Anda di halaman 1dari 2

Halo, apa kabar?

Beberapa waktu lalu saya menerima pesan dari seorang kawan lama melalui
sebuah aplikasi media sosial. Pesannya sederhana dan sangat awam. Ia bertanya,
“Halo, apa kabar?”

Tapi sungguh ini sangat mengejutkan bagi saya. Bukan karena pesannya yang
datang ba- ba setelah waktu yang lama. Bukan juga karena pertanyaannya.
Tetapi karena, untuk pertama kalinya dalam hidup saya yang masih seumur
jagung, saya bingung menjawabnya. Tidak pernah sekalipun saya mengira bahwa
pertanyaan itu akan cukup menantang untuk dijawab.

Hal pertama yang terlintas di kepala saya adalah pelajaran percakapan Bahasa
Inggris di kelas 3 dulu. Teman-teman juga masih ingat, kan?

“Hello, how are you?” dan dijawab dengan “I’m fine, thank you. And you?”

Haruskah saya menjawab seper itu juga? Bahwa saya baik-baik saja? Namun
apa saya betul-betul sedang baik-baik saja? Lantas, jika saya menjawab sesuai
ajaran Pelajaran Bahasa Inggris, bukankah saya akan menjadi pembohong? Ya!
Itu bohong! Saya dak benar-benar sedang baik-baik saja. Beberapa waktu lalu
ditengah jalan, saya dipermalukan oleh sepatu saya yang menolak bekerjasama.
Ia menganga lebar seper kuda nil lapar dan membuat saya jalan terta h. Hari
setelahnya tempat pensil saya lenyap, lengkap beserta isinya. Di kemudian hari
saya pulang dalam keadaan Lelah dan lapar namun ibu saya lupa menanak nasi
hingga akhirnya saya yang siapkan sendiri. Belum ditambah dengan nilai saya
yang, ah, sudahlah. Baiklah. Mari beri jawaban yang aman.

“Halo. Kabarku masih seper biasa. Begini-begini saja.”

Hmm. Sebentar. Apa benar kabar saya begini-begini saja? Tidak! Jelas dak.
Terakhir kali saya dan kawan lama ini bertukar kabar sudah bertahun-tahun
lamanya. Selama beberapa tahun itu sudah banyak sekali yang berubah dalam
hidup saya. Potongan rambut, ukuran celana, sekolah, bahkan pacar, ehem!
maksudnya teman dekat. Bayangkan! Satu hari itu terdiri dari 86.400 de k.
Meskipun sekitar 28.000 saya habiskan untuk mendengkur, tapi masih ada lebih
dari 50.000 de k lainnya yang saya lalui. Itu banyak! Sekarang, coba bayangkan!
Jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita di Pales na, dimana cobaan dan
harapan silih bergan di se ap de knya, 50.000 de k itu terlalu banyak.
Sungguh! Maka apakah masuk akal jika saya, dalam kurun waktu bertahun-
tahun, mengatakan bahwa hidup saya begini-begini saja? Ini adalah
kebohongan. Tidak, saya dak mau bohong.
Beri jeda berpikir sejenak.
Jika begini, maka pilihan terakhir adalah mengatakan bahwa saya dak sedang
baik-baik saja.
Wajah murung, mendesah, berpikir.
Ya. Mungkin saya dak sedang baik-baik saja. Menjadi manusia di usia remaja itu
bukan hal mudah. Saya sering berpikir bahwa saya tahu jawaban dari banyak
pertanyaan, namun saya seringkali salah. Saya seringkali mengira saya dak tahu
apa-apa, namun ha saya berontak seolah ia mengetahui sesuatu dan berusaha
menggedor pintu logika saya. Entah sampai kapan ha , pikiran, dan keinginan
saya ini berhen berkelahi. Tapi, untuk mengatakan bahwa saya dak sedang
baik-baik saja terasa dak adil bagi mereka yang sedang diuji lebih berat dari
saya. Ada yang dak punya rumah untuk pulang, ada yang punya rumah namun
enggan pulang. Ada yang lapar namun hanya memiliki air. Ada yang haus namun
hanya memiliki makanan. Sedangkan saya sendiri, saya punya rumah untuk
pulang dan pulang masih merupakan kata yang menyenangkan. Saya bisa minum
ke ka haus, bisa makan ke ka lapar. Saya masih diinginkan, dan diharapkan
untuk pulang. Sebagaimana sayapun masih selalu rindu pulang.

Saya akan menutup kisah ini dengan bertanya pada kawan-kawan sekalian.
Bagaimana kabar kalian? Karena ternyata saya baik-baik saja. Alhamdulillah.

Anda mungkin juga menyukai