Anda di halaman 1dari 20

BAB 14

Pengasuhan oleh Orangtua Tunggal

TOPIK BAB

Pada bab ini, Anda akan mempelajari tentang:

 Perubahan dalam struktur keluarga.


 Orangtua berusia remaja dan anak mereka.
 Pengalaman ibu yang tidak menikah dan anak mereka.
 Proses perceraian dan apakah orangtua harus tinggal bersama demi
kebaikan anak mereka.
 Peran ayah dalam kehidupan anak.
 Pengasuhan anak ketika salah satu orangtua meninggal.
 Stres dan mengatasi situasi dengan terjadinya kematian anggota keluarga.

Ujilah Pengetahuan Anda: Fakta atau Fiksi (Benar/Salah)

1. Ketika ibu berusia remaja memiliki kehidupan yang stabil dan


menggunakan prinsip pengasuhan positif, anak mereka akan berfungsi
dengan efektif.
2. Selama orangtua yang sedang berkonflik tetap menikah, anak mereka
mengalami lebih sedikit masalah daripada anak yang orangtuanya bercerai.
3. Ketika keluarga cocok dengan hal pendidikan dan pendapatan, anak yang
memiliki ibu tunggal dengan tingkat stres rendah tidak bisa dibedakan dari
anak yang memiliki dua orangtua.
4. Karena struktur keluarga telah berubahdan psangan muda lebih sering
tinggal bersama, pernikahan menjadi kurang dihargai.
5. Proses perceraian kolaboratif menawarkan kesempatanbagi orangtua untuk
bercerai melalui kesepakatan tanpa harus melalui proses pengadilan.
Untuk menciptakan kehidupan baru, dibutuhkan dua orangtua secara biologis.
Namun, adanya perubahan ekonomi dan sosial dalam 50 tahun terakhir mampu
meningkatkan jumlah anak yang tinggal di dalam bentuk keluarga yang lain
selain keluarga dengan dua orangtua biologis atau keluarga angkat. Lebih jauh
lagi, banyak anak merasakan berbagai bentuk kehidupan keluarga dalam masa
perkembangannnya. Bab ini akan berfokus pada bagaimana kehidupan menjadi
berbeda bagi anak dan orangtuanya dalam keluarga orangtua tunggal. Kita juga
akan melihat bagaimana pengasuhan berubah ketika hanya ada satu orangtua
yang mengelola rumah tangga dan membesarkan anak.

Kita telah mempelajari kebutuhan anak dan pola pertumbuhan pada bab
sebelumnya. Meski disebutkan mengenai orangtua tunggal dari waktu ke waktu,
asumsi umum yang ada ialah adanya dua orangtua di dalam rumah. Dan ini benar
adanya. Meskipun demikian, lebih dari 30% anak tinggal dalam bentuk keluarga
yang lain. Dalam bab ini kita akan berfokus pada pengasuhan di rumah dengan
satu orangtua kandung (ibu dan ayah yangberusia remaja, orangtua yang tidak
pernah menikah, yang bercerai, atau yang janda/duda). Beberapa orangtua
berpindah-pindah dalam kelompok ini. Sekitar satu dari empat anak di Amerika
Serikat tinggal bersama orangtua tunggal (25% bersama ibu dan 4% bersama
ayah).

MENGUBAH STRUKTUR KELUARGA

Munculnya pertumbuhan jumlah anak yang lahir di luar pernikahan


menyebabkan adanya perubahan sosial dalam menilai sebuah pernikahan. Namun
dari wawancara yang dilakukan, orang-orang dari semua kelompok sosial
menghargai pernikahan dan melihatnya sebagai salah satu tonggak sejarah yang
diharapkan dalam hidup. Remaja mengatasi pernikahan (hanya 5% yang berkata
mereka tidak akan menikah), tetapi hampir setengahnya berpikir bahwa mereka
akan tinggal bersama lebih dulu. Mereka tidak menganggap tinggal bersama
sebagai pengganti pengganti pernikahan, melainkan sebuah langkah menuju
pernikahan. Saat ini, sekitar setengah pernikahan diawali dengan tinggal bersama,
dan setengah dari pasangan yang tinggal bersama akan menikah. Namun, banyak
orang yang memiliki serangkaian hubungan tinggal bersama yang dilihat sebagai
alternatif untuk menjadi lajang/single.

Dalam subkelompok orangtua tunggal, terdapat hereogenitas yang besar.


Ibu yang bercerai berbeda dalam hal pendidikan dan pendapatan dibandingkan
remaja serta ibu yang tidak menikah, sedangkan ayah yang bercerai lebih
menyerupai ayah yang menikah dalam bidang pekerjaan dan pendapatan
dibandingkan dengan remaja dan ayah yang tidak menikah. Perbedaan terjadi di
dalam subkelompok, sama halnya dengan misalnya, orangtua berusia remaja yang
melalui banyak cara menuju kedewasaan.

