Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI MANGROVE

Oleh :
Cikha Farahdiba Iman B1J011157
Atika Suryaningsih B1J012022
Budi Utami B1J012096
Firda Isdianto B1J012201
Hasan B1J012204

Kelompok 20
Rombongan II
Asisten : Jovina Febe

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

2014
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI MANGROVE

Oleh:
Kelompok 20
Rombongan II

Cikha Farahdiba Iman B1J011157


Atika Suryaningsih B1J012022
Budi Utami B1J012096
Firda Isdianto B1J012201
Hasan B1J012204

Laporan ini Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Ujian Akhir


Praktikum Mata Kuliah Ekologi Mangrove di Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Diterima dan Disetujui


Purwokerto, November 2014
Asisten

Jovina Febe
BIJ011122

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................. v
I. Pendahuluan
A. Deskripsi Lokasi...................................................................................... 1
B. Maksud dan Tujuan Praktikum............................................................... 3
II. Metode Praktikum.......................................................................................... 5
III. Hasil dan Pembahasan.................................................................................... 7
DAFTAR REFERENSI.........................................................................................31

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Pancang pada Stasiun 1
Di Segara Anakan Cilacap......................................................................25

Tabel 2. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Semak pada Stasiun 1


Di Segara Anakan Cilacap......................................................................25

Tabel 3. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Pancang pada Stasiun 2


Di Segara Anakan Cilacap......................................................................26

Tabel 4. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Semak pada Stasiun 2


Di Segara Anakan Cilacap......................................................................26

iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Lokasi stasiun-stasiun di Segara Anakan, Cilacap..............................9


Gambar 2. Morfologi Avicennia alba....................................................................11

Gambar 3. Morfologi Aegiceras corniculatum.....................................................12


Gambar 4. Morfologi Rhizophora apiculata.........................................................13
Gambar 5. Morfologi Camptostemon philippinense.............................................14
Gambar 6. Morfologi Nypa fruticans....................................................................15
Gambar 7. Morfologi Finlaysonia maritima.........................................................15
Gambar 8. Morfologi Bruguiera gymnorrhiza......................................................16
Gambar 9. Morfologi Ceriops tagal......................................................................17
Gambar 10. Morfologi Ceriops decandra.............................................................18
Gambar 11. Nerita lineata.....................................................................................19
Gambar 12. Chicoreus capicinus..........................................................................20
Gambar 13. Nerita planospira...............................................................................20
Gambar 14. Telescopium telescopium...................................................................21
Gambar 15 Certithidea alata.................................................................................21
Gambar 16 Nassarius oliveus................................................................................22
Gambar 17 Grafik dendogram plot 5 m x 5 m......................................................28
Gambar 18 Grafik dendogram plot 1 m x 1 m......................................................29

v
I. PENDAHULUAN

A. Deskripsi Lokasi
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan
mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem
yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sisi ekologis maupun aspek
sosial ekonomi. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang ditumbuhi dengan
pohon bakau (mangrove) yang khas terdapat di sepanjang pantai atau
muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove
mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting
dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Patang,
2012) Mangrove melakukan beberapa fungsi seperti kontrol genangan,
perlindungan dari erosi, badai, banjir, dan kerusakan gelombang, rekreasi
dan pariwisata, dan menghasilkan bahan berwujud seperti ikan dan kerang
dan hasil hutan (Lignon et al., 2011).
Tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut beraneka macam, mulai dari
tumbuhan tingkat rendah, yaitu jenis flora yang belum dapat dibedakan
struktur akar, batang dan daunnya atau sering disebut dengan alga, hingga
tumbuhan tingkat tinggi, seperti lamun dan mangrove. Salah satu
tumbuhan tingkat tinggi yang mampu beradaptasi dengan lingkungan laut
adalah Mangrove, dengan berbagai kelebihannya sehingga tumbuhan ini
berfungsi sangat penting bagi ekosistem laut dan ekosistem daratan. Akar
mangrove yang ikut dapat menahan arus sehingga dapat mencegah erosi
sedimen laut atau disebut juga “banteng” laut. Kumpulan mangrove bisa
menjadi habitat beberapa jenis makhluk air dan bisa juga menjadi
makanan bagi para ikan, serta masih banyak kegunaan mangrove
(Tomlinson, 1986).
Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai ekosistem dari pantai
berlumpur dan teluk, goba, dan estuari yang didominasi oleh halophyta,
yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, beradaptasi tinggi, yang
berkaitan dengan anak sungai, rawa, dan banjiran, besama-sama dengan
populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Hutan mangrove atau mangal
adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang

1
didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon dan semak yang
dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut (Kitamura et
al.,1997). Hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, hutan payau,
rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah
hutan mangrove atau hutan bakau (White et al., 1989).
Kawasan hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai
Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang
mempunyai hubungan pengaruh pasang surut yang menggenangi pada
aliran sungai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai. Sebagai sebuah
hutan, hutan mangrove terdiri dari beragam organisme yang juga saling
berinteraksi satu sama lainnya. Fungsi fisik dari hutan mangrove
diantaranya sebagai pengendali naiknya batas antara permukaan air tanah
dengan permukaan air laut ke arah daratan (intrusi), sebagai kawasan
penyangga, memacu perluasan lahan dan melindungi garis pantai agar
terhindar dari erosi atau abrasi (Tarigan, 2008).
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif
dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan
bangunan, kayu bakar, arang, tanin, bahan pewarna, bahan makanan,
bahan obat, serta bahan baku industri, seperti pulp, rayon dan
lignoselulosa. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi
besar untuk menghasilkan produk berguna dimasa depan (bioprospeksi).
Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat
diteliti secara mendalam hingga diperoleh obat modern (Tarigan, 2008).
Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga
intrusi air laut, menahan limbah dari darat dan laut, tempat lahir dan
bersarangnya ikan, udang, kerang, burung, dan biota-biota lain, serta
berperan dalam ekoturisme dan pendidikan. Namun sejumlah besar area
hutan mangrove di dunia telah hilang karena pengambilan kayu, kegiatan
pertanian, perikanan, industri, perdagangan, perumahan dan gangguan
alam (Nybakken, 1992).
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Luas hutan
mangrove di Indonesia pada tahun 1982 sekitar 4.251.100 Ha sedangkan

2
pada tahun 1996 luasnya mengalami penurunan menjadi 3.533.600 Ha.
Salah satu kawasan hutan mangrove yang mengalami penurunan luasan
dengan cepat adalah di Segara Anakan yang termasuk hutan mangrove
yang paling luas di Pulau Jawa. Tahun 1930 luas kawasan hutan mangrove
Segara Anakan adalah 35.000 Ha dengan kondisi yang sangat baik, tetapi
saat ini tinggal 12.000 Ha dan sekitar 5.600 Ha dalam kondisi terganggu.
Salah satu kawasan hutan mangrove yang terdapat di Segara Anakan yang
kondisinya masih cukup baik hingga saat ini adalah yang terdapat di Desa
Ujung Alang seluas ± 3.428 Ha. Masa lalu luas hutan mangrove di Segara
Anakan mencapai 15,145 Ha atau bahkan 21.500 Ha. Pada masa kini
luasnya sulit diperdiksi akibat tingginya sedimentasi hingga terbentuk
dataran-dataran baru yang diinvasi mangrove, serta banyaknya perubahan
peruntukan area vegetasi mangrove lama (Kitamura et al., 1997).
Segara Anakan merupakan suatu ekosistem hutan mangrove yang
unik dan langka terletak diantara pantai selatan Jawa dan pulau
Nusakambangan. Segara Anakan menerima endapan yang sangat besar
yang dibawa bersama air sungai tersebut. Setiap tahun sekitar 3.000.000
m3 endapan dari sungai tersebut diendapkan di Segara Anakan. Akibat dari
pengendapan sungai, luas dari Segara Anakan terus berkurang. Ekosistem
perairan Segara Anakan yang terdiri dari perairan payau dan hutan
mangrove disertai endapan yang berasal dari sungai-sungai menjadikan
perairan ini kaya akan nutrien, sehingga Segara Anakan kaya akan
sumberdaya perikanan seperti ikan, udang, kepiting dan berbagai jenis
kerang. Nutrien dan larva dari berbagai jenis organisme air yang terdapat
di Segara Anakan merupakan mata rantai pangan (food chain) bagi
sumberdaya perikanan yang ada di Samudera Hindia (Ajithkumar et al.,
2008).
Segara Anakan yang berada di bagian belakang Pulau Nusa
Kambangan dan untuk mencapainya bisa menggunakan perahu nelayan
kecil atau compreng Perjalanan sekitar 3 jam dari hulu hingga ke hilir.
Hutan bakau mulai terlihat ketika memasuki sungai kecil. Saat ini Segara
Anakan dikelola ke dalam 11 zone peruntukan, antara lain : protection

3
zone, reserve, forest, development, agriculture, human settlement, aquatic,
ministry of justice (berhubungan dengan LP Nusa Kambangan), dan
marine zone. Mangrove banyak didefinisikan oleh beberapa ahli, namun
secara umum mangrove merupakan suatu komunitas yang berada di daerah
pasang surut, secara periodik (Giesen, 2006).

