
tersebut dalam bentuk banner yang nantinya dipasang di gedung-gedung gereja ataupun institusi
milik Gereja Katolik di seantero Jakarta dan sekitarnya.

93
BAB IV
Maria, Bunda Siapa? Indonesianisasi di balik simbol dan ornamen religius
dalam figur Maria Bunda Segala Suku

Pembahasan dalam bab IV ini berfokus pada makna dan wacana di balik simbol dan ornamentasi
dalam figur Maria Bunda Segala Suku. Dalam bab ini pula, penulis memberi perhatian terhadap
penerimaan dan resistensi yang timbul serta perkembangan terbaru dari representasi visual atau
objek devosi karya Robertus Gunawan itu.

Pembahasan dalam bab ini dibagi empat bagian. Pertama, penulis menguraikan latar
belakang sejarah dari tradisi penggambaran orang-orang kudus dalam Gereja Katolik dengan
cukup singkat. Kedua, menguraikan dan menelaah wacana keindonesiaan yang terkandung dalam
representasi visual tersebut. Analisis visual yang penulis lakukan berpusat kepada lukisan Maria
karya Robertus Gunawan karena itulah yang ditetapkan oleh Uskup Agung Jakarta sebagai objek
devosi resmi dan menjadi rujukan terhadap patung, lukisan, dan gambar-gambar devosional
bertema sama yang muncul belakangan. Analisis visual dengan objek utama hingga pendukung.
Setiap simbol dan ornamen dibahas sedemikian rupa dengan melihat maksud dan tujuan
penggambaran serta reaksi terhadapnya. Ketiga, membahas pandangan umat terhadap representasi
visual beserta dengan makna dan wacana yang terkandung didalamnya. Di bagian tersebut penulis
mengulas tanggapan terhadap baik wacana keindonesiaan maupun penampilan visual dan berfokus
pada penerimaan, negosiasi serta resistensi terhadap simbol dan ornamentasi yang tergambarkan.
Terakhir, penulis menutup bab ini dengan merangkum dan memberikan kesimpulan sementara
sembari menyajikan perkembangan terkini terkait representasi visual dari Maria Bunda Segala
Suku.

Melalui telaah terhadap wacana keindonesiaan yang terkandung dalam simbol dan
ornamen utama dan pendukung dari figur Maria Bunda Segala Suku, penulis memperlihatkan
tentang tarik-menarik yang lahir dari reproduksi wacana Indonesianisasi melalui objek devosi.
Dengan demikian, bab ini diharapkan dapat membuat pembaca memahami terbentuknya “ruang
ketiga pengucapan” dan hibriditas dalam figur Maria Bunda Segala Suku sebagai dampak dari
praktik governmentality terhadap wacana Indonesianisasi Gereja Katolik.

94
4.1. Tradisi penggambaran Maria dalam Gereja Katolik

4.1.1. Pandangan umum Gereja mengenai penggambaran orang-orang kudus

Visualisasi atau penggambaran terhadap objek maupun tokoh-tokoh yang disakralkan


merupakan sesuatu yang barangkali tidak terpisahkan dari tradisi beragama para penganut Katolik.
Dalam pandangan Gereja Katolik, seni merupakan bentuk ungkapan khas yang berasal dari
kekayaan intelektualisme atau akal budi manusia, dan menjadi penanda dari keunggulan manusia
jika dibandingkan makhluk hidup lainnya. Berbeda dengan makhluk lainnya seperti binatang yang
menghabiskan usianya dalam rangka bertahan hidup, manusia memiliki keleluasaan untuk
menghabiskan sedikit waktu dengan mengekspresikan diri melalui seni. Karena itu, kemampuan
manusia dalam berkesenian merupakan cara Tuhan untuk memperlihatkan tingginya derajat
manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
pemberian Tuhan, Gereja Katolik memandang seni sebagai cara yang baik untuk memuliakan dan
memuji keagunganNya. Melalui seni, para penganut agama Katolik atau “umat beriman”
menyatakan pengakuan imannya terhadap Tuhan sekaligus memahami begitu banyak nilai-nilai
keagamaan yang terkonsepsi secara abstrak (Buckhart, 2006: 2).

Gereja Katolik mengenal istilah “seni liturgis” atau “seni sakral” (ars sacra) sebagai cara
mengekspresikan iman sekaligus instrument penghayatan nilai-nilai keagamaan. Menurut
Katekismus Gereja Katolik (1983: 2505), seni sakral merupakan “ekspresi kemanusiaan yang
benar dan indah yang bertujuan untuk memuliakan, dalam iman dan adorasi, misteri transenden
Allah, yang merupakan keindahan sejati berupa kebenaran dan cinta yang terlihat dalam pribadi
Kristus, yang dalam dirinya tampil kebesaran Tuhan bersama dengan segala sifat-sifat manusia
yang luhur, di mana kepenuhan Illahi berdiam secara jasmani”. Dalam pengertian lain,
sebagaimana dikutip dari Maryanto (2004: 99), kesenian liturgis atau seni sakral merupakan
bentuk ekspresi seni yang digunakan dalam liturgi atau peribadatan resmi, meliputi yang sifatnya
visual, auditif, atau yang lain, misalnya; lukisan, pahatan, patung, tata bangun gereja, tata ruang
ibadat, peralatan liturgi, bejana suci, musik, alat musik, dan busana liturgi.

Bagi Gereja Katolik, tujuan dari kegiatan seni dalam kerangka seni liturgis atau seni sakral
adalah untuk membantu pengungkapan penyembahan atau doa-doa umat kepada Tuhan maupun

95
entitas suci lain yang dipandang sebagai representasi dari Tuhan, antara lain Bunda Maria, para
malaikat dan orang-orang kudus (santo-santa). Singkatnya, Gereja memandang ekspresi seni
dalam kerangka seni sakral bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan umat kepada Tuhan dan
agama Katolik itu sendiri. Karena itu, Gereja Katolik menganjurkan kepada para uskup untuk
berpartisipasi aktif dalam mempromosikan aktivitas berkesenian, serta konservasi atau perawatan
terhadap benda-benda seni dengan riwayat historis, sembari mengusahakan agar ekspresi seni yang
terkandung dalam liturgi dan tempat-tempat ibadat, berada dalam koridor yang sesuai dengan
selera estetika menurut iman Katolik (KGK, 1983: 2503). Hal ini tampak dalam sejarah
perkembangan seni rupa di Eropa, tepatnya di masa Renaissance, dimana petinggi-petinggi Gereja
Katolik banyak berperan sebagai patron atau pelindung dari para seniman patungdan seniman lukis
yang karyanya dipergunakan sebagai ornamen gedung-gedung gereja maupun objek devosi.

Seni sakral yang memuat visualisasi atau penggambaran Maria melalui patung dan lukisan
dikenal dengan istilah “Marian Art”. Tradisi penggambaran ini turut menjadi bagian dari tradisi
penghormatan orang-orang Katolik kepada Bunda Perawan Maria. Tradisi penggambaran Maria
dalam bentuk patung dan lukisan sangat populer di kalangan umat dan khalayak awam. Patung
dan lukisan banyak dijumpai di dalam gedung-gedung gereja maupun rumah tinggal dari penganut
Katolik.

Tradisi penggambaran Maria dalam agama Kristen sendiri memiliki sejarah yang panjang.
Jejak tertua dari tradisi penggambaran Maria di Eropa berasal dari ruang-ruang makam bawah
tanah atau Katakombe di Roma Italia. Penggambaran tersebut berupa lukisan Maria yang tercetak
di dinding makam sejak pertengahan abad ke-2 Masehi. Pasca penetapan Dekrit Mediolanum di
tahun 313 yang memberi kebebasan bagi rakyat Romawi untuk menganut keyakinan di luar
paganisme sekaligus menjadi prekondisi dari institusionalisasi Gereja, umat Kristen mulai
membangun rumah ibadat dan mempraktikkan ritual secara terbuka. Ritual penghormatan kepada
Maria dengan segera menjadi acara publik dan hal ini diikuti dengan merebaknya praktik
penggambaran Maria di wilayah-wilayah berpenghuni Kristen (Milburn, 1991: 303).

Berkaitan dengan penggambaran Maria, Gereja Katolik dikenal memiliki sikap yang
terbuka dengan inovasi dan perkembangan langgam seni. Aliran-aliran seni yang telah
menyumbang bagi perkembangan khazanah kesenian sakral agama Katolik di bidang arsitektur,

96
seni rupa dan lukis antara lain meliputi; Romanesque, Gothik, Barok, Neo-Klasik, Neo-Gothik,
dan Modernisme. Adapun Gereja Ortodoks cenderung lebih mempertahankan satu langgam
penggambaran orang kudus dalam bentuk lukisan yang dikenal dalam istilah “ikon”.

Berbeda dengan Katolik dan Ortodoks, denominasi Protestan cenderung menolak


penggambaran orang kudus dalam objek devosi. Penolakan denominasi Protestan terhadap tradisi
penggambaran orang kudus didasarkan kepada keyakinan teologis bahwa wahyu keselamatan
yang tercurahkan kepada manusia melalui kasih Illahi hanya dapat dinyatakan melalui Kitab Suci.
Teologi Protestan meyakini bahwa praktik beragama terbaik adalah dengan mendengar khotbah,
menghafal dan mempelajari teks-teks Kitab Suci. Praktik beragama yang lumrah dalam Katolik
dan Ortodoks, antara lain penggambaran orang-orang kudus melalui lukisan, patung, ikon, yang
digunakan sebagai objek devosi dan dihormati dalam upacara-upcara khusus, justru dipandang
sebagai takhayul yang telah menggeser kedudukan Kitab Suci sebagai titik sentral hidup beriman
menurut denominasi Protestan.

Perbedaan posisi teologis dalam denominasi Protestan berimplikasi pada tidak


digunakannya objek-objek devosi berupa patung dan lukisan dalam aktivitas peribadatan resmi
maupun privat. Meskipun sebenarnya dalam denominasi Protestan juga terdapat perbedaan sikap
terkait keberadaan objek devosi berupa patung dan lukisan. Objek patung dan lukisan sejauh ini
masih dipertahankan secara terbatas dalam denominasi Lutheran dan Anglikan. Adapun
denominasi Calvinis menolak penggunaan patung dan lukisan orang-orang kudus sebagai objek
devosi maupun dekorasi gedung-gedung gereja dan rumah umat. Calvinisme berpandangan bahwa
hanya sesuatu yang telah tercantumkan dalam Kitab Suci sajalah yang diperbolehkan untuk
dilakukan oleh umat. Prinsip teologis ini membuat gereja-gereja yang bernaung di bawah
Calvinisme cenderung lebih sederhana karena tidak memuat patung atau lukisan mengenai
mitologi dan tokoh-tokoh penting dalam Kekristenan.

4.1.2. Sejarah akulturasi budaya dalam penggambaran orang-orang kudus di Indonesia

Sebagaimana telah disinggung pada bagian pertama dari bab kedua dan ketiga, tersebarnya
agama Katolik ke wilayah maritim Asia Tenggara atau Nusantara juga turut membawa tradisi
penghormatan kepada Maria yang membutuhkan objek devosi sebagai sarana berdoa bagi umat.

97
Patung dan lukisan Maria pun mulai dikenal oleh umat Katolik di kalangan pribumi. Hanya saja,
pada awal masuknya Katolik, gaya penggambaran orang-orang kudus masih didominasi oleh
unsur-unsur kebudayaan Eropa. Dalam catatan Aritonang dan Steenbrink (2007: 925), sampai pada
awal abad ke 20, para pembesar misi Katolik menilai umat pribumi belum mampu melahirkan
ekspresi iman dalam balutan budaya lokal. Sebaliknya, banyak di antara para misionaris yang
memandang ekspresi seni ala Barat sebagai satu-satunya langgam berkesenian yang sesuai dengan
agama Katolik. Menurut Boelaars (2005: 419), setidaknya sampai awal abad ke-20, misionaris
Katolik di Hindia-Belanda mengimpor berbagai macam benda-benda peribadatan seperti hiasan
gereja, patung, busana liturgi, dan gambar-gambar orang kudus, yang semuanya diproduksi di
Eropa dengan langgam NeoGothik maupun Art-Deco yang kental.

Terbitnya ensiklik Maximum Illud karya Paus Benediktus XV pada tahun 1919, menjadi
awal dari perkembangan ekspresi iman dalam seni rupa yang menitikberatkan pada
keanekaragaman budaya lokal dari berbagai wilayah misi yang berbeda. Sejalan dengan
keterbukaan Gereja terhadap ekspresi budaya lokal, para misionaris mulai mendorong umat
pribumi, terutama yang memiliki bakat seni, untuk memproduksi objek-objek yang mampu
digunakan dalam peribadatan dengan mengutamakan prinsip-prinsip akulturasi budaya. Pada
tahun 1938, terbit buku panduan (Het Gildeboek) mengenai kesenian pribumi untuk seniman Jawa
beragama Katolik. Peran umat berkebangsaan Belanda sebagai patron atau penyokong dana dari
produksi objek-objek devosi dalam gaya vernakular juga terus-menerus didukung oleh Gereja
(Bramasti, 2015: 38; Boelaars, 2005: 412).

Salah satu hasil dari kerja kolaborasi antara misionaris, umat Belanda, dengan umat
pribumi yang masih bisa disaksikan saat ini, adalah patung Hati Kudus Yesus bergaya Hindu Jawa,
yang saat ini berada dalam lingkungan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Kabupaten
Bantul, DIY. Patung tersebut merupakan hasil karya seorang seniman Sunda bernama Iko. Patung
tersebut dibuat atas permintaan seorang industrialis dan filantropis Katolik bernama Joseph
Schmutzers untuk ditempatkan dalam sebuah kapel berbentuk candi Mataram Hindu yang terletak
di lingkungan pabriknya. Patung tersebut diberkati pada tanggal 20 Agustus 1924 oleh, Uskup
Batavia, Mgr. Antonius van Velsen S.J. (Bramasti, 2015: 40).

98
Selain memesan patung Hati Kudus Yesus, Schmutzers juga memesan dua patung lain
yang menggambarkan figur-figur penting Kekristenan dalam gaya Jawa Kuno. Salah satu patung
yang dipesan Schmutzers menggambarkan Allah Tritunggal Mahakudus sebagai tiga pribadi
dalam busana khas dewa-dewa Hindu. Schmutzer juga menginisiasi pembuatan patung Maria
bergaya Hindu Jawa. Patung tersebut diberi nama “Djah Maria Iboe Gandjoeran”. Patung tersebut
menggambarkan figur Maria berbusana Hindu Jawa dalam posisi duduk sembari menggendong
bayi Yesus. Adopsi gaya Hindu Jawa dipilih Schmutzers atas pertimbangan bahwa ekspresi iman
Kristen dalam seni lebih mudah mendapatkan bentuk lokalnya melalui budaya Jawa Hindu
ketimbang Islam (Aritonang & Steenbrink, 2007: 929-30).

Penggambaran figur Maria menurut langgam kesenian lokal juga pernah dilakukan oleh
seniman lukis Basoeki Abdullah. Pada tahun 1935, Basoeki Abdullah menciptakan sebuah karya
lukis bertemakan Maria dengan tajuk “Maria Assumpta” atau “Bunda Maria Naik ke Surga”
sebagai ucapan terimakasih kepada ordo Serikat Jesus yang telah menampung dan menyokong
hidupnya selama tinggal di Belanda. Dalam lukisan tersebut, Basoeki Abdullah menggambarkan
figur Maria sebagai perempuan Jawa berkerudung biru muda yang mengenakan kebaya dan kain
jarit Jawa bermotif parang dalam posisi terbang melesat ke langit sembari meninggalkan sebuah
desa yang diapit oleh dua gunung berapi. Selain lukisan Maria Assumpta, Basoeki Abdullah juga
tercatat melukis figur Maria dan adegan-adegan Injil dalam busana Jawa dan simbol-simbol khas
Bali.

Upaya penggambaran Maria beserta orang-orang kudus menurut langgam kesenian lokal
juga diinisiasi oleh beberapa pihak dengan skala yang tidak begitu besar. Pada dekade 1930’an
telah terdapat beberapa imam yang menggambarkan figur Maria dalam gaya Jawa untuk menghiasi
buku-buku doa. Simbol-simbol khas budaya lokal seperti “gunungan” juga dimasukkan dalam
penggambaran tersebut. Hanya saja, penggambaran figur Maria dalam gaya Jawa itu tidak tersebar
luas dalam praktik beragama umat Katolik (Bakker, 1974: 30).

Memasuki dekade 1960’an, Gereja Katolik mulai semakin membuka pintu bagi masuknya
kebudayaan lokal dalam ekspresi iman melalui praktik berkesenian. Sikap Gereja terhadap seni
merupakan salah satu topik yang dibahas dalam Konsili Vatikan ke-II dan dimuat dalam Konstitusi
Dogmatik De sacra liturgia Sacrosanctum Concilium, yang terbit pada 4 Desember 1963

99
(Mantovani, 2014: 127). Dalam bab ke IV dan pasal 123 dari Sacrosanctum Concilium, dinyatakan
bahwa “Gereja tidak menganggap satu corak kesenian pun sebagai khas bagi dirinya. Melainkan
seraya memperhatikan sifat-perangai dan situasi para bangsa dan kebutuhan-kebutuhan pelbagai
ritus. Juga kesenian zaman kita sekarang, pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya
diberi keleluasaan dalam Gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana harusnya
mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus” (Dokpem KWI, 2014 [1990]: 52).
Dokumen tersebut juga menganjurkan kepada para uskup agar memberi perhatian kepada para
seniman dan rohaniwan, dengan mendirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian
ibadat untuk membina para seniman, dan memberikan pelajaran tentang asas-asas berkesenian
serta sejarah dan perkembangan seni sakral kepada para rohaniwan (ibid.: 54).