ORANGTUA BERUSIA REMAJA

Remaja Afrika Amerika cenderung aktif secara seksual lebih dini dan
lebih banyak melahirkan diikuti oleh remaja Latin, dan kemudian remaja Eropa
Amerika. Namun, Amerika Serikat lah yang memegang nilai tertinggi untuk
remaja ynag melahirkan bayi dibandingkan negara industri lainnya di dunia.

Siapa yang Dimaksud Orangtua Remaja

Mereka yang berusia di bawah 20 tahun dan memiliki anak kami sebut
sebagai orangtua remaja. Kebanyakan dari mereka merupakan orangtua tunggal.
Beberapa penelitian menyatakan untuk berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa
usia muda lah yang menyebabkan stres yang mereka dan anak mereka alami.
Ketika anak berusia muda dari orangtua berusia remaja dibandingkan dengan anak
dari saudara perempuan ibu yang memiliki anak ketika berusia lebih tua, mereka
menukjukkan tinngkat kognitif yang sama, yang menujukkan bahwa bukan usia
muda orangtua yang penting namun pengalaman keluarga. Ketika perbandingan
serupa dilakukan saat anak berusia remaja, remaja yang ibunya melahirkan saat
ibunya berusia remaja cenderung tinggal kelas dibandingkan sepupunya. Hal ini
mampu menunjukkan bahwa usia muda ibu bisa mempengaruhi prestasi anak di
sekolah.

Stres yang Dialami Orangtua dalam Perkembangan Mereka

Banyak kesulitan yang dialami orangtua remaja yang dapat mempengaruhi


pengasuhan anak. Empat kategori utama kesulitan tersebut terkait dengan: (1)
latar belakang sosial remaja; (2) hubungan awal dengan orangtua; (3) karakteristik
pribadi mereka; dan (4) hubungan mereka dengan teman. Latar belakang sosial
remaja yang menjadi orangtua mengandung faktor risiko karena menjadi ibu
berusia remaja tinggal dalam rumah denagn orangtua tunggal yang berpendidikan
rendah, hidup dalam kemiskinan, dan tinggal di dalam masyarakat miskin serta
membutuhkan bantuan kesejahteraan. Ibu yang berusia remaja juga mengalami
penyiksaan seksual lebih banyak di masa kecil atau usia remaja awal.

Sebagian besar penelitian mengenai orangtua berusia remaja memberikan


fokus pada sang ibu. Penelitian terbaru telah mengikuti sampel anak laki-laki
untuk menentukan karakteristik ayah berusia remaja. Dalam berbagai contoh,
mereka memiliki kualitas yang sama seperti ibu. Mereka berasal dari keluarga
berpenghasilan rendah dimana orangtua sering memiliki masalah dengan perilaku
antisosialnya. Orangtua mereka menggunakan teknik disiplin yang tidak efektif
dan tidak mengawasi mereka dengan baik. Ketika berusia remaja awal, anak laki-
laki ini mulai melakukan kegiatan yang menyimpang dan melanggar aturan.
Mereka juga menjadi kurang berprestasi di bidang akademik. Penelitian lainnya
menidentifikasi faktor resiko yang serupa, tetapi menyimpulkan bahwa
aakumulasi resiko, bukan hanya satu, yang paling memprediksi muncul ayah
berusia remaja.

Pengasuhan oleh Orangtua Berusia Remaja


Orangtua berusia remaja dan anak mereka dapat mengalami berbagai stres
(terbatasnya keuangan, pendidikan tidak selesai, kesempatan kerja yang terbatas,
pengetahuan atau pemahaman yang sedikti mengenai anak, tempat tinggal dan
hubungan dengan pasangan yang tidak stabil). Jadi, tidaklah mengherankan bahwa
orangtua berusia remaja kurang peka dan kurang responsif sebagai pengasuh, serta
lebih keras, lebih menuntut, dan terkadang menjadi orangtua yang menyiksa.

Ibu berusia remaja kurang realitas dalam memberikan harapan pada anak
dan menganggap bayi mereka sebagai sosok yang lebih sulit, meskipun
sebenarnya mereka juga bisa saja menjadi seorang ibu yang hangat pada anaknya.
Terkadang mereka tidak mampu memahami kebutuhan bayi, dan membatasi
eksplorasi serta pilihan anak. Ibu yang berusia remaja ini kurang dapat
memberikan stimulasi verbal karena kurang menstimulus melalui buku atau
kegiatan kondusif yang tepat untuk belajar.