B. Maksud dan Tujuan Praktikum


Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan, maksud dan tujuan dari
praktikum kali ini adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi Vegetasi Mangrove (Sampel tumbuhan mangrove)
1. Mengidentifikasi beberapa spesies tumbuhan berbagai familia di
lingkungan mangrove Segara Anakan.
2. Mengetahui bagian-bagian morfologi khas tumbuhan mangrove dari
berbagai familia di lingkungan mangrove Segara Anakan.
b. Identifikasi Makrobenthos Ekosistem Mangrove (Sampel makrobentos
mangrove)
1. Mengetahui keanekaragaman spesies makrobenthos yang hidup di
ekosistem mangrove Segara Anakan
2. Mengetahui karakter morfologi makrobenthos sebagai dasar identifikasi.
c. Ekosistem – Analisis Vegetasi
Mengetahui struktur, komposisi, dan distribusi tumbuhan mangrove di
Segara Anakan, melalui densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks
diversitas dan indeks similaritas.
d. Ekosistem – Analisis Cluster
Mengetahui keankaragaman tumbuhan mangrove pada masing-masing
plot dengan menggunakan software Primer-E.
e. Pembuatan Herbarium Kering

4
Mengetahui cara membuat spesimen vegetasi mangrove dari lokasi
praktikum.

II. METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan


 Identifikasi Vegetasi Mangrove
Alat dan bahan yang digunakan adalah herbarium kering berbagai macam
tumbuhan mangrove, buku gambar, penggaris, kamera, dan alat tulis.
 Identifikasi Gastropoda Ekosistem Mangrove
Alat dan bahan yang digunakan adalah awetan berbagai spesies gastropoda
ekosistem mangrove, buku gambar, penggaris, kamera, dan alat tulis.
 Ekosistem
Analisis Vegetasi
Alat dan bahan yang digunakan adalah toples plastik, plastik besar, meteran
baju, tali rafia untuk plot 10 m x 10 m, 5 m x 5 m dan 1 m x 1 m, alat tulis,
kertas kalkir, papan untuk menulis, alkohol 40%, buku identifikasi mangrove
dan kamera.
Analisis Cluster
Alat dan bahan yang digunakan software Ms. Excel, software PRIMER dan
buku identifikasi gastropoda.
 Pembuatan Herbarium Kering
Alat dan bahan yang digunakan yaitu karton atau duplek, kertas koran, sasak
dari bambu atau tripleks, sampel tanaman (Bruguiera gymnorhiza dan
Sciphyphora hydrophyllacea), dan alat tulis.

5
B. Metode
 Identifikasi Vegetasi Mangrove
Spesimen kering tumbuhan mangrove diamati dan dicatat sifat-sifat
morfologinya, didokumentasi, serta digambar.
 Identifikasi Gastropoda Ekosistem Mangrove
Spesimen kering gastropoda mangrove diamati dan dicatat sifat-sifat
morfologinya, didokumentasi, serta digambar.
 Ekosistem
Analisis Vegetasi
Sampling vegetasi dilakukan dengan metode plot kuadrat, dimana setiap
stasiun dibuat tiga ulangan pada lokasi yang paling tinggi tingkat
keanekaragaman spesiesnya (acak). Ukuran plot kuadrat adalah 10X10 m 2
untuk pohon, 5X5 m2 untuk semak dan 1X1 m2 untuk seedling (< 50 cm) dan
herba. Diamati tumbuhan magrove serta gastropod yang ada. Untuk gastropod
diambil 1 jenis dari spesies dan disimpan dalam toples yang berisi alkohol
kemudian diidentifikasi di laboratorium. Sedangkan untuk tumbuhan, tiap plot
pada semua ulangan dicatat spesiesnya, diukur keliling batangnya dan jumlah
dari masing-masing spesies. Dihitung individu setiap spesies pada setiap plot
kuadrat dihitung untuk menentukan densitas, frekuensi, distribusi, nilai
penting, indeks diversitas dan indeks similaritas.
jumlah individu suatu spesies
=
1. Kerapatan luas seluruh plot
ke  rapat  an suatu spesies
= x100%
2. Kerapatan Relatif (KR) ke  rapat  an seluruh spesies
jumlah plot yang ditempati suatu spesies
=
3. Frekuensi jumlah plot seluruh pengamat  an
frekuensi suatu spesies
= x 100 %
4. Frekuensi Relatif frekuensi seluruh spesies
jumlah basal area suatu spesies
=
5. Dominansi luas seluruh plot

6
dom  inansi suatu spesies
= x100 %
6. Dominansi Relatif dom  inansi seluruh spesies
7. Nilai Penting (pohon dan pancang) =KR + FR+ DR

8. Nilai Penting (semai dan semak,herba) =KR + FR

Analisis Cluster

1. Data disiapkan dalam bentuk excel 97-2003 log book.

2. Buka software Primer-E, cari file dengan cara mengubah type file menjadi

“All file” dan pilih data yang sudah disimpan dnegan bentuk excel.xlx.

3. Kemudian pada jendela yang muncul pilih sheetnya (letak data pada sheet

yang akan digunakan) dan pada pilihan type data pilih “sample data”.

Kemudian centang semua kolom, pilih “sample as column” dan pilih “zero”.

Tekan ok.

4. Setelah muncul data, pilih analysis→free treatment→transfer of all→divers

(untuk mengetahui keragaman tiap stasiun).

5. Setelah muncul data lagi, pilih analysis→resemblace→sample→bray curetis

dan ok.

6. Untuk memunculkan dendogram pilih analysis→cluster→ok.


 Pembuatan Herbarium Kering

1. Kumpulkan bagian tumbuhan secara lengkap, yaitu akar, batang, daun dan
bunga dari tumbuhan mangrove yang telah ditentukan. Tumbuhan yang
berukuran kecil dapat diambil seluruhnya secara lengkap. Tumbuhan
berukuran besar cukup diambil sebagian saja, terutama ranting, daun, dan
jika ada buah dan bunganya.
2. Semprotlah seluruh bagian tumbuhan tersebut dengan alkohol 70% untuk
mencegah pembusukan oleh bakteri dan jamur.
3. Atur dan letakkan bagian tumbuhan di atas koran. Daun hendaknya
menghadap ke atas dan sebagian menghadap ke bawah. Agar posisinya
baik, dapat dibantu dengan mengikat tangkai atau ranting dengan benang.
4. Tutup lagi dengan koran dan dapat dibuat beberapa lapisan.