Arah baru kebijakan pastoral Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan ke-II dalam hal
inkulturasi (akulturasi budaya) semakin membuka ruang bagi lahirnya objek-objek devosional
bernafaskan budaya Indonesia. Praktik akulturasi budaya yang diterapkan oleh Gereja Katolik
Indonesia antara lain melalui pembuatan benda-benda liturgi, masuknya tari-tarian adat dalam
ibadat misa, kreasi musik etnik dalam hymne-hymne ibadat, dan pembangunan gedung gereja
dalam arsitektur lokal. Dalam ranah seni sakral atau seni rupa, proses akulturasi dimulai oleh Pusat
Studi Audio-Visual Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya Yogyakarta (sekarang menjadi
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Agama Katolik – FKIP Universitas Sanata Dharma),
dengan mengundang beberapa seniman lukis muda asal Bali untuk melukis ratusan adegan dalam
Kitab Suci. Lukisan tersebut dicetak kembali dalam format poster dan kartu pos serta
disebarluaskan sebagai bahan pembelajaran agama Katolik ke berbagai daerah di Indonesia
(Boelaars, 2005: 419).

Hanya saja, objek-objek devosi dengan penggambaran orang kudus menurut budaya lokal
belum menyebar luas dalam kehidupan beriman sehari-hari dari penganut Katolik Masalah selera
ini barangkali disebabkan oleh kuatnya hegemoni budaya Barat dalam pendidikan agama Katolik
di Indonesia. Sejak usia dini, umat lebih banyak mengenal gambaran Eropa mengenai figur Maria,
orang-orang kudus, dan adegan-adegan Kitab Suci, yang dimuat dalam buku gambar, teks-teks
doa, hiasan di gedung-gedung sekolah, sebab gaya penggambaran semacam itu lah yang dibawa
oleh para misionaris di masa lampau.

100
4.2. Makna dan wacana dibalik visualisasi figur Maria sebagai Bunda Segala Suku

4.2.1. Keindonesiaan dalam paras Maria sebagai Bunda Segala Suku

Wajah Maria sebagai Bunda Segala Suku: almost the same but not quite?

Wajah Maria sebagai Bunda Segala Suku memiliki ciri-ciri yang khas. Dahinya lebar dan
simetris. Alisnya melengkung sempurna seperti bulan sabit. Matanya besar membulat dengan pupil
hitam kecoklatan. Pipinya tirus dan berisi. Hidungnya lurus dengan ukuran sedang, tidak begitu
besar dan tidak begitu kecil. Bibirnya berwarna merah dengan ukuran yang tidak terlalu tipis juga
tidak terlalu tebal. Garis rahangnya berbentuk oval, dengan dagu yang meruncing. Telinganya tipis
dan terlihat berkat wajah yang menoleh ke kanan. Rambutnya berwarna hitam dan tergelung
layaknya bersanggul serta dihiasi noktah keemasan.

Gambar 2. Penggambaran wajah dan gelung rambut dari figur Maria Bunda Segala
Suku.

101
Sepanjang pengetahuan penulis, figur Maria yang berpenampilan sebagaimana diterangkan
di atas cukup sulit ditemui dalam praktik devosional umat Katolik di Indonesia. Umumnya wajah
Maria yang tergambarkan dalam patung serta objek devosional lainnya tergambarkan dengan
wajah yang begitu menyerupai ciri-ciri fisik perempuan Kaukasia atau Eropa. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar, sebab dalam sejarahnya, praktik devosional kepada Maria merupakan warisan
dari kegiatan misi Katolik di era kolonial yang berinduk kepada Gereja Katolik Belanda.

Seperti yang sudah dibahas pada bab kedua, melalui misionaris berkebangsaan Belanda lah
orang-orang Indonesia mengenal agama Katolik. Sebagian besar di antara barisan misionaris itu
berasal dari provinsi Brabant dan Limburg. Kedua wilayah tersebut terletak di selatan Belanda dan
terkenal dengan budaya Katolik yang sangat kuat. Kebiasaan-kebiasaan umat Katolik dari kedua
wilayah tersebut turut dibawa oleh para misionaris dan diperkenalkan kepada rakyat pribumi yang
baru saja memeluk agama Katolik.

Gambar 3. Wajah Maria khas Eropa sebagai “Bunda Hati Kudus” dalam kartu doa
“Novena Tiga Salam Maria”. Sumber: https://raturosari.wordpress.com/

Salah satu bentuk pengenalan budaya yang dilakukan oleh para misionaris adalah melalui kartu
doa (prayer card/ devotieprentjes). Benda devosional tersebut memuat hasil lukisan figur Maria
maupun orang-orang kudus lainnya dengan langgam yang populer di Eropa pada abad ke-19.
Misionaris membagikan kartu-kartu doa itu kepada umat sebagai memorabilia atas peristiwa

102
penting seperti pembaptisan dan peringatan kematian, serta bagi pelajar sekolah misi yang
berprestasi (Boelaars, 2005).

Tatkala Gereja Katolik Indonesia mulai mengorganisasikan diri sebagai hierarki yang
otonom dan terlepas dari pengaruh Belanda, langgam penggambaran Maria yang dahulu termuat
dalam kartu-kartu doa rupanya tidak serta-merta tergantikan oleh langgam-langgam yang lebih
mendekati kebudayaan Indonesia. Representasi visual dari figur Maria yang terpatri dalam objek-
objek devosional yang bertempat di gedung-gedung gereja, kantor keuskupan, rumah sakit,
sekolah katolik, panti asuhan, panti wredha, serta situs peziarahan, menampilkan Maria sebagai
perempuan Eropa dengan nuansa Lourdes atau Fatima didalamnya. Hal tersebut bisa kita lihat
pada patung Maria berbahan-dasar gips yang banyak dijumpai dalam rumah orang-orang Katolik.
Representasi visual dari figur Maria dengan paras Jawa, Flores, Papua, atau Tionghoa, terbilang
tidak begitu populer. Kalaupun ada, representasi visual tersebut hanya dinikmati oleh satu dua
kalangan tertentu seperti biara, seminari, atau kolektor seni. Selebihnya, figur Maria menurut
interpretasi Eropa lebih jamak dijumpai dalam praktik beragama umat Katolik di Indonesia.

Agama Katolik sejatinya belum mempunyai ajaran baku perihal karakteristik dari wajah
Maria. Sepanjang pengetahuan penulis, Gereja Katoolik belum pernah menetapkan sebuah
referensi tekstual-artistik mengenai apa dan bagaimana paras wajah Maria, Yesus, beserta keluarga
dan murid-muridNya. Hal itu tampaknya bukan termasuk perkara-perkara pokok yang dipandang
penting oleh institusi tersebut.

Adapun referensi tekstual mengenai paras wajah Maria beserta keluarganya berasal dari
tulisan para mistik atau orang-orang kudus yang dipandang punya kemampuan supranatural
khusus. Contohnya ada pada kesaksian seorang biarawati Agustinian bernama Beata Anne
Catherine Emmerich yang mengklaim telah mendapat penglihatan ghaib mengenai kehidupan
tokoh-tokoh Kitab Suci sejak Nabi Adam hingga Yesus dan keluarganya. Mengutip Schroeguer
(2003 [1983]: 198), paras wajah yang diklaim Emmerich sebagai perawakan asli figur Maria terdiri
dari “alis yang gelap, halus dan melengkung, dahi yang sangat tinggi, mata besar yang tertunduk
dengan bulu mata yang panjang dan gelap, hidung yang lurus, halus dan agak panjang, mulut yang
indah di sekelilingnya yang menampilkan ekspresi yang paling mulus, dan dagu runcing”.

103
Kesaksian seperti ini cukup lestari dalam praktik devosi rakyat namun belum bisa ditetapkan
sebagai doktrin agama yang tetap.

Absennya referensi resmi mengenai wajah Maria dan orang-orang kudus lainnya membuka
peluang bagi para ilmuwan khususnya dari disiplin ilmu arkeologi dan antropologi forensik untuk
melakukan rekonstruksi terhadap karakteristik wajah yang sesuai dengan catatan-catatan historis.
Mengutip Fillon dalam Popular Mechanics (2002: 68-71), pada tahun 2002, Richard Neave, ahli
forensik dari University of Manchester melakukan rekonstruksi terhadap wajah Yesus dengan
bersumber pada spesimen DNA yang berasal dari tulang-tulang manusia peninggalan abad
pertama Masehi di Palestina serta keterangan biblikal mengenai ciri fisik Yesus dan gaya rambut
orang Ibrani saat itu (Gambar 5). Upaya lain merekonstruksi wajah Yesus dilakukan berdasar jejak
wajah dari kain kafan Turin, yang dipercaya sebagai kain yang membungkus jenazah Yesus setelah
wafat di salib. Melalui teknologi 3D sebagai perangkat rekonstruksi digital, lahirlah rekonstruksi
wajah Yesus dalam paras khas Semitik dengan rahang yang tegas, hidung mancung, dan warna
kulit yang cenderung lebih gelap (Gambar 6). Melalui metode serupa, seorang desainer dan
sejarawan seni asal Brasil bernama Atilla Soares da Costa Filho melakukan rekonstruksi terhadap
wajah Maria bermodalkan perkiraan wajah Yesus karya Ray Downing. Dengan melakukan analisis
spekulatif berdasarkan pada doktrin Gereja mengenai Maria yang mengandung Yesus Kristus
tanpa partisipasi biologis dari sosok ayah, Soares menciptakan rekonstruksi wajah Maria dengan
paras wajah yang terbilang sangat jauh dari paras wajah Maria menurut interpretasi Barat (Gambar
7) (Katolikana.com, 22 November 2021).

104
Gambar 4. Hasil rekonstruksi wajah Yesus berdasarkan temuan Richard Neave. Sumber:
https://www.popularmechanics.com/
Gambar 5. Wajah Yesus berdasarkan Kain Kafan Turin. Sumber: https://commons.wikimedia.org/
Gambar 6. Hasil rekonstruksi wajah Maria. Sumber: https://pl.aleteia.org/

Adapun penggambaran wajah Maria sebagai Bunda Segala Suku tampak tidak sepenuhnya
merefleksikan karakter wajah perempuan yang umumnya ditemui di Indonesia. Gunawan
menggabungkan ciri-ciri fisik perempuan Eropa seperti hidung mancung dan wajah oval yang
digabungkan dengan kulit berwarna coklat sawo matang sebagai karakteristik wajah dari Maria
Bunda Segala Suku. Hal itu membuat figur Maria tersebut tidak benar-benar murni mewakili satu
karakteristik tertentu. Maria Bunda Segala Suku cenderung terlihat blasteran. Ia tidak benar-benar
“putih”, tetapi juga tidak sepenuhnya “coklat”. Apabila penulis mengutip istilah yang kerap
disampaikan oleh Homi Bhabha (1991), Maria Bunda Segala Suku memiliki wajah yang almost
the same but not quite. Serupa tapi tidak benar-benar menyerupai figur Maria yang populer
tergambarkan dalam benak umat Katolik sedunia yang imajinasi religiusnya telah ter-eropa-kan.

Robert Gunawan sendiri tidak memberikan keterangan mendetail perihal referensi artistik
dan tekstual semacam apa yang ia gunakan sebagai patokan dalam proses penggambaran. Ia hanya
menceritakan tentang proses penggambaran yang cenderung mengalir tanpa referensi baku.
Sebagai seniman lukis, pengetahuannya mengenai tipe wajah khas Asia ia gunakan sebagai
patokan yang paling relevan untuk digunakan dalam menggambarkan figur Maria versi Indonesia.

105
“Ya mengalir aja sih. Mungkin agak lebih Asia sih, karena kita Indonesia
kan, jadi ya udah cerminan Asia aja, hitungannya gitu. Asia mungkin ya
di situ ada berbagai macam ras jadi satu ya. Di Asia itu ya ” (Wawancara
Gunawan, 11 April 2021).

Gunawan sendiri mengadopsi tipe wajah Asia setelah mempertimbangkan tema sayembara yang
menuntutnya untuk tidak menggambarkan Maria dalam rupa yang terlalu condong kepada
karakteristik dari suatu suku atau etnis tertentu (Wawancara Gunawan, 11 April 2021).

Hal itu dibenarkan oleh R.D. Harry Sulistyo selaku anggota dewan juri sekaligus
pendamping kepanitiaan. Menurut Sulistyo, interpretasi Gunawan terhadap wajah Maria sebagai
Bunda Segala Suku dipandang tepat dan sesuai karena penggambarannya tidak terlalu condong
kepada wajah dari satu suku atau etnis tertentu.

“Wajah Bunda Marianya mas Robert itu cantik, ya. Dan gak keliatan terlalu Jawa atau
terlalu suku-suku lain. Warna kulitnya juga tidak terlalu putih, cenderung sawo matang
lah. Jadi pada waktu itu saya anggap itu sudah mewakili Bunda Maria Segala Suku”
(Wawancara Sulistyo, 12 Februari 2021).

Hanya saja, pendapat berbeda disampaikan oleh sebagian umat Katolik yang mengetahui
perihal adanya devosi kepada Maria Bunda Segala Suku. Mereka justru melihat adanya
karakteristik campuran antara Jawa dengan Eropa dalam wajah Maria Bunda Segala Suku.
Pendapat tersebut salah satunya disampaikan oleh seorang prodiakon dari Paroki Maria Regina
Bintaro Jaya melihat wajah Maria Bunda Segala Suku sebagai perpaduan antara wajah perempuan
Jawa dengan Eropa. Prodiakon yang tidak ingin disebutkan namanya itu berpendapat bahwa
meskipun figur Maria sah-sah saja untuk digambarkan dengan merujuk kepada wajah khas suku-
suku tertentu, klaim pihak Keuskupan Agung Jakarta mengenai representasi wajah Indonesia
dalam figur Maria Bunda Segala Suku patut dipertanyakan. Bagi sang prodiakon, Maria sebagai
Bunda Segala Suku cenderung menyerupai wajah perempuan blasteran karena bentuk matanya
yang tajam membulat, pipi tirus, bentuk wajah oval dan hidung yang terlalu mancung (Wawancara
pribadi, 11 September 2021). Senada dengan prodiakon, salah seorang anggota Komisi
Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta (Komsos-KAJ) bernama Bayu mengungkapkan
pendapatnya mengenai hidung Maria yang dirasa terlalu mancung untuk ukuran orang Indonesia.

“Maria Bunda Segala Suku itu cantik ya mas. Cantiknya blasteran tapi.
Kenapa? Soalnya mana ada orang Jawa hidungnya semancung itu?”
(Wawancara Bayu, 19 Mei 2021).

106
Gregorius Gomas selaku inisiator sayembara pencarian figur Maria Bunda Segala Suku
juga mengakui bahwa figur tersebut memiliki karakter wajah yang penuh nuansa campuran Jawa
dengan Eropa. Baginya, wajah Maria yang digambarkan Gunawan adalah wajah Maria yang
blasteran. Hanya saja, Gomas tidak memandang itu sebagai masalah serius. Sebab menurutnya,
wajah yang tergambarkan itu merupakan hasil dari kreativitas seorang seniman yang harus
dihargai dan diapresiasi (Wawancara Gomas, 14 April 2021).

Ketika penulis bertanya perihal pendapat sebagian kecil umat terhadap wajah Maria Bunda
Segala Suku yang cenderung blasteran itu, Gunawan hanya memberikan tanggapan yang santai
tanpa bermaksud mengklarifikasi hal tersebut.

“Mungkin ada orang yang bilang wajahnya itu kayak mana lah, mungkin
bisa kayak Manado, ada yang bilang kayak Jawa, ada yang bilang kayak
Sunda, ada yang bilang kayak blasteran Eropa. Cuman ya balik lagi
masing-masing kita dalam memaknai sesuatu, gitu kan. Jadi ya, karena
kita berbeda-beda, semua memandangnya pasti sesuai interpretasi masing-
masing. Karena suatu seni itu kan gak ada yang dibilang salah atau betul.
Hukumnya tuh, oh ini salah, itu betul. Cuman adanya jelek sama gak jelek.
Ada yang suka sama ada yang gak suka. Ya itu masing-masing balik lagi
ke selera.” (Wawancara pribadi dengan Gunawan, 11 April 2021)

Tanggapan semacam itu tampaknya patut dimaklumi mengingat profesi Gunawan sebagai seorang
seniman lukis. Sepanjang perbincangan yang terjalin di antara kami, Gunawan terus menerus
menekankan pendapatnya perihal kebebasan seniman dalam mengekspresikan visi-visi artistik
yang ia miliki ke dalam kanvas. Baginya, inovasi dalam penggambaran figur Maria merupakan
sesuatu yang wajar selama tetap mentaati kaidah-kaidah agama Katolik. Hanya saja patut
ditekankan bahwa Gereja Katolik tidak memiliki ketetapan perihal karakteristik dari figur Maria
yang otentik. Dengan kata lain, Gunawan merasa bahwa apa yang ia lakukan murni sebagai
interpretasi terhadap wajah Maria yang sampai sekarang tidak diketahui penampakannya secara
pasti.