Anak yang Lahir dari Orangtua Berusia Remaja

Bayi yang lahir dari orangtua yang berusia remaja hanya memiliki sedikit
perbedaan dari bayi dari orangtua yang berusia lebih tua. Namun, kebanyakan
bayi terlihat sehat dan bahkan di tahun pertama perkembangan kognitifnya pun
berjalan normal. Pada masa balita, kita akan melihat adanya keterlambatan
bahasa, dan keterlambatan kognitif pada usia 3 tahun. Di usia sekolah, anak terus
mengalami keterlambatan dalam ketrampilan bahasa, kognitif, dan
sosioemosional. Kemudian di usia remaja, masalah yang lain pun akan terlihat
seperti kontrol impulsif dan aturan emosional.

Keuletan Pengasuhan oleh Orangtua Berusia Remaja

Proses resiko atau keuletan dijelaskan dalam sebuah model pada anak
termasuk kualitas ibu sebelum kelahiran yang mencerminkan penyesuaian
psikologis, kemampuan untuk belajar, ketiadaan sejarah penyiksaan,
penyalahgunaan obat-obatan dan adanya dukungan teman dan orangtua. Kualitas
tersebut membantu ibu mengembangkan kesiapan kognitif untuk mengasuh anak.
Kesiapan kognitif dan karakteristik bayi memprediksi teknik pengasuhan positif
ibu yang akan memprediksi kompetensi anak..

Selain pentingnya hubungan anak dengan orangtua sebagai sumber


dukungan untuk mengatasi kejadian negatif dalam hidup, berikut faktor lain yang
dapat menghasilkan dukungan sosial: (1) hubungan positif dengan ayah; (2)
keterlibatan keluarga dalam agama; dan (3) partisipasi anak dalam olahraga dan
kegiatan masyarakat. Keterlibatan ayah termasuk dalam hal keuangan, dukungan
emosional, pengasuhan, dan bantuan lainnya. Keterlibatan keluarga dalam
kegiatan keagamaan dapat membantu ibu dan anak untuk memiliki penghargaan
diri yang lebih tinggi, dan anak akan lebih sedikit memiliki masalah dalam
perilaku. Keterlibatan dalam kegiatan olahraga dan masyarakat mampu
memberikan makna yang lebih vesar dalam hidup sebab orangtua mendapat
bantuan praktis ketika memnuhi tuntutan hidup sehari-hari.

Program untuk Orangtua Berusia Remaja

Tujuan yang ingin didapatkan dari adanya program untuk orangtua berusia
remaja yaitu: (1) mencegah kehamilan pertama di usia remaja; (2) membantu
orangtua berusia remaja menghadapi kehamilan, kelahiran, dan pengasuhan anak;
dan (3) membantu remaja untuk mengatasi transisi menuju kedewasaan sehingga
mereka bisa menyelesaikan pendidikan, membentuk hubungan yang memuaskan
bersama pasangan, dan membersarkan anak. Contohnya, ketika remaja hamil,
program ini akan memberikan informasi mengenai kebutuhan anak dan pola
perkembangan, cara efektif untuk membentuk kemelekatan aman, berhubungan
dengan bayi, dan memberikan kegiatan stimulus, serta strategi pengasuhan positif
untuk mengatasi perilaku bermasalah yang sering dijumpai di usia tersebut.

ORANGTUA YANG TIDAK MENIKAH


Remaja yang berusia muda atau wanita profesional yang mandiri secara
ekonomi sering dianggap sebagai ibu yang tidak menikah. Faktanya, wanita di
usia akhir 20-an atau 30-an yang tidak menikah dan memiliki anak pertama di luar
pernikahan ketika ia masih remaja, saat ini rata-rata juga memiliki anak kedua
atau ketiga di luar pernikahan. Hampir 40% bayi yang lahir dari wanita yang tidak
menikah tersebut akan tinggal bersama sang ayah dan hampir setengah dari bayi-
bayi ini melalui perencanaan. Meskipun kelompok tersebut tidak stabil
dibandingkan pernikahan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu 5
tahun sekitar 60% orangtua akan menikah, 12% akan terus hidup bersama, dan
28% akan berpisah.

Anak dari Orangtua yang Tidak Menikah

Untuk menuju kedewasaan, anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah
akan melewatinya dengan berbagai cara. Sedangkan anak yang berada dalam
situasi stabil biasanya akan mendapatkan lebih banyak pendidikan dan lebih
cukup secara ekonomi, serta mandiri ketika dewasa. Anak yang tinggal bersama
kakek nenek tanpa sosok ibu akan memiliki pencapaian pendidikan yang lebih
rendah dan kemungkinan akan meninggalkan rumah setelah berusia 18 tahun.