7
5. Terakhir tutup lagi dengan koran, lalu jepit kuat-kuat dengan kayu atau
bamboo, ikat dengan tali. Hasil ini disebut spesimen.
6. Simpan spesimen di tempat kering dan tidak lembab.
Catatan :
 Di udara lembab, spesimen dijemur di bawah terik matahari atau dioven.
 Secara periodik gantilah kertas koran yang lembab atau basah dengan
yang kering beberapa kali. Kertas yang lembab dapat dijemur untuk
digunakan beberapa kali.
 Jangan menjemur dengan membuka kertas koran yang menutupinya.
Menjemur spesimen tidak boleh terlalu lama sebab proses pengeringan
yang terlalu cepat hasilnya kurang baik.
7. Jika telah kering, ambil spesimen tumbuhan dan tempelkan di atas kertas
karton ukuran 32 × 48 cm. Caranya harus pelan-pelan dan hati-hati.
Bagian-bagian tertentu dapat diisolasi agar dapat melekat pada kertas
herbarium.
8. Buatlah tabel yang memuat : nama kolektor, nomor koleksi (jika banyak),
tanggal, nama spesimen (ilmiah, daerah), nama suku atau familia dan
catatan khusus tentang bunga, buah atau ciri lainnya.
9. Tutup herbarium dengan plastik.

8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Ardli (2013) luas mangrove di Segara Anakan pada tahun


2012 sebesar 8.000 Ha. Hal itu sebagai salah satu indikasi telah terjadi
penurunan luas mangrove sebesar 1.284 Ha dibandingkan tahun
sebelumnya. Penurunan luas mangrove disebabkan oleh faktor alam dan
aktivitas manusia. Kondisi di lapangan menunjukkan banyaknya aktivitas
manusia yang sangat membahayakan keberadaan dari hutan mangrove,
diantaranya illegal logging, perubahan tata guna lahan, polusi dan
tingginya sedimentasi hingga terbentuk daratan-daratan baru. Oleh karena
itu pihak terkait diharapkan semakin meningkatkan pengawasan dan
sosialisasi terkait pentingnya menjaga kelestarian hutan mangrove.
Hutan mangrove di Segara Anakan dapat tumbuh subur dikarenakan
pada wilayah tersebut merupakan muara dari sungai-sungai yang cukup
besar, diantaranya Sungai Citanduy, Sungai Cimeneng, Sungai
Cibeureum, Sungai Sapu Regel, Sungai Donan dan sebagainya. Oleh
karena itu, pertemuan air tawar yang berasal dari sungai - sungai tersebut
dan air asin yang berasal dari samudera Hindia menyebabkan kawasan

9
tersebut sebagai suatu kawasan air payau. Dengan keadaan yang seperti di
atas memungkinkan vegetasi mangrove tumbuh dengan subur yang
menyebabkan terbentuknya hutan mangrove (Ardli et al., 2008)

Gambar 1. Lokasi stasiun-stasiun di Segara Anakan, Cilacap


Keberadaan mangrove di Segara Anakan yang beraneka ragam
membentuk suatu komunitas mangrove tentunya tidak terlepas dari
beragamnya kondisi lingkungan yang mempengaruhi daerah tersebut
sehingga hanya mangrove jenis-jenis tertentu yang dapat bertahan dan
membentuk suatu koloni. Hal tersebut telah diungkapkan oleh Kennish
(1990) bahwa suhu, salinitas, pasang surut dan jenis substrat
mempengaruhi jenis mangrove yang ada. Kitamura et al., (1997)
menjelaskan bahwa A. marina tumbuh subur di daerah yang berlumpur
dan sangat toleran terhadap salinitas yang tinggi. Chapman (1976)
mengatakan bahwa Avecinnia spp. merupakan jenis pionir di bagian depan
yang menghadap ke laut dan dapat mentoleransi salinitas hingga 35 ppt,
hal tersebut juga nampak pada ke enam stasiun pengamatan yang ada di
lokasi penelitian yang menunjukan bahwa Avecinnia sangat mendominasi
pada daerah yang menghadap langsung kearah laut.
Setelah zonasi A. Marina selanjutnya terbentuk zonasi S.
caeseolaris. Hal ini diduga karena salinitas yang semakin kecil kearah

10
daratan serta adanya aliran sungai. Hal tersebut seperti yang dikatakan
oleh Chapman (1976) dan Kitamura et al., (1997) yang mengatakan bahwa
S. caeseolaris dapat tumbuh dengan baik di daerah yang bersalinitas
rendah dengan aliran air tawar. Bila zonasi di bagian depan yang
manghadap pantai tersusun atas Avicennia, Sonneratia maupun
Rhyzophora namun pada zona di bagian tengah disusun atas Aegiceras
corniculatum, R. apiculata, Avicennia dan Nypa fruticans.
Berdasarkan hasil praktikum kelompok 20 rombongan II
ditemukan enam jenis tumbuhan mangrove pada stasiun 1 dan 2 di Segara
Anakan, yaitu:
 Avicennia alba
Klasifikasi dari Avicennia alba menurut Noor (1999), adalah :
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua atau dikotil)
Ordo : Scrophulariales
Famili : Acanthaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia alba Blume

11
Gambar 2. Morfologi Avicennia alba
Avicennia alba memiliki nama lokal unimorf (Sarbei-Bintuni), api-api,
sia-sia. Avicennia alba berupa pohon dengan ketinggian mencapai 26 m,
memilki akar nafas yang ditutupi oleh lentisel berbentuk seperti pensil.
Diameter batang mencapai 40 cm. Kulit kayu luar berwarna keabu - abuan atau
gelap kecoklatan. Sedangkan kulit dalam berwarna krem. Umumnya ditemukan
di daerah berlumpur, tepi sungai, daerah kering. Avicennia alba memiliki
kisaran toleran terhadap salinitas yang sangat tinggi pada ketinggian 0 – 2 m
dpl (Noor et al., 2006).
Avicennia alba memiliki letak daun tunggal dan bersilang berbentuk
lanset sampai elips dengan ujung daun runcing. Panjang daun 6 - 12 cm, lebar
2,5 -5 cm. Pangkal daun berbentuk acute atau cuneate. Permukaan daun atas
berwarna hijau tua keputihan sedangkan bagian bawah berwarna abu-abu atau
keperakan. Panjang tangkai daun ± 1,2 cm (Noor et al., 2006). Avicennia alba
memiliki tipe bunga spike, opposite, kecil-kecil, ≥ 10 bunga dengan panjang ±
5 mm, lebar 2 - 3 mm. Panjang tangkai bunga 0.5 - 2 cm. Calyx berwarna hijau
dengan warna petal kuning kecoklatan. Benang sari Avicennia alba berwarna
kuning. Avicennia alba mempunyai buah berbentuk seperti cabe atau biji
jambu mete dengan warna kulit buah hijau kekuningan, permukaan buah
berbulu halus, dan berukuran 1,5 – 2,0 cm. Tipe atau bentuk buah capsular
(kotak). Kulit berwarna hijau kekuningan yang diselubungi oleh bulu halus
yang pendek (Kitamura et al., 1997).
 Aegiceras corniculatum
Semak atau pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus dengan
ketinggian pohon mencapai 6 m. Akar menjalar di permukaan tanah. Kulit
kayu bagian luar abu-abu hingga coklat kemerahan, bercelah, serta memiliki
sejumlah lentisel. Aegiceras corniculatum memiliki nama local yaitu teruntun,
gigi gajah, perepat tudung, perpat kecil, tudung laut, duduk agung, teruntung.
Klasifikasi dari spesies ini menurut Noor (1999), adalah :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta

12
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Primulales
Famili : Myrsinaceae
Gambar 3. Morfologi Aegiceras
Genus : Aegiceras corniculatum
Spesies : Aegiceras corniculatum
Daun berkulit, terang, berwarna hijau mengkilat pada bagian atas dan
hijau pucat di bagian bawah, seringkali bercampur warna agak kemerahan.
Kelenjar pembuangan garam terletak pada permukaan daun dan gagangnya.
Unit dan Letakmya sederhana & bersilangan. Bentuk daun bulat telur terbalik
hingga elips dengan ujung membundar. Ukurannya 11 x 7,5 cm. Dalam satu
tandan terdapat banyak bunga yang bergantungan seperti lampion, dengan
masing-masing tangkai atau gagang bunga panjangnya 8-12 mm terletak di
ujung tandan atau tangkai bunga dengan formasi payung. Daun Mahkota
sebanyak 5 berwarna putih, ditutupi rambut pendek halus dengan ukuran 5-6
mm. Buah berwarna hijau hingga merah jambon (jika sudah matang),
permukaan halus dan membengkok seperti sabit. Dalam buah terdapat satu biji
yang membesar dan cepat rontok dengan ukuran panjang 5-7,5 cm dan
diameter 0,7 cm. Penyebaran di berbagai belahan dunia yakni Sri Lanka,
Malaysia, seluruh Indonesia, Papua New Guinea, Cina selatan, Australia dan
Kepulauan Solomon (Noor et al., 2006).
 Rhizophora apiculata
Rhizophora apiculata memiliki nama lokal: parai (Sarbei, Bintuni),
kajang-kajang, tokei (Palopo), bakao (Makasar), bakau bini (Tarakan), bakau
(Riau), tongke kecil (Ambon), mangi-mangi (Sorong), bakau leutik, bakau
kacang, bakau putih, tanjang wedok, tokei, tongke busar, lalano, wako (Noor et
al., 2006). Klasifikasinya menurut Noor (1999), adalah :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta

13
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora Gambar 4. Morfologi
Spesies : Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata
Pohon dengan ketinggian mencapai 35 m dengan diameter batang
mencapai 55 cm. Kulit kayu berwarna abu – abu cabang. Sistem perakarannya
akar tunjang. Kulit bagian luar berwarna abu-abu tua, atau hitam, kasar,
sedangkan kulit dalam berserabut, berwarna merah (Noor et al., 2006).
Permukaan atas daun berwarna hijau sedangkan bagian bawah daun berwarna
hijau kekuningan, memiliki bintik hitam kecil yang menyebar di seluruh
permukaan bawah daun. Letak daun tunggal dan bersilangan berbentuk elips
menyempit, ujung daun tajam dengan panjang 11-17 cm, lebar 5 - 8 cm.
Panjang tangkai 1-3 cm. Bunga berwarna putih, kelopak berwarna kuning
kehijauan, di bagian luar hijau kemerahan. Calyx berwarna hijau, kuning
sampai kemerahan. Petal berwarna hijau kekuningan sampai putih. Buah
bersifat vivipari, berbentuk hipokotil. Hipokotil berbintil dengan panjang
mencapai 30 cm, diameter 1,5 - 2 cm. Warna kulit buah hijau hingga coklat.
Calyx tidak luruh (Kitamura et al., 1997). Umumnya di tanah berlempung,
daerah muaran sungai, dan berhumus dengan aerasi yang baik (Noor et al.,
2006).
 Camptostemon philippinense
klasifikasi spesies ini menurut Noor (1999) adalah :
Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Malvales
Family : Bombacaceae
Genus : Camptostemon
Spesies : Camptostemon Gambar 5. Morfologi
philippinense Camptostemon philippinense

14
Tumbuhan ini berkayu lunak, berupa semak atau pohon yang selalu
hijau, kadang-kadang memiliki ketinggian hingga 30 m. Kulit kayu berwarna
abu-abu dan memiliki celah/retakan longitudinal serta pangkal batang yang
bergalur. Akar tersebar di sepanjang permukaan tanah, dan memiliki akar nafas
yang menonjol. Permukaan daun bersisik, sederhana, bersilangan, bentuk
lanset-elips, dengan ujung membundar, pangkalnya sempit. Ukuran daunnya
sekitar 6-9 x 2-4 cm. Daun mahkota bunga berwarna putih, bersisik dan
ditutupi oleh rambut pendek terletak di ketiak daun dan batang. Pada bunga
terdapat 5 buah benang sari. Bentuk buah bundar berbentuk kapsul, bersisik,
dan memiliki daun kelopak bunga dan kelopak tambahan yang berurutan. Buah
terdiri dari 2 biji berbulu padat dengan panjang buah 1 cm, panjang biji 9 mm.
Menurut Tomlinson (1986), kulit kayu dari jenis ini bersisik dan tanpa celah
atau retakan.
 Nypa fruticans
Nypa fruticans memiliki nama setempat seperti nipah, tangkal daon,
buyuk, lipa. Pohon ini memiliki tinggi mencapai 4-9 m. Batang terdapat di
bawah tanah, kuat dan menggarpu. Daunnya seperti susunan daun kelapa.
Panjang tandan/gagang daun antara 4-9 m. Terdapat ± 100-120 pinak daun
pada setiap tandan daun. Daun berwarna hijau mengkilat di permukaan bagian
atas dan berserbuk di bagian bawah. Bentuk daun lanset tanpa duri. Ujung daun
meruncing. Ukuran daun 5-8 cm. Nypa fruticans tidak memilki akar udara.
Nypa fruticans tumbuh berdekatan, seringkali membentuk komunitas murni di
sepanjang tepi sungai. Tandan bunga biseksual, tumbuh dari dekat puncak
batang pada gagang sepanjang 1-2 m. Bunga betina membentuk kepala
melingkar berdiameter 25-30 cm. Bunga jantan kuning cerah, terletak di bawah
kepala bunganya (Kitamura et al., 1997). Buah berbentuk bulat, berwarna
coklat, kaku dan berserat. Pada setiap buah terdapat satu biji berbentuk telur.
Ukuran buah berdiameter mencapai 45 cm. Diameter biji 4-5 cm. Tumbuh
pada substrat yang halus, pada bagian tepi laut (Noor et al., 2006). Klasifikasi
menurut Noor (1999) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta

15
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Arecidae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Nypa Gambar 6. Morfologi Nypa
Spesies : Nypa fruticans fruticans
 Finlaysonia maritima
Klasifikasi spesies ini menurut Noor (1999) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Phylum : Magnoliophyta
Class: Magnoliopsida
Subclass : Lamiidae
Superorder: Gentiananae
Order : Gentianales
Family : Asclepiadaceae
Genus : Finlaysonia Gambar 7. Morfologi Finlaysonia
Spesies : Finlaysonia maritima maritima
Nama lokalnya adalah basang siap. Tumbuhan ini merupakan pemanjat
atau perambat berkayu, mengandung getah berwarna putih. Anatomi daunnya
tebal berdaging, warna hijau cerah, sederhana dan berlawanan. Daunnya
berbentuk elips hingga bulat telur terbalik dengan ujung membundar. Ukuran:
8-13 x 3,5-5 cm. Bunganya berwarna putih dan merah muda, panjangnya
sekitar 0,7 – 1,0 cm. Buahnya berbentuk seperti kapsul atau seperti kantung
perut ayam dengan ukuran 7-8 x 2,5-3,5 cm. Dijumpai pada kawasan mangrove
yang terbuka, kadang-kadang dijumpai lebih ke arah pantai (Noor et al., 2006).
 .Bruguiera gymnorrhiza
Bruguiera gymnorrhiza memiliki nama lokal yaitu sarau (Sarbei-
Bintuni), tokke-tokke tancang , tokke, mutut besar, tumu, tongke kecil, mangi-
mangi , kandeka, tanjang, lindur, tanjang merah, salak-salak, totongke,
tancang, tumu, tanjang putut, wako, bako, bangko. Pohon Bruguiera

16
gymnorrhiza mempuyai ketinggian mencapai 36 m. Kulit kayu memilki
berwarna abu - abu tua hingga coklat dan terdapat lentisel. Bruguiera
gymnorrhiza memiliki jenis akar lutut. Diameter batang mencapai 60 cm. Kulit
luar berwarna abu-abu, abu-abu kehitaman, coklat tua atau hitam sedangkan
kulit dalam berwarna merah muda, merah atau coklat kemerahan (Noor et al.,
2006). Klasifikasi spesies ini menurut Noor (1999) adalah :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Bruguiera Gambar 8. Morfologi
Spesies : Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera gymnorrhiza