Di sisi lain, munculnya wajah Maria Bunda Segala Suku dengan karakteristik yang sudah
dijabarkan dapat dilihat sebagai upaya Gunawan dalam mengimitasi figur Maria ala Barat sembari
mengindonesiakan penampakan lahiriahnya. Singkatnya, karakteristik wajah Maria Bunda Segala
Suku adalah hasil dari suatu proses mimikri yang dilangsungkan dengan meniru sebagian karakter-
karakter dan menerjemahkannya ke dalam sebuah bentuk yang diterima menurut konstruksi

107
budaya Indonesia. Proses mimesis yang tampak pada hasil karya Gunawan merupakan petunjuk
mengenai sejauh mana Indonesianisasi dipertahankan oleh Gereja Katolik, yakni dengan meniru
sebagian dan mengubahnya ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima atau diklaim sebagai
representasi keindonesiaan orang Katolik dalam rupa Maria Bunda Segala Suku.

Gelung rambut Maria

Citra keindahan yang terpancar dari Maria Bunda Segala Suku semakin lengkap dengan
tatanan rambut yang digambarkan dalam posisi tergelung atau tersanggul. Menurut KBBI (2021),
“sanggul” dapat diartikan sebagai tatanan rambut perempuan berbentuk gelungan yang terletak di
atas atau belakang kepala perempuan. Sanggul juga kerap disebut dengan istilah “kundai” atau
“konde”. Adapun sanggul yang dikenakan Maria Bunda Segala Suku kemungkinan besar merujuk
kepada bentuk sanggul “gantung” yang mengambil namanya dari posisi gelungan rambut yang
menggantung di tengkuk leher. Bentuk sanggul tersebut jamak dijumpai dalam tatanan rambut
perempuan Jawa khususnya dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta.

Mengenai sanggul Maria Bunda Segala Suku, Robert mengaku bahwa ia terinspirasi dari
para penata rias yang melibatkan diri dalam upacara pengantin tradisional. Mereka umumnya
melakukan penataan rambut kepada pengantin perempuan dengan membuat gelungan sanggul.
Selain itu, sanggul juga kerap digunakan pada perhelatan besar seperti upacara adat, seremonial
kenegaraan dan lain sebagainya. Bagi Robert, gelungan rambut berbentuk sanggul merupakan
elemen penting yang dapat memperkental citra keindonesiaan dalam figur Maria Bunda Segala
Suku (Wawancara Gunawan, 11 April 2021).

4.2.2. Keindonesiaan dalam balutan busana Maria sebagai Bunda Segala Suku

Adapun figur Maria Bunda Segala Suku digambarkan dengan mengenakan beberapa
perangkat busana berupa tudung kepala berwarna merah dan putih, kebaya brokat warna putih
gading dengan ekor panjang yang bermotif wayang dewi Srikandi, dipadankan dengan bawahan
berupa kain tenun bermotifkan tenunan khas Indonesia bagian Timur. Berikut penjelasan dan
analisis mengenai makna dan wacana di balik masing-masing penggambaran tersebut.

108
Tudung Merah-Putih

Gambar 8. Tudung kepala Maria dengan warna merah-putih dan motif batik buketan pesisir.

Sebagaimana penggambaran yang umum dijumpai, Maria Bunda Segala Suku tampil
dengan mengenakan kerudung panjang yang menutupi gelungan rambutnya. Menariknya,
kerudung tersebut memiliki warna yang serupa dengan bendera nasional Indonesia yakni merah
dan putih. Meskipun memang warna merah lebih mendominasi ketimbang warna putih yang tampil
hanya pada bagian pinggir dan aksen bunga yang terletak di bagian dalam kerudung (gambar 8).

Adapun gambar Maria berkerudung sendiri tampaknya tidak terpisahkan dari ajaran agama
Katolik terutama mengenai Maria sebagai simbol dari norma-norma keperempuanan. Maria
dipandang sebagai simbol dari kesopanan perempuan dalam hal berbusana (feminine modesty).
Hal ini merupakan jejak-jejak dari tradisi Judeo-Christian mengenai norma kesopanan yang
bobotnya kerap ditimpakan kepada perempuan. Gereja Katolik sejak awal usianya telah
menganjurkan perempuan agar menggunakan tudung kepala pada kesempatan tertentu. Hal itu
berangkat dari teks-teks kitab suci yang berbicara mengenai keutamaan dalam berbusana secara
sederhana dan sopan. Keduanya dipandang sebagai bentuk kebajikan moral dan sosial bagi
perempuan (Zohreh et.al., 2016: 260). Paulus melalui Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus
juga mewajibkan penggunaan tudung kepala bagi perempuan yang hendak berdoa maupun

109
bertemu dengan lawan jenis sebagai tanda kewibawaan sekaligus kepatuhan terhadap
pasangannya.

Pada perkembangannya, penggunaan tudung kepala menghasilkan pemaknaan-pemaknaan


teologis yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam kacamata agama. Menurut Ingrid
(dalam laman Katolisitas.org, 2018), alasan teologis tentang pemakaian tudung kepala bagi
perempuan adalah berkaitan dengan sikap batin dan panggilan hidup yang berbeda antara
perempuan dengan laki-laki. Paulus dari Tarsus menggambarkan perbedaan ini dalam kalimat
“kepala setiap perempuan adalah laki-laki, kepala setiap laki-laki adalah Kristus, kepala Kristus
adalah Allah” (1 Korintus 11:3). Meskipun agama Katolik mengajarkan bahwa keduanya memiliki
hak yang sama, perbedaan kodrati perempuan dengan laki-laki dipandang sebagai sesuatu yang
niscaya dan menentukan peranan mereka dalam masyarakat, dimana laki-laki berperan sebagai
pemimpin dan perempuan sebagai pendamping sekaligus pemelihara kehidupan. Lantas,
perbedaan kodrati yang ada terefleksikan dalam gaya berbusana yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan.

Maka tidak mengherankan apabila Maria selalu tergambarkan dalam figur perempuan yang
menutupi kepalanya dengan kerudung. Posisi teologis Maria menempatkannya sebagai figur
panutan yang dijadikan referensi oleh umat Katolik. Nilai-nilai yang muncul dari pandangan
mengenai perbedaan kodrati seperti inferioritas dan kepatuhan pun dilekatkan kepada Maria
(Morgan, 2005: 209). Melalui penggambaran tudung kepala sebagai simbol dari nilai-nilai itu,
perempuan Katolik diharapkan untuk berlaku menyerupai junjungan mereka dengan berbusana
yang sopan, rapi, dan apabila perlu, menutupi kepalanya dengan kerudung pada kesempatan-
kesempatan tertentu seperti misa.

Sejauh ini penulis tidak dapat memastikan terkait apakah Robert Gunawan sendiri
mengetahui konstruksi teologis dan gender yang berada di balik penggambaran tudung kepala
Maria. Besar kemungkinan, Gunawan hanya berusaha menyesuaikan visinya mengenai Maria
Bunda Segala Suku dengan representasi visual yang pada umumnya menggambarkan Maria
dengan mengenakan tudung kepala. Satu hal yang dapat dipastikan adalah Gunawan memilih
komposisi warna merah-putih sebagai warna tudung kepala yang dikenakan Maria, sebagai upaya
untuk menerjemahkannya sebagai Bunda Segala Suku.

110
Warna merah-putih sendiri cukup jamak dijumpai dalam tradisi-tradisi keagamaan Katolik.
Keduanya memiliki makna tersendiri serta digunakan dalam berbagai macam kesempatan yang
berbeda. Tatacara liturgi atau peribadatan resmi agama Katolik yang menyangkut perayaan-
perayaan mengenai kisah hidup Yesus Kristus menggunakan warna merah dan putih sebagai warna
untuk busana imam dan diakon serta pelayan-pelayan liturgi (vestments). Warna putih sendiri
diasosiasikan dengan kemurnian, keperawanan, kesucian, serta kelahiran. Warna putih digunakan
pada perayaan Natal dan Paskah yang masing-masing merenungi kelahiran dan kebangkitan Yesus
Kristus. Warna putih juga digunakan dalam ritual inisiasi seperti pembaptisan, komuni pertama,
perkawinan, pentahbisan imam, dan belakangan juga digunakan dalam ritus penguburan para
imam. Adapun warna merah secara liturgis digunakan pada perayaan Minggu Palma dan Jum;at
Agung serta dalam ritus penguburan Paus. Para kardinal juga mengenakan busana liturgis (habitus
choralis atau choir dress) dan busana resmi sekuler (court dress) dengan warna dasar merah
sebagai perlambang kemartiran.

Adapun tradisi penggambaran Maria sebenarnya lebih banyak menggunakan komposisi


warna biru dan putih. Pada umumnya, warna biru dan putih digunakan dalam penggambaran
busana yang dikenakan Maria serta pada perayaan-perayaan besar yang memperingati kehidupan
Maria. Mengutip Kelleher (dalam The Paris Review, 2018), sejak abad ke-4 Masehi, warna biru
mulai diadopsi sebagai elemen penting dalam penggambaran figur Maria untuk memunculkan
kesan asing, sakral, dan transenden bagi umat.

Komposisi warna biru dan putih itulah yang disubstitusikan dengan warna merah dan putih.
Apabila dicermati dengan mendetail, komposisi warna merah dan putih begitu mendominasi
penggambaran figur Maria Bunda Segala Suku. Bagi Gunawan, komposisi warna menjadi penting
untuk menghadirkan nuansa keindonesiaan. Secara khusus ia memperlihatkan warna merah dan
putih di tudung kepala dengan begitu kentara. Dengan demikian, figur Maria terlihat menjadi lebih
nasionalistik dan sesuai dengan tema Bunda Segala Suku (Wawancara Gunawan, 11 April 2021).
Dengan komposisi warna merah dan putih sebagai warna tudung kepala, Gunawan mereplikasi
figur Maria menurut versi penggambaran Barat dan menghasilkan sebuah representasi mimikri
melalui hadirnya nilai-nilai nasionalisme dalam bendera Merah-Putih yang disepadankan dengan
figur Maria sebagai perempuan berkerudung.

111
Tudung kepala Maria yang “serupa namun tidak benar-benar sama” dengan tudung kepala
Maria dalam penggambaran-penggambaran tradisional sebelumnya menjadi salah satu elemen
yang mendapatkan apresiasi dari banyak pihak. Romo Harry Sulistyo selaku anggota dewan juri
dari penyelenggaraan sayembara Maria Bunda Segala Suku mengakui bahwa penggambaran
bendera Merah-Putih pada tudung kepala Maria memperkuat penilaian dewan juri untuk
menetapkan lukisan Maria karya Robert Gunawan sebagai figur yang mampu merepresentasikan
tajuk Maria Bunda Segala Suku (Wawancara Sulistyo, 12 Februari 2021). A.M. Putut Prabantoro
selaku salah satu pemrakarsa dan pengusul nama Maria Bunda Segala Suku juga menilai tudung
kepala Maria sebagai representasi bendera Merah-Putih dan semakin memperkuat kesan
nasionalisme dalam figur Maria Bunda Segala Suku (Wawancara Prabantoro, 13 Februari 2021).
Begitu pula dengan pendapat beberapa umat Katolik dari paroki Bunda Teresa Cikarang yang
mengapresiasi penggambaran tudung kepala Maria dalam rupa bendera Merah-Putih. Benny
selaku Sekretaris Paroki Cikarang juga menceritakan tentang pujian yang diberikan oleh pastor
paroki setempat kepada Gunawan karena telah berani menggambarkan tudung kepala Maria
sebagai bendera Merah-Putih (Wawancara Benny, 16 Desember 2021).

Maria berbusana kebaya brokat putih gading bermotif Srikandi

112
Gambar 9. Model kebaya modern dari figur Maria Bunda Segala Suku.

Sebagaimana digambarkan Gunawan, Maria Bunda Segala Suku mengenakan kebaya


brokat. Warnanya dominan putih gading dan dihiasi aksen keemasan berbentuk sulur-suluran.
Kebaya tersebut memiliki bentuk yang kontemporer dengan modifikasi pada bagian kerah dan
ujung belakang.

Menurut Kamus Mode, sebagaimana dikuti Trismaya (2018: 152), kebaya adalah busana
tradisional perempuan Indonesia berupa blouse atau atasan berlengan panjang, dengan bukaan di
depan. Model dan ukurannya bervariasi, mulai dari kebaya sepanjang lutut hingga mencapai betis.
Umumnya kebaya dipadupadankan dengan bawahan berupa kain panjang seperti jarit atau tapih
yang menutupi tubuh mulai dari pinggang hingga mata kaki.

Kebaya sendiri telah diadopsi dalam gambar orang-orang kudus dalam rangka
mengakulturasikan budaya lokal dengan tradisi keagamaan Katolik di Indonesia. Hal ini dipelopori
oleh seniman lukis Basuki Abdullah melalui lukisan yang berjudul Maria Assumpta atau “Bunda
Maria Diangkat ke Surga”. Dalam lukisan itu Basuki Abdullah menggambarkan Maria sebagai
perempuan Jawa dengan busana kebaya beludru berwarna gelap kebiru-biruan yang dihasi bros
dan giwang ala bangsawan keraton Jawa. Kain batik bermotif parang rusak digambarkan sebagai
pelengkap dari busana Maria ala Jawa itu. Abdullah juga tercatat pernah menggambarkan Maria
dalam busana kebaya sederhana dan batik sogan ala Surakarta (Kumparan.com, 2021).

Selepas Basuki Abdullah, penggambaran Maria berbusana kebaya tetap bertahan meski
tidak begitu populer dalam praktik devosi rakyat. Figur Maria berkebaya hanya dikenal oleh
komunitas-komunitas tertentu. Salah satunya adalah komunitas suster-suster Trappist di Salatiga.
Mereka menyimpan patung Maria berbusana kebaya dan kain sederhana ala kampung yang
dilengkapi dengan kain gendongan untuk menggendong bayi Yesus. Patung itu diberi nama “Maria
Bunda Gedono” yang merujuk kepada sebuah kampung yang terletak tidak jauh dari kompleks
biara tempat mereka tinggal.

Figur Maria berkebaya juga hanya dirayakan sebagai simbol umat Katolik di Indonesia
tanpa adanya suatu praktik devosi yang berarti. Ia hanya digambarkan sebagai memorabilia dalam

113
kesempatan-kesempatan khusus. Hal ini pernah dilakukan oleh Jonathan Chanutomo, seorang
umat Katolik asal Keuskupan Surabaya yang mempersembahkan gambar Maria berkebaya kepada
Paus Fransiskus. Hasil karyanya menampilkan Maria sebagai perempuan berkebaya dengan wajah
menyerupai Happy Salma. Hanya saja, gambar tersebut sengaja diperuntukkan sebagai hadiah dari
kaum muda Katolik Indonesia kepada Paus dalam kesempatan konferensi pemuda Katolik lintas
Asia-Pasifik atau Asian Youth Day di Korea Selatan, 15 Agustus 2014 yang lalu (Jawa Pos, 31
Agustus 2014: 29, 39).

Patut dicatat bahwa contoh-contoh di atas tidak digunakan secara luas dalam benda
devosional umat Katolik di Indonesia. Figur Maria yang terpatri pada patung dan lukisan yang
umum beredar tetap mengenakan jubah longgar yang barangkali merupakan busana hybrid antara
budaya Timur Tengah dengan Eropa. Tentunya hal ini menimbulkan perhatian sebab busana dapat
dipandang sebagai pajangan budaya (cultural display) yang berperan mengkomunikasikan afiliasi
budaya (Morris dalam Barnard, 2009). Dengan kata lain, busana yang tergambarkan dalam benda
devosional bertemakan Maria dapat menjadi sarana simbolis yang mengkomunikasikan identitas
budaya dari pelaku devosi yang bersangkutan.

Seperti sudah dijelaskan pada bab ketiga, para penggagas devosi kepada Maria Bunda
Segala Suku tampak begitu menaruh perhatian kepada permasalahan hubungan antara praktik
devosi dengan identitas budaya. Perbedaannya adalah mereka berupaya mempertunjukkan
identitas budaya Indonesia secara keseluruhan melalui adanya figur Maria sebagai pelindung
segala suku. Selaku partisipan sayembara, Gunawan tampaknya menangkap niatan tersebut
dengan cukup baik melalui penggambaran busana kebaya bernuansa kontemporer dan
nasionalistik.

Hal itu ditunjukkan melalui pilihan referensi dari model kebaya yang dikenakan Maria.
Gunawan memilih model kebaya ala Anne Avantie sebagai pola dasar dari kebaya Maria Bunda
Segala Suku. Kebaya rancangan Anne Avantie dipilih untuk menampilkan identitas nasional
Indonesia yang bernuansa modern-kontemporer tanpa terlalu menonjolkan gaya atau pola ragam
dari satu etnis tertentu, di samping faktor keterbatasan waktu yang membuatnya tidak sempat
meneliti aneka ragam model kebaya tradisional.

