Anda di halaman 1dari 12

Tugas Makalah

KELOMPOK BERMAIN

PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA DINI

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3


1. Juniyati La Juna (A1H120012)
2. Rehulina Sennia Wati Turnip (A1H120058)
3. Nurmi (A1H120016)
4. Sinta (A1H120064)
5. Nurwia (A1H120056)
6. Kartika(A1H120086)
7.Sitti nur ailla (A1H120024)
8.

JURUSAN PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah Kelompok Bermain .
Dalam Penulisan makalah Kelompok Bermain ini penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah.
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Kendari, Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah
BAB II. PEMBAHASAAN
A. Apa yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional dan moral?
B. Apa sajakah Permasalahan Sosial yang sering terjadi pada anak usia dini?
C. Apa sajakah permasalahan Emosional yang sering terjadi pada anak
usia dini?
D. Apa sajakah permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini?

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Setiap anak yang lahir ke dunia, sangat rentan dengan berbagai masalah. Masalah yang
dihadapi anak, terutama anak usia dini, biasanya berkaitan dengan gangguan pada proses
perkembangannya. Bila gangguan tersebut tidak segera diatasi maka akan berlanjut pada fase
perkembangan berikutnya yaitu fase perkembangan anak sekolah. Pada gilirannya, gangguan
tersebut dapat menghambat proses perkembangan anak yang optimal. Dengan demikian,
penting bagi para orang tua dan guru untuk memahami permasalahan-permasalahan anak
agar dapat meminimalkan kemunculan dan dampak permasalahan tersebut serta mampu
memberikan upaya bantuan yang tepat.

B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini :
1. Apa yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional dan moral?
2. Apa sajakah Permasalahan Sosial yang sering terjadi pada anak usia dini?
3. Apa sajakah permasalahan Emosional yang sering terjadi pada anak usia dini?
4. Apa sajakah permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan sosial emosional dan moral


2. Untuk mengetahui permasalah sosial yang terjadi pada anak usia dini
3. Untuk mengetahui permasalahan emosional yang terjadi pada anak usia dini
4. Untuk mengetahui permasalahan Moral yang terjadi pada anak usia dini
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkembangan Sosial dan Emosional

1. Pengertian Sosial
Menurut Plato (Nugraha, 2005:1-13) secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai
makhluk sosial (zoon politicon). Syamsuddin (1995:105) mengungkapkan bahwa “sosialisasi
adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial”, sedangkan menurut Loree (Nugraha,
1970 : 86) “sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu (terutama) anak melatih
kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan
tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan dengan bertingkah laku,
seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya.
Muhibin (1999:35) mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan proses
pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya,
bangsa dan seterusnya. Adapun Harlock (1978 : 250) mengutarakan bahwa perkembangan
sosial merupakan pemerolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam
berperilaku di dalam lingkungan sekitarnya (masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial
(norma, nilai atau harapan sosial). Sumber : (Nugraha, 2005 : 1.13)

2. Pengertian Emosional
Emosi adalah perasaan yang ada dalam diri seseorang, dapat berupa perasaan senang
atau tidak senang, perasaan baik atau buruk. Dalam World Book Dictionary (1994: 690)
emosi didefinisikan sebagai “berbagai perasaan yang kuat”. Perasaan benci, takut, marah,
cinta, senang dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut adalah gambaran dari emosi.
Goleman (1995:441) menyatakan bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-
pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta seraikaian kecenderungan untuk
bertindak”.
Syamsudin (1990:69) mengemukakan bahwa “emosi merupakan suatu suasana yang
kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (stid up state) yang menyertai atau
muncul sebelum atau sesudah terjadnya perilaku”.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan emosional adalah suatu
keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh
perubahan biologis yang muncul menyertai terjadinya suatu perilaku. Sumber : (Nugraha,
2005 : 1.2)
B. Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini

a. Perkembangan Pemahaman Diri


Pemahaman diri mencakup berbagai hal, seperti kesadaran diri (self-awareness), pengenalan
diri (self-recognition), konsep diri (self-concept), dan harga diri (self-esteem). Konsep diri
merupakan gambaran menyeluruh tentang atribut, kemampuan, sikap, dan nilai-nilai yang
dimiliki individu, yang diyakini olehnya memberikan gambaran tentang siapa dirinya. Harga
diri merupakan bagian dari konsep diri yang berisi penilaian seseorang tentang seberapa
bernilai dirinya.
b. Perkembangan Hubungan Sosial
Pada masa kanak-kanak awal, hubungan sosial dengan teman sebayanya menjadi meningkat,
terutama dalam konteks bermain. Dalam pengamatannya terhadap perilaku anak usia 2-5
tahun, Parten (2014 : 4.43) mengidentifikasi enam kategori perilaku anak di masa kanak-
kanak dalam bermain sosial dan non sosial. Berikut penjelasannya:
1) Unoccupied Behavior
Anak tidak tampak sedang bermain, hanya mengamati hal-hal yang menarik minatnya.
2) Onlooker Behavior
Anak menghabiskan waktunya dengan mengamati anak lain bermain. Anak berbicara,
bertanya, atau membuat usulan tetapi tidak ikut bermain. Anak secara jelas mengamati
kelompok anak lain dan bukannya melakukan sesuatu yang menarik minatnya.
3) Solitary Independent Play
Anak bermain sendiri dengan mainan yang berbeda dari mainan yang dimainkan oleh
anak-anak yang ada di dekatnya dan tidak melakukan usaha apapun untuk mendekati
anak lain yang sedang bermain di dekatnya.
4) Parallel Play
Anak bermain di antara anak-anak lain dengan mainan yang sama seperti yang
dimainkan oleh anak lain, tetapi mereka bermain sendiri-sendiri dan tidak harus dalam
cara yang sama. Setiap anak tidak berupaya untuk mempengaruhi kegiatan bermain anak
lain.
5) Associative Play
Anak bermain dengan anak lain, saling berbicara tentang apa yang dimainkan, saling
meminjam mainan, mengikuti satu sama lain, dan berusaha untuk mengontrol siapa yang
boleh bermain di dalam kelompok.
6) Cooperative Play
Anak dalam bermain dalam kelompok yang terorganisasi untuk sejumlah tujuan, untuk
membuat sesuatu, memainkan permainan yang lebih formal, atau melakoni suatu situasi.
c. Perkembangan Kemampuan Mengarahkan Diri (Self-Regulation)
Self-Regulation merupakan kemampuan anak untuk mengarahkan perilakunya sendiri tanpa
diingatkan oleh orang tua atau orang lain. Dalam hal ini, anak mampu mengarahkan
tindakannya untuk mematuhi aturan sosial. Sebagai contoh, anak dapat mengikuti kegiatan di
dalam kelas tanpa harus diingatkan oleh guru. Beberapa anak mencapai kemampuan
mengarahkan diri pada usia 4-5 tahun. Namun, ada pula anak yang tetap bergantung pada
orang dewasa untuk mengontrol perilakunya agar sejalan dengan aturan yang diberikan.
dan Suka mengadu untuk mendapat perhatian orang dewasa.
Hal yang paling mendasar dalam mencegah timbulnya masalah maladjustment adalah usaha
meningkatkan pengenalan terhadap diri dan lebih realistik terhadap kemampuan sendiri.
Dalam hal ini dukungan lingkungan sangat berpengaruh karena usaha perbaikan akan sia-sia,
bila lingkungan tetap menuntut sesuatu yang tidak realistis.
a. Egosentrisme
Seseorang dikatakan egosentris bila lebih peduli terhadap dirinya sendiri daripada orang lain.
Mereka lebih banyak berpikir dan bicara mengenai diri sendiri dan aksi mereka semata-mata
untuk kepentingan pribadi. Umumnya, anak-anak masih egosentris dalam berpikir dan
berbicara. Hal ini bisa merugikan diri dan sosial jika berkelanjutan. Karena umumnya begitu
anak memasuki dunia sekolah, egosentrisme sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Ada tiga hal yang mendasari egosentrisme, yaitu sebagai berikut :
1) Merasa Superior. Karena merasa superior, anak egosentris berharap orang
menunggunya, memuji sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan. Mereka menjadi
sok berkuasa, tidak peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerja sama, dan sibuk
bicara mengenai diri sendiri.
2) Egosentrisme karena merasa inferior. Individu akan memfokuskan semua
permasalahan terhadap diri sendiri karena merasa tidak berharga di dalam kelompok.
Anak yang demikian biasanya mudah dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain.
Karena selalu merasa bahwa andil mereka dalam kelompok sangat kecil maka sering
kali mereka justru diabaikan. Namun, bukan berarti mereka tidak disukai.
3) Egosentrisme karena merasa menjadi korban. Perasaan tidak diperlakukan secara adil
membuat mereka marah kepada semua orang. Akibatnya keinginan mereka untuk ikut
andil dalam kelompok sangat kecil dan kelompok cenderung mengabaikan mereka.
Apabila mereka menunjukkan kemarahannya secara agresif maka kelompok akan
menolaknya. takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang sering kali berlangsung
lama. Biasanya rasa takut ini juga dibarengi oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan akan
terjadinya hal-hal buruk, seperti kematian, kecelakaan dan sebagainya. Pada anak,
rasa cemas biasanya terjadi saat ia berusia sekitar 3 tahun, bentuknya bisa berupa
cemas kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas
karena merasa berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak
menyenangkan.
Sumber-sumber yang menimbulkan rasa tidak aman pada anak, yaitu sebagai berikut:
• Orang tua atau guru yang tidak konsisten. Hal ini dapat membuat anak merasa
kehidupan sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga dan menakutkan.
• Orang tua yang terlalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak
• Tidak adanya batasan atau aturan yang jelas dari orang tua, mana yang boleh dan
tidak boleh, mana yang buruk dan yag baik. Kecemasan muncul karena anak tidak
dapat menentukan batasan sendiri dalam bertingkah laku.
• Kritik yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa lain dan kelompok sebaya.
• Seringnya anak diingatkan mengenai tugas dan tanggung jawabnya bila ia dewasa
kelak.
• Merasa bersalah. Ini biasanya karena anak membayangkan hukuman yang akan
diterimanya.
• Model dari orang tua. Orang tua yang pencemas sering kali mempunyai anka yang
pencemas pula karena anak belajar dari orang tuanya bagaimana peran orang tua
secara umum memandang kehidupan.
• Frustasi yang terus-menerus. Terlalu sering mengalami frustasi dapat menyebabkan
kemarahan dan kecemasan. Hal ini dapat pula disebabkan target yang terlalu tinggi
sehingga anak sulit mencapai tujuannya. Perasaan tidak mampu inilah yang
menimbulkan kecemasan.
Adapun upaya yang dapat dilakukan guru ataupun orang tua untuk menangani anak yang
cemas, diantaranya dapat melakukan hal-hal berikut :
❖ Orang tua yang tidak mampu mencintai anaknya, disebabkan mereka pun tidak pernah
merasakan kasih sayang.
❖ Perasaan cemburu yang berlebihan dan tidak ditangani dengan baik, tatkala ia
mendapatkan adik baru dan merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang
tuanya.
❖ Situasi baru di mana anak belum siap dalam menghadapi dan tidak menemukan
pasangan yang cocok untuk menemaninya.
❖ Mendapat gertakan, gangguan, dan ketidakramahan dari anak yang lain.
❖ Cacat fisik atau memiliki postur tubuh yang berbeda dengan anak lain di mana hal ini
jika tidak ditangani dengan baik dapat menjadi gangguan emosional.
D. Penanganan Gangguan Sosial Emosional pada Anak