Daun berwarna hijau. Letak daun tunggal berbentuk elips dengan ujung
daun meruncing Tata daun Bruguiera gymnorrhiza berbentuk opposite.
Panjang daun 10 - 22 cm, lebar 6 - 8 cm. Pangkal daun berbentuk cuneate atau
obtuse. Permukaan daun atas berwarna hijau sampai hijau tua sedangkan
permukaan bawah berwarna hijau kekuningan. Panjang tangkai daun sekitar 3 -
5 cm, berwarna coklat sampai coklat kehijauan. Berbunga lebar, tunggal,
letaknya di ketiak daun, mahkota berwarna putih sampai coklat, kelopak
berjumlah 10 - 14 helai. Bunga berwarna merah, dengan panjang 3 – 5 cm dan
terdapat 3 tangkai benang sari. Calyx kemerahan. Petal berwarna putih sampai
hijau kekuningan. Buahnya berbentuk silinder (hipokotil). Hipokotil agak
berlekuk, warnanya hijau-coklat, dengan panjang mencapai 25 cm. Kelopak
menyatu saat jatuh, warna kulit buah hijau dengan bercak coklat, permukaan
buah licin. Umumnya tumbuh subur di zona mangrove bagian tengah sampai
bagian belakang atau darat pada ketinggian 0 – 2 m dpl (Noor et al., 2006).
 Ceriops tagal
Ceriops tagal memiliki nama lokal yaitu parum (Sarbei, Bintuni), tengah,
mentigi, tingi,tengal, tengar, tinci, lonro, tengoh band-gangi, mange darat,
tanger, wanggo, lindur.Pohon dengan ketinggian mencapai 25 m. Kulit kayu

17
berwarna coklat kadang-kadang berwarna abu-abu, dan memiliki akar lutut.
Batang licin, dasarnya berlapis. Kulit bagian luar berwarna abu-abu, coklat
keabu-abuan sampai kemerahan, sedangkan kulit dalam berwarna merah muda
(Noor et al., 2006). Klasifikasi spesies ini menurut Noor (1999) adalah :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Ceriops Gambar 9. Morfologi Ceriops
Spesies : Ceriops tagal tagal
Daun berwarna hijau mengkilap dan memiliki tepi daun yang melingkar
ke dalam. Letak daun tunggal dan bersilangan berbentuk telur sungsang dengan
ujung daun membundar. Panjang daun mencapai 4 - 11 cm, lebar 2 - 7 cm.
Permukaan daun bagian atas berwarna hijau atau hijau kekuningan sedangkan
bagian bawah berwarna hijau kekuningan. Panjang tangkai daun mencapai 1,5
- 2 cm. Ceriops tagal memiliki tipe bunga cyme. Calyx berwarna krem sampai
kuning kehijauan dengan petal berwarna putih dan coklat. Bentuk buah silinder
(hipokotil) berbintil, berkulit halus agak menggelembung dan pendek, ujung
tajam, warna kulit buah hijau hingga coklat, leher kotiledon berwarna merah
gelap saat masak dengan panjang dapat mencapi 15 cm, lebar ± 1 cm. Calyx
tidak luruh dan melengkung ke belakang atau atas (ke arah tangkai buah).
Umumnya di daerah dalam dekat perbatasan dengan hutan tanah kering dan
daerah salinitas tinggi pada ketinggian 0 – 3 m dpl (Kitamura et al., 1997).
 Ceriops decandra
Ceriops decandra memiliki nama local yaitu parum (Sarbei, Bintuni),
kenyongyong, tingi, tengar, tinci, luru. Ceriops decandra memiliki diameter
mencapai 35 cm. Tinggi pohon mencapai 17 m. Sistem perakarannya berupa
akar lutut. Kulit batang bagian luar berwarna kuning kecoklatan atau coklat

18
kemerahan sedangkan kulit dalam berwarna merah muda (Noor et al., 2006).
Klasifikasi spesies ini menurut Noor (1999) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Ceriops Gambar 10. Morfologi Ceriops
Spesies : Ceriops decandra decandra
Letak daun tunggal dan bersilangan berbentuk telur sungsang dengan
ujung daun membundar. Panjang daun 9 - 12 cm dan lebar 3 - 5 cm.
Permukaan daun bagian atas berwarna hijau sampai hijau kekuningan
sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan. Panjang tangkai ± 1,5
cm. Ceriops decandra memiliki tipe bunga cyme. Calyx berwarna krem dengan
petal berwarna putih dan coklat. Buah bersifat vivipari, berbentuk hipokotil,
calyx tidak luruh dan melengkung ke depan (ke arah ujung buah). Hipokotil
berbintil (karena ada lenti sel), berwarna hijau, panjang mencapai 15 cm, lebar
± 8 mm (Kitamura et al., 1997). Tempat tumbuh Ceriops decandra umumnya
di daerah dalam dekat perbatasan dengan hutan tanah kering (Noor et al.,
2006).
Dalam praktikum ekologi mangrove ini, selain mengetahui tentang
jenis-jenis vegetasi mangrove yang ada di Segara Anakan Cilacap, kita
juga mengidentifikasi makrobenthos yang ada di sekitar lingkungan
mangrove Segara Anakan yang dilakukan di laboratorium pengajaran 1
dengan bantuan buku identifikasi makrobenthos, makrobenthos yang di
dapat oleh kelompok 20 rombongan 2 adalah sabagai berikut :
 Nerita lineata
Klasifikasi dari Nerita lineata Phylum : Mollusca
menurut (Karmana, 2011) adalah : Classis : Gastropoda
Kingdom : Animalia Ordo : Arcaeogastropoda

19
Familia : Neritidae
Genus : Nerita
Species : Nerita lineata

Gambar 11. Nerita lineata


Nerita adalah genus dari siput laut dengan insang dan operkulumnya satu
buah, moluska gastropoda laut yang termasuk dalam keluarga Neritidae. Nerita
lineata dapat ditemukan dalam tandan keluar dari air pada celah-celah di
bebatuan maupun menempel pada dahan pohon mangrove. Siput ini paling
aktif pada malam hari. Ciri khas dari Nerita lineata ialah cangkangnya hitam
dengan garis spiral halus. Nama spesies ini berarti "gelap gulita" (Karmana,
2011)
Cangkang tebal secara luas bulat telur atau bulat, memiliki permukaan
halus. Sisi perut memiliki kalus columellar besar atau dinding parietal. Kalus
menunjukkan pustula kecil. Aperture dan tepi columella yang biasanya dentate
dengan gigi halus atau kuat. Operkulum calcareus tebal dan biasanya halus atau
dengan struktur granular. Whorls ditutupi dengan tali spiral yang kuat.
Distribusi Nerita lineata melimpah di hutan mangrove dan pantai berbatu di
zona splash di atas permukaan air (Karmana, 2011).
 Chicoreus capucinus
Klasifikasi Chicoreus capucinus menurut (Karmana, 2011)
adalah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Classis : Gastropoda
Ordo : Neogastropoda
Familia : Muricidae
Genus : Chicoreus
Species : Chicoreus capucinus Gambar 12. Chicoreus capicinus

20
Chicoreus capucinus merupakan gastropoda yang memilik cangkang
cukup tebal dan berat, pada permukaannya terdapat tiga buah rusuk yang
bergerigi serta alur-alur melintang. Mulut cangkang membulat dengan
sifonsempit serta pada pinggir luar mulut terdapat gerigi. Kelompok
moluska ini dikenal sebagai keong pengebor dan predator bagi moluska
bivalvia dengan cara melubangi cangkang melalui proses pelarutan dan melalui
probocisnya tubuh korban dihisap. Hidup mengelompok pada pangkal pohon
atau lapukan kayu yang basah (Karmana, 2011).
 Nerita planospira
Gastropoda ini memiliki cangkang spiral mengurucut dan permukann
axial lines. Mulut cangkang membulat sifon sempit serta pada pinggir luar
mulut terdapat gerigi. Hidup mengelompok pada pangkal pohon, lapukan kayu
yang basah, akar pohon, dan substrat berlumpur. Klasifikasi dari Nerita
planospira menurut Chemnitz (1774) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Archaeogastropoda
Famili : Neritidae
Genus : Nerita
Spesies : Nerita planospira Gambar 13. Nerita planospira
 Telescopium telescopium
Telescopium telescopium merupakan salah satu jenis Gastropoda yang
banyak hidup di air payau atau hutan manggrove yang didominasi oleh pohon
bakau. Maka dari itu banyak orang menyebutnya sebagai keong bakau, panjang
umum biasanya 11 cm dan dapat mencapai 15 cm. Cangkangnya berbentuk
kerucut, panjang, dan agak mendatar pada bagian dasarnya. Warna cangkang
coklat keruh, coklat keunguan dan coklat kehitaman, lapisan luar cangkang
dilengkapi dengan garis-garis spiral yang sangat rapat dan mempunyai jalur-
jalur melengkung kedalam. Klasifikasi Telescopium telescopium menurut
Karmana (2011) adalah sebagai berikut :
Kindom : Animalia Phylum : Molusca