114
“Kalo bicara Bunda Maria versi Indonesia, orang desain mikirnya pasti ya
udahlah ada unsur-unsur tradisional gitu sih. Kalo mikir satu-satu begitu,
ya lama banget. Karena ini sayembara ya. Kita terbatas waktu ya, udah
seminggu, udah dua minggu, jadi ya intinya menyerupai, ya kurang lebih
lah udah kebaya modern sih bisa dibilang ya. Kayak Anne Avantie gitu
lah. Ya, bener tapi gak pas banget juga sih. Kebaya nya Anne Avantie itu
kan modern ya, itu kan dia ada peralihan ya kayak kombinasi ya, namanya
gak baku begini gitu kan. Kalo kebaya bener (tradisional) mungkin itu
bentuknya agak beda. Cuman kalau aku kan hanya mengambil sebagian.
Ya jadi itu sih sudah pencerminan, ya mungkin nganggepnya udah versi
modernnya. Ya berbagai macam. Jadi, ya sudah sesuai dengan zaman
sekarang. Kemaren begitu sih”. (Wawancara pribadi dengan Gunawan, 11
April 2021)

Kreativitas Gunawan dalam meramu busana yang sesuai dengan ruh Bunda Segala Suku
tak pelak melahirkan model kebaya yang tidak lagi kentara dengan penanda-penanda identitas
etnis tertentu. Di satu sisi, kebaya tersebut sengaja digambarkan untuk memperkental citra
keindonesiaan yang lebih kontemporer. Di sisi lain, tujuan itu justru membuat kebaya yang ada
tidak benar-benar terlihat seperti kebaya menurut perspektif tradisional. Dengan bentuk
memanjang dan model kerah yang tertutup, kebaya Maria Bunda Segala Suku terlihat seperti
perpaduan antara kebaya Indonesia dengan gaun malam ala Eropa yang berpotongan seperti gamis
“abaya” Arab dan kerah serupa cheongsam ala Tiongkok kontemporer. Tampaknya, Gunawan
justru memperlihatkan pandangannya mengenai keindonesiaan sebagai sesuatu yang in-
betweenness atau terdiri atas berbagai macam penanda budaya melalui penggambaran kebaya
Maria Bunda Segala Suku.

115
Gambar 10. Figur Srikandi sebagai motif brokat dalam kebaya Maria Bunda
Segala Suku.

Namun demikian, elemen budaya Jawa rupanya masih menampakkan diri dalam kebaya
yang dikenakan oleh Maria Bunda Segala Suku. Hal itu ditandai dengan adanya motif wayang
berbentuk Srikandi. Figur wayang itu terdapat pada bordiran emas. Menurut Hardjowirogo (1989:
347), dunia pewayangan Jawa mengenal Srikandi sebagai simbol kepahlawanan perempuan.
Dalam lakon wayang purwa, Srikandi adalah satu-satunya perempuan yang diperbolehkan untuk
terjun ke dalam medan perang Bharatayuddha. Diceritakan bahwa penerjunan Srikandi merupakan
peristiwa yang membuka jalan bagi kemenangan kubu Pandawa. Hal ini dikarenakan Srikandi
berhasil mengalahkan Bisma, pahlawan perang kubu Kurawa yang sebelumnya tidak terkalahkan
oleh siapapun.

Gunawan sendiri menyatakan bahwa figur Srikandi sengaja dimasukkan sebagai rujukan
terhadap kepahlawanan Maria. Gunawan merasa bahwa kepahlawanan Srikandi dalam berjuang
bagi kepentingan kaumnya dapat disandingkan dengan kepahlawanan Maria yang
memperjuangkan keselamatan jiwa umat beriman di hadapan Allah. Selain itu, Gunawan juga
memasukkan Srikandi sebagai penghormatan terhadap umat Katolik beretnis Jawa. Terlebih, umat
Katolik di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Gunawan beralasan bahwa kelompok demografis inilah
yang berperan besar terhadap perkembangan agama Katolik di Indonesia. Sepengetahuan
Gunawan, suku Jawa banyak melahirkan figur uskup dan pastor yang berkualitas dan menduduki
tampuk kepemimpinan agama Katolik di Indonesia. Dua hal tersebut menjadi alasan Gunawan
dalam menyertakan motif wayang Srikandi (Wawancara Gunawan, 11 April 2021).

Barangkali bukan kapasitas penulis dalam menilai apakah persepsi Gunawan dapat
dibuktikan melalui data-data demografis. Hanya saja, persepsi tersebut bisa dimengerti sebagai
implikasi dari narasi atau wacana Jawa yang cukup dominan dalam kehidupan beragama umat
Katolik di Indonesia. Menurut Steenbrink (2007), umat Katolik di pulau Jawa, khususnya yang
berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, dapat dipandang sebagai cikal bakal populasi Katolik
pribumi dengan spektrum ideologis yang nasionalistik yang berperan secara signifikan dalam
kehidupan politik meski tidak seberapa jumlahnya. Secara historis, pulau Jawa merupakan tempat
dimulainya misi Katolik yang menggunakan praktik adaptasi dan akulturasi budaya secara masif.
Jawa juga menjadi tempat munculnya populasi Katolik pribumi berpendidikan Barat yang nantinya

116
menduduki kursi elit di tataran nasional maupun internal Gereja. Pulau Jawa juga menjadi salah
satu pusat kebudayaan bagi umat Katolik di Indonesia dikarenakan banyaknya institusi pendidikan
menengah dan tinggi yang terafiliasi dengan Gereja serta tempat berkumpulnya berbagai macam
kalangan awam, mulai dari budayawan, seniman dan intelektual, yang membaktikan pikirannya
untuk kemajuan umat Katolik. Selain itu, Gereja Katolik di pulau Jawa juga mendapat sokongan
finansial dan politik yang kuat dari umat maupun negara dan lembaga-lembaga terkait. Maka dari
itu, tidak berlebihan apabila Gereja Katolik di Jawa menjadi sangat dominan dan barangkali
dipandang sebagai representasi Kekatolikan secara nasional.

Tentu saja penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa hanya di pulau Jawa atau
suku Jawa sajalah terdapat penganut agama Katolik dengan daya pikat dan daya tahan yang
mumpuni. Suku-suku lain seperti Batak, Dayak, Flobamora, Toraja, Minahasa, Tionghoa serta
etnis lainnya juga memiliki populasi Katolik betapapun jumlahnya. Mereka tidak dapat dinafikan
begitu saja dalam perbincangan publik mengenai agama Katolik di Indonesia. Hanya saja, narasi
Jawa yang ditandai dengan keberadaan motif wayang tampak cukup dominan dalam figur Maria
Bunda Segala Suku. Jika ditinjau dari sisi teknis, hal tersebut barangkali disebabkan oleh kesulitan
yang dialami Gunawan dalam menentukan penanda budaya seperti apa yang dapat disandingkan
dengan konsepsi teologis agama Katolik mengenai Maria. Dunia pewayangan barangkali mampu
menyediakan simbolisasi yang mudah disandingkan dengan ajaran agama Katolik. Di sisi lain,
pilihan tersebut berpotensi menimbulkan keberatan-keberatan di kemudian hari. Maria Bunda
Segala Suku bisa dipandang kurang representatif terhadap keindonesiaan karena simbol dan
ornamentasinya yang condong pada satu budaya etnis tertentu. Hal tersebut barangkali merupakan
persoalan yang mengiringi upaya penerjemahan suatu elemen budaya ke dalam elemen budaya
lain yang jauh lebih kompleks dan plural.

Gunawan tampaknya menyadari kentalnya karakteristik Jawa dalam busana kebaya Maria
Bunda Segala Suku. Ia berupaya mengimbangi narasi yang ada dengan memadupadankan kebaya
modern bermotif Srikandi dengan kain panjang ala Indonesia Timur, hal mana yang akan dibahas
pada bagian di bawah ini.

117
Balutan kain dengan motif tenunan khas Indonesia Timur

Gambar 10. Kain tenun bermotifkan tenun ikat


khas Indonesia bagian timur

Tenun ikat atau kain tenun merupakan kriya tekstil yang tercipta dari bahan yang dibuat
benang yang telah dicelupkan ke dalam pewarna dengan cara memasukkan bahan secara melintang
pada benang lungsi. Adapun proses pembuatan kain tenun ikat memiliki teknik dan hasil yang
masing-masing berbeda, antara lain meliputi; tenun ikat lungsi, tenun ikat pakan, tenun dobel ikat,
dan tenun ikat khusus (Ambarawati, 2013: 65). Sebagai simbol budaya, kain tenun ikat dapat
dijumpai pada beberapa kesempatan khusus seperti perkawinan, kelahiran, kematian, dan upacara-
upacara lainnya. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan makna kain dalam kehidupan masyarakat
Indonesia sebagai cerminan adat istiadat, kebudayaan dan sistem kepercayaan (Budiwanti, 2000:
11).

118
Kain tenun ikat dipilih Gunawan untuk disepadankan dengan kebaya yang dikenakan
Maria Bunda Segala Suku. Kain tersebut dililitkan pada bagian pinggang Maria dan menjuntai
hingga melampaui mata kaki. Di dalamnya memuat motif berupa pola-pola geometris yang
memanjang ke bawah disertai dan dilengkapi figur binatang yang membentuk barisan di bagian
bawah kain. Warna kain didominasi ungu serta merah yang dilengkapi oleh ornamen hitam-putih.
Ditinjau dari bentuk, warna dan motifnya, kain tersebut mengacu kepada kain tenun ikat ala
Indonesia bagian timur (Wawancara Gunawan, 11 April 2021).

Menurut Gunawan (11 April 2021), kain tersebut sengaja dipasang untuk dipadupadankan
dengan kebaya yang dikenakan Maria Bunda Segala Suku. Komposisi motif ala Indonesia Timur
sengaja diadopsi sebagai referensi terhadap umat Katolik di Indonesia Timur. Secara spesifik,
Gunawan menyebut bahwa inspirasinya berdasarkan pada pengamatannya terhadap imam-imam
Katolik di Indonesia Timur, khususnya Flores, yang belakangan bermukim di Jakarta. Hemat
penulis, pilihan itu didasarkan pada latar belakang Gunawan sebagai jemaat dari Paroki Santo
Yoseph Matraman, Jakarta Timur. Paroki tersebut berada di bawah penggembalaan imam-imam
dari Serikat Sabda Allah (SVD). Imam-imam SVD mengemban tanggung jawab penggembalaan
paroki di wilayah timur KAJ. Paroki asal penulis di kota Bekasi juga berada di bawah pengelolaan
imam-imam SVD. Mereka didominasi oleh imam-imam yang berasal dari pulau Flores dan
sekitarnya. Lantas, pilihan kain tenun ikat ini merupakan penyeimbang yang baik atas karakteristik
Jawa yang terdapat dalam kebaya Maria Bunda Segala Suku.

119
Garuda Pancasila di Dada Maria: Kebhinnekaan sebagai Nilai Utama Kekatolikan
Indonesia?

Gambar 11. Garuda Pancasila berwarna keemasan di dada


Maria Bunda Segala Suku

Hal menarik dari penampilan Maria Bunda Segala Suku adalah keberadaaan lambang
Garuda Pancasila yang begitu mencolok. Lambang tersebut diletakkan di bagian dada dan perut
dalam posisi yang membuatnya terlihat seperti perisai. Praktis, profil pinggang Maria menjadi
begitu terlihat. Lambang tersebut diadopsi dari lambang Garuda Panncasila karya Sultan Hamid II
dari Kesultanan Pontianak (Turiman, 2014: 123). Gunawan memodifikasi penggambaran dengan
membuat sayap Garuda menjadi lebih menukik ke atas serta merubah komposisi warna dengan
lebih menonjolkan warna keemasan.

120
Alasan dibalik penyertaan lambang tersebut sangatlah menarik di mata penulis. Gunawan
dengan begitu mantapnya mengungkapkan bahwa lambang Garuda Pancasila adalah perlambang
dari kebhinnekaan itu sendiri, sebagaimana diungkapkan sebagai berikut;

“Ibarat simbol, Garuda di dadaku. Jadi ya maksudnya, Bunda Maria itu


kebhinnekaannya dipake! Simbol kebhinnekaan itu (Garuda Pancasila)”
(Wawancara pribadi dengan Gunawan, 11 April 2021)

Pendapat yang demikian tampaknya dapat dilihat sebagai cerminan atas wacana politik umat
Katolik di Indonesia yang terbentuk setidaknya sejak era kemerdekaan. Wacana tersebut
menempatkan aspirasi bercorak nasionalistik sebagai sesuatu yang harus diutamakan oleh umat
Katolik, ketimbang wacana agama. Ditinjau dari sisi sejarah, terbentuknya wacana tersebut
sebagai landasan utama bagi keputusan-keputusan politik penganut agama Kristen yang dahulu
berangkat dari krisis akseptasi dan stigmatisasi terhadap penganut Kristen akibat afiliasi historis-
kultural dengan kolonialis Belanda (Kipp, 2000). Sebagai bentuk loyalitas umat Kristiani terhadap
agenda pembentukan Indonesia sebagai nation-state, aspirasi politik yang ada diselaraskan dengan
Pancasila sebagai ideologi negara, bahkan jika hal tersebut menutupi aspirasi politik berbasiskan
ajaran Kristiani.

Seperti telah dijelaskan dalam bab II dan III, wacana “bangsa goes above agama” bagi
umat Katolik dirasa semakin kontekstual di tengah maraknya pengentalan identitas keagamaan di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto (Ropi, 2017). Kurang lebih setahun sebelum penutupan
sayembara cipta karya lukis dan patung “Maria Bunda Segala Suku”, publik dikejutkan dengan
berita mengenai kasus penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta petahana Basuki
Tjahaja Purnama. Pria yang akrab disapa Ahok dan sedang mengikuti kontestasi pilgub DKI itu
dituding telah melakukan penistaan terhadap agama Islam melalui komentarnya terkait Al Qur’an.
Tudingan tersebut berimbas kepada munculnya gelombang penolakan dan tuntutan agar Ahok
dipidanakan. Puncaknya, pada 4 November 2016, terjadi aksi massa bertajuk “Aksi Bela Islam”
yang menutut agar Ahok segera diproses hukum. Gelombang aksi massa tersebut kelak melahirkan
gerakan yang menamakan dirinya “212” (Tirto.id., 2019).

Memang patut diakui bahwa kasus penistaan agama yang menimpa Ahok tidak dapat serta-
merta dipandang sebagai bukti terkait meningkatnya intoleransi, politik identitas keagamaan, dan
hal-hal lain yang tampaknya turut disinggung secara tidak langsung oleh keberadaan devosi

121
kepada Maria Bunda Segala Suku. Beberapa kritik terhadap Ahok menyoroti intensi dibalik
komentarnya terhadap penggunaan kutipan Surat Al-Maidah ayat 51 dalam kampanye politik.
Besarnya partisipasi masyarakat terutama dari kelompok Islam dan etnis Betawi dalam aksi massa
yang menuntut proses hukum terhadap Ahok juga ditengarai sebagai ekspresi ketidakpuasan
terhadap penggusuran-penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta di
bawah kepemimpinannya. Selain itu, polarisasi dalam tubuh masyarakat, sebagaimana dituduhkan
kepada meningkatnya sentimen agama dalam Pilgub DKI Jakarta pasca kasus penistaan agama
Ahok, juga sudah lama terlihat sejak kontestasi Pilpres di tahun 2014 yang dimenangkan oleh
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Hanya saja, kasus
penistaan agama yang menimpa Ahok barangkali terlihat lebih “spesial” karena melibatkan
identitas agama dan etnis sebagai sasaran utama daripada eskalasi yang sedang berlangsung saat
itu. Identitas Ahok sebagai Tionghoa penganut agama Kristen, yang tak pelak menempatkannya
sebagai minoritas ganda, serta reaksi publik terhadap pernyataannya dapat dilihat sebagai preseden
buruk bagi para penganut agama Kristen Protestan dan Katolik terutama mereka yang berasal dari
etnis Tionghoa. Pengalaman yang demikian barangkali mempengaruhi Gunawan sebagai seorang
Tionghoa Katolik sehingga ia memilih Garuda Pancasila, yang notabene lekat dengan ideologi
negara, sebagai simbol yang merepresentasikan kecemasan umat Katolik dan etnis Tionghoa
terhadap situasi politik saat itu.

Bagi sebagian umat yang turut menggagas munculnya praktik devosi maupun
mengamalkannya, adanya lambang Garuda Pancasila dalam mahkota Maria Bunda Segala Suku
dipandang sebagai sesuatu yang mewakili kebhinnekaan dan persatuan. Sebagaimana dituturkan
seorang prodiakon asal paroki Santa Maria Regina Bintaro, yang meminta agar namanya tidak
dicantumkan dalam skripsi ini. Prodiakon tersebut berpendapat bahwa lambang Garuda Pancasila
merupakan representasi dari nilai kebhinnekaan itu sendiri (Wawancara prodiakon, 11 September
2021). Sekretaris Paroki Cikarang bernama Benny juga sependapat dengan hal tersebut. Ia
memandang keberadaan Garuda Pancasila sebagai sesuatu yang positif sebab memperkuat citra
Maria Bunda Segala Suku sebagai pelindung kebhinnekaan dan persatuan Indonesia (Wawancara
Benny, 12 Desember 2021). Adapun Putut Prabantoro selaku pengusul nama Maria Bunda Segala
Suku juga sepakat dengan poin-poin tersebut. Bagi Putut, penanda keindonesiaan yang barangkali
paling kentara dalam figur Maria Bunda Segala Suku terdapat pada lambang Garuda Pancasila.