Untuk dapat menahan anak dari stres dan memprediksi hasil yang positif
bagi mereka kita perlu mengetahui faktor pelindung pada anak, ibu, hubungan
orangtua-anak, dan konteks sosialnya. Faktor pelindung ini kemudian
dikategorisasikan menjadi empat faktor, yaitu: (1) karakteristik anak (sikap
bergaul dan perhatian yang positif); (2) kualitas ibu (keefektifan dan resiko
depresi yang rendah); (3) kualitas pengasuhan (hubungan positif orangtua-anak
dan keterlibatan ayah); dan (4) kualitas konteks sosial yang lebih besar (dukungan
sosial dan kesulitan hidup yang sedikit). Semua faktor pelindung ini (kecuali
keterlibatan ayah) dapat memprediksi pengukuran fungsi psikologis yang
kompeten, diukur dari keagresifan, kecemasan, depresi, hiperaktivitas,
ketergantungan, dan penarikan diri yang rendah.
MENJADI IBU TUNGGAL KARENA PILIHAN

Sebagian wanita berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan yang


memuaskan lebih memilih untuk mengadopsi anak, atau menggunakan teknologi
reproduksi bantuan dan bahkan sangat jarang yang sampai melalui kehamilan. Hal
ini semakin meningkat seiring dengan perasaan bahwa mereka kehilangan
kesempatan untuk melakukannya di bawah keadaan pernikahan yang ideal
bersama pasangan yang dicintai. Kemudian faktor inilah yang mendorong wanita
untuk memilih menjadi ibu tunggal.

Dalam sebuah penelitian terhadap orangtua tunggal dan pasangan yang


menikah disesuaikan dengan pendidikan, pendapatan, area tempat tinggal dan usia
serta gender anak telah mengobservasi hubungan ibu dan anak ketika anak berusia
prasekolah. Dikatakan bahwa ibu tunggal merasakan lebih banyak stres pada anak
di usia prasekolah dibandingkan dengan mereka yang berada dalam keluarga
dengan dua orangtua. Ibu tunggal harus bekerja lebih lama dan lebih cemas
mengenai keuangan daripada pasangan yang menikah. Namun, perbedaan besar
antara dua kelompok ini adalah bahwa seorang ibu tunggal memiliki dukungan
sosial dan emosional yang lebih sedikit ketika anak mereka berusia muda. Hal ini
akan berbeda kondisinya jika ibu tunggal memiliki dukungan sosioemosional
yang cukup dari teman maupun keluarganya

ORANGTUA YANG BERCERAI

Menurut Mavis Hetherington dalam penelitiannya mengenai keluarga


yang utuh, bercerai, dan menikah kembali, disebutkan pertimbangan-
pertimbangan yang melatarbelakangi penelitiannya itu, yaitu (1) perceraian
bukanlah kejadian tunggal, tetapi kejadian yang dapat memicu banyak perubahan
pada anak dan orangtua seiring waktu; (2) perubahan terkait transisi pernikahan
harus dilihat sebagai perubahan dalam keseluruhan sistem keluarga; (3) seluruh
lingkungan pergaulan sosial (kelompok teman, tetangga, sekolah, dan jaringan
persahabatan yang mempengaruhi respon seseorang terhadap transisi); dan (4) ada
keragaman yang besar terkait cara anak dan orangtua merespon transisi dalam
pernikahan.

Setidaknya terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana anak


dan orangtua mereka berkembang: (1) menjaga perilaku pengasuhan positif yang
berwenang; dan (2) bekerja sama, mengesampingkan kemarahan yang dirasakan
banyak orangtua terhadap pasangnnya dan perceraian. Kemarahan ini menjadi
penanda utama masalah suasana hati dan masalah perilaku anak. Seperti halnya
dalam keluarga dengan dua orangtua, kemampuan orangtua untuk mendukung
pengasuhan satu sama lain mampu membuat mereka mengesampingkan masalah
dan fokus pada kebutuhan anak. Dan terkadang krisis yang terjadi apada anak
seperti anak yang sakit atau kecelakaan dapat memunculkan kerja sama ini.

Reaksi Awal Anak terhadap Perceraian

Reaki awal anak terhadap perceraian dalam hal emosional seperti merasa
depresi, takut, sedih, bingung, marah, dan kadang juga merasa lega. Hal yang
dapat dilakukan orangtua untuk memberikan dukungan secara emosional yaitu:
(1) berkomunikasi dengan anak mengenai perceraian (jelaskan dengan bahasa yng
sederhana terkait alasan akan perubahan yang terjadi); dan (2) mengurangi
penderitaan anak dengan memastikan kebutuhan anak terpenuhi.

Sedangkan untuk reaksi perilaku anak terhadap perceraian sangat


bervariasi tergantung kondisi keluarga dan karakteristik anak. Contohnya seperti
bagaimana kebiasaan anak tersebut, usia dan gender anak, seberapa besar tingkat
konflik yang terjadi, serta jumlah waktu bersama masing-masing orangtua. Anak
laki-laki berusia muda yang peka terhadap gangguan akan sering merasa cemas
dan bersikap marah, serta melakukan hal yang mengesalkan bagi orang lain.
Sedangkan untuk anak perempuan berusia muda yang memiliki hubungan baik
dengan ibu, mereka akan lebih patuh sebab anak perempuan sering lebih
memahami ibunya sehingga mereka dapat menjadi lebih dekat.
Reaksi Orangtua terhadap Perceraian