21
Class : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Potamididae
Genus : Telescopium
Spesies : Telescopium
telescopium

Gambar 14. Telescopium


telescopium
 Cerithidea alata
Klasifikasi dari Cerithidea
alata menurut Dautzenberg
(1899) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Classis : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Family : Potamididae
Genus : Cerithidea
Species : Cerithidea alata Gambar 15. Certithidea alata
Hewan ini merupakan anggota dari kelas Gastropoda karena memilik
cangkang tunggal yang terpilin membentuk spiral. Otot pada bagian ventral
tubuh berperan sebagai kaki atau alat gerak. Berlokomosi dengan cara merayap
menggunakan kaki. Tektur cangkangnya kasar. Ukurannya sekitar ± 2 cm.
Warna cangkangnya bervariasi, ada yang berwarna hitam atau coklat.
Mempunyai putaran dextral. Mulut cangkang berbentuk contong dan bagian
puncak lancip. Habitatnya di perairan laut, biasanya menempel pada
permukaan kayu atau batu karang (Dautzenberg, 1899).
 Nassarius olivaceus
Ukuran Nassarius olivaceus mencapai 3-4 cm. Kebanyakan spesies
dalam genus ini ditemukan di daerah pesisir pantai. Cangkang kerucut, halus
dengan spiral berbentuk gunung. Warna coklat dengan warna hijau pudar serta
batas spiral di sekitar cangkang. Tubuh kemerah-merahan atau agak merah

22
muda dengan bintik gelap dan sisi gelap pada kaki. Penutup tipis berwarna
jingga tua, siphon yang sangat panjang dan tentakel pendek. gastropoda ini
gemar bersembunyi, tepatnya di bawah pasir dengan siphonnya yang mencuat
keluar. Klasifikasi Nassarius olivaceus menurut Karmana (2011) adalah
sebagai berikut:
Kingdom :Animalia
Phylum :Mollusca
Class :Gastropoda
Ordo :Sorbeoconcha
Family :Nassariidae
Genus :Nassarius
Spesies :Nassarius olivaceus Gambar 16. Nassarius oliveus
Mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa
Inggris grove. Mangrove banyak didefinisikan oleh beberapa ahli, namun secara
umum mangrove merupakan suatu komunitas yang berada di daerah pasang surut,
secara periodik. Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan
Indonesia. Mangrove dalam distribusinya terpetak-petak artinya setiap spesies
mangrove terdistribusi secara tertentu (Giesen, 2006). Tumbuhan mangrove
memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta
kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa
jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif
mengeluarkan garam dari jaringan (Noor et al., 2006).
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga
kondisi pantai agara tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai,
mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat
pencemar. Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah
laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan
baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur,
pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara
vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Karmana, 2011).

23
Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi, hal
tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan
(terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut. Sebagian
besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama
di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Kondisi salinitas sangat
mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar
salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif
mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara
beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus
pada daunnya (Teas, 1983). Menurut Indriyanto (2006) bahwa Parameter
kuantitatif yang digunakan untuk analisis vegetasi anatara lain densitas, frekuensi,
luas penutupan, indeks nilai penting, perbandingan nilai penting, indeks
dominansi, indeks keanekaragaman, indeks kesamaan, dan homogenitas suatu
komunitas.
Kerapatan atau densitas adalah jumlah individu suatu spesies tumbuhan
dalam suatu luasan tertentu. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang
menunjukan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar
kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas.
Frekuensi suatu jenis tanaman menunjukan penyebaran suatu jenis dalam suatu
areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar,
sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai
daerah sebaran yang kurang luas (Fachrul, 2007).
Frekuensi mutlak suatu spesies merupakan persentase dari perbandingan
antara jumlah poin center yang ditempati oleh suatu spesies dengan jumlah total
dari poin senter di area observasi. Frekuensi mutlak menunjukkan pemerataan dari
sebuah spesies berdasarkan kehadirannya dalam poin center. Semakin tinggi nilai
frekuensi mutlak, semakin tinggi pemerataan sebuah spesies di setiap poin center,
semakin rendah frekuensi mutlak maka semakin rendah pemerataan dari sebuah
spesies di poin center (Noor et al., 2006)
Dominansi merupakan nilai yang menunjukan peguasaan suatu jenis
terhadap komunitas. Untuk menentukan dominansi spesies-spesies dalam suatu
komunitas yang bersifat heterogen, yakni dengan menggunakan rumus Indeks

24
Nilai Penting (INP). Penggunaan indeks nilai penting dalam menentukan
dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas karena kerapatan/densitas,
dominansi dan frekuensi tidak dapat digunakan satu demi satu untuk
menunjukkan kedudukan relatif spesies dalam suatu komunitas tumbuhan
(Indriyanto, 2006)
Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Frekuensi
Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR) dan Dominansi Relatif (DR) setiap spesies.
Menurut Indriyanto (2006) bahwa suatu daerah yang hanya didominasi oleh jenis-
jenis tertentu. Maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis
yang rendah dan daerah yang hanya didominansi oleh spesies-spesies tertentu.
Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan
variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis
dan kelimpahan relatif dari setiap jenis. Parameter kuantitatif yang dapat
digunakan untuk mendeskripsikan vegetasi tumbuhan, baik dari segi vegetasi
maupun tingkat kesamaannya dengan vegetasi lain yakni dengan menghitung
indeks keanekaragaman spesies (Indriyanto, 2006).
Berdasarkan hasil praktikum kelompok 20 rombongan II ditemukan 9 jenis
tumbuhan mangrove pada dua stasiun di Segara Anakan yaitu : Aegiceras
corniculatum, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Ceriops decandra, Nypa
fruticans, Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Camptostemon philippinense,
Finlaysonia maritima. Data yang diperoleh pada masing-masing tumbuhan
tersebut dengan diukur keliling dan dihitung densitas atau kerapatan, kerapatan
relatif, frekuensi, frekuensi relative dan nilai pentingnya. Berikut merupakan hasil
yang diperoleh :

25
Tabel 1. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Pancang pada Stasiun 1 Di Segara Anakan Cilacap

Jumlah
Spesies Kerapatan KR Frekuensi FR Dominansi DR Nilai Penting
individu
Avicennia alba 18 0,24 13,04347826 0,333333333 10 0,013689278 12,40071008 35,44418834
Aegiceras
46 0,613333333 33,33333333 1 30 0,033726221 30,55158075 93,88491409
corniculatum
Rhizophora apiculata 37 0,493333333 26,8115942 0,666666667 20 0,0221638 20,07752788 66,88912208
Camptostemon
12 0,16 8,695652174 0,333333333 10 0,00811741 7,353320178 26,04897235
philippinense
Nypa fruticans 15 0,2 10,86956522 0,666666667 20 0,02538482 22,99535333 53,86491855
Finlaysonia maritima 10 0,133333333 7,246376812 0,333333333 10 0,007309554 6,621507784 23,8678846
TOTAL 138 1,84 3,333333333 0,110391083

Tabel 2. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Semak pada Stasiun 1 Di Segara Anakan Cilacap

Spesies Jumlah individu Kerapatan KR Frekuensi FR Nilai Penting


Rhizophora apiculata 11 3,666666667 64,70588235 0,666666667 66,66666667 35,44418834
Camptostemon philippinense 6 2 35,29411765 0,333333333 33,33333333 93,88491409
TOTAL 17 5,666666667 1