122
“Coba nek gak ada Garuda Pancasilanya, pasti kita mikir tudung kepala
itu bendera Polandia. Oleh karena itu, Garuda Pancasila itu ya jiwanya
Maria Bunda Segala Suku. Keindonesiaannya itu ya karena itu” ujar
Prabantoro (Wawancara Prabantoro, 13 Februari 2021)

4.2.3. Keindonesiaan dalam simbol dan ornamen sebagai objek pendukung

Wawasan Nusantara dalam simbol “halo” berbentuk peta Indonesia

Gambar 12. Simbol “halo” berbentuk cakra-mahkota dengan peta Indonesia

Seluruh penggambaran busana dan ornamen dalam objek utama figur Maria Bunda Segala
Suku menjadi lengkap dengan adanya simbol “halo”25 dalam bentuk cakra berwarna keemasan
yang terdiri dari dua lapis bagian. Lapisan terluar dari simbol “halo” memiliki bentuk yang
menyerupai karangan bunga dengan ornamen-ornamen berbentuk bunga. Karangan bunga tersebut
dilengkapi dengan ornamen cunduk mentul atau kembang goyang berjumlah dua belas buah yang

25
Menurut Ensiklopedia Britannica (2021), simbol “halo” dalam khazanah seni rupa Kristen merupakan perlambang
karakter spiritual dalam simbolisme cahaya yang dinyatakan melalui penggambaran lingkaran atau piringan
bercahaya yang melatarbelakangi bagian kepala dari figur yang digambarkan sebagai orang suci. Ditinjau dari sisi
kesejarahan, simbol “halo” pada awalnya berasal dari kebudayaan Hellenisme (Yunani) dan Romawi Kuno dan
digunakan dalam penggambaran dewata dan raja‐raja setempat. Simbol “halo” dalam tradisi penggambaran di
agama Kristen mulai digunakan sehak abad ke‐4 Masehi.

123
mewakili simbol dua belas bintang dalam penggambaran Maria versi Eropa. Pucuk dari lapisan
terluar simbol halo itu berbentuk salib tanpa korpus yang juga berwarna kemasan. Sedangkan
lapisan terdalam dari simbol halo itu merupakan mahkota berwarna keemasan yang sebenarnya
memiliki bentuk yang lebih menyerupai matahari dengan ornamentasi berbentuk peta Indonesia
yang berada di tengah-tengahnya.

Gambar peta Indonesia dalam simbol “halo” itu sendiri begitu menyerupai peta kepulauan
Indonesia yang penulis kenal sejak kecil. Peta tersebut dimuat dalam buku-buku teks pelajaran
sekolah dasar serta atlas yang sepertinya wajib dimiliki oleh setiap pelajar di Indonesia saat itu.
Gambar peta tersebut disertai dengan sebuah kalimat berbunyi “Peta Wawasan Nusantara”.
Menurut Tap MPR tahun 1998 tentang GBHN, Wawasan Nusantara sendiri dapat dimengerti
sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Adapun
Usman (dalam Ridwan et.al., 2018: 171) berpendapat bahwa Wawasan Nusantara merupakan cara
pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua
aspek kehidupan yang beragam. Konsep tersebut juga merupakan doktrin politik mengenai
Indonesia sebagai kesatuan geopolitik yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan
memperhitungkan pengaruh geografi, ekonomi, demografi, teknologi dan kemungkinan strategik
yang tersedia ( Panggabean, 1979: 349). Secara ringkas, Wawasan Nusantara dapat kita maknai
sebagai konsepsi negara mengenai kesatuan dari seluruh cakupan geopolitik Indonesia sebagai
negara kepulauan dengan elemen-elemen demografis dan geografis yang beragam.

Gunawan sendiri tidak bercerita panjang-lebar terkait pertimbangannya dalam


menyertakan gambar peta Indonesia. Namun, apabila konsep Wawasan Nusantara itu dihubungkan
dengan Maria Bunda Segala Suku, alasan-alasan dibalik tindakan artistik Gunawan berkaitan
dengan penggambaran simbol “halo” barangkali dapat kita mengerti. Ia tidak hanya sekedar
menampilkan Wawasan Nusantara sebagai ornamen yang menonjolkan keindonesiaan. Ia juga
tidak hanya merayakan tentang betapa luas wilayah dan banyaknya pulau-pulau yang berada di
bawah naungan Indonesia. Melalui gambar peta Indonesia dalam simbol “halo” berbentuk cakra-
mahkota itu, Gunawan berupaya menampilkan Wawasan Nusantara dalam artian kesatuan dan
keragaman sebagai sesuatu yang hendaknya dijunjung tinggi oleh para pelaku devosi kepada Maria

124
Bunda Segala Suku. Hal tersebut barangkali masih tergolong sebagai jejak-jejak dari pendisiplinan
terhadap penganut Katolik di Indonesia, sehingga pilihan-pilihan dalam mengutamakan
“kepentingan nasional” yang dalam hal ini menyangkut wacana kesatuan bangsa Indonesia,
muncul secara kontinyu termasuk dalam representasi visual daripada figur Maria Bunda Segala
Suku.

Maria sang pelindung keragaman?: Curahan berkat kepada delapan figur pendoa
berbusana adat dilatarbelakangi langit mendung kebiruan.

Gambar 13. Sembilan figur pendoa dalam busana adat yang diberkati
Maria dilatarbelakangi langit biru keabu-abuan.

Kesan sakral dari figur Maria Bunda Segala Suku tampak semakin semarak berkat
keberadaan simbol dan ornamentasi yang bertempat di luar objek utama. Jika ditinjau lebih lanjut,
simbol dan ornamentasi tersebut sebenarnya sudah jamak dijumpai dalam karya visualisasi Maria
menurut tradisi seni Barat. Hal ini tampak dengan adanya ular hijau yang terinjak oleh Maria26.

26
Dalam tradisi seni sakral Gereja Katolik, gambar ular hijau yang terinjak merupakan rujukan terhadap Kejadian 2:
15. Penggalan ayat tersebut mengisahkan tentang jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa setelah memakan buah

125
Maria juga digambarkan dengan cahaya terang yang memancar dari tubuhNya dan menyinari
kegelapan disekitarnya. Postur tangannya merentang dan memancarkan cahaya sembari menyinari
figur pendoa yang berlutut di bawahnya. Bedanya, para pendoa itu digambarkan dengan masing-
masing berbusana adat. Busana adat yang digunakan agaknya merepresentasikan berbagai suku-
bangsa di Indonesia. Suku-suku yang terepresentasikan antara lain meliputi; Minangkabau,
Palembang, Papua, Dayak, Bugis, Flores, Bali dan Jawa.

Representasi visual berupa delapan figur pendoa berbusana adat, yang tampilan fisiknya
sudah dijabarkan di atas, sengaja ditampilkan sebagai alegori persatuan dan keragaman Indonesia.
Gunawan memandang busana adat sebagai elemen yang mampu menampilkan nuansa keragaman
dengan begitu jelas dan semarak. Baginya, hal tersebut sangatlah sesuai dengan tema Bunda Segala
Suku, yang menghadirkan peran simbolik baru Maria sebagai pelindung persatuan bangsa
Indonesia beserta dengan keragaman identitas didalamnya (Wawancara Gunawan, 11 April 2021).

Adanya persepsi terhadap busana adat, yang notabene berasal dari khazanah kebudayaan
etnis tertentu, sebagai representasi persatuan dan keragaman Indonesia bukanlah sesuatu yang
muncul begitu saja dalam sejarah. Hal ini berkaitan dengan konsepsi negara mengenai keragaman
etnisitas sebagai fondasi identitas nasional (Hitchcok, 2005: 51). Untuk negara pasca-kolonial
seperti Indonesia yang multi-etnik sekaligus memiliki populasi yang beririsan secara etnisitas
dengan suku-bangsa lain di luar batas-batas teritorial dan konstruksi politiknya, disintegrasi
merupakan satu hal yang menjadi perhatian utama. Dalam rangka menjaga keutuhan Indonesia
sebagai tatanan politik, maka dibutuhkan identitas nasional yang superior dan menaungi semua
golongan sekaligus menyerap semua elemen-elemen yang ada. Etnisitas tidak lagi dipandang
sebagai entitas yang otonom secara politik. Etnisitas mengalami domestifikasi serta dirayakan
sebagai elemen pembentuk identitas nasional yang lebih superior, hal mana yang ditandai dengan
corak-corak yang khas seperti busana adat, rumah adat, serta ragam hias. Dalam sudut pandang

dari pohon terlarang. Diceritakan bahwa Iblis sendirilah yang turun tangan menggoda mereka dengan cara
menyusup dan menyamar sebagai ular hijau. Gambar ular hijau yang terinjak Maria merupakan simbolisasi dari
peranan Maria dalam misteri Inkarnasi atau mewujudnya Allah sebagai Sang Putera melalui kelahiran Yesus Kristus
sang Juru Selamat. Bagi Gereja Katolik, persetujuan Maria untuk mengandung Yesus dan melahirkan sang Juru
Selamat ke dunia merupakan kemenangan atas apa yang dilakukan oleh iblis dahulu. Oleh karena itu, Maria sering
disebut sebagai “Hawa Baru” (New Eve) dan disimbolisasikan sebagai perempuan yang menginjak ular alias sang
Iblis itu sendiri. Disarikan dari Katolisitas.org, 19 Desember 2018

126
negara, keragaman yang sifatnya lahiriah itu dihimpun, dipersatukan, serta dikonstruksi sebagai
identitas nasional (Schefold, 1998: 259).

Melalui pendidikan utamanya pendidikan kewarganegaraan (PKn) di sekolah-sekolah,


konsepsi negara mengenai keragaman direproduksi dan diinternalisasikan sejak dini. Sebagai
contoh, dalam buku teks mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas XI
SMA/MA/SMK edisi tahun 2017, dinyatakan mengenai posisi adat dan budaya lokal dari suku-
suku dalam konstruksi identitas nasional sebagai berikut

“Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu. Corak ragam


budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya yang menjadi modal
dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, yang hasil-
hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia” (Kemendikbud,
2017: 179).

Tentunya dalam konteks Maria Bunda Segala Suku, keragaman tersebut ditampakkan
dalam nuansa yang lebih agamis. Keragaman budaya etnis tampil melalui busana yang dikenakan
oleh para pendoa yang matanya tertuju kepada wajah Maria, sang pelindung persatuan. Dalam
posisi yang sedemikian khusyuknya, mereka terlihat begitu menaruh harapan terhadap Maria
Bunda Segala Suku. Walaupun bisa jadi harapan tersebut juga terarah kepada Garuda Pancasila,
simbol dari Pancasila itu sendiri.

Adanya latar belakang berupa langit bernuansa mendung kebiruan juga cukup menarik
perhatian. Gunawan sendiri mengakui bahwa penggambaran tersebut merupakan referensi
terhadap isu politik identitas berbasiskan keagamaan yang mencuat sepanjang kasus penistaan
agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama di tahun 2016 hingga 2017. Bagi Gunawan,
Maria Bunda Segala Suku begitu relevan dengan situasi masyarakat yang terdampak akibat adanya
peristiwa tersebut. Ia berseloroh bahwa apabila kebhinnekaan mulai diuji oleh perkembangan
zaman, Maria Bunda Segala Suku merupakan satu-satunya tempat memohon dan berharap agar
segala situasi yang mengancam persatuan bangsanya segera terselesaikan (Wawancara Gunawan,
11 April 2021). Walaupun simbolisasi yang ada juga dapat dimaknai bahwa Maria menerima siapa
pun terlepas dari suku dan adat istiadatnya, selama mereka menaruh kepercayaan terhadap
supremasi Gereja Katolik di atas agama-agama lainnya.

127
Menariknya, gambar sembilan pendoa berbusana adat itu tidak menghadirkan elemen-
elemen yang mewakili kelompok etnis seperti Arab dan Tionghoa yang turut serta menghiasi profil
demografis umat Katolik di Indonesia. Absennya kedua budaya tersebut erat kaitannya dengan
konsepsi negara mengenai budaya dan identitas nasional. Secara historis, kedua etnis tersebut di
era Kolonial menempati posisi sebagai penengah (middle-man) dalam relasi antara bangsa Eropa
kulit putih dengan pribumi. Selain itu, kedua komunitas tersebut hidup dalam sel-sel yang ekslusif
dengan sistem kekerabatan dan budaya yang dipertahankan secara mandiri berkat kebijakan
pemerintah kolonial yang melarang praktik-praktik asimilasi seperti perkawinan antar ras dan
penggunaan busana lokal. Faktor-faktor historis-kultural yang ada membuat etnis Arab dan
Tionghoa di Indonesia tidak ternaungi dalam konstruksi budaya dan identitas nasional yang hanya
menaungi etnis-etnis yang dapat menyajikan pengalaman historis mereka sebagai sesama bagian
yang pernah merasakan pahitnya penjajahan.

Walaupun demikian, pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya lebih politis barangkali


turut menjustifikasi absennya penggambaran pendoa dari kedua etnis tersebut. Budaya Arab kerap
dipersepsikan sebagai sesuatu yang melekat pada agama Islam, sehingga menyertakannya dalam
objek devosional agama Katolik merupakan satu hal yang agaknya berpotensi menimbulkan
masalah berkepanjangan. Selain itu, elemen-elemen budaya Arab juga kerap dikorelasikan dengan
kekerasan dan konflik berbasiskan identitas. Salah satu figur penting dalam aksi massa yang
menuntut tindakan hukum bagi Ahok adalah Rizieq Shihab, seorang ulama keturunan Arab-
Indonesia yang kerap mengenakan sorban imamah dan gamis tatkala turun ke jalan. Bagi Gunawan
dan barangkali sebagian umat Katolik lainnya Putut, elemen-elemen budaya tersebut barangkali
dipandang sebagai sesuatu yang di luar cakupan pengetahuan mereka tentang keindonesiaan dan
dihindari.

Jikalau budaya Arab dipandang kental dengan nuansa agama Islam yang membuatnya tidak
dapat disandingkan dengan Maria, maka absennya budaya Tionghoa barangkali erat kaitannya
dengan konstruksi budaya dan identitas nasional yang mengeklusikan mereka. Menurut Sutrisno
(2018: 92), budaya Tionghoa diposisikan sebagai sesuatu berseberangan dengan konstruksi
identitas nasional sebab dipandang tidak memiliki keterkaitan dengan sejarah Indonesia. Praktik-
praktik pendisiplinan yang terjadi kepada etnis Tionghoa barangkali juga membentuk preferensi
kultural mereka. Alih-alih menampakkan ketionghoaan secara gamblang, sebagian orang-orang

128
Tionghoa memilih untuk membuktikan keindonesiaan mereka dengan mengadopsi elemen-elemen
budaya yang dikonstruksikan sebagai budaya asli Indonesia. Hal tersebut nampak pada diri
Gunawan, yang mana sebagai keturunan Tionghoa-Indonesia, cenderung memilih elemen-elemen
budaya Jawa, Flores, dan budaya etnis lainnya dalam representasi visual dari figur Maria Bunda
Segala Suku.

4.3. Keindonesiaan yang belum sempurna? Opini umat terhadap penggambaran figur Maria
sebagai Bunda Segala Suku

Menurut Sensus Penduduk 2010, Indonesia adalah bangsa yang memiliki 1340 suku bangsa besar
maupun kecil (Portal Informasi Indonesia, 2020). Merepresentasikan Maria sebagai Bunda dari
ribuan suku bangsa tentu menjadi tantangan serius. Terlepas dari usaha Gunawan untuk
merepresentasikan simbol-simbol berbagai suku di Indonesia, munculnya pertanyaan mengenai
konsep keindonesiaan yang direpresentasikan secara visual melalui figur Maria Bunda Segala
Suku menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan.

Setelah melakukan analisis mengenai makna dan wacana dalam penggambaran figur Maria
sebagai Bunda Segala Suku beserta dengan penerimaan dan resistensi yang tampil secara parsial,
pada bagian ini penulis menelaah temuan-temuan yang terkait dengan polemik pemaknaan
terhadap penggambaran figur Maria sebagai Bunda Segala Suku secara umum yang ditinjau dari
sudut pandang sebagian umat Katolik. Sepanjang proses penelitian ini penulis telah menelusuri
dan menjalin komunikasi dengan beberapa kelompok umat yang mengetahui atau mempraktikkan
devosi kepada figur Maria Bunda Segala Suku. Meskipun pandemi Covid-19 telah berdampak
pada tidak terselenggaranya aktivitas-aktivitas peribadatan yang melibatkan figur Maria sebagai
Bunda Segala Suku, beberapa di antara kelompok umat bersedia untuk penulis temui dalam rangka
penelitian ini. Hanya saja, patut disayangkan bahwa mereka tidak mengekspresikan kritik atau
ketidaksetujuannya terhadap kemunculan figur Maria Bunda Segala Suku secara terbuka.

