TOPIK BAB
Kita telah mempelajari kebutuhan anak dan pola pertumbuhan pada bab
sebelumnya. Meski disebutkan mengenai orangtua tunggal dari waktu ke waktu,
asumsi umum yang ada ialah adanya dua orangtua di dalam rumah. Dan ini benar
adanya. Meskipun demikian, lebih dari 30% anak tinggal dalam bentuk keluarga
yang lain. Dalam bab ini kita akan berfokus pada pengasuhan di rumah dengan
satu orangtua kandung (ibu dan ayah yangberusia remaja, orangtua yang tidak
pernah menikah, yang bercerai, atau yang janda/duda). Beberapa orangtua
berpindah-pindah dalam kelompok ini. Sekitar satu dari empat anak di Amerika
Serikat tinggal bersama orangtua tunggal (25% bersama ibu dan 4% bersama
ayah).
Remaja Afrika Amerika cenderung aktif secara seksual lebih dini dan
lebih banyak melahirkan diikuti oleh remaja Latin, dan kemudian remaja Eropa
Amerika. Namun, Amerika Serikat lah yang memegang nilai tertinggi untuk
remaja ynag melahirkan bayi dibandingkan negara industri lainnya di dunia.
Mereka yang berusia di bawah 20 tahun dan memiliki anak kami sebut
sebagai orangtua remaja. Kebanyakan dari mereka merupakan orangtua tunggal.
Beberapa penelitian menyatakan untuk berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa
usia muda lah yang menyebabkan stres yang mereka dan anak mereka alami.
Ketika anak berusia muda dari orangtua berusia remaja dibandingkan dengan anak
dari saudara perempuan ibu yang memiliki anak ketika berusia lebih tua, mereka
menukjukkan tinngkat kognitif yang sama, yang menujukkan bahwa bukan usia
muda orangtua yang penting namun pengalaman keluarga. Ketika perbandingan
serupa dilakukan saat anak berusia remaja, remaja yang ibunya melahirkan saat
ibunya berusia remaja cenderung tinggal kelas dibandingkan sepupunya. Hal ini
mampu menunjukkan bahwa usia muda ibu bisa mempengaruhi prestasi anak di
sekolah.
Ibu berusia remaja kurang realitas dalam memberikan harapan pada anak
dan menganggap bayi mereka sebagai sosok yang lebih sulit, meskipun
sebenarnya mereka juga bisa saja menjadi seorang ibu yang hangat pada anaknya.
Terkadang mereka tidak mampu memahami kebutuhan bayi, dan membatasi
eksplorasi serta pilihan anak. Ibu yang berusia remaja ini kurang dapat
memberikan stimulasi verbal karena kurang menstimulus melalui buku atau
kegiatan kondusif yang tepat untuk belajar.
Bayi yang lahir dari orangtua yang berusia remaja hanya memiliki sedikit
perbedaan dari bayi dari orangtua yang berusia lebih tua. Namun, kebanyakan
bayi terlihat sehat dan bahkan di tahun pertama perkembangan kognitifnya pun
berjalan normal. Pada masa balita, kita akan melihat adanya keterlambatan
bahasa, dan keterlambatan kognitif pada usia 3 tahun. Di usia sekolah, anak terus
mengalami keterlambatan dalam ketrampilan bahasa, kognitif, dan
sosioemosional. Kemudian di usia remaja, masalah yang lain pun akan terlihat
seperti kontrol impulsif dan aturan emosional.
Proses resiko atau keuletan dijelaskan dalam sebuah model pada anak
termasuk kualitas ibu sebelum kelahiran yang mencerminkan penyesuaian
psikologis, kemampuan untuk belajar, ketiadaan sejarah penyiksaan,
penyalahgunaan obat-obatan dan adanya dukungan teman dan orangtua. Kualitas
tersebut membantu ibu mengembangkan kesiapan kognitif untuk mengasuh anak.
Kesiapan kognitif dan karakteristik bayi memprediksi teknik pengasuhan positif
ibu yang akan memprediksi kompetensi anak..
Tujuan yang ingin didapatkan dari adanya program untuk orangtua berusia
remaja yaitu: (1) mencegah kehamilan pertama di usia remaja; (2) membantu
orangtua berusia remaja menghadapi kehamilan, kelahiran, dan pengasuhan anak;
dan (3) membantu remaja untuk mengatasi transisi menuju kedewasaan sehingga
mereka bisa menyelesaikan pendidikan, membentuk hubungan yang memuaskan
bersama pasangan, dan membersarkan anak. Contohnya, ketika remaja hamil,
program ini akan memberikan informasi mengenai kebutuhan anak dan pola
perkembangan, cara efektif untuk membentuk kemelekatan aman, berhubungan
dengan bayi, dan memberikan kegiatan stimulus, serta strategi pengasuhan positif
untuk mengatasi perilaku bermasalah yang sering dijumpai di usia tersebut.