Seletah melalui perceraian, biasanya ibu akan mencoba membangun


rumah tangga mandiri dengan uang sedikit dan sering kali merasakan stres karena
proses hukum. Tekanan dalam keluarga akan meningkat, dan ibu akan lebih
banyak melakukan pekerjaan dan perawatan harian. Selanjutnya, ketika keuangan
ibu telah aman, anak akan menunjukkan lebih sedikit masalah dibandingkan
dengan ketika ibu yang mengalami kesulitan akan keuangan. Dalam menghadapi
stresnya, ibu akan mengubah strtegi pengasuhan anak dan menjadi lebih permisif
atau kasar atau cuek, dan anak akan lebih sering menolak permintaan ibu.

Namun, ketika sang ayah yang mendapatkan hak asuh, mereka akan
merasa kewalahan atas tanggung jawabnya terhadap anak. Selain itu, mereka yang
biasanya memiliki pekerjaan tetap akan merasa bingung dalam membagi waktu
untuk dihabiskan bersama anaknya. Dalam hal emosional, ayah tidak terbiasa
untuk memahami anak, khususnya ketika anak masih kecil dan belum bisa
berpikir selogis yang dipikirkan ayah. Sedangkan bagi mereka yang memiliki
anak remaja, seorang ayah mungkin akan mengalami masalah sama seperti ibu
yaitu dengan memberikan terlalu banyak kebebasan dan tidak melakukan
pembatasan.

Faktor Pelindung bagi Anak

Kualitas yang dimiliki anak, aspek yang mendukung dalam keluarga, dan
dukungan sosial eksternal merupakan faktor pelindung bagi anak ketika mereka
menyesuaikan diri dalam situasi perceraian. Usia dan jenis kelamin anak serta
kecerdasannya jug berperan sebagai pelindung. Anak yang berusia lebih muda
terlihat kurang terpengaruh dibandingkan mereka yang berusia sekolah atau
remaja usia awal saat terjadi perceraian atau pernikahan kembali. Karena menjadi
semakin mandiri di dalam keluarga, remaja usia akhir terlihat kurang terpengaruh
dibandingkan anak yang berusia lebih muda. Anak laki-laki terlihat lebih
menderita saat terjadinya perceraian, dan anak perempuan terlihat lebih banyak
menimbulkan masalah saat ibunya memilih untuk menikah kembali.

Selain faktor di atas, saudara dan kakek nenek mampu menjadi pendukung
yang potensial. Mereka dapat memberikan dukungan secara langsung dengan
memberikan waktu, perhatian, dan liburan khusus atau memberikan hak istimewa
untuk meredakan luka karena perceraian. Disamping itu, lingkungan juga dapat
menjadi sumber pendukung anak. Di sekolah contohnya. Ada guru yang
berwenang dan baik hati serta teman yang memberikan dukungan dan rasa
percaya pada anak tersebut. Prestasi dalam pendidikan dan olahraga berkontribusi
dalam rasa kompetisi yang dapat merangsang keuletan, dan banyak anak yang
menemukan mentor yang tepat melalui kegiatan ini.

Konsekuensi Jangka Panjang bagi Anak yang Orangtuanya Bercerai

Dalam penelitian yang dilakukan Paul Amato pada orang dewasa yang
orangtuanya bercerai, ditemukan fakta bahwa orang dewasa tersebut memiliki
tingkat kesejahteraan yang tinggi, memiliki tingkat perselisihan yang kecil dalam
pernikahannya, dan memiliki hubungan yang erat dengan ayah di banyak
keluarga. Sebaliknya, orang dewasa dari orangtua yang tidak bercerai memiliki
kesejahteraan yang rendah, ada perselisihan dalam pernikahan dan memiliki
hubungan yang berjarak dengan ayah. Sehingga Amato menyimpulkan bahwa
meski perceraian berdampak negatif pada beberapa anak dan merupakan faktor
resiko untuk fungsi sosioemosional selanjutnya, namun mayoritas anak dapat
menunjukkan hal baik pada masa dewasanya.

Sumber Daya dari Masyarakat

Sumber daya dari masyarakat dapat ditemukan pada layanan pengadilan


yang kini banyak dilakukan negara bagian melalui program psikopendidikan
untuk keluarga yang bercerai. Anak akan menghadiri kelompok dengan usia yang
sama dan orangtua akan menghadiri kelompok orangtua yang berbeda. Kelompok
ini dapat berlangsung dalam 6-10 minggu dan membagi pengalaman yang
dipunyai ornangtua dan anak tersebut dalam proses perceraian. Selain
memberikan informasi terkait pengalaman psikologis, kelompok ini juga
memberikan kesempatan pada anggota keluarga untuk berbicara tanpa hadirnya
anggota keluarga lainnnya. Kelompok ini juga akan memberikan strategi untuk
mengatasi masalah yang bisa digunakan oleh orangtua dan cara bagi anak untuk
mendapatkan topik yang peka bagi orangtua. Orangtua dan anak menyatakan
bahwa mereka menyukai program ini dan mendapatkan manfaat.