Namun, penulis juga melakukan analisis terhadap komentar dalam artikel berita yang turut
menyebarluaskan figur Maria Bunda Segala Suku pada tahun 2017. Penulis menjumpai ulasan,
kritik dan resistensi terhadap representasi visual dalam figur Maria Bunda Segala Suku yang
datang dari para pembaca, yang tampaknya bukan menjadi bagian dari kelompok pelaku devosi

129
terhadap Maria Bunda Segala Suku. Penulis mengakomodir pendapat yang berbeda untuk
melengkapi gambaran tentang tarik-menarik pemaknaan terhadap figur Maria Bunda Segala Suku
di kalangan umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta.

4.3.1. Maria yang “asing”? Reaksi terhadap simbol dan ornamentasi serta nuansa yang
tampak pada representasi visual dari Maria Bunda Segala Suku.

Salah satu kritik terhadap representasi visual dari Maria Bunda Segala Suku menyoroti
simbol dan ornamentasi serta nuansa yang tampak akibat inovasi yang dilakukan oleh Gunawan
beserta kawan-kawan penggagas terhadap figur Maria. Upaya resimbolisasi terhadap figur Maria
sebagai Bunda Segala Suku dipandang problematik karena tidak sepenuhnya merefleksikan
kembali norma-norma agama Katolik. Simbol dan ornamen yang diadopsi oleh Gunawan dinilai
terlalu mewah dan asing menurut kacamata umat yang bersangkutan. Hal tersebut dapat ditemukan
pada kolom komentar dalam pemberitaan berjudul “Maria – Bunda Segala Suku, Mencari
Visualisasi Sosok Bunda Maria yang Khas Indonesia” edisi kedua yang ditulis oleh Mathias
Hariyadi dalam portal berita Katolik Indonesia “Sesawi.Net” tertanggal 31 Mei 2017. Kritik
tersebut datang dari seorang pembaca bernama Adrianus Wasis. Wasis mengunggah komentarnya
pada 9 Januari 2018 pukul 13: 49.

‘Gambar Maria Bunda Segala Suku terlalu menampilkan lekuk tubuh


seorang wanita yang mana kurang baik diterapkan kepada sosok Maria
Bunda Tuhan. Rambutnya disanggul model Jawa, selain terkesan tidak
alami juga tidak mewakili seluruh suku bangsa Indonesia. Pakaiannya
juga wah, saya kok melihatnya seperti putri kecantikan atau model
fashion. Saya mohon panitia bisa mengambil contoh sosok Maria seperti
yang disaksikan oleh Jacinta, Lucia, dan Fransisco di Fatima. Seperti
itulah Maria yang sesungguhnya karena merupakan penampakan asli dan
diakui Gereja. Jika mau dibuat lebih kelihatan Indonesia nya, mohon agar
jangan terlalu jauh dari sosok Maria yang kudus dan rendah hati, tidak
genit dengan rambut yang dimodel, gaun yang wah dan memperlihatkan
lekuk tubuh. Maria Bunda Segala Suku, maaf, lebih mirip Dewi Sri dari
legenda di Jawa’ (garis miring ditambahkan)

Dari pernyataan demi pernyataan yang disampaikan Wasis melalui komentarnya, tampak
reaksi terhadap figur Maria Bunda Segala Suku sebagai sesuatu yang “uncanny”; asing, eksotik,
misterius, serta mengguncang keyakinan imannya sebagai seorang Katolik. Baginya, representasi

130
visual dari figur Maria yang digaungkan oleh Keuskupan Agung Jakarta itu justru tampak asing
kerena terlihat tidak menonjolkan norma-norma keagamaan Katolik. Terlebih ketika Wasis
merujuk pada figur Maria menurut penampakan di kota Fatima sebagai versi ideal karena
kesederhanaan dan diakui keabsahannya oleh institusi Gereja.

Kritik terhadap representasi visual dari Maria Bunda Segala Suku dapat memberi petunjuk
tentang sejauh mana khazanah Barat dalam ranah penggambaran orang-orang kudus mendominasi
penghayatan iman umat Katolik di Indonesia. Seperti sudah dibahas pada permulaan bab ini,
objek-objek devosional dengan pola ragam hias khas Eropa yang dibawa oleh misionaris Belanda
sangatlah jamak ditemui pada praktik beragama umat Katolik di Indonesia. Kolonialisme turut
berperan dalam membentuk persepsi budaya. Pendidikan modern yang dikelola oleh misionaris
membentuk pilihan-pilihan yang menomorsatukan segala yang berbau Barat sebagai hal yang
sakral dan relevan dengan ajaran agama Katolik atau Kristen pada umumnya.

Meminjam istilah Homi Bhabha, apa yang dialami Wasis merupakan situasi unhomeliness
dimana ia, dan barangkali juga sebagian umat lainnya, mengalami kesulitan dalam membangun
afiliasi kultural terhadap Maria Bunda Segala Suku yang diklaim sebagai representasi
keindonesiaan. Sebagai warganegara Indonesia, kesadaran mereka dibentuk sedemikian rupa
dalam sebuah konstruksi bernama Indonesia. Namun, di sisi lain, simbol dan ornamentasi yang
ada justru tidak dapat teridentifikasi dengan baik. Alih-alih menghadirkan perasaan kedekatan
yang mendalam, Maria Bunda Segala Suku justru dirasa asing bagi mereka dan seakan
menempatkan mereka dalam sebuah situasi ruang-antara yang ambivalen. Tampaknya hal-hal
yang berpotensi menimbulkan penolakan terhadap Maria Bunda Segala Suku, berdasarkan
diskontinuitas dari wacana yang sengaja diproyeksikan kepada umat, merupakan sesuatu yang
terus-menerus menantang eksistensi dari praktik devosi yang mengusung tema keindonesiaan
dalam rupa Maria itu.

131
4.3.2. Keindonesiaan yang problematik: Problematisasi terhadap konsep keindonesiaan
yang direpresentasikan dalam figur Maria Bunda Segala Suku

Sebagai institusi keagamaan, Gereja Katolik mengajarkan kepada umatnya mengenai sifat-
sifat universal dan transnasional yang melekat pada keyakinan iman Katolik, ekspresi-ekspresi
keimanan serta organisasi yang menaungi penganut sekaligus mengelola ajaran-ajaran
keagamaannya. Gereja Katolik meyakini bahwa Yesus Kristus beserta dengan ajaranNya berlaku
bagi seluruh umat manusia. Begitu pula halnya dengan Gereja Katolik yang memandang dirinya
sebagai pewaris utama dari ajaran-ajaran Yesus Kristus (Matius 16: 18). Gereja sebagai pemelihara
iman Kristen dipandang tidak terikat pada batasan bahasa, etnis, ras, dan kebangsaan, melainkan
mencakup keseluruhan umat manusia. Hal ini terefleksikan dalam nama “Katolik” itu sendiri yang
berasal dari istilah Yunani “kata holos” bermakna “merujuk kepada semua” atau “universal”.
Ignatius dari Anthiokia dalam surat-surat kepada jemaat di Smyrna menggunakan istilah “Katolik”
sebagai referensi terhadap komunitas Kristen perdana di kota-kota pelabuhan di pesisir
Mediterania, yang terdiri atas campuran penganut Kristen dari bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa
non Yahudi, sekaligus menghubungkannya dengan sosok Yesus Kristus sendiri. Komunitas
Kristen perdana mengenal pepatah “Christianus mihi nomen, Catholicus cognomen” yang dapat
diartikan secara kasar sebagai “Kristen adalah namaku, Katolik adalah marga/nama belakang/
nama keluarga-ku”, sebagai rujukan terhadap keyakinan mengenai ketidakterpisahan antara
keyakinan iman kepada Kristus dengan keanggotaan dalam institusi Gereja (Borovoy, 1963: 26).

Hampir setiap denominasi Kristen mempunyai rumusan Kredo dengan diksi yang
menegaskan keyakinan jemaatnya terhadap Gereja yang satu, kudus, “Katolik”, dan apostolik.
Gelombang skisma yang melanda Kekristenan dari abad ke-4 hingga abad ke-16 mendorong setiap
denominasi untuk mengklaim diri sebagai Gereja yang “merujuk kepada semua” atau “universal”.
Istilah Katolik menjadi kriteria terpenting dalam melegitimasi keberadaan institusi Gereja sebagai
pewaris sah ajaran Yesus Kristus sekaligus pemilik kebenaran sejati. Demikian halnya dengan
Gereja Katolik yang memandang diri sebagai komunitas besar pemilik ajaran Kristus yang
berkuasa secara spiritual atas para penganutnya yang berasal dari berbagai ikatan genealogis
seperti ras, etnik, bahasa, dan bangsa.

132
Interpretasi Gereja terhadap istilah “Katolik” sendiri tidaklah tunggal. Adakalanya istilah
Katolik dimaknai secara struktural sebagai kesatuan penganut Kristen dibawah kepemimpinan
uskup dan Paus di Roma. Istilah tersebut juga dimaknai sebagai rujukan terhadap kedudukan
ajaran agama Katolik yang absolut dan berlaku untuk seluruh umat manusia (McDonnel, 2002).
Katolik juga dimengerti secara teologis sebagai kesatuan iman penganut Kristen yang memiliki
doktrin dan ekspresi iman yang sama, terlepas dari keberagaman budaya para penganutnya.
Tafsiran yang terakhir ini melihat bahwa betapapun orang-orang yang beriman Kristen memiliki
latar belakang budaya dan pandangan dunia (worldview) nya masing-masing, keanggotaan dalam
Gereja menuntut mereka untuk setidaknya menyesuaikan opini dan laku hidup ke dalam prinsip
utama ajaran agama Katolik yang berlaku secara universal (Suseno, 2017).

Pemaknaan terhadap “Katolik” sebagai tatanan nilai yang berlaku secara universal bagi
penganut-penganutnya dalam konteks spiritual barangkali masih bisa diterima. Namun berbeda
halnya apabila dimaknai dalam konteks sosial-politik. Ada kalanya universalitas ajaran Katolik
dipandang berseberangan dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam suatu negara, begitupun
sebaliknya dimana penganut Katolik dituntut untuk menjadikan ajaran agama yang dianut sebagai
fondasi berjalannya pemerintahan. Polemik semacam ini pernah terjadi dalam Gereja Katolik di
Amerika Serikat sebelum Konsili Vatikan-II, dimana publik menilai superioritas lembaga
Kepausan dan doktrin “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan)
bertentangan dengan prinsip “Americanism” yang menggarisbawahi jaminan konstitusi terhadap
kebebasan beragama warganegara (Bruce, 2016: 4). Hal tersebut barangkali menunjukkan bahwa
Gereja dalam kondisi tertentu tidak dapat sepenuhnya merealisasikan klaimnya terkait
universalitas doktrin dan fatwa keagamaan yang dikelola. Tarik menarik antara prinsip-prinsip
Gerejawi dengan realitas masyarakat ataupun kehendak institusi sekuler seperti negara merupakan
dinamika yang terus menerus diperbincangkan.

Hal serupa tampak dalam penerimaan umat terhadap Maria Bunda Segala Suku. Salah satu
reaksi menggarisbawahi Maria Bunda Segala Suku sebagai upaya pengerdilan atau partikularisasi
terhadap figur Maria yang merupakan pelindung seluruh umat menurut nalar Katolik. Reaksi
tersebut ditemukan dalam kolom komentar yang mengatasnamakan Handoyo dan diunggah pada
tanggal 2 Juni 2017 pukul 12:12, sebagaimana dikutip sebagai berikut;

133
“Kita sudah punya simbol Bunda Maria Ratu Segala Bangsa. Kenapa sih
sosok Bunda Maria yang Universal dan milik umat sedunia, dikerdilkan
dengan dibuat untuk konteks Indonesia. Apa yg telah ada dirasa kurang
cukup?? Di KTP saja data suku dihilangkan.. Kok malah dibuatkan sosok
Bunda Maria seperti ini. Terkesan memaksakan dan dipaksakan.”

Tarik menarik antara yang universal dengan yang partikular merupakan gambaran penting
dibalik penolakan Handoyo terhadap Maria Bunda Segala Suku. Melalui komentarnya, Handoyo
tanpa sadar merefleksikan tarik-menarik antara prinsip Gerejawi terkait iman Katolik sebagai
kepercayaan yang terinstitusionalisasi secara universal dengan tuntutan untuk membatasinya
dalam ekspresi iman yang partikular, sebagaimana ia soroti dalam fenomena Devosi Maria Bunda
Segala Suku. Penyematan gelar “Bunda Segala Suku” kepada Maria dinilai justru mengerdilkan
peran figur tersebut sebagai ibu bagi seluruh umat sedunia atau “Bunda Segala Bangsa”, ke dalam
konteks Indonesia dimana Maria diposisikan sebagai pelindung keragaman dan kesatuan.
Handoyo tanpa sadar telah mempertanyakan bagaimana wacana keragaman dan kesatuan
“dipromosikan” Gereja melalui keberadaan Maria Bunda Segala Suku, alih-alih menyebarluaskan
ajaran Katolik melalui figur tersebut.

Wacana keragaman dan kesatuan telah lama disuarakan oleh Gereja Katolik di Indonesia.
Bab II dari skripsi ini telah mengulas sejauh mana Gereja memikirkan kesesuaian antara apa yang
mereka ajarkan dengan prinsip-prinsip tersebut sebagai bagian dari upaya mereka dalam
mengintegrasikan diri ke dalam konstruksi negara mengenai identitas nasional. Maka dari itu,
keragaman dan kesatuan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konsepsi negara mengenai identitas
semacam apa yang dibutuhkan dalam meregularisasi tatanan sosial.

Sebagai negara yang lahir dari masyarakat kolonial, Indonesia dihadapkan pada tantangan
dalam mengintegrasikan populasi yang beragam secara etnis, bahasa dan budaya. Di era kolonial,
keragaman tersebut disatukan secara eksternal melalui regulasi dan tatanan yang ditetapkan oleh
pemerintah kolonial. Tatkala Indonesia telah berdiri sebagai negara berdaulat dan histeria
kemerdekaan mereda, negara dihadapkan pada situasi keragaman yang berpotensi melahirkan
disintegrasi melalui konflik horizontal antar etnis. Konsepsi negara mengenai budaya dan identitas
nasional lahir dengan latarbelakang situasi tersebut (Schefold, 1998: 259).

134
Tentunya terdapat perbedaan dalam penerapan konsep budaya dan identitas antara era
Soekarno dan Soeharto. Di era Soekarno, konsepsi tersebut diterjemahkan dalam kebijakan yang
menekankan pada konstruksi identitas baru Indonesia sebagai bangsa modern, sebagaimana
tampak pada penetapan monotheisme sebagai konsep beragama resmi, Indonesianisasi sektor
ekonomi dan pendidikan serta sensor terhadap ekspresi seni berhaluan Barat. Kebijakan tersebut
dikerangkai dalam bangunan retorika yang menggabungkan memori kedigdayaan Sriwijaya dan
Majapahit di masa lampau dengan romantisme revolusi sembari dilaksanakan oleh aparatur
pemerintah dalam tata kelola yang sentralistis (Ropi, 2017).

Jika Indonesia di era Soekarno dikonstruksikan sebagai bangsa yang modern dan digdaya
sehingga hanya rujukan sejarah yang menunjukkan hebatnya peradaban masa lampau sajalah yang
tampil di depan publik, era Soeharto menjadi masa dimana seluruh elemen budaya dan masa
lampau yang beragam itu mendapatkan panggungnya selama mampu menyokong narasi persatuan
yang dielu-elukan sebagai karakter bangsa. Konsepsi negara mengenai identitas diaktualisasikan
melalui kebijakan kultural yang menitikberatkan pada keragaman budaya. Hal ini bertujuan untuk
menghalau potensi konflik berbasiskan kelas dan agama melalui adanya kesan mengenai persatuan
nasional. Adat dan tradisi diperlakukan selayaknya pajangan museum yang menjadi dekorasi yang
memperkuat ide mengenai kehidupan masyarakat yang beragam namun harmonis sebagai inti dari
kebudayaan nasional. Secara garis besar, kebudayaan mengalami “folklorisasi” dimana makna
politis dari budaya suatu etnis atau kelompok masyarakat sengaja dikaburkan sembari
menonjolkan objek material dan non-material dari budaya tersebut sebagai sesuatu yang berasal
dari masa lalu dan membentuk identitas Indonesia kontemporer ala Orde Baru, selayaknya
kepingan-kepingan kecil pembentuk puzzle (Meuleman, 2006: 59).

Alih-alih terletak pada dua kutub yang berseberangan, wacana keragaman Indonesia dan
kesatuan Indonesia yang dikonstruksikan oleh Orde Baru berada pada satu poros yang sama
dengan keragaman sebagai elemen pembentuk dari kesatuan Indonesia. Cara pandang yang serupa
hadir kembali melalui simbol dan ornamen dalam representasi visual dari figur Maria Bunda
Segala Suku. Wacana keragaman Indonesia dan kesatuan Indonesia turut disuarakan oleh
Keuskupan Agung Jakarta melalui kegiatan pastoral yang diselenggarakan di tahun 2018, yakni
Amalkan Pancasila. Kegiatan tersebut mengambil tema “Kita Bhinneka, Kita Indonesia” dan
menjadikan Maria Bunda Segala Suku sebagai maskot kegiatan yang berlaku bagi umat Katolik

135
saat itu. Nama “Bunda Segala Suku” pun diajukan oleh Putut Prabantoro berdasarkan
pertimbangan mengenai kuatnya politik identitas berbasiskan agama dan turunnya kesadaran
masyarakat terhadap keragaman dan persatuan (Wawancara Prabantoro, 13 Februari 2021).
Melalui figur Maria Bunda Segala Suku, Keuskupan Agung Jakarta hendak mengingatkan kembali
tentang keragaman dan kesatuan Indonesia sebagai basis utama dari keindonesiaan (Suharyo,
2018).

