Anda di halaman 1dari 3

DOIFULLOH SADI AKHMAD

XII MIPA 5

PERJUANGAN HIDUP

Hembusan angin senja bagaikan penyemangat. Decitan ban


sepeda dapat terdengar hingga dalam rumah, bahkan hingga
satu perumahan pun dapat mengetahuinya. Sepeda di jatuhkan,
gerbang di dorong terbuka, dan menggiring sepeda beroda dua
itu masuk. Kembali ke gerbang, menutup besi hitam itu, dan
memasuki rumah. Seakan waktu berjalan cepat, ia pun bertanya
kepada yang di dapur, wangi masakan sudah tercium.

“Mbak? Ibu dan ayah di mana?” Ucapnya sembari mengatur


napas.

“Ibu dan ayah sudah di rumah sakit non,” Jawabnya dari dapur,
mempersiapkan bekal untuk menginap semalam.

“Mari non, mbak sudah siapkan baju, non tolong pesan taksi ya,”
Pinta dirinya menutup tempat makan ungu yang
diggenggamnya.

Bagaikan kebiasaan sehari- hari, ia membuka kunci


gawainya. Keringat tetap mengucur sembari membuka aplikasi
pemesanan taksi, mengetik alamat dengan jeli dan menunggu
notifikasi. Kaki di hentakan, keringat di usap dan di kibaskan ke
bawah, mata tak menengok bahkan sedetik dari layar.
Notifikasi berbunyi, bagaikan penyelamat dalam kericuhan. “Mbak,
taksinya akan sampai dalam tiga menit!” Segera ia berlari menaiki
tangga yang terasa lama, lebih lama dari biasanya. Membuka pintu
kamar, di raihnya kabel gawai putih bersih, buku cerita dan power bank
bergambar pahlawan miliknya.

“Non? Itu taksinya!” Panggil wanita paruh baya, menggendong tas


penuh baju dan makanan. Seringai riang tak meninggalkan bibir dirinya,
ratusan harapan terus melewati benaknya, darah dengan kencang
melewati tubuhnya.

Berlari menuruni tangga, melewati pintu depan, menarik sepatu dari rak
hitam dan memakainya sangat memakan waktu. Bagaikan waktu di
percepat. Wanita itu sudah membuka pintu tengah, tas besar itu sudah
di masukan ke dalam bagasi mobil, dan masuklah diri gadis itu ke dalam
mobil putih mengkilat yang menunggu, melaju melewati barisan mobil
lain.

Dering ponsel mengganggu konsen. Melihat lampu merah


bagaikan penghalang. Suara pengamen di depan mobil menjadi alunan
musik menjijikan. Gedung putih besar hanya beberapa meter jauhnya,
terasa bisa di genggam dan memasuki ruangan itu, membantu
perjuanganya dan menjadi penjaga di sampingnya. Sebentar, hanya
sebentar lagi. Lampu akhirnya menyala hijau, helaan napas lega, dan
melajulah Fortuner hitam itu. Bebelok ke kanan, menekan tombol tiket,
memasuki area parkir, mencari tempat, menghentikan mesin, menaiki
tangga, mencari ruanganya. Lampu terang dengan cat putih
mengejutkan kedua matanya, memusingkan. Tetapi tak ada waktu
untuk diri sendiri. Tak ada waktu untuk keluhan. Waktu terus berkurang.

“Maaf, tapi ruang melahirkan ada di mana?” Jantungnya berdetak


kencang. Keringat menjatuhi dahi, mengenai kemeja hitam bersihnya.
Di tunjuk sebuah ruangan berpintu buram, bertulisan ICU. Membuka
pintu dan melihat dirisnya di sambut oleh seorang suster. “Bapak sudah
di tunggu, mari.” Ucapnya, memasuki pintu buram, sudah lengkap
dengan sarung tangan dan kostumnya. Ia melihat kostum yang sama
dengan suster itu dan memakainya. Sudah di lakukannya hal ini sekali,
rasa mencekam itu tetap ada sembari memakai masker bersih itu.
“Siap pak?” Tanya sang suster, memegang erat kenop pintu. Ia
mengangguk kencang. Terbukalah pintu buram terakhir yang
bernomor tiga, dan masuklah dirinya.

Napas terasa kencang. Rasa sakit yang tak kunjung usai


mengoloknya. Menatap atap abu- abu buram, mata sembab
kemerahan, lampu terang terlihat mengelilinginya. Celoteh ringan
antara suuster dan bidan di sebelahnya tak mengundang rasa
khawatir sekali pun. Memejamkan mata, mengatur napas, serasa
dunia ini lah yang ia perjuangkan.

“Baik bun, seperti yang kita latihan. Pelan, pelan saja. Ayuk, istigfar
bun. Pelan- pelan,” Ucapan halus bidan membuat dirinya tenang.
Seperti latihan, katanya. Kata- kata itu terus mengelilingi benak.
Pernapasan di atur, tak tergesa- gesa, tak di paksa. Dalam rasa
mencekam ini, seketika, rasa hangat dapat di rasakan di telapak
tangan kanan. Mata sembab itu melirik, melihat penjaganya beridiri
di samping. “Ayah di sini bun, tenang,” Ucapan itu menambahkan
ke tenangan dalam dirinya. Tak lama, tanpa di sadari, tanpa suara,
dapat di dengar helaan napas lega.

“Selamat bun, laki- laki.” Ucapnya.

Air mata terasa mengalir melewati pipi merahnya. Senyuman


bahagia tak kuasa di tahan. Tangisan kebahagiaan tak tertahan pula,
memiringkan dahi kepada kepalan tangan yang saling genggam.
Isakan tangis kedua pasangan itu memenuhi ruangan. Terasa
perjuangan sudah berakhir. Terasa bahwa dunia yang di
perjuangkanya sudah berhasil, sudah sempurna. Perjuangan
selanjutnya pun di mulai. Perjuangan dengan hiasan cerita, hiasan
memori tak terlupakan, hiasan keberhasilan. Perjuangan hidup.

Anda mungkin juga menyukai