Proses Perceraian Kolaboratif

Untuk membantu pasangan mencapai kesepakatan yang mencerminkan


tujuan jangka pendek dan panjangnya, orangtua membutuhkan beberapa
profesional yang akan bekerja sebagai tim. Pasangan yang menghendaki adanya
perceraian kolaboratif ini harus sepakat untuk merahasiakan apa yang
didiskusikan dan segala informasi yang terkumpul. Jika ada salah satu orangtua
mengadakan tuntutan di pengadilan, tim tidak akan ikut serta dan semua informasi
yang terkumpul tetaplah menjadi hal rahasia.

PERAN AYAH DALAM KEHIDUPAN ANAK

Peningkatan peran ayah dalam keluarga dengan dua penghasilan telah kita
pelajari pada bab sebelumnya dimana hal ini mampu memberikan manfaat bagi
anak dan ibu yang juga bekerja dan membesarkan anak. Lalu apakah hilang atau
berkurangnya peran ayah akan berdampak pada kehidupan anak?

Kehadiran atau Ketiadaan Ayah


Menurut Sara McLanahan dan Julien Teitler, terdapat konsekuensi atas
kehadiran atau ketiadaan ayah bagi perkembangan anak. Mereka menyampaikan
bahwa dibandingkan dengan anak yang tumbuh dalam keluarga dengan dua
orangtua yang ayahnya hadir, anak yang tumbuh tepisah dengan ayahnya
memiliki nilai yang lebih rendah, pendidikan yang kurang atau dikeluarkan dari
sekolah, dan sulit mendapat atau mempertahankan pekerjaan. Ketiadaan ayah
memiliki pengaruh lebih besar pada resiko melahirkan di usia remaja bagi remaja
Eropa Amerika dan Latin daripada remaja Afrika Amerika. Secara umum,
ketiadaan ayah lebih penting daripada situasi yang menyebabkannya, kecuali
dalam kasus janda.

Peran Ayah dalam Kehidupan Anak

Peran ayah dalam kehidupan anak dijelaskan oleh McLanahan dan Teitler
dalam tiga aspek, yaitu keuangan, sosial, dan masyarakat. Kontribusi ayah dalam
keuangan meningkatkan sumber yang tersedia untuk membesarkan anak. Tanpa
adanya sumber tambahan, keluarga mungkin tidak memiliki layanan seperti
jaminan kesehatan dan akan hidup di lingkungan yang miskin dengan sekolah
yang buruk dan layanan yang buruk serta mendapatkan layanan masyrakat yang
lebih sedikit. Mereka memperkirakan bahwa pengurangan pendapatan
menjelaskan sekitar 50% dampak dari ketiadaan ayah.

Melalui sebuah penelitian, Amato menunjukkan bahwa kesejahteraan anak


dapat terkait positif dengan: (1) pendidikan ayah; (2) pendapatan ayah; (3)
kualitas hubungan pengasuhan bersama; dan (4) kualitas hubungan orangtua-anak.
Hubungan ini berlangsung pada keluarga dengan dua orangtua dan satu orangtua,
bahkan dalam penelitian dimana konstribusi ibu dikendalikan. Dari penelitian
longitudinalnya tersebut, Amato membuat kesimpulan sebagai berikut:

“Penelitian terbaru menyarankan agar ayah terus menjadi sosok yang


penting karena kontribusi mereka pada modal perseorangan dan keuangan.
Selain itu, anak akan mendapatkan manfaat ketika ayah terlibat dalam
aspek sosioemosional dalam kehidupan keluarga… tren terbaru bagi ayah
yang kurang terlibat dalam kehidupan ayah menunjukkan penurunan
dalam tingkat sumber daya yang tersedia bagi anak.”

Ayah yang Tidak Menikah

Untuk dapat memberikan dampak positif pada anak, ayah tidak harus
menikah dan tinggal bersama anak. Dalam hal ini ayah juga tidak harus menjadi
ayah kandung dari anak. Sosok ayah yang dimaksud disebut sebagai ayah sosial,
yaitu laki-laki yang tinggal bersama ibu anak dan mampu memberikan dampak
positif pada kehidupan anak ketika mereka terlibat secara aktif bersama anak.
Tingginya tingkat keterlibatan bersama anak memprediksi perilaku agresif yang
lebih rendah dan kesehatan yang lebih baik dalam diri anak terlepas apakah
ayahnya merupakan ayah kandung atau ayah sosial. Ayah sosial tidak
menghilangkan hubungan positif yang dimiliki anak dengan ayah kandungnya
yang tidak tinggal serumah dengannya. Disini mereka terlihat saling melengkapi.