Bagi pihak Keuskupan dan aktor lain dibalik munculnnya Maria Bunda Segala Suku,
representasi visual beserta devosinya itu dipandang secara positif sebagai upaya orang-orang
Katolik dalam merawat keragaman dan kesatuan Indonesia. Hal itu tampaknya tidak disepakati
oleh sebagian kecil umat Katolik lainnya seperti Handoyo. Upaya Gereja dalam menghubungkan
Maria, yang notabene bagian dari ajaran Katolik, dengan keindonesiaan membuat Maria Bunda
Segala Suku menjadi problematik. Representasi visual tersebut justru mempartikularisasikan
Maria lewat referensi terkait keragaman dan kesatuan yang hanya berlaku dalam cakupan
Indonesia, dan menciderai sifat-sifat Maria sebagai bunda yang universal, pelindung umat
manusia. Adanya reaksi bernada kritik terhadap penyajian konsep keindonesiaan melalui
representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku dapat dilihat sebagai upaya umat Katolik
untuk berusaha keluar dari posisi posisi governable subject, yakni sebagai subjek Indonesianisasi,
sembari mengembangkan pemikiran alternatif yang mempertanyakan pengetahuan yang sudah
mapan. Hanya saja, upaya tersebut lebih diarahkan kepada upaya mengasosiasikan figur Maria
dengan wacana keragaman Indonesia dan kesatuan Indonesia, bukan kepada wacana itu sendiri.

4.4. Penutup Bab

Berdasarkan temuan-temuan yang ada dapat disimpulkan bahwa keindonesiaan dalam figur Maria
Bunda Segala Suku diterjemahkan dengan menyertakan simbol dan ornamentasi yang
memvisualisasikan keragaman Indonesia dan kesatuan Indonesia. Dengan kata lain, keindonesiaan
yang ditampilkan merujuk pada kedua wacana tersebut. Simbol dan ornamentasi yang
mewakilinya telah dimodifikasi dalam rangka memperlihatkan kesepadanan dengan tema “Maria
Bunda Segala Suku” dan visi keindonesiaan itu sendiri.

136
Proses modifikasi dilakukan dengan menerapkan mimikri atau peniruan terhadap bentuk
atau cara penggambaran tertentu. Dalam kasus Maria Bunda Segala Suku, mimikri dilakukan
dengan meniru dan mengubah beberapa simbol dan ornamen yang berasal dari tradisi Eropa-
Katolik. Visualisasi dilakukan sedemikian rupa agar menonjolkan nuansa keindonesiaan. Hal
tersebut dapat diamati pada gambar wajah, kerudung, busana, serta mahkota berbentuk halo.

Adapun simbol dan ornamentasi seperti Garuda Pancasila, delapan figur pendoa berbusana
adat, motif wayang, dan lain sebagainya itu sengaja dimasukkan untuk memperkuat nuansa
keindonesiaan sekaligus merefleksikan wacana persatuan dalam keragaman sebagai pesan utama
dari Maria Bunda Segala Suku. Bagi sebagian kecil umat, simbol dan ornamentasi tersebut
melambangkan orientasi politik nasionalis ala umat Katolik di Indonesia sekaligus penanda
keluwesan Gereja dalam mengadopsi aspek-aspek budaya lokal untuk kepentingan keagamaan.

Patut diakui bahwa keseluruhan simbol dan ornamentasi yang ada cukup kental dengan
unsur-unsur budaya dari etnis Jawa dan Flores. Keduanya mendominasi penggambaran yang ada.
Hal tersebut bisa jadi merupakan preferensi pribadi seniman lukis yang hendak merepresentasikan
dominasi etnis Jawa dan Flores dalam kehidupan Gereja Katolik di Indonesia. Walaupun tidak
menutup kemungkinan bahwa elemen-elemen budaya etnis yang mendominasi merupakan hasil
dari kesulitan seniman lukis dalam menerjemahkan gagasan Maria Bunda Segala Suku ke dalam
torehan kanvas.

Respon terhadap representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku sangatlah
beragam. Simbol dan ornamentasi merupakan dua hal yang paling disoroti. Jika ditinjau dari aspek
penerimaanya, figur Maria Bunda Segala Suku dipandang sebagai ikon atau penanda orientasi
politik umat Katolik Indonesia kontemporer. Selain itu, figur tersebut juga dimaknai sebagai
bentuk keluwesan agama Katolik dalam mengadopsi budaya lokal dan mengintegrasikan diri
dengan konstruksi kebudayaan nasional. Sebaliknya, figur Maria Bunda Segala Suku mendapatkan
kritik serta penolakan karena dipandang menghadirkan simbol dan ornamentasi dengan nuansa
yang terlalu jauh dari ajaran agama Katolik mengenai sifat-sifat Maria dan sifat-sifat universal dari
iman Katolik itu sendiri.

137
Terlepas dari segala kontroversi yang timbul, Keuskupan Agung Jakarta tetap menjadikan
Maria Bunda Segala Suku sebagai objek devosi resmi untuk seluruh umat Katolik di wilayah
yuridiksi mereka. Sejak Kardinal Ignatius Suharyo meresmikan kegiatan “Tahun Persatuan” pada
3 Januari 2018 yang lalu, figur tersebut semakin dikenal luas. Dalam rangka menyukseskan
kegiatan tersebut, Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta yang berada di bawah
komando R.D. Harry Sulistyo selaku ketua melakukan replikasi dengan mencetak gambar Maria
Bunda Segala Suku ke dalam buku-buku doa, pamflet, spanduk berukuran besar, serta
mengunggahnya pada laman resmi keuskupan.

Keuskupan Agung Jakarta juga mengkonversi gambar Maria Bunda Segala Suku ke dalam
bentuk patung. Proses perancangan dan produksi dikerjakan secara kolektif dengan melibatkan
Komisi Komsos, tim paroki Katedral Jakarta, Robert Gunawan selaku seniman lukis, Gomas
selaku perwakilan panitia sayembara, Vincentius Danu Surya selaku seniman patung, serta
Pinneke selaku desainer busana. Setelah melewati proses yang memakan waktu setahun lebih,
patung Maria Bunda Segala Suku setinggi 2,35 meter itu diresmikan oleh Kardinal Ignatius
Suharyo dalam perayaan Misa Minggu pada 13 Mei 2018 yang lalu.

Terdapat beberapa perubahan terhadap detail-detail dari simbol dan ornamentasi yang
melekat pada figur Maria Bunda Segala Suku. Perubahan terjadi pada motif kain, wayang, dan
simbol mahkota. R.D. Harry Sulistyo menuturkan kepada penulis bahwa perubahan simbol dan
ornamentasi itu terjadi atas perintah Uskup Agung Jakarta sendiri. Menurut Sulistyo, Uskup
Agung Jakarta ingin agar aspek-aspek penggambaran Maria yang lebih “tradisional” tetap
dipertahankan tanpa menghilangkan nuansa keindonesiaan yang ada pada figur Maria Bunda
Segala Suku (Wawancara Sulistyo, 13 Februari 2021). Hal ini dapat diamati pada keberadaan
selendang batik berwarna biru, 14 berkas sinar yang melambangkan 14 stasi jalan salib, serta
postur wajah yang sedikit menunduk untuk memudahkan umat dalam berdoa. Robert Gunawan
sendiri mengamini bahwa ada permintaan khusus dari Uskup Agung Jakarta terkait modifikasi
terhadap penggambaran Maria Bunda Segala Suku dengan tujuan untuk memperkuat nuansa
Katolik didalamnya (Wawancara Gunawan, 11 April 2021).

138
Gambar 14. Patung Maria Bunda Segala Suku di Gereja Katedral
Jakarta. Sumber: https://www.facebook.com/katedraljakarta

Perubahan terhadap representasi visual dari figur Maria Bunda Segala Suku diantaranya meliputi;
rasio Garuda Pancasila yang mengecil, wajah Maria yang cenderung lebih terlihat cerah, dan
busana kebaya Maria yang terlihat semakin menyerupai gaun daripada kebaya. Para aktor
penggagas dan pelukis figur tersebut tidak memberi komentar terkait perubahan yang ada.

Adakah perubahan simbol dan ornamentasi dari figur Maria Bunda Segala Suku
merupakan petunjuk dari adanya tarik-menarik antara hegemoni budaya Barat dan upaya
kontekstualisasi praktik beragama umat Katolik di Indonesia merupakan satu hal yang berada di
luar cakupan studi ini. Satu hal yang dapat penulis simpulkan adalah bahwa figur Maria Bunda

139
Segala Suku, dalam hal ini mencakup wacana, representasi visual, dan praktik-praktik devosional
terhadapnya merupakan petunjuk tentang mekanisme kekuasaan yang bekerja secara subtil di
tataran bawah sadar manusia dan tanpa kehadiran aktif institusi pendisiplinan seperti negara,
sehingga mereka dapat mengawinkan banyak ide yang nampak bertentangan atau tidak memiliki
korelasi sama sekali, ke dalam figur Maria Bunda Segala Suku.

140
Bab V
Penutup

Sampailah kita pada bab terakhir yang menguraikan dua pokok bahasan sebagai penutup dari
skripsi ini. Pertama, penulis menguraikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian secara
garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum yang berdasarkan pada temuan lapangan.
Kedua, penulis menyajikan refleksi tentang proses penelitian dan penulisan skripsi, serta
mengemukakan beberapa hal yang dapat menjadi rekomendasi terhadap perkembangan kajian
berkaitan dengan fenomena yang diangkat dalam skripsi ini.

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan temuan-temuan yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis berkesimpulan bahwa


wacana Indonesianisasi Gereja Katolik di masa Reformasi dipertahankan oleh para aktor
pemrakarsa dan pihak Keuskupan Agung Jakarta dengan melakukan resimbolisasi terhadap figur
Maria dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku yang dicapai melalui proses hibridasi dan mimikri
terhadap karakter fisik, busana, simbol dan ornamen yang terdapat pada penggambaran Maria
menurut tradisi Barat dan menyandingkannya dengan karakter fisik, busana, simbol dan ornamen
yang mencerminkan ideologi negara dan konstruksi kebudayaan nasional Indonesia, secara
mandiri dan otonom tanpa keterlibatan aktif negara di dalam prosesnya.

Resimbolisasi figur Maria dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku pada dasarnya adalah
sebuah cerminan dari pemaknaan para aktor terhadap konteks keberadaan diri mereka sebagai
penganut agama Katolik yang juga bagian dari sebuah nation bernama Indonesia. Pemaknaan
tersebut dibentuk oleh relasi kuasa yang terjalin pada beberapa era sebelumnya dan membentuk
wacana dominan bagi penganut agama Katolik agar menyesuaikan keyakinan iman mereka
terhadap ideologi negara dengan mengutamakan elemen-elemen kebangsaan dan menyepadankan
elemen-elemen dalam keyakinan iman mereka terhadap apa yang dikonstruksi sebagai elemen
kebudayaan nasional Indonesia. Meskipun pada hakikatnya para aktor memiliki titik tolak dan
orientasi yang berbeda, masing-masing memiliki kesepahaman dalam hal intensi mereka untuk
mempertahankan konstruksi makna yang mereka yakini sebagai kebenaran, dengan
141
mengupayakan resimbolisasi atau pengindonesiaan di ranah devosional dengan memunculkan
figur Maria Bunda Segala Suku sebagai simbol baru bagi umat Katolik di Keuskupan Agung
Jakarta.

Terlepas dari kerja kolaboratif yang terjalin di antara para aktor dan sokongan struktur
otoritas agama Katolik yang hierarkis, resimbolisasi figur Maria dalam Devosi Maria Bunda
Segala Suku tidak serta merta dapat dipandang sebagai sesuatu yang final. Alih-alih penerimaan
secara mutlak, temuan-temuan yang ada menunjukkan adanya kontestasi makna terhadap wacana
dan simbol dalam penggambaran figur Maria Bunda Segala Suku yang dipandang representatif
seturut dengan pemahaman masing-masing. Munculnya akseptasi dan resistensi dari umat
terhadap wacana dan simbol dalam penggambaran figur Maria Bunda Segala Suku dapat menjadi
petunjuk tentang cengkeraman wacana Indonesianisasi Gereja Katolik yang ternyata belum begitu
mampu untuk menggeser sepenuhnya wacana Barat dalam praktik beragama umat Katolik di
Keuskupan Agung Jakarta. Dengan kata lain, praktik governmentality yang diamati dalam
penelitian ini masih belum mencapai tahap final dimana praktik beragama umat Katolik sudah
sedemikian mencerminkan partikularitas dengan menerima sepenuhnya resimbolisasi figur Maria
dalam Devosi Maria Bunda Segala Suku dengan segala makna dan wacana yang terkandung di
dalamnya.

5.2. Refleksi Penutup

Penulis pada akhirnya menyadari betapa sulitnya melaksanakan penelitian dengan topik
pembahasan yang menyangkut keyakinan iman seseorang dan relasinya dengan pandangan politik
dari sebuah lembaga agama. Meskipun secara administratif penulis masih tergolong sebagai umat
dari Gereja Katolik, topik penelitian yang diangkat rupanya cukup menimbulkan ketidaknyamanan
bagi sebagian orang yang terlibat di dalam ataupun mengetahui keberadaan Devosi Maria Bunda
Segala Suku. Bahkan di awal penelitian, salah satu narasumber mewajibkan penulis untuk
membuat semacam tabel data diri berisi keterangan nama, tanggal lahir, domisili, dan paroki
tempat penulis bernaung sebagai umat Katolik. Tindakan salah satu narasumber itu dimaksudkan
untuk memastikan tujuan dan niat penulis agar tidak menyalahgunakan informasi yang diberikan.
Hal serupa juga penulis alami tatkala berupaya menghubungi beberapa orang yang
direkomendasikan oleh narasumber sebelumnya sebagai penyedia data pendukung. Satu di antara

142
narasumber pendukung itu menolak dan mengklaim tidak begitu mengetahui tentang topik-topik
yang hendak penulis tanyakan. Beberapa narasumber juga merasa topik penelitian ini terlalu
sensitif bagi mereka dan memohon kepada penulis agar tidak memasukkan nama mereka ke dalam
skripsi ini.

Keterbatasan akses informasi dari lembaga-lembaga terkait juga menjadi kekurangan dari
penelitian ini. Publikasi resmi milik Keuskupan Agung Jakarta tidak banyak memuat informasi
perihal penyelenggaraan Devosi Maria Bunda Segala Suku terutama selama sebelum dan dalam
kurun waktu observasi. Sebagian informasi terkini yang penulis cantumkan dalam skripsi ini
berasal dari rekomendasi para narasumber. Penulis mengaku berterimakasih dan berhutang banyak
kepada para narasumber yang turut membagikan informasi terkini mengenai Devosi Maria Bunda
Segala Suku.

Pandemi Covid-19 yang tak kunjung surut juga menjadi salah satu faktor yang membatasi
akses penulis untuk menemui beberapa narasumber serta memasuki beberapa lokasi yang memuat
patung dan lukisan Maria Bunda Segala Suku. Beberapa pertemuan tatap muka terpaksa diundur
karena penerapan kebijakan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di DKI
Jakarta sebagai imbas dari kenaikan kasus Covid-19. Lokasi-lokasi seperti Gereja Katedral Jakarta,
Museum Katedral dan kantor Keuskupan Agung Jakarta juga tidak bisa diakses secara leluasa
sebagai langkah pencegahan penyebaran Covid-19. Kegiatan pelaksanaaan devosi kepada Maria
Bunda Segala Suku pun tidak dilangsungkan secara luring oleh Keuskupan Agung Jakarta selama
waktu yang belum ditentukan. Hal ini membuat sebagian besar observasi dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggabungkan observasi secara daring dan luring yang diperkuat dengan
sumber-sumber sekunder yang ada.

Terlepas dari hambatan teknis dan interpersonal yang ada, penulis hanya dapat mencatat
satu perkembangan terbaru dari upaya resimbolisasi figur Maria dalam Devosi Maria Bunda
Segala Suku. Terhitung sejak April 2021, penyebarluasan objek devosi Maria Bunda Segala Suku
di Keuskupan Agung Jakarta berada dalam tanggungjawab Komisi Komunikasi Sosial (Komsos)
yang didelegasikan kepada media resmi keuskupan bernama Majalah Hidup Katolik. Majalah
Hidup Katolik bertugas mereproduksi ulang, menawarkan, dan menjual patung Maria Bunda

143
Segala Suku kepada umat Katolik. Majalah Hidup Katolik juga memfasilitasi transportasi patung
Maria Bunda Segala Suku kepada institusi dan komunitas Katolik yang membeli atau
mendapatkan donasi dari para donatur yang sebelumnya telah melakukan transaksi jual beli patung
Maria Bunda Segala Suku, antara lain kepada Seminari Menengah Stella Maris Keuskupan Bogor,
Paroki Bunda Teresa Cikarang, dan situs peziarahan Maria di Ruteng, NTT (Wawancara pribadi
dengan perwakilan Komsos-KAJ, 12 Desember 2021).