26
Tabel 3. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Pancang pada Stasiun II Di Segara Anakan Cilacap

Jumlah Nilai
Spesies Kerapatan KR Frekuensi FR Dominansi DR
individu Penting
Aegiceras corniculatum 21 0,28 23,59550562 1 25 0,006269427 15,05917032 63,65467593
Bruguiera gymnorrhiza 11 0,146666667 12,35955056 0,66666667 16,67 0,004935244 11,85446219 40,88067942
Ceriops tagal 25 0,333333333 28,08988764 1 25 0,009996497 24,01159692 77,10148456
Ceriops decandra 6 0,08 6,741573034 0,33333333 8,33 0,00307983 7,397755582 22,47266195
Nypa fruticans 8 0,106666667 8,988764045 0,33333333 8,33 0,009487792 22,7896872 40,11178458
Rhizophora apiculata 18 0,24 20,2247191 0,66666667 16,67 0,007863163 18,88732779 55,77871355
TOTAL 89 1,186666667 4 0,041631953

Tabel 4. Analisis Vegetasi Mangrove Bentuk Semak pada Stasiun 2 Di Segara Anakan Cilacap

Spesies Jumlah individu Kerapatan KR Frekuensi FR Nilai penting


Bruguiera gymnorhiza 7 2,333333333 25 0,33333333 25 50
Aegiceras corniculatum 12 4 42,85714286 0,33333333 25 67,85714286
Ceriops tagal 9 3 32,14285714 0,66666667 50 82,14285714
TOTAL 28 9,333333333 1,33333333
Keterangan:
FR : Frekuensi Relatif, KR : Kerapatan Relatif, DR : Dominansi Relatif

27
Hasil perhitungan pada stasiun 1 menujukkan bahwa kerapatan relatif
paling tinggi plot 5x5 adalah Aegiceras corniculatum dan pada plot 1x1 adalah
Rhizophora apiculata. Tingkat frekuensi relatif tinggi di plot 5x5 adalah
Aegiceras corniculatum dan di plot 1x1 adalah Rhizophora apiculata. Sedangkan
pada stasiun 2 di plot 5x5 untuk kerapatab tertinggi adalah Ceriops tagal dan plot
1x1 adalah Aegiceras corniculatum, dengan frekuensi relatif tertinggi pada plot
5x5 adalah Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora apiculata dengan nilai sama,
kemudian untuk plot 1x1 frekuensi relatif tertinggi adalah Ceriops tagal. Menurut
Supardjo (2008), menyatakan tingginya nilai FR pada suatu spesies dikarenakan
adanya kompetisi dalam memperoleh unsur hara.
Hasil perhitungan dominansi relatif tertinggi pada stasiun 1 adalah
Aegiceras corniculatum sebesar 30,552 % dan stasiun 2 adalah Ceriops tagal
sebesar 24,00116 %. Menurut Noor et al. (2006) dalam Supardjo (2008) tingkat
dominansi dapat mencapai 99% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi yang
sama dalam suatu areal.
Hasil perhitungan nilai penting pada stasiun 1 plot 5x5 m adalah
Aegiceras corniculatum sebesar 93,885 % dan pada plot 1x1 m adalah Rhizophora
apiculata sebesar 131,37%. Stasiun 2 nilai penting pada plot 5x5 m adalah
Ceriops tagal sebesar 77,1015% dan plot 1x1 m adalah Ceriops tagal sebesar
82,143%. Berdasarkan data tersebut nilai penting terbesar adalah Rhizophora
apiculata sebesar 131,37%. Menurut Setyawan et al. (2005) Rhizophora apiculata
memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, tanah dan cahaya yang beragam.
Umumnya Rhizophora apiculata tumbuh di tepi daratan daerah mangrove yang
tergenang oleh pasang naik yang normal, serta di bagian tepi dari jalur air yang
bersifat payau secara musiman.
Menurut Tee (1982) menyatakan bahwa rendahnya keanekaragaman
menandakan ekosistem mengalami tekanan atau kondisi lingkungan telah
mengalami penurunan. Sedikitnya jumlah spesies mangrove disebabkan besarnya
pengaruh antropogenik yang mengubah habitat mangrove untuk kepentingan lain
seperti pembukaan lahan untuk pertambakan dan pemukiman (Setyawan et al,
2005). Keanekaragaman dari mangrove atau mahluk hidup lain dapat di nyatakan
dalam grafik dendogram. Berikut merupakan data analisis cluster dari kapal 1 :

28
Gambar 17. Grafik dendogram plot 5 m x 5 m
Dendogram diatas menunjukkan keragaman mangrove pada stasiun 1 dan 2
plot 5 x 5. Terdapat 5 sampel dalam 1 kapal dengan 2 stasiun yakni A1
(Kelompok 1 stasiun 1, cabang 1), A2 (Kelompok 2 stasiun 1, cabang 2), A3
(Kelompok 3 stasiun 1, cabang 3), A4 (Kelompok 4 stasiun 1, cabang 4), A5
(Kelompok 5 stasiun 1, cabang 5), B1 (Kelompok 1 stasiun 1, cabang 1), B2
(Kelompok 2 stasiun 1, cabang 2), B3 (Kelompok 3 stasiun 1, cabang 3),B4
(Kelompok 4 stasiun 1, cabang 4), B5 (Kelompok 5 stasiun 1, cabang 5). Terlihat
bahwa antara A4 dan B4 memilki keragaman paling tinggi pertama sebesar
84,61% (cabang 11). A2 dan A3 memiliki keragaman tinggi kedua sebesar
74,35% (cabang 12). A1 dan B1 memiliki keragaman tinggi ketiga sebesar
70,43% (cabang 13), dan keragaman tinggi terakhir adalah A5 dan B2 sebesar
70,38% (cabang 14). Antara B5 dengan cabang 11 memiliki keragaman sebesar
69,78% (cabang 15), antara B3 dengan cabang 12 memiliki keragaman sebesar
68,01%, antara cabang 13 dan cabang 16 memiliki keragaman 65,32%, antara
cabang 14 dengan 15 sebesar 63,28% dan cabang 17 dengan cabang 18 sebesar
60,9. Disimpulkan dari hasil dendrogram bahwa keragaman yang hampir sama
adalah antara A4 dan B4 dan yang paling rendah adalah cabang 17 dan 18.

29
Gambar 18. Grafik dendogram plot 1 m x 1 m
Dendogram diatas menunjukkan keragaman mangrove pada stasiun 1 dan 2
plot 1 m x 1 m. Terdapat 5 sampel dalam 1 kapal dengan 2 stasiun yakni A1
(Kelompok 1 stasiun 1, cabang 1), A2 (Kelompok 2 stasiun 1, cabang 2), A3
(Kelompok 3 stasiun 1, cabang 3), A4 (Kelompok 4 stasiun 1, cabang 4), A5
(Kelompok 5 stasiun 1, cabang 5), B1 (Kelompok 1 stasiun 1, cabang 1), B2
(Kelompok 2 stasiun 1, cabang 2), B3 (Kelompok 3 stasiun 1, cabang 3),B4
(Kelompok 4 stasiun 1, cabang 4), B5 (Kelompok 5 stasiun 1, cabang 5). Terlihat
bahwa B4 dan B5 paling tinggi keragamannya dibanding yang lain yakni sebesar
74,89% (cabang 11). Keragaman tinggi kedua adalah A3 dan A5 sebesar 73,35%
(cabang 12). Keragaman tinggi ketiga adalah A4 dengan cabang 11 sebesar
64,61% (cabang 13). Kemudian keragaman tinggi terakhir adalah B1 dengan
cabang 13 sebesar 60,91% (cabang 14). Sebesar 58,89% (cabang 15) keragaman
antara A1 dan A2. Sebesar 57,53% (cabang 16) diduduki oleh B2 dengan cabang
12. Antara B3 dengan cabang 14 keragamannya sebesar 48,36. Cabang 16 dengan
cabang 17 sebesar 44,29 (cabang 18). Yang paling rendah keragamannya adalah
cabang 15 dengan cabang 18 sebesar 36,06% (cabang 19).
Menurut Tee (1982) menyatakan bahwa rendahnya keanekaragaman
menandakan ekosistem mengalami tekanan atau kondisi lingkungan telah
mengalami penurunan. Sedikitnya jumlah spesies mangrove disebabkan besarnya
pengaruh antropogenik yang mengubah habitat mangrove untuk kepentingan lain
seperti pembukaan lahan untuk pertambakan dan pemukiman (Setyawan et al,
2005). Namun, dari hasil tersebut kedekatan antara A4 dan B4 pada plot 5 m x 5