Mendorong Partisipasi Ayah

Manfaat peningkatan keterlibatan ayah bagi anak terlepas apakah ayah


kandung atau tidak dijelaskan oleh James Levine yang diidentifikasikan dalam
tiga pelajaran, yaitu (1) pengakuan bahwa ayah ingin terlibat dan bisa menjadi
orangtua yang efektif dengan persiapan dan bantuan.; (2) ayah tunggal
membutuhkan jaringan dukungan yang dapat membimbing perilaku mereka; dan
(3) wanita memainkan peran kunci untuk mendukung pria sebagai seorang ayah.

KEMATIAN DALAM KELUARGA

Ketika kehilangan sosok orangtua, anak akan merasa bahwa “Dunia tak
lagi menjadi tempat senyaman sebelumnya”. Mereka kehilangan tempat
bergantung yang mereka gunakan untuk mendapatkan keamanan dalam hidup.
Setidaknya ada empat fase dalam proses kedukaan menurut John Bowlby: (1)
sebuah periode kekakuan yang berlangsung berjam-jam atau berminggu-minggu
dimana seseorang harus menerima fakta kematian, tetapi belum mampu
meredakan emosi karena lukanya sangat besar; (2) periode memprotes dan
merindukan dimana seseorang menolak untuk menerima fakta kematian dan
mencari-cari orangtua; (3) periode kesedihan dan putus asa dimana kenyataan
kematian telah diterima secara emosional dan hidup tanpa orang tersebut terlihat
tak tertahankan; dan (4) periode pemgaturan hidup kembali untuk meneruskan
hidup tanpa orang tersebut.

Kebutuhan Khusus Anak

Pemahaman anak mengenai kematian akan meningkat seiring berjalannya


perkembangan anak dan temperamennya. Di Dougy Center for Grieving Children,
konselor memiliki empat prinsip pengarahan:

 Duka merupakan hal alami dan respon wajar atas kehilangan.


 Tiap individu memiliki kemampuan dalam diri untuk menyembuhkan
dirinya.
 Durasi dan intensitas duka berbeda-beda tiap individu.
 Kepedulian dan penerimaan akan membantu orang yang sedang mengatasi
duka.

Berbicara pada Anak. Anak-anak perlu diberikan informasi yang tepat melalui
kata-kata yang mudah mereka pahami. Terlepas dari pemahaman awal mereka,
saat mereka bertambah usia dan pemikiran mereka lebih matang, mereka akan
memiliki pertanyaan baru dan reaksi baru yang ingin mereka bahas. Jadi,
memberikan penejelasan awal mengenai kematian merupakan awal pembicaraan
yang akan berkembang di tahun-tahun berikutnya.
Cara Anak Bereaksi Berbeda dengan Orang Dewasa. Berikut daftar cara
dimana kedukaan anak berbeda dari orang dewasa yang dibuat oelh Dougy
Center:

1. Anak lebih bersifat fisik dalam menunjukkan kedukaannya;


2. Anak tidak terlalu verbal, dan kadang orangtua mereka mengira mereka
tidak sedang berduka karena mereka tidak membicarakan hal ini;
3. Anak menunjukkan kemarahan mereka secara lebih langsung dan mungin
bersikap lebih rewel atau bertengkar atau pun dengan menunjukkan
kematian pada semua orang dan kehidupan secara umum;
4. Anak mungkin lebih menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan perasaan
orangtua daripada yang disadari orangtua; dan
5. Anak butuh waktu untuk istirahat dari kedukaan. Orangtua mungkin sulit
memahami bahwa mereka bisa menenggelamkan diri dalam kegiatan dari
kedutaan.

Membantu Anak yang Berduka. Untuk menciptakan iklim emosional yang


dapat mendukung yang membuat anak merasa aman, Joan Huff kemudian
menyemangati.

 Terkait dengan usia, berikan informasi yang akurat dan detail


mengenai kemampuan dan jawablah semua pertanyaan.
 Yakinkan anak bahwa orangtua yang masih ada akan terus merawat
dan mengasuh mereka, meski proses kedukaan berlangsung dalam
waktu lama.
 Jagalah anak Anda bersama Anda, dan sertakan mereka dalam
kegiatan keluarga dan keagamaan.
 Bicarakan dengan anak tentang apa yang mereka ingin lakukan dengan
peninggalan orangtua. Orangtua membuat keputusan akhir, tetapi
mendapatkan masukan dari anak.
 Tunjukkan kedukaan Anda di depan anak Anda sehingga mereka juga
mendapat izin untuk berduka.
 Buatlah ritual peringatan sehingga semoa anggota dekat disertakan dan
memiliki peran.