Untuk menuju kedewasaan, anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah
akan melewatinya dengan berbagai cara. Sedangkan anak yang berada dalam
situasi stabil biasanya akan mendapatkan lebih banyak pendidikan dan lebih
cukup secara ekonomi, serta mandiri ketika dewasa. Anak yang tinggal bersama
kakek nenek tanpa sosok ibu akan memiliki pencapaian pendidikan yang lebih
rendah dan kemungkinan akan meninggalkan rumah setelah berusia 18 tahun.
Untuk dapat menahan anak dari stres dan memprediksi hasil yang positif
bagi mereka kita perlu mengetahui faktor pelindung pada anak, ibu, hubungan
orangtua-anak, dan konteks sosialnya. Faktor pelindung ini kemudian
dikategorisasikan menjadi empat faktor, yaitu: (1) karakteristik anak (sikap
bergaul dan perhatian yang positif); (2) kualitas ibu (keefektifan dan resiko
depresi yang rendah); (3) kualitas pengasuhan (hubungan positif orangtua-anak
dan keterlibatan ayah); dan (4) kualitas konteks sosial yang lebih besar (dukungan
sosial dan kesulitan hidup yang sedikit). Semua faktor pelindung ini (kecuali
keterlibatan ayah) dapat memprediksi pengukuran fungsi psikologis yang
kompeten, diukur dari keagresifan, kecemasan, depresi, hiperaktivitas,
ketergantungan, dan penarikan diri yang rendah.
MENJADI IBU TUNGGAL KARENA PILIHAN
Reaki awal anak terhadap perceraian dalam hal emosional seperti merasa
depresi, takut, sedih, bingung, marah, dan kadang juga merasa lega. Hal yang
dapat dilakukan orangtua untuk memberikan dukungan secara emosional yaitu:
(1) berkomunikasi dengan anak mengenai perceraian (jelaskan dengan bahasa yng
sederhana terkait alasan akan perubahan yang terjadi); dan (2) mengurangi
penderitaan anak dengan memastikan kebutuhan anak terpenuhi.
Namun, ketika sang ayah yang mendapatkan hak asuh, mereka akan
merasa kewalahan atas tanggung jawabnya terhadap anak. Selain itu, mereka yang
biasanya memiliki pekerjaan tetap akan merasa bingung dalam membagi waktu
untuk dihabiskan bersama anaknya. Dalam hal emosional, ayah tidak terbiasa
untuk memahami anak, khususnya ketika anak masih kecil dan belum bisa
berpikir selogis yang dipikirkan ayah. Sedangkan bagi mereka yang memiliki
anak remaja, seorang ayah mungkin akan mengalami masalah sama seperti ibu
yaitu dengan memberikan terlalu banyak kebebasan dan tidak melakukan
pembatasan.
Kualitas yang dimiliki anak, aspek yang mendukung dalam keluarga, dan
dukungan sosial eksternal merupakan faktor pelindung bagi anak ketika mereka
menyesuaikan diri dalam situasi perceraian. Usia dan jenis kelamin anak serta
kecerdasannya jug berperan sebagai pelindung. Anak yang berusia lebih muda
terlihat kurang terpengaruh dibandingkan mereka yang berusia sekolah atau
remaja usia awal saat terjadi perceraian atau pernikahan kembali. Karena menjadi
semakin mandiri di dalam keluarga, remaja usia akhir terlihat kurang terpengaruh
dibandingkan anak yang berusia lebih muda. Anak laki-laki terlihat lebih
menderita saat terjadinya perceraian, dan anak perempuan terlihat lebih banyak
menimbulkan masalah saat ibunya memilih untuk menikah kembali.
Selain faktor di atas, saudara dan kakek nenek mampu menjadi pendukung
yang potensial. Mereka dapat memberikan dukungan secara langsung dengan
memberikan waktu, perhatian, dan liburan khusus atau memberikan hak istimewa
untuk meredakan luka karena perceraian. Disamping itu, lingkungan juga dapat
menjadi sumber pendukung anak. Di sekolah contohnya. Ada guru yang
berwenang dan baik hati serta teman yang memberikan dukungan dan rasa
percaya pada anak tersebut. Prestasi dalam pendidikan dan olahraga berkontribusi
dalam rasa kompetisi yang dapat merangsang keuletan, dan banyak anak yang
menemukan mentor yang tepat melalui kegiatan ini.