30
m seharusnya sangatlah jauh, karena beda habitat, sedangkan untuk plot 1 m x 1
m yang paling dekat keragamannya adalah B3 dan B4 yang memang masih dalam
kawasan 1 stasiun. Hasil data A4 dan B4 mungkin dikarenakan perhitungan plot
mungkin tidak sesuai dengan syarat yakin untuk antar ulangan seharusnya 10 m.
Berdasarkan Potensi dominasi tanaman maka zonasi hutan mangrove Segara
Anakan secara umum dapat dibedakan menjadi 3 zona berdasarkan jenis pohon
yang dominan, yaitu zona Avicennia-Sonneratia, Rhizophora-Sonneratia, dan
Rhizophora-Bruguiera. Berikut penjabarannya :
a. Zonasi I Avicennia-Sonneratia
Zona Avicennia-Sonneratia merupakan zona komunitas mangrove yang
paling luar dan langsung berhadapan dengan perairan Segara Anakan. Jenis
yang dijumpai pada daerah ini didominasi oleh A. marina, A. alba,dan S.
alba. Tekstur yang ada di bawah tegakan pada zona ini adalah liat dengan
endapan lumpur yang sudah agak lebih padat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hilmi (2005), zonasi yang terdekat dengan laut akan dikuasai oleh Avicennia
spp. dan Soneratia spp. yang bertindak sebagai pionir karena sifat anakannya
yang memerlukan cahaya langsung. Avicennia merupakan jenis yang memiliki
kemampuan untuk bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang luas
dibandingkan dengan jenis yang lain. Avicennia marina memiliki kemampuan
untuk tumbuh baik pada kisaran tawar sampai dengan 90%.
b. Zonasi II Rhizophora-Sonneratia
Zona Rhizophora-Sonneratia merupakan zona kedua dibelakang zona
Avicennia-Sonneratia. Jenis yang dijumpai pada daerah ini didominasi oleh R.
mucronata, A. alba dan S. alba. Tekstur yang ada di bawah tegakan pada zona
ini adalah liat dengan endapan lumpur yang masih lunak yang terendap oleh
pasang surut. Hal ini sesuai dengan Kusmana (2002) bahwa Rhizophora dan
Avicennia umumnya tumbuh baik pada tanah dengan fraksi liat dan lumpur.
c. Zonasi III Rhizophora-Bruguiera
Zona Rhizophora-Bruguiera merupakan wilayah hutan mangrove yang
tumbuh lebih kedarat, terutama di sepanjang pinggiran sungai-sungai besar dan
kecil yang bermuara keperairan Segara Anakan. Rhizophora spp. dan
Bruguiera spp. merupakan pohon-pohon pembentuk tajuk utama dalam zona

31
ini. Lebih lanjut jenis-jenis yang banyak dijumpai di zona ini adalah R.
apiculata, R. mucronata, B. gymnorriza, Xylocarpus spp., A. officinalis. Pada
zona ini juga dijumpai jenis tumbuhan bawah, yaitu A. ilicifolius dan
Aegiceras corniculatum. Tekstur yang ada di bawah tegakan pada zona ini
sudah lebih keras dan kompak (tidak lepas) yang di dominasi oleh fraksi liat.
Pasang surut sangat nyata terlihat dengan adanya perubahan permukaan air.
Zona peralihan pasang surut dan pinggiran sungai di hutan mangrove dijumpai
vegetasi nipah (N. fructicans) yang tumbuh bercampur dengan tegakan
mangrove dan umumnya terbentang di antara daerah payau hingga ke air tawar.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bengen (1989), daerah yang lebih kearah darat,
hutan mangrove didominasi oleh Rhizophora sp. di zona ini juga dijumpai
Bruguiera sp. Zona transisi hutan mangrove dengan hutan daratan ditumbuhi
oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies lainnya.

32
DAFTAR REFERENSI

Ajithkumar, T.T., Thangaradjou, T., Kannan, L. 2008. Spectral Reflectance


Properties of Mangrove Species of the Muthupettai Mangrove
Environment, Tamil Nadu. Journal of Environmental Biology, 29 (5) 785-
788.
Ardli, E.R, Wolff. M., Ajianto. 2008. Land Use and Land Cover Change
Affecting Habitat Distribution in the Segara Anakan Lagoon, Java,
Indonesia Over the Past 25 Years (1978 – 2004). Asian Journal of Water,
Environment and Pollution, Vol. 5 (4): 59-67.
Ardli, E.R. 2013. Ekosistem Mangrove Segara Anakan. Laporan Penelitian
Universitas Jenderal.
Bengen, D. G. 1989. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan ITB, Bogor.
Chapman, V. J. 1976. Mangrove biogeography in Walsh, G.D.S and Snedakar,
S.C and Teal, H.J. Proceding international symposium on the biology and
management of mangrove. Honolulu. Vol I, pp: 65 – 90.
Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi
Aksara
Giesen, W. 2006, Mangrove Guide Book For Shoutheast Asia, FAO and Wetlands
International, ISBN: 974-7946-85-8
Hilmi, E. 2005. Ekologi Mangrove Pendekatan Karakteristik, Statistik dan
Analisis Sistem Bagi Suatu Ekosistem. PSPK, UNSOED, Purwokerto.
Indonesia. Wetland International Indonesia Programme, Bogor.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara
Karmana, O. 2011. Clasification of Bentoz on The Segara Anakan. Journal of
Mangrove , FAO Wetlands International, ISBN: 789-986-76-3
Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries; Biological Aspects. Vol II.. CRC Press
Inc. New York 391 p.
Kitamura, S., Anwar, C., Chaniago, A and Baba, S. 1997. Hanbook of Mangroves
in Indonesia; bali and Lombok. JICA/ISME, Okinawa, 120 p.
Kusmana. C. 2002. Ekologi Magrove. Lab. Ekologi Hutan Jurusan Manajemen
Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Lignon, M. Cunha-, C. Coelho Jr., R. Almeida, R.P. Menghini, Y. Schaeffer-
Novelli, G. Cintrón And F. Dahdouh-Guebas. 2011. Characterisation of
Mangrove Forest Types in View of Conservation and Management: A
Review of Mangals at the Cananéia Region, São Paulo State, Brazil.
Journal of Coastal Research. Vol 1 : 349 – 353.

33
Noor, 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands
International Indonesia Programme.

Noor, Y.R., M. Khazali, dan I N.N Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan


Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands International Indonesia
Programme.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta. 456 hlm.
Patang. 2012. Analisis Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove (Kasus di Desa
Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai). Jurnal Agrisistem. Vol. 8 No. 2. Issn
2089-0036.
Setyawan, A. D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, & A. Susilowati, 2005.
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis.
Jurnal Biodiversitas. 6 (2): Hal. 90-94.
Supardjo, M. N. 2008. Identifikasi Vegetasi Mangrove di Segoro Anak Selatan,
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal Saintek
Perikanan, 3(2): 9-15.
Tarigan, M.S. 2008. Sebaran dan Luas Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Teluk
Pising Utara Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara, Makara. Sains.
Vol.12(2), November 2008: 108-112.
Teas, H. J. 1983. Biology and Ecology of Mangroves.W. Junk Publishers, The
Hague. ISBN 90-6193-948-8.
Tee, G. A. C. 1982. Some Aspects of The Ecology of The Mangrove Forest at
SungauBuloh, Selangor. Malay National Journal. 35:13-28
Tomlinson, P.B. 1986. The Botani of Mangroves. Cambridges University Press.
Cambridge. 383 p.
White, A.T., Martosubroto, P., Sadorra, M.S.M. 1989. The Coastal Environment
Profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM.
Association of Southeast Asian Nations. United States Coastal Resources
Management Project. Techn Public. Ser :4:81.

34

Anda mungkin juga menyukai