1. Penanganan Gangguan Sosial


Menurut Nugraha (2005:11.15) berikut adalah cara penanganan pada anak yang memiliki
gangguan sosial, diantaranya:
a. Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang dari berbagai usia serta latar
belakang yang berbeda. Anak tidak mungkin bisa belajar bergaul bila lebih banyak
menghabiskan waktunya sendiri. Semakin banyak dan bervariasi dengan lingkungan
bergaulnya, semakin banyak hal-hal yang bisa dipelajari anak sebagai bekal keterampilan
dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.
b. Anak tidak hanya berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dipahami, tetapi juga dapat
membicarakan dengan topik yang dapat dimengerti dan menarik bagi orang lain.
c. Anak punya motivasi untuk bergaul. Motivasi ini tergantung seberapa besar perolehan
kepuasaan anak melalui aktivitas sosialnya. Apabila anak mendapat cukup banyak
kesenangan, penerimaan, dan pengalaman yang mengasyikkan dari lingkungannya, motivasi
atau keinginannya untuk meluaskan wawasan, jaringan pergaulannya semakin luas. Namun,
sebaliknya kalua ia lebih banyak mendapat kekecewaan, motivasinya untuk bergaul pun
semakin berkurang.
d. Adanya bimbingan. Metode yang paling efektif untuk dapat belajar bergaul dengan baik
adalah lewat bimbingan dan pengajaran dari orang yang dapat dijadikan model bergaul yang
baik oleh anak. Anak memang bisa saja belajar bergaul sendiri lewat trial and error (coba-
coba) atau meniru ingkah laku orang lain, namun akan lebih efektif bila yang menjadi model
adalah orang tua. melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.

2. Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada
anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk
menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk
mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak
untuk mendiskusikan isu-isu moral. (Dwi Siswoyo (2005:76).

3. Teladan atau Contoh


Anak-anak mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu
seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik
kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti
oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-
nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah
daging terlebih dahulu pada gurunya.
4. Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui
pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya,
pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap
salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk
kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak
melanggar segera diberi peringatan.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru saja. Ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tiga lingkungan yang amat kondusif
untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan
lingkungan masyarakat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku di dalam


lingkungan sekitarnya (masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial (norma, nilai atau
harapan sosial).
Perkembangan emosional adalah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan
ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai
terjadinya suatu perilaku.
Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku
sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang
dikembangakan oleh konsep moral
2. Permasalahan sosial yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut:
Maladjustment, Egosentrisme, Anak yang terisolasi, Agresif, Negativisme, Pertengkaran,
Mengejek dan menggertak, perilaku yang sok perkuasa, dan prasangka
3. Permasalahan emosional yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut:
(kekurangan afeksi, cemas, hipersensitivas, dan fobia).
4. Permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini adalah: Retardasi mental,
Autisme, Gangguan prilaku, ADHD dll.

B. Kritik dan Saran

Berbagai faktor dapat mempengaruhi perkembangan sosio emosional dan moral anak, kita
sebagai guru dan orang tua wajib membimbing anak agar dapat tumbuh berkembang dengan
optimal. Demikian makalah ini kami susun semoga dapat bermanfaat. Kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Hildayani, Rini, dkk. 2014. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Universitas Terbuka.

Hurlock, E.B. 1978. Child Development. Tokyo : McGraw Hill. Inc. International Student ed.

Nugraha, Ali, dkk. 2005. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta : Universita Terbuka.

Syamsuddin, A. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.

http://catatannyasulung.blogspot.co.id/2012/11/perkembangan-moral-pada-anak-anak.html
(diakses pada tanggal 02 Desember 2017)

Anda mungkin juga menyukai