Dalam penelitian yang dilakukan Paul Amato pada orang dewasa yang
orangtuanya bercerai, ditemukan fakta bahwa orang dewasa tersebut memiliki
tingkat kesejahteraan yang tinggi, memiliki tingkat perselisihan yang kecil dalam
pernikahannya, dan memiliki hubungan yang erat dengan ayah di banyak
keluarga. Sebaliknya, orang dewasa dari orangtua yang tidak bercerai memiliki
kesejahteraan yang rendah, ada perselisihan dalam pernikahan dan memiliki
hubungan yang berjarak dengan ayah. Sehingga Amato menyimpulkan bahwa
meski perceraian berdampak negatif pada beberapa anak dan merupakan faktor
resiko untuk fungsi sosioemosional selanjutnya, namun mayoritas anak dapat
menunjukkan hal baik pada masa dewasanya.
Peningkatan peran ayah dalam keluarga dengan dua penghasilan telah kita
pelajari pada bab sebelumnya dimana hal ini mampu memberikan manfaat bagi
anak dan ibu yang juga bekerja dan membesarkan anak. Lalu apakah hilang atau
berkurangnya peran ayah akan berdampak pada kehidupan anak?
Peran ayah dalam kehidupan anak dijelaskan oleh McLanahan dan Teitler
dalam tiga aspek, yaitu keuangan, sosial, dan masyarakat. Kontribusi ayah dalam
keuangan meningkatkan sumber yang tersedia untuk membesarkan anak. Tanpa
adanya sumber tambahan, keluarga mungkin tidak memiliki layanan seperti
jaminan kesehatan dan akan hidup di lingkungan yang miskin dengan sekolah
yang buruk dan layanan yang buruk serta mendapatkan layanan masyrakat yang
lebih sedikit. Mereka memperkirakan bahwa pengurangan pendapatan
menjelaskan sekitar 50% dampak dari ketiadaan ayah.
Untuk dapat memberikan dampak positif pada anak, ayah tidak harus
menikah dan tinggal bersama anak. Dalam hal ini ayah juga tidak harus menjadi
ayah kandung dari anak. Sosok ayah yang dimaksud disebut sebagai ayah sosial,
yaitu laki-laki yang tinggal bersama ibu anak dan mampu memberikan dampak
positif pada kehidupan anak ketika mereka terlibat secara aktif bersama anak.
Tingginya tingkat keterlibatan bersama anak memprediksi perilaku agresif yang
lebih rendah dan kesehatan yang lebih baik dalam diri anak terlepas apakah
ayahnya merupakan ayah kandung atau ayah sosial. Ayah sosial tidak
menghilangkan hubungan positif yang dimiliki anak dengan ayah kandungnya
yang tidak tinggal serumah dengannya. Disini mereka terlihat saling melengkapi.
Ketika kehilangan sosok orangtua, anak akan merasa bahwa “Dunia tak
lagi menjadi tempat senyaman sebelumnya”. Mereka kehilangan tempat
bergantung yang mereka gunakan untuk mendapatkan keamanan dalam hidup.
Setidaknya ada empat fase dalam proses kedukaan menurut John Bowlby: (1)
sebuah periode kekakuan yang berlangsung berjam-jam atau berminggu-minggu
dimana seseorang harus menerima fakta kematian, tetapi belum mampu
meredakan emosi karena lukanya sangat besar; (2) periode memprotes dan
merindukan dimana seseorang menolak untuk menerima fakta kematian dan
mencari-cari orangtua; (3) periode kesedihan dan putus asa dimana kenyataan
kematian telah diterima secara emosional dan hidup tanpa orang tersebut terlihat
tak tertahankan; dan (4) periode pemgaturan hidup kembali untuk meneruskan
hidup tanpa orang tersebut.
Berbicara pada Anak. Anak-anak perlu diberikan informasi yang tepat melalui
kata-kata yang mudah mereka pahami. Terlepas dari pemahaman awal mereka,
saat mereka bertambah usia dan pemikiran mereka lebih matang, mereka akan
memiliki pertanyaan baru dan reaksi baru yang ingin mereka bahas. Jadi,
memberikan penejelasan awal mengenai kematian merupakan awal pembicaraan
yang akan berkembang di tahun-tahun berikutnya.
Cara Anak Bereaksi Berbeda dengan Orang Dewasa. Berikut daftar cara
dimana kedukaan anak berbeda dari orang dewasa yang dibuat oelh Dougy
Center:
POIN UTAMA