Meskipun temuan tersebut tidak menjadi bagian dari pembahasan utama dalam skripsi ini,
temuan tersebut barangkali dapat menjadi petunjuk tentang peranan komersialisasi benda-benda
keagamaan di balik berlangsungnya praktik governmentality yang sepengetahuan penulis belum
banyak dibahas dalam studi-studi bertemakan Foucauldiaun maupun studi-studi yang berfokus
pada standarisasi dan reformulasi konsep dan simbol keagamaan. Adanya fenomena semacam ini
barangkali dapat menjadi rekomendasi bagi pihak manapun yang hendak melakukan telaah
lanjutan terhadap fenomena Devosi kepada Maria Bunda Segala Suku maupun fenomena yang
memiliki keserupaan dengannya. Semisal, tentang sejauh mana komodifikasi agama berperan
terhadap resimbolisasi suatu konsep keagamaan, atau tinjauan terkait fenomena serupa yang
ditemukan pada keyakinan iman lainnya.

Satu hal yang pasti adalah segala argumentasi dan interpretasi yang telah penulis
sampaikan melalui penelitian ini sejatinya bersifat sementara dan sangat terbuka untuk dikritik dan
digugat oleh para pembaca.

144
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asad, T. (1993). Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and
Islam. Baltimore & London: The John Hopkins University Press.

Barker, C. (2018). Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kanisius

Bhabha, H.K. (1994). The Location of Culture. Routledge.

Boelaars, H. (2005). Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius

Brockling, U. (2011). From Foucault’s Lectures at the College de France to Studies of


Governmentality: An Introduction. Dalam Brockling, U. (et.al.), Governmentality: current
issues and future challenges, hal 1-33. New York: Routledge.

Buckley, James J. (eds.) (2007). The Blackwell Companion to Catholicism. Malden: Blackwell
Publishing.

Burkchardt, Titus. (2006). The Foundations of Christian Art. Bloomington: World Wisdom, Inc.

Coppel, Charles A. (1983). Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur: Oxfod University Press

Creswell, J.W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative and mix methods approaches.
Sage Publications.

Djiwandono, J Soedjati. (1999). Gereja dan Politik: Dari Orde Baru ke Reformasi. Yogyakarta:
Kanisius.

Foucault, M. (1978). Governmentality. Dalam Burchell, G., Gordon. C., & Miller, P. (eds.), The
Foucault Effect: Studies in governmental rationality, hal 87-104. University of Chicago
Press.

145
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972-1977.
Hammondsworth: Penguin

Foucault, M. (1983). The subject of Power. Dalam Dreyfus, H., & Rabinow, P. (eds.). Michel
Foucault: beyond structuralism and hermeneutics. Brighton: Harvester.

Foucault, M. (1988). Technologies of the Self. Dalam Martin, L.H. et.al. (eds.). Technologies of
The Self (A Seminar with Michel Foucault), hal 16-49. The University of Michigan Press.

Foucault, M. (1988). The Political Technology of the Individual. Dalam Martin, L.H. et.al. (eds.).
Technologies of The Self (A Seminar with Michel Foucault), hal 146-142. The University
of Michigan Press.

Foucault, M. (1995 [1979]). Discipline and Punish. New York: Vintage.

Gonggong, Anhar. (1993). Mgr. Albertus Soegijapranata: Antara Gereja dan Negara. Jakarta:
Grasindo.

Gordon, C. (1991). Governmental rationality: An introduction. Dalam G. Burchell., C. Gordon.,


& P. Miller. (eds.), The Foucault Effect: Studies in governmental rationality, hal 1-52.
University of Chicago Press.

-------------- (2016). The Cambridge Foucault Lexicon. Cambridge University Press.

Groenen, C. (1988). Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta: Kanisius.

Kristiyanto, Eddy. (1987). Maria dalam Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius

Hall, S. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices Vol.2. Sage
publications.

Heuken, A. (2009). 150 tahun Serikat Jesus berkarya di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka.

Huddart, D. (2006). Homi. K Bhabha. Routledge.

146
Hutton, P. (1988). Foucault, Freud, and the Technologies of the Self. Dalam Martin, L.H. et.al.
(eds.). Technologies of The Self (A Seminar with Michel Foucault), hal 121-144. The
University of Michigan Press.

Hazleton, Lesley. (2020). Panggil Aku Maryam: Sebuah Biografi Kritis Bunda Maria. Yogyakarta:
IRCiSoD.

Kinsley, David. (1987). Devotion. Dalam Mircea Eliade (eds.), Encylopedia of Religion Vol.4.
New York: Marcmillan.

Kristiyanto, Eddy. (1987). Maria dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang
Maria dalam Gereja Kristus. Yogyakarta: Kanisius.

Mangunwijaya Pr., Y.B. (2020 [1999]). Gereja Diaspora. Yogyakarta: Kanisius.

Mills, S. (2003). Michel Foucault. London: Routledge.

Mujiburrahman. (2006). Feeling threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New


Order. Amsterdam University Press.

Muskens, M.P.M. (1974). Awal Mula Gereja Katolik Indonesia. Dalam Muskens, M.P.M. (eds),
Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
MAWI.

---------------------- (1979). Partner in Nation Building: the Catholic Church in Indonesia. Aachen:
Missio Aktuell Verlag.

Pals, Daniel. (2015 [1996]). Nine Theories of Religion. New York: Oxford University Press.

Picard, M. & Madinier, R. (2011). The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, orthodoxy,
and religious contention in Java and Bali. London: Routledge.

Piliang, Y.A., & Jaelani, A. (2018). Teori Budaya Kontemporer: Penjelajahan Tanda & Makna.
Yogyakarta: Aurora

147
Ramstedt, M. eds. (2004). Hinduism in Modern Indonesia: A minority religion between local,
national, and global interest. London: RoutledgeCurzon.

Riberu, J. (1983). Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II.
Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan MAWI.

Ricklefs, M.C. (2001 [1981]). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Hampsire: Palgrave.

Ropi, Ismatu. (2017). Religion and Regulation in Indonesia. Palgrave Macmillan.

Roest-Crollius, S.J., A.A. (1984). Inculturation and the Meaning of Culture. Dalam Roest-Crollius,
S.J., A.A. What Is So New about Inculturation. Roma: Pontifical Gregorian University.

Shoemaker, Stephen J. (2015). The Ancient Dormition Apocrypha and the Origins of Marian
Piety: Early Evidence of Marian Intercession from Late Ancient Palestine. Dalam
Peltomaa, Leena Mari. (et.al.), Presbeia Theothokou: The Intercessory Role of Mary across
Times and Places in Byzantium (4th-9th century). Austrian Academy of Sciences Press.

Subanar, Gregorius Budi. (2005). Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang
di bawah dua uskup, 1940-1981. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Suseno, Frans Magnis. (2017). Katolik Itu Apa? Sosok, Ajaran dan Kesaksiannya. Yogyakarta:
Kanisius.

Smart, B. (2002 [1985]). Michel Foucault. London: Routledge

Stefano, R.D., & Mauro, D. (2016). Our Lady of Lujan: National Identity and Mass Mobilization
in Argentina. Dalam Stefano, R.D., & Solans, F.J. (eds.), Marian Devotion, Political
Mobilization and Nationalism in Europe and America, hal 279-308. London: Palgrave
Macmillan.

Steenbrink, K.A. (2007). Catholics in Indonesia, 1808-1942: The spectacular growth of a self-
confident minority, 1903-1942. Leiden: KITLV Press.

148
Steenbrink, K.A. (2018). Orang-orang Katolik di Indonesia Era Kemerdekaan 1945-2010.
Maumere: Ledalero.

Wodak, R., & Meyer, P. (2001). Methods of Critical Discourse Analysis. Sage Publications.

Jurnal

Amos, K. (2010). Governance and governmentality: Relation and relevance of two prominent
social scientific concepts for comparative education. Educao e Pesquisa, 36 (1), 1-21.

Beck, H. (2018). Back to Sendangsono: A Marian Pilgrimage Site as a Lens on Central Javanese
Cultural Values. Bijdragen Tot de Taal, Land, en Volkekunde, 174 (1), 244-263.

Boicu, D. (2014). Marian Devotion as a Form of Legitimization of Imperial Authority. De Gruyter


Open, 1 (1), 2014: 102-120

Borovoy, V. (1963). The Meaning of Catholicity. The Ecumenical Review, 16 (1), 1963: 26-28.

Bruce, James P. (2016). Alfred E. Smith and the Americanization of the Catholic Church. U.S.
Catholic Historian, 34 (4), Musim Gugur 2016: 1-23.

Deacon, R. (1998). Strategies of Governance: Michael Foucault in Power. Dalam Theoria: A


Journal of Social and Political Theory, Justice Equality and Difference (92), Desember
1998: 113-48.

Doyle, Dennis M. (2012). The Concept of Inculturation in Roman Catholicism: A Theological


Consideration. Dalam U.S. Catholic Historian, 30 (1), Musim Dingin 2012: 1-13.

Henn, William. (1989). Interpreting Marian Doctrine. Dalam jurnal Gregorianum, 70 (3), 1989:
413-37.

Jones, Tod. (2012). Indonesian Cultural Policy in the Reform Era. Dalam Indonesia (93), April
2012: 147-76.

Jung, D., & Sinclair, K. (2020). Religious Governmentality: The Case of Hizbuth Tahrir. Temenos:
Nordic Journal of Comparative Religion, 56 (1), 95-117

149
Kipp, R.S. (2000). “Bangsa goes above agama” The Nationalist Credentials of Christian in
Indonesia. Documentatieblad voor de Geschiendenis van der Nederlandse Zending en
Overzeese Kerken, 7e (2)

Lemke, T. (2000). Foucault, Governmentality and Critique. Dipresentasikan dalam Rethinking


Marxism Conference, 21-24 September 2000. University of Amherst.

McDonnel, Kilian. (2002). The Ratzinger/Kasper Debate: The Universal Church and Local
Churches. Theological Studies, 63, 2002.

Meuleman, Johan. (2006). Between Unity and Diversity: The Construction of the Indonesian
Nation. European Journal of East Asian Studies, 5 (1), 2006: 45-69.

Morgan, Elizabeth. (2005). Mary and Modesty. Dalam Christianity and Literature, 54 (2). Musim
Dingin 2005: 209-23.

Pelayo-Zavala, E. (2018). Pastoralism in Latin America: An ensemble of religious governmental


technologies in colonial Costa Rica. Religions, 9 (7)

Potgieter, Raymond. (2020). Revisiting the incomplete Mary. Dalam In Die Skriflig, 54 (1).
https://doi.org/10.4102/ids. v54i1.2606

Powell, J.L. (2015). Foucault, Power, and Culture. Dalam International Journal of Humanities
and Cultural Studies, 1 (4), 2015: 401-419.

Rachmat, P.S. (2009). Penelitian Kualitatif. Dalam Jurnal Equilibrium, 9 (5), Januari-Juni 2009:
1-8.

Rukiyanto, B. A. (2019). Inculturation in the Catholic Church in Indonesia. Dalam Journal of


Asian Orientation in Theology, 1 (1), Februari 2019: 49-80.

Schefold, Reimar. (1998). The Domestication of Culture: Nation-building and Ethnic Diversity in
Indonesia. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkekunde, 154 (2), 1998: 259-280.

150
Siddiq, M., & Salma, H. (2019). Etnografi sebagai Teori dan Metode. Dalam Kordinat XVIII (1),
April 2019: 24-48.

Sukamto, A. (2013). Ketegangan Antar Kelompok Agama pada masa Orde Lama sampai awal
Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik. Dalam Jurnal
Teologi Indonesia, 1 (1) Juli 2013: 25-47.

Suryadinata, Leo. (1988). Government Policy and National Integration in Indonesia. Dalam
Southeast Asian Journal of Social Science, 16 (2) 1988: 111-31

Ghatak, S., & Abel, A.S. (2013). Power/Faith: Governmentality, Religion, and Post-Secular
Societies. International Journal of Politics, Culture and Sociey, 26 (3), 217-235.

Trismaya, Nita. (2019). Kebaya dan Perempuan: Sebuah narasi tentang Identitas. Dalam Jurnal
Senirupa Warna, 6 (2), Juli 2018: 151-59.

Zohreh, Sadatmoosavi. (2016). The Conception of Modesty and Modest Dress. Dalam jurnal
Afkar 18 (2). 2016: 229-70

Skripsi, Tesis dan Disertasi

Arsyadi, Trisna. (2008). Devosi Marial: Kebaktian kepada Santa Perawan Maria dalam Gereja
Katolik. Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tidak dipublikasikan.

Lynch, M. (2008). Catholicism, History and Culture: A Dawnsonian Synthesis. Disertasi


Australian Catholic University tidak dipublikasikan.

Shakeel Ahmad. (2019). Sakralitas Patung “Tuan Ma” pada Masyarakat Katolik di Larantuka
Kabupaten Flores Timur. Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah tidak
dipublikasikan.

Sutrisno, E.L. (2018). Negotiating the Confucian Religion: Invention, Resilience, and Revival
(1900-2010). Disertasi University of Washington. Diakses melalui

151
https://digital.lib.washington.edu/researchworks/handle/1773/42177 pada 10 Februari
2021 pukul 19.35

Rafiq, D. (2019). Menuju Politik Agonistik: Sebuah Analisis Arkeologi Pengetahuan terhadap
Pemikiran Politik Chantal Mouffe. Skripsi Universitas Gadjah Mada tidak dipublikasikan.

Wuriusadani, Maria. (2015). Menggali wawasan tentang makna Devosi kepada Bunda Maria
untuk mengembangkan iman Katolik keluarga. Skripsi Universitas Sanata Dharma tidak
dipublikasikan.

Dokumen Gerejawi (Terbitan resmi Vatikan, KWI dan Keuskupan Agung Jakarta)

Congregation of Divine Word (2001, Desember). Directory on Popular Piety and Liturgy:
Principles and Guidelines.

Departemen Dokumentasi dan Penerangan MAWI. (1985). Umat Katolik Indonesia dalam
Masyarakat Pancasila: Hubungan Gereja dan Negara pedoman MAWI bagi Umat Katolik.

Panitia Sayembara Maria Bunda Segala Suku. (2017). Buku Hasil Karya Lukisan dan Patung
“Maria Bunda Segala Suku”.

Sekretariat KWI. (1973). Dokumen Indonesianisasi. Spektrum, 3 (1), 1-35

Suharyo, I. (2018, 3 Januari). Mengawali Tahun Persatuan: Surat Gembala Uskup Keuskupan
Agung Jakarta. Jakarta: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta.

Daring

Gora, G. (2018, 31 Mei). Kisah di Balik Devosi Kebangsaan “Maria Bunda Segala Suku”. Diakses
melalui https://www.beritasatu.com/archive/495035/kisah-di-balik-devosi-kebangsaan-
mariabunda-segala-suku pada 2 November 2020 pukul 22.40

Ovier, A. (2018, 23 Oktober). Patung Maria Bunda Segala Suku, simbol cinta Tanah Air. Diakses
melalui https://www.beritasatu.com/nasional/518058/patung-maria-bunda-segala-suku-
simbol-cinta-tanah-air pada 4 November 2020, pukul 23.00

152
Hariyadi, M. (2018, 24 Oktober). Maria berwajah khas Indonesia di Museum Maria Bunda Segala
Suku (3). Diakses melalui https://www.sesawi.net/maria-berwajah-khas-indonesia-di-
museum-maria-bunda-segala-suku-mci-3/ pada 4 November 2020 pukul 22.45

Pratama., & Kusumadewi, A. (2015, 11 Agustus). Kronologi Kasus Supersemar Rp 4,4 Trilliun
Soeharto. Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150811103858-12-
71329/kronologi-kasus-supersemar-rp44-triliun-soeharto pada 19 Februari 2021 pukul
17.11

Priambodo, A., (2016, 6 Oktober). Christina Maria Rantetana, wanita pertama yang raih bintang
dua TNI. Diakses melalui https://www.brilio.net/sosok/christina-maria-rantetana-wanita-
pertama-yang-raih-bintang-dua-tni-161005b.html pada 19 Februari 2021 pukul 17.09

Suwarta, T.H. (2019, 26 Januari). Wartawan Katolik Indonesia Sampaikan Terima Kasih ke Tokoh
Bangsa. Diakses melalui https://mediaindonesia.com/humaniora/212951/wartawan-
katolik-indonesia-sampaikan-terima-kasih-ke-tokoh-bangsa pada 19 Februari 2021 pukul
17.19

Wawancara

Anggota panitia sayembara “Maria Bunda Segala Suku”, (23 April 2021)

Gregorius Gomas, (15 Januari 2021)

Gregorius Gomas, (5 Februari 2021)

Gregorius Gomas, (14 April 2021)

Harry Sulistyo, (13 Februari 2021)

Ignatius Bayu - Komisi Komsos KAJ, (12 Desember 2021)

Prodiakon Paroki Santa Maria Regina Bintaro, (11 September 2021)

Putut Prabantoro, (15 Februari 2021)

153
Putut Prabantoro, (16 April 2021)

Robertus Gunawan, (11 April 2021)

154

Anda mungkin juga menyukai