Kebutuhan Khusus Orangtua

Selain bertanggung jawab dalam menjaga anggota keluarga lainnnya,


orangtua juga membutuhkan dukungan dan penjagaan yang mampu membantu
mereka untuk mengatasi kesulitan hidup. Hidup dalam lingkungan yang aman
secara emosional bersama orang-orang yang menghargai adalah salah satu cara
mereka untuk dapat melalui proses kedukaan. Strategi lain yang dapat membantu
yaitu:

 Berbicara dengan orang lain, kadang dengan sekelompok orang yang


mengalami kehilangan yang sama.
 Menyadari bahwa hidup tidak selamanya menyakitkan seperti ini dan
Anda pasti bisa melaluinya.
 Memperjuangkan keseimbangan dalam hidup dengan olahraga, makanan
serta, dan sedikit kesenangan untuk meredakan luka yang dirasakan.
 Mencari kegiatan spiritual atau hubungan yang lebih luas untuk
memberikan tentang makna hidup.
 Menghargai apa yang mereka miliki, bukan berfokus pada apa ynang
hilang.

POIN UTAMA

1. Struktur keluarga telah berubah dalam 40 tahun terakhir dimana:


 Orangtua menikah di kemudian hari;
 Peningkatan pasangan yang tidak menikah yang hidup bersama;
 Peningkatan jumlah bayi yang dilahirkan oleh orangtua yang tidak
menikah;
 Peningkatan wanita yang memiliki anak sendirian karena pilihan;
 Orangtua berusia remaja.
2. Ketika dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam keluarga dengan dua
orangtua, anak yang memiliki orangtua tunggal dan keluarga yang tidak
menikah memiliki resiko yang lebih besar dalam hal:
 Perilaku agresif dan tidak patuh di usia 3 tahun;
 Maalah di sekolah, masalah dengan teman, dan kecemasan ketika
berada di sekolah dasar;
 Masalah sekolah dan suasana hati begitu pula perilaku agresif dan
tidak patuh di sekolah menengah.
3. Orangtua berusia remaja:
 Melakukan pengasuhan dengan banyak kesulitan dan kekurangan
dukungan;
 Sering memiliki harapan tidak realistis dan lebih mengarahkan
serta kasar dalam menerapkan disiplin;
 Menjadi orangtua yang lebih efektif ketika pemahaman pada
perkembangan dan kebutuhan anak mampu merespon anak dengan
peka;
 Dibantu oleh program yang mendukung pengasuhan orangtua dan
transisi mereka menuju kedewasaan.
4. Anak dari orangtua berusia remaja:
 Mendapatkan resiko ketiadaan ikatan emosional yang lebih besar
dengan ibu;
 Beresiko lebih besar mengalami keterlambatan kemampuan
kognitif, bahasa, dan sosioemosional;
 Cenderung memperlihatkan perilaku yang efektif ketika ibu
menjadi orangtua yang stabil dan peka, ayah yang bersikap positif
dan terlibat, keluarga menerima dukungan dari keterlibatan dalam
keagamaan dan anak terlibat dalam olahraga dan kegiatan di
masyarakat.
5. Proses perceraian
 Sering didahului oleh konflik pernikahan, yang membuat anak
kesal dan memunculkan rasa menyalahkan diri sendiri;
 Merupakan gangguan utama bagi semua anggota keluarga;
 Melibatkan banyak perubahan pada anak yang juga bisa mencakup
sumber keuangan yang lebih sedikit begitu pula lingkungan,
sekolah, dan teman baru;
 Menimbulkan stres pada anak dan orangtua.
6. Faktor pelindung bagi anak di saat perceraian ialah:
 Usia, jenis kelamin, kecerdasan, dam temperamen anak;
 Pengelolaan stres dan dukungan yang cukup dari kakek nenek dan
kerabat lain;
 Pretasi pendidikan dan olahraga yang berkontribusi pada perasaan
kompetensi anak dan merangsang keuletan.
7. Perilaku anak:
 Menjadi lebih bermasalah saat perceraian tetapi akan membaik
seiring waktu;
 Jarang diawasi oleh orangtua tunggal dibandingkan keluarga
dengan dua orangtua ketika anak berusia remaja;
 Membaik ketika orangtua mengatasi kemarahan dan menggunakan
pengasuhan berwenang.
8. Pria membuat kontribusi positif pada perkembangan anak ketika itu:
 Mereka memberikan modal perseorangna, keuangan, dan sosial
bagi keluarga;
 Konteks sosial mendorong keterlibatan mereka.
9. Ketika orangtua meninggal:
 Anak merasakan berbagai emosi, yang cenderung mereka
tunjukkan dalam kegiatan fisik dan motoric ketika mereka masih
kecil;
 Anak membutuhkan bantuan orangtua dan dorongan untuk
membicarakan perasaan mereka;
 Anak mencemaskan orangtua mereka yang masih hidup;
 Orangtua yang masih hidup membutuhkan dukungan dan
kehadiran orang-orang untuk diajak bicara;
 Membutuhkan sejumlah waktu untuk mengatur (…)

Anda mungkin juga menyukai